Lapsus Rhinosinusitis.docx

  • Uploaded by: Dyah Nabila
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapsus Rhinosinusitis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,800
  • Pages: 46
BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Rhinosinusitis, istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang mengalami peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi pengeluaran finansial masyarakat.Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga terminologi saat ini yang lebih diterima adalah rinosinusitis.Rinosinusitis dibagi menjadi kelompok akut, subakut dan kronik. Rhinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan, dengan dampak signifikan pada kualitas hidup dan pengeluaran biaya kesehatan, dan dampak

ekonomi pada

mereka

yang

produktivitas

kerjanya

menurunBerdasarkan data dari National Health Interview Survey2014, sekitar 17,4 % penduduk dewasa Amerika Serikat (AS) pernah mengidap sinusitis dalam jangka waktu 12 bulan.Berdasarkan penelitian divisi Rinologi Departemen THT-KL FKUI tahun 2012, dari 496 pasien rawat jalan ditemukan 50 % penderita sinusitis kronik. Yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maxilla dan sinusitis ethmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sphenoid lebih jarang ditemukan. Pada anak hanya sinus maxilla dan sinus ethmoid yang berkembang sedangkan sinus frontal dan sinus sphenoid mulai berkembang pada anak berusia kurang lebih 8 tahun. Sinusitis pada anak lebih banyak ditemukan karena anak-anak mengalami infeksi saluran nafas atas 6 – 8 kali per tahun dan diperkirakan 5%– 10% infeksi saluran nafas atas akan menimbulkan sinusitis. 2, 3 Ada begitu banyak pemeriksaan untuk mendiagnosis sinusitis. Anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah dapat mencurigai adanya sinusitis, tapi untuk memberikan diagnosis yang lebih dini, maka diperlukan pemeriksaan

1

radiologis.

Pemeriskaan

radiologis

dari

sinusitis

maksilaris

sering

menggunakan foto waters. 4 Kejadian rhinosinusitis mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rhinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan

yang

baik

mengenai

definisi,

gejala, metode

diagnosis dan penatalaksanaan dari penyakit ini. 3

1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui tentang Rhinosinusitis Kronis 1.2.2 Tujuan Khusus Untuk memberikan pemahaman kepada pembaca tentang definisi rhinosinusitis kronis, patofisiologi, diagnosis dan penatalaksanaanya.

2

BAB II LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA 1. Nama : Tn. 2. Umur : 13 tahun 3. Jenis kelamin : Laki-laki 4. Suku : Jawa 5. Agama : Islam 6. Pekerjaan : Buruh 7. Alamat : Kr. seupeng 8. Tanggal Pemeriksaan : Agustus 2018 B. ANAMNESIS 1. Keluhan Utama : Hidung tersumbat dikedua bagian hidung Keluhan Tambahan : bersin–bersin, nyeri bagian wajah menjalar ke kepala, ingus turun ke tenggorok. 2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke poli THT dengan keluhan hidung tersumbat dikedua hidung sejak 5 bulan yang lalu. Selain itu pasien juga sering mengeluh bersin-bersin dipagi hari dan juga mengeluh nyeri di bagian pipi kiri dan kanan dan berlanjut ke bagian kepala, keluhan dirasakan hilang timbul dan semakin memberat rasa nyeri sangat terasa memberat bila kepala ditundukkan. Pasien juga mengaku ada gangguan pada hidung seperti sulit bernafas terutama saat tidur dan mengeluarkan cairan kental jernih yang

3

hilang timbul, keluhan sering timbul di pagi hari atau dipicu oleh debu. Pasien juga pernah merasa seperti tertelan ingus. Demam (-) batuk (-), nyeri menelan (-), gangguan pada telinga (-). 3. Riwayat penyakit dahulu : Alergi 4. Riwayat penyakit keluarga : disangkal C. STATUS GENERALIS : 1. Keadaan Umum : Baik 2. Keadaan Penyakit : Sedang 3. Kesadaran : Compos Mentis 4. Tekanan Darah : 110/70 MmHg D. STATUS LOKALIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, telinga dan tenggorok tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat mukosa di kavum nasi kiri dan kanan livide, krusta (-), sekret (-), massa (-), konka inferior hipertropi, septum deviasi ke kanan. Pada pemeriksaan rinoskopi posterior terdapat post nasal drip. Pada pemeriksaan cavum oris dalam batas normal, tonsil palatina T1/T1, mukosa faring hiperemis. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan foto polos SPN posisi water’s, didapatkan perselubungan (radio opak) di kedua sinus maksila.

4

Pemeriksaan foto polos SPN E. DIAGNOSA DAN TERAPI Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik dan dari hasil ronten SPN didapatkan diagnosa Rhinosinusitis Kronis. Pasien diterapi dengan antibiotik, dekongestan, analgetic dan mukolitik.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi sinus paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung. Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari dari sinus etmoid anterior

5

pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. 2.1.1Sinus Maksila Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum etmoid.

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: 1. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis. 2. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita. 3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitus.

6

Gambar 1. Potongan sagittal sinus paranasal 2.1.2 Sinus Frontal Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya gambaran septumn-septum atau lekuklekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus.

7

Sinus frontal dipisakan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior.1,2 2.1.3 Sinus Etmoid Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.1,2 Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita, karenanya seringkali disebut sel-sel etmoid. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media.1,2 Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis

8

dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatsan dengan sinus sfenoid. 2.1.4 Sinus Sfenoid Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalag 2 cmn tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nerbus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid.1,2 Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.1,2 2.1.5 Kompleks Ostio-Meatal Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.1,2

9

Gambar 1. Potongan coronal Sinus paranasal12

2.2 Fisiologi sinus paranasal Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Namun ada beberapa pendapat yang dicetuskan mengenail fungsi sinus paranasal yakni :1,2 1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) Sinus yang berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembapan udara inspirasi. Namun teori ini mendapat sanggahan, sebab ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus, lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosa hidung. (Soepardi, 2012) 2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

