Li Ari.docx

  • Uploaded by: Khansa Salsa
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Li Ari.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,632
  • Pages: 17
Ari Millian Saputra/0401138172190 Gamma 2017 A. Tuberkulosis Paru 1. Pengertian Tuberculosis paru adalah suatu penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycrobacterium Tuberculosis. Sebagian bersar kuman tuberculosis menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya. Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang pada berbagai organ tubuh mulai dari paru dan organ di luar paruseperti kulit, tulang, persendian, selaput otak, usus serta ginjal yang sering disebut dengan ekstrapulmonal TBC. 2. Etiologi Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh Robet Koch pada tahun 1882. Basil tuberculosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi dalam cairan mati dalam suhu 600 C dalam 15-20 menit. Fraksi protein basil tuberkulosis menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan sifat tahan asam dan merupakan faktor terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel. Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan sinar matahari dan sinar ultraviolet. Ada dua macam mikobakterium tuberculosis yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita TBC terbuka dan orang yang rentan terinfeksi TBC ini bila menghirup bercak ini. Perjalanan TBC setelah terinfeksi melalui udara. Bakteri juga dapat masuk ke sistem pencernaan manusia melalui benda/bahan makanan yang terkontaminasi oleh bakteri. Sehingga dapat menimbulkan asam lambung meningkat dan dapat menjadikan infeksi lambung. 3. Epidemiologi Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah menetapkan TB sebagai « Global Emergency ». Terjadi peningkatan dalam penemuan kasus TB khususnya pada tahun 1990-2000 dalam kurun waktu tersebut tercatat 10,2 juta jiwa terinfeksi TB. Pada tahun 2000 WHO meningkatkan pengendalian TB dengan membentuk Stop TB Partnership yang sejalan dengan Millenium Development Goals (MDG’s). Berikut adalah MDG’s indikator dan target yang berhubungan dengan

TB sebagai berikut MDG 6 yaitu untuk memerangi HIV/AIDS dan penyakit lain, indikator 23 yang berisi rata-rata prevalensi dan kematian yang berhubungan dengan TB, dan indikator 24 yaitu mendeteksi proporsi kasus TB dan menyembuhkan dengan program DOTS. Stop TB Partnership telah menyetujui dua target epidemiologi terkait dengan MDG 6, target 8 untuk mengurangi prevalensi TB dan kematian sebesar 50% pada tahun 2015, disbanding dengan pada tahun 1990. Target kedua yaitu pada tahun 2050 insidensi TB akan menjadi kurang dari 1 / 1 juta populasi pertahun. Keadaan saat ini di dunia, pada survey tahun 2013 oleh WHO terhitung 9.0 juta insiden kasus TB dan 1,5 juta orang mati karena TB (1,1 juta kematian diantara orang dengan HIV-negatif dan 360.000 kematian pada orang dengan HIV-positif). Kebanyakan dari kematian terhitung 210.000 dari MDR-TB. Sekitar 13% kasus baru TB disertai dengan HIV-posotif pada 2013. MDG target dalam pengendalian kejadian TB pada tahun 2015 telah dicapai secara global. Secara global pada tahun 2013, angka kematian TB telah turun sebesar 45% dan tingkat prevalensi TB telah turun sebesar 41% dibandingkan pada tahun 1990. Di negara berkembang kematian penderita TB paru merupakan 25% dari seluruh kematian, dan 75% penderita TB paru adalah kelompok usia produktif (Simbolon, 2007). Indonesia sendiri sebagai negara berkembang yang termasuk kedalam negara dengan beban TB yang relatif tinggi menduduki peringkat kelima dalam insidensi TB di dunia sebesar 410.000-520.000 jiwa terinfeksi TB di bawah negara-negara berkembang lainnya seperti India (2.0–2.3 juta), China (0.9–1.1 juta), Nigeria (340.000–880.000), dan Pakistan (370.000-650.000). Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia adalah negara pertama yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006 khususnya untuk wilayah WHO Asia Tenggara. 4. Manifestasi Klinis Menurut Wong (2008) tanda dan gejala tuberkulosis adalah: a. Demam b. Malaise c. Anoreksia d. Penurunan berat badan e. Batuk ada atau tidak (berkembang secara perlahan selama berminggu – minggu sampai berbulan – bulan) f. Peningkatan frekuensi pernapasan g. Ekspansi buruk pada tempat yang sakit h. Bunyi napas hilang dan ronkhi kasar, pekak pada saat perkusi 5. Patogenesis Tuberkulosis Primer

