Lapsus Rafki.doc

  • Uploaded by: Badseba Tiwery
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapsus Rafki.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 5,986
  • Pages: 35
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis adalah penyakit peradangan mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasalis (Dorland, 2002). Rinosinusitis merupakan penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis diklasifikasikan dalam 3 kriteria, yaitu rinosinusitis akut, rinosinusitis subakut dan rinosinusitis kronik. Di Amerika Serikat Insiden rinosinusitis diperkirakan sebesar 14,1 % dari populasi orang dewasa.1,2,3 Penyakit hidung dan sinus menurut data DEPKES RI tahun 2003 menempati urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan. 1,2,3 Sinusitis merupakan suatu inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal, disertai dua atau lebih gejala dimana salah satunya adalah buntu pada hidung (nasalblockage/obstruction/congestion) atau nasal discharge (anterior/posterior nasal drip) ditambah nyeri fasial dan penurunan/hilangnya daya penciuman. Pembagian sinusitis menurut waktu terbagi menjadi dua, yaitu sinusitis akut (<12 minggu) dan sinusitis kronik (≥12 minggu).4 Rinosinusitis kronis merupakan penyakit multifaktorial. Banyak faktor yang berperan dalam patogenesisnya, yaitu faktor lokal (variasi anatomi), faktor individu dan faktor non individu. Prevalensi rinosinusitis mencapai 14 % dari populasi secara global. Obstruksi kompleks osteomeatal pada penyakit sinus kronis disebabkan oleh banyak variasi anatomi dan mempengaruhi pola transport mukosilier. 5,6,7 Peradangan pada Rhinosinusitis (RS) dapat ditimbulkan atau dipengaruhi berbagai faktor, anamnesis dan pemeriksaan THT perlu dilakukan dengan cermat dan teliti. Diagnosis RS dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan gambaran klinis yang dirasakan oleh penderita serta hasil pemeriksaan THT.

1

Alergi, kelainan anatomi rongga hidung, polip, gangguan mukosiliar dan lain-lain merupakan factor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya RS. Kelainan anatomi di dalam hidung memerlukan terapi yang berlainan.8

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Saluran pernapasan terbentang dari lubang hidung (nares) dan bibir sampai ke alveoli paru-paru.9 1.

Hidung Hidung terdiri atas hidung luar dan cavum nasi. Cavum nasi dibagi oleh

septum nasi menjadi dua bagian, kanan dan kiri.9 a.

Hidung Luar Hidung luar mempunyai dua lubang berbentuk lonjong disebut nares, yang

dipisahkan satu dengan yang lain oleh septum nasi (Gambar 2.1). Pinggir lateral, ala nasi, berbentuk bulat dan dapat digerakkan. 9 Rangka hidung luar dibentuk oleh os nasale, processus frontalis maxillaris, dan pars nasalis ossis frontalis. Di bawah, rangka hidung dibentuk oleh lempenglempeng tulang rawan hialin (Gambar 2.1). 9 Suplai Darah Hidung Luar Kulit hidung luar mendapatkan darah dari cabang-cabang arteria ophthalmica dan arteria maxillaris. Kulit alanasi danbagianbawah septum mendapatkan darah dari cabang-cabang arteria facialis. 9 Suplai Saraf Sensoris Hidung Luar N.infratrochlearis dan rami nasales externae nervus ophthalmicus (Nervus cranialis V) dan ramus infraorbitalis nervus maxillaris (Nervus cranialis V) mengurus hidung luar. 9 b. Cavum Nasi Cavum nasi terbentang dari nares di depan sampai ke aperture nasalis posterior atau choanae di belakang, di mana hidung bermuara ke dalam nasopharlmx. Vestibulum nasi adalah area di dalam cavum nasi yang terletak tepat di belakang nares (Gambar 2.2). Cavum nasi dibagi menjadi dua bagiary kiri dan kanan oleh septum nasi (Gambar 2.1). Septum nasi dibentuk oleh cartilage septi nasi, lamina verticalis osis ethmoidalis, dan vomer. 9

3

Gambar 2.1. Hidung Luar dan Septum Nasi A. Permukaan lateral rangka tulang dan cartilago hidung luar. B. Facies Anterior rangka tulang dan carilaginosa hidung luar. C. Rangka tulang dan cartilaginosa septum nasi (sekat hidung). 9

1)

Dinding Cavum Nasi Setiap beiahan cavum nasi mempunyai dasar, atap, dinding lateral dan

dinding medial atau dinding septum. 9 2)

Dasar Dasar dibentuk oleh processus palatinus os maxilla dan lamina horizontalis

ossis palatini (Gambar 2.1). 9 3)

Atap Atap sempit dan dibentuk di sebelah anterior mulai dari bagian bawah

batang hidung oleh os nasale dan os frontale, di tengah oleh lamina cribrosa ossis

4

ethmoidalis, terletak di bawah fossa cranii anterior, dan di sebelah posterior oleh bagian miring ke bawah corpus ossis sphenoidalis (Gambar 2.2). 9 4)

Dinding Lateral Dinding lateral mempunyai tiga tonjolan tulang disebut concha nasalis

superior, media, dan inferior (Gambar 2.2). Area di bawah setiap concha disebut meatus. 9 5)

Recessus Sphenoethmoidalis Recessus sphenoethmoidalis adalah sebuah daerah kecil yang terletak di atas

concha nasalis superior. Di daerah ini terdapat muara sinus sphenoidalis. 9 6)