10

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. 3. Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak bermakna. 4. Membantu resonansi suara Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah. 5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus 6. Membantu produksi mukus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis. 2.3 Definisi Rhinosinusitis Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Sinusitis dikarakteristikkan sebagai suatu peradangan pada sinus paranasal.Sinusitis diberi nama sesuai dengansinus yang terkena. Bila mengenai beberapasinusdisebut multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebutpansinusitis. Disekitar rongga hidung terdapat empatsinus yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus

11

etmoidalis (kedua

mata), sinus

frontalis (terletak

di

dahi)

dan sinus

sfenoidalis (terletak di belakang dahi).1,2 2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osti-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskenesia silia seperti pada sindrom Kartgener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Faktor predisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal yang timbul pada rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat sinus.1,2 Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia. 1 Penyebab sinusitis dibagi menjadi: 1. Rhinogenik Penyebab kelainan atau masalah di hidung. Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Contohnya rinitis akut, rinitis alergi, polip, diaviasi septum dan lain-lain. Alergi juga merupakan predisposisi infeksi sinus karena terjadi edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang. 2. Dentogenik/odontogenik Penyebab oleh karena adanya kelainan gigi. Sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas (premolar dan molar). Bakteri

12

penyebab adalah

Streptococcus

pneumoniae,

Hemophilus

influenza,

Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella catarhalis dan lain-lain. Penyebab yang yang cukup sering terjadinya sinusitis adalah disebabkan oleh adanya kerusakan pada gigi.1,2 a) Sinusitis Dentogen Merupakan penyebab paling sering terjadinya sinusitis kronik. Dasar sinus maksila adala prosessus alveolaris tempat akar gigi, bahkan kadang-kadang tulang tanpa pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi gigi apikal akar gigi, atau inflamasi jaringan periondontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe. Harus dicurigai adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus yang purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut dan dirawat, pemberian antibiotik yang mencakup bakteria anaerob. Seringkali juga diperlukan irigasi sinus maksila.1 b) Sinusitis Jamur Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan yang jarang ditemukan. meningkatnya

pemakaian

imunosupresan

dan

Angka kejadian meningkat dengan

antibiotik,

radioterapi.

Kondisi

kortikosteroid, yang

obat-obat

merupakan

faktor

predisposisi terjadinya sinusitis jamur antara lain diabetes mellitus, neutopenia, penyakit AIDS dan perawatan yang lama di rumah sakit. Jenis jamur yang sering menyebabkan

infeksi sinus paranasal

ialah spesis

Aspergillus dan Candida.1 Perlu di waspadai adanya sinusitis jamur paranasal pada kasus seperti berikut Sinusitis unilateral yang sukar sembuh dengan terapi antibiotik. Adanya gambaran kerusakkan tulang dinding sinus atau adanya membran berwarna putih keabu-abu

pada irigasi antrum. Para ahli

13

membagikan sinusitis jamur terbagi menjadi bentuk yang invasif dan noninvasif. Sinusitis jamur yang invasif dibagi menjadi invasif akut fulminan dan invasif kronik indolen. Sinusitis jamur invasif akut, ada invasi jamur ke jaringan dan vaskular. Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, pasien dengan imunosupresi seperti leukemia atau neutropenia, pemakain steroid yang lama dan terapi imunosupresan. Imunitas yang rendah dan invasi pembuluh darah meyebabkan penyebaran jamur menjadi sangat cepat dan merusak dinding kavernosus.

sinus, jaringan orbita dan sinus

Di kavum nasi, mukosa konka dan septum warna biru-

kehitaman dan ada mukosa konka atau septum yang nekrotik. Sering kali berakhir dengan kematian. Sinusitis jamur inavasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan ganguan imunologik atau metabolik seperti diabetes. Bersifat kronik progresif dan bisa menginvasi sampai ke orbita atau intrakranial, tetapi gejala klinisnya tidak sehebat gejala klinis pada fulminan kerana perjalanan penyakitnya berjalan lambat. Gejala-gejalanya sama seperti sinusitis bakterial, tetapi sekret hidungnya kental dengan bercak-bercak kehitaman yang bila dilihat dengan mikroskop merupakan koloni jamur. Sinusitis jamur non-invasif, atau misetoma, merupakan kumpulan jamur di dalam ronggasinus tanpa invasi ke mukosa dan tidak mendestruksi tulang. Sering mengenai sinus maksila. Gejala klinik merupai sinusitis kronik berupa rinore purulen, post nasal drip, dan napas bau. Kadang-kadang ada massa jamur di kavum nasi. Pada operasi bisa ditemukan materi jamur berwarna coklat kehitaman dan kotor dengan atau tanpa pus di dalam sinus.1 2.5 Patofisiologi Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril. Sinusitis dapat terjadi bila klirens silier sekret sinus berkurang atau ostium sinus menjadi tersumbat, yang menyebabkan retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan berkurangnya tekanan parsial oksigen. Lingkungan ini cocok untuk pertumbuhan organisme patogen.

14

Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini, maka terjadilah sinusitis. Pada dasarnya patofisiologi dari sinusitis dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu obstruksi drainase sinus (sinus ostium), kerusakan pada silia, serta kuantitas dan kualitas mukosa. Sebagian besar episode sinusitis disebabkan oleh infeksi virus. Virus tersebut sebagian besar menginfeksi saluran pernapasan atas seperti Rhinovirus, Influenza A dan B, Parainfluenza, Respiratory syncytial virus, Adenovirus dan Enterovirus. Sekitar 90 % pasien yang mengalami ISPA memberikan bukti gambaran radiologis yang melibatkan sinus paranasal. Infeksi virus akan menyebabkan terjadinya edema pada dinding hidung

dan

sinus

sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan atau

obstruksi pada ostium sinus, dan berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus. Selain itu inflamasi, polip, tumor, trauma, juga menyebabkan menurunya patensi ostium sinus. Virus yang menginfeksi tersebut dapat memproduksi enzim dan neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia. Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret yang diproduksi sinus menjadi lebih kental, yang merupakan media yang sangat baik untuk berkembangnya bakteri patogen. Silia yang kurang aktif fungsinya tersebut terganggu oleh terjadinya akumulasi cairan pada sinus. Terganggunya fungsi silia tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kehilangan lapisan epitel bersilia, udara dingin, aliran udara yang cepat, virus, bakteri, mediator inflamasi, kontak antara dua permukaan mukosa, parut, atau primary cilliary dyskinesia (Sindrom Kartagener). Adanya bakteri dan lapisan

mukosilia yang abnormal meningkatkan

kemungkinan terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus. Konsumsi oksigen sinus

oleh dan

bakteri akan

akan menyebabkan memberikan

media

keadaan

hipoksia

di

dalam

yang menguntungkan untuk

berkembangnya bakteri anaerob. Penurunan jumlah oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan aktivitas leukosit. Sinusitis kronis dapat

15

disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang tidak adekuat, obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan terdapatnya beberapa bakteri patogen. Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi pre molar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus. Sinusitis maksila diawali dengan sumbatan ostium sinus akibat proses inflamasi pada mukosa rongga hidung.

