Laptut S3b22.docx

  • Uploaded by: Obbi Wsn
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laptut S3b22.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 11,458
  • Pages: 65
BAB I PENDAHULUAN SKENARIO 3 AKU INGIN BISA DUDUK Pada usia 87 tahun, Nenek Rujiyem, datang de IGD diantar oleh keluarganya krena mengeluhkan sesak yang membera sejak 3 hari, disertai dengan demam dan batuk dengan dahak berwarna kuning kental. Pasien memilki riwayat hipertensi lebih dari 20 tahun. Satu tahun lalu terserang stroke karena perdarahan di otak. Sudah 1 bulan ini tidak bisa bangun dari tempat tidur, makan dan minum hanya sedikit-sedikit, sering tidak mau bicara, sulit diajak komunikasi. Dari pemeriksaan fisik terakhir di bangsal, pasien tampak sesak, dengan kesadaran apatis, TD 110/60 mmHg, RR 30x/menit, t=36,5 C, HR = 108 x/mnt., BMI : 14,3. Paru paru tampak sela iga melebar, dan didapatkan suara dasar vesikuler meningkat, ronki basah kasar lapang paru bawah, dengan fremitus taktil meningkat. Hasil lekosit 21000. Thorak PA tampak infiltrate di kedua lapang paru bawah. Kemudian oleh dokter bangsal diberikan oksigen, dipasang cairan infus dan antibiotic. Dokter melakukan tatalaksana non farmakologi dilakukan pemasangan NGT dengan diit cair, serta konsul di bagian rehabilitasi medik, dan gizi. Kemudian dilakukan penilaian terhadap resiko decubitus dan kemandirian.

BAB II DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA A. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario. B. Langkah II: Menentukan/ mendefinisikan permasalahan. 1. Bagaimana hubungan hipertensi dengan sesak, demam, dan batuk? 2.

Mengapa pasien tidak bisa bangun, makan, minum, dan tidak mau bicara?

3.

Bagaimana hubungan keluhan dengan kondisi pasien?

4.

Mengapa tekanan darah turun, padahal ada riwayat hipertensi selama 20 tahun?

5.

Mengapa kesadaran pasien menurun?

6.

Bagaimana status fungsional pasien dan cara penilaiannya?

7.

Mengapa SIC melebar?

8.

Apa indikasi pemberian O2, infus, antibiotic dan NGT pada geriatri?

9.

Apakah bahaya imobilisasi lansia dan bagaimana tatalaksananya?

10.

Mengapa

dilakukan

assessment

decubitus

dan

kemandirian?

Bagaiaman caranya? 11.

Apakah problem pasien dan bagaimana tatalaksana yang tepat?

12.

Bagaimana dasar pemberian nutrisi pada pasien penurunan kesadaran dan imobilisasi?

13.

Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan hubungannya dengan keluhan?

14.

Mengapa kasus dikonsulkan ke rehab medik dan gizi?

15.

Bagaimana hubungan stroke dengan tidak bisa bangun, makan, minum, dan sulit bicara?

16.

Bagaimana prognosis pasien pada skenario?

C. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan sementara mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II) Permasalahan yang ada dalam skenario ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana hubungan hipertensi dengan sesak, demam, dan batuk? (Pada pertemuan 1 tidak terjawab. Selanjutnya akan dibahas di jump 7.)

2.

Mengapa pasien tidak bisa bangun, makan, minum dan tidak mau bicara? -

Indra penciuman dan pengecapan menurun, saliva meurun, menjadi malas makan (tidak nafsu)

-

Reflex esophageal turun, gerak peristaltis turun, menyebabkan susah menelan

3.

-

Motilitas lambung turun

-

Makan minum sedikit, nutrisi turun, lemah (kurang energi)

Bagaimana hubungan keluhan dengan kondisi pasien? Pada kasus tersebut diketahui pasien mengalami sesak napas yang memberat, disertai demam dan batuk dengan dahak berwarna kuning kental. Demam mengindikasikan adanya infeksi. Batuk dengan dahak dan sesak napas mengindikasikan adanya masalah pada sistem pernapasan pasien. Berdasarkan gejala dan tanda serta hasil pemeriksaan fisik dan penunjang, kemungkinan pasien mengalami bronkopneumonia, yaitu infeksi pada saluran pernapasan dan parenkim paru (alveoli). Infeksi pada paru atau pneumonia menyebabkan terjadinya proses inflamasi pada jaringan paru dan disertai peningkatan permebilitas kapiler pulmoner. Peningkatan permeabilitas kapiler tersebut dapat menyebabkan

kebocoran

protein

plasma

beserta

cairan

dari

intravaskuler menuju ke ruang interstitial paru. Cairan pada mulanya akan terkumpul di jaringan interstitium di perivascular dan peribronkial serta septum interalveolaris. pada stadium ini, pertukaran gas belum begitu terganggu dan umumnya belum terjadi hypoxemia. Pada edema

yang parah, akan terjadi kerusakan pada epitelium alveoli dan terjadi kebocoran cairan ke dalam rongga alveoli, menyebab alveouli “tergenang” air dan pertukaran gas menjadi terganggu, serta umumnya hypoxemia terjadi pada stadium ini. Peningkatan cairan interstitial mengaktifkan reseptor yang bernama reseptor J dan mengaktivkan refleks untuk meningkatkan laju pernafasan sehingga pasien mengalami takipnea. Selain itu takipnea juga membantu dalam klirens cairan dari dalam paru-paru. Transudasi cairan ke ruang interstitial yang berlebihan menyebabkan komplians paru menurun sehingga pasien menjadi sulit bernapas atau sesak napas (dyspnea). Hal ini juga menyebabkan “harga” energi yang perlu dibayarkan untuk bernapas menjadi semakin besar sehingga kebutuhan oksigen pun meningkat. Infeksi pada saluran pernapasan menyebabkan proses inflamasi dan diproduksinya sekret/sputum berupa dahak yang kuning kental. Melalui proses batuk, tubuh berusaha untuk mengeluarkan dahak dari saluran napas. Adanya sekret yang kental ini dapat memperberat keluhan sesak napas pasien. Obstruksi pada jalan napas karena sekret dapat mengganggu aliran udara pernapasan.

4.

Mengapa tekanan darah turun padahal ada riwayat hipertensi selama 20 tahun? Dari kondisi pasien seperti yang dijelaskan di nomor 4, kemungkinan pasien telah mengalami gangguan pernapasan berat yang disebabkan oleh infeksi paru dan saluran napas sehingga terjadi gangguan pertukaran gas dan hipoksemia. Berkuranganya pasokan oksigen dan meningkatkan kebutuhan oksigen dapat menyebabkan pasien mengalami syok sirkulasi. Kadar oksigen di dalam darah menurun dan perfusi ke jaringan berkurang sehingga organ-organ tidak mendapat suplai oksigen yang cukup untuk metabolism dan beraktivitas, termasuk jantung yang bertugas memompa darah ke

seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebaban pasien mengalami tandatanda syok seperti tekanan darah menurun, frekuensi denyut nadi yang meningkat, laju respirasi yang meningkat, dan kesadaran yang menurun.

5.

Mengapa kesasadaran pasien menurun? Karena pertukaran gas di paru-paru terganggu sebagai akibat dari infeksi, kadar oksigen di dalam darah berkurang, disertai penurunan tekanan darah dan sirkulasi yang kurang adekuat sehingga pasokan oksigen dan nutrisi ke otak pun berkurang. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kesadaran apabila tidak segera ditangani. Dalam skenario ini pasien telah mengalami sesak napas sejak 3 hari yang lalu dan bertambah berat, sehingga pasokan oksigen dan nutrisi untuk otak sudah terganggu dalam waktu yang cukup lama.

6.

Bagaimana status fungsional pasien dan cara penilaiannya? (Pada pertemuan 1 tidak terjawab. Selanjutnya akan dibahas di jump 7.)

7.

Mengapa SIC melebar? Karena terjadi peningkatan usaha napas oleh pasien. Dapat menandakan adanya distress pernapasan. Kesulitan bernapas dapat terjadi karena menurunnya fungsi respirasi pada lansia dengan imobilitas, antara lain retensi sputum, peningkatan risiko aspirasi, gerak dinding dada menurun dan klirens saluran napas yang tidak tuntas.

8.

Apa indikasi pemberian O2 , infus, antibiotik dan NGT pada geriatri? NGT Dilakukan untuk dekompresi lambung, untuk mengambil sekret lambung, pemberian obat, makanan dan minman, mengambil zat toksik, menurunkan perdarahan lambung dan esophagus.

Indikasi : 

pasien dengan penurunan kesadaran



pasien tidak mau makan, GIT baik



asupan <60%



muntah, obstuksi, perforasi, perdarahan

Komplikasi : erosi nasal, sinusitis, refleks esophagus dan ulkus gaster O2 Diberikan pada pasien dengan kesulitas napas Antibiotik Diberikan karena kadar leukosit pasien tinggi yang menandakan terjadinya infeksi.

9.

Apakah bahaya imobilisasi lansia dan bagaimana tata laksananya? Akibat dari imobilisasi antara lain : DVT, kontrakturm ISK, konstipasi, decubitus, dll. (selanjutnya akan dibahas di jump 7)

10.

Mengapa

dilakukan

assesstment

decubitus

dan

kemandirian?

Bagaimana caranya? Assestment decubitus Karena pasien mengalami tirah baring lama, yang merupakan faktor risiko terjadinya ulkus decubitus. Faktor risiko decubitus : kulit basah, pasien DM, inkontinensia urine, sulit bergerak, dll. Tempat yang sering mengalami ulkus ini : bagian yang mengalami tekanan, seperti tumit, punggung, bokong, scapula, leher.

Penilaian : keadaan fisik, aktifitas, mobilitasm inkontinensia dan kesadaran. Dimana masing-masing aspek diberi skor 1-4.

Interpretasi : 

< 12 : peningkatan risiko sebanyak 50%



12-13 : risiko sedang



> 14 : risiko kecil

Assestment kemandirian Menggunakan index katz : terdapat 6 pertanyaan, yaitu bath, dressing, toileting, transferring, kontinensi, dan feeding. Dilakukan ketika pasien hendak pulang, untuk mempersiapkan keluarga/pengasuh apakah pasien perlu bantuan atau tidak.

11.

Apakah problem pasien dan bagaimana tatalaksana yang tepat? Hipertensi : 20 tahun lalu Stroke : 1 tahun lalu Infeksi saluran pernafasan : Demam, batuk, dahak kuning 3 hari lalu Ttx : panas yang merupakan tanda kardinal pada penyakit infeksi, kadang tidak ditemukan pada usia lanjut (sekitar 20-35% kasus infeksi usia lanjut tidak panas). Penatalaksanaan infesi pada usia lanjut selain antibiotik yang sesuai, memerlukan terapi adekuat untuk penyakitpenyakit komorbidnya. Juga dibutuhkan penatalaksanaan keperawatan yang kompleks dan terapi suportif seperti nutrisi, cairan dan elektrolit oksigen. Berikut terapi antibiotik pada usia lanjut :

Depresi : 1 bulan lalu, tidak mau makan Imobilisasi dan depresi pada geriatri : tidak bisa bangun dari tempat tidur, makan minum dikit, sering tidak mau bicara, sulit diajak komunikasi Imobilisasi

Terapi fisik dan latihan jasmani:  Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi secara teratur dan latihan ditempat tidur untuk mencegah terjadinya kelemahan dan kontrakstur otot dan sendi  Lakukan mobilisasi dini berupa turun dari tempat tidur, berpindah dari tempat tidur ke kursi dan latihan fungsional dilakukan secara bertahap  Latihan isometris teratur 10-20% dari tekanan maksimal selama beberapa kali dalam sehari dilakukan untuk mempertahankan kekuatan isometri  Untuk mencegah kontraktur otot dengan latihan gerakan pasif sebanyak satu atau dua kali sehari dalam 20 menit Pemberian antidepresan dimulai dari dosis rendah, dinaikan perlahan (start low go slow). Pengobatan antidepresan dibedakan atas tiga fase, yaitu : 

Fase akut berlangsung 6-12 minggu.



