Laptut Pediatri 2 Final.docx

  • Uploaded by: Sahrul Fajar
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laptut Pediatri 2 Final.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 10,548
  • Pages: 51
LAPORAN TUTORIAL BLOK PEDIATRI SKENARIO II

“Anakku batuk dan sulit bernafas”

KELOMPOK A10 HAIKAL FAIQ ALBASITH

G0016099

HANIF OMAR FARIED

G0016101

SAHRUL FAJAR R

G0016193

SANDY AKBAR P P

G0016195

SONYA DELLANIA R

G0016207

STEFANI JUTIEN SARI

G0016209

SYA’IRUL TANDI ALLA

G0016211

TASYA FIRZANNISA M P

G0016213

TIARA MAHZA WARDHANI

G0016215

TINET ENDAH RINANI

G0016217

VINA ALEXANDRA KURNI

G0016221

VITA PERTIWI

G0016223

MARIA MARGARETHA V P

G0016241

TUTOR : ANNANG GIRI MOELYO, dr., Sp. A, M. Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA TAHUN 2019

BAB I PENDAHULUAN

SKENARIO 3

“Anakku batuk dan sulit bernafas” Kasus I Andi berumur 2,8 tahun. Ibunya membawa berobat ke Puskesmas karena batuk pilek selama 4 hari. Setelah memeriksa, petugas kesehatan menemukan nadi: 110x/menit, pernafasan: 32 x/menit, suhu :38,60 C. Dokter kemudian memberikan obat.

Kasus II Seorang perempuan berusia 3 tahun dibawa oleh ibunya ke puskesmas karena batuk sejak 2 hari yang lalu, berdahak putih. Keluhan disertai demam (+). Demam naik turun. Pada pemeriksaan fisik nadi : 122x/menit, pernafasan : 52 x/menit, suhu: 38,20 C. Saat ini anak tampak sulit bernafas dan lemah. Terdapat retraksi

dinding dada. Dokter kemudian melakukan tindakan dan merujuk pasien ke rumah sakit untuk mendapat penanganan dari dokter spesialis anak.

BAB II DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Langkah I : Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario Retraksi dinding dada : penarikan dinding dada diikuti oleh peningkatan frekuensi nafas sebagai kompensasi tubuh untuk mendapatkan oksigen lebih.

B. Langkah II : Menentukan/mendefinisikan permasalahan

Masalah yang terdapat pada skenario “Anakku batuk dan sulit bernafas” adalah: 1.

Apakah penyebab batuk dan pilek?

2.

Apa perbedaan batuk pada kasus I dan II?

3.

Bagaimana vital sign normal dan tidak normal pada anak serta interpretasi pada skenario?

4.

Mengapa pada kasus II terjadi sesak nafas, lemah, dan retraksi dada?

5.

Apakah perbedaan kasus batuk dan pilek pada anak dengan orang dewasa?

6.

Bagaimana patogenesis batuk dan pilek?

7.

Mengapa demam naik turun?

8.

Apakah obat yang diberikan untuk kasus I? Apa tindakan yang dilakukan pada kasus II?

9.

Apa perbedaan demam pada kasus I dan II?

10.

Apa diangnosis banding pada kasus I dan II?

C. Langkah III : Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan sementara mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II) 1.

Apakah penyebab batuk dan pilek? Commond cold merupakan rhinitis akut yang disebabkan oleh virus “selesma”. Rhinitis berarti “iritasi hidung” dan adalah derivative dari rhino, berarti “hidung”. Selaput lendir pada hidung yang terkena iritasi atau radang akan memproduksi lebih banyak lendir dan mengembang, sehingga hidung menjadi tersumbat dan pernafasan jadi sulit (Admin, 2011). Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan subgrup family yang paling besar, terdiri dari 89 serotipe yang telah di identifikasi dengan reaksi netralisasi memakai antiserum spesifik. Rhinovirus berasal dari bahasa yunani rhin- yang artinya adalah hidung. Rhinovirus merupakan organisme mikroskopis yang menyerang sel-sel mukus pada hidung, merusak fungsi normal mereka serta

memperbanyak diri di sana. Virus tersebut dapat bermutasi dan hingga saat ini ada sekitar 250 strain atau jenis rhinovirus. Selain virus, batuk dan pilek dan demam juga di sebabkan oleh bakteri.

2.

Apa perbedaan batuk pada kasus I dan II? 

Pada kasus 1, pasien mengeluhkan batuk pilek selama 4 hari. Melalui pemeriksaan didapatkan denyut nadi, frekuensi napas, dan suhu tubuh meningkat. Akan tetapi, pasien belum mengalami takipnea maupun hipoksia (sesuai umur pasien). Suhu pasien perlu diwaspadai karena di atas 38. Dokter memberikan obat, sehingga mungkin pasien tidak dalam kondisi darurat dan menderita keluhan yang cukup umum.



Pada kasus 2, gejala yang paling spesifik adalah batuk berdahak putih, sulit bernapas, dan terdapat retraksi dinding dada. Tanda vital pada pasien 2 nampak lebih tinggi dari pasien 1. Pada pasien, frekuensi napas mencapai 52 kali per menit sehingga dikhawatirkan terjadi hiperventilasi. Retraksi dinding dada kemungkinan terjadi karena kompensasi usaha karena naiknya tekanan intrathorax. Oleh karena itu, kasus ini membutuhkan rujukan ke dokter spesialis anak.

3.

Bagaimana vital sign normal dan tidak normal pada anak serta interpretasi pada skenario? Tanda vital untuk pasien pediatri adalah sebagai berikut: a. Frekuensi Pernafasan (Respiratory Rate) Kriteria normal frekuensi pernafasan pada neonatus dan anak menurut usia adalah sebagai berikut (WHO, 2009): <1 tahun

: 30-40 kali/menit

2-5 tahun

: 20-30 kali/menit

5-12 tahun

: 15-20 kali/menit

>12 tahun

: 12-16 kali/menit

Namun, apabila anak datang dengan frekuensi pernafasan diatas nilai normal, anak tidak dapat secara langsung didiangnosis takipneu. Kriteria nafas cepat (takipneu) menurut usia adalah sebagai berikut (WHO, 2009): <2 bulan

: >60 kali/menit

2-12 bulan

: >50 kali/menit

1-5 tahun

: >40 kali/menit

>5 tahun

: >30 kali/menit

b. Denyut Nadi (Heart Rate) Pada bayi dan anak, ada tidaknya denyut nadi utama yang kuat sering merupakan tanda yang berguna untuk melihat ada tidaknhya syok dibandingkan mengukur tekanan darah. Nilai normal denyut nadi pada anak menurut usia, yaitu: 0-3 bulan

: 85-200 kali/menit

3 bulan-2 tahun

: 100-190 kali/menit

2-10 tahun

: 60-140 kali/menit

Pada anak yang sedang tidur denyut nadi normal 10% lebih lambat (WHO, 2009) . c. Tekanan Darah Tekanan darah normal pada anak menurut usia antara lain (WHO, 2009): 0-1 tahun

: >60 mmHg

1-3 tahun

: >70 mmHg

3-6 tahun

: >75 mmHg

d. Suhu Tubuh Seorang anak dikatakan demam apabila: 1. Temperatur rektal lebih dari 38,00 C atau lebih dari 100,40 F 2. Temperatur oral lebih dari 37,50 C atau lebih dari 99,50 F 3. Temperatur aksilla lebih dari 37,20 C atau lebih dari 99,00 F Dari data diatas, interpretasi pemeriksaan fisik dari kasus I dan II : Kasus I 

Nadi normal



Nafas diatas normal tapi belum tergolong takipneu



Suhu demam

Kasus II  Nadi normal  Nafas takipneu  Suhu demam  Retraksi dinding dada menunjukkan kondisi hipoksia dan kekakuan paru sehingga sulit mengembang  Sulit bernafas dan lemah merupakan tanda bahaya karena anak sudah kelelahan untuk bernafas maka harus segera dirujuk

4.

Mengapa pada kasus II terjadi sesak nafas, lemah dan retraksi dada? Retraksi pada dinding dada Terjadi penarikan ke dalam otot-otot interkostal, subcostal, dan suprasternal. Hal ini menunjukkan penggunaan otot-otot bantu pernafasan sebagai kompensasi untuk mengeluarkan udara. Sesak Napas Dyspnea atau sesak nafas didefinisikan sebagai pengalaman subjektif ketidaknyamanan dalam bernapas yang terdiri dari sensasi kualitatif berbeda yang bervariasi dalam intensitas. Dan dari sumber lain disebutkan sesak napas adalah ketidakmampuan sistem pernapasan untuk menghantarkan oksigen yang adekuat atau untuk mengeluarkan karbondioksida dari sirkulasi ditandai dengan adanya perubahan bermakna pada kadar PO2 dan PCO2 arterial. Sesak nafas bias disebabkan karena: a. Bronkitis, disebabkan oleh virus dan sistem pertahanan tubuh yang menurun, ditandai dengan sesak sesaat b. Bronkiolitis, disebabkan oleh virus, terjadi infeksi dan meradang, menyebabkan bronkiolus menyempit dan timbul wheezing, ekspirasi memanjang dan bisa gagal nafas. Biasanya dimulai dengan gejala seperti flu, setelah beberapa hari menjadi sulit bernafas. c. Pneumonia, karena infiltrat di lapangan paru dan di alveoli terdapat pus yang akan menganggu proses difusi. Gejalanya nafas cepat, ada retraksi intercosta, nafas cuping hidung, pada auskultasi terdengar ronki basah halus nyaring pada inspirasi Sesak nafas merupakan kompensasi tubuh akibat kekurangan oksigen.

a. Ketika alergen berikatan dengan IgE, terjadi degranulasi (pecah dinding sel) sel mast dan sel basofil yang kemudian akan terlepas mediator kimia, terutama histamin. Histamin menyebabkan sel goblet dan kelenjar mukosa mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat yang akan menyebabkan peningkatan produksi mukus dan terjadinya pilek. Batuk merupakan reaksi kompensasi tubuh untuk mengeluarkan alergen atau mukus yang terbentuk dan mekanisme pertahanan tubuh di saluran pernafasan terhadap iritasi di saluran pernafasan dan terhadap masuknya benda asing. Sesak nafas bisa timbul sebagai kompensasi tubuh karena kekurangan oksigen yang bisa timbul akibat mukus yang terbentuk menghambat saluran nafas sehingga menghambat masuknya oksigen dan keluarnya karbon dioksida. b. Aspirasi benda asing dapat menghambat saluran pernafasan yang mengakibatkan terganggunya aliran udara di saluran pernafasan, terganggu masuknya oksigen dan keluarnya karbon dioksida di paru.

5.