Proses inflamasi

ini akan menyebabkan gangguan drainase sinus. Keterlibatan antrum unilateral seringkali merupakan indikasi dari keterlibatan gigi sebagai penyebab. Bila hal ini terjadi maka organisme yang bertanggung jawab kemungkinan adalah jenis gram negatif yang merupakan organisme yang lebih banyak didapatkan pada infeksi gigi daripada bakteri gram positif yang merupakan bakteri khas pada sinus.Penyakit gigi seperti abses apikal, atau periodontal dapat menimbulkan gambaran histologi yang didominasi oleh bakteri gram negatif, karenanya menimbulkan bau busuk. Pada sinusitis yang dentogennya terkumpul kental akan memperberat atau mengganggu drainase terlebih bila meatus medius tertutup oleh oedem atau pus atau kelainan anatomi lain seperti deviasi, dan hipertropi konka. Akar gigi premolar kedua dan

molar pertama berhubungan dekat dengan lantai dari

sinus maksila dan pada sebagian individu berhubungan langsung dengan mukosa sinus maksila. Sehingga penyebaran bakteri langsung dari akar gigi ke sinus dapat terjadi 2.6 Klasifikasi Menurut The Rhinosinusitis Task Force (RSTF):10,11 1. RS akut

: 4 minggu

2. RS subakut

:> 4-12 minggu

3. RS kronik

:> 12 minggu

4. RS akut rekuren

: ≥ 4 episode per tahun; tiap episode ≥ 7-10 hariresolusi

komplit di antara episode

16

5. RS kronik eksaserbasi akut : perburukan gejala tiba-tiba dari RS kronik dengan kekambuhan berulang setelah pengobatan American Academy of Allergy, Asthma and Immunology; American Academy of Otolaryngic Allergy; American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery; American College of Allergy, Asthma and Immunology; and American Rhinologic Society mengusulkan subklasifikasi lebih lanjut dari RS kronik adalah: 1. RS kronik dengan polip, ditandai dengan mukosa polipoid dengan edema, infiltrasi eosinofil. Limfosit T dan B, serta kerusakan pada epitel yang disebabkan oleh produk-produk aktivasi sel eosinofil. Tipe ini berhubungan dengan meningkatnya prevalensi polip hidung dan juga berhubungan dengan lebih luasnya gambaran patologis kelainan sinus pada tomografi komputer. 2. RS kronik tanpa polip, yaitu bentuk RS kronik yang tidak disertai oleh tandatanda tersebut di atas, namun ditandai oleh hiperplasia kelenjar seromukosa submukosa yang jelas. Klasifikasi sinusitis yang disebabkan oleh jamur dikategorikan ke dalam 3 grup:10,11 1. Sinusitis jamur invasif a. Terjadi pada pasien diabetes dan pasien imunosupresi. b. Jamur patogen: Aspergillus, Mucor dan Rhizopus c. Pada pemeriksaan patologi terlihat invasi jamur ke jaringan dan pembuluh darah. d. Mukosa kavum nasi berwarna biru-kehitaman disertai septum yang nekrotik. e. Bersifat kronis progresif, dapat menginvasi sampai ke orbita atau intrakranial. 2. Fungus ball a. Merupakan kumpulan jamur di dalam rongga sinus membentuk suatu massa, tanpa invasi ke dalam mukosa dan tidak mendestruksi tulang, sering mengenai sinus maksila.

17

b. Jamur patogen: Aspergillus c. Gejala klinis menyerupai sinusitis kronik (rinore purulen, post nasal drip, halitosis) d. Pada operasi ditemukan materi jamur berwarna coklat kehitaman dan kotor dengan/tanpa pus. 3. Allergic fungal rhinosinusitis (AFRS) a. Jamur dapat menstimulasi respon imun mukosa sinonasal, menyebabkan sinusitis alergi jamur. b. Secara tipikal, mukosa polipoid terlihat di bagian anterior membentuk suatu “massa” yang terdiri dari musin, materi jamur, kristal CharcotLeyden dan eosinofil. c. Penebalan mukosa dan bony remodeling adalah tanda khas dari proses ini. Sinusitis paranasal diklasifikasikan berdasarkan lima hal, yaitu: 8 a. Gambaran klinis : akut, sub akut, kronis b. Lokasi :sinus etmoid, sinus maksila, sinus frontal, sinus sfenoid c. Organisme penyebab : virus, bakteri, jamur. d. Komplikasi : tanpa komplikasi, dengan komplikasi. e. Faktor pemberat : atopi, imunosupresi, obstruksi ostiomeatal. Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012, rinosinusitis biasanya disertai dua atau lebih dari gejala berupa hidung tersumbat, sekret hidung (anterior maupun posterior nasal drip) dan dapat disertai: 1) Nyeri fasial 2) Hiposmia Atau dengan endoskopi dapat ditemukan: 1) Polip nasi 2) Sekret mukopurulen terutama dari meatus nasi medius dan/ atau 3) Oedem atau obstruksi mukosa terutama meatus nasi mediusatau dapat ` disertai dengan hasil pemeriksaan CT scan berupa:

