Li Anmal Fernando Skenario B Blok 20.docx

  • Uploaded by: ayukartika
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Li Anmal Fernando Skenario B Blok 20.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,328
  • Pages: 18
SKENARIO B BLOK 20 Ny. A ,seorang wanita berusia 67 tahun, datang ke IGD RSMH dengan keluhan nyeri di pangkal paha kanan sejak 2 jam yang lalu,akibat terjatuh di rumahnya ketika sedang berjalan. Pasien mengeluh nyeri hebat di pangkal pahanya terutama ketika di gerakkan. Pasien menjadi tidak dapat berdiri dan berjalan karena nyeri. Sejak 3 tahun yang lalu,pasien sering mengeluhkan rasa ngilu dan nyeri di tulang-tulangnya, terutama daerah tulang belakang. Nyeri dan ngilu dirasakan tidak bertambah hebat dan pasien masih dapat beraktivitas seperti biasa. Pemeriksaan fisik, ditemukan status generalis dalam batas normal. Didapatkan deformitas pada region femur dextra yaitu fleksi dan eksternal rotasi sendi panggul dextra. Femur dextra lebih pendek dibandingkan sinistra dengan Limb Length Discrepancy 3cm. Neurovaskular distal dalam batas normal. Range of motion hip joint distal terbatas karena nyeri. Range of motion knee joint dextra dalam batas normal. Dari pemeriksaan radiologi, didapatkan adanya fraktur collum dextra. Dokter IGD melakukan imobilsasi dengan skin traction menggunakan beban 5kg dan pemberian analgetik . Selanjutnya pasien akan dilakukan Partial Hip Replacement. I.

ANALISIS MASALAH

1. Ny. A , seorang wanita berusia 67 tahun, datang ke IGD RSMH dengan keluhan nyeri di pangkal paha kanan sejak 2 jam yang lalu,akibat terjatuh di rumahnya ketika sedang berjalan. Pasien mengeluh nyeri hebat di pangkal pahanya terutama ketika di gerakkan. Pasien menjadi tidak dapat berdiri dan berjalan karena nyeri.

a. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan yang di alami ? (8,10)

b. Bagaimana hubungan nyeri di pangkal paha dan tidak dapat berjalan dengan trauma? (7,9)

c. Bagaimana mekanisme terjadinya fraktur fisiologis dengan fraktur patologis ? (pada kasus ini masuk kemana ?) (1,10)

d. Bagaimana tatalaksana awal pada kasus ini ? (3,4)

e. Bagaimana mekanisme nyeri pada saat di gerakkan ? (9,8)

f. Bagaimana prognosis pada kasus ini ? (12,11) Ad vitam : bonam ad funcionam : dubia ad malam

2. Sejak 3 tahun yang lalu,pasien sering mengeluhkan rasa ngilu dan nyeri di tulangtulangnya, terutama daerah tulang belakang. Nyeri dan ngilu dirasakan tidak bertambah hebat dan pasien masih dapat beraktivitas seperti biasa.

a. Bagaimana hubungan keluhan tiga tahun lalu dengan keluhan sekarang ? (3,7) b. Apa makna klinis dari nyeri dan ngilu terutama di rasakan di tulang belakang?- (4,6,9) c. Bagaimana mekanisme nyeri dan ngilu terutama di rasakan di tulang belakang?  (,5,13) d. Apa makna klinis nyeri dan ngilu tidak bertambah hebat ?  (6,13)

3. Pemeriksaan fisik, ditemukan status generalis dalam batas normal. Didapatkan deformitas pada region femur dextra yaitu fleksi dan eksternal rotasi sendi panggul dextra. Femur dextra lebih pendek dibandingkan sinistra dengan Limb Length Discrepancy 3cm. Neurovaskular distal dalam batas normal. Range of motion hip joint distal terbatas karena nyeri. Range of motion knee joint dextra dalam batas normal. Dari pemeriksaan radiologi, didapatkan adanya fraktur collum dextra.