Tahap kedua disebut sebagai fase lanjutan yakni dosis optimal dipertahankan selama 4 sampai 9 bulan untuk mencegah terjadinya relaps.



Tahap berikutnya sebagai terapi rumutan yang dapat berlangsung hingga satu tahun atau lebih. Terapi rumutan terutama diberikan untuk gangguan depresi dengan riwayat episode berulang. Pemberian obat antidepresan pada pasien geriatri sampai minimal satu tahun karena terbukti menurunkan risiko relaps maupun rekurens.

12.

Bagaimana dasar pemberian nutrisi pada pasien penurunan kesadaran dan imobilisasi? Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu dilakukan untuk mencegah terjadi konstipasi. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya malnutrisi

pada pasien imobilisasi. Pada pasien yang mengalami hipokinesis perlu diberikan suplementasi vitamin dan mineral.

13.

Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan hubungan dengan keluhan? (Pada pertemuan 1 tidak terjawab. Selanjutnya akan dibahas di jump 7.)

14.

Mengapa kasus dikonsulkan ke rehabilitasi medik dan gizi? (Pada pertemuan 1 tidak terjawab. Selanjutnya akan dibahas di jump 7.)

15.

Bagaimana hubungan stroke dengan tidak bisa bangun, makan, minum dan sulit bicara? Kondisi tidak bisa bangun, makan, minum, dan sulit bicara pada geriatri lebih kepada gangguan psikologis yang sedang dialami. Dan merujuk kepada depresi. Diaman hal ini berhubungan dengan kondisi pasien sebelumnya yang terkena stroke. Penelitian tahun 2012 menyebutkan bahwa depresi pasca stroke terjadi pada 1 dari 3 pasien stroke. Gejala biasanya muncul pada bulan ketiga pasca stroke. Jadi berhubungan secara tidak langsung terhadap kondisi pasien yang tidak bisa bangun, makan, minum dan sulit bicara melalui depresi pasca stroke.

16.

Bagaimana prognosis pasien pada skenario? (Pada pertemuan 1 tidak terjawab. Selanjutnya akan dibahas di jump 7.)

D. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah III.

E. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran 1. Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan depresi pada geriatri 2. Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan penyebab dan komplikasi dari imobilisasi

3. Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan infeksi dan malnutrisi pada geriatri 4. Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding dan tatalaksana pada kasus 5. Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan assessment geriatri

F. Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru Setiap anggota dari kelompok kami mencari referensi untuk membuktikan kebenaran dari sumber yang telah dikemukakan dan prior knowledge kami, serta untuk menjawab persoalan yang belum diketahui (pada Langkah V).Beberapa referensi yang kami dapat berasal dari artikel ilmiah, jurnal ilmiah, dan buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan dalam blok 22 skenario 3 ini.

G. Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang diperoleh. 1. Mahasiswa mampu menjelaskan depresi pada geriatric Sering kali depresi pada lansia sangat sulit dikenali. Selain karena seringnya gejala depresi muncul sebagai gejala somatik, sehingga kemungkinan depresi diabaikan, pasien lansia sangat jarang melaporkan adanya mood depresi, dan lebih sering mengalami delusi. Untuk skrining depresi pada lansia, dapat digunakan 2 pertanyaan yang mencakup: a. Selama 2 minggu terakhir, apakah anda merasa sedih, depresi, dan putus asa? b. Selama 2 minggu terakhir, apakah anda tidak merasa tertarik atau senang melakukan hal-hal yang biasanya disukai? Dua pertanyaan ini sangat sensitif untuk mendeteksi depresi mayor pada individu berumur di atas 65 tahun. Jika salah satu dari kedua pertanyaan tersebut dijawab dengan “ya” maka, assessment perlu dilanjutkan dengan wawancara yang lebih komprehensif seperti dengan GDS (Geriatric Depression Scale) (Harper, Johnston, & Landefeld, 2016). Depresi pada geriatri yang muncul pertama kali di usia 60 tahun atau lebih, didefinisikan sebagai gangguan depresi mayor (major depressive disorder). Walaupun mungkin juga, depresi tersebut merupakan gangguan depresi unipolar yang baru muncul pada usia tersebut. Gangguan Depresi Mayor adalah sindrom yang memiliki efek buruk pada kehidupan seseorang, dan mengganggu fungsionalitas orang tersebut. Gejala utama dari gangguan ini adalah mood depresi, tidak adanya hasrat dan anhedonia. Adanya tiga gejala ini, ditambah 3 gejala lain yang antara lain: 

Perasaan

bersalah



yang berlebihan

Retardasi emosi atau psikomotor agitasi



Kelelahan

atau



Tidak adanya energy



Instability



Pikiran



Perubahan

dan

usaha

bunuh diri 

nafsu

makan

Atensi dan konsentrasi



Gangguan tidur

menurun serta gejala yang berlangsung selama 15 hari dianggap cukup untuk mendiagnosis Gangguan Depresi Mayor. Walaupun begitu, faktor geriatri yang sering mengalami kesulitan mengungkapkan mood depresinya menjadikan gangguan ini sulit dideteksi. Terlebih lagi gejala-gejala depresi yang disebutkan di atas sering dianggap sebagai gejala yang umum pada lansia (Sözeri-Varma, 2012). Faktor risiko yang dapat menyebabkan depresi pada usia lanjut antara lain: 

Usia



Kelamin perempuan



Janda atau tidak kawin



Hidup sendiri



Level edukasi rendah



Pengonsumsian alkohol dan rokok



Adanya penyakit fisik



Penggunaan beberapa macam obat



Adanya psikososial

stresor

Perbedaan mendasar antara depresi late onset dan depresi early onset (SözeriVarma, 2012) Variables

Late onset Early onset depression depression

Rate of cardiovascular diseases

High

Low

Familial depression

Low

High

Comorbid psychiatric disease

Low

High

White matter abnormality

High

Low

Executive dysfunction

High

Low

Suicide

High

Low

Apathy and psychomotor changes High Low Terapi untuk depresi pada geriatri lebih ditujukan pada individu yang menunjukkan adanya gangguan depresi mayor. Selain itu, pilihan terapi lebih dipilihkan secara nonfarmakologis. Terapi farmakologis pilihan untuk depresi pada geriatri adalah Selective Serotonine Reuptake Inhibitors (SSRIs), khususnya sertralin, dan escitalopram, karena efek sampingnya yang cukup sedikit. Dosis pemberian pada geriatri menggunakan prinsip start low, go slow dengan titrasi dosis penuh perlahan dan masa uji coba yang lebih lama (8 minggu). Untuk individu yang baru pertama kali mengalami episode depresi, terapi perlu dilanjutkan hingga 6 bulan setelah remisi untuk mencegah rekurensi. Terapi farmakologis yang diberikan dapat dibarengi dengan dilakukan pemberian terapi problem-solving, dan terapi cognitive-behavioral. (Harper et al., 2016)

Antidepresan yang Sering Digunakan Untuk Depresi Late-onset (Taylor, 2014)

These guidelines are concordant with recommendations in the American Psychiatric Association Practice Guideline for the Treatment of Patients with Major Depressive Disorder, third edition

SSRIs (sertralin, fluoxetin, dan paroxetin) menjadi pilihan utama untuk depresi late onset. Efek samping yang mungkin ditimbulkan dalam terapi dengan SSRIs antara lain: mual, pusing, diare, disfungsi seksual dan risiko jatuh dan adanya risiko yang lebih tinggi terhadap stroke, yang juga ditemukan pada penggunaan antidepresan lainnya. SNRIs (Serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors) adalah pilihan kedua setelah SSRIs. NRIs yang sering menjadi pilihan adalah duloxetin yang menunjukkan perbaikkan yang cukup signifikan pada pasien depresi late onset. Antidepresan golongan trisiklik lebih jarang digunakan karena efek sampingnya yang cukup besar.

Post-Stroke Depression (PSD) Depresi pasca stroke didefinisikan sebagai gangguan mood akibat stroke dengan gejala depresif, episode seperti major depressive, atau campuran. Pasien dengan diagnosis gangguan mood karena stroke harus memiliki gejala mood depresif atau hilangnya kesenangan ditambah 4 gejala lainnya dari depresi yang berlangsung selama 2 minggu atau lebih. (Fallis, 2013)(Robinson & Jorge, 2016) Faktor risiko dari PSD antara lain: a. Faktor genetik, polimrfisme pada 5-HTTLPR dan STin2 VNTR dari gen serotonin transporter (SERT) sudah sering dikaitkan dengan PSD pada pasien stroke (19). Modifikasi epigenetik dari 5-HTTLPR juga dikaitkan dengan onset dan tingkat keparahan dari PSD b. Usia, tidak ditemukan signifikansi yang berarti dari faktor usia pada 16 hasil penelitian dari total 21 penelitian. c. Jenis kelamin, walaupun gender tidak dianggap sebagai faktor risiko yang signifikan terhadap angka kejadian PSD, wanita didapati lebih berisiko dibandingkan pria pada 1/3 penelitian dari 21 yang telah dilakukan. d. Riwayat medis dan psikiatrik, faktor risiko adanya penyakit kardiovaskuler seperti hipertensi dan hiperkolesterolemia didapati tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap angka kejadian PSD. Sebaliknya, adanya riwayat diabetes mellitus ditemukan lebih memiliki signifikansi pada kejadian PSD. Begitu juga dengan adanya riwayat depresi dan ansietas pada pasien serta riwayat keluarga dengan depresi. e. Tipe dan keparaham stroke, tipe (iskemik, hemoragik) ataupun mekanisme (trombotik, embolik) dikatakan tidak terlalu berpengaruh terhadap adanya PSD. f. Lokasi lesi, menurut studi yang dilakukan di tahun 1984 dan 1987, pasien stroke akut dengan lesi di frontal sinistra atau ganglia basalis sinistra memiliki frekuensi depresi mayor maupun minor yang lebih tinggi ketimbang pasien stroke yang memilik lokasi lesi selain itu. Namun, hal ini hanya terjadi sementara pada 2 bulan pertama setelah stroke.

g. Derajat disabilitas, pasien stroke dengan depresi mayor menunjukkan hasil yang cukup rendah pada MMSE (Mini-Mental State Examination) dibandingkan pasien yang tidak depresi dengan lokasi lesi dan ukuran lesi yang sma. h. Dukungan social Terapi

untuk

PSD

(Robinson

&

Jorge,

2016)