18

1) Perubahan mukosa kompleks ostiomeatal dan/ atau sinus parasanal. Berdasarkan

derajat

berat

ringannya

penyakit,

rinosinusitis

diklasifikasikan menjadi Mild, Moderate, dan Severe. Klasifikasi ini ditentukan mengacu pada total severity visual analogue scale (VAS) score (0-10) - Mild : VAS 0-3 - Moderate : VAS > 3-7 - Severe : VAS > 7-10 Untuk menilai derajat keparahan total, pasien ditanya agar dapat menunjukkan nilai dari VASnya. VAS > 5 akan mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012, rinosinusitis diklasifikasikan menjadi akut (kurang dari 12 minggu) dan kronik (lebih dari 12 minggu). Sebelumnya, beberapa literatur juga mengklasifikasikan rinosinusitis ke dalam grup sub akut, yang menunjukkan keadaan diantara akut dan kronik. Namun EPOS menganggap tidak perlu menambahkan grup ”sub akut” dikarenakan jumlah penderita sinusitis akut dengan gejala memanjang cukup jarang dan belum ada rekomendasi evidence based untuk penatalaksanaan grup tersebut. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti infeksi bakteri. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus disebut pansinusitis. Sinus yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan maksila, dan yang paling jarang terkena adalah sinus sfenoid. Sinus maksila disebut juga antrum highmore. Rinosinusitis dentogen disebabkan karena adanya 19 fokal infeksi dari gigi. Biasanya terjadi pada sinus maksila. Infeksi gigi mudah menyebar ke sinus maksila karena letaknya dekat akar gigi rahang atas. Rinosinusitis dapat menyebabkan komplikasi ke orbita dan intrakranial serta meningkatkan serangan asma yang sulit diobati. 2.7 Diagnosis

19

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior, dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan ethmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis ethmoidalis posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan pada kantus medius.Untuk membantu diagnosis sinusitis, American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery (AAO-HNS) membuat bagan diagnosis yang disebut Task Force on Rhinosinusitis pada tahun 1996. Bagan ini didasarkan atas gejala klinis yang dibagi atas kategori gejala mayor dan minor untuk diagnosis rhinosinusitis.3 Tabel 1. Bagan Task force on Rhinosinusitis 19963 RINOSINUSITIS Major Symptoms

Minor Symptoms

Facial pain/pressure

Headache

Facial congestion/fullness

Fever (non acute)

Nasal obstruction/blockage

Halitosis

Nasal

discharge/purulence/discolored Fatique

posterior drainage Hyposmia/anosmia

Dental pain

Purulence on nasal exam

Cough

Fever (acute rhinosinusitis only)

Ear pain/pressure/fullness

a. Facial pain/pressure alone does not constitute a suggestive history for diagnosis in the absence of another symptom or sign. b. Fever in acute sinusitis alone does not constitute a seggustive history for diangosis in the absence of another symptom or sign.

Riwayat yang konsisten dengan rinosinusitis memerlukan 2 faktor mayor atau 1 mayor dan 2 faktor minor pada pasien dengan gejala lbih dari 7 hari. Ketika adanya

20

1 faktor mayor atau 2 atau lebih faktor minor yang ada, ini menunjukkan kemungkinan di mana rinosinusitis perlu di masukkan ke dalam diagnosa banding. 1. Rhinosinusitis Akut Diagnosis RS bakterial akut dibuat bila infeksi virus pada saluran napas atas tidak teratasi dalam 10 hari atau memburuk setelah 5-7 hari. Gejala berat secara tidak langsung menimbulkan komplikasi di kemudian hari, dan pasien tentunya tidak menunggu 5-7 hari sebelum mendapat pengobatan.1,2 a. Gejala kurang dari 12 minggu b. Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satu termasuk hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/posterior): ± nyeri wajah/rasa tertekan di wajah ± penurunan/hilangnya penghidu c. Dengan interval bebas gejala bila terjadi rekurensi d. Dengan validasi per-telepon atau anamnesis tentang gejala alergi, seperti bersin, ingus encer seperti air, hidung gatal dan mata gatal serta berair. 2. Rhinosinusitis Kronik dengan/tanpa polip Gejala tersering dari RS kronik adalah hidung berair, hidung tersumbat, rasa penuh di wajah, dan nyeri/rasa tertekan di wajah.Pasien RS dengan polip lebih sering mengeluh hiposmia dan sedikit nyeri/rasa tertekan di wajah daripada pasien RS tanpa kronik. Pasien RS kronik tanpa polip juga lebih sering terinfeksi bakteri dan membaik setelah diobati.2 a. Gejala lebih dari 12 minggu11 b. Dua

atau

lebih

gejala,

salah

satu

termasuk

hidung

tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/posterior): ± nyeri wajah/rasa tertekan di wajah ± penurunan/hilangnya penghidu c. Dengan validasi per-telepon atau anamnesis tentang gejala alergi, seperti bersin, ingus encer seperti air, hidung gatal dan mata gatal serta berair. d. Pada anak-anak harus ditanyakan faktor predisposisi lain seperti defisiensi imun dan GERD.

21

A. Pemeriksaan Fisik 1) Pemeriksaan hidung (edema, hiperemis, pus) 2) Pemeriksaan mulut (post nasal drip) 3) Singkirkan infeksi gigi 4) Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior 5) Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada daerah sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap. B. Pemeriksaan radiologik11 Posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan ethmoid. Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa: 1) Penebalan mukosa, 2) Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi) 3) Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yangdapat dilihat pada foto waters. Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasal terdiri atas berbagai macam posisi antara lain: a. Foto kepala posisi anterior-posterior ( AP atau posisi Caldwell) Foto ini diambil pada posisi kepala meghadap kaset, bidang midsagital kepala tegak lurus pada film. Idealnya pada film tampak pyramid tulang petrosum diproyeksi pada 1/3 bawah orbita atau pada dasar orbita. Hal ini dapat tercapai apabila orbito-meatal line tegak lurus pada film dan membentuk 1500 kaudal.