a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik ? (2,11)

b. Bagaimana mekanisme abnormalitas dari hasil pemeriksaan fisik ? (deformitas region femur dextra, femur dextra lebih pendek, Range of motion knee joint) (3,11) c. Bagaimana cara pemeriksaan fisik pada kasus ? (13,5) d. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan radiologi ? (2,12) e. Apa saja otot yang menggerakkan femur untuk gerakan fleksi dan eksternal rotasi ? (1,5) f. Apa pemeriksaan tambahan yang perlu di lakukan ? (2,8,3)

4. Dokter IGD melakukan imobilsasi dengan skin traction menggunakan beban 5kg dan pemberian analgetik. Selanjutnya pasien akan dilakukan Partial Hip Replacement. a. Apa saja indikasi untuk dilakukan skin traction ? 10,8 b. Bagaimana cara melakukan skin traction ? 1,5 c. Apa indikasi dilakukan Partial Hip Replacement ?7,4 d. Bagaimana cara melakukan Partial Hip Replacement ? 6,12

Definisi Osteoporosis adalah kondisi berkurangnya massa tulang dan gangguan struktur tulang (perubahan mikroarsitektur jaringan tulang) sehingga menyebabkan tulang menjadi mudah patah. Secara tidak langsung massa tulang yang dimiliki sedikit lebih rendah dari orang normal. Sehingga untuk terjadinya patah tulang akan lebih rendah dibandingkan dengan osteoporosis. Dari kejadian osteopenia ini lama kelamaan akan menjadi osteoporosis. Osteoporosis sering disebut juga dengan ”silent disease”, karena penyakit ini datang secara tibatiba, tidak memiliki gejala yang jelas dan tidak terdeteksi hingga orang tersebut mengalami patah tulang.(Nuhonni, 2000) Akan tetapi, menurut yatim (2003), biasanya seseorang yang mengalami osteoporosis akan merasa sakit/pegal-pegal di bagian punggung atau daerah tulang tersebut.Dalam beberapa hari/minggu, rasa sakit tersebut dapat hilang dengan sendiri dan tidak akan bertambah sakit dan menyebar jika mendapatkan beban yang berat. Biasanya postur tubuh penderita osteoporosis akan terlihat membungkuk dan terasa nyeri pada tulang yang mengalami kelainan tersebut (ruas tulang belakang). Penyebab Osteoporosis Beberapa penyebab osteoporosis, yaitu:  Osteoporosis pascamenopause terjadi karena kurangnya hormon estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium kedalam tulang. Biasanya gejala timbul pada perempuan yang berusia antara 51-75 tahun, tetapi dapat muncul lebih cepat atau lebih lambat. Hormon estrogen produksinya mulai menurun 2-3 tahun sebelum menopause dan terus berlangsung 3-4 tahun setelah menopause. Hal ini berakibat menurunnya massa tulang sebanyak 1-3% dalam waktu 5-7 tahun pertama setelah menopause.  Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan antara kecepatan hancurnya tulang (osteoklas) dan pembentukan tulang baru (osteoblas). Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang-orang berusia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita sering kali menderita osteoporosis senilis dan pasca menopause.  Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder yang disebabkan oleh keadaan medis lain atau obat-obatan. Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) serta obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, antikejang, dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok dapat memperburuk keadaan ini.  Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal, dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang. Gejala Osteoporosis

Pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala, bahkan sampai puluhan tahun tanpa keluhan. Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, akan timbul nyeri dan perubahan bentuk tulang. Jadi, seseorang dengan osteoporosis biasanya akan memberikan keluhan atau gejalasebagai berikut:    

Tinggi badan berkurang Bungkuk atau bentuk tubuh berubah Patah tulang Nyeri bila ada patah tulang

