Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan Ibu Terhadap Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Banjarbaru Utara BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah gizi terjadi di setiap siklus kehidupan, dimulai sejak dalam kandungan (janin), bayi, anak, dewasa dan usia lanjut. Periode dua tahun pertama kehidupan merupakan masa kritis, karena pada masa ini terjadi pertumbuhan
dan
perkembangan
yang
sangat
pesat.
Gangguan
kekurangan gizi tingkat buruk yang terjadi pada periode ini bersifat permanen,
tidak
dipulihkan
walaupun
kebutuhan
gizi
selanjutnya
terpenuhi. Pengetahuan didefinisikan keseluruhan keterangan dan ide yang terkandung dalam pernyataan-pernyataan mengenai sesuatu gejala atau peristiwa baik bersifat alamiah, maupun soaial. Pendidikan adalah kegiatan atau proses belajar yang terjadi dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Untuk mendapatkan gizi yang baik pada bayi yang baru lahir maka ibu harus sesegera mungkin menyusui bayinya karena ASI memberikan peranan penting dalam menjaga kesehatan dan mempertahankan kelangsungan hidup bayi. Oleh karena itu, bayi yang berumur kurang dari enam bulan dianjurkan hanya diberi ASI tanpa makanan pendamping. Makanan pendamping hanya diberikan pada bayi yang berumur enam bulan ke atas (Suraji dalam Jafar, 2011). ASI Eksklusif adalah pemberian ASI selama 6 bulan tanpa di campur dengan tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air
putih, dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biscuit, bubur nasi tim. Data
Organisasi
Kesehatan
Dunia
World
Health
Organization (WHO) menunjukkan ada 170 juta anak mengalami gizi kurang di seluruh dunia. Sebanyak 3 juta anak di antaranya meninggal tiap tahun akibat kurang gizi. Angka kematian bayi yang cukup tinggi di dunia sebenarnya dapat dihindari dengan pemberian Air Susu Ibu (ASI). Meski penyebab langsung kematian bayi umumnya penyakit infeksi, seperti infeksi saluran pernapasan akut, diare, dan campak, tetapi penyebab yang mendasari pada 54% kematian bayi adalah gizi kurang (http://www.opensubscriber.com, 2010). Perilaku pemberian Asi eksklusif di Indonesia masih jauh yang diharapkan. Menurut hasil survey demografi Indonesia kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2009-2010 presentase anak dibawah usia 6 bulan yang mendapatkan Asi eksklusif adalah 39,8%. Hanya 3,7% bayi yang memperoleh Asi pada hari pertama. (www.Litbang.depkes.go.id). Sementara Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004-2008 cakupan pemberian ASI ekslusif di Indonesia berfluktuasi dan cenderung mengalami penurunan. Cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan turun dari 62,2% (2007) menjadi 56,2% tahun 2008, sedangkan pada bayi sampai 6 bulan turun dari 28,6% (2007) menjadi 24,3% (2008) (Minarto, 2011). Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 1997-2007 memperlihatkan terjadinya penurunan prevalensi ASI eksklusif dari 40,2% pada tahun 1997 menjadi 39,5% dan 32% pada tahun 2003 dan 2007 (Fikawati dan Syafiq dalam Nurhaedar Jafar, 2011). Hasil
Riset
Kesehatan
Dasar
(Riskesdas)
2010
menunjukkan
penurunan persentase bayi yang menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan hanya 15,3%. Angka Kematian Ibu (AKI), dan Angka Kematian Bayi
(AKB) bukan saja merupakan indikator kesehatan ibu dan anak, namun juga dapat menggambarkan tingkat akses terhadap pelayanan kesehatan, efisiensi dan efektifitas dalam pengelolaan program kesehatan. Dewasa ini AKI dan AKB di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Menurut SDKI, 2007, AKI 228/100.000 kelahiran hidup artinya ada 9.774 ibu meninggal per tahun atau 1 ibu meninggal tiap jam oleh sebab yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan nifas, dan AKB 34/1000 Kelahiran hidup artinya 17 bayi meninggal tiap jam. Kesepakatan global (Milinium Development Goals/MDG’s,Tahun 2000) pada tahun 2015 diharapkan AKI menurun sebesar tiga- perempatnya dalam kurun waktu 1990-2015. Berdasarkan hal itu Indonesia mempunyai komitmen untuk menurunkan AKI menjadi 102/100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23/1000 Kelahiran Hidup. Penyebab kematian bayi terbanyak di Indonesia adalah berat badan lahir rendah (BBLR), asfiksia, infeksi, masalah pemberian minum dan diare. Pada saat ini terdapat kecenderungan penurunan pemberian ASI di beberapa tempat di Indonesia terutama kota-kota besar. Banyak hal yang mempengaruhi penurunan tersebut, salah satunya promosi dari susu formula yang hebat serta kesalahan dalam penatalaksanaan menyusui itu sendiri. Upaya untuk menurunkan AKB yang sederhana dan mudah dilakukan adalah dengan memberi ASI segera (Inisiasi menyusui dini) pada bayi baru lahir, karena ASI mengandung zat Immunoglobulin yang dapat mencegah infeksi dan diare. Program dalam mendukung Millenium Development Goals (MDG’s), menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya. Manfaat memberikan Air Susu Ibu (ASI) bagi ibu tidak hanya menjalin kasih sayang, tetapi dapat mengurangi perdarahan setelah melahirkan, mempercepat pemulihan
kesehatan ibu, menunda kehamilan, dan merupakan kebahagian tersendiri bagi ibu. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan bahwa pemberian ASI di Indonesia saat ini memprihatinkan, presentasi bayi yang menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan hanya 15,3%. Hal ini disebabkan kesadaran masyarakat dalam mendorong peningkatan pemberian ASI masih relatif rendah. Tingkat pemberian ASI eksklusif berdasarkan data Survei Kesehatan Nasional (2010), data persentase bayi umur 0-6 bulan yang mendapat ASI saja sebesar 61,5 persen dan persentase bayi umur 6 bulan yang mendapat ASI saja sebesar 33,6 persen. Bahkan hasil Riskesdas tahun 2010 pencapaian ASI eksklusif hanya 15,3 persen. Di provinsi Kalimantan Selatan cakupan pemberian ASI eksklusif pada 3 tahun terakhir adalah 25,42% (tahun 2009), 35,60% (tahun 2010) dan 51,18% (tahun 2011). Angka tersebut menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, namun masih jauh dari target nasional yaitu 80%. Jumlah kasus kematian bayi di Kalimantan Selatan dalam 3 tahun terakhir menunjukkan kenaikan dari 509 kasus tahun 2008 menjadi 521 kasus tahun 2009 dan 611 kasus tahun 2010. Berdasarkan hasil dari data Dinas Kesehatan kota Banjarbaru Pada tahun 2017 cakupan pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Banjarbaru Utara sebesar 67,36% dari target sebesar 80%. Dalam hal ini, cakupan pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Banjarbaru Utara tersebut masih termasuk kurang dari target menurut Riskesdas (2010) yaitu dengan target sebesar 80%. Berdasarkan hal tersebut diatas penulis tertarik untuk meneliti mengenai “Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan Ibu Terhadap Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Banjarbaru Utara”