Apakah perbedaan kasus batuk dan pilek pada anak dengan orang dewasa?  Thorax Rongga dada pada anak-anak berbentuk lebih horizontal, sehingga perubahan antero posterior terjadi minimal. Pada anak-anak, lartilago pada costae lebih elastik. Manifestasi : selama episode respiratory distress, rongga dada dapat terjadi retraksi yang menurunkan kemampuan untuk mengelola kapasitas residu fungsional atau menaikkan volume tidal. Muskulus intercostal belum berkembang sempurna hingga usia sekolah, sehingga fungsi stabilisasi dinding dada juga belum sepenuhnya sempurna, yakni kurang berpengaruh dan tidak cukup kuat untuk mengangkat tulang-tulang costae. Pada anak-anak tipe pernapasan utamanya adalah pernapasan diafragma, namun otot pada diafragma tersusun secara horizontal dengan tulang costae (tersusun miring). Manifestasi: pada anak saat posisi supinasi dapat menghambat fungsi diafragma, kontraksi justrudapat menarik tulang-tulang costae ke dalam, bukan mengembangkan dada.Menempatkan kepala pada posisi elevasi di kasur dapat meningkatkan fungsi diafragma dan dapat meringankan usaha bernapas.

 Kepala dan leher Anak-anak cenderung memiliki occiput yang besar yang dapat mengganggu jalan napas. Saat berbaring supinasi, leher dalam keadaan fleksi yang dapat menghambat jalan napas sebagian. Manifestasi : pasien dalam posisi fleksi dapat memperlihatkan tanda-tanda obstruksi napas seperti snoring atau polanapas obstruktif seperti stridor ringan .Selain itu, anak-anal memiliki lidah yang lebih besar dibandingkan dengan luas rongga mulut mereka. Hal ini dapat menjadi predisposisi obstruksi saluran napas akibat lidah. Diameter saluran napas atas dan bawah pada anak-anak relatif kecil, hal ini menjadi predisposisi anak memiliki resistensi saluran napas lebih tinggi. Menurut hukun Pouseille, jika jari-jari diturunkan setengahnya maka resistensi naik menjadi enam belas kali lipat. Untuk mencegah efek dari perubahan ini, penting untuk menaikkan gradien tekanan atau menurunkan aliran pada sistem. Manifestasi : obstruksi sedikit saja atau inflamasi saluran napas akan menimbulkan sulit bernapas yang parah.  Saluran napas Secara umum, saluran pernapasan pada anak-anak mempunyai ukuran lebih kecil dari orang dewasa. Pada anak-anak, saluran napas berbentuk corong sedangkan pada orang dewasa berbentuk silinder. Pada anak-anak usia kurang dari 3 tahun, cincin krikoid (cincin trakhea pertama yang berbentuk lingkaran utuh) merupakan bagian tersempit jalan napas, sementara pada anak yang lebih besaratau dewasa, glotis merupakan bagian yang paling sempit.

6.

Bagaimana patogenesis batuk dan pilek? 

Batuk Batuk merupakan suatu refleks kompleks yang melibatkan banyak

sistem organ. Batuk akan terbangkitkan apabila ada rangsangan pada reseptor batuk yang melalui saraf aferen akan meneruskan impuls ke pusat batuk tersebar difus di medula. Dari pusat batuk melalui saraf eferen impuls diteruskan ke efektor batuk yaitu berbagai otot respiratorik. Bila rangsangan pada reseptor batuk ini berlangsung berulang maka akan timbul batuk berulang, sedangkan bila rangsangannya terus menerus akan menyebabkan batuk kronik.

Anatomi refleks batuk telah diketahui secara rinci. Reseptor batuk terletak dalam epitel respiratorik, tersebar di seluruh saluran respiratorik, dan sebagian kecil berada di luar saluran respiratorik misalnya di gaster. Lokasi utama reseptor batuk dijumpai pada faring, laring, trakea, karina, dan bronkus mayor. Lokasi reseptor lainnya adalah bronkus cabang, liang telinga tengah, pleura, dan gaster. Ujung saraf aferen batuk tidak ditemukan di bronkiolus respiratorik ke arah distal. Berarti parenkim paru tidak mempunyai resptor batuk. Reseptor ini dapat terangsang secara mekanis (sekret, tekanan), kimiawi (gas yang merangsang), atau secara termal (udara dingin). Mereka juga bisa terangsang oleh mediator lokal seperti histamin, prostaglandin, leukotrien dan lain-lain, juga oleh bronkokonstriksi. Batuk terjadi akibat adanya rangsangan pada reseptor batuk, reseptor tersebut berada di dalam dan di luar rongga thorax, dimana merupakan serabut syaraf tak bermielin, terdapat antara lain pada, bronkus, karina, trakea, laring, juga ada pada telinga, snus paranasalis, pericardial, dan diagfragma. Reflek batuk yang ada tersebut kemudian disalurkan ke medulla oblongata oleh beberapa nervus, yaitu nervus vagus yang melanjutkan rangsang dari bronkus, trakea dan telinga. Nervus glossofaringeus melanjutkan rangsang dari faring, nervus trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis, nervus phrenikus meyalurkan dari perikardium dan diagframa. Semua rangsang tersebut kemudian menuju pusat pernapasan berupa nukleus retroambigualis, dan pusat motorik laring dan faring di nukleus ambigualis. Mekanisme batuk yaitu; a. Fase iritasi Fase dimana reseptor batuk yang ada diberbagai lokasi disensititasi atau diiritasikan oleh berbagai hal yang mempengaruhinya, baik mikroorganisme, benda asing, ataupun droplet dari hidung. b. Fase inspirasi Katup glotis terbuka lebar akibat kontraksi muskulus abduktor kartilago aryhtenoidea.

Inspirasi terjadi secara cepat dan dalam,

denganterfiksirnya iga bawah maka volume yang tertampung dalam rongga

dada menjadi lebih besar dibanding pada kondisi normal, hal ini akan memungkinkan proses pembersihan pada bagian ini. Volume bisa mencapai 200 sampai 3500 ml dari volume normal. c. Fase kompresi Fase dimana glotis menutup akibat kontraksi muskulus adduktor kartilago arythneoidea, glotis menutup selama 0,2 detik, pada faseini tekanan intrathorak meningkat sampai 300cmH2O. Tekanan pleura tetap meninggi mencapai 0,5 detik setelah glotis terbuka. d. Fase Ekspirasi/Ekspulsi Adalah fase dimana batuk terjadi, glotis yang terbuka tiba-tiba membuat udara di dalamnya keluar dengan cepat dan kuat, sehingga benda asing yang telah meniritasi bagian reptor tadi dapat dikeluarkan dengan adekuat. Proses ini sangat bergantung pada ada atau tidaknya sekret dan benda asing pada jalur napas. 

Pilek

Pilek merupakan gejala suatu penyakit yang memiliki ciri adanya cairan (mucus) dalam saluran pernapasan yang disebabkan adanya zat iritan maupun mikroorganisme lainnya yang masuk ke dalam saluran pernapasan. Adanya zat iritan yang masuk ke dalam saluran pernapasan akan mengaktivasi sel goblet untuk mengeluarkan mucus yang berfungsi untuk menangkap zat-zat iritan yang masuk dan dikeluarkan melalui batuk.

7.

Mengapa demam naik turun? Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam dan fase kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh yang ditandai dengan vasokontriksi pembuluh darah dan peningkatan aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan berwarna kemerahan.

Naiknya suhu tubuh merupakan tanda dari sistem imun tubuh bahwa adanya benda asing yang masuk kedalam tubuh. Apabila suhu tubuh sempat turun, namun beberapa saat naik lagi, hal tersebut menandakan patogen tersebut masih berada didalam tubuh dan belum sepenuhnya hilang. Pada dasarnya, demam yang awalnya bersuhu tinggi kemudian turun seperti itu merupakan fase normal pada demam. Namun, apabila suhu tubuh yang tinggi kemudian turun hingga normal beberapa jam sehari kemudian naik kembali dengan siklus seperti itu, barulah disebut demam intermitten. Beberapa jenis pola demam : 

Demam Kontinyu merupakan demam dengan variasi diurnal antara 0,55°C – 0,82°C. Biasa ditemukan pada pneumonia lobaris, infeksi kuman gram negatif, ricketsia, demam tifoid, malaria falciparum, dan gangguan sistem saraf pusat.



Demam Intermitten merupakan demam dengan variasi di atas 1°C, Suhu terendah demam mencapai

suhu

normal.

Biasa ditemukan pada

endokarditis, malaria, dan brucelosis. 

Demam Remiten merupakan demam dengan variasi di atas 1°C, Suhu terendah tidak mencapai suhu normal. Biasa ditemukan pada demam tifoid dan fase awal berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh virus.



Demam Tertiana dan Kuartana merupakan demam intermitten yang diselang periode normal. Tertiana adalah demam pada hari ke 1 dan 3 (disebabkan P. Vivax). Kuartana adalah demam pada hari ke 1 dan 4 (disebabkan P. Malariae)



Demam Bifasik merupakan demam tinggi selama beberapa hari setelah itu ada penurunan 1 hari kemudian demam tinggi lagi. Biasa ditemukan pada DBD, influenza, dan poliomielitis.



Demam Intermitten Hepatik merupakan demam yang episodenya tidak teratur, penurunan dan kenaikan suhu tubuh terlihat jelas. Biasa terjadi pada kolangitis.



Demam Pel – Ebstein adalah demam tiap minggu atau lebih lama, lamanya periode demam sama seperti periode ketika tidak demam. Biasa terjadi pada penyakit hodgkin dan brucelosis.



Thypus Inversus adalah demam tinggi pada pagi hari. Biasa ditemukan pada TB milier, salmonelosis, endokarditis, dan abses hepatik



Reaksi Jarisch – Herxeimer adalah demam dengan peningkatan temperatur yang sangat tajam dan dapat terjadi eksasebrasi manifestasi klinis. Biasa terjadi pada sifilis primer / sekunder, dan leptospirosis.

8.

Apakah obat yang diberikan untuk kasus I? Apa tindakan yang dilakukan pada kasus II? Batuk, demam, tanpa dahak :  Obat antipiretik (paracetamol, acetaminofen)  Antihistamin (untuk alergen)  Dekongestan  Antibiotik Pada kasus II, pasien dicurigai menderita pneumonia sehingga perlu diberikan antibiotik. Pemberian antibiotik diberikan dengan spektrum luas terlebih dahulu sebelum dilakukan terapi definif.

9.

Apa perbedaan demam pada kasus I dan II? Pada kasus I merupakan demam yang umum terjadi akibat common cold, sedangkan demam pada kasus II demam yang berpola naik turun. Pada kasus demam naik turun perlu diketahui waktu pola terjadinya dan gejala lain untuk menentukan penyakitnya.

10.

Apa diangnosis banding dan pemeriksaan penunjang pada kasus I dan II? Diagnosis banding kasus 1 yaitu common cold dan rhinitis. Diagnosis banding kasus 2 yaitu pneumonia, bronkitis, bronkiolitis, asma, dan pertusis.

