LAPORAN KASUS POLI SYARAF LOW BACK PAIN (LBP)
Pembimbing dr. Andar Setyawan, Sp. S
Disusun oleh :
Simon Yonanda P.
NIM 101611101005
Riskyana Dwi H.A.R.
NIM 111611101010
PKL. ILMU KEDOKTERAN KLINIK (IKK) KLINIK PENYAKIT SARAF RSUD. BLAMBANGAN – BANYUWANGI
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS JEMBER 2016
BAB 1. RIWAYAT KASUS 1.1. Identitas Pasien Nama
: Tn. M
Umur
: 57 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki Agama
: Islam
Suku/Bangsa
: Jawa/ Indonesia
Alamat
: Jalan Flamboyan Boyolangu, Banyuwangi
Pekerjaan
: Karyawan RSUD Blambangan
1.2 Anamnesa a. Keluhan utama Pasien mengeluhkan pinggang bawah bagian belakang terasa nyeri dan menjalar ke tungkai kanan. b. Riwayat penyakit sekarang Pasien mengeluhkan pinggang bawah bagian belakangnya terasa nyeri dan menjalar ke tungkai kanan setelah terjatuh dari tangga RPD RSUD Blambangan dengan posisi terduduk ± 1 bulan yang lalu. Keadaan sekarang kaki kanan terasa nyeri, kaku, dan kesemutan. Pasien juga mengeluhkan terasa sakit saat duduk dan berjalan. c. Riwayat penyakit dahulu Pasien belum pernah mengalami sakit punggung seperti sekarang. d. Riwayat penyakit sistemik Pasien tidak dicurigai memiliki penyakit sitemik e. Riwayat penyakit keluarga Tidak ada riwayat seperti yang dikeluhkan pasien. f. Riwayat pekerjaan dan sosial ekonomi Setiap hari pasien bekerja di RSUD Blambangan sebagai pengantar makanan di bagian gizi dan sudah diangkat menjadi PNS.
2
1.3 Pemeriksaan a. Keadaan umum: baik. b. Pemeriksaan fisik Vital Sign: Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Respirasi
: 20x/menit
Nadi
: 74x/menit
Suhu
: 36oC
c. Status neurologis Kesadaran GCS (Glasgow Coma Scale) : 4-5-6 Pada GCS ada skala penilaian:
1.
Respon buka mata/Eye opening
1-4
(E)
Respon verbal terbaik
1-5
(V)
Respon motorik terbaik
1-6
(M)
TINGKAT KESADARAN (GCS) Tanggapan Membuka Mata (E) Spontan Terhadap bicara Terhadap nyeri Tak ada tanggapan
2. Tanggapan Verbal (V) Berorientasi Bicara kacau/disorientasi Kata-kata tak tepat/tidak membentuk kalimat Bunyi tanpa arti (mengerang) Tak ada jawaban 3. Tanggapan Motorik (M) Menurut perintah Melokalisir nyeri Reaksi menghindar Gerakan fleksi abnormal (dekortikasi) Gerakan ekstensi (deserebrasi) Tak ada gerakan
SKALA 4 3 2 1
5 4 3 2 1 6 5 4 3 2 1
Tabel 1. Data tingkat kesadaran (Marshall, 1997, Lumban Tobing, 2000)
3
d.
e.
f.
g.
Kepala dan Leher -
Hidung
n. I
n. Olfactorius
: dalam batas normal
-
Mata
n. II
n. Optic
: dalam batas normal
n. III
n. Oculomotor
: dalam batas normal
n. IV
n. Troklearis
: dalam batas normal
-
Mulut
n. V
n. Trigeminus
: dalam batas normal
-
Mata
n. VI
n. Abducent
: dalam batas normal
-
Wajah
n. VII
n. Facial
: dalam batas normal
-
Telinga
n. VIII n. Vestibulochoclear
: dalam batas normal
-
Lidah
n. IX
n. Glossopharyngeal
: dalam batas normal
n. X
n. Vagus
: dalam batas normal
-
Leher
n. XI
n. Accessory
: dalam batas normal
-
Lidah
n. XII
n. Hypoglossal
: dalam batas normal
Thoraks -
Jantung
: dalam batas normal
-
Pulmo
: dalam batas normal
Abdomen -
Bising usus
: dalam batas normal
-
Hepar
: dalam batas normal
-
Pankreas
: dalam batas normal
-
Ginjal
: dalam batas normal
Punggung : Pemeriksaan Laseque -
Dextra nyeri (+)
-
Sinistra nyeri (-)
Cross Laseque -
Dextra nyeri (-)
-
Sinistra nyeri (-)
4
Patrick -
Dextra nyeri (-)
-
Sinistra nyeri (-)
Contra Patrick
h.
-
Dextra nyeri (-)
-
Sinistra nyeri (-)
Ekstremitas 1. Gerakan B
B
B.T.
B
Keterangan: B
= Bebas
B.T. = Bebas Terbatas 2. Kekuatan 5
5
5-
5
Dalam pemeriksaan kekuatan otot dapat dilakukan 4 cara yang sedikit berbeda: 1. Pasien disuruh menahan usaha si pemeriksa untuk menggerakkan salah satu bagian anggota geraknya. (kekurangan tenaga ringan) 2. Pasien diminta untuk menggerakkan bagian anggota geraknya dan si pemeriksa menahan gerakan yang akan dilaksanakan pasien itu. (kekurangan tenaga ringan sampai sedang) 3. Pasien diminta untuk melakukan gerakan ke arah yag melawan gaya tarik bumi dan yang mengarah ke jurusan gaya tarik bumi. (tenaga otot yang sangat kurang) 4. Penilaian dengan cara inspeksi dan palpasi gerakan otot, jika metode diatas kurang cocok dilakukan seperti menilai otot masseter atau otot temporalis
5
Penilaian kriteria kekuatan otot, yaitu: 5 :
Normal
4 :
Melawan gravitasi, tahanan cukup
3 :
Melawan gravitasi, tahanan ringan
2 :
Gerak sendi, tidak bisa melawan gravitasi
1 :
Otot kontraksi, gerak sendi (-)
0 :
Plegi
i. Tonus Normal
Normal
Normal
Normal
Tonus adalah ketegangan otot pada waktu istirahat. Syarat terpenting dalam pemeriksaan tonus otot adalah pasien harus rileks tidak melawan (pasif), memberikan gerakan pasif fleksi dan ekstensi pada semua sendi kiri maupun kanan, untuk mengalihkan konsentrasi alihkan perhatian pasien dengan cara diajak bicara.
Interpretasi: 1. Menurun (hipotoni) Tonus otot menurun tidak ada gerakan perlawanan terdapat pada lesi Lower Motor Neuron (LMN) 2. Normal 3. Meningkat (hipertoni) Spastis (tahanan meningkat pada awal gerakan sesudah itu tidak menunjukkan adanya tahanan); rigiditas (kekakuan, tahanan meningkat mulai awal gerakan sampai akhir gerakan sehingga sendi sulit digerakkan; ada tahanan sepanjang gerakan)
6
j.
k.