Pemberian nortriptilin (50 mg-100mg/hari) pada pasien PSD menunjukkan adanua penurunan skor pada Hamilton Depression Rating Scale (HAM-D) setelah pemberian selama 6 minggu. Sedangkan permberian SSRIs (citalopram 10 mg20mg/hari) menunjukkan reduksi skor HAM-D yang lebih besar setelah pemberian terapi selama 6 minggu. Sayangnya, penggunaan SSRIs meningkatkan risiko

komplikasi hemoragik dan meningkatkan risiko jatuh pada lansia. Pada beberapa studi juga dilaporkan SSRIs dapat meningkatkan risiko stroke, infark miocardium, dan mortalitas. Namun, menurut American Heart Association penggunaan antidepresan disarankan untuk pasien PSD dan perlu dilanjutkan terapinya hingga 6 bulan setelah pengobatan berhasil. 2. Mahasiswa mampu menjelaskan penyebab dan komplikasi imobilisasi pada geriatric a. Pengertian Immobilisasi atau bedrest adalah intervensi untuk menahan klien di tempat tidur untuk alasan terapeutik. Klien yang memiliki keadaan yang bervariasi diletakkan dalam keadaan bedrest. Durasinya bergantung pada penyakit atau cedera dan keadaan kesehatan klien sebelumnya. NANDA international mendefinisikan gangguan mobilitas fisik sebagai keterbatasan pada kemandirian, gerakan fisik pada tubuh, satu atau lebih ekstremitas. Gangguan tingkat mobilisasi fisik klien sering disebabkan oleh gerakan dalam bentuk tirah baring, retriksi fisik karena peralatan eksternal (misalnya gips atau traksi rangka), retraksi gerakan volunter, atau gangguan fungsi motorik dan rangka. Pada pasien kritis diperlukan istirahat total untuk mengurangi pengguanaan oksigen, pengukuran oksigen, penguragan trauma, agar energi digunakan untuk penyembuhan. Akan tetapi keadaan ini menyebabkan perubahan psikologis, fisiologis dan psikososial. Hal ini terutama terjadi bila imobilisasi mutlak dengan posisi terlentang, trendelenburg, lateral, atau posisi fowler. b. Penyebab Berbagai perubahan terjadi pada system musculoskeletal, meliputi tulang keropos (osteoporosis), pembesaran sendi, pengerasan tendon, keterbatasan gerak, penipisan discus intervertebralis, dan kelemahan otot, terjadi pada proses penuaan. Pada lansia, struktur kolagen kurang mampu menyerap energi. Kartilago sendi mengalami degenerasi didaerah yang menyangga tubuh dan menyembuh lebih lama. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya osteoarthritis. Begitu juga masa otot dan kekuatannya juga berkurang. Istirahat di tempat tidur lama dan inaktivitas menurunkan aktivitas metabolisme umum. Hal ini mengakibatkan penurunan kapasitas fungsional sistem tubuh yang multipel, dengan manifestasi klinis sindrom imobilisasi. Konsekuensi metaboliknya

tidak tergantung penyebab untuk apa imobilisasi diresepkan. Hal ini bisa disebabkan oleh: 1) Cedera tulang: penyakit reumatik seperti pengapuran tulang atau patah tulang (fraktur) tentu akan menghambat pergerakan. 2) Penyakit saraf: adanya stroke, penyakit parkinson, paralisis, dan gangguan saraf tapi juga menimbulkan gangguan pergerakan dan mengakibatkan imobilisasi. 3) Penyakit jantung dan pernapasan penyakit jantung dan pernapasan akan menimbulkan kelelahan dan sesak napas ketika beraktivitas. Akibatnya pasien dengan gangguan pada organ – organ tersebut akan mengurangi mobilisasinya. Ia cenderung lebih banyak duduk dan berbaring. 4) Gips ortopedik dan bidai. 5) Penyakit kritis yang memerlukan istirahat. 6) Menetap lama pada posisi gravitasi berkurang, seperti saat duduk atau berbaring. 7) Keadaan tanpa bobot diruang hampa, yaitu pergerakan tidak dibatasi, namun tanpa melawan gaya gravitasi c. Dampak Individu dengan berat dan tinggi badan rata- rata dan tanpa penyakit kronis yang dalam keadaan tirah baring, akan kehilangan kekuatan otot sebanyak 3% setiap hari. Immobilisasi juga dihubungkan dengan perubahan kardiovaskuler, rangka dan organ lainnya. Keparahan perubahan sistem bergantung pada kesehatan keseluruhan, derajat lama mobilisasi, dan usia. Misalnya lansia dengan penyakit kronis mengembangkan dampak mobilisasi yang lebih cepat dari pada klien yang lebih muda dengan masalah imobilisasi yang sama. Diantara dampak yang terjadi terhadap imobilisasi adalah: 1) Perubahan Metabolisme Perubahan mobilisasi akan mempengaruhi metabolisme endokrin, resorpsi kalsium dan fungsi gastrointestinal. Sistem endokrin menghasilkan hormon, mempertahankan dan meregulasi fungsi vital seperti: 1) berespon pada stress dan cedera, 2) pertumbuhan dan perkembangan, 3) reproduksi, 4) mempertahankan lingkungan internal, serta 5) produksi pembentukan dan penyimpanan energi. Imobilisasi mengganggu fungsi metabolisme normal seperti: menurunkan laju metabolisme, mengganggu metabolisme karbohidrat,

lemak dan protein, dan menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti nafsu makan dan peristaltik berkurang. Namun demikian pada proses infeksi klien yang imobilisasi mengalami peningkatan BMR karena demam dan penyembuhan luka membutuhkan oksigen. 2) Perubahan Pernafasan Kurangnya pergerakan dan latihan akan menyebabkan klien memiliki komplikasi pernafasan. Komplikasi pernafasan yang paling umum adalah atelektasis (kolapsnya alveoli) dan pneumonia hipostatik (inflamasi pada paru akibat statis atau bertumpuknya sekret). Menurunnya oksigenasi dan penyembuhan yang alam dapat meningkatkan ketidaknyamanan klien. Pada atelektasis, sekresi yang terhambat pada bronkiolus atau bronkus dan jaringan paru distal (alveoli) kolaps karena udara yang masuk diabsorpsi dapat menyebabkan hipoventilasi. Sisi yang tersumbat mengurangi keparahan atelektasis. Pada beberapa keadaan berkembangnya komplikasi ini. kemampuan batuk klien secara produktif menurun. Selanjutnya distribusi mukus pada bronkus meningkat, terutama saat klien dalam posisi supine, telungkup atau lateral. Mukus berkumpul pada bagian jalan nafas yang bergantung. Pneumonia hipostatik sering menyebabkan mukus sebagai tempat yang baik untuk bertumbuhnya bakteri. 3) Perubahan Kardiovaskuler Imobilisasi juga mempengaruhi sistem kardiovaskuler. Tiga perubahan utama adalah hipotensi ortostatik, meningkatnya beban kerja jantung dan pembentukan trombus. Hipotensi ortostatik adalah peningkatan denyut jantung lebih dari 15% atau tekanan darah sistolik menurun 15 mmHg atau lebih saaat klien berubah posisi dari posisi terlentang ke posisi berdiri. Pada kilen yang imobilisasi, menurunnya volume cairan yang bersirkulasi, berkumpulnya darah pada ekstremitas bawah, menurunnya respon otonomik akan terjadi. Faktor ini akan menurunkan aliran balik vena, disertai meningkatnya curah jantung, yang direfleksikan dengan menurunnya tekanan darah. Hal ini terutama terjadi pada klien lansia. Karena beban kerja jantung meningkat, konsumsi oksigen juga meningkat. Oleh karena itu, jantung akan bekerja lebih keras dan kurang efisiensi jantung selanjutnya akan menurun sehingga beban kerja jantung meningkat.

4) Perubahan Muskuloskeletal Dampak imobilisasi pada sistem musluloskeletal adalah gangguan permanen atau temporer atau ketidakmampuan yang permanen. Pembatasan mobilisasi terkadang menyebabkan kehilangan daya tahan, kekuatan dan massa otot, serta menurunnya stabilitas dan keseimbangan. Dampak pembatasan mobilisasi adalah gangguan metabolisme kalsium dan gangguan sendi. Karena pemecahan protein, klien kehilangan massa tubuh yang tidak berlemak. Massa otot berkurang tidak stabil untuk mempertahankan aktivitas tanpa meningkatnya kelemahan. Jika mobilisasi terus terjadi dan klien tidak melakukan latihan, kehilangan massa otot akan terus terjadi. Kelemahan otot juga terjadi karena imobilisasi, dan imobilisasi lama sering menyebabkan atrofi angguran, dimana atrofi angguran (disuse atrophy) adalah respon yang dapat diobservasi terhadap penyakit dan menurunnya aktifitas kehidupan sehari-hari. Dan imobilisasi kehilangan daya tahan, menurunnya massa dan kekuatan otot, dan instabilitas sendi menyebabkan klien beresiko mengalami cedera. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa hari bedrest, menunjukkan bahwa pasien kritis terpasang ventilator dapat kehilangan hingga kelemahan otot perifer 25 % dalam waktu 4 hari dan kehilangan 18 % berat badannya. Hilangnya massa otot-otot rangka sangat tinggi dalam 2-3 minggu pertama imobilisasi selama perawatan intensif. 5) Perubahan Eliminasi Urine Imobillisasi dapat mengubah eliminasi urine. Pada posisi tegak, klien dapat mengeluarkan urine dari pelvis renal dan menuju ureter dan kandung kemih karena gaya gravitasi. Saat klien dalam posisi berbaring terlentang dan datar, ginjal dan ureter bergerak maju ke sisi yang lebih datar. Urine yang dibentuk oleh ginjal harus memasuki kandung kemih yang tidak dibantu oleh gaya gravitasi. Karena kontraksi peristaltik ureter tidak mampu menimbulkan gaya garvitasi, pelvis ginjal terisis sebelum urine memasuki ureter. Kejadian ini disebut stastis urine dan meningkatkan resiko infeksi saluran kemih dan batu ginjal. Batu ginjal adalah batu kalsium yang terjebak dalam pelvis ginjal atau melewati ureter. Klien imobilisasai beresiko tinggi terkena batu ginjal, karena mereka sering mengalami hiperklasemia. Apabila periode imobilisasi berlanjut, asupan cairan sering berkurang. Ketika digabungkan dengan masalah lain seperti demam, resiko dehidrasi meningkat. Akibatnya, keseluruhan urine berkurang pada atau antara hari ke 5 atau ke 6 setelah imobilisasi, dan urine

menjadi pekat. Urine yang pekat ini meningkatkan resiko kontaminasi traktus urinarius oleh bakteria escherchia coli. Penyebab infeksi saluran kemih lainnya pada klien yang imobilsasi adalah penggunaan kateter urine indwelling. 6) Perubahan Integumen Perubahan metabolisme yang menyertai imobilisasi dapat meningkatkan efek tekanan yang berbahaya pada kulit klien yang imobilisasi. Hal ini membuat imobilisasi menjadi masalah resiko yang besar terhadap luka tekan. Metabolisme jaringan bergantung pada suplai oksigen dan nutrisi serta eliminasi sampah metabolisme dari darah. Tekanan mempengaruhi metabolisme seluler dengan menurunkan atau mengeliminasi sirkulasi jaringan secara keseluruhan. 7) Perubahan Perkembangan Perubahan perkembangan merupakan dampak fisiologis yang muncul akibat dari imobilisasi. Perubahan perkembangan cenderung dihubungkan dengan imobilisasi pada anak yang sangat muda dan pada lansia. Anak yang sangat muda atau lansia yang sehat namun diimobilisasi memiliki sedikit perubahan perkembangan. Namun, terdapatnya beberapa pengecualian. Misalnya ibu yang mengalami komplikasi saat kelahiran harus tirah baring dan mengakibatkan tidak mampu berinteraksi dengan bayi baru lahir seperti yang dia harapkan.

3. Mahasiswa mampu menjelaskan infeksi dan malnutrisi pada geriatri A. INFEKSI Infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling pada lanjut usia, karena selain sering didapati pada lansia juga mempunyai kekhususan di dalam diagnosis dan pengobatannya. Infeksi yang sering pada lansia adalah infeksi saluran kemih (ISK), pneumonia, sepsis, meningitis, endokarditis, mortalitasnya meningkat beberapa kali lipat dibandingkan dengan pada dewasa muda. Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya infeksi pada lansia : 1. Kurang gzi, multipatologi, mekanisme pertahanan tubuh menurun, faktor lingkungan. 2. Kulit menjadi tipis dan jaringan lemak yang berkurang menyebabkan barier mekanik menjadi berkurang sehingga kuman menjadi lebih mudah menembus kulit dan menyebabkan infeksi seperti selulitis.