Faktor Resiko















Terbagi menjadi non-modifiable dan modifiable. Non- modifiable, yaitu: Jenis kelamin Kaum wanita mempunyai faktor risiko terkena osteoporosis lebih besar dibandingkan kaum pria. Hal ini disebabkan pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun. Usia Semakin tua usia, risiko terkena osteoporosis semakin besar karena secara alamiah tulang semakin rapuh sejalan dengan bertambahnya usia. Osteoporosis pada usia lanjut terjadi karena berkurangnya massa tulang yang juga disebabkan menurunnya kemampuan tubuh untuk menyerap kalsium. Ras Semakin terang kulit seseorang, semakin tinggi risiko terkena osteoporosis. Karena itu, ras Eropa Utara (Swedia, Norwegia, Denmark) dan Asia berisiko lebih tinggi terkena osteoporosis dibanding ras Afrika hitam. Ras Afrika memiliki massa tulang lebih padat dibanding ras kulit putih Amerika. Mereka juga mempunyai otot yang lebih besar sehingga tekanan pada tulang pun besar. Ditambah dengan kadar hormon estrogen yang lebih tinggi pada ras Afrika. Pigmentasi dan tempat tinggal Mereka yang berkulit gelap dan tinggal di wilayah khatulistiwa, mempunyai risiko terkena osteoporosis yang lebih rendah dibandingkan dengan ras kulit putih yang tinggal di wilayah kutub seperti Norwegia dan Swedia. Riwayat keluarga Jika ada nenek atau ibu yang mengalami osteoporosis atau mempunyai massa tulang yang rendah, maka keturunannya cenderung berisiko tinggi terkena osteoporosis. Sosok tubuh Semakin mungil seseorang, semakin berisiko tinggi terkena osteoporosis. Demikian juga seseorang yang memiliki tubuh kurus lebih berisiko terkena osteoporosis dibanding yang bertubuh besar. Menopause

Wanita pada masa menopause kehilangan hormon estrogen karena tubuh tidak lagi memproduksinya. Padahal hormon estrogen dibutuhkan untuk pembentukan tulang dan mempertahankan massa tulang. Semakin rendahnya hormon estrogen seiring dengan bertambahnya usia, akan semakin berkurang kepadatan tulang sehingga terjadi pengeroposan tulang, dan tulang mudah patah. Menopause dini bisa terjadi jika pengangkatan ovarium terpaksa dilakukan disebabkan adanya penyakit kandungan seperti kanker, mioma dan lainnya. Menopause dini juga berakibat meningkatnya risiko terkena osteoporosis.

Modifiable, yaitu: Faktor-faktor ini biasanya berhubungan dengan kebiasaan dan pola hidup. 











Aktivitas fisik Seseorang yang kurang gerak, kurang beraktivitas, otot-ototnya tidak terlatih dan menjadi kendor. Otot yang kendor akan mempercepat menurunnya kekuatan tulang. Untuk menghindarinya, dianjurkan melakukan olahraga teratur minimal tiga kali dalam seminggu (lebih baik dengan beban untuk membentuk dan memperkuat tulang). Kurang kalsium Kalsium penting bagi pembentukan tulang, jika kalsium tubuh kurang maka tubuh akan mengeluarkan hormon yang akan mengambil kalsium dari bagian tubuh lain, termasuk yang ada di tulang. Kebutuhan akan kalsium harus disertai dengan asupan vitamin D yang didapat dari sinar matahari pagi, tanpa vitamin D kalsium tidak mungkin diserap usus (Suryati, 2006). Merokok Para perokok berisiko terkena osteoporosis lebih besar dibanding bukan perokok. Telah diketahui bahwa wanita perokok mempunyai kadar estrogen lebih rendah dan mengalami masa menopause 5 tahun lebih cepat dibanding wanita bukan perokok. Nikotin yang terkandung dalam rokok berpengaruh buruk pada tubuh dalam hal penyerapan dan penggunaan kalsium. Akibatnya, pengeroposan tulang/osteoporosis terjadi lebih cepat. Minuman keras/beralkohol Alkohol berlebihan dapat menyebabkan luka-luka kecil pada dinding lambung. Dan ini menyebabkan perdarahan yang membuat tubuh kehilangan kalsium (yang ada dalam darah) yang dapat menurunkan massa tulang dan pada gilirannya menyebabkan osteoporosis. Minuman soda Minuman bersoda (softdrink) mengandung fosfor dan kafein (caffein). Fosfor akan mengikat kalsium dan membawa kalsium keluar dari tulang, sedangkan kafein meningkatkan pembuangan kalsium lewat urin. Untuk menghindari bahaya osteoporosis, sebaiknya konsumsi soft drink harus dibarengi dengan minum susu atau mengonsumsi kalsium ekstra (Tandra, 2009) Stres Kondisi stres akan meningkatkan produksi hormon stres yaitu kortisol yang diproduksi oleh kelenjar adrenal. Kadar hormon kortisol yang tinggi akan meningkatkan pelepasan kalsium kedalam peredaran darah dan akan menyebabkan tulang menjadi rapuh dan keropos sehingga meningkatkan terjadinya osteoporosis.