22

Gambar 2. Foto konvensional caldwell posisi PA menunjukkan air fluid level pada sinus maksilaris

b. Foto kepala lateral Dilakukan dengan film terletak di sebelah lateral dengan sentrasi di luar kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksilaris berhimpit satu sama lain. Pada sinusitis tampak : penebalan mukosa, air fluid level (kadang-kadang), perselubungan homogen pada satu atau lebih sinus para nasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik)

Gambar 3. Foto lateral menunjukkan gambaran air fluid level di sinus maksila http://atlas.mudr.org/im

c. Foto kepala posisi waters

23

Foto ini dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap film, garis orbito meatus membentuk sudut 370 dengan film. Pada foto ini, secara ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maxillaris sehingga kedua sinus maxillaris dapat dievaluasi sepenuhnya. Foto Waters umumnya dilakukan pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat menilai dinding posterior sinus sphenoid dengan baik. Pemeriksaan Foto Waters merupakanpemeriksaan yang paling baik untuk mengevaluasi sinus maksilaris. William et al menyimpulkan bahwa Foto Waters dapat diterima untuk mendiagnosis suatu kelainan di sinus maksilaris. Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal. Sensitifitas dan spesifisitasnya yaitu 85% dan 80%. Berdasarkan gambaran radiologis dengan Foto Waters dapat menilai kondisi sinus maksilaris yang memperlihatkan perselubungan, air fluid level, dan penebalan mukosa.

Gambar 4. Foto waters sinus maksilaris

Evaluasi Endoskpoik Pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi: a) RS kronik tanpa polip. Tidak terlihat adanya polip di meatus medius, jika diperlukan setelah pemberian dekongestan (definisi ini menerima bahwa terdapat spektrum dari RS kronik termasuk perubahan polipoid pada

24

sinus/dan atau meatus medius tetapi menyingkirkan penyakit polipoid yang terdapat pada rongga hidung untuk menghindari tumpang tindih). b) RS kronik dengan polip. Polip bilateral yang terlihat dari meatus medius. c) Melakukan

evaluasi diagnosis dan penatalaksanaan dari pelayanan

kesehatan primer d) Mengisi kuisioner untuk alergi, jika positif dilakukan tes alergi bila belum dilakukan

Gambar 5. Polip kecil yang terlihat pada meatus medius kiri16

Gambar 6. Sekret purulen pada meatus medius kiri17 C. Pemeriksaan CT –Scan11 Merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik). Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan : a) Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar

25

membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level. b) Polip yang mengisi ruang sinus c) Polip antrokoanal d) Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus e) Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran perifer. f) Tumor D. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan mikrobiologik dan kultur resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus media/superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat. Lebih baik lagi bila diambil sekret dari sinus maksila.10 Jika curiga adanya sinusistis jamur, dapat dilakukan kultur aspirasi secara endoskopi dengan pewarnaan jamur. Jika hasilnya negatif dan gejala klinik mendukung ke arah sinusitis jamur, dapat dilakukan biopsi dengan potong beku.18 Berdasarkan lokasinya, diagnosis rhinosinusitis dapat ditegakkan sebagai berikut : 1. Rhinosinusitis Maksilaris Nyeri pipi menandakan rhinosinusitis maksila. Gejala

sinusitis

maksilaris akut berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk.

26

2. Rhinosinusitis Etmoidalis Rhinosinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi

sebagai

selulitis

orbita.

Dari

anamnesis

didapatkan nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri di bola mata atau di belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis, post nasal drip dan sumbatan hidung. Pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada pangkal hidung. 3. Rhinosinusitis Frontalis Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supra orbita. Pemeriksaan fisik, nyeri yang hebat pada palpasi atau perkusi di atas daerah sinus yang terinfeksi merupakan tanda patognomonik pada sinusitis frontalis. 4. Rhinosinusitis Sfenoidalis Rhinosinusitis sfenoidalis dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke verteks kranium. Penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis dan oleh karena itu gejalanya menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya. 1.

Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema, Pada

sinusitis maksila,

sinusitis

frontal

dan

sinusitis

ethmoid anterior tampak nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sphenoid nanah tampak keluar dari meatus superior. (Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip, tumor maupun komplikasi sinusitis. Jika ditemukan maka kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai). 2.

Pada rinoskopi posterior tampak pus di nasofaring (post nasal drip).

27

Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama

kurang lebih 5 menit, dan provokasi test, yakni suction

dimasukkan pada hidung, pemeriksa

memencet

hidung

pasien

kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup mulut dengan rapat. Jika positif sinusitis maksilaris, maka akan keluar pus dari hidung.

2.8 Penatalaksanaan Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah: a.

Mempercepat penyembuhan

b.

Mencegah komplikasi

c.

Mencegah perubahan menjadi kronik.

1. Medikamentosa Pemberian AB pada RS kronik adalah kontroversi bila penyebab dasarnya belum diketahui.10 Pilihan terapi meliputi:10,11 1. Antimikroba. Idealnya pilihan AB berdasarkan kultur secara endoskopik, tetapi bila ini tidak dapat dilakukan, dapat diberikan AB empirik (paling sedikit 3-6 minggu), misalnya amoksisilin/klavulanat, respiratory quinolone, klaritromisin, sefalosporin generasi kedua (sefuroksim, sefpodoksim, sefdinir) dan doksisiklin. 2. Kortikosteroid. Steroid nasal topikal adalah yang paling sering diberikan. Steroid sistemik juga dapat diberikan, khususnya untuk pasien RS kronik dengan polip. 3. Terapi tambahan. Irigasi nasal dan mukolitik (guaifenesin). 4. Penatalaksanaan

alergi. Dilakukan pada pasien dengan riwayat alergi,

dengan cara kontrol lingkungan, steroid topikal dan imunoterapi, sehingga dapat mencegah rinitis eksaserbasi serta progesifitas dari sinusitis.