3. Tekanan-tekanan yang lebih sering pada kulit akibat imobilisasi memudahkan terjadinya dekubitus, osteomielitis bahkan bakteremia. Diagnosis : Diagnosis infeksi merupakan masalah, karena tanda-tanda klasik dari infeksi sering tidak didapati, seperti demam dan lekositosis. Jiak infeksi terjadi, lansia sering menunjukkan gejala-gejala infeksi yang tidak seperti biasanya, yang berupa anoreksia, nausea, muntah, dan gangguan mental. Kelainan fisik dan laboratorium sering sulit untuk menginterpretasikan, karena banyak lansia telah mengalami kelainan dan saluran pada paru dan saluran kemih, seperti ronkhi, bakteriuria, piuria. Predisposisi infeksi pada lansia : a. Faktor penderita lansia: keadaan nutrisi, imunitas tubuh, penurunan fisiologik berbagai organ, proses patoogik (komorbid) b. Faktor kuman : jumlah,dan virulensi kuman. c. Faktor lingkungan : infeksi didapat di masyarakat, rumah sakit atau panti wredha. Manifestasi Klinik Infeksi pada Lansia: 1. Gejala demam : gejala utama dari infeksi seringkali tidak jelas bahkan tidak ada sama sekali pada lansia. Temperatur tubuh dalam keadaan basal pada lansia memamng sudah rendah, sehingga dalam keadaan infeksi kenaikan temperatur tubuh tidak akan melebihi 38,30C. Penderita dengan sepsis sering kali tidak demam, bahkan hipotermia, dan terjadi pada 20 % penderita. Tidak adanya demam selain memperlambat diagnosis juga menurunkan efek fisiololgis dari leukosit dalam melawan infeksi, sehingga akan lebih berbahaya. 2. Gejala tidak khas Gejala infeksi yang biasa didapat pada orang dewasa sering tidak didapati bahkan berubah pada lansia. Gejala nyeri yang khas pada pendisitis akut, kolesistitis akut, menikngitis dan lain-lain sering tidak didapati. Batuk pada pneumonia hanya berupa keluhan ringan saja, sehingga oleh penderita dianggap sebagai batuk biasa. Gejala pneumonia yang sering didapati berupa penurunan kesadaran/ konfusio, inkontinensia, jatuh, anoreksia, dan kelemahan umum.

3. Gejala akibat penyakit penyerta (komorbid) Sering menutupi, mengacaukan, bahkan menghilangkan gejala khas akibat infeksi, padahal penyakit komorbid ini sering didapati pada lansia. Pneumonia 1. Definisi Pneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis, dan alveoli yang dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, parasit, dan jamur. Pneumonia menjadi bentuk infeksi saluran napas bawah yang paling sering dijumpai (Stoppler, 2013). 2. Patogenesis Pneumonia dapat ditularkan melalui droplet yang mengandung organisme penyebab pneumonia. Patogen yang paling sering dijumpai adalah kuman Streptococcus pneumonia. Patogen dapat masuk ke trakea terutama dari aspirasi bahan orofaring dan menyebabkan infeksi pada parenkim paru setelah melewati mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan mekanik (epitel silia dan mukus), humoral (antibodi dan komplemen), dan seluler (makrofag, limfosit, dan sitokinnya). Mekanisme lain penyebaran adalah pasasi bakteri pencernaan ke paru dan secara hematogen (Sudoyo et al, 2009). Patogen yang masuk ke paru-paru akan berkolonisasi di alveoli sehingga terjadi akumulasi cairan dan pus pada area ini sebagai bentuk mekanisme perlawanan tubuh terhadap infeksi (Stoppler, 2013). 3. Gejala dan Diagnosis Gejala klinis yang timbul antara lain sesak napas, demam, menggigil, batuk berdahak, malaise, anoreksia, dan penurunan berat badan. Pneumonia virus ditandai dengan batuk kering dan non produktif, mialgia, dan malaise (Sudoyo et al, 2009). Diagnosis pneumonia berdasarkan gejala-gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Tanda fisis pada pneumonia yaitu tanda konsolidasi paru yang meliputi perkusi paru pekak, suara napas tambahan ronki nyaring, dan suara napas bronkial. Sedangkan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan adalah pemeriksaan radiologis, laboratorium, dan kultur kuman dari sputum bila patogen kausa adalah bakteri. Pada pemeriksaan radiologis didapatkan kesuraman homogen pada lobus paru akibat adanya infiltrat. Distribusi infiltrat pada lobus inferior sugestif untuk kuman aspirasi seperti Staphylococcus. Infiltrat pada lobus superior sering ditimbulkan Klebsiella spp. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis yang menandai adanya infeksi bakteri. Leukosit yang normal/ rendah disebabkan infeksi virus atau

pada infeksi berat sehingga tidak terjadi respons leukosit seperti pada orang tua (Sudoyo et al, 2009). 4. Pneumonia pada usia lanjut Usia lanjut merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pneumonia karena adanya imobilitas pada lansia. Retensi sputum dan aspirasi mudah terjadi pada pasien geriatri akibat imobilisasi. Pada posisi berbaring, otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding dada terbatas sehingga sputum sulit keluar. Selain itu, daya pegas elastik alveoli pada lansia menurun sehingga terjadi perubahan tekanan penutup saluran udara kecil. Kondisi tersebut memudahkan lansia mengalami pneumonia (Sudoyo et al, 2009). 5. Penatalaksanaan Penatalaksanaan yang dapat diberikan adalah pemberian obat untuk menghilangkan agen infeksi. Bakteri menjadi penyebab tersering pneumonia sehingga biasanya pemberian antibiotik dilakukan sambil menunggu hasil pemeriksaan penunjang keluar. Antibiotik yang diberikan biasanya adalah kombinasi golongan beta laktam dan macrolide. Golongan beta laktam (penisilin G, amoxicillin, dan lain-lain) merupakan antibiotik spektrum luas yang akan mengganggu proses sintesis dinding sel kuman. Golongan macrolide (azitromisin, eritromisin, dan sebagainya) memiliki mekanisme pengikatan dengan subunit ribosom 50s dan menghambat disosiasi peptidil tRNA dari ribosom sehingga sintesis protein tergantung RNA terganggu (Kamangar, 2011). 6. Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi antara lain pneumonia ekstrapulmoner seperti meningitis, arthritis, endokarditis, perikarditis, peritonitis, dan empiema (Sudoyo et al, 2009).

B. MALNUTRISI Status Gizi pada Lansia Status gizi merupakan keseimbangan antara asuapan zat gizi dan kebutuhan akan zat gizi tersebut. Status gizi juga didefenisikan sebagai keadaan kesehatan seseorang sebagai refleksi konsumsi pangan serta penggunaannya oleh tubuh (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2002). Status Gizi pada lanjut usia dipengaruhi oleh berbagai hal. Perubahan fisiologis, komposisi tubuh, asupan nutrisi dan keadaan ekonomi merupakan hal-hal

yang dapat memicu terjadinya berbagai masalah gizi pada lanjut usia (Potter&Pierry, 2005). 1. Perubahan Fisiologis yang Mempengaruhi Status Gizi pada Lanjut Usia Dengan makin lanjutnya usia seseorang maka kemungkinan terjadinya penurunan anatomik dan fungsional atas organ tubuhnya makin besar. Peneliti Andres dan Tobin (dalam Kane, Ouslander, & Brass, 2004) menjelaskan bahwa fungsi organ-organ akan menurun sebanyak satu persen setiap tahunnya setelah usia 30 tahun. Penurunan fungsional dari organ-organ tersebut akan menyebabkan lebih mudah timbulnya masalah kesehatan pada lanjut usia. Masalah gizi yang seringkali terjadi pada lanjut usia juga dipengaruhi oleh sejumlah perubahan fisiologis (Darmojo,2010). Adapun perubahan fisiologis tersebut sebagai berikut: a. Komposisi Tubuh Komposisi tubuh dapat memberikan indikasi status gizi dan tingkat kebugaran jasmani seseorang. Pada abad ke-19 ditemukan berbagai senyawa kimiawi yang ternyata ada pula pada jaringan dan cairan tubuh (Darmojo,2010). Akibat penuaan pada lansia massa otot berkurang sedangkan massa lemak bertambah. Massa tubuh yang tidak berlemak berkurang sebanyak 6,3% , sedangakan sebanyak 2% massa lemak bertambah dari berat badan perdekade setelah usia 30 tahun. Jumlah cairan tubuh berkurang dari sekitar 60% berat badan pada orang muda menjadi 45% dari berat badan wanita usia lanjut.(Kawas & Brookmeyer, 2001; Arisman,2004 ). Penurunan massa otot akan mengakibatkan penurunan kebutuhan energi yang terlihat pada lansia. Keseimbangan energi pada lansia lebih lanjut dipengaruhi oleh aktifitas fisik yang menurun. Pemahaman akan hubungan berbagai keadaan tersebut penting dalam membantu lansia mengelola berat badan mereka (Darmojo,2010). b. Gigi dan Mulut Gigi merupakan unsur penting untuk pencapaian derajat kesehatan dan gizi yang baik. Perubahan fisiologis yang terjadi pada jaringan keras gigi sesuai perubahan pada gingiva anak-anak. Setelah gigi erupsi, morfologi gigi berubah karena pemakaian atau aberasi dan kemudian tanggal digantikan gigi permanen. Pada usia lanjut gigi permanen menjadi kering, lebih rapuh, berwarna lebih gelap, dan bahkan sebagian gigi telah tanggal (Arisman,2004). Dengan hilangnya gigi geligi akan mengganggu hubungan oklusi gigi atas dan bawah dan akan mengakibatkan daya kunyah menurun yang semula maksimal dapat mencapai 300 poinds per square inch dapat mencapai 50 pound per square

inch. Selain itu, terjadinya atropi gingiva dan procesus alveolaris yang menyebabkan akar gigi terbuka dan sering menimbulkan rasa sakit semakin memperparah penurunan daya kunyah. Pada lansia saluran pencernaan tidak dapat mengimbangi ketidaksempurnaan fungsi kunyah sehingga akan mempengaruhi kesehatan umum (Darmojo,2010). c. Indera Pengecap dan Pencium Dengan

bertambahnya

umur,

kemampuan

mengecap,

mencerna,

dan

mematobolisme makanan berubah. Penurunan indera pengecap dan pencium pada lansia menyebabkan sebagian besar kelompok umur ini tidak dapat lagi menikmati aroma dan rasa makanan. Gangguan rasa pengecap pada proses penuaan terjadi karena pertambahan umur berkorelasi negatif dengan jumlah ’taste buds’ atau tunas pengecap pada lidah. Cherie Long (1986) dan Ruslijanto (1996) dalam Darmojo (2010) menyatakan 80% tunas pengecap hilang pada usia 80 tahun. Wanita pasca monopause cenderung berkurang kemampuan merasakan manis dan asin. Keadaan ini dapat menyebabkan lansia kurang menikmati makanan dan mengalami pemurunan nafsu makan dan asupan makanan.Gangguan rasa pengecap juga merupakan manifestasi penyakit sistemik pada lansia disebabkan kandidiasis mulut dan defisiensi nutrisi terutama defisiensi seng (Seymour,2006). d. Gastrointestinal Motilitas lambung dan pengosongan lambung menurun seiring dengan meningkatnya usia. Lapisan lambung lansia menipis. Di atas usia 60 tahun, sekresi HCL dan pepsin berkurang. Akibatnya penyerapan vitamin dan zat besi berkurang sehingga berpengaruh pada kejadian osteoporosis dan osteomalasia pada lansia. Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makan dari faring ke lambung, dan gerakannya diatur secara khusus untuk fungsi tersebut (Guyton&Hall,2004). Pada manusia lanjut usia, reseptor pada esofagus kurang sensitif dengan adanya makanan. Hal ini menyebabkan kemampuan peristaltik esofagus mendorong makanan ke lambung menurun sehingga pengosongan esofagus terlambat (Darmojo,2010) Berat total usus halus (di atas usia 40 tahun) berkurang, namun penyerapan zat gizi pada umumnya masih dalam batas normal, kecuali kalsium dan zat besi (di atas usia 60 tahun). Di usus halus juga ditemukan adanya kolonisasi bakteri pada lansia dengan gastritis atrofi yang dapat menghambat penyerapan vitamin B. Selain itu, motilititas usus halus dan usus besar terganggu sehingga menyebabkan konstipasi sering terjadi pada lansia (Setiati,2000).