E. Langkah IV : Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah III

Batuk dan Sulit Bernafas

Anamnesis dan Pemeriksan Fisik

Kasus I : Anak laki-laki berusia 2,8 tahun dengan keluhan batuk pilek sudah 4 hari, denyut nadi 110x/menit, laju pernafasan 32x/menit, suhu tubuh 38,6°C

Kasus II : Anak perempuan berusia 3 tahun dengan keluhan batuk sudah 2 hari, demam naikturun, denyut nadi 122x, laju pernafasan 52x/menit, suhu tubuh 38,2°C, anak tampak sulit bernafas dan lemah dengan retraksi dinding dada positif

DD : Common Cold dan rhinitis

DD : Pneumonia, bronkitis, bronkiolitis, asma, pertusis

Tatalaksana

Prognosis dan Komplikasi

F. Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran Tujuan pembelajaran (learning objectives) pada skenario ini adalah: 1. Menjelaskan patofisiologi, gejala, etiologi, epidemiologi dari diagnosis banding (common cold, rhinitis, pneumonia, bronkitis, bronkiolitis, asma dan pertusis) pada anak-anak

2. Menjelaskan pemeriksaan tambahan dan tatalaksana dari diagnosis banding 3. Menjelaskan kegawatdaruratan pediatri pada kasus penafasan 4. Menjelaskan prognosis dan komplikasi dari diagnosis banding G. Langkah VI : Mengumpulkan informasi baru H. Langkah VII : Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang diperoleh 1. Menjelaskan patofisiologi, gejala, etiologi, epidemiologi dari diagnosis banding (common cold, rhinitis, pneumonia, bronkitis, bronkiolitis, asma dan pertusis) pada anak-anak a. Common Cold 

Patofisiologi

: Common Cold dapat terjadi akibat inhalasi zat iritan

atau virus maupun kontak langsung dari lingkungan. Patogenesis common cold didasarkan pada respon imun tubuh akibat infeksi virus/ alergen.

Infeksi

tersebut

dapat

menyebabkan

vasodilatasi

dan

peningkatan permeabilitas kapiler, sehingga timbul gejala klinis hidung tersumbat dan sekret hidung. 

Gejala

:

-

Gejala mulai timbul dalam waktu 1-3 hari setelah terinfeksi.

-

Biasanya gejala awal berupa rasa tidak enak di hidung atau tenggorokan.

-

Kemudian penderita mulai bersin-bersin, hidung meler dan merasa sakit ringan.

-

Biasanya tidak timbul demam, tetapi demam yang ringan bisa muncul pada saat terjadinya gejala.

-

Hidung mengeluarkan cairan yang encer dan jernih dan pada harihari pertama jumlahnya sangat banyak sehingga mengganggu penderita.

-

Selanjutnya sekret hidung menjadi lebih kental, berwarna kuninghijau dan jumlahnya tidak terlalu banyak.

Gejala biasanya akan menghilang dalam waktu 4-10 hari, meskipun batuk dengan atau tanpa dahak seringkali berlangsung sampai minggu kedua. Dimana gejalnya hidung berair, kadang tersumbat, lalu di ikuti dengan batuk dan demam. Jika cairan atau lendir banyak keluar dari hidung bayi sehingga membuatnya kesulitan untuk bernafas. Selain itu gejala nasofaringitis dengan pilek, batuk sedikit dan kadang-kadang bersin. Dari hidung keluar sekret cair dan jernih yang dapat kental dan parulen bila terjadi infeksi sekunder oleh kokus. Secret ini sangat merangsang anak kecil. Sumbatan hidung (kongesti) menyebabkan anak bernafas melalui mulut dan anak menjadi gelisah. Pada anak yang lebih besar kadang-kadang didapat rasa nyeri pada otot, pusing dan anareksia. Sumbatan hidung (Kongesti) di sertai selaput lendir tenggorok yang kering menambah rasa nyeri. Gejala yang umum adalah batuk, sakit tenggorokan, pilek, hidung tersumbat, dan bersin, kadang-kadang disertai dengan mata merah, nyeri otot, kelelahan, sakit kepala, kelemahan otot, menggigil tak terkendali, kehilangan nafsu makan, dan kelelahan ekstrim jarang. Demam lebih sering merupakan gejala influenza, virus lain atas infeksi saluran pernapasan yang gejalanya luas tumpang tindih dengan dingin, tapi lebih parah. Gejala mungkin lebih parah pada bayi dan anak-anak (karena sistem kekebalan tubuh mereka tidak sepenuhnya berkembang) serta orang tua (karena sistem kekebalan tubuh mereka sering menjadi lemah). 

Etiologi

: Common cold terjadi ketika virus mengiritasi

(menginflamasi) lapisan mukosa hidung dan tenggorokan. Common cold dapat disebabkan oleh lebih dari 200 virus yang berbeda. Tetapi kebanyakan pilek disebabkan oleh rhinovirus, virus lain penyebab common cold contohnya adenovirus, influenza, RSV, coronarvirus, dll. Cara virus menyebar: -

Melalui udara. Jika seseorang dengan common cold mengalami bersin atau batuk, sejumlah kecil virus dapat masuk ke udara.

Kemudian jika anak menghirup udara itu, virus akan menempel di dalam hidung anak Anda (selaput mukosa hidung). -

Dengan kontak langsung. Ini berarti bahwa anak menyentuh orang yang terinfeksi. Common cold mudah menyebar ke anak-anak. Itu karena anak sering menyentuh hidung, mulut, dan mata mereka setelah menyentuh orang atau benda lain. Ini bisa menyebarkan virus. Penting untuk mengetahui bahwa virus dapat menyebar melalui benda-benda, seperti mainan, yang telah disentuh oleh seseorang yang menderita common cold.



Epidemiologi

: Common cold biasa terjadi paling sering dari pada

musim hujan di daerah tropis, walau begitu infeksi rhinovirus yang menjadi sebab tersering common cold hadir sepanjang tahun. Common yang terjadi dari Oktober hingga Maret disebabkan oleh kemunculan beruntun sejumlah virus seperti influenza dan RSV. Infeksi adenovirus terjadi dengan laju konstan sepanjang tahun. Insiden common cold paling tinggi terjadi pada anak usia prasekolah dan sekolah dasar. Rata-rata 3-8 pilek per tahun diamati pada kelompok umur ini, dan insidensinya bahkan lebih tinggi pada anak-anak yang menghadiri penitipan anak dan prasekolah. Orang dewasa dan remaja biasanya menderita 2-4 pilek per tahun.

b. Rhinitis 

Patofisiologi

: Penularan rinitis dapat terjadi melalui inhalasi aerosol

yang mengandung partikel kecil, deposisi dropleet pada mukosa hidung atau konjungtiva, atau melalui kontak tangan dengan sekret yang mengandung virus yang berasal dari penyandang atau dari lingkungan. Cara penularan antar virus yang satu berbeda dengan yang lainnya. Virus influenza terutama ditularkan melalui kontak tangan dengan sekret, yang diikuti dengan kontak tangan ke mukosa hidung atau konjungtiva. Patogenesis rinitis sama dengan patogenesis infeksi virus pada umumnya, yaitu melibatkan infeksi interaksi antara replikasi virus dan

respon inflamasi pejamu. Meskipun demikian, patogenesis virus-virus saluran respiratori dapat sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya karena perbedaan lokasi primer tempat replikasi virus. Replikasi virus influenza terjadi di epitel trakeobronkial, sedangkan Rhinovirus terutama di epitel nasofaring. Pemahaman paotgenesis rinitis terutama didapat dari penelitian pada sukarelawan yang diinfeksi dengan Rhinovirus. Infeksi dimulai dengan deposit virus di muksa hidung-anterior atau di mata. Dari mata, virus menuju hidung melalui duktus lakrimalis, lalu berpindah ke nasofaring posterior akibat gerakan mukosilier. Di daerah adenoid, virus memasuki Rhinovirus menggunakan interceluller adhesion molecule-I (ICAM-I) sebgai reseptornya. Setelah berada di dalam sel epitel, virus bereplikasi dengan cepat. Hasil replikasi virus tersebut dapat dideteksi 810 jam setelah inokulasi virus intranasal. Dosis yang dibutuhkan untuk terjadinya infeksi Rhinovirus adalah kecil, dan lebih dari 95% sukarelawan tanpa antibodi spesifik terhadap serotif virus akan terinfeksi setelah inokulasi intranasal. Meskipun demikian, tidak semua infeksi menyebabkan timbulnya gejala klinis. Gejala rinitis hanya terjadi pada 75% orang yang terinfeksi. Infeksi virus pada mukosa hidung menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler, sehingga timbul gejala klinis hidung tersumbat dan sekret hidung yang merupakan gejala utama rinitis. Stimulasi kolinergik menyebabkan peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan bersin. Mekanisme pasti tentang bagaimana virus menyebabkan perubahan di muksoa hidung belum diketahui dengan pasti. Dilaporkan bahwa gejala timbul bersaamaan dengan influks sel-sel polimorfonuklear (PMN) ke dalam mukosa dan sel epitel hidung. Derajat keparahan kerusakan mukosa hidung berbeda antara virus. Virus influenza dan Adenovirus menyebabkan kerusakan yang luas, sedangkan

infeksi

rhinovirus

tidak

menyebabkan

perubahan

histopatologik pada mukosa hidung. Tidak adanya kerusakan mukosa pada infeksi rhinovirus menimbulkan dugaan bahwa gejala klinis pada infeksi Rhinovirus mungkin bukan disebabkan oleh efek sitopatik virus, melainkan karena respons inflamasi pejamu. Beberapa mediator

inflamasi yang berperan pada rinitis adalah kinin, leukotrien, histamin, interleukn (IL) 1,6, dan 8, TNP, dan regulated by activation normal T cell expressed and secreted (RANTES). Kadar IL-6 dan IL-8 menentukan derajat keparahan rinitis. 

Gejala

: Muncul setelah 1-2 inokulasi virus. Hidung

gatal, bersin, hidung berair (rinorea), hidung tersumbat, mata merah, berair. 

Etiologi coronavirus,

: Penyebab terbanyak adalah virus, yaitu rhinovirus, influenza,

RSV

(Respiratory

Syncytial

Virus),

parainfluenza dengan masa inkubasi 1 sampai 3 hari. Menyebar melalui droplet, inhalasi aerosol. 