Bahan kimia Bahan kimia seperti pestisida yang dapat ditemukan dalam bahan makanan (sayuran dan buah-buahan), asap bahan bakar kendaraan bermotor, dan limbah industri seperti organoklorida yang dibuang sembarangan di sungai dan tanah, dapat merusak sel-sel tubuh termasuk tulang. Ini membuat daya tahan tubuh menurun dan membuat pengeroposan tulang

Jenis Osteoporosis Primer Sekitar 65-80% wanita dan 45-60% pria dengan osteoporosis menderita osteoporosis primer. Pada wanita dengan fraktur kompresi karena osteoporosis primer didapat massa tulang kortikal dan trabecular yang kurang. Jumlah trabekula yang kurang dan pertanda biokimiawi serta histologic merupakan bukti terjadinya resorpsi tulang yang meningkat dibandingkan control pada umur yang sama. Hormone estrone (Estrone, also spelled oestrone, is a steroid, a weak estrogen, and a minor female sex hormone) dan androstendion berkurang secara bermakna pada wanita dengan osteoporosis, dan hal ini merupakan sebagian sebab didapatkannya resorpsi tulang yang bertambah banuak dan pengurangan massa tulang. Absobsi kalsium pada wanita dengan kondisi ini menjadi lebih rendah. Osteoporosis primer dibagi lagi menjadi: Osteoporosis tipe 1, disebut juga postemenoposal osteoporosis. Osteoporosis tipe ini bisa terjadi pada dewasa muda dan usia tua, baik laki-laki maupun perempuan. Pada perempuan usia antara 51-75 tahun beresiko 6 kali lebih banyak daripada laki-laki dengan kelompok umur yang sama. Tipe osteoporosis ini berkaitan dengan perubahan hormone setelah menopause dan banyak dikaitkan dengan patah tulang pada ujung tulang pengumpil lengan bawah. Pada osteoporosis jenis ini terjadi penipisan bagian keras tulang yang paling luar (kortek) dan perluasan rongga. Osteoporosis tipe 2, disebut juga senile osteoporosis (involutuonal osteoporosis). Tipe 2 ini banyak ditemui pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih banyak pada wanita dibanding lakilaki pada umur yang sama. Kelainan pertulangan terjadi pada bagian kortek maupun di bagian trabekula. Tipe ini sering dikaitkan dengan patah tulang kering dekat sendi lutut, tulang lengan atas dekat sendi bahu, dan patah tulang paha dekat sendi panggul. Osteoporosis jenis ini terjadi karena gangguan pemanfaatan vitamin D oleh tubuh, misalnya karena keadaan kebal terhadap Vit D (Vit D resisten) atau kekurangan dalam pembentukan Vit D (Vit D synthesa) dan bisa juga disebabkan karena kurangnya sel-sel perangsang pembentuk Vit D (Vit D receptor) Osteoporosis Sekunder Osteoporosis sekunder lebih jarang ditemukan, hanya 5% dari seluruh osteoporosis. Osteoporosis sekunder terfapat pada 20-35% wanita dan 40-55% pria, dengan gejalanya berupa fraktur pada vertebra dua atau lebih. Diantara kelainan ini yang paling sering terjadi adalah pada pengobatan dengan steroid, myeloma, metastasis ke tulang, operasi pada lambung, terapi konvulsan, dan hipogonadisme pada pria. Osteoporosis sekunder ini disebabkan oleh faktor di luar tulang diantaranya karena gangguan hormone seperti hormone tiroid, dan paratiroid, insulin pada penderita diabetes mellitus dan glucocorticoid. Karena zat kimia dan obat-obatan seperti nikotin, rokok, obat tidur, kortikosteroid, alcohol. Penyebab lain seperti istirahat total dalam waktu lama, penyakit gagal ginjal, penyakit hati, gangguan penyerapan usus, penyakit kanker, dan keganasan lain, sarcoidosis, penyakit sumbatan saluran paruyang menahun, berkurangnya daya Tarik bumi dalam waktu lama seperti pada awak pesawat ruang angkasa yang berada di luar angkasa sampai berbulan-bulan.

