LEGAL AID DEMOCRACY PRESPEKTIF FILOSOFI BANTUAN HUKUM A. Konsepsi Negara Hukum yang Demokratis Demokrasi berasal dari bahasa Yunani δημοκ ατία (dēmokratía) "kekuasaanrakyat", yang terbentuk dari δῆμο (dêmos) "rakyat" dan κ άτο (kratos)"kekuatan" atau "kekuasaan".1Berdasarkan hal tersebut, demokrasi kemudian lebih dikenal dengan pengertian pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat(government from the people, by the people and for the people). Demokrasi juga diartikan bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, atau disebut juga pemerintahan rakyat.2 Batasan demokrasi menurut pengertian secara harfiah diatas menimbulkan kontradiksi dalam pemahamannya, karena dalam pengertian demikian berarti yangberjumlah banyak memerintah yang jumlahnya lebih sedikit, sedangkan dalam kenyataannya adalah sebaliknya.3 Pasal 1 ayat(3) UUD 1945 menentukan, “Negara Indonesia ialah Negara hukum.” Ketentuan mengenai negara hukum ini secara tegas tercantum dalam rumusan UUD RI Tahun 1949 dan UUD Tahun 1905, tetapi tidak tercantum secara eksplisit dalam pasal UUD 1945. UUD 1945 hanya menyebutkan dianutnya prinsip Negara Hukum ini dalam penjelasan, yang dengan menyatakan Bahwa Indonesia
menganut
paham
Negara
Hukum
atau
“Rechtstaat”, bukan “Machstaat”atau Negara Kekuasaan. Dalam perubahan keempat pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum atau Rechsstaat yang sebelumnya hanya tercantum dalam penjelasan itu, baru dirumukan dengan tegas dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dalam konsep negara hukum tersebut, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut prinsip Negara hukum adalah “the rule of law, not of man”. Semua rezim pemerintahan yang dipraktikkan dalam 1Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 249. 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 251 3Sri Soemantri M., 1984, Pengantar Perbandingan Antar Hukum sJakarta:Rajawali, Hlm. 26.
1
Tata
Negara,
sejarah umat manusia adalah prinsip hidup “rule of man”, yaitu kekuasaan pemerintahan sepenuhnya ditangan orang kuat. Prinsip ini kemudian berubah menjadi “rule by law” , dimana manusia mulai memperhitungkan pentingnya peranan hukum sebagai alat kekuasaan. Baru pada tahap perkembangan terakhir dewasa ini, orang menerima prinsip rule of law sebagai pegangan yang diidealkan. Dalam perkembangan terakhir ini, pada pokoknya, yang disebut sebagai pemerintahan adalah hukum itu sendiri sebagai satu sistem. Sedangkan, orang per orang menjalankan hukum itu hanya bertindak sebagai “wayang” dari skenario sistem yang mengaturnya.4 Dalam sejarah modern, gagasan Negara Hukum itu sendiri dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum sebagai sistem yang fungsional dan berkeadilan, dengan menata supra dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi, sosial, yang tertib dan teratur, serta membangun budaya dan kesadaran
hukum
yang
rasional
dan
imperonal
dalam
kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Untuk menjamin tegaknya kontitusi itu sebagai hukum dasar, dibentuk pula Mahkamah Kontitusi yang berfungsi sebagai the guardian dan sekaligus the ultimate interpreter of the constitution. Gagasan, cita, atau Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep rechsstaat dan rule of law , juga berkaitan dengan nomocracy yang berasal dari kata nomos dan cratos.5 Perkataan nomkrasi itu dapat dibandingkan dengan demos dan cratos atau kratien dalam demokrasi. Nomo berarti norma, sedangkan cratos adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Namun, prinsip kedaulatan hukum atau the rule of law itu sendiri tidak selalu baik, karena 4 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, PT. BIP, Jakarta Barat, 2007,hlm. 297. 5 Ignacio Sanchez-Cuenca. “Power, Rules, and Compliance, dalam Jose Maria Maravall and Adam Przeworski, eds, Democracy and the Rule of Law, Cambridge University Press, 200. Hlm. 67.