Epidemiologi

: Rinitis alah satu dari penyakit IRA-atas tersering pada

anak. Anak-anak lebih sering mengalai rinitis daripada dewasa. Rata-rata mereka mengalami 6-8 kali rinitis per tahun, sedangkan orang dewasa 24 kali per tahun. Selama tahun pertama kehidupan, anak laki-laki lebih sering mengalami rinitis daripada anak perempuan. Penyakit ini juga merupakan penyebab terbanyak yang menyebabkan anak tidak dapat pergi ke sekolah. Rinitis dapat terjadi sepanjang tahun, tetapi insidensnya bergantung pada musim. Di belahan bumi utara, insidens rinitis meningkat. Rinitis tetap tinggi selama musim dingin, dan menurun pada musim semi, sedangkan di daerah tropis, rinitis terutama terjadi pada musim hujan.

c. Pneumonia 

Patofisiologi

: Pneumonia ditandai oleh radang alveoli dan ruang

udara sebagai respons terhadap invasi oleh agen infeksius yang masuk ke paru-paru melalui inhalasi atau penyebaran hematogen. Ada 4 stadium pneumonia, yaitu : Stadium I (4-12 jam pertama/ kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler ditempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator perdangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.

Mediator-mediator

tersebut

mencakup

histamin

dan

prostaglandin. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisiumsehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida, sehingga mempengaruhi perpindahan gas dalam darah dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. Stadium II (48 jam berikutnya) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oeh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seprti hepar,pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. Stadium III (3-8 hari) Disebut hepatitis kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisasisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti. Stadium IV (7-11 hari)

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi olehmakrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula. 

Gejala

: Bayi baru lahir dengan pneumonia jarang batuk; gejala

yang sering hadir adalah bayi tidak mau makan, takipnea, retraksi, mendengkur, dan hipoksemia. Setelah bulan pertama kelahiran, batuk adalah gejala pneumonia yang paling umum. Gejala mendengkur kurang umum pada bayi yang lebih tua, namun, takipnea, retraksi, dan hipoksemia sering terjadi dan dapat disertai dengan batuk persisten, kongesti, demam, mudah marah, dan penurunan nafsu makan. Bayi dengan pneumonia karena bakteri sering mengalami demam, tetapi mereka yang menderita pneumonia virus mungkin mengalami demam ringan. Bayi juga bisa mengalami mengi atau bernafas dengan berisik. Balita dan anak prasekolah gejalanya bisa mengalami demam, batuk (produktif atau tidak produktif), takipnea, dan kongesti. Bisa juga disertai muntah. Anak-anak yang lebih tua dan remaja dapat mengalami gejala demam, batuk (produktif atau tidak produktif), kongesti, nyeri dada, dehidrasi, dan kelesuan. Remaja mungkin memiliki gejala konstitusional lainnya, seperti sakit kepala, nyeri dada pleuritik, dan nyeri perut yang samar. Muntah, diare, faringitis, dan otalgia / otitis adalah gejala umum lainnya. Menurut keparahannya pneumonia dibagi menjadi 3, yaitu : -

Pneumonia/pneumonia belum parah : gejala batuk, sulit bernapas, takipnea, tidak ada gejala pneumonia parah

-

Pneumonia parah : ada minimal 1 gejala pneumonia, ditambah gejala inflamasi nasal, dengkuran ekpiratory, dinding dada bawah terbuka, tidak ada gejala pneumonia sangat parah

-

Pneumonia sangat parah : ada minimal 1 gejala pneumonia parah, tidak bisa makan, sianosis, distress respiratory parah, gangguan kesadaran atau konvulsi Depkes RI (2007) membuat klasifikasi pneumonia pada balita berdasarkan kelompok usia diantaranya:

-

Usia anak pada umur 2 bulan : <5 tahun batuk yang menandakan bukan pneumonia tidak ada nafas cepat dan tidak ada tarikan dinding dada kebawah, sedangkan pneumonia ditandai dengan adanya nafas cepat dan tidak ada tarikan dinding dada ke bawah dan pneumonia berat ditandai dengan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke depan.

-

Usia kurang dari dua bulan batuk bukan pneumonia ditandai dengan tidak adanya nafas cepat, jika pneumonia maka akan terjadinya nafas cepat dan adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam yang kuat.



Etiologi

: Pneumonia pada neonatus berumur 3 minggu sampai 3

bulan yang paling sering adalah akibat bakteri. Biasanya bakteri Streptococcus Pneumoniae. Pada balita pada usia 4 bulan sampai 5 tahun, virus merupakan penyebab tersering dari pneumonia, yaitu respiratory syncytial virus. 

Epidemiologi

: Pada negara berkembang bakteri merupakan aspek

terbesar dalam kejadian pneumonia pada balita sekitar 50%. d. Bronkitis 

Patofisiologi

: Bronkitis akut menyebabkan batuk dan produksi dahak

yang sering terjadi setelah infeksi saluran pernapasan atas. Ini terjadi karena respons inflamasi dari mukosa dalam saluran bronkial paru-paru. Virus bertanggung jawab atas sebagian besar infeksi ini. Pada anak-anak, bronkitis kronis mengikuti respons endogen (misalnya, peradangan yang disebabkan oleh virus) terhadap cedera saluran napas akut atau paparan terus-menerus terhadap agen lingkungan berbahaya tertentu (misalnya, alergen atau iritan). Jalan napas yang

mengalami iritasi seperti itu merespons dengan cepat dengan bronkospasme dan batuk, diikuti oleh peradangan, edema, dan produksi lendir. Ini membantu menjelaskan bahwa bronkitis kronis yang tampak pada anak-anak seringkali dikira sebagai asma. 

Gejala

: Bronkitis akut dimulai sebagai infeksi saluran

pernapasan yang bermanifestasi sebagai common cold. Gejala yang sering terjadi meliputi coryza, malaise, menggigil, demam ringan, sakit tenggorokan, dan sakit punggung dan otot. Batuk pada anak-anak ini biasanya disertai dengan keluarnya cairan dari hidung. Mula-mula cairannya encer, kemudian setelah beberapa hari menjadi lebih tebal dan berwarna atau buram. Kemudian menjadi jernih lagi dan memiliki konsistensi berair berlendir sebelum menghilang secara spontan dalam 7-10 hari. Batuk awalnya kering dan mungkin terdengar keras atau serak. Batuk kemudian lebih pelan dan menjadi produktif. Anak-anak di bawah 5 tahun jarang batuk berdahak. Pada kelompok umur ini, dahak biasanya terlihat pada muntah. 

Etiologi

: Bronkitis akut kebanyakan disebabkan oleh virus,

penyebab lainnya disebabkan oleh bakteri. Bronkitis kronis bisa disebabkan oleh serangan bronkitis akut yang berulang-ulang sehingga bisa memperlemah dan mengiritasi bronkus. Penyebab lain yang sering untuk bronkitis kronis adalah polusi, terutama polusi asap rokok. Virus penyebab bronkitis antara lain adalah RSV, rhinovirus, adenovirus, influenza, parainfluenza, dsb. Sedangkan bakteri penyebab bronkitis contohnya S pneumoniae, M catarrhalis, H influenzae, Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma sp. 

Epidemiologi

: Bronkitis akut maupun kronis merupakan penyakit

yang sering menyerang anak di seluruh dunia. Rasio anak laki-laki dan perempuan yang terkena bronkitis kurang lebih sama. Bronkitis akut sering terjadi pada anak usia 2 tahun ke bawah dan anak 9-15 tahun.

e. Bronkiolitis 

Patofisiologi

:

Infeksi

virus

pada

epitel

bersilia

bronkiolus

menyebabkan respon inflamasi akut, ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mukus, timbunan debris selular/sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan inflitrasi limfosit peribonkrial dan edema submukosa. Karena tahanan aliran udara berbanding rebalik dengan diameter penampang saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara yang besar, terutam pada bayi yang memiliki penampang saluran respiratori kecil. resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air trapping dan hiperinflasi. Atelektasis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak diabsorbsi. Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru.

Penurunan

ketidakseimbangan

kerja

ventilasi

ventilasi-perfusi,

paru yang

akan

menyebabkan

berikutnya

akan

menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi, kecuali pada beberapa pasien. Kerja pernapasan akan meningkatkan selama end-expiratory lung volume meningkatkan dan compliance paru menurun. Hiperkapnea biasanya baru terjadi bila respirasi mencapai 60x/menit. Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3-4 hari, tetapi silia akan diganti setelah dua minggu. Jaringan mati (debris akan dibersihkan oleh makrofag. 

Gejala

: Gejala pada anak dengan bronkiolitis antara lain mengi

(yang tidak membaik dengan tiga dosis bronkodilator kerja cepat), ekspirasi memanjang, hiperinflasi dinding dada, hipersonor pada perkusi, retraksi dinding dada, crackles atau ronki pada auskultasi, sulit makan, menyusu atau minum.



Etiologi

: Sekitar 95% dari kasus-kasus tersebut secara serologis

terbukti disebabkan oleh invasi RSV. Virus penyebab lain contohnya adenovirus, virus influenza, virus Parainfluenza, Rhinovirus, dan mikroplasma. 

Epidemiologi

: Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratori

tersering pada bayi. Paling sering pada usia 2-24 bulan, puncaknya pada usia 2-8 bulan. Sembilan puluh lima persen kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dan 75% di antaranya terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. Orenstein menyatakan bahwa bronkiolitis paling sering terjadi pada bayi laki-laki berusia 3-6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, dan hidup di lingkungan padat penduduk. Selain Orenstein, Lousen menyatakan bahwa bronkiolitis terjadi 1,25 kali lebih banyak ada anak laki-laki daripada anak perempuan. Dominasi pada anak laki-laki yang dirawat juga disebutkan oleh Shay, yaitu 1,6 kali lebih banyak daripada anak perempuan; sedangkan Fjaerli menyebutkan 63% kasus bronkiolitis adalah laki-laki.

f. Asma 

Patofisiologi

: Interaksi antara faktor lingkungan dan genetik

menyebabkan peradangan saluran napas pada asma, hal ini membatasi aliran udara dan menyebabkan perubahan fungsional dan struktural pada saluran udara dalam bentuk bronkospasme, edema mukosa, dan sumbat lendir. Obstruksi jalan napas menyebabkan peningkatan resistensi terhadap aliran udara dan penurunan laju aliran ekspirasi. Perubahan ini menyebabkan penurunan kemampuan untuk mengeluarkan udara dan dapat bisa menyebabkan hiperinflasi. Overdistensi yang dihasilkan membantu mempertahankan patensi jalan napas, sehingga meningkatkan aliran ekspirasi. Namun, itu juga mengubah mekanisme paru dan meningkatkan kerja pernapasan.

Hiperinflasi mengkompensasi obstruksi aliran udara, tetapi kompensasi ini terbatas ketika volume tidal mendekati volume ruang mati paru-paru; hasilnya adalah hipoventilasi alveolar. Perubahan yang tidak merata dalam resistensi aliran udara, distribusi udara yang dihasilkan tidak merata, dan perubahan sirkulasi dari peningkatan tekanan intra-alveolar karena hiperinflasi semuanya menyebabkan ketidakcocokan ventilasi-perfusi. Vasokonstriksi akibat hipoksia alveolar juga berkontribusi terhadap ketidakcocokan ini. Vasokonstriksi juga dianggap sebagai respons adaptif terhadap ketidakcocokan ventilasi / perfusi. Pada tahap awal, ketika ketidakcocokan ventilasi-perfusi menghasilkan hipoksia, hypercarbia dicegah dengan difusi karbon dioksida yang siap melintasi membran kapiler alveolar. Dengan demikian, pasien dengan asma yang berada pada tahap awal episode akut mengalami

hipoksemia

tanpa

adanya

retensi

karbon

dioksida.