Meatus Nasi Superior Meatus nasi superior terletak di bawah concha nasalis superior (Gambar

2.2). Di sini terdapat muara sinus ethmoidales posterior. 9 7)

Meatus Nasi Media Meatus nasi media terletak di bawah concha nasalis media. Meatus ini

mempunyai tonjolan bulat disebut bulla ethmoidalis, yang dibentuk oleh sinus ethmoidales medii yang bermuara pada pinggir atasnya. Sebuah celah melengkung, disebut hiatus semilunaris, terletak tepat di bawah bul1a (Gambar 2.2). Ujung anterior hiatus yang menuju ke dalam sebuah saluran berbentuk corong disebut infundibulum, yang akan berhubungan dengan sinus frontalis. Sinus maxillaris bermuara ke dalam meatus nasi media melalui hiatus semilunaris.9 8)

Meatus Nasi Inferior Meatus nasi inferior terletak di bawah concha nasalis inferior dan

merupakan tempat muara dari ujung bawah ductus nasolacrimalis, yang dilindungi oleh sebuah lipatan membrana mucosa. 9

5

9)

Dinding Medial Dinding medial dibentuk oleh septum nasi. Bagian atas dibentuk oleh larnina

verticalis ossis ethmoidalis dan os vomer (Gambar 2.1). Bagian anterior dibentuk oleh cartilago septalis. Septum ini jarang terletak pada bidang median, sehingga belahan cavum nasi vang satu lebih besar dari belahan sisi lainnya. 9 10)

Membrana Mucosa Cavum Nasi Vestibulum dilapisi oleh kulit vang telah mengalami modifikasi dan

mempunvai rambut vang kasar. Area di atas concha nasalis superior dilapisi membrana mucosa olfactorius dan benar ujung-ujung saraf sensitif reseptor penghidu- Bagian bawah cavum nasi dilapisi oleh membrana mucosa respiratorius. Di daerah respiratorius terdapat sebuah anyaman vena yang besar di dalam submucosa jaringan ikat. 9

Gambar 2.2. A. Dinding lateral cavum nasi kanan B. Dinding lateral cavum nasi kanan, concha nasalis superior, media dan inferior dibuang sebagian untuk memperlihatkan muara dari sinus paranasalis dan ductus lacrimalis ke dalam meatus. 9

6

c. Suplai Saraf Cavum Nasi Nervus olfactorius yang berasal dari membrana mucosa olfactorius berjalan ke atas melalui lamina cribrosa os ethmoidale menuiu ke bulbus olfactorius (Gambar 2.3). Saraf untuk sensasi umum merupakan cabang-cabang nervus ophthalmicus (N.Vl) dan nervus maxillaris (N.V2) divisi nervus trigeminus (Gambar 2.3). 9 d. Pendarahan Cavum Nasi Pendarahan cavum nasi berasal dari cabang-cabang arteria maxillaris, yang merupakan salah satu cabang terminal arteria carotis externa. Cabang yang terpenting adalah arteria sphenopalatina (Gambar 2.4). Arteria sphenopalatina beranastomosis dengan ramus septalis arteria labialis superior yang merupakan cabang dari arteria facialis di daerah vestibulum. Darah di dalam anyaman vena submucosa dialirkan oleh vena-vena yang menyertai arteri. 9

Gambar 2.3. A. Dinding lateral cavum nasi memperlihatkan persarafan sensorik membrana mucosa B. Septum nasi memperlihatkan persarafan sensorik membrana mucosa. 9

7

e. Aliran Limfe Cavum Nasi Pembuluh limfe mengalirkan limfe dari vestibulum ke nodi submandibulares. Bagian lain cavum nasi dialirkan limfenya menuju ke nodi cervicales profundi superiores. 9

Gambar 2.4. A. Dinding lateral cavum nasi memperlihatkan perdarahan membrana mucosa B. Septum nasi memperlihatkan pendarahan membrana mucosa. 9 f. Kompleks Osteomeatal1 Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteo-meatal (KOM). Kompleks osteomeatal merupakan unit fungsional yang merupakan tempat

8

ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior. Struktur KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.

s

Gambar 4. Kompleks osteomeatal.9

2. Sinus Paranasales Sinus paranasales adalah rongga-rongga yang terdapat di dalam os maxilla,os frontale, os sphenoidale, dan os ethmoidale (Gambar 2.5). Sinus-sinus ini dilapisi oleh mucoperiosterum dan terisi udara, berhubungan dengan cavum nasi melalui aperture yang relatif kecil. 9 a) Sinus Maxillaris Sinus maxlilaris berbentuk piramid dan terletak di dalam corpus maxillaris di belakang pipi (Gambar 2.5). Atap dibentuk oleh dasar orbita, sedangkan dasar berhubungan dengan akar gigi premolar dan molar. Sinus maxillaris bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris (Gambar 2.5). 9