28

a. Antibiotik Antibiotik

merupakan

kunci

dalam

penatalaksanaan

sinusitis

supuratif akut. Amoksisilin merupakan pilihan tepat untuk kuman gram positif dan negatif. Vankomisin untuk kuman S. pneumoniae yang resisten terhadap amoksisilin. Pilihan terapi

lini

pertama

yang lain adalah

kombinasi eritromisin dan dulfonamide atau cephalexin dan sulfonamide. Terapi antibiotik harus diteruskan minimum 1 minggu setelah gejala terkontrol. Karena banyaknya distribusi ke sinus-sinus yang terlibat, perlu mempertahankan kadar antibiotika yang adekuat bila tidak, mungkin terjadi sinusitis supuratif kronik. Tindakan

lain

yang

dapat

dilakukan

untuk

membantu

memperbaiki drainase dan pembersihan sekret dari sinus. Untuk sinusitis maxilaris dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedangkan untuk sinusitis ethmoidalis frontalis dan sinusitis sfenoidalis dilakukan tindakan pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 atau 6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekret purulen, maka perlu dilakukan bedah radikal. Antibiotik

parenteral

mengalami komplikasi

diberikan

seperti

pada

komplikasi

sinusitis orbita

yang

dan

telah

komplikasi

intrakranial, karena dapat menembus sawar darah otak. Ceftriakson merupakan pilihan yang baik karena selain dapat membasmi semua bakteri terkait penyebab sinusitis, kemampuan menembus sawar darah otaknya juga baik. Pada sinusitis

yang

disebabkan

oleh

bakteri

anaerob

dapat

digunakan metronidazole atau klindamisin. Klindamisin dapat menembus cairan serebrospinal. Antihistamin hanya diberikan pada sinusitis dengan predisposisi alergi. Analgetik dapat diberikan. Kompres hangat dapat juga dilakukan untuk mengurangi nyeri.

29

b. Irigasi nasal salin Sebuah review artikel yang diterbitkan dalam edisi 15 November American Family Physician menawarkan panduan penggunaan dalam pengaturan praktik keluarga irigasi hidung salin sebagai terapi tambahan untuk kondisi saluran pernapasan bagian atas. Irigasi nasal dengan salin adalah terapi tambahan untuk kondisi pernapasan bagian atas, yaitu dengan mencuci rongga hidung dengan semprotan atau cairan garam dengan memasukan larutan salin ke dalam 1 lubang hidung yang ditutup dan membiarkan larutan salin dan sekret mengalir keluar dari lubang hidung lainnya. Teknik menggunakan semprotan bertekanan positif rendah atau tekanan berbasis gravitasi menggunakan neti pot atau bejana lain dengan moncong hidung. Biasanya, 0,9% hingga 3% larutan salin digunakan, tetapi salinitas, pH, dan suhu yang optimal tidak diketahui, dan dapat bervariasi berdasarkan preferensi pasien.14 Irigasi hidung menggunakan cairan salin dapat membantu untuk mengelola gejala rinosinusitis kronis yang bertahan selama 12 minggu atau lebih lama, dan hal tersebut merupakan indikasi paling umum untuk irigasi nasal saline. Dalam 1 studi, penggunaan sehari-hari dari 2% larutan saline, tetapi bukan salin spray, sebagai tambahan dalam perawatan rutin, dikaitkan dengan penurunan 64% dalam keparahan gejala keseluruhan dibandingkan perawatan rutin saja. Pasien-pasien ini juga mengalami peningkatan yang signifikan dalam kualitas hidup spesifik penyakit pada 6 bulan dan pada 18 bulan.14 Mekanisme yang tepat dari tindakan irigasi nasal salin tidak diketahui," drs. Rabago dan Zgierska menulis,irigasi nasal salin dapat meningkatkan fungsi mukosa hidung melalui beberapa efek fisiologis, termasuk pembersihan langsung; penghilangan mediator inflamasi, dan peningkatan fungsi mukosiliar, seperti yang disarankan oleh peningkatan frekuensi irama ciliary. "

30

Di antara pasien yang menggunakan irigasi nasal saline, kurang dari 10% melaporkan efek samping. Efek samping diantaranya termasuk rasa penuh pada telinga, rasa sengatan pada mukosa hidung, dan yang lebih jarang lagi yaitu epistaksis. Tidak ada efek samping serius yang dilaporkan.14 Kontraindikasi untuk irigasi hidung salin termasuk trauma wajah yang tidak sembuh total, karena saline berpotensi mengeluarkan garam ke dalam jaringan atau ruang jaringan lain, dan kondisi yang terkait dengan peningkatan risiko aspirasi, seperti tremor yang signifikan atau masalah neurologis atau muskuloskeletal lainnya.14 "Pasien dengan indikasi yang tepat harus dipertimbangkan untuk uji coba irigasi nasal saline," Drs. Rabago dan Zgierska menyimpulkan. "Teknik irigasi nasal saline dapat dengan mudah diajarkan.14 Untuk pasien yang menderita alergi, pengobatan alergi yang dijalani bermanfaat.

Pengontrolan

lingkungan,

steroid

topikal,

dan

imunoterapi dapat mencegah eksesarbasi rhinitis sehingga mencegah perkembangannya menjadi sinusitis. c. Dekongestan Dekongestan Oral (Lebih aman untuk penggunaan jangka panjang) berupa Phenylproponolamine dan pseudoephedrine, yang merupakan agonis alfa adrenergik. Obat ini bekerja pada osteomeatal komplek .Dekongestan topikal yaitu Phenylephrine Hcl 0,5% dan oxymetazoline Hcl 0,5 % bersifat vasokonstriktor lokal. Obat ini bekerja melegakan pernapasan dengan mengurangi oedema mukosa. d. Antihistamin Antihistamin golongan II yaitu Loratadine. Anti histamin golongan II mempunyai keunggulan, yaitu lebih memiliki efek untuk mengurangi rhinore, dan menghilangkan obstruksi, serta tidak memiliki efek samping menembus sawar darah otak

31

e. Kortikosteroid bisa diberi oral ataupun topikal, namun pilihan disini adalah kortikosteroid oral yaitu metil prednisolon, efek samping berupa retensi air sangat minimal, begitupula dengan efek terhadap lambung juga minimal. A. Sinusitis jamur meliputi:1,2,10 1. Sinusitis jamur invasif a. Debridemen (bila perlu termasuk kavum orbita) b. Terapi antifungal secara intavena c. Stabilisasi penyakit immunocompromised d. Stabilasi penyakit diabetes 2. Fungal ball. Dilakukan ekstirpasi komplit dari massa jamur. 3. Allergic fungal rhinosinusitis (AFRS) a. Pembedahan primer diikuti pemberian steroid nasal topikal pasca operasi b. Imunoterapi dan steroid sistemik (bila perlu) untuk mengurangi rekurensi c. Antifungal topikal juga dapat diberikan 2. Pembedahan Maksimal terapi medikamentosa adalah 4-6 minggu (AB, steroid nasal dan steroid sistemik), selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk pembedahan. Pembedahan dilakukan bila ada kelainan mukosa dan sumbatan KOM, dengan panduan CT scan atau endoskopik. Pasien dengan kelainan anatomi atau polip sinonasal lebih respon terhadap terapi pembedahan.11 A. Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) FESS adalah tindakan pembedahan pada rongga hidung dan atau sekitarnya dengan bantuan endoskop fiber optik.12 Indikasi pendekatan endoskopi sama dengan pendekatan intranasal dan eksternal yang lain dan secara umum meliputi :11,12

