Latar Belakang Baru 2.docx

  • Uploaded by: Harianto
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Latar Belakang Baru 2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,905
  • Pages: 24
1

1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang terdapat daerah pesisir yang sangat panjang dari utara sampai selatan Kalimantan Barat dengan potensi sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk menambah perekonomian masyarakat pesisirnya. Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas merupakan salah satu pesisir di Kalimantan Barat yang sejauh ini pemanfaatannya hanya untuk lokasi mencari ikan oleh nelayan, budidaya tambak ikan dan objek wisata pantai. Satu diantara banyaknya daerah di Kecamatan Paloh yang belum memanfaatkan potensi pesisir secara maksimal adalah Desa Temajuk. Desa yang memiliki pantai sepanjang 26 km hanya dimanfaatkan masyarakat untuk lokasi wisata pantai (Malik, 2014). Pemanfaatan pesisir yang belum maksimal untuk meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir Temajuk membutuhkan alternatif lain untuk menambah perekonomian masyarakat. Salah satu pemanfaatan pesisir yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah dengan membuat usaha budidaya rumput laut. Pantai Temajuk yang masih alami dengan banyaknya keberadaan rumput laut jenis Sargassum sp. juga merupakan lokasi yang sesuai untuk pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii (Kadi, 2012). Budidaya rumput laut Eucheuma cottonii memiliki manfaat dapat membuka lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Haris (2008) menyatakan budidaya rumput laut dapat meningkatkan pendapatan ekonomi bagi masyarakat di pesisir pantai. Jenis rumput laut yang banyak dimanfaatkan dan diminati pasar industri untuk dibudidaya adalah Eucheuma cottonii. Nilai jual Eucheuma cottonii yang mencapai Rp 12000/kg untuk bahan mentahnya lebih tinggi dari jenis rumput laut lain seperti rumput laut Sargassum sp. Rp 9500/kg (Salim dan Ernawati, 2015). Harga jual yang tinggi membuat rumput laut Eucheuma cottonii banyak di budidaya di daerah Indonesia seperti Profinsi Sulawesi Selatan yang merupakan daerah penghasil Eucheuma cottonii terbesar di Indonesia yang mencapai total produksi 2.411.124 Ton pada tahun 2015 (KKP, 2016).

2

Menurut Anton (2017) Eucheuma cottonii termasuk jenis rumput laut yang memiliki nilai ekonomis dan sebagai bahan baku penghasil karagenan (carrageenophytes). Secara ekonomi rumput laut dapat dimanfaatkan untuk industri pembuatan pasta gigi, kosmetik, cat, penghalus dalam industri kulit, tekstil, bir dan industri farmasi dengan ekstrak karaginan yang terdapat pada rumput laut (Prasetyowati et al., 2008). Rumput laut juga bermanfaat sebagai antibiotik dan industri pembutan obat-obatan (Munifah, 2008). Pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh kualitas perairan di lokasi budidaya. Kualitas perairan yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut adalah suhu, salinitas, derajat keasaman, oksigen terlarut, kecerahan, kedalaman, kecepatan arus dan substrat. Penelitian terkait kualitas perairan untuk lokasi budidaya Eucheuma cottonii banyak dilakukan di Indonesia untuk menunjang keberlangsungan budidaya. Beberapa diantaranya pernah dilakukan Khasanah (2013) di perairan Kecamatan Sajoanging Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan, Noor (2015) di Perairan Ketapang Lampung Selatan, dan Akib et al., (2015) di Kabupaten Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan. Kualitas perairan selalu menjadi faktor yang sangat penting untuk diamati dan sebagai bahan pertimbangan kelayakan budidaya karena dapat mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Kunci keberhasilan usaha budidaya rumput laut, salah satunya ialah pemilihan lahan budidaya rumput laut karena produksi dan kualitas rumput laut sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologis seperti kualitas perairan. Perlu adanya data kualitas perairan yang mendukung pertumbuhan rumput laut agar lokasi untuk usaha budidaya rumput laut tidak terganggu dalam proses produksinya. Untuk itu perlu dilakukannya penelitian tentang kualitas perairan di Desa Temajuk sebagai informasi awal untuk penentuan lokasi budidaya rumput laut. 2. Rumusan Masalah Pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh faktor perairan. Penentuan titik lokasi budidaya harus memperhatikan faktor pertumbuhan rumput laut diperairan dengan mempertimbangkan karakteristik fisika, kimia dan biologi perairan yang sesuai dengan daya dukung lingkungan wilayahnya (Radiarta et al., 2003). Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditentukan rumusan masalah yaitu