b) Sinus Frontalis

9

Sinus frontalis ada dua buah, terdapat di dalam os frontale (Gambar 2.5). Mereka dipisahkan satu dengan yang lain oleh septum tulang. Setiap sinus berbentuk segitiga, meluas ke atas di atas ujung medial alis mata dan ke belakang sampai ke bagian medial atap orbita. Masing-masing sinus frontalis bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui infundibulum (Gambar 2.5). 9 c) Sinus Sphenoidalis Sinus sphenoidalis ada dua buah, terletak di dalam corpus ossis sphenoidalis (Gambar 2.5). Setiap sinus bermuara ke dalam tecessus sphenoethmoidalis di atas concha nasalis superior. 9 d) Sinus Ethmoidalis Sinus ethmoidalis terletak di anterior, medius, dan posterior, serta terdapat di dalam os ethmoidale, di antara hidung dan orbita (Gambar 2.5). Sinus ini dipisahkan dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehingga infeksi dengan mudah dapat menjaiar dari sinus ke dalam orbita. Sinus ethmoidalis kelompok anterior bermuara ke dalam infundibuium; kelompok media bermuara ke daiam meatus nasi medius, pada atau di atas bulla ethmoidalis; dan kelompok posterior bermuara ke dalam meatus nasi superior. Variasi dari sinus dan muaranya ke dalam rongga hidung diringkas pada Tabel 2.1. 9

Gambar 2.5. A. Letak sinus-sinus paranasalis pada wajah B. Potongan coronal melalui cavum nasi memperlihatkan sinus ethmoidalis dan sinus maxilaris 9

10

B. Rhinosinusitis 1. Defenisi Secara histologi, mukosa kavum nasi dan mukosa sinus mempunyai sejumlah kesamaan; mucous blanket sinus senantiasa berhubungan dengan kavum nasi dan pada studi dengan CT-Scan untuk common cold ditunjukkan bahwa mukosa kavum nasi dan sinus secara simultan mengalami proses inflamasi bersamasama.10 Penyebab lainnya disebabkan oleh karena sebagian besar penderita sinusitis juga menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa disertai rinitis, gejala pilek, buntu hidung dan berkurangnya penciuman ditemukan jelas pada sinusitis maupun rinitis.11 Hal tersebut menunjukkan bahwa sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis, yang mendukung konsep “one airway disease” yaitu bahwa penyakit di salah satu bagian saluran napas akan cenderung berkembang ke bagian yang lain.11 Pernyataan tersebut telah disetujui oleh sejumlah kelompok konsensus sehingga terminologi rhinosinusitis lebih diterima hingga kini daripada sinusitis. 1014

Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi secara dapat dilihat pada

gambar 2.6. dibawah ini.

Gambar 2.2.

Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi dan struktur

yang terdapat pada kompleks ostiomeatal meatus medius.15

Defenisi rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi telah banyak dikemukakan sejak tahun 1984, berikut ini kriterianya:12,16

11

1.

Kennedy (1993) Dalam Konferensi Internasional Penyakit Sinus, Princeton New Jersey,

sinusitis persisten yang tidak dapat disembuhkan dengan hanya terapi medikamentosa adalah sinusitis kronik yang disertai adanya hiperplasia mukosa dan dibuktikan secara radiografik. Keluhan dan gejala berlangsung persisten selama delapan minggu atau terdapat empat episode atau lebih sinusitis akut rekuren yang terjadi pada orang dewasa dengan masing-masing berlangsung minimal sepuluh hari, berkaitan dengan perubahan persisten pada CT-scan setelah terapi selama empat minggu tanpa ada pengaruh infeksi akut. 2.

Task Force on Rhinosinusitis (TFR) (1996) Dikemukakan oleh American Academy of Otolaryngology / Head and Neck

Surgery (AAO-HNS),

disebutkan bahwa rinosinusitis kronik bila rinosinusitis

berlangsung lebih dari dua belas minggu dan diagnosa dikonfirmasi dengan kompleks faktor klinis mayor dan minor dengan atau tanpa adanya hasil pada pemeriksaan fisik. Bila ada dua atau lebih faktor mayor atau satu faktor mayor disertai dua atau lebih faktor minor maka kemungkinan besar rinosinusitis kronik. Bila hanya satu faktor mayor atau hanya dua faktor minor maka rinosinusitis perlu menjadi diferensial diagnosa. Faktor klinis mayor dan minor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis kronik dapat dilihat pada tabel 1. 3.

Dalam makalah EP3OS (2007) Dikemukakan bahwa rinosinusitis kronik adalah suatu inflamasi pada

(mukosa) hidung dan sinus paranasal, berlangsung selama dua belas minggu atau lebih disertai dua atau lebih gejala dimana salah satunya adalah buntu hidung (nasal blockage / obstruction / congestion) atau nasal discharge (anterior / posterior nasal drip) :17 -

nyeri fasial / pressure penurunan / hilangnya daya penciuman

-

dan dapat di dukung oleh pemeriksaan penunjang antara lain 3.1.

Endoskopik : terdapat polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus medius dan atau udem mukosa primer pada meatus medius

12

3.2.

CT – scan : adanya perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan atau sinus paranasal.

4.

Defenisi terakhir Defenisi terkini bahwa rinosinusitis dapat dibedakan lagi menjadi kelompok

dengan polip nasi dan kelompok tanpa polip nasi. Rinosinusitis kronik merupakan kelompok primer sedangkan polip nasi merupakan subkategori dari rinosinusitis kronik, berdasarkan data EP3OS 2007.12,13,16 Terdapat gambaran patologi jaringan sinus dan konka media yang berbeda pada kedua kelompok tersebut sehingga merupakan alasan yang masuk akal untuk membedakan inosinusitis kronik dengan polip dan tanpa polip nasi.14 2.