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dorman (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TB. Masa inkubasi yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Menyebar dengan cara : 1. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis. 2. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan. 3. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Tuberkulosis Post Primer Tuberkulosis post primer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan

masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarangan dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut : 1. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat. 2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar. 3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik) DIAGNOSIS TUBERKULOSIS Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah: * Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya. * Pemeriksaan fisik. * Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak). * Pemeriksaan patologi anatomi (PA). * Rontgen dada (thorax photo). * Uji tuberkulin. Diagnosis TB Paru Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejalagejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung pada pasien remaja dan dewasa, serta skoring pada pasien anak. Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan

mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS): • S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. • P(Pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK. • S(sewaktu): Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut: • Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif. • Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon). (lihat bagan alur lampiran 2) • Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma). Diagnosis TB Ekstra Paru • Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran

kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. • Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis bergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks, dan lain-lain. Uji Tuberkulin Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2– 4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi: 1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis. 2. Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan. Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG. 3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. B. Batuk 1. Definisi Batuk merupakan suatu rangkaian refleks yang terdiri dari reseptor batuk, saraf aferen, pusat batuk, saraf eferen,dan efektor. Refleks batuk tidak akan sempurna apabila salah satu unsurnya tidak terpenuhi. Adanya rangsangan pada reseptor batuk akan dibawa oleh saraf aferen ke pusat batukyaitu medula untuk diteruskan ke efektor melalui saraf eferen. Reseptor batuk terdapat pada farings, larings,trakea, bronkus, hidung (sinus paranasal), telinga, lambung,dan perikardium sedangkan efektor batuk dapat berupa ototfarings, larings, diafragma, interkostal, dan lain-lain. Proses batuk terjadi didahului inspirasi maksimal, penutupan glotis,peningkatan tekanan intra toraks lalu glotis terbuka dan dibatukkan secara eksplosif untuk mengeluarkan benda asing yang ada pada saluran respiratorik.

Inspirasi diperlukan untuk mendapatkan volume udara sebanyak-banyaknya sehingga terjadi peningkatan tekanan intratorakal. Selanjutnya terjadi penutupan glotis yang bertujuan mempertahankan volume paru pada saat tekanan intratorakal besar.Pada fase ini terjadi kontraksi otot ekspirasi karena pemendekan otot ekspirasi sehingga selain tekanan intratorakal tinggi tekanan intraabdomen pun tinggi. Setelah tekanan intratorakal dan intraabdomen meningkat maka glotis akan terbuka yang menyebabkan terjadinya ekspirasi yang cepat, singkat, dan kuat sehingga terjadi pembersihan bahan-bahan yang tidak diperlukan seperti mukus dan lain-lain. Setelah fase tersebut maka otot respiratorik akan relaksasi yang dapat berlangsung singkat atau lama tergantung dari jenis batuknya. Apabila diperlukan batuk kembali maka fase relaksasi berlangsung singkat untuk persiapan batuk. Batuk bukanlah sebuah penyakit melainkan salah satu tanda atau gejala klinis yang paling sering dijumpai pada penyakit paru dan saluran nafas. Batuk merupakan salah satu cara untuk membersihkan saluran pernafasan dari lendir atau bahan dan benda asing yang masuk sebagai refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi trakeobronkial. Batuk juga berfungsi sebagai imun dan perlindangan tubuh terhadap benda asing namun, dapat juga merupakan gejala dari suatu penyakit. Mekanisme batuk : 1) Fase Iritasi Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus d laring, trakea, bronkus besar, atau serat aferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat menimbulkan batuk.Batuk juga timbul bila reseptor batuk dilapisan faring dan esophagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang. 2) Fase Inspirasi Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat, sehingga dengan cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru-paru. 3) Fase Kompresi Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis dan batuk dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu meningkatkan tekanan intrathoraks walaupun glotis tetap terbuka. 4) Fase Ekspirasi Pada fase ini glottis terbuka secara tiba-tiba akibat konstraksi aktif otot-otot ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda – benda asing dan bahan –bahan lain. Gerakan glotis, otot – otot pernafasan, dan bronkus sangat penting dalam mekanisme batuk karena merupakan fase batuk yang sesungguhnya. Suara batuk bervariasi akibat getaran secret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara. Klasifikasi batuk menurut Nadesul Hendrawan adalah : 1) Batuk akut Batuk akut adalah fase awal batuk dan mudah untuk disembuhkan dengan kurun waktu kurang dari tiga minggu. Penyebab utamanya adalah infeksi saluran nafas atas,seperti salesma, sinusitis