3

Apakah kualitas perairan di pantai Desa Temajuk sesuai untuk dijadikan lokasi budidaya rumput laut Eucheuma cottonii. 3. Tujuan Penelitian ini memiliki tujuan yaitu untuk mengetahui kesesuaian perairan di Pantai Temajuk untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii berdasarkan Suhu, Salinitas, pH (Derajat Keasaman), DO (Oksigen terlarut), Kecerahan, Kedalaman, Kecepatan Arus dan Substrat. 4. Manfaat Manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan penelitian ini, adalah sebagai pertimbangan bagi masyarakat dalam mengembangkan usaha budidaya rumput laut Eucheuma cottonii, menjadi bahan informasi dan landasan pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat dan pusat serta pemangku kepentingan lainnya terkhusus perangkat Desa Temajuk dalam penentuan kebijakan pengembangan usaha rumput laut dan sebagai sumber data ilmiah dalam pengembangan ilmu penelitian bidang kelautan. 5. Tinjauan Pustaka 5.1 Eucheuma cottonii Morfologi Eucheuma cottonii mempunyai thallus silindris, permukaan licin, lunak bagaikan tulang rawan, dengan banyaknya cabang (Yulius et al., 2017). Menurut Parenrengi dan sulaeman (2007) percabangan pada Eucheuma cottonii memanjang dan melengkung seperti tanduk yang membentuk rumpun dengan arah percabangannya menuju arah datangnya sinar matahari. Warna pada rumput laut ini setiap saat mengalami perubahan, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah karena perubahan faktor lingkungan (Prasetyowati et al., 2008). Eucheuma cottonii merupakan rumput laut yang masuk kedalam jenis rumput laut divisi Rhodophyta. Klasifikasi rumput laut Eucheuma cottonii adalah sebagai berikut : (Amora, 2013)

4

Kingdom

: Plantae

Divisio

: Rhodophyta

Kelas

: Rhodophyceae

Ordo

: Gigartinales

Famili

: Solieriaceae

Genus

: Eucheuma

Spesies

: Eucheuma cottonii

Gambar 1. Eucheuma cottonii (Parenrengi dan sulaeman, 2007) 5.2 Manfaat Eucheuma cottonii Eucheuma cottonii sebagai penghasil karagenan banyak dimanfaatkan untuk bahan produksi industri dimana dapat diklasifikasikan dalam industri pangan, non pangan, farmasi, kosmetik dan bioteknologi (Prasetyowati et al., 2008). Menurut WWF Indonesia (2014) karagenan dapat dimanfaatkan pada beberapa industri seperti industri makanan pada crackers, wafer, kue, biskuit, pembuatan saus dan kecap, es krim, keju, susu dan proses pembuatan bir. Industri kosmetik seperti sabun, pasta gigi, sampo, pewarna bibir, hand body lotion, hair lotion. Karagenan yang terdapat pada Eucheuma cottonii pemanfaatannya sebagai bahan pembuatan obat pada industri farmasi seperti tablet, kapsul, obat cair (penicilin) dan sirup (Suparmi dan Sahri, 2009). Sementara untuk industri bidang bioteknologi karagenan digunakan dalam kultur jaringan untuk menumbuhkan sel. Penggunaan karagenan di dalam industri non pangan diantaranya pada industri

5

pakan ternak, pakan biota budidaya perikanan (abalone, teripang, baronang), pelet ikan, pelapis keramik pada busi otomotif, pelarut cat, perekat benang tenun, pewarna benang, kertas film dan pelapis foto film (WWF Indonesia,2014). 5.3 Budidaya Rumput Laut Usaha budidaya rumput laut adalah langkah yang tepat dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir. Usaha budidaya rumput laut memiliki peranan penting memenuhi kebutuhan pasar dalam dan luar negri, membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani serta menjaga kelestarian sumber hayati perairan (Fatmawati dan Wahyudi, 2015). Menurut Wijayanto et al. (2017) peluang usaha budidaya rumput laut didorong beberapa faktor yaitu usaha budidaya rumput laut mudah dilakukan, waktu pemeliharaan relatif singkat dan biaya pemeliharaan murah. Faktor utama penunjang keberhasilan budidaya rumput laut adalah pemilihan lokasi untuk budidaya (Agustina et al., 2017). Menurut Indriani dan Sumiarsih (1999), dalam pembudidayaan rumput laut jenis E. Cottonii diperlukan beberapa persyaratan khusus dalam memilih lokasi yaitu: a.

Letak budidaya sebaiknya jauh dari pengaruh daratan. Lokasi yang langsung menghadap laut lepas sebaiknya terdapat karang penghalang yang berfungsi melindungi tanaman dari kerusakan akibat ombak yang kuat, juga akan menyebabkan keruhnya perairan lokasi budidaya sehingga mengganggu proses fotosintesis.

b. Untuk memberikan kemungkinan terjadinya aerasi, pergerakan air pada lokasi budidaya harus cukup. Hal ini bertujuan agar rumput laut yang ditanam memperoleh pasokan makanan secara tetap, serta terhindar dari akumulasi debu dan tanaman penempel. c. Lokasi yang dipilih sebaiknya pada waktu surut masih digenangi air sedalam 30 - 60 cm. Ada dua keuntungan dari genangan air tersebut yaitu penyerapan makanan dapat berlangsung terus menerus, dan tanaman dapat terhindar dari kerusakan akibat terkena sinar matahari langsung.

6

d. Perairan yang dipilih sebaiknya ditumbuhi komunitas yang terdiri dari berbagai jenis makroalga. Bila perairan tersebut telah ditumbuhi rumput laut alamiah, maka daerah tersebut cocok untuk pertumbuhannya. 5.4 Faktor Lingkungan Perairan Rumput Laut Pertumbuhan dan kualitas budidaya rumput laut sangat dipengaruhi oleh faktor ekologis dari lingkungan jika kualitas lingkungannya baik dan sesuai maka kualitas rumput laut yang dibudidaya juga baik (Wijayanto et al., 2011). Menurut Sudrajat (2015) faktor kualitas perairan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii yaitu Suhu, Salinitas, pH (Derajat Keasaman), DO (Oksigen terlarut), Kecerahan , Kedalaman, Kecepatan Arus, Substrat, Nitrat dan Fosfat. Berikut tabel baku mutu air laut untuk pertumbuhan biota laut. Tabel 1. Baku mutu kualitas kerairan laut untuk biota laut No

