Lembar Tugas Mahasiswa Ringkasan BAB IV Pemahaman Etika Edwina Dea Hasianda (MPKT A 30) 1606906912 Judul: BAB IV Pemahaman Etika Pengarang: Dr. L. G. Saraswati Putri Data Publikasi: Buku Ajar 1 MPKT A Universitas Indonesia Etika sering diartikan sama dengan etiket, kode etik, nilai, norma, serta moral. Namun, pada dasarnya kata-kata tersebut memiliki arti yang berbeda-beda. Pertama, etiket merupakan suatu peraturan yang berlaku dalam masyarakat, mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan sehari hari (sopan santun). Etiket dapat berbeda antar satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain karena etiket didasarkan pada kesepakatan masyarakat masing-masing. Kedua, kode etik adalah pedoman menjaga profesionalitas yang bergantung pada jenis profesi dan bidang pekerjaannya. Ketiga, nilai merupakan suatu pedoman universal dalam masyarakan yang mana dalam suatu kelompok masyarakat memiliki pedoman hidup yang sama dengan kelompok masyarakat lain. Keempat adalah norma, norma dan nilai merupakan hal yang terkait satu sama lain. Norma merupakan hal-hal yang menjadi pembatas masyarakat dalam melakukan aktivitas sehingga masyarakat melakukan dan tidak melanggar nilai-nilai yang dipegang masyarakat itu Contohnya keadilan, kejujuran, kebaikan, dan kepedulian. Permainan tadi berkaitan dengan dilema moral. Ada godaan-godaan yang muncul untuk berbuat tidak jujur demi mengedepankan kepentingan kelompok. Selama permainan berlangsung, mudah bagi masing-masing individu untuk mencuri-curi bertindak curang. Contohnya, melihat kertas keputusan teman dan mengangkat kertas secara terlambat demi mendapatkan keuntungan maksimal. Namun, disinilah etika berperan. Etika bersama dengan nilai dan norma sama-sama bekerja untuk menjustifikasi tindakan atas putusan moral tadi. Etika berasal dari bahasa yunani ἠθικός ἠθικός ethikos dan (hē) ēthikē (tekhnē) yang artinya adalah ilmu mengenai moralitas (science of moralit). Etika dapat dibagi menjadi tiga
bagian yaitu metaetika (asumsi dasar etika), etika normatif (teori justifikasi putusan moral) dan etika terapan (analisis isu kontroversial). Etika merupakan bagian dari filsafat. Secara sistematika, filsafat dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi merupakan status keberadaan dalam suatu fenomena (the existence of being), sedangkan epistemology membahas mengenai persoalan pengetahuan (knowledge), ilmu pengetahuan (science), kebenaran (truth), dan pembenaran (justification). Aksiologi terdiri atas dua kajian, yaitu estetika dan etika dimana kedua-duanya mempersoalkan tentang nilai tetapi estetika juga fokus pada nilai tertentu yaitu keindahan (beauty). Sejarah pemikiran etika Awal pembahasan etika ada pada virtue dan happiness. Virtue merupakan keutamaan atau prioritas, prinsip yang digunakan seseorang dalam keputusannya. Dan happiness merupakan tujuan utama dari virtue itu sendiri. Sokrates, plato, aristotales beranggapan bahwa tujuan utama dari perbuatan baik adalah kebahagiaan. Aristoteles sendiri beranggapan bahwa ada kecenderungan dimana kebahagiaan tidak selalu menjadi tujuan utama dari berbuat baik, orang orang sering melakukan sesuatu berdasar pada apa yang mereka sukai dan mereka anggap benar. Epikureanisme merupakan konsep yang dicetuskan oleh Epikurus. Konsep ini lebih menekankan pada kesenangan (pleasure). Epikurus menyederhanakan kebahagiaan menjadi kesenangan, dimana setiap orang bertindak sesuatu untuk mencapai kesenangan dan menghindari sesuatu yang akanmembawa rasa sakit. Epikurus membuat dua jenis dari kesenangan, yaitu kesenangan alamiah (natural pleasure), kesenangan yang sia‐sia (vain pleasure). Kesenangan alamiah pun memiliki dua pemilahan, yaitu kesenangan yang diperlukan (necessary), dan tidak diperlukan (unnecessary). Stoisime yang dicetuskan oleh zeno dan siprus, yang mana beranggapan bahwa putusan moral merupakan bentuk atau hasil pengetahuan. Stoisisme tidak berpusat pada kebahagiaan atau kesenangan melainkan pada hidup yang baik, dimana dimulai dengan melepaskan keterikatan duniawi seperti segala sesuatu yang berhubungan dengan emosi dan kesenangan. Pada zaman kegelapan, etika tidak dapat berkembang sesuai dengan seharusnya. Putusan moral yang digunakan adalah norma agama sehingga baik buruknya suatu tindakan selalu dinilai dari sudut pandang agama dan kitab suci. Pemahaman etika kembali berkembang pada masa
kebangkitan dan masa pencerahan dimana kajian filsafat dan etika tidak tunduk pada otoritas keagamaan. David hume mengungkapkan pemikiran yang mencetuskan faham empirisme dimana segala putusan moral berasal dari pengalaman. Dimana pengalaman itu berupa rasa senang saat keputusannya diterima orang lain dan rasa kecewa saat keputusannya ditolak oleh orang lain. Immanuel kant mencetuskan terori deontologi kantin dimana baik buruknya tindakan seseorang dinilai dari kewajibannya dalam menjalani hidup. Dalam teori ini terdapat pengetahuan yang didapat dari akal praktis yang disebut maksim, yaitu doronganuntuk melakukan tindakan untuk menunaikan kewajiban atau dapat dipahami menjadi baik buruknya tindakan moral seseorang tidak dinilai dari konsekuensi atau hasil dari tindakannya melainkan dari proses melakukan tindakan tersebut.