bakteri akut, pertusis, eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronis,rhinitis alergi, dan rhinitis karena iritan. 2) Batuk sub-akut Batuk Sub-akut adalah fase peralihan dari akut menjadi kronis yang terjadi selama 3-8 minggu.Penyebab paling umum adalah batuk paska infeksi, sinusitis bakteri, atau asma. 3) Batuk kronis Batuk kronis batuk kronis adalah fase batuk yang sulit untuk disembuhkan karena terjadi pada kurun waktu yang cukup lama yaitu lebih dari delapan minggu. Batuk kronis juga bisa digunakan sebagai tanda adanya penyakit lain yang lenih berat misalkan ; asma , tuberculosis (tbc), penyakit paru obstruktif kronis (ppok), gangguan refluks lambung, dan kanker paru-paru. Berdasarkan penelitian, 95 % penyebab batuk kronis adalah post nasal drip, sinusitis, asma, penyakit refluks gastroesofageal (gerd), bronchitis kronis karena merokok, bronkiektasis, atau penggunaan obat golongan ACE I, 5 % sisanya dikarenakan kanker paru, sarkoidosis, gagal jantung kanan, dan aspirasi karena disfungsi faring. Jika tidak ada sebab lain, batuk kronis bisa juga dikarenakan faktos psikologis. Faktor Penyebab Batuk menurut Ikawati adalah : Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab dari batuk diantaranya : 1) Rangsangan mekanis, misalnya asap rokok, debu, dan tumor 2) Adanya perubahan suhu yang secara cepat dan mendadak 3) Rangsangan kimiawi, misalnya gas dan bau – bauan 4) Adanya peradangan atau infeksi karena bakteri atau jamur 5) Reaksi alergi Hemoptisis Hemoptisis adalah batuk darah yang berasal dari paru atau saluran bronkus, disebabkan oleh perdarahan dari arteri bronkialis atau pulmonalis. Hemoptisis dikategorikan non-masif atau masif berdasarkan volume darah yang hilang. Hemoptisis termasuk non-masif jika darah yang dibatukkan < 200 ml/hari.6 Adapula pembagian hemoptisis berdasarkan jumlahnya adalah sebagai berikut: ringan: < 100 cc dalam 24 jam; sedang: 100-600 cc dalam 24 jam; masif: > 600 cc dalam 24 jam atau > 30 cc/jam. Walaupun tidak ada definisi pasti mengenai volume darah yang termasuk hemoptisis masif, beberapa penelitian menyebutkan volume darah mulai dari 100 cc hingga ≥ 1000 cc/hari. Oleh karena anatomical dead space dari saluran napas utama adalah 100-200 cc, definisi hemoptisis masif yang lebih relevan adalah volume yang dapat mengancam nyawa akibat obstruksi saluran napas atau kehilangan darah. Pada paru terdapat dua sistem vaskular, yaitu: (1) Arteri pulmonalis, yang memiliki peran 99% dari total suplai darah arteri ke paru dan berfungsi dalam pertukaran gas; (2) Arteri bronkialis, yang bertanggung jawab dalam menyediakan nutrisi untuk struktur pendukung saluran napas, tetapi secara normal tidak nerperan dalam pertukaran gas.