e. Hematologi Berbagai kelainan hematologi dapat terjadi pada usia lanjut sebagai akibat dari proses menua pada sistem hematopoetik. Berdasarkan pengamatan klinik dan laboratorik, didapatkan bukti bahwa pada batas umur tertentu, sumsum tulang mengalami involusi, sehingga cadangan sumsum tulang pada usia lanjut menurun. Beberapa variabel dalam pemeriksaan darah lengkap (full blood count) seperti kadar hemoglobin, indeks sel darah merah

(MCV,MCH,MCHC), hitung

leukosit,trombosit menunjukkan perubahan yang berhubungan dengan umur. Anemia kekurangan zat besi adalah salah satu bentuk kelainan hematologi yang sering dialami pada lansia . Penyebab utama anemia kekurangan zat besi pada usia lanjut adalah karena kehilangan darah yang terutama berasal dari perdarahan kronik sistem gastrointestinal akibat berbagai masalah pencernaan seperti tukak peptik, varises esofagus, keganasan lambung dan kolon(Darmojo,2010). Menurunnya cairan saluran cerna (sekresi pepsin) dan enzim-enzim pencernaan proteolitik mengakibatkan pencernaan protein tidak efisien. 2. Pengukuran Status Gizi pada Lanjut Usia Keadaan

gizi

seseorang

mempengaruhi

penampilan,

pertumbuhan

dan

perkembangannya, kondisi kesehatan serta ketahanan tubuh terhadap penyakit. Pengkajian status gizi adalah proses yang digunakan untuk menentukan status gizi, mengidentifikasi malnutrisi (kurang gizi atau gizi lebih) dan menentukan jenis diet atau menu makanan yang harus diberikan pada seseorang. Mengkaji status gizi usia lanjut sebaiknya menggunakan lebih dari satu parameter sehingga hasil kajian lebih akurat. Pengkajian status gizi pada usia lanjut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Anamnesis Hal-hal yang perlu diketahui antara lain: Identitas, orang terdekat yang dapat dihubungi, keluhan dan riwayat penyakit, riwayat asupan makanan, riwayat operasi yang mengganggu asupan makanan, riwayat penyakit keluarga, aktivitas seharihari, riwayat buang air besar atau buang air kecil, dan kebiasaan lain yang dapat mengganggu asupan makanan (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2002). b. Pengukuran Antropometri Pengukuran antropometri adalah pengukuran tentang ukuran, berat badan, dan proporsi tubuh manusia dengan tujuan untuk mengkaji status nutrisi dan

ketersediaan energi pada tubuh serta mendeteksi adanya masalah-masalah nutrisi pada seseorang. (Nurachmah,2001). Pengukuran antropometri yang dapat digunakan untuk menetukan status gizi pada lansia meliputi tinggi badan, berat badan, tinggi lutut (knee high), lingkar betis, tebal lipatan kulit (pengukuran skinfold), dan lingkar lengan atas. Cara yang paling sederhanan dan banyak digunakan adalah dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) (Fatmah,2010). Adapun beberapa pengukuran antropometri yang dapat dilakukan pada lansia adalah sebagai berikut: 1) Tinggi Badan Tinggi Badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, TB tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Tinggi Badan merupakan parameter paling penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat, serta dapat digunakan sebagai ukuran kedua yang penting, karena dengan menghubungkan BB terhadap TB (quac stick) faktor umur dapat dikesampingkan. Pengukuran tinggi badan dapat menggunakan alat pengukur tinggi badan microtoise dengan kepekaan 0,1 cm dengan menggunakan satuan sentimeter atau inci. pengukuran dilakukan pada posisi berdiri lurus dan tanpa menggunakan alas kaki 2) Berat Badan Merupakan ukuran antropometri terpenting dan paling sering digunakan. Pengukuran berat badan juga dapat memberikan gambaran status gizi seseorang dengan mengetahu indeks massa tubuh. Pengukuran berat badan ini menggunakan timbangan injak seca. 3) Tinggi Lutut Tinggi lutut erat kaitannya dengan tinggi badan, sehingga data tinggi badan bisa didapatkan dari tinggi lutut bagi orang tidak dapat berdiri atau lansia. Tinggi lutut dapat dilakukan pada usia lanjut yang tulang punggungnya mengalami osteoporosis, sehingga terjadi penurunan tinggi badan (Fatmah, 2006).

4. Mahasiswa mampu menjelaskan tata laksana dan edukasi yang diberikan pada kasus di skenario Depresi a. Konseling pasien dan keluarga: 

Identifikasi adanya stres sosial atau problem kehidupan yang akhir-akhir ini dialami.



Indentifikasi suicide idea atau ide bunuh diri.

Tanyakan tentang risiko bunuh-diri. Apakah pasien sering berpikir tentang kematian atau mati? Apakah pasien mempunyai rencana bunuh-diri yang khas? Apakah ia telah membuat rencana yang serius untuk percobaan bunuh-diri di masa lalu? Apakah pasien bisa yakin untuk tidak bertindak menurut ide bunuh-diri? Supervisi/pengawasan yang ketat oleh keluarga atau teman, atau hospitalisasi mungkin diperlukan. Tanyakan tentang risiko mencederai orang lain. Rencanakan kegiatan jangka pendek yang memberikan pasien kesenangan atau membangkitkan kepercayaan diri. - Dorong pasien untuk berfikir positif untuk mengatasi rasa pesimis dan kritik-diri, tidak bertindak atas dasar ide pesimistik dan tidak memusatkan pada pikiran negatif atau bersalah. - Fokuskan pada langkah kecil yang khas, yang dapat diambil oleh pasien untuk mengurangi atau mengatasi problem dengan lebih baik. Hindari keputusan yang besar atau perubahan pola hidup. - Jika ada gejala fisik, bicarakan hubungan antara gejala fisik dengan suasana perasaan. - Sesudah ada perbaikan, rencanakan dengan pasien tindakan yang harus diambil jika tanda kekambuhan terjadi. b. Informasi yang perlu untuk pasien dan keluarga  Depresi adalah penyakit yang lazim serta dapat dicegah dan diobati.  Depresi bukan merupakan kelemahan atau kemalasan; pasien berupaya keras untuk mengatasi, tetapi dia tidak berdaya.  Penderita dengan depresi mempunyai kecenderungan untuk melakukan percobaan bunuh-diri dibandingkan kelompok masyarakat lain.

Pertimbangkan konsultasi (rujukan) jika pasien menunjukkan:  Risiko bunuh-diri atau bahaya terhadap orang lain secara bermakna/menonjol;  Gejala psikotik;  Depresi bermakna yang bertahan sesudah tindakan pengobatan di atas. Tata laksana depresi pada lansia dipengaruhi tingkat keparahan dan kepribadian masing-masing. Pada depresi ringan dan sedang, psikoterapi merupakan tata laksana yang sering dilakukan dan berhasil. Akan tetapi, pada kasus tertentu atau pada depresi berat, psikoterapi saja tidak cukup, diperlukan farmakoterapi. Banyak orang membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat terutama keluarga dan teman, keikutsertaan dalam kegiatan kelompok, atau berkonsultasi dengan tenaga profesional untuk mengatasi depresi. Selain itu, mengatasi masalah terisolasi ketika memasuki usia lanjut merupakan salah satu bagian penting dalam penyembuhan dan dapat mencegah episode kekambuhan penyakit. Banyak penelitian menunjukkan bahwa aktif dalam kegiatan kelompok di lingkungan merupakan bagian penting dalam kesehatan dan dapat meningkatkan kualitas hidup. Pada umumnya, tata laksana terapi hanya menggunakan obat antidepresan, tanpa merujuk pasien untuk psikoterapi, tetapi obat hanya mengurangi gejala, dan tidak menyembuhkan. Antidepresan bekerja dengan cara menormalkan neurotransmiter di otak yang memengaruhi mood, seperti serotonin, norepinefrin, dan dopamin. Antidepresan harus digunakan pada lansia dengan depresi mayor dan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) merupakan obat pilihan pertama. Beberapa obat antidepresan yang dapat digunakan pada lansia dengan kelebihan dan kekurangan tiap golongan ada pada tabel di bawah ini. Pemilihan obat tersebut per individu dengan

pertimbangan

efek

samping

dari

tiap

golongan.

Pengobatan monoterapi dengan dosis minimal digunakan pada awal terapi, dievaluasi apabila tidak ada perubahan bermakna dalam 6-12 minggu. Lansia yang tidak berespons pada pengobatan awal perlu mendapatkan obat antidepresan golongan lain dan dapat dipertimbangkan penggunaan dua golongan antidepresan. Pada lansia yang responsif dengan obat antidepresan, obat harus digunakan dengan dosis penuh (full dose maintenance therapy) selama 6-9 bulan sejak pertama kali hilangnya gejala depresi. Apabila kambuh, pengobatan dilanjutkan sampai satu tahun. Strategi pengobatan tersebut telah berhasil menurunkan risiko kekambuhan hingga 80%. Penghentian antidepresan harus dilakukan secara bertahap agar tidak menimbulkan gejala withdrawal seperti ansietas, nyeri kepala, mialgia, dan gejala mirip flu (flu-like symptoms). Lansia yang sering kambuh memerlukan terapi perawatan dosis penuh terapi selama hidupnya. Selain farmakoterapi dengan obat antidepresan, psikoterapi (talk therapy) memiliki peranan penting dalam mengobati berbagai jenis depresi. Psikoterapi dilakukan oleh psikiater, psikolog terlatih, pekerja sosial, atau konselor. Pendekatan psikoterapi dibagi dua, yaitu cognitive-behavioral therapy (CBT) dan interpersonal therapy. CBT

terfokus pada cara baru berpikir untuk mengubah perilaku, terapis membantu penderita mengubah pola negatif atau pola tidak produktif yang mungkin berperan dalam terjadinya depresi. Interpersonal therapy membantu penderita mengerti dan dapat menghadapi keadaan dan hubungan sulit yang mungkin berperan menyebabkan depresi. Banyak penderita mendapat manfaat psikoterapi untuk membantu mengerti dan memahami cara menangani faktor penyebab depresi, terutama pada depresi ringan; jika depresi berat, psikoterapi saja tidak cukup, karena akan menimbulkan depresi berulang. Imobilisasi Identifikasi dan penatalaksanaan sedini mungkin amat diperlukan baik pada penyakit penyebab imobilisasi maupun masalah imobilisasi itu sendiri, sehingga terjadinya komplikasi akibat imobilisasi

dapat

Penatalaksanaan

yang

dapat

dilakukan

dicegah.

meliputi

penatalaksanaan

farmakologi

dan non farmakologik. 

Non Farmakologis Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan beberapa terapi fisik dan latihan jasma ni secara teratur. Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi sec ara teratur dan

latihan di tempat tidur Selain itu, mobilisasi dini berupa turun dari te

mpat tidur, berpindah dari tempat tidur ke kursi dan latihan fungsional dapat dilakuka n secara bertahap. Untuk mencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah

untuk

menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada kulit. Untuk itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 30o, penggunaan kasur anti dekubitus, atau menggunakan bantal berongga. Pada pasien dengan kursi roda dapat dilakuk an reposisi tiap jam atau diistirahatkan dari duduk. Melatih pergerakan dengan me miringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta mencegah terjadinya gesekan juga dapa t

mencegah

dekubitus.

Pemberian minyak setelah mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah maserasi. Kontrol

tekanan

darah

secara

teratur

dan

penggunaan

obat‐

obatan yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi.

Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap kebiasaan buang air besar pasien. Pemberian nutrisi yang a dekuat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya malnutrisi pada pasien imobilis asi. 