Trophi Eutrophi
Eutrophi
Eutrophi
Eutrophi
Reflek fisiologis Normorefleksi
Normorefleksi
Normorefleksi
Normorefleksi
Reflek Biseps (BPR) Pegang lengan pasien yang disemifleksikan sambil menempatkan ibu jari di
atas tendon otot biseps. Kemudian ibu jari diketok, hal ini akan mengakibatkan gerakan fleksi lengan bawah.
Gambar 1. Reflek Biseps
7
Reflek Triseps (TPR) Pegang lengan bawah pasien yang diseifleksikan. Setelah intu diketok pada
tendon insersi otot triseps, yang berada sedikit di atas olekranon. Sebagai jawaban, maka lengan bawah akan mengadakan gerakan ekstensi.
Gambar 2. Reflek Triseps
8
Reflek Patella (R. Tendon lutut, R. Kuadriseps femoris) Tungkai difleksikan atau digantung, kemudian diketok pada tendon otot
kuadriseps femoris, di bawah patella. Otot kuadriseps femoris akan berkontraksi dan akan mengakibatkan gerakan ekstensi tungkai bawah.
Gambar 3. Reflek Patella
Reflek Achilles Tungkai bawah difleksikan sedikit, kemudian kita pegang kaki pada ujungnya
untuk memberikan sikap dorsofleksi ringan pada kaki. Setelah itu tendon Achilles diketok. Hal ini akan mengakibatkan berkontraksinya otot triseps suure dan memberikan gerak plantar fleksi pada kaki.
l.
Reflek patologis Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
9
m. Reflek Nistagmus Pasien dari posisi berbaring kemudian dibantu untuk posisi duduk kemudian kita lihat tanyakan kepada pasien apakah pasien merasa pusing, jika pasien merasa pusing dicurigai ada kelainan pada sistem saraf perifernya.
n.
Spinal
o.
Vegetatif -
BAK
: Normal
-
BAB
: Normal
-
Berkeringat
: Normal
Sensibilitas : Normal
Pemeriksaan penunjang
Gambar 4. Foto Rontgen Pasien
10
1.4 Resume Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan: Pasien mengeluhkan pinggang bawah bagian belakangnya terasa nyeri dan menjalar ke tungkai kanan setelah terjatuh dari tangga RPD RSUD Blambangan dengan posisi terduduk ± 1 bulan yang lalu. Keadaan sekarang kaki kanan terasa nyeri, kaku, dan kesemutan. Pasien juga mengeluhkan terasa sakit saat duduk dan berjalan. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik berupa: Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 74x/menit
Respirasi
Suhu : 36oC
: 20x/menit
Status kesadaran pasien composmentis, GCS 4-5-6 Pemeriksaan Laseque: dexter (+) Pemeriksaan ekstremitas : a. Gerakan B
B
B.T.
B
b. Kekuatan
1.5
5
5
5-
5
Diagnosa Diagnosa klinis
: Low Back Pain
Diagnosa topik
: Vertebra Lumbalis
Diagnosa etiologi : trauma
1.6
Penatalaksanaan: Pada pasien ini diberikan terapi medikasi sebagai berikut. Diazepam 2mg
2x1
Ibuprofen 400mg
2x1
Gratheos 50mg
2x1
Eperison
3x1
11
BAB II. KAJIAN TEORI
2.1 Low Back Pain (LBP) Low back pain (LBP) merupakan rasa nyeri yang dirasakan pada punggung bawah yang sumbernya adalah tulang belakang daerah spinal (punggung bawah), otot, saraf, atau struktur lainnya di sekitar daerah tersebut. Low back pain (LBP) dapat disebabkan oleh penyakit atau kelainan yang berasal dari luar punggung bawah misalnya penyakit atau kelainan pada testis atau ovarium (Suma’mur 2009). LBP atau nyeri
punggung bawah merupakan salah satu gangguan muskuloskeletal yang disebabkan oleh aktivitas tubuh yang kurang baik (Maher, Salmond & Pellino, 2002). Low back pain (LBP) umumnya akan memberikan rasa nyeri pada seseorang yang mengalaminya. Rasa nyeri dapat digambarkan sebagai sensasi tidak menyenangkan yang terjadi bila mengalami cedera atau kerusakan pada tubuh. Nyeri dapat terasa panas, gemetar, kesemutan/tertusuk, atau ditikam. Nyeri akan menjadi suatu masalah gangguan kesehatan dikarenakan dapat menganggu aktivitas yang akan dilakukan. (Eleanor Bull dkk 2007 dalam Heru Septiawan 2012 ). Low back pain (LBP) adalah gangguan muskuloskeletal yang terjadi pada daerah punggung bawah yang disebabkan oleh berbagai penyakit dan aktivitas tubuh yang kurang baik (Maher, Salmond & Pellino, 2002). Low back pain (LBP) atau nyeri punggang bawah dapat dibagi dalam 6 jenis nyeri, yaitu: 1. Nyeri punggang lokal Jenis ini paling sering ditemukan. Biasanya terdapat di garis tengah dengan radiasi ke kanan dan ke kiri. Nyeri ini dapat berasal dari bagianbagian di bawahnya seperti fasia, otot-otot paraspinal, korpus vertebra, sendi dan ligamen. 2. Iritasi pada radiks Rasa nyeri dapat berganti-ganti dengan parestesi dan dirasakan pada dermatom yang bersangkutan pada salah satu sisi badan. Kadangkadang dapat disertai
2
hilangnya perasaan atau gangguan fungsi motoris. Iritasi dapat disebabkan oleh proses desak ruang pada foramen vertebra atau di dalam kanalis vertebralis. 3. Nyeri rujukan somatis Iritasi serabut-serabut sensoris dipermukaan dapat dirasakan lebih dalam pada dermatom yang bersangkutan. Sebaliknya iritasi di bagianbagian dalam dapat dirasakan di bagian lebih superfisial. 4. Nyeri rujukan viserosomatis Adanya gangguan pada alat-alat retroperitonium, intraabdomen atau dalam ruangan panggul dapat dirasakan di daerah pinggang. 5. Nyeri karena iskemia Rasa nyeri ini dirasakan seperti rasa nyeri pada klaudikasio intermitens yang dapat dirasakan di pinggang bawah, di gluteus atau menjalar ke paha. Dapat disebabkan oleh penyumbatan pada percabangan aorta atau pada arteri iliaka komunis. 6. Nyeri psikogen Rasa nyeri yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan distribusi saraf dan dermatom dengan reaksi wajah yang sering berlebihan (Tjokronegoro, Lumbantobing,1986).