Pada hemoptisis, perdarahan dapat berasal dari sirkulasi arteri sistemik (sistem dengan tekanan tinggi dari arteri bronkialis) dan sirkulasi arteri paru (sistem dengan tekanan rendah dan berasal dari arteri pulmonalis). Secara histologis, kedua sistem dihubungkan oleh anastomosis antara kapiler sistemik dan pulmonalis. Kondisikondisi yang menyebabkan penurunan sirkulasi arteri pulmonalis dan iskemia (contoh: tromboemboli kronis), sirkulasi bronkialis memberikan respons dengan proliferasi dan hipertrofi vaskular fokal lewat saluran anastomosis untuk menggantikan sirkulasi arteri pulmonalis. Penyakit neoplasma dan inflamasi kronis (bronkiektasis, infeksi kronis seperti TB) akan merangsang neovaskularisasi dan meningkatkan sirkulasi sistemik yang dimediasi oleh angiogenic growth factors. Pembuluh darah sistemik yang baru dan hipertrofi ini biasanya sangat rapuh dan terpapar oleh tekanan sistemik, sehingga cenderung ruptur pada bagian distalnya ke dalam lumen bronkus atau alveoli dan menyebabkan hemoptisis Pada sebagian besar kasus (90%), hemoptisis, terutama hemoptisis masif, berasal dari sirkulasi arteri sistemik. Pada 10% kasus, hemoptisis disebabkan oleh sistem arteri pulmonalis. Hemoptisis rekurens dan hemoptisis masif seringkali terjadi pada kelainan paru kronis, seperti tuberkulosis, bronkiektasis dan abses paru. Pada tuberkulosis, hemoptisis dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain; (a) Kelainan paru aktif dengan atau tanpa kavitas dapat menyebabkan perdarahan baik dengan jumlah sedikit atau banyak. Pada sebagian besar penderita ini ditemukan bakteri tahan asam (BTA) pada sputumnya; (b) Kelainan TB aktif dapat menyebabkan ruptur spontan dari aneurisma rasmussen. Aneurisma rasmussen adalah suatu komplikasi TB paru yang merupakan suatu aneurisma arteri pulmonalis di sekitar atau dalam kavitas TB. Terbentuknya aneurisma rasmussen disebabkan oleh kelemahan progresif dinding arteri pulmonalis pada kavitas TB yang terjadi seiring pergantian lapisan media dan adventitia dinding vaskular oleh jaringan granulasi. Lapisan tersebut secara perlahan akan digantikan oleh fibrin. Hal ini menyebabkan penipisan dinding arteri, pembentukan pseudoaneurisma, dan perdarahan akibat ruptur. Aneurisma juga dapat berasal dari arteri bronkialis; (c) TB yang tidak aktif dapat menyebabkan perdarahan akibat bronkiektasis residual, erosi bronkolit lewat pembuluh darah dan ke saluran napas, atau dengan meninggalkan kavitas yang selanjutnya menjadi tempat terjadinya mycetoma. Ruptur aneurisma juga merupakan penyebab hemoptisis pada TB yang tidak aktif; (d) Erosi pembuluh darah akibat lesi yang mengalami kalsifikasi; (e) Scar carcinoma (hal jarang) yang terbentuk di area pneumonitis TB lama. Selain aneurisma Rasmussen, sumber perdarahan dari setiap penyebab hemoptisis di atas biasanya disebabkan oleh sirkulasi arteri bronkialis. Berbagai pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dalam menegakkan diagnosis penyebab hemoptisis, yaitu; (1) Foto toraks. Foto toraks dapat mengidentifikasi lokasi perdarahan pada 46-82% kasus. Berbagai kelainan foto toraks juga dapat menunjukkan diagnosis spesifik. Gambaran radiologi pada TB aktif adalah bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen

superior lobus bawah, kavitas (terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular), bayangan bercak milier, dan efusi pleura uniateral (umumnya) atau bilateral (jarang). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi tidak aktif antara lain fibrosis, kalsifikasi, dan schwarte atau penebalan pleura. Pada TB juga dapat ditemukan gambaran destroyed lung, yaitu gambaran yang menunjukkan kerusakan jaringan paru berat, dapat terdiri dari atelektasis, ektasis/multikavitas, dan fibrosis; (2) Fiberoptic bronchoscopy (FOB). FOB dapat membantu visualisasi perdarahan dan mengkonfirmasi diagnosis hemoptisis, serta mencari lokasi sumber perdarahan. Nilai operasional FOB dalam mengidentifikasi sumber perdarahan adalah 34–93% ketika dilakukan pada awal hemoptisis, dan menurun hingga 11–50% jika dilakukan terlambat. Nilai operasional juga menurun pada hemoptisis masif. FOB juga dapat membantu identifikasi penyebab perdarahan, mengambil spesimen mikrobiologi, dan biopsi jaringan. FOB dan CT-scan dapat menjadi prosedur yang saling melengkapi; (3) Multidetectory row computed tomography (MDCT) angiography. Saat ini MDCT angiography memegang peranan penting dalam penatalaksanaan hemoptisis. MDCT angiography dapat menentukan lokasi perdarahan pada 70-80% kasus, mendiagnosis penyebab hemoptisis dengan sensitivitas yang tinggi, dan memberikan gambaran detil dari struktur vaskular toraks (sistem arteri pulmonalis dan arteri bronkialis) serta mekanisme yang memungkinkan menjadi penyebab hemoptisis. MDCT angiography memberikan evaluasi yang detil dari mediastinum dan parenkim paru. Struktur vaskular toraks tersebut akan sangat bermanfaat dalam merencanakan embolisasi atau operasi. Arteri bronkialis berasal dari descending thoracic aorta pada ketinggian corpus vertebra T5-T6. Pada MDCT angiography, arteri bronkialis terlihat di mediastinum posterior sebagai titik atau garis (hampir tidak terlihat jika tidak hipertrofi. Pola percabangan arteri bronkialis sangat bervariasi. Diameter arteri bronkialis > 2 mm dianggap sebagai keadaan patologis dan merupakan indikasi untuk dilakukan embolisasi. Walaupun begitu, tidak terdapat korelasi yang signifikan antara ukuran arteri dan risiko perdarahan. Selain arteri bronkialis, sistem arteri pulmonalis juga perlu dievaluasi. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi aneurisma atau pseudoaneurisma, yang terlihat pada MDCT angiography sebagai dilatasi sakular atau fusiform terisi kontras dari arteri pulmonalis. Pendekatan pada penatalaksanaan hemoptisis masif dimulai dari resusitasi dan proteksi jalan napas. Langkah kedua adalah melokalisasi sumber dan penyebab perdarahan. Langkah terakhir adalah terapi definitif dan spesifik untuk mencegah perdarahan berulang.Pada tahap awal, perlu dilakukan edukasi pada penderita untuk tetap tenang dan jangan takut membatukkan darahnya. Patensi jalan napas hari dipertahankan. Resusitasi cairan/darah dilakukan bila hemdinamika tidak stabil. Bila perlu dapat diberikan obat hemostatik (asam traneksamat, karbazokrom, vitamin K), penekan refleks batuk (codein) dan obat sedasi. Bila keadaan umum dan refleks penderita baik, maka penderita dapat diminta untuk duduk lalu pimpin untuk batuk. Beri tahu penderita untuk tidak takut batuk. Bila keadaan umum lemah/sakit berat dan refleks batuk tidak adekuat, maka penderita diminta untuk berada dalam posisi trendelenberg dan miring ke sisi yang sakit. Jika