Farmakologis Tata laksana farmakologis yang dapat diberikan terutama pencegahan terhadap ter jadinya

trombosis. Pemberian antikoagulan yaitu Low dose heparin (LDH) dan low

molecular weight

heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang aman dan

efektif untuk pasien geriatri dengan

imobilisasi

namun

harus

mempertimbangkan fungsi hati, ginjal dan interaksi dengan obat lain. Infeksi Infeksi yang terjadi pada skenario ialah infeksi pneumonia. Dalam pengelolaannya, selain memberikan antibiotik yang adekuat, intervensi gizi yang memadai, serta rehidrasi yang cukup, perlu pula dipertimbangkan untuk merujuk pasien ke rumah sakit (sesuai indikasi) agar dapat dikelola lebih intensif. Pengeluaran dahak yang sulit merupakan salah satu alasan mengapa pasien perlu dirawat di rumah sakit. Tindakan fisioterapi dada, inhalasi, drainase postural, serta melatih batuk yang efisien merupakan beberapa contoh mengapa rumah sakit dapat berperan lebih besar. Jika status fungsional pasien masih mandiri, tanpa dehidrasi, dan asupan makanan masih dapat mencapai 75% dari yang dianjurkan maka pasien masih dapat dikelola di Puskesmas dengan pemberian antibiotik adekuat, nutrisi dan cairan yang memadai serta latihan nafas mau pun latihan batuk yang efektif. Jika dalam tiga hari tidak dijumpai perbaikan maka pasien harus segera dirujuk ke Rumah Sakit. Malnutrisi Apabila subyek mempunyai masalah malnutrisi perlu dilakukan intervensi gizi dan selanjutnya dilakukan pemantauan dan evaluasi penatalaksanaan gizi. Untuk menjaga berat badan dalam batas-batas normal, seseorang harus berada dalam keseimbangan energi, yaitu jumlah asupan kalori sama dengan kalori yang dikeluarkan. Selain itu, asupan vitamin dan mineral harus terdapat dalam jumlah cukup sesuai kebutuhan tubuh. Bila kandungan energi makanan yang dikonsumsi lebih sedikit daripada energi yang keluar, maka cadangan tubuh digunakan untuk

mencukupi kekurangan energi yang terjadi, sehingga BB menurun. Sebaliknya jika kita mengkonsumsi makanan lebih banyak daripada yang dibutuhkan tubuh, kelebihan hasil metabolismenya akan disimpan sebagai cadangan energi terutama di jaringan adiposa dan BB akan meningkat. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pemberian gizi pada Lanjut Usia yaitu adanya perubahan fisiologik, penyakit penyerta, faktor sosial seperti kemiskinan, psikologik (demensia depresi) dan efek samping obat. a. Energi Kebutuhan energi menurun dengan meningkatnya usia (3% per dekade). Pada Lanjut Usia hal tersebut diperjelas disebabkan adanya penurunan massa otot (BMR menurun) dan penurunan aktivitas fisik. Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) tahun 2004; laki-laki 2050 Kal dan perempuan 1600 Kal. Untuk perhitungan yang lebih tepat dapat digunakan persamaan Harris Benedict ataupun rumus yang dianjurkan WHO. Secara praktis dapat digunakan perhitungan berdasarkan rule of thumb. b. Protein Dianjurkan kecukupan antara 0,8-1 g/kgBB/hari (1015%) dari kebutuhan energi total. c. Karbohidrat Dianjurkan asupan karbohidrat antara (50-60%) dari energi total sehari, dengan asupan karbohidrat kompleks lebih tinggi daripada karbohidrat sederhana. Konsumsi serat dianjurkan 10-13 g per 1000 kalori (25g/hari~5 porsi buah dan sayur). Buah dan sayur selain merupakan sumber serat, juga merupakan sumber berbagai vitamin dan mineral. d. Lemak Dianjurkan + 25% dari energi total per hari, dan diutamakan berasal dari lemak tidak jenuh. e. Cairan Pada Lanjut Usia masukan cairan perlu diperhatikan karena adanya perubahan mekanisme rasa haus, dan menurunnya cairan tubuh total (dikarenakan penurunan massa bebas lemak). Sedikitnya dianjurkan 1500 ml/hari, untuk mencegah terjadinya dehidrasi, namun jumlah cairan harus disesuaikan dengan ada tidaknya penyakit yang memerlukan pembatasan air seperti gagal jantung, gagal ginjal dan sirosis hati yang disertai edema maupun asites. f. Vitamin

Vitamin mempunyai peran penting dalam mencegah dan memperlambat proses degeneratif pada Lanjut Usia. Apabila asupan tidak adekuat perlu dipertimbangkan suplementasi; namun harus dihindari pemberian megadosis.

Beberapa vitamin perlu mendapat perhatian khusus dikarenakan sering terjadi defisiensi (vitamin B12, D) dan sifat sebagai antioksidan (vitamin C dan E).

Beberapa mineral yang perlu mendapat perhatian khusus antara lain: 1) Ca. Kemampuan absorpsi Ca menurun baik pada laki-laki maupun perempuan; 2) defisiensi Zn mengakibatkan gangguan imun dan gangguan pengecapan (yang memang menurun pada Lanjut Usia); 3) defisiensi Cu dapat mengakibatkan anemia; 4) Se karena bersifat antioksidan. Agar dapat terpenuhi seluruh kebutuhan perlu diperhitungkan kebutuhan energi dan nutrien sesuai dengan kebutuhan tubuh (kuantitatif) dan mengandung seluruh nutrien (kualitatif) yang dikenal sebagai menu makanan seimbang, dan untuk mencapai hal tersebut perlu penganekaragaman makanan yang dikonsumsi. Penatalaksanaan gizi bagi lanjut usia di Puskesmas dianjurkan dalam empat tahap yaitu: a. Penapisan/skrining menggunakan MNA

b. Diagnosis masalah gizi 1) Sangat kurus 2) Kurus 3) Gemuk 4) Obesitas c. Intervensi gizi 1) Penyuluhan gizi seimbang 2) Rujukan d. Pemantauan dan evaluasi penatalaksanaan gizi.

a. Mahasiswa mampu menjelaskan assestment yang dilakukan Alat Ukur Lansia

Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ) Penilaian untuk mengetahui fungsi intelektual lansia

Nama klien

:

Tanggal

:

Jenis kelamin :

Umur

:

Agama

Suku

:

:

Alamat

:

Pewawancara :

Skor +

-

NO Pertanyaan 1

Tanggal berapa hari ini?

2

Hari apa sekarang ini?

3

Apa nama tempat ini?

4

Dimana alamat anda?

5

Berapa umur anda?

6

Kapan anda lahir?

Jawaban

tahun

7

Siapa

presiden

Indonesia

sekarang? 8

Siapa presiden sebelumnya?

9

Siapa nama kecil ibu anda?

10

Kurang 3 dari 20 dan tetap pengurangan 3 dari setiap angka baru, semua secara menurun !

Jumlah Kesalahan Total

Kesimpulan: 1. Kesalahan 0 – 2 = Fungsi intelektual utuh 2. Kesalahan 3 – 4 = Kerusakan intelektual Ringan 3. Kesalahan 5 – 7 = Kerusakan intelektual Sedang 4. Kesalahan 8 – 10 = Kerusakan intelektual Berat

Keterangan: a.

Bisa dimaklumi bila lebih dari 1 (satu) kesalahan bila subyek hanya berpendidikan SD

b.

Bisa dimaklumi bila kurang dari 1 (satu) kesalahan bila subyek mempunyai pendidikan lebih dari SD

c.

Bisa dimaklumi bila lebih dari 1 (satu) kesalahan untuk subyek kulit hitam, dengan menggunakan kriteria pendidikan yang lama.

Apgar Keluarga Dengan Lansia Skrining untuk melengkapi pengkajian fungsi sosial

Suatu Alat Skrining Singkat Yang Dapat Digunakan Untuk Mengkaji Fungsi Sosial Lansia

Nama klien

:

Tanggal

:

Jenis kelamin :

Umur

:

Agama

Suku

:

:

Alamat

tahun

:

No

Uraian

1

Saya puas bahwa saya dapat kembali pada keluarga

Fungsi

(teman-teman) saya untuk membantu pada waktu sesuatu Adaptation

Skor

1

menyusahkan saya 2

Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman) saya membicarakan sesuatu dengan saya dan mengungkapkan Partneship

1

masalah dengan saya 3

Saya puas bahwa keluarga (teman-teman) saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan Growth

1

aktivitas atau arah baru 4

Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman) saya mengekspresikan afek dan berespon terhadap emosi- Affection

1

emosi saya seperti marah, sedih atau mencintai 5

Saya puas dengan cara teman-teman saya dan saya Resolve

1

menyediakan waktu bersama-sama

Keterangan: Selalu = 2, Kadang-kadang = 1, Hampir tidak pernah = 0

Total

5

Inventaris Depresi Beck Mengetahui tingkat depresi lansia

Nama klien

:

Tanggal

:

Jenis kelamin :

Umur

: tahun

Agama

Suku

:

:

Alamat

Skor

:

Uraian

A. Kesedihan 3

Saya sangat sedih/tidak bahagia dimana saya tak dapat menghadapinya

2

Saya galau/sedih sepanjang waktu dan saya tidak dapat keluar darinya

1

Saya merasa sedih atau galau

0

Saya tidak merasa sedih

B. Pesimisme 3

Saya merasa bahwa masa depan adalah sia – sia dan sesuatu tidak dapat membaik

2

Saya merasa tidak mempunyai apa – apa untuk memandang ke depan

1

Saya merasa berkecil hati mengenai masa depan

0

Saya tidak begitu pesimis atau kecil hati tentang masa depan

C. Rasa kegagalan 3

Saya benar – benar gagal sebagai orang tua (suami/istri)

2

Bila melihat kehidupan ke belakang semua yang dapat saya lihat hanya kegagalan

1

Saya merasa telah gagal melebihi orang pada umumnya

0

Saya tidak merasa gagal

D. Ketidakpuasan 3

Saya tidak puas dengan segalanya

2

Saya tidak lagi mendapatkan kepuasan dari apapun

1

Saya tidak menyukai cara yang saya gunakan

0

Saya tidak merasa tidak puas

E. Rasa bersalah 3

Saya merasa seolah – olah sangat buruk atau tidak berharga

2

Saya merasa sangat bersalah

1

Saya merasa buruk/tak berharga sebagai bagian dari waktu yang baik

0

Saya tidak merasa benar – benar bersalah

F. TIdak menyukai diri sendiri 3

Saya benci diri saya sendiri

2

Saya muak dengan diri saya sendiri

1

Saya tidak suka dengan diri saya sendiri

0

Saya tidak merasa kecewa dengan diri sendiri

G. Membahayakan diri sendiri 3

Saya akan membunuh diri saya sendiri jika saya mempunyai kesempatan

2

Saya mempunyai rencana pasti tentang tujuan bunuh diri

1

Saya merasa lebih baik mati

0

Saya tidak mempunyai pikiran – pikiran mengenai membahayakan diri sendiri

H. Menarik diri dari social 3

Saya telah kehilangan semua minat saya pada orang lain dan tidak perduli pada mereka

2

Saya telah kehilangan semua minat saya pada orang lain dan mempunyai sedikit perasaan pada mereka

1

Saya kurang berminat pada orang lain dari pada sebelumnya

0

Saya tidak kehilangan minat pada orang lain

I. Keragu – raguan 3

Saya tidak dapat membuat keputusan sama sekali

2

Saya mempunyai banyak kesulitan dalam membuat keputusan

1

Saya berusaha mengambl keputusan

0

Saya membuat keputusan yang baik

J. Perubahan gambaran diri 3

Saya merasa bahwa saya jelek atau tampak menjijikan

2

Saya merasa bahwa ada perubahan permanent dalam penampilan saya dan in membuat saya tidak tertarik

1

Saya kuatir bahwa saya tampak tua atau tidak menarik

0

Saya merasa bahwa saya tampak lebih buruk dari pada sebelumnya

K. Kesulian kerja 3

Saya tidak melakukan pekerjaan sama sekali

2

Saya telah mendorong diri saya sendiri dengan keras untuk melakukan sesuatu

1

Saya memerlukan upaya tambahan untuk memulai melakukan sesuatu

0

Saya dapat bekerja kira – kira sebaik sebelumnya

L. Keletihan 3

Saya sangat lelah untuk melakukan sesuatu

2

Saya merasa lelah untuk melakukan sesuatu

1

Saya merasa lelah dari yang biasanya

0

Saya tida merasa lebih lelah dari biasanya.