2
hukum itu sendiri dapat dibuat dan ditetapkan secara semena-mena oleh penguasa. Jerman di bawah pemerintahan Hitler juga menganut prinsip rechtsstaat atau negara hukum, tetapi hukum yang diakui berdaulat itu ditetapkan secara sewenang-wenang oleh Hitler sebagai diktatordan “demagog”.6 Karena itu, berkembang pula istilah democratic rule of law dalam bahasa Inggris atau democratiche rechsstaat dalam Bahasa Belanda. Oleh sebab itu, teori tentang negara hukum, rule of law, dan rechsstaat pada pokoknya tidak dapat dipisahkan dari teori tentang demokrasi. Kedua, harus dilihat sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Bahkan, menurut Michel Troppper, “The strength of the theory of the Rechsstaat comes from it relation ith democratic theory”. Kekuatan teori rechsstaat itu tidak terletak dalam dirinya sendiri, melainkan justru terletak dalam hubungannya dengan teori demokrasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pandangan yang menolak istilah democratische rechsstaat itu jelas mengabaikan kenyataan bahwa istilah ini bisa dipakai oleh ribuan sarjana sejak dulu sampai sekarang, seperti halnya istilah democracy telah dipakai oleh jutaan sarjana dengan pengertiaan yang boleh jadi berbeda-beda dari satu era ke era yang lain. Jika orang bertitik tolak dari konsep negara hukum (rechsstaat) yang diidealkan, yaitu antara lain rechsstaan yang demokratis (democratische rechsstaat). Sebab banyak negara hukum yang tidak demokratis, salah satu contohnya adalah Jerman dibawah Hitler. Jika orang bertitik tolak dari konsep democracy , maka kualifikasi juga dapat diberikan pada
konsep
ideal
democracy”,“pluralistic
demokrasi democracy”,
itu,
misalnya
“constitutional
“participatory
democracy”
dan
sebagainya.7 B. Legal Aid Democracy Legal Aid Democracy adalah pengembalian entitas lembaga bantuan hokum dalam mewujudkan aksesibilitas hokum bagi masyarakat Indonesia
6 Op. Cit, Jimly Asshiddiqie hlm 300 7 Ibid hlm 302
3
dan pembangunan hokum nasional.8 Perbedaan legal aid, legal assistance, legal service: 1. Legal Aid, yang berarti pemberian jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara, yakni: a. Pemberian jasa hukum seara cuma- cuma. b. Bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikhususkan bagi yang tidak mampu dalam lapisan masyarakat miskin. c. Dengan demikian motivasi utama dalam konsep legal aid adalah menegakkan hukm dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang tidak mempunyai atau buta hukum. 2. Legal Assistance, yang mengandung pengertian lebih luas dari legal aid, arena pada legal assistance disamping mengandung makna dan tujuan memberi jasa bantuan hukum, lebih dekat dengan pengertian yang kita kenal dengan profesi advokat yang memberi bantuan hukum: baik bagi mereka yang mampu membayar prestasi, maupun pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin secara cuma- cuma. 3. Legal Service, dalam bahasa Indonesia dapat diartikan pelayanan hukum. Pada umumnya kebanyakan orang lebih cenderung memberi pengertian yang lebih luas kepada konsep dan makna Legal Service dibandingkan dengan konsep Legal Aid dan Legal Assistance. Hal itu terkandung makna dan tujuan sebagai berikut: a.
Memberi bantuan hukum kepada anggota masyarakat yang operationalnya bertujuan menghapuskan kenyataan-kenyataan dalam penegakan dan pemberian jasa bantuan hukum antara rakyat miskin yang berpenghaslan kecil dengan masyarakat kaya yang mempunyai
sumber dana dan posisi kekuasaan. b. Dengan pelayanan hukum yang
diberikan
kepada
anggota
masyarakat yang memerlukan dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang dibenarkan hukum bagi seitpa anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan miskin. 8 Ibid, hlm 345
4
c.