perlu pasang ETT. Bila gagal napas, maka lakukan pemasangan ventilasi mekanik. FOB memiliki peran penting pada hemoptisis, yaitu untuk mengontrol perdarahan serta melakukan suction darah dan membersihkan bekuan darah yang mengobstruksi saluran napas. Bekuan darah yang terlokalisasi seharusnya tidak diambil karena justru dapat meyebabkan hemoptisis yang banyak dan mengancam. Beberapa teknik yang dapat dilakukan pada saat FOB antara lain lavage dengan NaCl dingin sebanyak 500 cc. Jika perdarahan masih tidak terkontrol, vasokonstriktor topikal seperti adrenalin (1:20.000) dan tamponade mekanis (fogarty cathether) dapat digunakan. Rigid bronchoscopy mampu memfasilitasi suction lebih efisien untuk mempertahankan jalan napas, tetapi akibat ketidakmampuannya dalam mengidentifikasi lesi perifer, teknik ini mulai tidak dipakai. Fotokoagulasi laser (Nd-YAG) pada lesi endobronkial juga dapat dilakukan untuk menghentikan perdarahan. Bronchial artery embolization (BAE) merupakan prosedur non-bedah dalam terapi hemoptisis. BAE dapat bersifat life-saving, menunda atau menggantikan tindakan bedah, dan pada beberapa kasus menjadi pilihan terapi. Indikasi BAE antara lain kegagalan terapi konservatif, hemoptisis masif, hemoptisis rekurens, dan risiko tinggi operasi. BAE juga dapat dilakukan untuk mengontrol perdarahan sementara sebelum operasi. Dahulu, operasi adalah terapi definitif, namun intervensi bedah memiliki mortalitas ± 18% bila dilakukan elektif dan meningkat hingga 40% bila dilakukan dalam keadaan darurat. Tindakan konservatif seperti observasi dan obatobatan juga meningkatkan angka mortalitas hingga 50%. BAE saat ini telah dianggap sebagai lini pertama dalam terapi hemoptisis. Sebagian kecil kasus hemoptisis disebabkan oleh sistem arteri pulmonalis. Pada kasus ini, BAE mungkin tidak akan memberikan resolusi klinis yang adekuat dan membutuhkan beberapa intervensi. Tingkat kesuksesan BAE post embolisasi mencapai 73–99%. Walaupun begitu, rekurensi masih dapat terjadi pada 10–55% dalam 46 bulan follow up. Proses yang berperan dalam terjadinya rekurensi adalah rekanalisasi (terutama bila agen yang digunakan bersifat absorable), angiogenesis dan keterlibatan vaskular yang lebih lanjut. TB paru, aspergillus, dan kanker paru merupakan faktor risiko terjadinya hemoptisis rekurens. Reembolisasi dapat dilakukan pada hemoptisis rekurens, namun tindakan bedah tetap menjadi terapi definitif pada kasus hemoptisis yang terus terjadi walau telah dilakukan embolisasi multipel dan terapi obat-obatan maksimal. Komplikasi dari prosedur BAE yaitu nyeri dada (komplikasi tersering, yaitu 24–91%, dan dapat hilang sendidari prosedur BAE yaitu nyeri dada (komplikasi tersering, yaitu 24–91%, dan dapat hilang sendiri), transient dysphagia (18%, dapat hilang sendiri), ransverse myelitis akibat iskemia spinal cord (komplikasi paling serius dari BAE), cortical blindness, nyeri daerah orbital atau temporal ipsilateral, stenosis bronkus, nekrosis, dan bronchoesophageal fistula. Penelitian lain menunjukkan beberpa komplikasi yang juga dapat terjadi akibat BAE, yaitu paraplegia, transient paraplegia, transient Brown-Sequard syndrome, dan stroke. Kontraindikasi dilakukannya BAE sama dengan kontraindikasi angiografi pada umumnya yaitu koagulopati yang tidak terkoreksi, gagal ginjal, dan alergi kontras. Tindakan bedah dapat menjadi pilihan dalam penatalaksanaan hemoptisis, namun hampir 50% dari penderita hemoptisis