M. Anoreksia 3

Saya tidak mempunyai napsu makan sama sekali

2

Napsu makan saya sangat memburuk sekarang

1

Napsu makan saya tidak sebaik sebellumnya

0

Napsu makan saya tidak buruk dari yang biasanya.

Penilaian 0-6

Depresi tidak ada atau minimal

7-13

Depresi ringan

14-21

Depresi sedang

22-39

Depresi berat

MINI

MENTAL

STATE

EXAM

(

MMSE

)

( Menguji Aspek-Aspek Kognitif dari Fungsi Mental )

Nilai

Pasien

Pertanyaan

Maksimum Orientasi 5

(Tahun) (Musim) (Tanggal) (Hari) (Bulan apa sekarang)?

5

Dimana kita: (Negara bagian) (Wilayah) (Kota) (Rumah sakit) (Lantai )?

Registrasi Sebutkan Nama 3 Objek : 1 detik untuk mengatakan masing-

3

masing. Kemudian tanyakan klien ketiga objek setelah anda telah mengatakannya. Beri 1 poin untuk setiap jawaban yang benar. Kemudian ulangi sampai ia mempelajari ketiganya. Jumlah percobaan dan catat. Percobaan: ……… Perhatian dan Kalkulasi Seri

5

7’s

1

poin

untuk

setiap

kebenaran

Berhenti setelah 5 jawaban. Berganti eja “kata” ke belakang Mengingat Meminta

3

untuk

mengulang

ketiga

objek

diatas

Berikan 1 poin untuk setiap kebenaran Bahasa Nama

9

Pensil

dan

melihat

(

2

poin

)

Mengulang hal berikut : “tidak ada jika, dan, atau tetapi” ( 1 poin ) Nilai Total

Kaji tingkat kesadaran sepanjang kontinum: a. Composmentis b. Apatis c. Somnolen d. Suporus

e. Coma Keterangan: a. > 23

: aspek kognitif dari fungsi mental baik

b. 18-22

: kerusakan aspek fungsi mental ringan.

c. ≤ 17

: terdapat kerusakan aspek mental berat.

PENGKAJIAN EMOSIONAL MANULA Identifikasi Masalah Emosional

Tanggal

:

Nama klien

:

Jenis kelamin

:

Umur

:

TB/BB

: ……cm/……kg

Agama

:

Suku

:

Golongan darah

:

Tahun pendidikan

: ……SD, ……SMP, ……SMA, ……PT

Alamat

:

Tahap I 1.

Apakah klien mengalami susah tidur?

Ya

2.

Apakah klien sering merasa gelisah?

Ya

3.

Tidak

Apakah klien sering murung atau menangis sendiri?

Ya

4.

Tidak

Tidak

Apakah klien sering merasa was-was atau khawatir?

Ya

Tidak

Lanjutkan ke tahap 2 bila minimal ada satu jawaban “ya” pada tahap I

1.

Keluhan lebih dari 3 bulan atau lebih dari 1 kali dalam 1 bulan.

Ya

2.

Tidak

Ada masalah atau banyak pikiran.

Ya

3.

Tidak

Ada gangguan atau masalah dengan keluarga lain?

Ya

4.

Tidak

Menggunakan obat tidur/penenang atas anjuran dokter?

Ya

5.

Tidak

Cenderung mengurung diri?

Ya

Tidak

Jika ada minimal satu jawaban “ya” maka masalah emosional (+)

INDEKS KATZ Indeks Kemandirian Pada Aktivitas Kehidupan Sehari-Hari

Tanggal

:

Nama klien

:

Jenis kelamin

:

Umur

:

TB/BB

: ……cm/……kg

Agama

:

Suku

:

Golongan darah

:

Tahun pendidikan

: ……SD, ……SMP, ……SMA, ……PT

Alamat

:

Skore

Criteria

A

Kemandirian dalam hal makan, kontinen, berpindah, ke kamar kecil, berpakaiandan mandi

B

Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari, kecuali satu dari fungsitersebut

C

Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari, kecuali mandi dan satufungsi tambahan

D

Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari, kecuali mandi, berpakaiandan satu fungsi tambahan

E

Kemandirian

dalam

semua

aktivitas

hidup

sehari-hari

kecuali

mandi,

kecuali

mandi,

berpakaian,ke kamar kecil dan satu fungsi tambahan F

Kemandirian

dalam

semua

aktivitas

hidup

sehari-hari

berpakaian,ke kamar kecil, berpindah dan satu fungsi tambahan G

Ketergantungan pada ke enam fungsi tersebut

Lain-

Tergantung pada sedikitnya dua fungsi, tetapi tidak dapat diklasifikasikan

lain

sebagaiC, D, E, atau F

Modifikasi dari Barthel Indeks

No Criteria

Dengan

Mandiri

Keterangan

bantuan 1.

Makan

Frekuensi: Jumlah: Jenis:

2.

Minum

Frekuensi: Jumlah: Jenis:

3.

Berpindah dari kursi roda ke tempat

tidur

begitu

pula

sebaliknya. 4.

Personal toilet (cuci muka,

Frekuensi:

menyisir rambut, gosok gigi) 5.

Keluar masuk toilet (mencuci pakaian,

menyeka

tubuh,

menyiram) 6.

Mandi

7.

Jalan di permukaan datar

8.

Naik turun tangga

9.

Mengenakan pakaian

10. Control bowel (BAB)

Frekuensi:

Frekuensi: Konsistensi:

11. Control bladder (BAK)

Frekuensi: Warna:

12. Olahraga/latihan

Frekuensi: Jenis:

13. Rekreasi/pemanfaatan waktu luang INDEKS BARTHEL

Variabel: Kemampuan Fungsional

Jenis: Frekuensi:

Merupakan alat ukur yang di gunakan untuk mengetahui kemampuan fungsional pada pasien yang mengalami gangguan system syaraf.

Prosedur tes: Pasien dinilai dengan menggunakan Barthel Indeks pada awal treatment, selama rehabilitasi dan pada akhir masa rehabilitasi. Hal ini digunakan untuk menilai peningkatan treatment yang dilakukan terhadap pasien.

No

Aktifitas

Score Dependence

Independence

1

Pemeliharaan kesehatan diri

0

5

2

Mandi

0

5

3

Makan

5

10

4

Toilet (aktifitas bab & bab)

5

10

5

Naik/turun tangga

5

10

6

Berpakaian

5

10

7

Kontrol bab

5

10

8

Kontrol bak

5

10

9

Ambulasi Kursi roda

15 10 (bila px a,bulasi dengan kursi roda)

10

Transfer kursi/bed

5-10

15 Total: 100

Kriteria hasil:

A. 0-100 B. 0-20 = ketergantungan penuh 21-61 = ketergantungan berat (sangat tergantung) 62-90 = ketergantungan moderat 91-99 = ketergantungan ringan 100 = mandiri

Skala A. Numerik (ratio) B. kategorik (ordinal)

PENGKAJIAN KESEIMBANGAN UNTUK LANSIA Lembar Observasi Keseimbangan Lansia

Tanggal

:

Nama klien

:

Jenis kelamin

:

Umur

:

TB/BB

: ……cm/……kg

Agama

:

Suku

:

Golongan darah

:

Tahun pendidikan

: ……SD, ……SMP, ……SMA, ……PT

Alamat

:

Komponen utama

dalam Langkah-langkah

Kriteria

Nilai

bergerak A.

perubahan1. Bangun dari kursi1.

posisi

atau

Tidak bangun dari tempat duduk dengan satu gerakan, tetapi mendorong

gerakan

tubuhnya keatas dengan tangan atau

keseimbangan

bergerak kedepan kursi terlebih dahulu, tidak stabil pada saat berdiri pertama 2. Duduk ke kursi

kali. 2.

3.

Menjatuhkan diri kekursi, duduk

Menahan ditengah kursi dorongan

pada3.

sternum

Pemeriksa

mendorong

sternum

(perlahan-lahan sebanyak 3 kali). Klien menggerakkan kaki memegang objek untuk dukungan, kaki tidak menyentuh

(mata ditutup)

sisi-sisinya.

4. Bangun dari kursi 5. Duduk ke kursi 4.

Kriteria sama dengan kriteria untuk mata terbuka

6.

Menahan5. dorongan

Kriteria sama dengan kriteria untuk

pada mata terbuka

sternum

6.

7. Perputaran leher

Kriteria sama dengan kriteria untuk mata terbuka

7. Menggerakkan kaki, memegang obyek untuk dukungan kaki tidak menyentuh sisi-sisinya, keluhan vertigo, pusing atau 8.

Gerakan keadaan tidak stabil. menggapai sesuatu8. Tidak mampu untuk menggapai sesuatu dengan bahu fleksi max, sementara berdiri pada ujung-ujung jari kaki tidak stabil,

9. Membungkuk

memegang

sesuatu

untuk

dukungan.

9.

Tidak mampu membungkuk untuk mengambil objek-objek kecil dari lantai, memegang onjek untuk bisa berdiri, memerlukan usaha-usaha multiple untuk bangun.

B.

gaya10. minta klien untuk 10.

berjalan/gerak

ragu-ragu, tersandung, memegang

berjalan ketempat objek untuk dukungan yang ditentukan 11.

ketinggian langkah kaki (saat 11. berjalan)

kaki tidak naik dari lantai secara konsisten (menggeser atau menyeret kaki), mengangkat kaki terlalu tinggi

12.

Kontinuitas (>50 cm) langkah

kaki 12. setelah langkah-langkah awal, langlkah

(diobservasi

dari menjadi

samping klien)

tidak

konsisten,

memulai

mengangkat satu kaki sementara yang lain menyentuh tanah.

13.

Kesimetrisan 13. langkah (diobservasi

Tidak berjalan pada garis lurus, bergelombang dari sisi ke sisi.

dari

samping klien) 14.

Penyimpangan jalur

pada

saat 14.

berjalan (diobservasi

Tidak berjalan pada garis lurus, bergelombang dari sisi ke sisi.

dari

belakang klien) 15. Berbalik

15.

Berhenti sebelum berbalik, jalan sempoyongan, bergoyang, memegang onjek untuk dukungan.

Intervensi hasil 0-5 = resiko jatuh rendah 6-10 = resiko jatuh sedang 11-15 = resiko jatuh tinggi

GERIATRI DEPRESSION SCALE ( GDS ) Joseph J. Gallo ( 1998 : 81 ), mengatakan bahwa salah satu langkah awal yang penting dalam penatalaksanaan depresi adalah mendeteksi atau mengidentifikasi. Salah satu instrumen yang dapat membantu adalah GDS (Geriatri Depression Scale). Skala depresi geriatri (GDS) adalah suatu kuesioner, terdiri dari 30 pertanyaan yang harus dijawab. GDS ini dapat dimampatkan menjadi hanya 15 pertanyaan yang harus dijawab. Sederhana saja, hanya dengan “YA atau TIDAK”, suatu bentuk penyederhanaan dari skala yang mempergunakan lima rangkai respon kategori. Kuesioner ini mendapatkan angka dengan memberi satu pokok untuk masing – masing jawaban yang cocok dengan apa yang ada dalam sintesa di belakang pertanyaan tertulis tersebut. Angka akhir antara 10 sampai 11, biasanya dipergunakan sebagai suatu tanda awal untuk memisahkan pasien tersebut masuk ke dalam kelompok depresi atau kelompok non depresi. Geriatri Depression Scale ( GDS ) tersebut terpilah dari 100 pertanyaan yang dirasakan berhubungan dengan ketujuh karakteristik depresi pada kehidupan lansia. Secara khusus 100 pertanyaan tersebut dikelompokkan secara apriori ke dalam beberapa sisi yaitu : 1) Kekuatiran somatis 2) Penurunan afek 3) Gangguan kognitif 4) Kurangnya orientasi terhadap masa yang akan datang 5) Kurangnya harga diri Menurut Joseph J. Gallo ( 1998 : 85 ), secara umum terdapat 15 pertanyaan yang harus diajukan pada lansia dalam instrumen Geriatri Depression Scale (GDS) adalah sebagai berikut : 1.