32

1. Sinusitis akut rekuren 2. Sinusitis kronis 3. Sinusitis karena jamur alergi 4. Rhinosinusitis hipertrofi kronis (polip) 5. Polip antrokoanal 6. Mukokel di dalam sinus Keberhasilan FESS sangat bergantung pada perawatan pasca operasi, yaitu endoskopi nasal serial(dengan debridement), kultur dan resistensi kuman (pemilihan AB) dan terapi lain (steroid nasal topikal dan steroid sistemik. Perbaikan gejala setelah terapi FESS adalah lebih dari 90%.10,11 Komplikasinya meliputi:11 1. Trauma pada dinding medial orbita 2. Hematom dan perdarahan yang dapat menekan nervus optikus dan menyebabkan kebutaan 3. Kerusakan lapisan

kribifrom

sehingga menyebabkan kebocoran

cairan serebrospinal 4. Herniasi komponen otak 5. Meningitis 6. Perdarahan intrakranial

Gambar 6. Pengukuran jarak dari nares anterior ke berbagai area di sekitar hidung

33

Perawatan pasca bedah:12 1. Penderita apabila perlu di rawat inap, misalnya operasi dengan anestesi umum. 2. Antibiotik 3. Penatalaksanaan komplikasi. 4. Follow-up a) Pengangkatan tampon. b) Penilaian keberhasilan pengobatan. B. Prosedur Terbuka 1. Antrostomi11,12 Antrostomi adalah tindakan pembedahan membuat lubang ke sinus maksilaris dengan menembus dinding medialnya pada meatus inferior untuk mengeluarkan pus dan memperbaiki drainase. Indikasi operasi adalah sinusitis maksilaris sebagai upaya memfasilitasi pengeluaran pus dan atau memperbaiki drainase. a. Komplikasi : 1) Cedera orbita : hematom orbita, diplopia, kebutaan 2) Emboli udara 3) Insersi trokar lebih didepan dari dinding depan antrum dan selanjutnya ke jaringan lunak yang dapat mengakibatkan emfisema subkutan 4) Perdarahan 5) Perlukaan saluran dan kantong nasolakrimal 6) Mati rasa 7) Parestesi 8) Trauma gigi b. Perawatan pasca bedah, meliputi: 1) Penderita apabila perlu di rawat inap, misalnya antrostomi dengan anestesi umum. 2) Antibiotik 3) Penatalaksanaan komplikasi

34

4) Follow-up, dilakukan pengulangan antrostomi apabila diperlukan. Apabila tidak ada indikasi antrostomi ulang, pasien dikontrol di klinik satu minggu setelah tindakan, untuk menilai keberhasilan terapi. 2. Antrostomi Caldwell-Luc12 Antrotomi Caldwell-Luc adalah tindakan pembedahan membuka dinding depan sinus maksilaris, mengeluarkan pus maupun jaringan patologis. a. Indikasi operasi: 1) Tumor jinak 2) Empiema kronis yang resisten dengan pengobatan konservatif 3) Fraktur komplikata maksila 4) Eksplorasi b. Komplikasi 1) Kerusakan saraf infraorbita 2) Kerusakan akar gigi 3) Kerusakan dasar orbita 4) Hipestesi atau parestesi pipi 5) Kerusakan bola mata 6) Emfisema subkutan 7) Kerusakan saraf alveol superior dan soket gigi 8) Edem berkepanjangan 9) Infeksi 10) Perdarahan 11) Pembengkakan wajah 12) Fistula oroantral c. Perawatan pasca bedah 1) Penderita di rawat inap. 2) Antibiotik 3) Penatalaksanaan komplikasi 4) Follow-up : Pengangkatan tampon, penilaian keberhasilan pengobatan

35

Skema 1. Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk Pelayanan Kesehatan Primer.

European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Rhinology,2012; www.rhinologyjournal.com

Skema 2. Pedoman rujukan pasien rhinosinusitis

European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Rhinology,2012; www.rhinologyjournal.com

36

Skema 3. Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Atau Tanpa Polip Hidung Pada Dewasa Untuk Pelayanan Kesehatan Primer Dan Dokter Spesialis NDN THT

European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Rhinology,2012; www.rhinologyjournal.com

37

Skema 4. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Hidung Pada Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT

European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Rhinology,2012; www.rhinologyjournal.com

38

Skema 5. Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Polip Hidung Pada Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT

European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Rhinology,2012; www.rhinologyjournal.com

39

Skema 6. Penatalaksanaan rhinosinusitis akut pada anak

European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Rhinology,2012; www.rhinologyjournal.com

40

Skema 7. Penatalaksanaan rinosinusitis kronik pada anak

European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Rhinology,2012; www.rhinologyjournal.com