tidak dapat dilakukan operasi akibat fungsi jantung paru yang tidak memadai. Selain itu, angka mortalitas akibat operasi, terutama yang bersifat darurat, mencapai 23– 50%. Tindakan bedah seharusnya hanya dikerjakan pada penderita dalam keadaan darurat dimana fasilitas BAE tidak ada, secara teknik tidak mungkin dilakukan BAE (adanya arteri spinal), serta perdarahan aktif persisten setelah BAE. Reseksi paru (segmentektomi, lobektomi, pneumonektomi) dipertimbangkan untuk lesi fokal, terutama yang memiliki kecenderungan untuk mengalami perdarahan berulang (seperti mycetoma). Keuntungan harus dibandingkan dengan risiko komplikasi operasi. Komplikasi post-operasi antara lain perdarahan, empyema, infeksi paru, infeksi luka operasi, gagal napas, dan bronchopleural fistula. Analisis Masalah 1. Bagaimana hubungan usia dan pekerjaan Tn. B terhadap keluhan yang dialaminya? Faktor usia Berdasarkan penelitian yang dilakukan Haryanto dkk. (2004), kasus kematian penderita TB paru hamper tersebar pada semua kelompok usia dan paling banyak pada kelompok usia dan paling banyak pada kelompok usia produkti yaitu usia 20-49 tahun sekitar 58%. Di Indonesia sendiri diperkirakan 75% penderita TB paru adalah usia produktif yaitu usia 15-50 tahun. Penyakit TB paru selalu dikaitkan dengan kemiskinan. Menurut WHO (2003), 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin dan hubungan keduanya bersifat timbal balik, dimana penyakit TB merupakan penyebab kemiskinan dan karena kemiskinan maka manusia menderita TB.10 Keluarga yang mempunyai pendapatan lebih tinggi akan lebih mampu untuk menjaga kebersihan lingkungan rumah tangganya, menyediakan air minum yang baik, membeli makanan yang jumlah dan kualitasnya memadai bagi keluarga mereka, serta mampu membiayai pemeliharaan kesehatan yang mereka perlukan.14 Sedangkan masyarakat dengan sosial ekonomi rendah mengakibatkan kondisi gizi yang buruk, perumahan yang tidak sehat dan rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan. 2. Bagaimana mekanisme hemoptoe? Hemoptisis adalah batuk darah yang berasal dari paru atau saluran bronkus, disebabkan oleh perdarahan dari arteri bronkialis atau pulmonalis. Pada tuberkulosis, hemoptisis dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain; (a) Kelainan paru aktif dengan atau tanpa kavitas dapat menyebabkan perdarahan baik dengan jumlah sedikit atau banyak. Pada sebagian besar penderita ini ditemukan bakteri tahan asam (BTA) pada sputumnya; (b) Kelainan TB aktif dapat menyebabkan ruptur spontan dari aneurisma rasmussen. Aneurisma rasmussen adalah suatu komplikasi TB