2.2 Klasifikasi Low Back Pain (LBP) Menurut Bima Ariotejo (2009), berdasarkan perjalanan kliniknya low back pain (LBP) terbagi menjadi dua jenis, yaitu: 2.2.1 Acute Low Back Pain Acute low back pain ditandai dengan rasa nyeri yang menyerang secara tiba-tiba dan rentang waktunya hanya sebentar, antara beberapa hari sampai beberapa minggu dan rasa nyeri ini dapat hilang atau sembuh. Acute low backpain (LBP) dapat disebabkan karena luka traumatik seperti kecelakaan mobil atau terjatuh, rasa nyeri dapat hilang sesaat kemudian. Kejadian tersebut selain dapat merusak jaringan, juga dapat melukai otot, ligamen dan tendon. Pada kecelakaan yang lebih serius, fraktur tulang pada daerah lumbal dan spinal dapat masih
3
sembuh sendiri. Sampai saat ini penatalaksanan awal nyeri pinggang akut terfokus pada istirahat dan pemakaian analgesik.
2.2.2 Chronic Low Back Pain Rasa nyeri pada chronic low back pain bisa menyerang lebih dari 3 bulan dan rasa nyeri ini dapat berulang-ulang atau kambuh kembali. Fase ini biasanya memiliki onset yang berbahaya dan sembuh pada waktu yang lama. Chronic low back pain dapat terjadi karena osteoarthritis, rheumatoidarthritis, proses degenerasi discus intervertebralis dan tumor. Di samping hal di atas terdapat juga klasifikasi patologi yang klasik yang juga dapat dikaitkan dengan Low back pain (LBP). Klasifikasi tersebut adalah : a. Trauma b.Infeksi c. Neoplasma d.Degenerasi e. Kongenital
2.3 Penyebab Low Back Pain (LBP) Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya LBP, antara lain: 2.3.1 Kelainan Tulang Punggung (Spine) Sejak Lahir Keadaan ini lebih dikenal dengan istilah Hemi Vertebrae. Menurut Soeharso (1978) kelainan-kelainan kondisi tulang vertebra tersebut dapat berupa tulang vertebra hanya setengah bagian karena tidak lengkap pada saat lahir. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya low back pain yang disertai dengan skoliosis ringan. Selain itu ditandai pula adanya dua buah vertebra yang melekat menjadi satu, namun keadaan ini tidak menimbulkan nyeri. Terdapat lubang di tulang vertebra di bagian bawah karena tidak melekatnya lamina dan keadaan ini dikenal dengan Spina Bifida. Penyakit spinabifida dapat menyebabkan gejala-gejala berat sepert club foot, rudimentair foof, kelayuan pada kaki, dan sebagainya. Namun jika lubang tersebut kecil, tidak akan menimbulkan keluhan.
4
Beberapa jenis kelainan tulang punggung (Spine) sejak lahir adalah: a. Penyakit Spondylisthesis Pada spondylisthesis merupakan kelainan pembentukan korpus vertebrae, dimana arkus vertebrae tidak bertemu dengan korpus vertebrae (Bimariotejo, 2009). Walaupun kejadian ini terjadi sewaktu bayi, namun ketika berumur 35 tahun baru menimbulkan nyeri akibat kelainan-kelainan degeneratif. Nyeri pinggang ini berkurang atau hilang bila penderita duduk atau tidur dan akan bertambah, bila penderita itu berdiri atau berjalan (Bima Ariotejo, 2009). Adapun gejala klinis dari penyakit tersebut adalah: 1) Penderita memiliki rongga badan lebih pendek dari semestinya. Antara dada dan panggul terlihat pendek. 2) Pada punggung terdapat penonjolan processus spinosus vertebra yang menimbulkan skoliosis ringan. 3) Nyeri pada bagian punggung dan meluas hingga ke ekstremitas bawah. 4) Pemeriksaan X-ray menunjukan adanya dislokasi, ukuran antara ujung spina dan garis depan corpus pada vertebra yang mengalami kelainan lebih panjang dari garis spina corpus vertebrae yang terletak diatasnya.
b. Penyakit Kissing Spine Penyakit ini disebabkan karena dua tau lebih processus spinosus bersentuhan. Keadaan ini bisa menimbulkan gejala dan tidak. Gejala yang ditimbulkan adalah low back pain. Penyakit ini hanya bisa diketahui denganpemeriksaan X-ray dengan posisi lateral.
c. Sacralisasi Vertebrae Lumbal Ke V Penyakit ini disebabkan karena processus transversus dari vertebra lumbal ke V melekat atau menyentuh os sacrum dan/atau os ileum (Soeharso, 1978).
5
2.3.2 Low Back Pain karena Trauma Lesi traumatik dapat disamakan dengan lesi mekanik. Pada daerah punggung bawah, semua unsur susunan neuromuskoletal dapat terkena oleh trauma. a. Trauma pada unsur miofasial Setiap hari beribu-ribu orang mendapat trauma miofasial, mengingat banyaknya pekerja kasar yang gizinya kurang baik dengan kondisi kesehatan badan yang kurang optimal. Juga di kalangan sosial yang serba cukup atau berlebihan keadaan tubuh tidak optimal karena kegemukan, terlalu banyak duduk dan terlalu kaku karena tidak mengadakan gerakan-gerakan untuk mengendurkan urat dan ototnya. Low back pain jenis ini disebabkan oleh lumbosakral strain dan pembebanan berkepanjangan yang mengenai otot, fasia dan atau ligament. b. Trauma pada komponen keras Akibat trauma karena jatuh fraktur kompresi dapat terjadi di vertebrata torakal bawah atau vertebra lumbal atas. Fraktur kompresi dapat terjadi juga pada kondisi tulang belakang yang patologik. Karena trauma yang ringan (misal jatuh terduduk dari kursi pendek), kolumna vertebralis yang sudah osteoporotik mudah mendapat fraktur kompresi. Trauma dan gangguan mekanis merupakan penyebab utama LBP (Bima Ariotejo, 2009). Pada orang-orang yang tidak biasa melakukan pekerjaan otot atau melakukan aktivitas dengan beban yang berat dapat menderita nyeri pinggang bawah yang akut. Gerakan bagian punggung belakang yang kurang baik dapat menyebabkan kekakuan dan spasme yang tiba-tiba pada otot punggung, mengakibatkan terjadinya trauma punggung sehingga menimbulkan nyeri. Kekakuan otot cenderung dapat sembuh dengan sendirinya dalam jangka waktu tertentu. Namun pada kasus-kasus yang berat memerlukan pertolongan medis agar tidak mengakibatkan gangguan yang lebih lanjut.
6
Menurut Soeharso (1978), secara patologis anatomis, pada low back pain yang disebabkan karena trauma, dapat ditemukan beberapa keadaan, seperti: a.