Disamping untuk menegakkan hukum dan penghormatan kepada hak yang diberikan hukum kepada setiap orang, legal service di dalam operasionalnya lebih cenderung untuk menyelesaikan setiap persengketaan dengan jalan menempuh cara perdamaian. Bahwa sejarah Legal Aid ini berasal dari Amerika yang paling
menjunjung tinggi akan Hak Asasi Manusia, tetapi Amerika juga banyak melanggar Hak Asasi Manusia seperti perang di Afghanistan, perang di Irak. Dan legal aid mulai dikenal pada tahun 1963 dalam kasus Ernesto Miranda, yang dikenal dengan aturan Miranda Warning. Bahwa Ernesto Arturo Miranda merupakan seorang warga negara Amerika yang dituduh melakukan penculikan dan pemerkosaan terhadap Jane Doe, seorang remaja putri berusia 18 tahun di Phoenix, Arizona, AS di tahun 1963. Awalnya Miranda
tidak
mengakui
perbuatannya itu
setelah
diinterogasi oleh Penyidik, Miranda akhirnya mengaku sebagai pelaku dan menadatangani bukti acara perkara di Pengadilan Arizona. Miranda diancam hukuman penjara 20 tahun. Kemudian Miranda banding dan kasus tersebut naik sampai ke Mahkamah Agung Amerika Serikat. Dan akhirny MA AS itu memutuskan perkara dengan suara 5 : 4. Mayoritas hakim berpendapat pengakuan Miranda diberikan ketika hakhaknya tidak dalam perlindungan dan putusan ini menimbulkan aturan baru bagi penyidik yang mengharuskan tersangka untuk diam (self incrimination) adalah merupakan hak tersangka untuk mendapatkan pengacara sebelum interogasi dilakukan. Lain lagi pendapat dari Soerjono Sokamto dalam bukunya tentang bantuan hukum. Beliau menyebutkan bahwa di dalam suatu artikel yang bejudul Legal Aid Modern Themes And Variations, Cappelletti And Gordley telah menyajikan suatu uraian mengenai beberapa sistem bantuan hukum, baik di Eropa maupun di Amerika Serikat. Mereka menyatakan bahwa pada dasarnya terdapat dua model (sistem) bantuan hukum, yakni:
5
a.Model Yuridis Individual artinya di satu pihak bantuan hukum dapat dilihat sebagai suatu hak yagn diberikan kepada warga masyarakat untuk melindungi kepentingan-kepentingan individu. b. Model kesejahteraan suatu hak akan kesejahteraan yang menjadi bagian dari kerangka perlindungan sosial yang diberikan suatu negara kesejahteraan C. Ketentuan Aksesibilitas Masyarakat Terhadap Lembaga Bantuan Hukum Pengakuan dan penghormatan terhadap akses keadilan djamin oleh konstitusi yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD NRI menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan Pasal 34 UUD NRI Fakir Miskin dan Anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, berdasarkan konstitusi bantuan hukum wajib diberikan kepada setiap warga negara pencari keadilan. Mengenai bantuan hukum di Indonesia yang telah dijamin negara telah diatur pada UU Bantuan Hukum dan UU Advokat.9 Pemberian bantuan hukum seperti yang terdapat pada UU Bantuan Hukum telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum mengingat pentingnya peran pemberi bantuan hukum dalam mewujudkan keadilan di Indonesia. Regulasi ini belum memenuhi rasa keadilan masyarakat karena dijelaskan bahwa hanya masyakat miskin yang berhak mendapatkan bantuan hukum.26 Padahal masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum bukan hanya masyarakat miskin tetapi masyarakat marginal juga membutuhkan bantuan hukum tidak diakomodasi dalam regulasi ini. Mengenai kewajiban memberikan bantuan hukumoleh advokat di dalam Undang-undang Advokat tidak dijelaskan lebih lanjutruang lingkupnya 9 M. Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 345
6
dan proporsinya.UU Advokat dan PP No.83 Tahun 2008 tidak memuat ketentuan sanksi yang tujuannya untuk menjamin advokat melaksanakan kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Pemberian bantuan hukum cuma-cuma dari advokat dalam undang-undang adalah penegasan saja dari bentuk tanggung jawab etik profesi advokat. Meskipun advokat tidak melaksanakan kewajibannya memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, advokat hanya dapat diberikan sanksi administratif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) PP No.83 Tahun 2008, yaitu: (1) teguran lisan; (2) teguran tertulis; (3) pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai dengan 12 (dua belas) bulan berturut-turut; atau (4). pemberhentian tetap dari profesinya. Selain sanksi administratif tersebut, sanksi lain hanya bisa dilakukan organisasi advokat berdasarkan kode etik advokat. Kode etik advokat menegaskan bahwa kepribadian advokat antara lain: Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya. Dalam konteks probono, Pasal 13 PP Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara cuma-cuma menyatakan bahwa “Advokat dalam memberikan Bantuan Hukum Secara cuma- cuma dilarang menerima atau meminta pemberian dalam