Parameter

Baku mutu (satuan)

1

Suhu

28-30 (ºC) *

2

Salinitas

32-34 (ppt) *

3

pH(Derajat Keasaman)

7-8,5 *

4

DO (Oksigen terlarut)

>5 (mg/l) *

5

Kecerahan

3 (m)#

6

Kedalaman

3-10 (m)#

7

Kecepatan arus

0,2-0,3 (m/s)#

8

Substrat

Pasir dan karang ^

9

Nitrat

0,008 (mg/l)*

10

Fosfat

0,015 (mg/l)*

Keterangan: * = KEPMENLH No 51 (2004), # = Mubarak et al. (1990) ^ = Mudeng et al., (2015).

7

5.4.1 Suhu Parameter yang sering digunakan dalam menentukan kondisi atau perubahan suatu lingkungan yaitu suhu. Menurut Effendi (2003) perubahan suhu mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat organisme akuatik, karena itu setiap organisme akuatik mempunyai batas suhu maksimum dan minimum. Suhu sangat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan biota laut, suhu dapat mempengaruhi oksigen terlarut menjadi menurun dalam perairan yang menyebabkan peningkatan konsentrasi karbon dioksida ketika mengalami peningkatan (Ernawati dan Dewi, 2016). Keadaan tersebut akan mempengaruhi proses metabolisme dalam tubuh biota laut, misalnya laju pernafasan dan konsumsi oksigen terlarut (Affan, 2012). Peranan suhu sangat penting dalam pertumbuhan rumput laut, suhu dapat berpengaruh terhadap fisiologi, fotosintesis, respirasi, metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi bagi rumput laut (Dawes, 1981). Suhu antara 26,5-31,0ºC pada suatu perairan dikatakan baik dan mendukung untuk pertumbuhan rumput laut (Papalia, 2015). Menurut Herawati et al. (2015) kualitas perairan dengan suhu 2933°C masih dapat ditolerir untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii. 5.4.2 Salinitas Rumput laut melakukan pertumbuhan memerlukan salinitas relatif tinggi antara lain marga Halimeda, Padina, Sargassum dan Turbinaria, kebanyakan rumput laut tumbuh dan berkembang di daerah yang bertubir serta memiliki salinitas berkisar 30-33‰. Salinitas yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menyebabkan gangguan pada proses fisiologi rumput laut, apabila salinitas di perairan terlalu rendah ataupun terlalu tinggi maka pertumbuhan dan perkembangan rumput laut akan terhambat dan menyebabkan perubahan warna thallus (Isham et al., 2018). Terdapat beberapa jenis makroalga yang hidup di perairan dengan salinitas rendah dari genus Gracilaria dan Hypnea (Kadi, 2017). Salinitas 30–32‰ merupakan kondisi yang sangat baik untuk pertumbuhan rumput laut (Pallalo,

8

2013). Menurut Burdames dan Ngangi (2014) salinitas yang baik untuk pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma antara 28-33 ‰. 5.4.3 Derajat Keasaman (pH) pH adalah salah satu bagian dari faktor-faktor lingkungan perairan, perannya dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan rumput laut. Menurut Waluyo et al. (2016) nilai pH air laut cukup ekstrim maka dapat mempengaruhi fisiologi organisme serta menyebabkan kematian pada organisme. Tinggi rendahnya derajat keasaman (pH) air laut bisa dibuat sebagai salah satu indikator kualitas air laut. Derajat keasaman di suatu perairan berkisar antara 7,54-7,75 masih dikatakan baik untuk pertumbuhan rumput laut (Herlinawati et al., 2018). Menurut Mudeng et al. (2015) perairan dengan kualitas pH rata-rata 7-7,5 masih sesuai untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii. 5.4.4 Oksigen terlarut (DO) Turunnya kadar oksigen terlarut di perairan, dapat menyebabkan terganggunya ekosistem perairan yang akhirnya dapat mengakibatkan berkurangnya populasi biota (Patty et al., 2015). Oksigen terlarut dibutuhkan oleh rumput laut untuk proses metabolisme atau pertukaran zat yang dapat menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan (Ernawati dan Dewi, 2016). Perlunya oksigen terlarut bagi pertumbuhan rumput laut hampir sama diantara kelas Chlrophyceae, Phaeophyceae dan Rhodophyceae. Terdapat beberapa marga rumput laut yang sangat butuh oksigen terlarut relatif tinggi seperti Dictyosphaeria, Enteromorpha dan Valonia. Kisaran nilai DO yang baik untuk pertumbuhan rumput laut antara 6-7,5 mg/l (Ayhuan et al., 2017). Sirajuddin (2009) menjelaskan nilai DO berkisar antara 5,73-6,45 mg/L masih layak untuk pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma cottonii. 5.4.5 Kecerahan air laut Faktor yang sangat diperhatikan untuk mengetahui kualitas suatu perairan dan kehidupan biota laut yaitu dilihat dari kecerahan airnya. Runtuboi et al. (2014) mengungkapkan kecerahan suatu perairan merupakan salah satu indikator daya