Perubahan pada sendi sacro-iliaca Gejala yang timbul akibat perubahan sendi sacro-iliaca adalah rasa
nyeripada os sacrum akibat adanya penekanan. Nyeri dapat bertambah saat batuk dan saat posisi supine. Pada pemeriksaan, lassague symptom positif dan pergerakan kaki pada hip joint terbatas. b. Perubahan pada sendi lumba sacral Trauma dapat menyebabkan perubahan antara vertebra lumbal V dansacrum, dan dapat menyebabkan robekan ligamen atau fascia. Keadaan ini dapat menimbulkan nyeri yang hebat di atas vertebra lumbal V atau sacral I dan dapat menyebabkan keterbatasan gerak.
2.3.3 Low Back Pain karena Perubahan Jaringan Kelompok penyakit ini disebabkan karena terdapat perubahan jaringan pada tempat yang mengalami sakit. Perubahan jaringan tersebut tidak hanya pada daerah punggung bagian bawah, tetapi terdapat juga disepanjang punggung dan anggota bagian tubuh lain (Soeharso, 1978). Beberapa jenis penyakit dengan keluhan LBP yang disebabkan oleh perubahan jaringan antara lain: a. Osteoartritis (Spondylosis Deformans) Perubahan degeneratif pada vertebra lumbosakralis dapat terjadi pada korpus vertebra berikut arkus dan prosesus artikularis serta ligament yang menghubungkan bagian-bagian ruas tulang belakang satu dengan yang lain. Dulu proses ini dikenal sebagai osteoatritis deformans, tapi kini dinamakan spondilosis. Pada spondilosis terjadi rarefikasi korteks tulang belakang, penyempitan discus dan osteofit-osteofit yang dapat menimbulkan penyempitan dariforamina intervetebralis. Dengan bertambahnya usia seseorang maka kelenturan otot-ototnya juga menjadi berkurang sehingga sangat memudahkan terjadinya kekakuan pada otot atau sendi. Selain itu juga terjadi penyempitan dari ruang antar tulang vetebra yang menyebabkan tulang belakang menjadi tidak fleksibel seperti saat usia
7
muda. Hal ini dapat menyebabkan nyeri pada tulang belakang hingga ke pinggang. b. Penyakit Fibrositis Penyakit ini juga dikenal dengan Reumatism Muskuler. Penyakit ini ditandai dengan nyeri dan pegal di otot, khususnya di leher dan bahu. Rasa nyeri memberat saat beraktivitas, sikap tidur yang buruk dan kelelahan. c. Hernia Nukleus Pulposus (HNP) Perubahan degeneratif dapat juga mengenai annulus fibrosus discus intervertebralis yang bila pada suatu saat terobek yang dapat disusul dengan protusio discus intervertebralis yang akhirnya menimbulkan hernia nukleus pulposus (HNP).
2.3.4 Low Back Pain karena Pengaruh Gaya Berat Gaya berat tubuh, terutama dalam posisi berdiri, duduk dan berjalan dapat mengakibatkan rasa nyeri pada punggung dan dapat menimbulkan komplikasi pada bagian tubuh yang lain, misalnya genu valgum, genu varum, coxa valgum dan sebagainya (Soeharso, 1978). Beberapa pekerjaan yang mengaharuskan berdiri dan duduk dalam waktu yang lama juga dapat mengakibatkan terjadinya LBP. Kehamilan dan obesitas merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya LBP akibat pengaruhgaya berat. Hal ini disebabkan terjadinya penekanan pada tulang belakang akibat penumpukan lemak, kelainan postur tubuh dan kelemahan otot (Bima Ariotejo, 2009).
2.4 Faktor Resiko Adapun faktor risiko terjadinya Low back pain (LBP) menurut Suma’mur (2009) yaitu usia, obesitas (kegemukan), kebiasaan merokok atau kurangnya kebugaran jasmani dan posisi tubuh dalam bekerja atau cara kerja yang salah juga dapat berakibat pada Low back pain (LBP). Pekerjaan yang rentan terkena Lowback pain (LBP) seperti pekerjaan mengangkat, membawa, menarik atau
8
mendorong beban berat atau bahkan melakukan pekerjaan dengan posisi tubuh yang tidak alami/dipaksakan.
2.4.1 Faktor Individu Kondisi dari seseorang yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan Low Back Pain adalah sebagai berikut , yaitu : a. Masa Kerja Masa kerja adalah panjangnya waktu terhitung mulai masuknya pekerja hingga saat penelitian dilakukan. Dalam hal ini dapat dikaitkan antara masa kerjadengan timbulnya keluhan low back pain (LBP). Jadi semakin lama masa kerja dan/atau semakin lama seseorang terpajan faktor risiko Low back pain (LBP) ini maka semakin besar pula risiko untuk mengalami Low back pain (LBP). b. Usia Chaffin (1979) dan Guo dkk (1995) menyatakan bahwa pada umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko terjadinya keluhan otot meningkat. Sebagai contoh, Betti’e dkk (1989) telah melakukan studi tentang kekuatan statik otot untuk pria dan wanita dengan usiaantara 20 sampai dengan di atas 60 tahun. Penelitian difokuskan untuk oto lengan, punggung dan kaki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuataan otot maksimal terjadi pada saat umur antara 20-29 tahun, selanjutnya terus terjadi penurunan sejalan dengan bertambahnya umur. Pada saat umur mencapai 60 tahun, rerata kekuataan otot menurun sampai 20%. Pada saat kekuataan otot mulai menurun maka resiko terjadinya keluhan otot akan meningkat. Rihimaki dkk (1989) menjelaskan bahwa umur mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan otot, terutama otot leher dan bahu, bahkan ada beberapa ahli menyatakan bahwa umur merupakan penyebab utama terjadinya keluhan otot (Tarwaka,2004).
9
c. Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot rangka. Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang pengaruh jenis kelamin terhadap resiko keluhan otot skeletal, namun beberapa hasil penelitian secara signifikan menunjukkan bahwa jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat resiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita lebih rendah dari pada pria. Berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan prevalensi beberapa kasus musculoskeletal disorders lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria. Hasil penelitian Betti’e dkk (1989) menunjukkan bahwa rata-rata kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60% dari kekuatan otot pria, khususnya untuk otot lengan, punggung dan kaki. d. Kebiasaan merokok Sama halnya dengan faktor jenis kelamin, pengaruh kebiasaan merokok terhadap resiko keluhan otot juga masih diperdebatkan dengan para ahli, namun demikian, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan (Tarwaka,2004). Kebiasaan merokok akan menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga kemampuannya untuk mengkonsumsi oksigen akan menurun. Bila orang tersebut dituntut untuk melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah (Ruslan A.Latif dalam Heru 2012). Boshuizen dkk (1993) menemukan hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan otot pinggang, khususnya untuk pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot. Hal ini sebenarnya terkait erat dengan kondisi kesegaran tubuh seseorang. Kebiasaan merokok akan menurunkan kapasitas paruparu, sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan sebagai akibatnya, tingkat kesegaran tubuh juga menurun. Apabila yang bersangkutan harus melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah
10
lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi tumpukan asam laktat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot. Menurut Bustan (1997) jenis perokok dapat dibagi atas 3 kelompok yaitu : 1) Perokok Ringan Disebut perokok ringan apabila merokok kurang dari 10 batang/hari. 2) Perokok Sedang Disebut perokok sedang jika menghisap 10 – 20 batang/hari. 3) Perokok Berat Disebut perokok berat jika menghisap lebih dari 20 batang/hari.