paru yang merupakan suatu aneurisma arteri pulmonalis di sekitar atau dalam kavitas TB. Terbentuknya aneurisma rasmussen disebabkan oleh kelemahan progresif dinding arteri pulmonalis pada kavitas TB yang terjadi seiring pergantian lapisan media dan adventitia dinding vaskular oleh jaringan granulasi. Lapisan tersebut secara perlahan akan digantikan oleh fibrin. Hal ini menyebabkan penipisan dinding arteri, pembentukan pseudoaneurisma, dan perdarahan akibat ruptur. Aneurisma juga dapat berasal dari arteri bronkialis; (c) TB yang tidak aktif dapat menyebabkan perdarahan akibat bronkiektasis residual, erosi bronkolit lewat pembuluh darah dan ke saluran napas, atau dengan meninggalkan kavitas yang selanjutnya menjadi tempat terjadinya mycetoma. Ruptur aneurisma juga merupakan penyebab hemoptisis pada TB yang tidak aktif; (d) Erosi pembuluh darah akibat lesi yang mengalami kalsifikasi; (e) Scar carcinoma (hal jarang) yang terbentuk di area pneumonitis TB lama. Selain aneurisma Rasmussen, sumber perdarahan dari setiap penyebab hemoptisis di atas biasanya disebabkan oleh sirkulasi arteri bronkialis. 3. Bagaimana penyebab dan mekanisme dari sesak nafas? Salah satu penyakit yang menimbulkan dampak pada penurunan elastisitas dan compliance paru yaitu penyakit Tuberkulosis Paru. Kondisi tersebut berdampak pada peningkatan kerja otot pernafasan dan penurunan kemampuan ekspirasi maksimum (Guyton dan Hall, 1996). Penurunan elastisitas dan compliance paru dapat pula menyebabkan ventilasi paru yang tidak maksimal dan jika tidak ditangani dengan maksimal dapat menyebabkan kecacatan paru dan bahkan atelektasis yang berujung pada kematian pasien (Mulyono, 1997). Penyakit ini bermula saat individu menghirup basil tuberkulosis dan menjadi terinfeksi. Bakteri menuju ke alveoli dan memperbanyak diri melalui jalan nafas. Sistem imun tubuh merespons dalam bentuk respons inflamasi. Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri. Massa jaringan baru yang disebut granuloma yang merupakan gumpalan jaringan granulasi yang berisi basil yang masih hidup dan yang sudah mati dikelilingi oleh makrofag membentuk dinding protektif. Granuloma diubah menjadi massa jaringan fibrosa. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa seperti keju, massa ini mengalami kalsifikasi, membentuk skar kolagenase (Brunner dan Suddarth, 2002). Pembentukan jaringan ini mengakibatkan berkurangnya luas permukaan membran pernafasan total dan meningkatkan ketebalan membran pernafasan dan seringkali menyebabkan kerusakan jaringan paru yang hebat. 4. Bagaimana penyebab dan mekanisme dari demam? 5. Bagaimana mekanisme lymphadenopathy?

Tuberculous lymphadenitis is a local manifestation of the systemic disease. It may occur during primary tuberculous infection or as a result of reactivation of dormant foci or direct extension from a contiguous focus. Primary infection occurs on initial exposure to tubercle bacilli. Inhaled droplet nuclei are small enough to pass muco-ciliary defences of bronchi and lodge in terminal alveoli of lungs. The bacilli multiply in the lung which is called Ghon focus. The lymphatics drain the bacilli to the hilar lymph nodes. The Ghon focus and related hilar lymphadenopathy form the primary complex. The infection may spread from primary focus to regional lymph nodes. From the regional nodes, organism may continue to spread via the lymphatic system to other nodes or may pass through the nodes to reach blood stream, from where it can spread to virtually all organ of the body. Hilar, mediastinal and paratracheal lymphnodes are the first site of spread of infection from the lung parenchyma. Supraclavicular lymph node involvement may reflect the lymphatic drainage routes for the lung parenchyma. Cervical tuberculous lymphadenitis may represent a spread from the primary focus of infection in the tonsils, adenoids sinonasal or osteomyelitis of the ethmoid bone. In untreated primary tuberculosis of children, enlargement of hilar and paratracheal lymph nodes (or both) become apparent on chest radiographs. In initial stage of superficial lymph node involvement progressive multiplication of the M. tuberculosis occurs, the onset of delayed hypersensitivity is accompanied by marked hyperemia, swelling, necrosis and caseation of the centre of the nodes. This can be followed by inflammation, progressive swelling and matting with other nodes within a group. Adhesion to the adjacent skin may result in induration and purplish discolouration. The centre of the enlarging gland becomes soft and caseous material may rupture into surrounding tissue or through skin with sinus formation. Tuberculous mediastinal lymphadenitis may enlarge and cause compression of major blood vessels, phrenic or recurrent laryngeal nerves or cause compression of major blood vessels, phrenic or recurrent laryngeal nerves or cause erosion of bronchus. Asymptomatic intestinal or hepatic tuberculosis may spread via lymphatic drainage to the mesenteric, hepatic or peripancreatic lymphnodes. As immune deficiency advances HIV infected patients were atypical pulmonary diseases resembling primary or extra-pulmonary or disseminated tuberculosis. The lymphadenitis due to non-tuberculous mycobacteria is transmitted from environment by ingestion, inhalation, inoculation etc. The portal of entry for NTM may be the oral mucosa or gingiva. This is particularly important in children, because deciduous teeth may harbor the NTM that may reach the neck sites around the mandible through the lymphatics.