bentuk
apapun
dari Pencari Keadilan”. Dari komponen konsep
probono, maka ketentuan pasal 13 ini adalah on the track. Namun, jika kita melihat Peraturan PERADI terdapat “kesesatan” terkait pembiayaan, yaitu Pasal 3 sebagai berikut :10 10 Siti Aminah Tardi, SH, Gerakan Probono Publico Membangun Kehormatan Advokat Konsep Probono Publico, diakses dari https://pbhperadi.wordpress.com/2011/09/29/gerakan-probonopublico-membangun-kehormatan-advokat-konsep-probono-publico/, diakses pada 28 Desember
7
1. Advokat dalam pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma dilarang untuk menerima dana untuk kepentingan apapun dari pencari keadilan yang tidak mampu; 2. Dana-dana bantuan hukum yang berasal dari negara atau dari lembaga bantuan hukum, yang diberikan kepada Advokat dalam rangka memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu tidak dihitung sebagai pembayaran honorarium Ruang lingkup bantuan hukum yang diberikan hanya pada bidang pidana, perdata, dan Tata Usaha Negara seperti pada pasal 4 UU Advokat. Regulasi ini tidak mengakomodasi jika ada masyarakat yang juga membutuhkan bantuan hukum untuk masyarakat yang terlanggar hak konstitusionalnya. Ruang lingkup yang tercantum pada regulasi ini tidak mencakup semua kepentingan keadilan yang ada di masyarakat terutama konstitusi sebagai dasar bernegara. Dikeluarkannya regulasi tentang bantuan hukum juga tidak membuat aksesibilitas masyarakat terhadap LBH semakin mudah. Hal ini berbanding terbalik dengan LBH yang banyak berlokasi di perkotaan dan jauh dari masyarakat miskin yang berada di pedesaan. Jumlah LBH juga masih kurang dan tidak dapat mengimbangi masyarakat marginal yang membutuhkan bantuan hukum. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum juga belum mengakomodasi bantuan hukum yang dibutuhkan masyarakat, pasalnya banyak kaum marginal yang tidak semuanya adalah masyarakat miskin yang membutuhkan bantuan hukum juga menjadi kendala bagi Organisasi Bantuan Hukum karena pemerintah mensyaratkan penerima bantuan hukum harus Setiap LBH memiliki fokus isu masing-
2015
8
masing, salah satunya LBH yang khusus menangani kasus agraria yang ratarata pihak terkait tidak berasal dari masyarakat miskin. D.Kenyataan Aksesibilitas Masyarakat Terhadap Lembaga Bantuan Hukum Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah penduduk 255.993.674 jiwa. Dari jumlah tersebut, terdapat 17,92 juta jiwa yang berada di desa sedangkan di kota terdapat 10,63 juta orang29. Hal ini berbanding terbalik dengan penyebaran advokat yang tidak merata yaitu mendominasi di perkotaan. Ada 310 Organisasi Bantuan Hukum yang terverifikasi/akreditasi untuk memberikan bantuan hukum bagi rakyat miskin, yang terdiri dari 10 LBH terakreditasi A, 21 LBH terakreditasi B serta 279 LBH terakreditasi C.11 Jumlah advokat di Indonesia yang banyak sebenarnya dapat memenuhi bantuan hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat karena di dalam peraturan internal PERADI dikatakan bahwa setiap advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma selama 50 jam dalam kurun waktu satu tahun tetapi aturan ini tidak disertai dengan sanksi yang menyebabkan banyak advokat yang tidak memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, kasusYLBHI yang mempunyai 15 kantor cabang di Indonesia telah menangani 2.873 sepanjang tahun 201331. Kasus yang diterima LBH Jakarta pada tahun 2014 sebanyak 1.221 pengaduan. Mahkamah Konstusi mendukung kiprah LBH dan pemberi bantuan hokum lainnya dengan membatalkan pasal 31 UU Advokat yaitu “Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi advokat, tetapi bukan advokat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000.-“.