e) Indeks Massa Tubuh (IMT) Obesitas dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang menunjukkan terjadinya penimbunan lemak berlebihan di jaringan lemak tubuh. Kondisi ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara konsumsi kalori dengan kebutuhan energi, dimana konsumsi terlalu berlebihan dibandingkan dengan kebutuhan. Kelebihan tersebut disimpan dalam jaringan lemak. Seseorang dikatakan obesitas apabila mempunyai berat badan lebih dari 20% berat badan ideal. Berat badan yang berlebihan (overweight/obesitas) menyebabkan tonus otot abdomen lemah, sehingga pusat gravitasi seseorang akan terdorong ke depan dan menyebabkan lordosis lumbalis, yang kemudian menimbulkan kelelahan pada otot para vertebrata, hal ini merupakan resiko terjadinya low back pain (LBP). Klasifikasi indeks masa tubuh (IMT) adalah sebagai berikut: <18,5 dikatakan. Sikap tubuh normal : tegak / sedikit membungkuk 00 - 200 dari garis vertikal. 1) Sikap tubuh fleksi sedang : membungkuk 200 – 450 dari garis vertikal. 2) Sikap tubuh fleksi berlebih : membungkuk > 450 dari garis vertikal. 3) Sikap tubuh fleksi ke samping atau berputar : menekuk ke samping kanan. atau kiri atau berputar > 150 dari garis vertikal. Repetism underweight, 18,5-24,9 dikategorikan normal, IMT ≥25 dikategorikan overweight (kelebihan berat badan) dan IMT ≥30 dikatakan obesitas.
11
2.4.2 Faktor Pekerjaan (Work factors) Berdasarkan karakteristik pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dalam interaksinya dengan sistem kerja dan sudah terbukti melalui penelitian bahwa tinjauan secara biomekanik serta data statistik menunjukkan bahwa faktor pekerjaan berkontribusi pada terjadinya cedera otot akibat bekerja. Berikut ini faktor-faktor pekerjaan yang bisa menyebabkan terjadinya cedera pada otot atau jaringan tubuh : a. Postur tubuh Postur tubuh pada saat melakukan pekerjaan yang menyimpang dari posisinormal ditambah dengan gerakan berulang akan meningkatkan risiko terjadinya low back pain (LBP). Keyserling (1986) mengembangkan kriteria sikap tubuh membungkuk, berputar dan menekuk yang dilakukan pada waktu bekerja berdasarkan pengukuran sikap tubuh tersebut. Pengulangan gerakan kerja dengan pola yang sama, hal ini bisa terlihat pada dimana frekuensi pekerjaan yang harus dikerjakan tinggi, sehingga pekerja harus terus menerus bekerja agar dapat menyesuaikan diri dengan sistem. Kekuatan beban dapat menyebabkan peregangan otot dan ligamen serta tekanan pada tulang dan sendi–sendi sehingga terjadi kerusakan mekanik badan vertebrata, diskus invertebrate, ligamen, dan bagian belakang vertebrata. Kerusakan karena beban berat secara tiba–tiba atau kelelahan akibat mengangkatbeban berat yang dilakakn secara berulang – ulang. Mikrotrauma yang berulang dapat menyebabkan degenerasi tulang punggung daerah lumbal. b) Pekerjaan statis (static exertions) Pekerjaan yang menuntut seseorang tetap pada posisinya, perubahan posisi dalam bekerja akan menyebabkan pekerjaan terhenti. Pekerjaan dengan postur yang dinamis, memiliki risiko musculoskeletal disolder (MSDs) lebih rendah dibandingkan dengan pekerjaan yang mengharuskan postur statis. Hal ini disebabkan karena postur tubuh yang statis dapat meningkatkan risiko yang berhubungan dengan menurunnya sirkulasi darah dan nutrisi pada jaringan otot. Bergerak sangat diperlukan untuk pemberian nutrisi kepada diskus, sehingga
12
pekerjaan statis dapat mengurangi nutrisi tersebut. Selain itu pekerjaan statis menyebabkan peregangan otot dan ligament daerah punggung, hal ini merupakan faktor resiko timbulnya low back pain (LBP). d. Pekerjaan yang membutuhkan tenaga (forceful exertions) Merupakan jumlah usaha fisik yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas atau gerakan. Pekerjaan atau gerakan yang menggunakan tenaga besar akan memberikan beban mekanik yang besar terhadap otot, tendon, ligamen, dan sendi. Beban yang berat akan menyebabkan iritasi, inflamasi, kelelahan otot, kerusakan otot, tendon, dan jaringan lainnya.
2.4 Patofisiologi Low Back Pain Serabut saraf mengandung reseptor nosiseptif (nyeri) yang terangsang oleh berbagai stimulus lokal (mekanis, termal, kimiawi). Stimulus ini akan direspon dengan pengeluaran berbagai mediator inflamasi yang akan menimbulkan persepsi nyeri. Mekanisme nyeri merupakan proteksi yang bertujuan untuk mencegah pergerakan sehingga proses penyembuhan dimungkinkan. Salah satu bentuk proteksi adalah spasme otot, yang selanjutnya dapat menimbulkan iskemia. Nyeri yang timbul dapat berupa nyeri inflamasi pada jaringan dengan terlibatnya berbagai mediator inflamasi; atau nyeri neuropatik yang diakibatkan lesi primer pada sistem saraf. Iritasi neuropatik pada serabut saraf dapat menyebabkan 2 hal berikut. Pertama, penekanan hanya terjadi pada selaput pembungkus saraf yang kaya nosiseptor dari nervinevorum yang menimbulkan nyeri inflamasi. Nyeri dirasakan sepanjang serabut saraf dan bertambah dengan peregangan serabut saraf misalnya karena pergerakan. Kedua, penekanan mengenai serabut saraf. Pada kondisi ini terjadi perubahan biomolekuler di mana terjadi akumulasi saluran ion Na dan ion lainnya. Penumpukan ini menyebabkan timbulnya mechano-hot spot yang sangat peka terhadap rangsang mekanikal dan termal.