Klasifikasi Rhinosinusitis Klasifikasi rhinosinusitis menurut the American Academy of Otolaryngic

Allergy (AAOA) dan American Rhinologic Society (ARS):8 1. Rinosinusitis akut (RSA) Gejala rhinosinusitis yang berlangsung sampai 4 minggu. Gejala timbul mendadak, biasanya akibat infeksi virus dan sembuh sebelum 4 minggu. Setelah itu seluruh gejala akan menghilang. Gejala RSA viral yang memburuk setelah 5 hari atau gejala yang menetap setelah 10 hari menunjukkan adanya infeksi kuman (RSA bakterial). 2. Rinosinusitis akut berulang (Recurrent acute rhinosinusitis) Apabila setelah 5 hari atau selama lebih dari 10 hari, gejala dan tanda sesuai RSA memburuk atau menetap. Kriteria yang identik pada RSA adalah gejala RSA yang berulang dengan episode serangan selama 7-10 hari. Selanjutnya episode berulang terjadi sampai 4 atau lebih dalam 1 tahun. Diantara masing-masing episode terdapat periode bebas gejala tanpa terapi antibiotik. 3. Rinosinusitis sub akut (RSSA) Gejala RS berlangsung antara 4 sampai 12 minggu. Hal ini merupakan kelanjutan perkembangan RSA yang tidak menyembuh dalam 4 minggu. Penderita RSSA memiliki gejala yang lebih ringan daripada RSA. Biasanya pada

13

penderita RSSA sudah mendapat terapi RSA namun mengalami kegagalan terapi atau tidak adekuatnya terapi. 4. Rinosinusitis kronis (RSK) Bila gejala RS berlangsung lebih dari 12 minggu. 5. Rinosinusitis kronis dengan eksaserbasi akut. Pada suatu saat dapat terjadi gejala yang tiba-tiba memburuk karena infeksi yang berulang. Gejala akan kembali seperti semula setelah pengobatan dengan antibiotik akan tetapi tidak menyembuh. RSK pada umumnya mempunyai gejala yang menetap. Tabel 1.

Faktor-faktor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis kronik,

terdiri dari faktor mayor (utama) dan faktor minor (pelengkap).

12

Major factors Facial pain, pressure (alone does not constitute a suggestive history for rhinosinusitis in absence of another major symptom) Facial congestion, fullness Nasal obstruction/blockage Nasal discharge/ purulence/ discolored nasal drainage Hyposmia/anosmia Purulence in nasal cavity on examination Fever (acute rhinosinusitis only) in acute sinusitis alone does not constitute a strongly supportive history for acute in

Minor factors Headache Fever (all nonacute) Halitosis Fatigue Dental pain Cough Ear pain/pressure/ fullness

the absence of another major nasal symptom or sign

3.

Etiologi Penyebab utama dan terpenting dari Rhinosinusitis (RS) adalah obstruksi

ostium sinus. Berbagai faktor meliputi infeksi saluran nafas atas, alergi, paparan bahan iritan, kelainan anatomi, defisiensi imun dan lain-lain. Berbagai faktor baik

14

lokal maupun sistemik dapat menyebabkan inflamasi atau kondisi yang mengarah pada obstruksi ostium sinus.8 Inflamasi mukosa hidung dapat disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus, alergi dan berbagai bahan iritan dapat. Faktor tebanyak dari RS viral disebabkan oleh faktor infeksi akut saluran nafas atas yang disebabkan oleh virus. 80% pasien common cold ditemukan adanya edema mukosa hidung dan sinus maksila yang berakibat penyempitan ostium sinus maksila. Adanya cairan dapat diikuti pertumbuhan bakteri sekunder sehingga timbul gejala peradangan akut (RS akut bakterial).8 Penyempitan osteomeatal secara mekanik disebabkan berbagai variasi atau kelainan anatomi seperti sel agger nasi yang menonjol ke arah insersi anterosuperior dari konka media, bula etmoidalis yang kontak di bagian medial, deformitas prosesus unsinatus, deformitas konka bulosa (pneumatisasi konka media) dan septum deviasi.8 Pada rinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen telah ditetapkan sebagai penyebab utama. Namun sebaliknya, etiologi dan patofisiologi rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan belum sepenuhnya diketahui; rinosinusitis kronik merupakan sindrom yang terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel. Data EP3OS 2007, faktor yang dihubungkan dengan kejadian rinosinusitis kronik tanpa polip nasi yaitu “ciliary impairment, alergi, asma, keadaan immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik, H.pylori dan refluks laringofaringeal”.18,19 Publikasi Task Force (2003) menyatakan bahwa rinosinusitis kronik merupakan hasil akhir dari proses inflamatori dengan kontribusi beberapa faktor yaitu “faktor sistemik, faktor lokal dan faktor lingkungan”.19,18 Faktor etiologi rinosinusitis kronik dapat dibagi lagi menjadi berbagai penyebab secara spesifik berdasarkan 3 kelompok, ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut.18,19 James Baraniuk (2002) mengklasifikasikan bermacam kemungkinan patofisiologi penyebab rinosinusitis kronik menjadi rinosinusitis inflamatori (berdasarkan tipe infiltrat selular yang predominan) dan rinosinusitis non

15

inflamatori (termasuk disfungsi neural dan penyebab lainnya seperti hormonal dan obat).16 Rinosinusitis inflamatori kemudian dibagi lagi berdasarkan tipe infiltrasi selular menjadi jenis eosinofilik, neutrofilik dan kelompok lain.20 4.