Hiperventilasi yang dipicu oleh drive hipoksia juga menyebabkan penurunan PaCO2. Peningkatan ventilasi alveolar pada tahap awal eksaserbasi akut mencegah hiperkarbia. Dengan obstruksi yang semakin memburuk dan meningkatnya ketidaksesuaian ventilasi-perfusi, terjadi retensi karbon dioksida. Pada tahap awal dari episode akut, alkalosis pernapasan terjadi akibat hiperventilasi. Kemudian, peningkatan kerja pernapasan, peningkatan konsumsi oksigen, dan peningkatan curah jantung menghasilkan asidosis metabolik. Kegagalan pernapasan menyebabkan asidosis pernapasan. Kelelahan juga merupakan kontributor potensial untuk asidosis pernapasan. 

Gejala -

: Tanda dan gejala asma pada masa anak-anak meliputi:

Batuk yang sering memburuk ketika anak terserang infeksi virus, terjadi saat anak Anda tidur atau dipicu oleh olahraga atau udara dingin

-

Suara seperti siulan atau mengi (wheezing) saat bernafas

-

Sesak napas

-

Kongesti atau sesak dada Asma pada anak-anak juga dapat menyebabkan:

-

Sulit tidur karena sesak napas, batuk atau mengi

-

Serangan batuk atau mengi yang memburuk dengan pilek atau flu

-

Pemulihan yang tertunda atau bronkitis setelah infeksi pernapasan

-

Kesulitan bernafas yang menghambat bermain atau berolahraga

-

Kelelahan, yang bisa disebabkan oleh kurang tidur dan kesulitan bernapas Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) asma dibagi menjadi 4 yaitu:

-

Asthma intermitten, ditandai dengan : 1) gejala kurang dari 1 kali seminggu; 2) eksaserbasi singkat; 3) gejala malam tidak lebih dari 2 kali sebulan; 4) bronkodilator diperlukan bila ada serangan; 5) jika serangan agak berat mungkin memerlukan kortikosteroid; 6) APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi; 7) variabiliti APE atau VEP1 < 20%

-

Asma persisten ringan, ditandai dengan : 1) gejala asma malam >2x/bulan;

2) eksaserbasi

>1x/minggu, tetapi

<1x/hari; 3)

eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur; 4) membutuhkan bronkodilator dan kortikosteroid; 5) APE atau VEP1 ≥ 80% perdiksi; 6) variabiliti APE atau VEP1 20-30% -

Asma persisten sedang, ditandai dengan : 1) gejala hampir tiap hari; 2) gejala asma malam >1x/minggu; 3) eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur; 4) membutuhkan steroid inhalasi dan bronkhodilator setiap hari; 5) APE atau VEP1 60-80%; 6) variabiliti APE atau VEP1 > 30%

-

Asma persisten berat, ditandai dengan : 1) APE atau VEP1 < 60% prediksi; 2) variabiliti APE atau VEP1 >30%



Etiologi

: Serangan asma disebabkan oleh berbagai faktor yang

bisa terjadi bila individu dengan predisposisi genetik asma tereksposur dengan berbagai penyebab dari lingkungan antara lain : -

Infeksi respiratorik, terutama serangan virus seperti RSV. Pada beberapa pasien, jamur (misalnya, aspergilus sp.), bakteri (mis. Mycoplasma, pertussis), atau parasit mungkin bertanggung jawab.

-

Iritan dan alergen : Pada pasien dengan asma, 2 jenis respon bronkokonstriktor terhadap alergen yang diketahui: awal dan lambat. Respons asma awal terjadi melalui pelepasan mediator yang diinduksi IgE dari sel mast dalam beberapa menit paparan dan berlangsung selama 20-30 menit. Respons asma lambat terjadi 4-12 jam setelah pajanan antigen dan menghasilkan gejala yang lebih parah yang dapat berlangsung berjam-jam dan berkontribusi terhadap durasi dan keparahan penyakit. Infiltrasi sel inflamasi dan mediator inflamasi berperan dalam respon asma yang terlambat. Alergen dapat berupa makanan, inhalansia rumah tangga (mis. Alergen hewani, jamur, jamur, alergen kecoa, tungau debu), atau alergen luar musiman (mis., Spora kapang, serbuk sari, rumput, pohon). Asap tembakau, udara dingin, bahan kimia, parfum, bau cat, semprotan rambut, polusi udara, dapat memicu serangan asma dan peradangan.

-

Faktor lain : Serangan asma dapat dikaitkan dengan perubahan suhu atmosfer, tekanan barometrik, dan kualitas udara (misalnya, kelembaban, alergen, dan konten iritan). Pada beberapa individu, gangguan emosional bisa memperburuk asma. Olahraga kadang juga bisa menyebabkan serangan asma walaupun mekanismenya kurang diketahui, namun dikaitkan dengan pelepasan mediator saat suhu tubuh meningkat dan cairan tubuh berkurang.



Epidemiologi

: Di seluruh dunia, sekitar 130 juta orang menderita

asma. Prevalensinya 8-10 kali lebih tinggi di negara maju (misalnya, Amerika Serikat, Inggris, Australia, Selandia Baru) daripada di negara berkembang. Di negara maju, prevalensinya lebih tinggi pada kelompok berpenghasilan rendah di daerah perkotaan dan pusat kota daripada di

kelompok lain. Sebelum pubertas, prevalensi asma 3 kali lebih tinggi pada anak laki-laki daripada perempuan. Selama masa remaja, prevalensinya sama di antara pria dan wanita. Asma pada orang dewasa lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Pada kebanyakan anakanak, asma berkembang sebelum usia 5 tahun, dan, lebih dari setengahnya, asma berkembang sebelum usia 3 tahun. g. Pertusis 

Patofisiologi

: B pertussis menyebar melalui tetesan aerosol yang

dihasilkan oleh batuk individu yang terinfeksi, melekat dan merusak saluran pernapasan dengan epitel bersilia. B pertussis juga berkembang biak pada epitel pernapasan, dimulai pada nasofaring dan berakhir terutama pada bronkus dan bronkolus. Pertusis sangat menular, berkembang pada sekitar 80-90% individu yang rentan yang terpajan. Sebagian besar kasus terjadi pada akhir musim panas dan awal musim gugur. eksudat mukopurulen terbentuk di saluran pernapasan yang terinfeksi B pertussis. Eksudat ini membahayakan saluran udara kecil (terutama bayi) dan mempengaruhi individu yang terkena atelektasis, batuk, sianosis, dan pneumonia. Parenkim paru-paru dan aliran darah tidak diserang sehingga hasil kultur darah negatif. Penularan pertusis dapat terjadi melalui kontak langsung tatap muka, melalui berbagi ruang terbatas, atau melalui kontak dengan cairan oral, hidung, atau pernapasan dari sumber yang terinfeksi. Meskipun secara historis ibu merupakan sumber penularan pertusis yang paling umum pada bayinya, data dari sebuah penelitian menemukan bahwa sumber penularan yang paling umum kepada bayi adalah melalui saudara kandungnya. 

Gejala

: Biasanya, periode inkubasi pertusis berkisar 3-12 hari.

Pertusis adalah penyakit yang berlangsung sekitar 6 minggu atau lebih yang dibagi menjadi tahap awal, paroxysmal, dan pemulihan, masingmasing berlangsung 1-2 minggu.

Anak-anak yang lebih tua, remaja, dan orang dewasa mungkin tidak menunjukkan tahap yang berbeda. Gejala pada pasien termasuk batuk rejan, perasaan mati lemas atau tercekik, dan sakit kepala. Orang dewasa yang divaksinasi biasanya hanya mengembangkan bronkitis yang berkepanjangan tanpa teriakan, sedangkan orang dewasa yang tidak divaksinasi lebih mungkin mengalami emesis rejan dan posttusif. -

Tahap 1 - Fase awal : fase awal (catarrhal) tidak dapat dibedakan dari infeksi saluran pernapasan atas umum. Gejalanya meliputi hidung tersumbat, rinore, dan bersin bervariasi disertai dengan demam ringan, mata merah. Pertusis paling menular ketika pasien berada dalam fase awal, tetapi pertusis dapat tetap menular selama 3 minggu atau lebih setelah timbulnya batuk.

-

Tahap 2 - Fase paroksismal : pasien dalam fase kedua (paroxysmal) datang dengan batuk hebat yang berlangsung selama beberapa menit. Pada bayi dan balita yang lebih tua, serangan batuk sesekali diikuti oleh teriakan keras saat udara melewati jalan napas yang masih tertutup sebagian. Bayi yang berusia kurang dari 6 bulan tidak memiliki karakteristik teriakan tetapi mungkin mengalami episode apnea dan berisiko mengalami kelelahan. Muntah posttusif dan kulit memerah karena batuk sering terjadi pada anak yang terinfeksi.

-

Tahap 3 - Fase pemulihan : pasien pada tahap ketiga (penyembuhan) mengalami batuk kronis, yang dapat berlangsung selama bermingguminggu.



Etiologi

: penyakit ini disebabkan oleh bakteri Bordetella

pertussis yang disebarkan melalui droplet aerosol penderita. 

Epidemiologi

:

insidensi

pertusis

tahunan

di

seluruh

dunia

diperkirakan 48,5 juta kasus, dengan angka kematian hampir 295.000 per tahun. Tingkat kematian kasus di antara bayi di negara berpenghasilan rendah mencapai 4%.

2. Menjelaskan pemeriksaan tambahan dan tatalaksana dari diagnosis banding

a. Common Cold 

Pemeriksaan tambahan : Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan adalah nasal smear untuk membedakan dengan rhinitis, serta pemeriksaan endofaringoskopi jika ditemukan indikasi adanya obstruksi jalan napas.



Tatalaksana

: Manajemen tatalaksana common cold adalah

terapi simptomatik, seperti pemberian antihitamin dekongestan, dan kombinasi antihistamin-dekongestan. Jika disertai dengan demam makan dapat diberikan antipiretik.

b. Rhinitis 

Pemeriksaan tambahan : -

Skin prick test : tes yang spesifik dan sangat sensitif untuk aeroallergen

-

Nasal smear: Eosinofil biasanya menunjukkan alergi. Neutrofil lebih menunjukkan proses infeksi, seperti sinusitis.

-

Hitung darah lengkap dengan diferensial: Hitung darah lengkap dapat mengungkapkan peningkatan jumlah eosinofil.