2.5 Penatalaksanaan dan Pencegahan Low Back Pain
13
Low back pain (LBP) merupakan keluhan yang sering dijumpai pada praktek umum maupun praktek spesialis. Dapat dikatakan, bahwa jarang ada orang yang selama hidupnya belum pernah menderita gangguan ini. Biasanya, sebagian besar keluhan ini dapat sembuh dalam waktu singkat, sehingga merupakan gangguan yang sering dianggap tidak serius. Akan tetapi oleh karena adanya kemungkinan suatu penyebab yang lebih serius, yang mungkin mendasarinya, dapat pula diabaikan oleh pasien sendiri atau oleh dokter yang menanganinya, oleh karena itu perlu juga perhatian yang lebih mendalam untuk mencegah timbulnya kekeliruan dalam mengelola sindroma ini (Manek, 2005). Berbagai telaah yang dilakukan untuk melihat perjalanan penyakit menunjukkan bahwa proporsi pasien yang masih menderita low back pain (LBP) selama 12 bulan adalah sebesar 62%, agak bertentangan dengan pendapat umum bahwa 90% gejala low back pain (LBP) akan hilang dalam 1 bulan (Manek, 2005). Penanganan terbaik terhadap penderita low back pain (LBP) adalah dengan menghilangkan penyebabnya (kausal) walaupun tentu saja pasien pasti lebih memilih untuk menghilangkan rasa sakitnya terlebih dahulu (simptomatis). Jadi perlu digunakan kombinasi antara pengobatan kausal dan simptomatis. Secara kausal, penyebab nyeri akan diatasi sesuai kasus penyebabnya. Misalnya untuk penderita yang kekurangan vitamin saraf akan diberikan vitamin tambahan. Para perokok dan pecandu alkohol yang menderita low back pain (LBP) akan disarankan untuk mengurangi konsumsinya. Sedangkan pengobatan simptomatik dilakukan dengan menggunakan obat untuk menghilangkan gejalagejala seperti nyeri, pegal, atau kesemutan. Pada kasus low back pain (LBP) karena tegang otot dapat dipergunakan Tizanidine yang berfungsi untuk mengendorkan kontraksi otot (muscle relaxan). Untuk pengobatan simptomatis lainnya kadang-kadang memerlukan campuran antara obat-obat analgesik, antiinflamasi, NSAID, obat penenang, dan lain-lain. o
NSAID NSAID mengandung sifat baik analgesik dan anti-inflamasi dan karena itu dapat mempengaruhi mediator dari proses patofisiologi. Uji klinis telah menunjukkan NSAID berguna sebagai pengobatan untuk nyeri, namun
14
penggunaan jangka panjang NSAID harus berkecil hati karena sering terjadinya efek samping yang merugikan ginjal dan pencernaan. Sebuah tinjauan 2000 dan analisis dari percobaan terkontrol acak dan double-blind NSAID sebagai pengobatan LBP mengungkapkan bukti mendukung untuk bantuan jangka pendek gejala pada pasien dengan LBP akut. Bukti manfaat apapun untuk kronis LBP atau adanya keunggulan yang spesifik dari satu NSAID kurang . Oleh karena itu, efek dari obat ini dalam pengelolaan nyeri muskuloskeletal kronis masih belum jelas, dan tidak ada penelitian telah menunjukkan keunggulan yang jelas atas aspirin. Meskipun penelitian tidak mendukung NSAID spesifik atas orang lain, beralih ke keluarga kimia yang berbeda melalui uji sekuensial. kadang-kadang membantu mengidentifikasi agen yang paling menguntungkan untuk pasien individu. o
Spasmolitik Otot Spasmolitik Otot atau relaksan secara tradisional digunakan untuk mengobati gangguan muskuloskeletal menyakitkan. Sebagai kelas, mereka telah menunjukkan efek samping SSP lebih dari plasebo, berbagi sedasi dan pusing sebagai efek samping yang umum. Oleh karena itu, pasien harus berhati-hati tentang efek samping dan berat mereka terhadap manfaat potensial. Sebuah tinjauan baru-baru ini diterbitkan dan analisis dari percobaan terkontrol acak atau buta ganda menunjukkan bahwa relaksan otot yang efektif untuk manajemen LBP, namun efek samping terbatas penggunaannya. Dengan beberapa pasien, obat-obat ini hanya dapat dipertimbangkan untuk digunakan pada waktu tidur. Beberapa spasmolytics otot juga berpotensi adiktif dan memiliki potensi penyalahgunaan, agen tradisional terutama lebih seperti diazepam, butalbital, dan fenobarbital. Kategori dari relaksan otot termasuk kelompok
heterogen
obat
yang
beberapa
ahli
membagi
menjadi
benzodiazepin dan nonbenzodiazepines. Benzodiazepin mungkin cocok untuk keadaan kecemasan bersamaan, dan dalam kasus-kasus, clonazepam harus dipertimbangkan untuk penggunaan klinis. Clonazepam adalah benzodiazepin yang beroperasi melalui GABA-dimediasi melalui mekanisme neuron internuncial dari sumsum tulang belakang untuk memberikan relaksasi otot.
15
Menunjukkan bukti kuat bahwa yang lain tetrazepam, benzodiazepine, lebih efektif daripada plasebo untuk mengobati rasa sakit jangka pendek dan beberapa menunjukkan bahwa hal itu juga meningkatkan kejang otot, namun, data
hasil
jangka
panjang
tidak
memadai.
Data
relaksan
otot
nonbenzodiazepine tidak sekuat, tapi bukti moderat ada untuk jangka pendek perbaikan keseluruhan, meskipun sedikit perbaikan atau tidak telah ditunjukkan dalam hasil nyeri spesifik. Contoh umum digunakan relaksan otot
nonbenzodiazepine
Methocarbamol,
termasuk
chlorzoxazone,
dan
cyclobenzaprine, metaxalone.
carisoprodol,
Sebuah
evaluasi
menyeluruh dan meta-analisis efektivitas cyclobenzaprine memperlihatkan dukungan untuk penggunaan jangka pendek (<4 hari) dengan manfaat sederhana awal pengobatan LBP, namun dengan efek samping yang sama bermasalah. o
Tizanidine Tizanidine adalah α-2 sentral adrenoreseptor agonis yang dikembangkan untuk pengelolaan kelenturan karena cedera saraf otak atau tulang belakang, tetapi juga telah menunjukkan efikasi jika dibandingkan dengan spasmolytics otot
lainnya.