Patofisiologi Kegagalan transport mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan

faktor utama berkembangnya sinusitis. Patofisiologi rinosinusitis digambarkan sebagai lingkaran tetutup, dimulai dengan inflamasi mukosa hidung khususnya kompleks ostiomeatal (KOM).14 Secara skematik patofisiologi rinosinusitis sebagai berikut: Inflamasi mukosa hidung -> pembengkakan (udem) dan eksudasi -> obstruksi (blokade) ostium sinus -» gangguan ventilasi & drainase, resorpsi oksigen yang ada di rongga sinus -> hipoksi (oksigen menurun, pH menurun, tekanan negatif) -> permeabilitas kapiler meningkat, sekresi kelenjar meningkat - transudasi, peningkatan eksudasi serous, penurunan fungsi silia -> retensi sekresi di sinus -> pertumbuhan kuman.14 Sebagian besar kasus rinosinusitis disebabkan karena inflamasi akibat dari colds (infeksi virus) dan rhinitis alergi. Infeksi virus yang menyerang hidung dan sinus paranasal menyebabkan udem mukosa dengan tingkat keparahan yang berbeda. Virus penyebab tersering adalah coronavirus, rhinovirus, virus influenza A , dan respiratory syncytial virus (RSV). Selain jenis virus, keparahan udem mukosa bergantung pada kerentanan individu. Infeksi virus influenza A dan RSV biasanya menimbulkan udem berat.11,13,21-26 Edema mukosa akan menyebabkan obstruksi ostium sinus sehingga sekresi sinus normal menjadi terjebak (sinus stasis). Pada keadaan ini ventilasi dan drainase sinus masih mungkin dapat kembali normal, baik secara spontan atau efek dari obat-obat yang diberikan sehingga terjadi kesembuhan. Apabila obstruksi ostium sinus tidak segera diatasi (obstruksi total) maka dapat terjadi pertumbuhan bakteri sekunder pada mukosa dan cairan sinus paranasal. Sekitar 0,5% - 5% dari rinosinusitis virus (RSV) pada dewasa berkembang menjadi rinosinusitis akut bakterial.7 Peneliti lain mengatakan, infeksi saluran napas atas akut yang disertai komplikasi rinosinusitis akut bakterial tidak lebih dari 13%.14

16

Bakteri yang paling sering dijumpai pada rinosinusitis akut dewasa adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemaphilus influenzae, sedangkan pada anak Branhamella (Moraxella) catarrhalis. Bakteri ini kebanyakan ditemukan di saluran napas atas, dan umumnya tidak menjadi patogen kecuali bila lingkungan disekitarnya menjadi kondusif untuk pertumbuhannya. Pada saat respons inflamasi terus berlanjutdan respons bakteri mengambil alih, lingkungan sinus berubah ke keadaan yang lebih anaerobik. Flora bakteri menjadi semakin banyak (polimikrobial) dengan masuknya kuman anaerob, Streptococcus pyogenes (microaero-philic

streptococci),

-dan

Staphylococcus

aureus.

Perubahan

lingkungan bakteri ini dapat menyebabkan peningkatan organisme yang resisten dan menurunkan efektivitas antibiotik akibat ketidakmampuan antibiotik mencapai sinus. 21-26 Infeksi menyebabkan 30% mukosa kolumnar bersilia mengalami perubahan metaplastik menjadi mucus secreting goblet cells, sehingga efusi sinus makin meningkat.21-26 5.

Diagnosis Berdasarkan definisi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi menurut TFR

1996, terdapat faktor klinis/ gejala mayor dan minor yang diperlukan untuk diagnosis.11,15,17,18,27 Selanjutnya menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 2003, ada tiga kriteria yang dibutuhkan untuk mendiagnosis rinosinusitis kronik, berdasarkan penemuan pada pemeriksaan fisik seperti ditampilkan pada tabel 2.3. Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi, endoskopi nasal, CT-scan dan lainnya. 10,14,16,17,26

17

Tabel 2.3

Kriteria diagnosis rinosinusitis kronik terdiri dari durasi dan

pemeriksaan fisik. Bila hanya ditemukan gambaran radiologis namun tanpa klinis lainnya maka diagnosis tidak dapat ditegakkan.18 REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS (2003 TASK FORCE) Duration >12 weeks of continuous

Physical findings (on of the following must be present) 1.

Discolored nasal discharge, polyps, or polypoid

symptoms (as described

swelling on anterior rhinoscopy (with

by 1996 Task Force) or

decongestion) or nasal endoscopy

physical findings

2.

Edema or erythema in middle meatus on nasal endoscopy

3.

Generalized or localized edema, erythema, or granulation tissue in nasal cavity. If it does not involve the middle meatus, imaging is required for diagnosis

4.

Imaging confirming diagnosis (plain filmsa or computerized tomography)b

Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa) berdasarkan EP3OS 2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya.17 Penilaian subyektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih dari 12 minggu:17 1) Buntu hidung, kongesti atau sesak 2) Sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen 3) Nyeri wajah / tekanan, nyeri kepala dan 4) Penurunan / hilangnya penciuman

18

Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior.17 Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik tanpa dan dengan nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus, transiluminasi, CT-scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium.17 a.