Tatalaksana -

:

Nonmedikamentosa : apabila gejala klinis anak tidak terlalu berat, dianjurkan untuk tidak menggunakan medikamentosa/obat-obatan. Terdapat beberapa usaha untuk mengatasi hidung tersumbat, misalnya pada anak yang lebih besar direkomendasikan untuk melakukan elevasi kepala saat tidur. Pada bayi dan anak direkomendasikan untuk memberikan terapi suportif cairan yang adekuat, karena pemberian minum dapat mengurangi gejala nyeri atau gatal pada tenggorokan.

-

Medikamentosa

:

apabila

gejala

yang

ditimbulkan

terlalu

menggangu, maka dianjurkan untuk memberikan obat untuk mengurangi gejala. Gejala yang membuta anak tidak nyaman

biasanya adalah demam, malaise, tinorea, hidung tersumbat, dan batuk persisten. Obat-obat simtomatis merupakan obat yang paling sering diberikan, terutama ditujukan untuk menghilangkan gejala yang paling mengganggu. Pada bayi dan anak, terapi simtomatis yang direkomendasikan adalah asetaminofen (atau ibuprofen untuk anak berusia lebih dari 6 bulan) untuk menghilangkan demam mungkin terjadi pada hari-hari pertama. Pemberian tetes hidung salin yang diikuti dengan hisap lendir dapat mengurangi sekret hidung pada bayi. Pada anak yang lebih besar dapat diberikan semprot hidung salin. Dekongestan topikasl tidak dianjurkan untuk diberikan pada anak yang lebih kecil, karena penggunaan berlebihan dapat menyebabkan rebound phenomenon dan memperlama gejala yang dirasakan. Penggunaan pada anak yang lebih besar dianjurkan satu kali sehari saat malam sebelum tidur, maksimal tiga hari. Tetes hidung salin dapat digunakan; selain dapat mengatasi sumbatan hidung, pada bayi dan anak dapat bermanfaat untuk mengencerkan sekret di hidung dan menginduksi bersin. Antihistamin, dekongestan, antitusif, dan ekspektoran, baik obta tunggal maupun kombinasi, saat ini banyak dipasarkan untuk terapi simtomatis pada anak. Meskipun demikian, beberapa uji klinis pada bayi dan anak menunjukkan bahwa obat-obat tersebut tidak bermanfaat. Anak-anak dengan penyakit saluran respiratori reaktif atau asma harus diberikan obat beta agonis untuk menghilangkan gejala yang berhubungan dengan bronkospasme.

c. Pneumonia 

Pemeriksaan tambahan : -

Hitung darah lengkap : Pengujian harus mencakup jumlah sel darah dengan diferensial dan evaluasi reaktan fase akut (ESR, CRP, atau keduanya) dan laju sedimentasi. Jumlah dan perbedaan leukosit total

dapat membantu dalam menentukan apakah infeksi adalah bakteri atau virus. Dalam kasus pneumonia pneumokokus, jumlah leukosit sering meningkat. -

Pemeriksaan sputum dan kultur : Pemeriksaan sputum sulit dilakukan pada anak-anak di bawah 10 tahun, dan sampel selalu terkontaminasi oleh flora oral. Pada anak yang lebih tua dan kooperatif dengan batuk produktif, pewarnaan Gram sputum dapat diperoleh. Kultur sputum yang memadai harus mengandung lebih dari 25 sel PMN per bidang dan kurang dari 10 sel skuamosa per bidang. Dalam situasi di mana diagnosis mikrobiologis sangat penting, kultur endotrakeal dan / atau kultur bronchoalveolar dapat dikirim untuk isolasi patogen. Ini paling penting pada pasien dengan radang paru-paru parah, dan harus dipertimbangkan sebagai prioritas pada pasien dengan sistem kekebalan yang terganggu

-

Serologi : tes serologi bisa digunakan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab pneumonia bila cara diagnosis lain sulit dilakukan.

-

PCR : tes PCR bisa dilakukan untuk mengidentifikasi virus penyebab pneumonia, selain itu juga bisa dialakukan untuk pneumonia streptococcal. Selain itu PCR menguntungkan karena noninvasif, PCR juga bisa digunakan untuk membedakan TBC dan pneumonia.

-

Radiografi thoraks : Radiografi thoraks diindikasikan terutama pada anak-anak dengan komplikasi seperti efusi pleura dan pada mereka yang

pengobatan

Pemindaian

antibiotiknya

computed

gagal

tomography

mendapatkan

(CT)

pada

respons.

dada

dan

ultrasonografi diindikasikan pada anak-anak dengan komplikasi seperti efusi pleura dan pada mereka yang pengobatan antibiotiknya gagal mendapatkan respons. 

Dll.

Tatalaksana

: Perawatan untuk pneumonia termasuk menyembuhkan

infeksi dan mencegah komplikasi. Anak yang menderita pneumonia yang didapat dari komunitas biasanya dapat dirawat di rumah dengan

obat-obatan. Untuk anak dengan kesulitan bernafas bisa dibantu dengan pemberian oksigen. Anak-anak di bawah 5 tahun lebih sering dirawat di rumah sakit, tetapi status klinis mereka, tingkat hidrasi, derajat hipoksia, dan kebutuhan terapi intravena menentukan keputusan ini. Rawat inap harus dipertimbangkan untuk bayi yang berusia kurang dari 2 bulan atau prematur karena risiko apnea pada kelompok usia ini. Bila ada inflamasi yang disebabkan oleh pneumonia, anak dapat diberi terapi antiinflamasi. Untuk

mengatasi

bakteri

penyebab

pneumonia

biasanya

menggunakan antibiotik oral pada anak-anak. Amoksisilin dosis tinggi digunakan sebagai lini pertama terhadap bakteri S pneumoniae. Untuk anak usia sekolah juga bisa diberi antibiotik makrolid karena spektrumnya luas dan efektif terhadap bakteri penyebab pneumonia yang kurang umum seperti Mycoplasma, Chlamydophila, Legionella. Pasien anak yang dirawat dirumah sakit bisa diberi antibiotik yang lebih spesifik seperti ampicilin. Untuk mengatasi virus penyebab pneumonia dilakukan tergantung virus yang menginfeksi. Untuk virus RSV biasanya tidak perlu terapi antiviral dan hanya terapi simptomatik saja. Untuk virus influenza A bisa ditangani dengan zanamivir atau oseltamivir. Kalau CMV bisa ditangani dengan ganciclovir.

d. Bronkitis 

Pemeriksaan tambahan : Untuk efektivitas biaya, uji laboratorium diagnostik untuk bronkitis harus dilakukan secara bertahap. Pasien dengan bronkitis akut tanpa komplikasi yang dirawat rawat jalan membutuhkan sedikit, jika ada, evaluasi laboratorium. Untuk anak-anak yang dirawat di rumah sakit, skrining serum protein C-reaktif, kultur sputum, studi diagnostik cepat, dan pengujian serum aglutinin dingin (pada usia yang sesuai) membantu untuk mengklasifikasikan apakah infeksi disebabkan oleh bakteri, patogen atipikal (misalnya, Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae ),

atau virus. Lakukan kultur darah atau sputum jika terapi antibiotik sedang dipertimbangkan. Pada bronkoskopi fiberoptik, diagnosis bronkitis kronis disarankan jika saluran udara tampak eritematosa dan rapuh. Bilas bronchoalveolar mungkin

berguna

dalam

menentukan

penyebab

infeksi.

Bilas

bronchoalveolar dapat mengungkapkan banyak sel inflamasi monosit atau polimorfonuklear. Pada anak-anak dengan aspirasi kronis isi lambung, lipid dapat hadir dalam makrofag. Radiografi thoraks biasanya tidak diperlukan, biasanya radiografi tampak normal pada pasien bronkitis tanpa komplikasi. Temuan abnormal jarang terlihat, bila ditemukan bisa tampak atelektasis dan penebalan

peribronkial.

Hasil

radiografi

lebih

berguna

untuk

menyingkirkan diagnosis banding. 

Tatalaksana

: Perawatan darurat untuk bronkitis akut atau

eksaserbasi bronkitis kronis harus fokus pada memastikan bahwa anak memiliki oksigenasi yang memadai. Perawatan rawat jalan harus dipertimbangkan oleh penyakit yang mendasarinya. Langkah-langkah umum termasuk istirahat, penggunaan antipiretik, hidrasi yang adekuat, dan menghindari asap. Pasien yang demam harus mendapat asupan cairan oral supaya tidak dehidrasi. Instruksikan pasien untuk beristirahat sampai demam mereda.

e. Bronkiolitis 

Pemeriksaan tambahan :

Diagnosis

bronkiolitis

didasarkan

pada

manifestasi klinis, usia pasien, kejadian musiman, dan temuan dari pemeriksaan fisik. Ketika semua ini konsisten dengan diagnosis bronkiolitis yang diharapkan, sedikit penelitian laboratorium diperlukan. Tes biasanya digunakan untuk menyingkirkan diagnosis lain (misalnya, pneumonia bakteri, sepsis, atau gagal jantung kongestif) atau untuk mengkonfirmasi etiologi virus dan menentukan pengendalian infeksi yang diperlukan untuk pasien yang dirawat di rumah sakit. Anak-anak

yang sakit parah dapat mengalami infeksi virus ganda. Contoh pemeriksaan tambahan bronkiolitis meliputi : -

Viral testing : digunakan untuk mengetahui apakah etiologi bronkiolitis disebabkan oleh virus, biasanya dilakukan kepada pasien bronkiolitis anak gawat darurat yang perlu cepat ditangani sehingga perlu didiagnosis dengan cepat.

-

Pulse oximetry : digunakan untuk mengetahui derajat keparahan bronkiolitis.

-

Radiografi toraks : digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding lain.



Tatalaksana

: Penanganan bronkiolitis ditujukan untuk

mengurangi keparahan gejala yang muncul. Perlu untuk selalu memonitor anak bila sakitnya makin parah. Bila disertai demam anak bisa diberi acetaminofen supaya suhunya turun, untuk anak diatas 6 bulan bisa diberi ibuprofen. f. Asma 

Pemeriksaan tambahan : -

Tes fungsi paru : Hasil pengujian fungsi paru tidak dapat diandalkan pada pasien yang lebih muda dari 5 tahun. Pada anak-anak muda (36 tahun) dan anak-anak lebih tua yang tidak dapat melakukan manuver spirometri konvensional, teknik yang lebih baru, seperti pengukuran resistensi saluran napas menggunakan sistem osilometri impuls digunakan. Pengukuran resistensi jalan nafas sebelum dan sesudah dosis bronkodilator inhalasi dapat membantu mendiagnosis obstruksi jalan nafas bronkodilator yang responsif.