Efek
Otot
spasmolitik
dari
Tizanidine
diperkirakan
berhubungan terutama untuk pusat bertindak α2-adrenergik aktivitas di kedua kabel tulang belakang dan tingkat supraspinal. Beberapa uji klinis telah menunjukkan kemanjuran Tizanidine untuk pengobatan leher akut dan sakit punggung. Studi terkontrol telah menunjukkan mengurangi penggunaan analgesik dan kejang otot pada pasien dengan leher akut dan sakit punggung. Secara khusus, studi perbandingan telah menunjukkan bahwa Tizanidine seefektif diazepam dan chlorzoxazone untuk pengobatan kondisi akut. Tizanidine diberikannya tidak berpengaruh signifikan terhadap otot, sehingga pasien melaporkan kelemahan otot kurang sering sebagai efek samping dibandingkan dengan diazepam atau relaksan otot. Terjadinya aksi Tizanidine yang cepat dengan konsentrasi plasma puncak terjadi pada 1-2 jam setelah pemberian oral. Penghapusan paruh Tizanidine adalah sekitar 2,5 jam dengan variabilitas interpatient signifikan. Ini onset cepat tindakan ditambah dengan
16
sifat otot yang spasmolitik dan antinociceptive telah mendorong penyelidikan penggunaan klinis tidak hanya untuk pengobatan nyeri tulang belakang akut dengan kejang otot, tetapi juga sebagai terapi untuk kondisi menyakitkan lainnya otot kronis. o
Neuropatik nyeri analgesik Pengobatan konvensional untuk nyeri neuropatik, termasuk antikonvulsan, mungkin cocok untuk digunakan persidangan dalam kasus tertentu ketika struktur sistem saraf yang bergejala dan untuk nyeri myofascial, yang juga dapat menjadi gangguan tulang belakang-dimediasi. Nyeri neuropatik dapat dilihat dalam hubungan dengan radiculopathy atau myelopathy, dan ahli saraf mungkin akan meminta nasihat pengobatan dalam kasus tanpa sebab struktural yang jelas, setelah pengobatan bedah gagal atau kompleks, atau ketika intervensi bedah merupakan kontraindikasi
o
Obat antiepilepsi (AED) Obat antiepilepsi (AED), seperti phenytoin, carbamazepine, dan natrium divalproex, telah digunakan oleh ahli saraf selama bertahun-tahun untuk mengobati nyeri neuropatik, termasuk neuralgia dan sakit kepala. Hanya karbamazepin adalah disetujui FDA untuk neuralgia trigeminal. Baru-baru ini, AED baru beberapa telah diteliti melalui penelitian dan uji klinis sebagai pengobatan untuk berbagai sindrom nyeri neuropatik. Ini AED baru dikembangkan memiliki 4 mekanisme dasar tindakan:
-
Inhibition saluran natrium
-
Inhibition saluran kalsium
-
Regulation dari tingkat atau aktivitas GABA neurotransmitter inhibisi
-
Regulation dari tingkat atau aktivitas glutamat asam amino rangsang Sebuah anticonvulsant populer diresepkan untuk nyeri kronis adalah gabapentin, namun mekanisme yang tepat kerjanya tidak jelas. Gabapentin telah dibuktikan efektif dalam beberapa double-blind, acak, studi terkontrol untuk pengobatan sindrom nyeri neuropatik termasuk postherpetic neuralgia, diabetes polyneuropathy, dan cedera sumsum tulang belakang. Ini juga telah
17
terbukti efektif sebagai pengobatan untuk nyeri myofascial yang terkait dengan nyeri neuropatik.
o
Lamotrigin Lamotrigin telah terbukti efektif dalam beberapa penelitian kecil untuk pengobatan neuralgia trigeminal, neuropati perifer [81, 82, 83], dan tengah pasca stroke sakit. Keuntungan ini termasuk AED panjang paruh, yang memungkinkan dosis sekali sehari. Di sisi lain, ruam, yang dapat berkembang menjadi nekrolisis epidermal toksik, telah dilaporkan dalam hingga 10% dari pasien. Lain efek samping termasuk sakit kepala, asthenia, pusing, danoversedation.Tidak ada penelitian miliki. ditangani apakah akan berguna untuk mengobati sindrom nyeri tulang belakang. Namun, acak, terkontrol, double-blind studi untuk menilai kemanjurannya untuk nyeri neuropatik telah sangat dianjurkan.
o
AED kontemporer lainnya menunjukkan janji sebagai pengobatan untuk nyeri neuropatik di kecil open-label studi meliputi topiramate, zonisamide, levetiracetam, Tiagabin, dan oxycarbazepine. Double-blind, acak, studi plasebo-terkontrol di spesifik populasi nyeri neuropatik dengan memantau kadar dosis dan efek samping diperlukan. Penerapan obat untuk kasus refrakter tulang belakang yang berhubungan dengan nyeri neuropatik adalah empiris, namun pertimbangan waran.
o
Antidepresan Antidepresan trisiklik yang umum digunakan dalam pengobatan nyeri kronis untuk mengurangi insomnia, meningkatkan penindasan nyeri endogen, mengurangi
dysesthesia
menyakitkan,
dan
menghilangkan
gangguan
menyakitkan lainnya seperti sakit kepala. Penelitian mendukung penggunaan TCA
untuk
mengobati
sindrom
nyeri
neuropatik
dan
baik
nociceptive. Mekanisme dugaan tindakan yang berkaitan dengan kapasitas TCA ‘untuk memblokir penyerapan serotonergik, yang menghasilkan potensiasi aktivitas sinaptik noradrenergik di batang otak-dorsal sistem SSP yang nociceptive-modulasi tanduk. Juga, penelitian pada hewan menunjukkan
18
bahwa TCA dapat bertindak sebagai anestesi lokal dengan memblokir saluran natrium di mana debit ektopik dihasilkan. Dua tinjauan sistematis menemukan bahwa antidepresan mengurangi intensitas nyeri di CLBP, tapi tidak ada perbaikan yang konsisten dalam hasil fungsional diukur. Setiap khasiat untuk menghilangkan rasa sakit terlihat terutama di trisiklik antidepresan dan tetracyclic, sedangkan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI)
tidak
menunjukkan
sifat
yang
mirip
atau
khasiat.
Sedikit bukti mendukung penggunaan SSRI untuk melemahkan intensitas nyeri, dan penelitian menunjukkan bahwa agen tidak konsisten efektif untuk nyeri neuropatik yang terbaik. o
Venlafaxine Venlafaxine adalah struktural baru antidepresan terbukti untuk menghasilkan penghambatan serapan yang kuat dengan kedua serotonin dan norepinefrin dan memiliki sifat anestesi mirip dengan TCA. Sebuah rangkaian kasus yang tidak terkontrol melaporkan bahwa venlafaxine memberikan bantuan nyeri pada berbagai gangguan nyeri neuropatik.