9

tembus sinar matahari ke dalam air. Sinar matahari yang masuk ke dalam air akan digunakan untuk fotosintesis rumput laut dan produsen lainnya (Pong-Masak et al., 2010). Rendahnya tingkat kecerahan air dapat menurunkan nilai suatu produktivitas perairan. Suatu perairan dengan tingkat kekeruhan tinggi menyebabkan banyaknya bahan tersuspensi sehingga menutupi tallus rumput laut yang menghambat proses penyerapan unsur hara (Pong-Masak et al., 2010). Perairan yang memiliki kecerahan air sekitar 12,5-15 m dapat dikatakan sangat baik karena sesuai dengan kriteria yang tingkat kecerahan perairan yaitu >5 m untuk rumput laut. Aktifitas untuk berfotosintesis pada rumput laut berkisar antara 0,6-5 meter atau lebih (Arfah dan Patty, 2016). 5.4.6 Kedalaman Kedalaman akan mempengaruhi kualitas pertumbuhan rumput laut untuk budidaya jika tidak sesuai dengan kedalaman yang baik untuk pertumbuhan rumput laut. Menurut Kangkan (2006) kedalaman perairan berpengaruh terhadap jumlah dan jenis organisme yang mendiaminya, penetrasi cahaya, dan penyebaran plankton. Periaran yang dangkal dapat membuat rumput laut menjadi sangat mudah dijangkau oleh herbivora bentik atau menjadi kering pada saat surut atau sebaliknya periaran terlalu dalam akan sangat menyulitkan proses budidaya yaitu penanaman, pemeliharaan maupun panen yang berdampak pada meningkatnya biaya operasional atau investasi (Runtuboi et al., 2014). Kedalaman perairan pesisir antara 0,9-3,3 m, masih dalam kisaran yang dapat ditolerir untuk pertumbuhan rumput laut (Ferdiansyah, 2013). Menurut Suhaimi et al. (2012) kedalaman perairan dengan rata-rata 10 m masih cukup untuk mendukung pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii. 5.4.7 Kecepatan Arus Kecepatan arus air merupakan parameter kualitas air yang juga menjadi faktor penting dalam budidaya laut. Arus sangat berpengaruh bagi rumput laut dalam membawa nutrient dan sumber makanan (Anggadiredja et al., 2008). Karakter lingkungan perairan dengan kecepatan arus sedang merupakan kondisi yang baik

10

untuk keberadaan rumput laut, sehingga pada lokasi tersebut dapat ditemukan rumput laut dengan biomassa yang lebih tinggi (Erlania dan Radiarta, 2015). Kecepatan arus yang sesuai sangat dibutuhkan dalam budidaya rumput laut. Menurut Arisandi (2012) arus yang terlalu pelan akan mengganggu penyerapan zat hara di perairan dan epifit-epifit yang tumbuh menempel pada rumput laut akan semakin banyak sehingga dapat menjadi pesaing dalam mendapatkan nutrien. Kecepatan arus yang optimum untuk pertumbuhan rumput laut berkisar antara 20-40 cm/s dan tidak lebih dari 40 cm/s karena dapat merusak konstruksi budidaya rumput laut (Arfah dan Patty, 2016). 5.4.8 Substrat Tipe substrat suatu perairan bervariasi dari tipe karang, pasir, lumpur, batu atau gabungan dari beberapa substrat. Substrat lokasi yang bervariasi dapat berpengaruh terhadap instalasi budidaya, pertukaran air, penumpukan hasil metabolisme dan kotoran (Rejeki, 2001). Substrat suatu perairan dapat menjadi indikator keadaan oseanografi dan faktor penentu dalam pemilihan lokasi budidaya rumput laut. Tipe substrat yang sesuai untuk pertumbuhan adalah tipe substrat dari percampuran pasir dan pecahan karang (Prasetyo, 2007). 5.4.9 Nitrat Nitrat merupakan unsur hara yang sangat penting untuk pertumbuhan rumput laut sebagai nutrien dan merupakan bentuk utama dari Nitrogen (Khasanah, 2013). Menurut Kangkan (2006) nitrat dapat terbentuk karena beberapa proses yaitu, badai listrik, organisme pengikat nitrogen dan bakteri yang menggunakan amoniak. Tinggi rendahnya konsentrasi dari nitrat sangat dipengaruhi oleh kegiatan di darat yang menghasilkan sampah organik dan rumah tangga (Gundo et al., 2011). Pertumbuhan rumput laut membutuhkan tingkat kesuburan perairan yang optimal begitu juga untuk nitrat. Herawati (2015) menyatakan perairan yang memiliki nitrat yang terlalu tinggi berdampak pada pertumbuhan rumput laut karena memunculkan alga-alga sebagai kompetitor dalam mendapatkan nutrisi. Sedangkan, jika nitrat pada perairan terlalu rendah dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, metabolisme dan reproduksi (Agustina et al., 2017).

11

Menurut Fikri et al., (2015) nilai nitrat 0,00-1,46 mg/l masih dalam kisaran yang dapat ditolerir untuk pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii. 5.4.10 Fosfat Fosfat merupakan unsur yang memiliki kandungan unsur P (fosfor) yang penting untuk alga dan dapat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan (Effendi, 2003). Menurut Hutagalung dan Rozak (1997) fosfat yang terdapat di perairan berasal dari dua sumber yaitu secara alami dan antropogenik. Secara alami fosfat berasal dari pelapukan batuan mineral dan dekomposisi bahan-bahan organik, sedangkan secara antropogenik berasal dari limbah industri, domestik dan pertanian manusia. Keberadaan fosfat di perairan dapat menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan rumput laut (Ferdiansyah, 2013). Kualitas perairan yang baik untuk pertumbuhan biota laut memiliki nilai fosfat 0.015 mg/l (KEPMENLH, 2004). Menurut Fikri et al., (2015) nilai fosfat di perairan 0,37-0,66 mg/l masih layak untuk pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii. 6. Metodologi 6.1 Lokasi Penelitian Lokasi pengamatan dilakukan di Pantai Temajuk Desa Temajuk Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas. 6.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : Tabel 2. Alat Penelitian No. Alat

Kegunaan

1.