Apakah anda sebenarnya puas dengan kehidupan anda ?

2.

Apakah anda telah banyak menghentikan aktivitas dan minat – minat anda ?

3.

Apakah anda merasa kehidupan anda kosong ?

4.

Apakah anda sering merasa hidup anda bosan ?

5.

Apakah anda mempunyai semangat yang baik setiap saat ?

6.

Apakah anda takut bahwa sesuatu yang buruk akan akan terjadi pada anda ?

7.

Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup anda ?

8.

Apakah anda sering merasa tidak berdaya ?

9.

Apakah anda lebih senang tinggal di rumah dari pada pergi ke luar dan mengerjakan sesuatu hal yang baru ?

10. Apakah anda merasa mempunyai banyak masalah dengan daya ingatan anda di bandingkan kebanyakan orang ? 11. Apakah anda pikir bahwa hidup anda sekarang ini menyenangkan ? 12. Apakah anda merasa tidak berharga seperti perasaan anda saat ini ? 13. Apakah anda merasa penuh semangat ? 14. Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada harapan ? 15. Apakah anda pikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya dari pada anda ? Menurut JA Yesavage dan TL Brink yang dikutip Josep J. Gallo ( 1998 : 85 ), penentuan skornya adalah : 1. Skor 20 – 40 : Tidak ada depresi 2. Skor 41 – 60 : Depresi ringan 3. Skor 61 – 80 : Depresi sedang 4. Skor 81 - 100 : Depresi berat

BERG BALANCE SCALE

Berg balance scale (BBS) merupakan skala untuk mengukur keseimbangan static dan dinamik secara objektif, yang terdiri dari 14 item tugas keseimbangan (balance task) yang umum dalam kehidupan sehari-hari.

No

Item keseimbangan

Skor (0-4)

1.

Duduk ke berdiri

4 = dapat berdiri tanpa menggunakan tangan dan menstabilkan independen. 3 = mampu berdiri secara independen menggunakan tangan. 2 = mampu berdiri menggunakan tangan setelah mencoba. 1 = perlu bantuan minimal untuk berdiri atau menstabilkan 0 = perlu asisten sedang atau maksimal untuk berdiri.

2.

Berdiri penunjang

tanpa 4 = dapat berdiri dengan aman selama 2 menit. 3 = mampu berdiri 2 menit dengan pengawasan. 2 = dapat berdiri 30 detik yang tidak dibantu/ditunjang. 1 = membutuhkan beberapa waktu untuk mencoba berdiri 30 detik yang tidak dibantu. 0 = tidak dapat berdiri secara mandiri selama 30 detik

3.

Duduk penunjang

tanpa 4 = bisa duduk dengan aman dan aman selama 2 menit 3 = bisa duduk 2 menit dengan pengawasan 2 = mampu duduk selama 30 detik 1 = bisa duduk 10 detik 0 = tidak dapat duduk tanpa penunjang

4.

Berdiri ke duduk

4 = duduk dengan aman dengan menggunakan minimal tangan 3 = mengontrol posisi turun dengan menggunakan tangan 2 = menggunakan punggung kaki terhadap kursi untuk mengontrol posisi turun 1 = duduk secara independen tetapi memiliki keturunan yang tidak terkendali 0 = kebutuhan membantu untuk duduk.

5.

Transfer

4 = dapat mentransfer aman dengan penggunaan ringan tangan 3 = dapat mentransfer kebutuhan yang pasti aman dari tangan 2 = dapat mentransfer dengan pengawasan 1 = membutuhkan satu orang untuk membantu 0 = membutuhkan dua orang untuk membantu atau mengawasi

6.

Berdiri dengan mata 4 = dapat berdiri 10 detik dengan aman tertutup

3 = dapat berdiri 10 detik dengan pengawasan 2 = mampu berdiri 3 detik 1 = tidak dapat menjaga mata tertutup 3 detik tapi tetap aman 0 = membutuhkan bantuan agar tidak jatuh

7.

Berdiri dengan kaki 4 = mampu menempatkan kaki bersama-sama secara rapat

independen dan berdiri 1 menit aman 3 = mampu menempatkan kaki bersama-sama secara independen dan berdiri 1 menit dengan pengawasan 2 = mampu menempatkan kaki bersama-sama secara mandiri tetapi

tidak

dapat

tahan

selama

30

detik

1 = memerlukan bantuan untuk mencapai posisi tapi mampu berdiri 15 kaki bersama-sama detik 0 = memerlukan bantuan untuk mencapai posisi dan tidak dapat tahan selama 15 detik 8.

Menjangkau ke depan 4 = dapat mencapai ke depan dengan percaya diri 25 cm (10 dengan tangan

inci) 3 = dapat mencapai

ke depan 12 cm

(5 inci)

2

ke

(2

=

dapat

mencapai

depan

5

cm

inci)

1 = mencapai ke depan tetapi membutuhkan pengawasan 0 = kehilangan keseimbangan ketika mencoba / memerlukan dukungan eksternal 9.

Mengambil dari lantai

barang 4

=

dapat

mengambil

3 = dapat

mengambil

sandal sandal

aman tetapi

dan

mudah

membutuhkan

pengawasan 2 = tidak dapat mengambil tetapi mencapai 2-5 cm (1-2 inci)

dari sandal dan menjaga keseimbangan secara bebas 1 = tidak dapat mengambil dan memerlukan pengawasan ketika

mencoba

0 = tidak dapat mencoba / membantu kebutuhan untuk menjaga dari kehilangan keseimbangan atau jatuh 10.

Menoleh ke belakang

4 = tampak belakang dari kedua sisi dan berat bergeser baik 3 = tampak belakang satu sisi saja sisi lain menunjukkan pergeseran

berat

badan

kurang

2 = hanya menyamping tetapi tetap mempertahankan keseimbangan 1

=

perlu

pengawasan

saat

memutar

0 = butuh bantuan untuk menjaga dari kehilangan keseimbangan atau jatuh 11.

Berputar 360 derajat

4 = mampu berputar 360 derajat dengan aman dalam 4 detik atau

kurang

3 = mampu berputar 360 derajat dengan aman satu sisi hanya 4

detik

atau

kurang

2 = mampu berputar 360 derajat dengan aman tetapi perlahan-lahan 1 = membutuhkan pengawasan yang ketat atau dengan lisan 0 = membutuhkan bantuan saat memutar 12.

Menempatkan

kaki 4 = mampu berdiri secara independen dengan aman dan

bergantian di bangku

menyelesaikan

8

langkah

dalam

20

detik

3 = mampu berdiri secara mandiri dan menyelesaikan 8 langkah

dalam>

20

detik

2 = dapat menyelesaikan 4 langkah tanpa bantuan dengan pengawasan 1 = dapat menyelesaikan> 2 langkah perlu assist minimal 0 = membutuhkan bantuan agar tidak jatuh / tidak mampu untuk mencoba 13.

Berdiri dengan satu 4 = mampu menempatkan tandem kaki secara independen kaki didepan

dan

tahan

30

detik

3 = mampu menempatkan kaki depan independen dan tahan

30

detik

2 = dapat mengambil langkah kecil secara mandiri dan tahan 30

detik

1 = kebutuhan membantu untuk melangkah tapi dapat menyimpan

15

detik

0 = kehilangan keseimbangan saat melangkah atau berdiri 14.

Berdiri dengan satu 4 = mampu mengangkat kaki secara independen dan tahan> kaki

10

detik

3 = mampu mengangkat kaki secara independen dan tahan 510

detik

2 = mampu mengangkat kaki secara independen dan tahan ≥ 3

detik

1 = mencoba untuk angkat kaki tidak bisa tahan 3 detik tetapi tetap

berdiri

secara

independen.

0 = tidak dapat mencoba kebutuhan membantu untuk mencegah jatuhnya.

Total score = 56 Interpretasi 0-20

= harus memakai kursi roda (wheelchair bound)

21-40 = berjalan dengan bantuan 41-56 = mandiri/independen

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN Pada skenario 3 ini pasien

B. SARAN Untuk mahasiswa:

DAFTAR PUSTAKA

Arisman . (2004). Gizi dalam ddaur Kehidupan. Editor, Palupi Widyastuti. EGC : Jakarta. Bardosono, S. (2000). Studi Mengenai Kebiasaan Makan, Status Gizi dan Penyaki Degeneratif pada Kelompok Usila di Daerah Perkotaan dan Pedesaan di Jawa Barat. Bina Diknakes. Vol. 13. P. 17-18. Christiani, R. (2003). Status Gizi dan Pola Penyakit pada Lansia. Diakses pada tanggal 3 September 2011,< http://www.p3gizi.litbang.depkes.go.id/ > Darmojo,B. (2010). Geriatri, Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Edisi ke-4. Balai Penerbit FK UI: Jakarta. Evelyn, Pearce. (2009). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Fallis, A. . (2013). Lippincott Illustrated Reviews: Pharmacology. Journal of Chemical Information and Modeling. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004 Fatmah. (2010). Gizi Usia Lanjut. Erlangga: Jakarta. Harper, G. M., Johnston, C. B., & Landefeld, C. S. (2016). Geriatric Disorders. In M. A. Papadakis & S. J. McPhee (Eds.), Current Medical Diagnosis and Treatment 2016 (55th ed., p. 2093). McGraw-Hill Education. Irawan, H. (2013) ‘Gangguan Depresi pada Lanjut Usia’, Cermin Dunia Kedokteran, 40(11), pp. 815–819. Kane, R.L., Ouslander, JG., Abrass, IB. (2004). Essentials of Clinical Geriatric, ed.5. McGraw-hill companies: United states of America Kawas, CH & Brookmeyer, R.( 2001) ’ Aging and the public health effects of dementia’, New England Journal of Medicine, vol. 344 (15), p. 1160-1161, diakses pada tanggal 31 Maret 2018, http://content.nejm.org/cgi/content/full/344/15/1160 Morrow, JR. Jackson,A. Disch,J. & Mood,D. (2005). Measurement and Evaluation in Human Performance. Third Edition. Human Kinetics:USA Nurachamah,E. (2001). Nutrisi dalam Keperawatan. Sagung Seto: Jakarta. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia di Pusat Kesehatan Masyarakat

Potter & Perry. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik, Edisi 4. EGC: Jakarta. Robinson, R. G., & Jorge, R. E. (2016). Post-Stroke Depression: A Review. American Journal of Psychiatry, 173(3), 221–231. https://doi.org/10.1176/appi.ajp.2015.15030363 Setiati, S. (2000). Pedoman Praktis Perawatan Kesehatan: untuk Pengasuh Orang Usia lanjut. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. Seymour, R. (2006). ‘Masalah Farmakologi Gigi pada Lansia’ dalam Hutauruk, C (editor), Perawatan gigi Terpadu untuk Lansia. EGC: Jakarta. Sukmaniah, S. (2004). ‘Nutrisi Pada Lanjut Usia’ Majalah Gizi Medik vol. 8 hal : 8-10: Jakarta. Supariasa, IDN., Bakri, B., Fajar, I. (2002). Penilaian Status Gizi. EGC: Jakarta. Sözeri-Varma, G. (2012). Depression in the elderly: clinical features and risk factors. Aging and

Disease,

3(6),

465–71.

Retrieved

from

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23251852 Taylor, W. D. (2014). Depression in the Elderly. New England Journal of Medicine, 371(13), 1228–1236. https://doi.org/10.1056/NEJMcp1402180

Related Documents

Laptut S3b22.docx
November 2019 5
Laptut Psi 1.docx
December 2019 38

More Documents from "Hanif Faried"

Laptut S3b22.docx
November 2019 5
Sk 1 Neuro.docx
November 2019 16
Sk 2 Neuro.docx
November 2019 10