o
Studi terbaru menunjukkan duloxetine (Cymbalta) untuk memberikan nyeri yang signifikan dibandingkan dengan plasebo untuk nyeri muskuloskeletal kronis, termasuk nyeri punggung bawah dan nyeri yang disebabkan oleh osteoarthritis. Pada bulan November 2010, US Food and Drug Administration (FDA) menyetujui duloxetine untuk pengobatan nyeri muskuloskeletal kronis. Apabila dengan pengobatan biasa tidak berhasil, mungkin diperlukan
tindakan fisioterapi dengan alat-alat khusus maupun dengan traksi (penarikan tulangbelakang). Tindakan operasi mungkin diperlukan apabila pengobatan dengan fisioterapi ini tidak berhasil misalnya pada kasus pengapuran yang berat. (Murtagh, 2003 dalam Trimunggara 2010). Jadi, penatalaksanaan low back pain (LBP) ini memang cukup kompleks. Di samping berobat pada spesialis penyakit saraf (neurolog), mungkin juga diperlukan berobat ke spesialis penyakit dalam (internist), bedah saraf, bedah orthopedic bahkan mungkin perlu konsultasi pada psikiater atau psikolog. Dalam beberapa kasus, masih banyak kasus dokter
19
menyarankan
istirahat
total
untuk
penyembuhan
kasus
low
back
pain(LBP),padahal penelitian baru menyatakan bahwa aktivitas yang kurang tidak akan mengurangi gejala low back pain (LBP). Beragamnya penyebab LBP menuntut penatalaksanaan yang bervariasi pula. Meski demikian, pada dasarnya dikenal dua tahapan terapi low back pain (LBP) yaitu: a. Terapi Konservatif, b. Terapi Operatif (Orthopedic dan Bedah Saraf). Kedua tahapan ini memiliki kesamaan tujuan yaitu rehabilitasi. Pengobatan nyeri punggung sangat tergantung penyebabnya. Lain penyebab, maka lain pula pengobatannya. Mengatasi low back pain (LBP) juga tidak cukup dengan obat atau fisioterapi. Hal itu hanya mengurangi nyeri, tetapi tidak menyelesaikan masalah. Penderita harus menjalani pemeriksaan untukmengetahui sumber masalahnya. Penyembuhan bisa melalui pembedahan atau latihan mengubah kebiasaan yang menyebabkan nyeri. Latihan itu menggunakan alat-alat pelatihan medis untuk melatih otot-otot utama yang berperan dalam menstabilkan serta mengokohkan tulang punggung. (Sunarto, 2005). Berikut cara pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri apabila Low back pain sudah terjadi (Kaufmann dan Nettina dalam Trimunggara 2010) : a. Latihan punggung setiap hari 1) Berbaringlah terlentang pada lantai atau matras yang keras. Tekukan satu lututdan gerakkanlah menuju dada lalu tahan beberapa detik. Kemudian lakukan lagi pada kaki yang lain. Lakukanlah beberapa kali. 2) Berbaringlah terlentang dengan kedua kaki ditekuk lalu luruskanlah ke lantai. Kencangkanlah perut dan bokong lalu tekanlah punggung ke lantai, tahanlah beberapa detik kemudian relaks. Ulangi beberapa kali. 3) Berbaring terlentang dengan kaki ditekuk dan telapak kaki berada flat dilantai. Lakukan sit up parsial, dengan melipatkan tangan di tangan dan mengangkat bahu setinggi 6 -12 inci dari lantai. Lakukan beberapa kali.
20
b. Berhati-Hatilah Saat Mengangkat 1) Gerakanlah
tubuh
kepada
barang
yang
akan
diangkat
sebelum
mengangkatnya. 2) Tekukan lutut, bukan punggung, untuk mengangkat benda yang lebih rendah. 3) Peganglah benda dekat perut dan dada. 4) Tekukan lagi kaki saat menurunkan benda. 5) Hindari memutarkan punggung saat mengangkat suatu benda.
c. Lindungi Punggung Saat Duduk dan Berdiri 1)
Hindari duduk di kursi yang empuk dalam waktu lama
2)
Jika memerlukan waktu yang lama untuk duduk saat bekerja, pastikan bahwa lutut sejajar dengan paha. Gunakan alat Bantu (seperti ganjalan/bantalan kaki) jika memang diperlukan.
3)
Jika memang harus berdiri terlalu lama, letakkanlah salah satu kaki pada bantalan kaki secara bergantian. Berjalanlah sejenak dan mengubah posisi secara periodik.
4)
Tegakkanlah kursi mobil sehingga lutut dapat tertekuk dengan baik tidak teregang.
5)
Gunakanlah bantal di punggung bila tidak cukup menyangga pada saat duduk dikursi.
d. Tetaplah Aktif dan Hidup Sehat 1)
Berjalanlah setiap hari dengan menggunakan pakaian yang nyaman dan sepatu berhak rendah.
2)
Makanlah makanan seimbang, diet rendah lemak dan banyak mengkonsumi sayur dan buah untuk mencegah konstipasi.
3)
Tidurlah di kasur yang nyaman.
4)
Hubungilah petugas kesehatan bila nyeri memburuk atau terjadi trauma.
e. Coping dengan Nyeri Leher
21
Kekakuan leher, nyeri leher dan bahu bisa disebabkan oleh akut injury, regangan kronik, arthritis dan masalah otot dan tulang lainnya. Nyeri yang muncul dapat berhubungan dengan aktifitas sehari-hari dan cara tidur. Untuk mengurangi nyeri diperlukan peningkatan mobilitas leher dan bahu. Tetapi perlu diperhatikan latihan peregangan leher dilakukan bila tidak menimbulkan nyeri. Bila terasa semakin tegang, kaku atau tertarik maka latihan leher harus dihentikan untuk mencegah injury.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Aritejo, Bima. 2009. Cervical Root Syndrome. Diakses 29 Desember 2016 dari http://bimaariotejo.wordpress.com/2009/05/31/cervical-root-syndrome/. 2. Bull, Eleanor., dan Graham Archad 2007. Simple Guide : Nyeri Punggung. Di alih bahasakan oleh Juwalita Surapsari. Editor : Rina Astikawati dan Amalia Safitri. Jakarta : Penerbit Airlangga. 3. Bustan, N.M. 1997. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Rineka Cipta 4. Diepee, P.A. 1995. Penyakit Radang Sendi (Arthtritis). Jakarta : Arcan 5. Latif, Ruslan A. 2007. Nyeri Punggung http://www.krakataumedika.com/nyeri-punggung-bawah/
Bawah.
6. Lumbantobing dkk. 1986. Nyeri Pinggang : Penatalaksanaan. Fakultas Kedoteran Umum Universitas Indonesia. Hal 1- 14. 7. Manek, Nisha dan Mac Gregor. 2005. Epydemiology of Back Disorder : Prevalence, Risk Factors and Prognosis. Curr Opin Rheumatol. 8. Nurmianto, Eko. 2003. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasi nya. Surabaya : Guna Widya. 9. Riihimaki. H. 1989. Encyclopedia of Occupational Health and Safety. Geneva : ILO 10. Soeharso.1978. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Yogyakarta. Yayasan Essentia Medica 11. Suma’mur, P.K. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES), Jakarta. 12. Tarwaka, 2004. Dasar-Dasar Pengetahuan Ergonomic Dan Aplikasinya Di Tempat Kerja. Penerbit : Harapan Press, Surakarta. 13. Trimunggara, Kantana. 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keluhan Low
Back Pain pada Kegiataan Mengemudi Tim Ekspedisi PT.Enseval Putera Megatrading Jakarta Tahun 2010. Skripsi:Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
23