Anamnesis Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai

gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap.11 Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan.18 Beberapa keluhan/gejala yang dapat diperoleh melalui anamnesis dapat dilihat pada tabel 1 pada bagian depan. Menurut EP3OS 2007, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah: 1) Obstruksi nasal Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya 2) Sekret / discharge nasal Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip 3) Abnormalitas penciuman Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan / tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius 4) Nyeri / tekanan fasial

19

Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif. Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat digunakan untuk menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini berguna bagi penilaian kualitas hidup penderita. Ada beberapa metode/test yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit yang dialami penderita, namun lebih sering digunakan bagi kepentingan penelitian, antara lain dengan SNOT-20 (sinonasal outcome test), CSS (chronic sinusitis survey) dan RSOM-31 (rhinosinusitis outcome measure).14,17,18 b. Pemeriksaan Fisik -

Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi rongga

hidung

yang

lapang

(sudah

diberi

topikal

dekongestan

sebelumnya).11,17,18 Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka, -

hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip.11 Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga hidung.11

c. Pemeriksaan Penunjang -

Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat

-

perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.11 Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus.1,14 Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan. 19 Untuk rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas

-

sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.11 Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta

20

untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon.11,17 Ini mutlak diperlukan pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan.11,17,18 Contoh gambaran CT-scan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa dapat dilihat pada gambar 2.7. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:11,14,17,18 1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi 2. Tes alergi 3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar, mikroskop elektron dan nitrit oksida 4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri 5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing 6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)

Gambar 2.7

CT-scan penampang koronal menunjukkan rinosinusitis

kronik akibat konka bulosa sehingga mengakibatkan penyempitan KOM.28 6.

Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang

dewasa dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan pembedahan. Pada rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung memerlukan terapi yang berlainan juga.11

21

a.

Terapi Medikamentosa Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rinosinusitis

kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu dalam diagnosis rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung

digolongkan

menjadi

rinosinusitis

kronik)

dan

membantu

memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan.11 Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung.11,29 Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa antara lain:11,17,18,29,30 1.

Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah antibiotika spektrum luas antara lain:

a. b. c. d. e. f.

Amoksisilin + asam klavulanat Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime Florokuinolon : ciprofloksasin Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin Klindamisin Metronidazole

2.

Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik.

a. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis kronik dengan polip nasi dan rinosinusitis fungal alergi. b. Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason 3. a. b. c. d. e. f.

Terapi penunjang lainnya meliputi: Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik Antihistamin Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil Mukolitik Antagonis leukotrien Imunoterapi

22

g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap iritan dan nutrisi yang cukup

b.

Terapi Pembedahan Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana

dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih endoskopi.31 Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip nasi ialah:17,31 1.

Sinus maksila: a. Irigasi sinus (antrum lavage) b. Nasal antrostomi c. Operasi Caldwell-Luc

2.

Sinus etmoid: a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral

3.

Sinus frontal: a. Intranasal, ekstranasal b. Frontal sinus septoplasty c. Fronto-etmoidektomi

4.

Sinus sfenoid : a. Trans nasal b. Trans sfenoidal

5.

FESS (functional endoscopic sinus surgery), dipublikasikan pertama kali oleh Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan FESS adalah: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l.

Sinusitis (semua sinus paranasal) akut rekuren atau kronis Poliposis nasi Mukokel sinus paranasal Mikosis sinus paranasal Benda asing Osteoma kecil Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas) Dekompresi orbita / n.optikus Fistula likuor serebrospinalis dan meningo ensefalokel Atresia koanae Dakriosistorinotomi Kontrol epistaksis

23

m. Tumor pituitari, ANJ, tumor pada skull base 7.

Komplikasi Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan

seringkali membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya teknologi diagnostik dan antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari.17 Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi dibedakan menjadi komplikasi orbita, oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.17 1. Komplikasi orbita : a) Selulitis periorbita b) Selulitis orbita c) Abses subperiosteal d) Abses orbita 2. 3. a. b. c. d. e. 4.

Komplikasi oseus/tulang : Osteomielitis (maksila dan frontal) Komplikasi endokranial: Abses epidural / subdural Abses otak Meningitis Serebritis Trombosis sinus kavernosus Komplikasi lain yang sangat jarang terjadi: abses glandula lakrimalis, perforasi septum nasi, hilangnya lapangan pandang, mukokel/mukopiokel, septikemia.

8.

Diskusi Kasus Seorang pasien perempuan usia 36 tahun dengan diagnosis rhinosinusitis

kronis dengan rhinitis alergi. Pada pasien didapatkan rhinosinusitis yang menetap ± 2 tahun. Klasifikasi RS menurut the American Academy of Otolaryngic Allergy (AAOA) dan American Rhinologic Society (ARS), rhinosinusitis pada pasien ini termasuk Rhinosinusitis kronik karena lebih dari 12 minggu. Pada rhinosinusitis, terdapat gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik ialah demam dan rasa lesu. Gejala local pada hidung terdapat ingus kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat, seringkali terdapat nyeri pipi khas yang

24

tumpul dan menusuk, serta nyeri di tempat lain karena nyeri alih 1(referred pain). Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan. Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah ditiadakan. Faktor yang paling penting yang mempengaruhi pathogenesis terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium.4 Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mucus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mucus yang kurang baik pada sinus. Pasien juga mengeluh sering bersin di pagi hari lebih dari 5 kali bersin dan bersinnya berkurang di siang hari. Pada saat bersin, keluar cairan berwarna bening dan encer dan hidungnya terasa gatal. Hal ini sesuai dengan kesehatan dari KOM (kompleks osteomeatal) pada penjelasan diatas. Pada pemeriksaan penunjang foto rontgen posisi schedel AP/ Lateral didapatkan gambaran yang sesuai pada sinusitis ethmoid dan sinusitis frontalis, yaitu tampak adanya edema mukosa Hal ini sesuai dengan teori sehingga dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis rhinosinusitis.