-

Tes latihan : Pada pasien dengan riwayat gejala yang disebabkan oleh olahraga (misalnya, batuk, mengi, sesak dada atau nyeri), diagnosis asma dapat dikonfirmasi dengan tes latihan. Pada pasien dengan usia yang sesuai (biasanya> 6 tahun), prosedur ini melibatkan spirometri dasar diikuti dengan olahraga di treadmill

atau sepeda dengan detak jantung lebih dari 60% dari perkiraan maksimum, dengan pemantauan elektrokardiogram dan saturasi oksihemoglobin. -

Tes Alergi : Tes alergi dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor alergi yang secara signifikan berkontribusi terhadap asma. Setelah diidentifikasi, faktor lingkungan (misalnya, tungau debu, kecoak, jamur, bulu binatang) dan faktor luar ruangan (mis. Serbuk sari, rumput, pohon, jamur) dapat dikendalikan atau dihindari untuk mengurangi gejala asma.



Tatalaksana

:

Pedoman Program Pendidikan dan Pencegahan Asma Nasional menyoroti pentingnya mengobati gangguan dan domain risiko asma. Tujuan terapi adalah sebagai berikut: -

Mengontrol asma dengan mengurangi gangguan melalui pencegahan gejala kronis dan menyusahkan (mis. Batuk atau sesak napas di siang hari, di malam hari, atau setelah aktivitas)

-

Mengurangi kebutuhan beta-agonis kerja singkat (SABA) untuk menghilangkan gejala dengan cepat (tidak termasuk pencegahan bronkospasme yang disebabkan oleh olahraga)

-

Mempertahankan fungsi paru yang hampir normal

-

Mempertahankan tingkat aktivitas normal (termasuk olahraga dan aktivitas fisik lainnya dan kehadiran di tempat kerja atau sekolah)

-

Memenuhi harapan pasien dan keluarga untuk perawatan asma Penanganan farmakologis asma meliputi penggunaan obat untuk

kontrol dan obat untuk mengurangi asma. Obat kontrol termasuk kortikosteroid

inhalasi,

kromolin

atau

nedokromil

inhalasi,

bronkodilator jangka panjang, teofilin. Obat mengurangi asma termasuk bronkodilator kerja pendek, kortikosteroid sistemik, dan ipratropium. Ketika asma anak-anak terkontrol dengan baik, cobalah kurangi terapi obat. Baik pada steroid inhalasi dosis relatif tinggi, atau kombinasi

steroid / agonis beta-long-acting, yang terbaik adalah mencoba untuk terus mengendalikan mereka pada dosis yang lebih rendah, atau pada lebih sedikit obat.

g. Pertusis 

Pemeriksaan tambahan : Standar kriteria untuk diagnosis pertusis adalah isolasi B pertusis dalam kultur. Namun, konfirmasi laboratorium pertusis sulit dan tertunda. Oleh karena itu, dokter perlu membuat diagnosis pertusis secara dugaan pada pasien dengan riwayat batuk paroksismal yang intens dengan atau tanpa rejan, perubahan warna, muntah posttusif, vaksinasi pertusis tidak lengkap atau tidak ada, dan temuan limfositosis pada pemeriksaan laboratorium. Kasus klinis pertusis didefinisikan sebagai salah satu dari yang berikut: -

Penyakit batuk akut yang berlangsung setidaknya 14 hari pada seseorang dengan setidaknya ada satu karakteristik gejala pertusis (yaitu, batuk paroksismal, muntah posttusif, atau inspirasi keras)

-

Batuk yang berlangsung setidaknya 14 hari dalam pengaturan wabah

Kasus yang dapat dikonfirmasi sebagai pertusis didefinisikan sebagai berikut : -

Segala jenis batuk dimana dari kulturnya dapat diisolasi dan tumbuh bakteri B pertussis

-

Sebuah kasus konsisten dengan definisi kasus klinis yang dikonfirmasi oleh temuan uji reaksi polimerase rantai (PCR) atau hubungan epidemiologis dengan kasus yang dikonfirmasi oleh laboratorium Tes pencitraan biasanya menambahkan sedikit pada diagnosis

pertusis tetapi harus diperoleh ketika diindikasikan secara klinis, berdasarkan pemeriksaan atau jika pasien membutuhkan oksigen tambahan. Tes titer antibodi serologis tersedia, tetapi seringkali perlu

dibandingkan dengan hasil 1-2 minggu kemudian dan dengan demikian biasanya tidak terlalu membantu. 

Tatalaksana

: Terapi suportif adalah pengobatan utama pada

pasien dengan infeksi pertusis aktif. Tujuan terapi termasuk membatasi jumlah batuk paroxymal, mengamati beratnya batuk, memberikan bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan pemulihan. Oksigenasi, perawatan pernapasan, dan ventilasi mekanis harus disediakan seperlunya. Bayi harus diamati dengan hati-hati untuk apnea, sianosis, atau hipoksia. Perawatan rawat inap diperlukan untuk pasien dengan pertusis yang mengalami mual dan muntah yang tidak tertahankan, , kejang, atau ensefalopati atau untuk pasien dengan hipoksemia berkelanjutan selama batuk paroxymal yang membutuhkan oksigen tambahan. Rawat inap harus sangat dipertimbangkan untuk pasien yang berisiko penyakit parah dan komplikasi, termasuk bayi di bawah 3 bulan; bayi berusia 3-6 bulan, kecuali jika batuk paroksismanya tidak parah; bayi muda prematur; dan bayi atau anak-anak dengan penyakit paru, jantung, atau neuromuskuler yang mendasarinya. Meskipun antibiotik yang diprakarsai selama tahap paroksismal tidak mempengaruhi durasi dan tingkat keparahan penyakit, antibiotik dapat mempercepat pemberantasan B pertussis di saluran pernapasan dan membantu mencegah penyebaran. Antibiotik juga dapat mencegah atau mengurangi infeksi bakteri sekunder. Untuk pasien dari segala usia, azitromisin adalah antibiotik lini pertama. Walau pengobatannya jelas, lebih baik melakukan imunisasi pertusis sebelum terkena penyakitnya.

3. Menjelaskan kegawatdaruratan pediatri pada kasus penafasan Penyakit dan gangguan yang bisa dikategorikan sebagai kedaruratan pediatri pada kasus pernafasan contohnya : ● Status asmatikus

Status asmatikus adalah kondisi yang ditandai oleh bronkospasme berat dan disfungs pernapasan yang progresif pada penderita asma, yang tidak responsif

dengan

terapi

standar

konvensional,

potensial

untuk

mengalami kegagalan pernapasan memerlukan tunjangan ventilasi mekanik. ● Pneumonia Definisi pneumonia adalah infeksi atau inflamasi pada saluran napas bagian bawah, yang dihubungkan dengan adanya gambaran perselubungan pada foto dada. Terdapat 3 klasifikasi pneumonia di PICU: (1) Pneumonia yang diperoleh selama perawatan di rumah sakit: Hospital-Acquired

Pneumonia

(HAP)

dan

Ventilator-Acquiared

Pneumonia (VAP); (2) Pneumonia berat yang berasal dari komunitas (Community-Acquired Pneumonia/CAP); (3) Pneumonia pada anak dengan status imunitas rendah (pneumonia in immunocompromised children). HAP adalah pneumonia yang timbul dalam waktu 48 jam setelah rawat inap, tidak dalam masa inkubasi pada saat pasien masuk. HAP merupakan infeksi nosokomial yang menyumbang 25% dari semua infeksi di ICU, hampir 90% diantaranya muncul pada saat penggunaan ventilasi mekanik. VAP adalah pneumonia yang timbul dalam waktu 24-48 jam setelah intubasi endotrakeal, dialami oleh 9-27% dari semua pasien yang diintubasi. Mikroorganisme patogen penyebab HAP dan VAP berasal dari

alat-alat

perawatan

kesehatan,

lingkungan

dan

transfer

mikroorganisme antara pasien dan staf medis atau antar pasien. Bakteri merupakan penyebab tersering HAP dan VAP, biasanya bersifat polimikroba terutama pada pasien ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). HAP dan VAP biasanya disebabkan oleh basil gram negatif aerobik atau kokus gram positif. Pada pasien yang diduga menderita HAP, sampel sekret saluran napas bawah harus dilakukan penggantian antibiotika. Pada semua pasien yang dicurigai menderita VAP harus dilakukan pemeriksaan kultur darah dan kultur sekret saluran napas

bagian bawah. Jika pengambilan sekret saluran napas bawah secara bronkokospik tidak tersedia maka pengambilan sekret secara nonbronkoskopik untuk kultur kuantitatif dapat digunakan sebagai petunjuk terapi antibiotika. Pasien anak yang dirawat di ruang rawat intensif pediatri sebagian besar mengalami infeksi bakteri. Streptococcus pneumoniae adalah kuman tersering yang diidentifikasi sebagai penyebab CAP. Pneumonia karena Haemophilus influenza sekarang sudah jarang ditemukan setelah adanya program imunisasi yang ekstensif. Virus RSV merupakan virus penyebab CAP terbanyak pada balita. Virus lain yang sering menyerang di masa bayi adalah adenovirus, virus influenza, virus parainfluenza dan human metapneumovirus. Penderita gangguan sistem imun aalah anak dengan defisiensi mekanisme sistem imun karena bawaan lahir, gangguan imunologis didapat atau karena terpapar dengan pajanan kemoterapi sitotoksik dan steroid. Pasien transplantasi solid organ atau stem sel hematopoetik yang menerima obat dan agen penekan sistem imun seumur hidup akan berisiko lebih tinggi untuk menderita pneumonia. Begitu juga pasien yang mengalami netropenia berat atau limfopenia yang berkepanjangan, sangat rentan terhadap infeksi oportunistik seperti pneumonia. ● Bronkiolitis akut Bronkiolitis akut merupakan penyakit tersering dan penyebab sindrom gawat napas akut pada bayi dan anak umur kurang dari 2 tahun, dengan insidens puncak pada tahun pertama kehidupan. Di negara dengan 4 musim, penyakit ini memiliki pola epidemiologi khas yaitu prevalensnya meningkat pada musim gugur dan musim dingin. ● Acute lung injury (ALI) dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) Cedera paru akut merupakan kumpulan gejala akibat inflamasi dan peningkatan permeabilitas, onsetnya akut, dengan spektrum klinis sesuai derajat atau kerusakan paru, yang memenuhi kriteria fisiologis dan radiologis, tidak disertai dengan hipertensi pulmonal, mempunyai

karakteristik progresifitas tinggi sehingga menyebabkan kegagalan pernapasan akut (Acute Hypoxemic Respiratory Failure). ● Kegagalan pernapasan akibat gangguan neuromuskular akut Anak dengan gangguan neuromuskular akut memerlukan bantuan pernapasan dan perawatan untuk menjaga patensi jalan napas, pulmonary toilet, terapi oksigen dengan atau tanpa ventilasi, intubasi trakeal, tunjangan ventilasi ataupun keduanya. Klasifikasi gangguan primer lokasi patologi yang terkena.