2.9 Komplikasi Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis

kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau

41

intrakranial. Komplikasi infeksi rinosinusitis sangat jarang dan paling sering terjadi pada anak dan pasien imunocompromised. Perluasan yang tidak terkendali dari penyakit bakteri atau jamur mengarah kepada invasi struktur sekitarnya terutama orbital dan otak. Sinusitis merupakan suatu penyakit yang tatalaksananya berupa rawat jalan. Pengobatan rawat inap di rumah sakit merupakan hal yang jarang kecuali jika ada komplikasi dari sinusitis itu sendiri. Walaupun tidak diketahui secara pasti, insiden dari komplikasi sinusitis diperkirakan sangat rendah. Salah satu studi menemukan bahwa insiden komplikasi yang ditemukan adalah 3%. Sebagai tambahan, studi lain menemukan bahwa hanya beberapa pasien yang mengalami komplikasi dari sinusitis setiap tahunnya. Komplikasi dari sinusitis ini disebabkan oleh penyebaran bakteri yang berasal dari sinus ke struktur di sekitarnya. Penyebaraan yang tersering adalah penyebaran secara langsung terhadap

area yang mengalami kontaminasi. Komplikasi dari sinusitis

tersebut antara lain : 1. Komplikasi lokal a) Mukokel b) Osteomielitis (Pott’s puffy tumor) 2. Komplikasi orbital a) Inflamatori edema b) Abses orbital c) Abses subperiosteal d) Trombosis sinus cavernosus. 3. Komplikasi intrakranial a) Meningitis b) Abses Subperiosteal Komplikasi

sinusitis

telah

menurun

secara

nyata

sejak

ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita

42

atau intrakranial. CT scan merupakan suatu modalitas utama dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi di luar sinus, pada orbita,

jaringan

lunak

dan kranium.

Pemeriksaan

ini

harus

rutin

dilakukan pada sinusitis refrakter, kronik atau berkomplikasi.

Tabel 2. Komplikasi orbita dari sinusitis

Selulitis preseptal Selulitis orbital

Abses subperiosteal Abses orbital

Temuan klinis Bengkak kelopak mata, otot ekstraokular intak, visus normal Edema orbita lebih difus, kerusakan otot ekstraokular, biasanya visus normal Proptosis, kerusakan otot ekstraokular Exoftalmos berat, kemosis, oftalmoplegi berat, gannguan visus Nyeri orbita bilateral, kemosis, proptosis, oftalmoplegia

Penatalaksanaan Medikamentosa (jarang, drainase abses sekunder) Medikamentosa (drainase sinus) Medikamentosa, drainase sinus, drainase abses Medikamentosa, drainase sinus (sering), drainase abses

Tromboflebitis Medikamentosa, drainase sinus sinus (sering), antikoagulan kavernosus Tindakan drainase sinus mungkin terbatas pada aspirasi sinus maksila atau endoskopik atau operasi sinus terbuka, tergantung keparahan gejala, pemeriksaan fisik, lamanya pengobatan, dibutuhkan kultur untuk terapi AB.

Meningitis Abses epidural Abses subdural

Tabel 3. Komplikasi Intrakranial Sinusitis Asal Proses penyakit dan penatalaksanaan Sinus etmoid, Komplikasi paling sering, medikamentosa sinus sphenoid Sinus frontal Medikamentosa, drainase sinus dan abses (kadang-kadang) Sinus frontal Morbiditas dan mortalitas tinggi neurologik, medikamentosa agresif (steroid dan antikonvulsan), drainase sinus dan abses (kadang-kadang)

43

Abses intraserebral

Sinus frontal (jarang; sinus etmoid dan sinus sphenoid

Morbiditas dan mortalitas tinggi neurologik, biasanya gejala tidak tampak, medikamentosa agresif (steroid dan antikonvulsan), drainase sinus dan abses (sering) Tromboflebitis Sinus frontal Morbiditas dan mortalitas tinggi vena neurologik, medikamentosa agresif (steroid dan antikonvulsan), antikoagulan (kontroversi), drainase sinus dan abses (sering) Paling banyak pasien dengan komplikasi intrakranial memiliki pansinusitis unilateral atau bilateral

2.10Prognosis Prognosis RS akut adalah sangat baik, kira-kira 70% pasien sembuh tanpa pengobatan.Antibiotik hanya diperlukan bila ada gejala .RS kronik memiliki masalah yang lebih rumit, jika penyebabnya adalah struktur anatomi yang perlu dikoreksi, maka prognosis menjadi lebih baik. Lebih dari 90% pasien mengalami perbaikan dengan intervensi bedah. Bagaimana pun, penyakit ini sering kambuh, sehingga tindakan preventif adalah hal yang sangat penting.

44

Daftar Pustaka

1. Arivalagan, Privina. The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011. E – Jurnal FK-USU Volume 1 No. 1 Tahun 2013 2. Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed.3, Penerbit Media Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 – 106 3. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012 4. Snell, Richard S. Anatomi Klinik Edisi 7. Jakarta:EGC. 2010 5. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. Dalam : Rachman LY, editor. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta :EGC ; 2008 6. Posumah, AH . Gambaran Foto Waters Pada Penderita Dengan dugaan Klinis Sinusitis Maksilaris Di Bagian Radiologi Fkunsrat/Smf Radiologi Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Jurnal e-Biomedik (eBM), Volume 1, Nomor 1, Maret 2013, hlm. 129-134 7. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Hidung dan sinus paranasalis. Buku ajar penyakit tht. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1994.h.173-240 8. Lee K.J. Essensial Otolaryngology Head & Neck Surgery. Ninth Edition. Mc Graw Hill Medical. New York; 2008; p. 383-392. 9. Lalwani K Anil. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery. Second Edition. Mc Graw Hill Lange. New York; 2008; p. 273-281. 10. Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Buku Acuan Modul Sinus Paranasal. 2008. 11. European

Position

Paper

on

Rhinosinusitis

and

Nasal

Polyposis.

Rhinology,Supplement 20, 2012; www.rhinologyjournal.com; www.eaaci.net.

45

12. Katzung, B.G., 2008. Farmakologi Dasar dan Klinik. 6th ed. Jakarta: Appleton and Lange. 13. Gunawan, S. G dkk. Farmakologi Dan Terapi, Edisi 5. Departemen Farmakologi Dan Terapeutik FKUI. 2008 14. Barclay, L. 2009. Use of Nasal Salin Reviewed (online) https://www.med scape.com/viewarticle/713108. Diakses 5 November 2018

46

Related Documents

Lapsus Depresi.docx
December 2019 38
Lapsus Snhl.docx
November 2019 33
Lapsus Paraparese.docx
November 2019 41
Lapsus Tulunagung.doc
December 2019 42
Lapsus Neneng.docx
November 2019 43
Lapsus Oklusi.docx
June 2020 25

More Documents from "Hyder"