11Pusat Layanan Publik Indonesia, Bantuan Hukum Gratis untk Rakyat Miskin,diakses dari http://satulayanan.id/layanan/index/374/bantuan-hukum-gratis-untuk-rakyatmiskin/kemekumham, diakses pada 24 Desember 2015 8:01
9
Pemberian bantuan hukum juga tidak dapat dilakukan secara maksimal karena pendanaan, untuk tahap pertama, ketika program bantuan hukum dimulai pada Juli hingga Desember 2013, anggaran yang disediakan pemerintah sebesar 40,8 milyar rupiah. Selanjutnya, besaran anggaran di tahun 2014, dinaikkan menjadi 50 milyar rupiah.34Bantuan yang diberikan kepada LBH sebanyak Rp 5.000.000,- untuk satu kasus, komponen anggaran ini tidak mencakupinstitutional support, semisal honor untuk pengacara, staf keuangan dan kebutuhan kantor (pembiayaan air dan listrik). Sebagian besar sumber pendanaan LBH didapat dari lembaga donor luar negeri seperti yang dipaparkan staf LBH APIK Makassar bahwa mereka mendapatkan donor darah dari Australian Aid, pendanaan dari Non Government
Organization
(NGO)dimana
beresiko
mempengaruhi
kepentingan di luar tujuan keadilan seperti pada kasus Bali Nine. Peristiwa Bali Nine terjadi dimana pelakunya berasal dari Australia, sehingga pada saat itu Australian Aid menghentikan sementara pendonoran dana ke sejumlah LBH termasuk LBH APIK Makassar. Kepentingan seperti ini yang harus dihindari dalam pencapaian keadilan, pemerintah seharusnya berperan lebih besar dalam kelangsungan LBH termasuk pendanaannya.
Jumlah perkara pada kaum marginal seperti wanita, anak, dan disabilitas juga terhitung banyak dan tentu saja membutuhkan bantuan hukum. Kasus yang melibatkan anak pada tahun 2015 menurut Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAID) sebanyak 59 kasus.35 Kasus lainya yaitu dari kaum disabilitas yang masih sangat sulit dalam akses keadilan (acces to justice) ditambah lagi dengan minimnya sarana-prasarana. Regulasi mengenai penyandang disabilitas yaitu UU No. 4 Tahun 1997 belum memadai dan RUU tentang Penyandang Disabilitas hingga saat ini belum disahkan oleh DPR.36 Kaum disabilitas
10
membutuhkan bantuan yang lebih dalam proses mencapai keadilan seperti dalam penyampaian keterangan dan proses konsultasi hukumnya. Dalam UU No.19 tahun 2011 tentang Pengesahan (Ratifikasi) Konvensi Hak-Hak Penyandang disabilitas salah satu prinsipnya yaitu hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality under the law). Dia menjelaskan prinsip hak kesetaraan di hadapan hukum ini termasuk hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam sistem peradilan. Dari prinsip ini akan sangat banyak instrumen aturan lebih rinci yang dibutuhkan, hal ini termasuk ada jaminan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan bantuan bantuan hukum secara probono.12 Kasus yang berkaitan dengan perempuan, anak, dan disabilitas pada tahun 2015 terkhususnya di wilayah Makassar adalah 323 kasus yang ditangani oleh paralegal dan 93 kasus yang ditangani langsung oleh Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Makassar. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aksesibilitas bantuan hukum di Indonesia belum maksimal.Pertama, adalah kendala verifikasi dan akreditasi, sebagai contoh aspek ini tidak menyentuh faktor integritas kelembagaan LBH. Kedua, kelembagaan dan regulasi, adanya sentralisasi peranyang dijalankan oleh Kementrian Hukum dan HAM melalui BPHN. Ketiga, pengawasan dan evaluasi, sejauh ini hanya menyentuh aspek administratif.Keempat, faktor kesiapan LBH, sejauh ini rata-rata LBH yang lolos verifikasi tidak memiliki persiapan ataupun agenda khusus untuk sosialisasi, dan penyesuaian dengan program bantuanhukum pemerintah. Kelima, adalah tingkat pemahaman terhadap UU Bantuan Hukum sangat rendah, secara khusus jajaran aparat penegak hukum kepolisian, kejaksaan bahkan pengadilan, rata-rata tidak mengetahui UU Bantuan hukum, dengan dalih tidak ada sosialisasi, sehingga aparat penegak hukum merasatidak berkewajiban menjalankan UU tersebut. 12 Anwar, Yesmil, Adang, 2009 Sistem Peradilan Pidana, Widya Padjajaran, Bandung, 245
11
Keenam, sistem reimbursment menyulitkan bagi LBH, hal ini sangat berpengaruh bagi daya serap anggaran.
12