25

BAB III LAPORAN KASUS

I.

Identitas Pasien

Nama

: Ny. Nensi Akulo

Jenis Kelamin

: Perempuan

Usia

: 41 tahun

Agama

: Kristen Protestan

Pekerjaan

: ibu rumah tangga

Alamat

: lateri

Tempat Pemeriksaan : Poli THT RSUD Haulussy Ambon Tanggal Pemeriksaan : 12 februari 2019 II.

Anamnesis

Keluhan utama

: Tidak bisa mencium bau

Anamnesis Terpimpin :

26

Keluhan sudah dialami sejak ± 2 tahun yang lalu, keluhan disertai rasa pilek pada pagi hari disertai keluar cairan berwarna bening dan encer dan hidungnya terasa gatal, mata juga terasa gatal. Pasien juga mengeluhkan telinga penuh, sering korek (+), tidak gatal, tidak ada rasa berdenging, penurunan pendenganran telinga kiri, telingan kanan tidak ada keluha, ,napas tidak berbau, tidak ada nyeri menelan. Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak ada Riwayat Kebiasaan: Tidak ada Riwayat Pengobatan : Tidak ada Riwayat Keluarga : Tidak ada keluarga pasien yang memiliki riwayat atopi. III.

Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan Telinga Inspeksi / Palpasi

Kanan Normal

Kiri Normal

Otoskopi Daun Telinga

Normal, nyeri tekan Normal, nyeri tekan (- ), nyeri tarik (-)

Liang Telinga

Lapang, massa

(-), nyeri tarik (-)

terdapat Lapang, , sekret(-) berwarna

coklat, sekret(-) Membrana Timpani

Intak, refleks cahaya Intak, refleks cahaya (+), hiperemis (-)

(+), hiperemis (-)

Positif (+)

Positif (+)

Pemeriksaan Tes Pendengaran (Penala) Rinne :

27

Weber :

Tidak ada lateralisasi

Kesimpulan :

normal

Tidak ada lateralisasi Normal

2. Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal Inspeksi/Palpasi

Kanan Kiri Eritema (-), edema (-), Eritema (-),oedema (-), nyeri tekan pada sinus nyeri tekan pada sinus maksila

dan

sinus maksila

dan

sinus

frontalis (-)

frontalis (-)

Cavum

Lapang, sekret (-)

Lapang, sekret (-)

Concha

Hiperemis (+), edema Hiperemis (+), edema

Rhinoskopi Anterior

(+),

hipertrofi

(+), (+),

hipertrofi

merah

merah

Septum

Tidak ada deviasi

Tidak ada deviasi

Transiluminasi

Tidak pemeriksaan

(+),

dilakukan karena

ruangan kurang gelap Rhinoskopi Posterior

Tidak

dilakukan

28

pemeriksaan

3. Mulut Tenggorokan

: Tidak ada caries gigi :

Inspeksi Tonsil

: T1/T1, Hiperemis (-), edema (-), kripta (-), detritus (-)

Orofaring

: hiperemis (-), edema (-), granuler (-), Post Nasal Drip (PND) (-)

Uvula

: deviasi (-), hiperemis (-), edema (-)

Laringoskopi Indirek: tidak dilakukan pemeriksaan Pemeriksaan Leher KGB

: Tidak ada pembesaran KGB dan nyeri tekan

Kelenjar tiroid

: Tidak ada pembesaran

29

Nodul/Tumor IV.

: Tidak ada

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium : Tidak diperlukan Rontgen

: Foto rontgen schedel didapatkan perselubungan pada sinus

frontalis, sinus ethmoid, dan disertai deviasi septum, dan tampak pembesaran concha inferior dan media bilateral. PA

: Tidak diperlukan

Gambar 2.1. Foto schedel AP/ Lateral

V.

Diagnosis

Rhinosinusitis kronik et causa Rhinitis Alergi

30

VI.

Diagnosis Banding

-

Pansinusitis

-

Rhinitis Alergi

VII.

Terapi: 1. Tindakan: 2. Medikamentosa: Oral a. Antibiotik

:-

b. Inflamasi

: Metilprednisolon 3 dd tab 8 mg

c. Penunjang

:-

d. Simptomatik : e. Roboransia

:-

Topikal : -

malacort nasal spray 2 dd puff II

-

Nacl 0,9% spuit 20 cc (irigasi hidung)

VIII. Anjuran -

Hindari pemicu allergen

-

Kontrol habis obat

BAB IV

31

PENUTUP A. Kesimpulan Rinosinusitis adalah suatu kondisi peradangan yang melibatkan hidung dan sinus paranasal. Penyebab utama dan terpenting dari RS adalah obstruksi ostium sinus. Berbagai faktor baik lokal maupun sistemik dapat menyebabkan inflamasi atau kondisi yang mengarah pada obstruksi ostium sinus. Terapi medikamentosa merupakan terapi yang penting karena lebih sederhana, mudah dilaksanakan serta relatif lebih murah dibandingkan dengan terapi pembedahan. Terapi bedah pada rinosinusitis bisa berupa irigasi sinus dengan berbagai teknik nasal antrostomy, operasi Caldwell-Luc dan FESS. Penanganan rinosinusitis tergantung dari jenis,derajat serta lamanya penyakit pada masing-masing penderita.