4. Menjelaskan prognosis dan komplikasi dari diagnosis banding a. Common Cold 

Prognosis

: cenderung baik karena biasanya self limited



Komplikasi

: komplikasi yang bisa terjadi pada penderita common

cold meliputi : -

Otitis media

-

Sinusitis

-

Eksaserbasi asma pada penderita asma

-

Infeksi saluran pernafasan bawah

-

Pneumonia

b. Rhinitis 

Prognosis

: Sebagian besar pasien dapat hidup dengan gejala

rhinitis. 

Komplikasi -

:

Otitis Media : merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada anak. Penyakit ini terjadi pada sekitar 20% anak dengan infeksi saluran pernapasan-atas karena virus. Komplikasi ini paling seing

terdiagnosis pada hari ke-3 atau ke-4 setelah onset gejala infeksi saluran pernapasan-atas. Infeksi virus pada saluran pernapasan-atas sering menyebabkan disfungsi tuba eustachius, yang dianggap sebagai faktor yang penting pada patogenesis otitis media. -

Rhinosinusitis : infeksi sekunder bakteri pada sinus paranasalis perlu dipertimbangkan bila dijumpai gejala nasal yang menetap selama lebih dari 10-14 hari. Rinosinusitis bakterial diperkirakan terjadi pada 6-13% anak dengan infeksi saluran pernapasan-atas karena virus.

-

Infeksi saluran pernapasan-bawah : komplikasi lain yang sering didapatkan adalah pneumonia, yang dapat terjadi akibat infeksi sekunder oleh bakteri, tetapi dapat juga karena penyebaran virus ke jaringan paru. Penelitian mengenai penyebab pneumonia pada anak menunjukkan bahwa campuran bakteri-virus merupakan penyebab tersering. Pneumonia karena infeksi bakteri biasanya ditandai dengan onset baru demam yang timbul beberapa hari setelah timbulnya gejala rinitis. Batuk yang menetap tanpa disertai onset baru demam mungkin menunjukkan adanya infeksi saluran pernapasa-bawah karena virus.

-

Eksaserbasi asma : penelitian menunjukkan bahwa infeksi rhinovirus berperan pada terjadinya kurang lebih 50% eksaserbasi asma pada anak.

-

Lain-lain : komplikasi lain dapat berupa epistaksis, konjungtiva, dan faringitis.

c. Pneumonia 

Prognosis

: Secara umum, prognosis kasus pneumonia bagus.

Sebagian besar kasus pneumonia virus sembuh tanpa pengobatan. Patogen bakteri umum dan organisme atipikal merespons terapi antimikroba. Perubahan jangka panjang fungsi paru jarang terjadi, bahkan pada anak-anak dengan pneumonia yang telah dipersulit oleh emfiema atau abses paru-paru.

Pasien pneumonia yang dirawat di rumah sakit memiliki prognosis yang lebih baik. Prognosis untuk varisela pneumonia agak lebih buruk dibandingkan pneumonia jenis lain. Pneumonia stafilokokus, walaupun jarang, bisa menjadi sangat serius meskipun telah diobati. 

Komplikasi

: komplikasi yang bisa terjadi bila pneumonia tidak

ditangani dengan baik meliputi : -

Efusi pleura

-

Pneumothoraks

-

Emfiema

-

Abses paru

-

Nekrosis

-

Infeksi sistemik

-

Hipertensi persisten pada bayi baru lahir

-

Lesi pada jalan nafas

-

Sepsis

-

Hipoksia iskemik

-

Dll.

d. Bronkitis 

Prognosis

: Bronkitis akut sering sembuh sendiri tanpa ditangani

pada anak. Namun, sering mengakibatkan absens dari sekolah. Bronkitis kronis dapat ditangani dengan pengobatan yang tepat dan menghindari pemicu yang diketahui (misalnya, asap rokok). Manajemen

yang

tepat

dari

setiap

proses

penyakit

yang

mendasarinya, seperti asma, defisiensi imun, TBC, dll. juga merupakan kunci. Pasien-pasien ini membutuhkan pemantauan berkala yang cermat untuk meminimalkan kerusakan paru-paru lebih

lanjut dan perkembangan menjadi penyakit paru-paru kronis yang ireversibel. 

Komplikasi

: komplikasi parah pada bronkitis langka terjadi karena

bronkitis sering sering sendiri, namun komplikasi yang bisa terjadi meliputi : -

Sianosis

-

Bronkiektasis

-

Bronkopneumonia

-

Kegagalan respiratori akut

e. Bronkiolitis 

Prognosis

: Dengan pengenalan dan pengobatan dini, prognosis

biasanya sangat baik. Sebagian besar anak-anak dengan bronchiolitis, terlepas dari tingkat keparahannya, sembuh tanpa gejala sisa. Perjalanan penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi beberapa tetap sakit selama berminggu-minggu. Beberapa bayi yang pulih dari bronkiolitis akut mengalami peningkatan frekuensi mengi berulang. Rawat inap diperlukan pada 2-3% kasus bronkiolitis pada bayi di bawah 12 bulan. 

Komplikasi

: komplikasi potensial bronkiolitis meliputi:

-

Sianosis

-

Dehidrasi

-

Kelelahan

-

Kegagalan napas berat

f. Asma 

Prognosis

: Bayi yang wheezing/mengi dengan infeksi saluran

pernafasan atas, 60% tidak menunjukkan gejala asma sebelum usia 6

tahun. Namun, anak-anak yang menderita asma (gejala berulang yang berlanjut pada usia 6 tahun) memiliki reaktivitas jalan napas di kemudian hari. Beberapa temuan menunjukkan prognosis yang buruk jika asma berkembang pada anak-anak di bawah 3 tahun, kecuali itu terjadi terkait dengan infeksi virus. Individu yang memiliki asma selama masa kanak-kanak memiliki volume ekspirasi paksa yang lebih rendah secara signifikan dalam 1 detik (FEV1), reaktivitas jalan nafas yang lebih tinggi, dan gejala bronkospastik yang lebih persisten dibandingkan dengan mengi yang terkait infeksi. Anak-anak dengan asma ringan yang asimptomatik di antara serangan cenderung membaik dan bebas gejala di kemudian hari. Anak-anak dengan asma tampaknya memiliki gejala yang kurang parah ketika mereka memasuki masa remaja, tetapi setengah dari anakanak ini terus menderita asma. Asma memiliki kecenderungan untuk melakukan remisi selama masa pubertas, dengan remisi yang agak dini pada anak perempuan. 

Komplikasi -

:

Serangan asma berat yang memerlukan penanganan gawat darurat di rumah sakit misal status asthmaticus

-

Berkurangnya fungsi paru secara permanen

-

Kurang tidur dan merasa lelah

-

Kesulitan beraktivitas seperti olahraga

-

Kegagalan pernafasan

g. Pertusis 

Prognosis

: Prognosis untuk kesembuhan penuh dari pertusis

sangat baik pada anak-anak di atas usia 3 bulan. Pada anak berusia di bawah 3 bulan mortalitasnya 1-3%.

Komplikasi pertusis pada bayi

yang lebih tua dan anak-anak biasanya minimal, dan kebanyakan pasien sembuh secara bertahap, tetapi sembuh penuh, dengan perawatan suportif dan antibiotik. Komplikasi kecil selama penyakit termasuk epistaksis, mual dan muntah, perdarahan subconjunctival, dan ulserasi frenulum. Bayi yang lahir prematur dan pasien dengan penyakit jantung, paru, neuromuskuler, atau neurologis berisiko tinggi untuk komplikasi pertusis (misalnya, pneumonia, kejang, ensefalopati, kematian). 

Komplikasi

: Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi di bawah 12

bulan yang terkena pertusis meliputi apnea, pneumonia, anoreksia, epitaksis, inkontinensia urin, otitis media, dehidrasi, sulit tidur, hernia. Komplikasi yang lebih parah meliputi kejang, ensefalopati, hipertensi pulmoner, pneumotoraks, prolaps rektal. Pada anak yang lebih tua dan orang dewasa komplikasi yang bisa terjadi meliputi berat badan turun, inkontinensia urin, pingsan, tulang rusuk retak karena batuk parah, anorexia, dehidrasi, epitaksis, hernia, otitis media. Komplikasi yang lebih parah meliputi ensefalopati, pneumotoraks, prolaps rektal, kejang.

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN Berdasarkan hasil diskusi kelompok A10 selama tutorial berlangsung. Pada kasus-kasus penyakit pernapasan pada anak dalam mendiagnosa terdapat keterbatasan karena anak belum bisa untuk dianamnesis. Oleh karena itu dokter dituntut untuk mampu mengenali dan membedakan gejala-gejala khas yang terdapat pada kasus-kasus penyakit pernapasan. Selain itu

dokter

juga

kegawatdaruratan.

harus

mengenali

tanda-tanda

kegawatdaruratan

dan

manajemen

SARAN Pada tutorial kali ini disajikan 2 kasus yang berbeda sehingga mahasiswa dituntut untuk lebih kritis dalam membedakan kasus yang ada. Mahasiswa juga harus mampu menghubungkan skenario dengan kasus yang ada dan lebih memahami cara mendiagnosis hingga manajemen tatalaksana secara lengkap. Mahasiswa diharapkan lebih aktif lagi di dalam diskusi dan mampu menyajikan informasi yang lengkap dan akurat. Oleh karena itu diharapkan mahasiswa dapat mengumpulkan informasi yang relevan dan akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Budiwardhana, Novik, et al. (2016). Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat.Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. Bennett,

Nicholas

John.

(2018).

Pediatric

Pneumonia.

https://emedicine.medscape.com/article/967822 diakses 12-3-2019. Bocka, Joseph J. (2018). Pertussis. https://emedicine.medscape.com/article/967268 diakses 12-3-2018. Buensalido, Joseph Adrian L. (2017). Rhinovirus (RV) Infection (Common Cold. https://emedicine.medscape.com/article/227820 diakses 12-3-2019. Carolan,

Patrick

L.

(2019).

Pediatric

Bronchitis.

https://emedicine.medscape.com/article/1001332 diakses 12-3-2019. Latief, Abdul et al. (2016). Hospital Care for Children Guidelines for the management of common illnesses with limited resources. The Royal Children’s Hospital Melbourne. Maraqa, Nizar F. (2018). Bronchiolitis. https://emedicine.medscape.com/article/961963 diakses 12-3-2019. Sharma,

Girish

D.

(2019).

Pediatric

Asthma.

https://emedicine.medscape.com/article/1000997 diakses 12-3-2019. Welliver, RC. (2009). Bronchiolitis and Infectious Asthma. Textbook of Pediatric Infectious Disease. 6th ed. Philadelphia: WB Saunders World Health Organization (2009). P elayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta: WHO Indonesia World Health Organization. (2013). Pocket book of hospital care for children: Guidelines for the management of common childhood illnesses..

Related Documents

Pediatri 2.pdf
May 2020 1
Fisioterapi Pediatri
October 2019 33
Pediatri R.docx
December 2019 19
Stase Pediatri
December 2019 24
Pediatri Sosial.docx
October 2019 26

More Documents from "Ariee Yeuwun"