Roll meter

Sebagai alat untuk mengukur jarak dan kedalaman

2.

Tali penduga

3.

GPS (Global System)

4.

Layang-layang arus atau current Digunakan untuk mengukur arus meter

Sebagai alat mengukur kedalamam Positioning Sebagai alat untuk menandai titik lokasi pengambilan sampel

12

5.

Secchi disk

Untuk mengukur kecerahan perairan

6.

Kamera

Untuk mendokumentasikan setiap proses pengambilan data

7.

Termometer

Untuk mengukur suhu

8.

pH meter

Sebagai alat keasaman

9.

Hand-refrakctometer

Untuk mengukur salinitas

10.

Kertas newtop

Sebagai alat mencatat data

11.

Alat tulis

Sebagai alat untuk dalam mencatat data

12.

Snorkel

Untuk pengamatan jenis substrat.

13. 14.

DO meter Pemberat

Untuk mengukur oksigen terlarut Untuk membantu proses pengukuran kedalaman

pengukur

derajad

6.3 Metode Pengambilan Data Menggunakan 3 titik stasiun Pengamatan yang di tentukan dengan metode Purposif Random Sampling dengan menentukan stasiun berdasarkan keberadaan rumput laut, kemudian di tandai dengan GPS(Global Positioning System). Penentuan lokasi titik stasiun seperti yang terlihat pada Gambar 2.

13

Gambar 2. Lokasi Stasiun Penelitian Data meliputi pengukuran kualitas perairan yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Data yang diambil merupakan yaitu Suhu, Salinitas, pH, DO, Kecerahan, Kedalaman, Kecepatan arus dan Substrat. 6.3.1

Suhu

Pengukuran suhu perairan dilakukan dengan cara menyiapkan termometer kemudian mencelupkan termometer kedalam perairan, kemudian termometer diangkat dan dicatat nilai suhu yang ditunjukan pada termometer. Perhatikan angka termometer saat di udara, pengukuran suhu dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. 6.3.2

Salinitas

Pengukuran salinitas diawali dengan menetralisir salinometer dengan aquades terlebih dahulu agar garis penunjuk berada pada angka nol, hal ini dilakukan untuk meminimalisir terjadinya kesalahan dalam pengambilan data salinitas. Selanjutnya membuka penutup kaca dan meletakkan 1-2 tetes sampel air yang

14

akan diukur, kemudian ditutup kembali secara perlahan. Nilai salinitas yang muncul diamati dan dicatat hasilnya, dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. 6.3.3

Derajat keasaman (pH)

pH air laut diukur menggunakan pH meter. pH meter dicelupkan kepermukaan perairan hingga terlihat perubahan dan dilihat nilai pH, kemudian dicatat hasilnya, engukuran sebanyak 3 kali ulangan. 6.3.4

Oksigen Terlarut / DO

Oksigen terlarut merupakan parameter perairan yang penting bagi kehidupan biota akuatik sebagai proses respirasi. Keberadasan DO saangat dipengaruhi oleh suhu, kepadatan organisme, dan turbulensi air. Pengukuran DO menggunakan DO meter yang dicelupkan secara langsung kepermukaan perairan, dicatat hasil yang diperoleh pada layar DO meter, dilakukan 3 kali ulangan. 6.3.5

Kecerahan

Kecerahan perairan pada lokasi pengamatan diukur menggunakan secchi disk, dengan cara memasukkan secchi disk secara perlahan kedalam perairan hingga warna pada lingkaran secchi disk tidak terlihat lagi. Kemudian diukur jarak secchi disk dengan permukaan perairan, dicatat hasil yang didapat, dilakukan 3 kali ulangan. 6.3.6

Kedalaman

Pengukuran kedalaman menggunakan tali penduga yang diturunkan kedasar perairan, dipasang pemberat diujungnya agar tidak dipengaruhi oleh arus, ketika sudah mencapai dasar selanjutnya tali penduga diukur dengan Roll meter, dilakukan 3 kali ulangan. 6.3.7

Kecepatan Arus

Arus merupakan faktor fisis yang mempengaruhi keberadaan setiap jenis rumput laut. Oleh karena itu dilakukan pengukuran arus dengan menggunakan layang-layang arus, dilakukan 3 kali ulangan. Dimana nilai kecepatan arus yang didapat menggunakan persamaan (2) berikut ini :

15

v =

s

(2)

t

Keterangan : v = Kecepatan Arus (m/s) s = Jarak (m) t = Waktu (s) 6.3.8

Substrat

Pengamatan jenis substrat dasar perairan secara langsung dengan metode visual dengan bantuan snorkel. Jenis substrat yang diamati dicatat pada setiap stasiunnya. 6.4 Analisis Kualitas Perairan Parameter lingkungan selanjutnya dihitung skoring untuk menentukan nilai kesesuaian lahan budidaya rumput laut. Analisis tingkat kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membagi setiap parameter menjadi tiga kelas yaitu: sesuai, kurang sesuai, dan tidak sesuai (Noor, 2015).