DAFTAR PUSTAKA 1. Dorland. W.A., Newman, 2002. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary, alih bahasa oleh Setiawan, Andy dkk dalam Kamus Kedokteran DORLAND, EGC, Jakarta.

32

2. Arivalagan P, Rambe A. Gambaran Rinosinusitis Kronis di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun 2011. E-Jurnal FK-USU Volume 1 No.1 Tahun 2013 [Internet]. Cited on: 2018 April 25th. 3. Fokkens W., Lund V., Mullol J. European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps. Rhinology. 2007 [cited on 2018 April 25th]; 45(20):1-139. Available at URL: www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17844873 4. Augesti G, Oktarlina R, Imanto M. Sinusitis Maksilaris Sinistra Akut Et Causa Dentogen. JPM Ruwa Jurnal Vol 2. No.1 [Internet]. Oktober 2016. [Cited on 2018 April 25th]. 5. Peric. A, Gacesa D. Etiology and pathogenesis of chronic rinosinusitis. Vojnosanitetski pregled. 2008 ; 65: 688-702 6. Elahi MM, Frenkiel S. Septal Deviation and Chronic Sinus Desease. American Journal of Rhinologi. 2000; 14(3) : 175-179 7. Chao Ting-Kuang. Uncommon anatomic variation in patients with chronic paranasal sinusitis. American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery.2004; 09:221-225 8. Husni T. Diagnosis dan Penanganan Rhinosinusitis [Internet]. Divisi Rinologi Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. [cited on: 2018 April 25th]. 9. Snell,Richard S, . 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran; alih bahasa Liliana Sugiharto; Ed 6. EGC : Jakarta. 10. Pawankar R, Nonaka M, Yamagishi S, et al. Pathophysiologic mechanisms of chronic rhinosinusitis. Immunol Allergy Clin N Am, 2004; 24:75-85. 11. Kentjono WA. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 1-16. 12. Clement PAR. Classification of rhinosinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006; 15-34. 13. Osguthorpe JD. Adult rhinosinusitis : diagnosis and management. American Family Physician, 2001; 63:69-74. 14. Hamilos DL. Chronic rhinosinusitis pattern of illness. In Hamilos DL, Baroody FM, eds. Chronis rhinosinusitis pathogenesis and medical management. New York: Informa, 2007;1-12.

33

15. Shah DR, Salamone FN, Tami TA. Acute & chronic rhinosinusitis. In Lalwani AK, eds. Current diagnosis and treatment in otolaryngology – head and neck surgery. New York: Mc Graw Hill, 2008; 273-281. 16. Gosepath J, Mann WJ. Current concepts in therapy of chronic rhinosinusitis and nasal polyposis. ORL,2005; 67: 125-136. 17. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139. 18. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification, diagnosis and treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head & Neck Surgery – Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006; 406-416. 19. Jackman AH, Kennedy DW. Pathophysiology of sinusitis.In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006;109-129. 20. Ferguson BJ, Johnson JT. Chronic sinusitis. In Cummings CW, Flint PW,et al eds. Cummings: otolaryngology - head & neck surgery. 4 th ed. Philadelphia: Elsevier Mosby, 2005; 1-4. 21. Krause HF. Allergy and chronic rhinosinusitis. Otolaryngol Head and Neck Surg, 128 (1), 14-6 22. StammbergerH. FESS. Endoscopic diagnosis and surgery of the paranasal sinuses and anterior skull base. Tin Messerklingertechnique and advanced applications the Graz School. Karl-Franzens University Graz, Austria, 1996: 20 23. Casiano RR, Lasko DS. Diagnosis and management of rhinosinusitis. Hospital physician, 1999, Jan, 25-30 24. Slack R, Bates G. Functional Endoscopic Sinus Surgery. American Family Physician, 1998, Sept, 1-10 25. Roos K. The pathogenesis of infective rhinosinusitis. In: (Lund V, Corey J, eds).

Rhinosinusitis:

Current

issues'!

diagnosis

and management. Strasbourg: The Royal Society of Medicine Press Ltd, 1999,3-9 26. Lippincott L. Pediatric sinusitis medical treatment. Instant access to the mints of medicine. 2002, July, 1-16

34

27. Bernstein JM. Chronic rhinosinusitis with and without nasal polyposis. In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006;371-398. 28. Farina D, Tomenzoli D, et al. Inflammatory lessions. In Leuven ALB, Heidelberg KS, eds. Imaging in treatment planning for sinonasal diseases. New York : Springer, 2005; 68. 29. Clerico DM. Medical treatment of chronic sinus disease. In Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the sinuses diagnosis and management. Hamilton: BC Decker Inc,2001;155-165. 30. Chiu AG, Becker DG. Medical management of chronic rhinosinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006; 219-229. 31. Siswantoro. Tatalaksana bedah pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 67-74.

35

Related Documents

Lapsus Depresi.docx
December 2019 38
Lapsus Snhl.docx
November 2019 33
Lapsus Paraparese.docx
November 2019 41
Lapsus Tulunagung.doc
December 2019 42
Lapsus Neneng.docx
November 2019 43
Lapsus Oklusi.docx
June 2020 25

More Documents from "Hyder"

Cover Refarat.docx
June 2020 11
Daftar Pustaka.docx
June 2020 8
Referensi.docx
April 2020 13
Abstrak.docx
June 2020 11
Lapsus Rafki.doc
June 2020 8