6. Bagaimana mekanisme abnormalitas pada pemeriksaan laboratorium? Anemia pada TB yang diakibatkan supresi eritropoesis oleh mediator inflamasi merupakan patogenesis tersering dari anemia pada TB.4 Kondisi ini terjadi karena adanya disregulasi sistem imun terkait dengan respon sistemik terhadap kondisi penyakit yang diderita. 13,25 Peningkatan sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-6, IL-1β serta Interferon-γ berpengaruh terhadap penurunan eritroid progenitor.7,13,25 Penurunan eritroid progenitor ini menghambat diferensiasi dan proliferasi eritrosit secara langsung. Anemia yang disebabkan oleh infeksi kronik seperti TB mempunyai karakteristik yaitu terganggunya homeostasis zat besi dengan adanya peningkatan ambilan dan retensi zat besi dalam sel RES. Zat besi merupakan faktor pertumbuhan terpenting untuk Mycobacterium tuberculosis. Retensi besi pada sistem retikuloendotelial merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh. Terganggunya hemostatis zat besi menyebabkan terjadinya pengalihan zat besi dari sirkulasi ke tempat penyimpanan sistem retikuloendotelial dan diikuti terbatasnya persediaan zat besi untuk sel eritroid progenitor. Hal ini menyebabkan terbatasnya proses pembentukan eritrosit Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi kronik. Sebagaimana infeksi pada umumnya pada pasien dengan TB paru terjadi peningkatan bebrbagai protein fase akut. Protein fase akut ini dihasilkan tubuh dalam upaya untuk mencegah infeksi lebih lanjut dari bakteri Mycobacterium tuberculosis. Agregasi eritrosit ditentukan dari golongan elektrostatiknya, dalam keadaan normal eritrosit mempunyai dorongan negatif dan saling menolak. Namun ketika dalam keadaan infeksi dihasilkan protein fase akut yang mempunyai dorongan positif dan menetralisie membrane eritrosit sehingga mengurangi daya tolak dan menyebabka agregasi eritrosit. Kemudian akan membentuk rouleaux sehingga akan meningkatkan laju endap darah. Perubahan konsentrasi kandungan protein plasma seperti fibrinogen dan globulin yang menyertai sebagian besar infeksi akut dan kronis cenderung akan meningkatkan pembentukan rouleaux. Oleh karena itu, peningktan fibrinogen disebabkan oleh kerusakan jaringan seperti tuberculosis dan infeksi kronis lainnya akan menyebabkan peningkatan LED.(Kalma, Bakhri.S, dkk, 2015) Pembentukan rouleaux di mana sel darah merah saling berdekatan seperti tumpukan koin, jika rouleaux banyak terbentuk maka LED meningkat, dimana dalam hal hal ini di pengaruhi oleh temperatur, letak posisi pipet, fibrinogen dan globulin yang meningkat (Depkes RI. 1989).

7. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan radiology?

M. tuberculosis grows within alveolar macrophages and consequently forms a well-established primary lesion in the lungs.It mostly occurs subjacent to the pleura of the upper lobe.Some bacteria arrive at the bronchopulmonary lymph node via lymphatic vessels and form lymphadenopathy, classical Ghon complex. The primary infection begins with inhalation of M. tuberculosis and ends with T cell-mediated immune response that induces hypersensitivity against the organism.The inhaled organism is phagocytized by alveolar macrophages and transported by these cells to hilar lymph nodes.After a few weeks, T cell-mediated immunity develops in two ways.One is formation of epithelioid cell granuloma by CD4+ cells and the other is formation of caseating granuloma by CD8+ cells.75 Thereafter, epithelioid granulomas are encapsulated and progress to central caseous necrosis, eventually resulting in healing. This lymphadenitis is induced by M. tuberculosis and can be seen as a part of the primary complex or secondary (organ) tuberculosis.About 90% of tuberculous lymphadenitis mainly appears in the cervical lymph node and others are in the mediastinal node.Sometimes it is difficult to distinguish among tuberculous lymphadenitis, malignant lymphoma and metastatic tumors.

Related Documents

Li
August 2019 58
Vat Li
June 2020 24
Li Hongzhang
May 2020 19
Li Pairman
October 2019 42
Li Nisa.docx
May 2020 18
16_lu Li
November 2019 33

More Documents from ""

Skenario B Blok 14.docx
November 2019 23
Fix Skenario B.docx
November 2019 22
Li Ari.docx
November 2019 32
55 Trends
December 2019 36