Tabel 3. Sistem Penilaian Kesesuaian Perairan Lokasi Budidaya Rumput Laut Parameter(satuan)

Kisaran

Suhu(oC)

24-30 30-32

Salinitas (ppt)

pH

DO(mg/L)

Angka Bobot(B) Penilaian(A) 5 3 3

Nilai 15 9

<24 atau >30

1

22-34 34-38 <22 atau >38

5 3 1

3

6,5 – 8,5 4-6,4 dan 8,6 –9 <4 atau >9

5 3

3

1

3

6-7,5 4-5,9

5 3

15 9

Keterangan Djokosetiyanto et al (2008)

3

3

15 9 3 15 9

Gazali et al(2013)

WWF Indonesia (2014)

Ayhuan et al (2017)

16

Kecerahan(m)

Kedalaman(m)

Kecapatan arus (cm/s)

Substrat

<4 atau >7,5

1

3

>3 1-3 <1

5 3 1

15 9 3

1-10 11-15

5 3

<1 atau >15

1

3

20-30

5

15

10-19 atau 31-40 <10 atau >40

3 1

3

Pasir, pecahan karang, karang

5

10

Pasir berlumpur

3

6

lumpur

1

2

Keterangan : Nilai

=AxB

Klasifikasi kesesuaian Perairan Sesuai

= Ʃ A x B = 70 – 115

Kurang sesuai = Ʃ A x B = 24 - 69 Tidak sesuai = Ʃ A x B = < = 23

3

3

3

15 9

9

2

Sulistiyowati(2003)

Radiarta et al (2003)

Ariyati et al(2007)

Mudeng et al (2015)

17

7. Rencana Jadwal Penelitian Waktu Pelaksanaan NO

(Bulan)

Jenis Kegiatan Oktober

1

Pembuatan Proposal

2

Survei Lapangan

3

Seminar Kolokium

4

Persiapan Alat dan Bahan

5

Penelitian Lapangan

6

Analisis Data

November

Desember

Januari

18

Daftar Pustaka Affan, J.M., 2012, Identifikasi Lokasi untuk Pengembangan Budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) Berdasarkan Faktor Lingungan dan Kualitas Air di Perairan Pantai Timur Bangka Tengah, J. Depik., 1: 78-85. Agustina, N.A.; Wijaya, N.I. dan Prasita, V.D., 2017, Kriteria Lahan Untuk Budidaya Rumput Laut (Eucheuma Cottonii) di Pulau Gili Genting Madura, Seminar Nasional Kelautan XII Inovasi Hasil Riset dan Teknologi dalam Rangka Penguatan Kemandirian Pengelolaan Sumber Daya Laut dan Pesisir, Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya. Abdul Akib, A.; Litaay, M.; Ambeng dan Asnady, M., 2015, Kelayakan Kualitas Air untuk Kawasan Budidaya Eucheuma cottoni Berdasarkan Aspek Fisika, Kimia dan Biologi di Kabupaten Kepulauan Selayar, J. Pesisir dan Laut Tropis, 1: 25-36. Amora, S.S.D., 2013, Ekstraksi Senyawa Antioksidan pada Nugget-Rumput Laut Merah Eucheuma cottonii, J. Sains Dan Seni Pomits, 2: 23-25. Anton, 2017, Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut (Eucheuma) Pada Spesies yang Berbeda, J. Airaha., 5: 102-109. Anggadiredja, J. T.; Zatnika, A.; Purwoto, H. dan S. Istini, 2006. Rumput Laut Pembudidaya, Pengolahan dan Pemasaran Komoditas Perikanan Potensial Penebar Swadaya, Jakarta. Arfah, A. dan Patty, S.I., 2014, Keanekaragaman dan Biomassa Makro Algae di Perairan Teluk Kotania Seram Barat, J.Ilmiah Platax., 2: 63-73. Arisandi, 2011, Pengaruh Salinitas yang Berbeda terhadap Morfologi Ukuran dan Jumlah Sel Pertumbuhan serta Rendemen Karaginan Kappaphycus alvarezii. J. Ilmu Kelautan., 16: 143-150.

19

Ariyati, R.W.; Sya’rani, L. dan Arini, E., 2007, Analisis Kesesuaian Perairan Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan Sebagai Lahan Budidaya Rumput Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis, J. Pasir Laut., 3: 27-45. Ayhuan, H.V.; Zamani, N.P. dan Soedharma, D., 2017, Analisis Struktur Komunitas Makroalga Ekonomis Penting di Perairan Intertidal Manokwari Papua Barat, J. Teknologi Perikanan Kelautan., 8: 19-38. Burdames, Y. dan Ngangi, E.L.A., 2014, Kondisi Lingkungan Perairan Budidaya Rumput Laut di Desa Arakan Kabupaten Minahasa Selatan, J. Budidaya Perairan., 2: 69-75. Dawes, A., 1981, Marine Botani, Academic Press, New York. Djokosetiyanto, D.; Effendl, I. dan Antara, K.L., 2008, Pertumbuhan Kappaphycus Alvarezii Varietas Maumere Varietas Sacol dan Euchema Denticuiatum Di Perairan Musi Buleleng, J. Ilmu Kelautan., 13: 171-176. Effendi, E., 2003, Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan, Kanisius, Yogyakarta. Erlania dan Radiarta, I.N., 2015, Distribusi Rumput Laut Alam Berdasarkan Karakteristik Dasar Perairan di Kawasan Rataan Terumbu Labuhanbua, Nusa Tenggara Barat Strategi Pengelolaan Untuk Pengembangan Budidaya, J. Riset Akuakultur., 10: 449-457. Ernawati, N.M. dan Dewi, A.P.W.K., 2016, Kajian Kesesuaian Kualitas Air Untuk Pengembangan Keramba Jaring Apung di Pulau Serangan Bali, J. Ecotrophic., 10: 75-80. Fatmawati, I. Dan Wahyudi, D., 2015, Potensi Rumput Laut di Kabupaten Sumenep, J. Cemara., 12: 1-9. Ferdiansyah, D., 2013, Studi Kelayakan Lahan Budidaya Rumput Laut(Eucheuma Cottonii) di Kecamatan Bluto Sumenep Madura Jawa Timur, J. Agrosains., 2: 79-86.