Patogenesis

Didalam kehidupan, tulang akan selalu mengalami proses perbaharuan. Tulang memiliki 2 sel, yaitu osteoklas (bekerja untuk menyerap dan menghancurkan/merusak tulang) dan osteoblas (sel yang bekerja untuk membentuk tulang). (Compston, 2002) Tulang yang sudah tua dan pernah mengalami keretakan, akan dibentuk kembali. Tulang yang sudah rusak tersebut akan diidentifikasi oleh sel osteosit (sel osteoblas menyatu dengan matriks tulang). (Cosman, 2009) Kemudian terjadi penyerapan kembali yang dilakukan oleh sel osteoklas dan nantinya akan menghancurkan kolagen dan mengeluarkan asam. (Tandra, 2009) Dengan demikian, tulang yang sudah diserap osteoklas akan dibentuk bagian tulang yang

baru yang dilakukan oleh osteoblas yang berasal dari sel prekursor di sumsum tulang belakang setelah sel osteoklas hilang. (Cosman, 2009) Proses remodelling tulang tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Menurut Ganong, ternyata endokrin mengendalikan proses remodeling tersebut. Dan hormon yang mempengaruhi yaitu hormon paratiroid (resorpsi tulang menjadi lebih cepat) dan estrogen (resorpsi tulang akan menjadi lama). Sedangkan pada osteoporosis, terjadi gangguan pada osteoklas, sehingga timbul ketidakseimbangan antara kerja osteoklas dengan osteoblas. Aktivitas sel osteoclas lebih besar daripada osteoblas. Dan secara menyeluruh massa tulang pun akan menurun, yang akhirnya terjadilah pengeroposan tulang pada penderita osteoporosis. (Ganong, 2008) Gambar 10. menunjukan perbedaan tulang yang normal dan tulang yang sudah mengalami pengeroposan. Pencegahan Pencegahan penyakit osteoporosis sebaiknya dilakukan pada usia muda maupun masa reproduksi. Berikut ini hal-hal yang dapat mencegah osteoporosis, yaitu: 

Asupan kalsium cukup

Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan tulang dapat dilakukan dengan mengkonsumsi kalsium yang cukup. Minum 2 gelas susu dan vitamin D setiap hari, bisa meningkatkan kepadatan tulang pada wanita setengah baya yang sebelumya tidak mendapatkan cukup kalsium. Sebaiknya konsumsi kalsium setiap hari. Dosis yang dianjurkan untuk usia produktif adalah 1000 mg kalsium per hari, sedangkan untuk lansia 1200 mg per hari. Kebutuhan kalsium dapat terpenuhi dari makanan sehari-hari yang kaya kalsium seperti ikan teri, brokoli, tempe, tahu, keju dan kacang-kacangan.





Paparan sinar matahari Sinar matahari terutama UVB membantu tubuh menghasilkan vitamin D yang dibutuhkan oleh tubuh dalam pembentukan massa tulang. Berjemurlah dibawah sinar matahari selama 20-30 menit, 3x/minggu. Sebaiknya berjemur dilakukan pada pagi hari sebelum jam 9 dan sore hari sesudah jam 4. Sinar matahari membantu tubuh menghasilkan vitamin D yang dibutuhkan oleh tubuh dalam pembentukan massa tulang (Ernawati, 2008). Melakukan olahraga dengan beban Selain olahraga menggunakan alat beban, berat badan sendiri juga dapat berfungsi sebagai beban yang dapat meningkatkan kepadatan tulang. Olahraga beban misalnya senam aerobik, berjalan dan menaiki tangga. Olahraga yang teratur merupakan upaya pencegahan yang penting. Tinggalkan gaya hidup santai, mulailah berolahraga beban yang ringan, kemudian tingkatkan intensitasnya. Yang penting adalah melakukannya