20

Fikri, M.; Rejeki, S. dan Widowati, L.L., 2015, Produksi dan Kualitas Rumput Laut (Eucheuma Cottonii) dengan Kedalaman Berbeda di Perairan Bulu Kabupaten Jepara, J. Aquaculture Management and Technology., 4: 67-74. Gazali, I.; Widiatmono, B.R. dan Wirosoedarmo, R., 2013, Evaluasi Dampak Pembuangan Limbah Cair Pabrik Kertas Terhadap Kualitas Air Sungai Klinter Kabupaten Nganjuk, J. Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem 1: 1-8. Gundo, C.; Soemarno; Arfiati, D.; Harahap, N. dan Kaunang, T.D., 2011, Analisis Parameter Oseanografi di Lokasi Pengembangan Eucheuma spinosum Pulau Nain Kabupaten Minahasa Utara, J. Ilmu Kelautan., 16: 193-198 Haris, 2008, Teknik Produksi Anggur Laut(Caulerpa racemosa), Prosiding Simposium Nasional Hasil Riset Kelautan dan Perikanan., Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Herawati, E.Y.; Semedi, S. dan Jailani, E.Q., 2015, Studi Kelayakan Lahan Budidaya Rumput Laut Eucheuma Cottonii di Kecamatan Bluto Sumenep Madura Jawa Timur, J. Manusia dan Lingkungan., 22: 211-216. Herlinawati,

N.D.P.D.;

Arthana,

I.W.

dan

Dewi,

A.P.W.K.,

2018,

Keanekaragaman dan Kerapatan Rumput Laut Alami Perairan Pulau Serangan Denpasar Bali, J. Marine Aquatic Sciense.,. 4: 22-30. Hutagalung, H.P. dan Rozak, A., 1997, Penentuan kadar Nitrat Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta. Indriani, H. Dan Sumiarsih, E.,

1999, Budidaya Pengolahan dan Pemasaran

Rumput Laut, PT. Penebar Swadaya, Jakarta. Isham; Kasim, M. dan Arami, H., 2018, Komposisi Jenis dan Kepadatan Makroalga di Perairan Desa Ulunipa Kecamatan Menui Kepulauan Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah, J. Manajemen Sumber Daya Perairan, 3:199-207.

21

Kadi, A., 2012, Potensi Rumput Laut dan Kesesuaian Lokasi Budidaya di Perairan Bangka-Belitung, J. Oseana., 37: 37-44. Kadi, A., 2017, Interaksi Komunitas Makroalga dengan Lingkungan Perairan Teluk Carita Pandeglang, J. Biosfera., 34: 32-38. Kangkan, A.L., 2006, Studi Penentuan Lokasi untuk Pengembangan Budidaya Laut Berdasarkan Parameter Fisika Kimia dan Biologi di Teluk Kupang Nusa Tenggara Timur, Universitas Diponegoro, Program Studi Magister Manajemen Sumber daya Pantai, Semarang, (Tesis). Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2016, Peta Sentra Produksi Perikanan Budidaya, Direktorat Produksi dan Usaha Budidaya, Jakarta. Kementriaan lingkungan hidup, 2004, Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, Jakarta. Khasanah, U., 2013, Analisis Kesesuaian Perairan untuk Lokasi Budidaya Rumput Laut Eucheuma Cottonii di Perairan Kecamatan Sajoanging Kabupaten Wajo, Universitas Hasanuddin, Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan, Makassar, (Skripsi). Malik, F., 2014, Profil pariwisata Kabupaten Sambas Kawasan Perbatasan Provinsi kalimantan Barat 2013 (Studi Kasus Perbatasan IndonesiaMalaysia), J. Dinamika Pengabdian., 1: 21-31. Mubarak, H.; Ilyas, S.; Ismail, W.; Wahyuni, I.S.; Hartati, S.H.; Pratiwi, E.; Jangkaru, Z.; dan Arifuddin, R., 1990, Petunjuk teknis budidaya rumput laut. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Perikanan. Jakarta. Mudeng, J.D.; Kolopita, M.E.F. dan Rahman, A., 2015, Kondisi Lingkungan Perairan Pada Lahan Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii di Desa Jayakarsa Kabupaten Minahasa Utara, J. Budidaya Perairan., 3: 172-186.

22

Munifah, I., 2008, Prospek Pemanfaatan Alga Laut untuk Industri, J. Squalen., 3: 58-62. Noor, N.M., 2015, Analisis Kesesuaian Perairan Ketapang Lampung Selatan Sebagai Lahan Budidaya Rumput Laut Kappapycus Alvarezii, J. Masparani., 7: 91-100. Pallalo, A., 2013, Distribusi Makroalga Pada Ekosistem Lamun dan Terumbu Karang di Pulau Bonebatang Kecamatan Ujung Tanah Kelurahan Barrang Lompo Makassar, Universitas Hasanudin, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Makassar, (Skripsi). Papalia, S., 2015, Struktur Komunitas Makro Alga Di Pesisir Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah, J. Ilmu Teknologi Kelautan Tropis., 7: 129142. Parenrengi, A. dan Sulaeman, 2007, Mengenal rumput laut Kappaphycus alvarezii, J. Media Akuakultur., 2: 142-146. Patty, S.I., Arfah, H. dan Abdul, M.S., 2015, Zat Hara (Fosfat, Nitrat), Oksigen Terlarut dan pH Kaitannya dengan Kesuburan Di Perairan Jikumerasa, Pulau Buru. J. Pesisir dan Laut Tropis., 1: 43-50. Pong-Masak, P.R.; Asaad, A.I.J.; Hasnawi; Pirzan, A.M. dan Lanuru, M., 2010, Analisis Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Gusung Batua Pulau Badi Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan, J. Riset Akuakultur., 5: 299-316. Prasetyowati; Jasmine, C.A. dan Agustiawan, D., 2008, Pembuatan Tepung Karaginan dari Rumput Laut (Eucheuma Cottonii) Berdasarkan Perbedaan Metode Pengendapan, J. Teknik Kimia., 15: 27-33. Prasetyo, T., 2007, Parameter Oseanografi Sebagai Faktor Penentu Pertumbuhan Rumput Laut Kappaphycus Alvarezii di Pulau Pari Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Bogor, (Skripsi).

23

Radiarta, I.N.; Wardoyo, S.E.; Priono, B. dan Praseno, O., 2003, Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya Laut di Teluk Ekas Nusa Tenggara Barat, J. Penelitian Perikanan Indonesia., 9: 67-80. Rejeki, S., 2001, Pengantar Budidaya Perairan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Universitas Diponegoro, Semarang. Runtoboi, D.; Paulungan, Y.P. dan Gunaedi, T., 2014, Studi Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut Berdasarkan Parameter Biofisik Perairan di Yensawai Distrik Batanta Utara Kabupaten Raja Ampat, J. Biologi Papua., 6: 31-37. Salim, Z. dan Ernawati, 2015, Info Komoditi Rumput Laut, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan dengan Al Mawardi Prima, Jakarta. Sirajuddin, M., 2009, Informasi Awal Tentang Kualitas Biofisik Perairan Teluk Waworada untuk Budidaya Rumput Laut (Eucheuma Cottonii), J. Akuakultur Indonesia., 8: 1-10. Sudrajat, A., 2015, Budi Daya 26 Komoditas Laut Unggul, Penebar Swadaya, Jakarta. Suhaimi, R.A; Makmur dan Mustafa, A., 2012, Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Rumput Laut(Kappaphycus Alvarezii) di Kawasan Pesisir Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo, Prosiding Indoaqua Forum Inovasi Teknologi Akuakultur., Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Sulawesi Selatan. Sulistyowati, H., 2003, Struktur Komunitas Seaweed (Rumput Laut) di Pantai Pasir Putih Kabupaten Situbondo, J. Ilmu Dasar., 4: 58-61. Suparmi dan Sahri, A., 2009, Mengenal Potensi Rumput Laut Kajian Pemanfaatan Sumber Daya Rumput Laut Dari Aspek Industri dan Kesehatan, J. Sultan Agung., 44: 95-116.

24

Waluyo; Yonvitner; Riani, E. dan Arifin, T., 2016, Daya Dukung Perairan Untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut Eucheuma Cottonii di Kabupaten Luwu dan Kota Palopo Teluk Bone Sulawesi Selatan, J. Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis., 8: 469-492. Wijayanto, T.; Hendri, M. dan Aryawati, R., 2011, Studi Pertumbuhan Rumput Laut Eucheuma Cottonii dengan Berbagai Metode Penanaman yang Berbeda di Perairan Kalianda Lampung Selatan, J. Maspari 3: 51-57. Wijayanto, E.; Kurniani dan Silitonga, L.M., 2017, Seaweed Business Development Strategy In Kecamatan Karimunjawa Kabupaten Jepara, Prosiding Sentrinov, Politeknik Negri Semarang. World Wildlife Fund Indonesia, 2014, Budi Daya Rumput Laut Kotoni (Kappaphycus alvarezii), Sacol (Kappaphycus striatum) dan Spinosum (Eucheuma denticulatum), WWF, Jakarta. Yulius, M.; Ramdhan, J.; Prihantono, D.; Gunawan, D.; Saepuloh, H.; L.Salim, I.; Rizaki, R. I. dan

Zahara, 2017, Pengelolaan Budidaya Rumput Laut

Berbasis Daya Dukung Lingkungan Perairan di Pesisir Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Seminar Nasional Geomatika Teknologi

Penyediaan

Informasi

Geospasial

untuk

Inovasi

Pembangunan

Berkelanjutan., Badan Riset dan SDM Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Related Documents

Latar Belakang
May 2020 45
Latar Belakang
May 2020 19
Latar Belakang
August 2019 39
Latar Belakang
November 2019 34
Latar Belakang
June 2020 16

More Documents from "Mary Walker"

Kartu Kontrol Apar.docx
December 2019 22
Baru.docx
December 2019 19
Cv.pdf
May 2020 12