dengan teratur dan benar. Latihan fisik atau olahraga untuk penderita osteoporosis berbeda dengan olahraga untuk mencegah osteoporosis. Latihan yang tidak boleh dilakukan oleh penderita osteoporosis adalah sebagai berikut:  Latihan atau aktivitas fisik yang berisiko terjadi benturan dan pembebanan pada tulang punggung. Hal ini akan menambah risiko patah tulang punggung karena ruas tulang punggung yang lemah tidak mampu menahan beban tersebut. Hindari latihan berupa lompatan, senam aerobik dan joging.  Latihan atau aktivitas fisik yang mengharuskan membungkuk kedepn dengan punggung melengkung. Hal ini berbahaya karena dapat mengakibatkan cedera ruas tulang belakang. Juga tidak boleh melakukan sit up, meraih jari kaki, dan lain-lain.  Latihan atau aktivitas fisik yang mengharuskan menggerakkan kaki kesamping atau menyilangkan dengan badan, juga meningkatkan risiko patah tulang, karena tulang panggul dalam kondisi lemah. Berikut ini latihan olahraga yang boleh dilakukan oleh penderita osteoporosis:  Jalan kaki secara teratur, karena memungkinkan sekitar 4,5 km/jam selama 50 menit, lima kali dalam seminggu. Ini diperlukan untuk mempertahankan kekuatan tulang. Jalan kaki lebih cepat (6 km/jam) akan bermanfaat untuk jantung dan paru-paru.  Latihan beban untuk kekuatan otot, yaitu dengan mengangkat ”dumbble” kecil untuk menguatkan pinggul, paha, punggung, lengan dan bahu.  Latihan untuk meningkatkan keseimbangan dan kesigapan.  Latihan untuk melengkungkan punggung ke belakang, dapat dilakukan dengan duduk dikursi, dengan atau tanpa penahan. Hal ini dapat menguatkan otot-otot yang menahan punggung agar tetap tegak, mengurangi kemungkinan bengkok, sekaligus memperkuat punggung.

Untuk pencegahan osteoporosis, latihan fisik yang dianjurkan adalah latihan fisik yang bersifat pembebanan, terutama pada daerah yang mempunyai risiko tinggi terjadi osteoporosis dan patah tulang. Jangan lakukan senam segera sesudah makan. Beri waktu kira-kira 1 jam perut kosong sebelum mulai dan sesudah senam. Dianjurkan untuk berlatih senam tiga kali seminggu, minimal 20 menit dan maksimal 60 menit. Sebaiknya senam dikombinasikan dengan olahraga jalan secara bergantian, misalnya hari pertama senam, hari kedua jalan kaki, hari ketiga senam, hari keempat jalan kaki, hari kelima senam, hari keenam dan hari ketujuh istirahat. Jalan kaki merupakan olahraga yang paling mudah, murah dan aman, serta sangat bermanfaat. Gerakannya sangat mudah dilakukan, melangkahkan salah satu kaki kedepan kaki yang lain secara bergantian. Lakukanlah jalan kaki 20-30 menit, paling sedikit tiga kali seminggu.dianjurkan berjalan lebih cepat dari biasa, disertai ayunan lengan.

Setiap latihan fisik harus diawali dengan pemanasan untuk:  Meningkatkan denyut nadi, pernapasan, dan suhu tubuh sedikit demi sedikit.  Menyelaraskan koordinasi gerakan tubuh dengan keseimbangan gerak dan menimbulkan rasa santai  Menyiapkan otot dan urat agar meregang secara perlahan dan mantap sehingg mencegah terjadinya cedera. 



Hindari rokok dan minuman beralkohol Menghentikan kebiasaan merokok merupakan upaya penting dalam mengurangi faktor risiko terjadinya osteoporosis. Terlalu banyak minum alkohol juga bisa merusak tulang. Deteksi dini osteoporosis Karena osteoporosis merupakan suatu penyakit yang biasanya tidak diawali dengan gejala, maka langkah yang paling penting dalam mencegah dan mengobati osteoporosis adalah pemeriksaan secara dini untuk mengetahui apakah kita sudah terkena osteoporosis atau belum, sehingga dari pemeriksaan ini kita akan tahu langkah selanjutnya. Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengukur kepadatan mineral tulang adalah sebagai berikut (Nissl, 2004) :  Dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA), menggunakan dua sinar-X berbeda, dapat digunakan untuk mengukur kepadatan tulang belakang dan pangkal paha. Sejumlah sinarX dipancarkan pada bagian tulang dan jaringan lunak yang dibandingkan dengan bagian yang lain. Tulang yang mempunyai kepadatan tulang tertinggi hanya mengizinkan sedikit sinar-X yang melewatinya. DEXA merupakan metode yang paling akurat untuk mengukur kepadatan mineral tulang. DEXA dapat mengukur sampai 2% mineral tulang yang hilang tiap tahun. Penggunaan alat ini sangat cepat dan hanya menggunakan radiasi dengan dosis yang rendah tetapi lebih mahal dibandingan dengan metode ultrasounds.  Peripheral dual-energy X-ray absorptiometry (P-DEXA), merupakan hasil modifikasi dari DEXA. Alat ini mengukur kepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan tangan, tetapi tidak dapat mengukur kepadatan tulang yang berisiko patah tulang seperti tulang belakang atau pangkal paha. Jika kepadatan tulang belakang dan pangkal paha sudah diukur maka pengukuran dengan P-DEXA tidak diperlukan. Mesin P-DEXA mudah dibawa, menggunakan radiasi sinar-X dengan dosis yang sangat kecil, dan hasilnya lebih cepat dan konvensional dibandingkan DEXA.  Dual photon absorptiometry (DPA), menggunakan zat radioaktif untuk menghasilkan radiasi. Dapat mengukur kepadatan mineral tulang belakang dan pangkal paha, juga menggunakan radiasi sinar dengan dosis yang sangat rendah tetapi memerlukan waktu yang cukup lama.  Ultrasounds, pada umumnya digunakan untuk tes pendahuluan. Jika hasilnya mengindikasikan kepadatan mineral tulang rendah maka dianjurkan untuk tes menggunakan DEXA. Ultrasounds menggunakan gelombang suara untuk mengukur kepadatan mineral tulang, biasanya pada telapak kaki. Sebagian mesin melewatkan gelombang suara melalui udara dan sebagian lagi melalui air. Ultrasounds dalam penggunaannya cepat, mudah dan tidak menggunakan radiasi seperti sinar-X. Salah satu

kelemahan Ultrasounds tidak dapat menunjukkan kepadatan mineral tulang yang berisiko patah tulang karena osteoporosis. Penggunaan Ultrasounds juga lebih terbatas dibandingkan DEXA.  Quantitative computed tomography (QTC), adalah suatu model dari CT-scan yang dapat mengukur kepadatan tulang belakang. Salah satu model dari QTC disebut peripheral QCT (pQCT) yang dapat mengukur kepadatan tulang anggota badan seperti pergelangan tangan. Pada umumnya pengukuran dengan QCT jarang dianjurkan karena sangat mahal, menggunakan radiasi dengan dosis tinggi, dan kurang akurat dibandingkan dengan DEXA, PDEXA,atau DPA (Kosnayani,2007). According to public health, there are three steps to prevention: primary, secondary, and tertiary. Primary prevention is the first level of defense and is all about preventing the disease from actually occurring. Primary preventions are actions to prevent the any presence of a disease and comes in the form of reducing risks that cause a disease or educating on how to prevent a disease. Secondary prevention starts when a disease is present in the body, but shows no signs or symptoms. Secondary prevention catches the early onset of a disease, usually through screening and tackles it before it gets worse. Tertiary prevention is geared towards treating or managing a disease and helping people find ways to live with it and prevent it from causing further damage or even death. (americanbonehealth.org)

Tatalaksana

Kompetensi Dokter Umum 3A. Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

Partial Hip Replacement

A partial hip replacement (hemiarthroplasty) is the replacement of only the patient’s femoral head. The new prosthetic femoral head (metal ball) then rotates inside the natural body socket. However, the artificial metal ball is placed directly next the body’s natural hyaline cartilage and unfortunately, this cartilage doesn’t do well or remain healthy when compressed against a metal surface. A total hip involves the replacement of the femoral head and the resurfacing of the socket. With this procedure, the prosthetic femoral head moves within the prosthetic socket. Each procedure has advantages and disadvantages but as a rule, the best results for longevity and consistent pain relief are attained with a total hip replacement. Fracturing or breaking a hip refers to a break occurring through the upper femur (thigh bone), which often displaces the femoral head. If the fracture occurs within the hip joint capsule, we refer to this as a “femoral neck fracture.” An “intertrochanteric” fracture is when the fracture occurs just outside of the hip joint capsule. Because the upper femur bone – located just below the hip capsule – is surrounded by muscle, it has a much better blood supply and therefore, these types of fractures usually heal when they are realigned and the alignment is held in that position with plates, screws or a rod. This is called an internal fixation. On the other hand, the femoral neck within the hip joint capsule is bathed in synovial fluid and has a precarious blood supply. Because of this, fractures through the neck region often don’t heal. If a fracture occurs though the neck and the neck fragments displace, the blood supply usually is compromised and then even if internally fixed, leads to a fracture that either doesn’t heal or heals but subsequently the head collapses because of lost blood supply.

Historically, femoral neck fractures left patients crippled or even caused death due to lack of mobility and all its associated complications. During the 1960s, the one-piece partial hip replacement was introduced. The Austin Moore and Thompson are classic examples of these revolutionary prosthetics. For the first time, physicians could replace a broken femoral head with an artificial one. The stem, which was inserted down through the upper femur bone, was constructed from the same piece of metal as the ball (monoblock). This was a dramatic move forward, saving countless lives and greatly improving mobility and quality of life for many. Although a quantum leap in hip replacement surgery, most patients still had a less than a perfect result, experiencing pain either from the stem not being stable within the femur or the new ball wearing away the natural cartilage. What Activities Should I Avoid After Hip Replacement Surgery? For anywhere from six to 12 months after hip replacement surgery, pivoting or twisting on the involved leg should be avoided. You should also not cross the involved leg past the midline of the body nor turn the involved leg inward and you should not bend at the hip past 90 degrees. This includes both bending forward at the waist and squatting. Your physical therapist will provide you with techniques and adaptive equipment that will help you follow any of the above guidelines and precautions while performing daily activities. Remember, by not following your therapist's recommendations you could dislocate your newly replaced hip joint and may require another surgery. Even after your hip joint has healed, certain sports or heavy activity should be avoided. The replacement joint is designed for usual day-to-day activity. What Can I Do at Home After Hip Replacement Surgery? There are a few simple measures that you can take to make life easier when you return home after hip replacement surgery, including: 

Keep stair climbing to a minimum. Make the necessary arrangements so that you will only have to go up and down the steps once or twice a day.



Sit in a firm, straight-back chair. Recliners should not be used.



To help avoid falls, remove all throw rugs and keep floors and rooms clutter free.



Use an elevated toilet seat. This will help keep you from bending too far at the hips.



Keep enthusiastic pets away until you have healed completely.

You should ask your doctor before returning to such activities as driving, sexual activity, and exercise. How Long Will My New Joint Last After Hip Replacement Surgery? When hip replacement surgeries were first performed in the early 1970s, it was thought that the average artificial joint would last approximately 10 years. We now know that about 85% of the hip joint implants will last 20 years. Improvements in surgical technique and artificial joint materials should make these implants last even longer. If the joint does become damaged, surgery to repair it can be successful but is more complicated than the original procedure.

Related Documents


More Documents from "utami dian rana"