Lapsus Pakis Paraparese Fix.docx

  • Uploaded by: Nur Irfa Ramadhani
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapsus Pakis Paraparese Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,105
  • Pages: 18
BAB I PENDAHULUAN

Cedera kolumna vertebralis, dengan atau tanpa defisit neurologis, harus selalu di-cari dan disingkirkan pada penderita dengan cedera multipel. Daerah servikal merupakan segmen vertebra yang sering terjadi cedera akibat kecelakaan kendaraan, khususnya mereka yang tidak memakai alat pengaman bahu dan sabuk pengaman.6 Level cedera yang paling sering adalah C4, C5 (tersering), dan C6, sedangkan level untuk paraplegi adalah thoracolumbar junction Paraparese merupakan hilangnya fungsi motorik kedua tungkai. Pada saat ini, istilah paraparese umumnya dipakai untuk semua keadaan kelemahan kedua tungkai, baik yang parsial maupun komplit . Paraparese dapat disebabkan oleh suatu infeksi, satu hingga dua segmen dari medulla spinalis dapat rusak sekaligus. Infeksi langsung dapat terjadi melallui emboli nseptik, luka terbuka dari tulang belakang, penjjalaran osteomyelitis, atau perluasan dari proses meningitis piogenik. Istilah myelitis tidak saja digunakan untuk proses peradangan pada medulla spinalis namun juga digunakan apabila lesinya menyerupai proses peradangan dan disebabkan oleh proses patologi yang mempunyai hubungan dengan infeksi, adanya tumor baik tumor ekstramedullar maupun intramedular serta trauma yang menyababkan cedera medulla spinalis. Penyakit medula spinalis dapat terjadi akibat berbagai macam proses patologi termasuk trauma. Tanpa memandang patogenesisnya, yang dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan pada fungsi motorik, sensorik atau otonom7.Defisit neurologis pada cedera spinal dapat terjadi karena memar (kontusio) atau kompresi (fraktur, dislokasi, luksasi, hematom) sehingga menyebabkan gangguan yang permanen; atau dapat juga hanya karena edema temporer (komosio) yang menimbulkan gangguan sementara dan kemudian pulih.

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi dan Fisiologi Tulang belakang atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang membentuk punggung yang mudah digerakkan. terdapat 33 tulang punggung pada manusia, 7 tulang cervical, 12 tulang thorax (thoraks atau dada), 5 tulang lumbal, 5 tulang sacral, dan 4 tulang membentuk tulang ekor (coccyx). Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri dari badan tulang atau corpus vertebrae, dan bagian posterior yang terdiri dari arcus vertebrae.

Gambar2.1 : Tulang belakang Medula spinalis mulai dari akhir medulla oblongata di foramen magnum sampai konus medullaris di level Tulang Belakang L1-L2. Medulla Spinalis berlanjut menjadi Kauda Equina (di Bokong) yang lebih tahan terhadap cedera. Medula spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteri yang mempunyai hubungan istemewa, yaitu arteri spinalis dan arteri radikularis. Arteri spinalis dibagi menjadi arteri spinalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri vertebralis, sedangkan arteri radikularis dibagi menjadi arteri radikularis posterior dan anterior yang dikenal juga ramus vertebromedularis arteria interkostalis. Medula Spinalis disuplai oleh arteri spinalis anterior dan arteri spinalis posterior. Nervus spinalis/akar nervus yang berasal dari medula spinalis melewati suatu lubang di vertebra yang disebut foramen dan membawa informasi dari medula spinalis sampai ke bagian tubuh dan dari tubuh ke otak.

2

Ada 31 pasang nervus spinalis dan dibagi dalam empat kelompok nervus spinalis, yaitu :

Gambar 2.2 Hubungan nervus spinalis dengan vertebra Susunan neuromuskular terdiri dari Upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN). Upper motor neurons (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik cerebrum sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak sampai cornu anterior medulla spinalis. Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalam susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari traktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Traktus kortikobulbar fungsinya untuk geraakangerakan otot kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal fungsinya untuk gerakan-gerakan otot tubuh dan anggota gerak. Sedangkan lower motor neuron (LMN), yang merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal dari cornu anterior medulla spinalis sampai ke efektor dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang.

Gambar 2.2 Hubungan UMN dan LMN

3

Dari otak medula spinalis turun ke bawah kira-kira ditengah punggung dan dilindungi oleh cairan jernih yaitu cairan serebrospinal. Medula spinalis terdiri dari berjuta-juta saraf yang mentransmisikan informasi elektrik dari dan ke ekstremitas, badan, oragan-organ tubuh dan kembali ke otak. Otak dan medula spinalis merupakan sistem saraf pusat dan yang mehubungkan sarafsaraf medula spinalis ke tubuh adalah sistem saraf perifer. Medula spinalis terdiri atas traktus ascenden (yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak seperti rangsang raba, suhu, nyeri dan gerak posisi) dan traktus descenden (yang membawa informasi dari otak ke anggota gerak dan mengontrol fungsi tubuh). Motorneuron dengan aksonnya merupakan satu-satunya saluran bagi impuls motorik yang dapat menggerakkan serabut otot. Bilamana terjadi kerusakan pada motorneuron, maka serabut otot yang tergabung dalam unit motoriknya tidak dapat berkontraksi, kendatipun impuls motorik masih dapat disampaikan oleh sistem pyramidal dan ekstrapiramidal kepada tujuannya. UMN dibagi menjadi 2 sistem, yaitu: 1. Sistem Piramidal Mulai dari sel-sel neuron di lapisan V koreks precentralis (area 4 Brodmann) Neuron-neuron tersebut tertata di daerah gyrus precentralis yang mengatur gerakan tubuh tertentu → penataan somatotropik. Serabut-serabut eferen berupa akson-akson neuron di girus precentralis turun ke neuronneuron yang menyusun inti saraf otak motorik, terbagi menjadi 2 : a. Di brain stem melalui traktus kortikobulbarisFungsi: gerakan otot-otot kepala serta leher b. Di kornu anterior medula spinalis melalui traktus kortikospinalismempersarafi sel-sel motorik batang otak secara bilateral, kecuali nervus VII dan XII Fungsi: menyalurkan impuls motorik untuk gerakan-gerakan tangkas otot-otot tubuh dan anggota gerak. Kelainan traktus piramidalis setinggi : a. Hemisfer : Hemiparese tipikal(gangguan ekstremitas sesisi dengan nervus cranialis dan kontralateral terhadap lesi). b. Batang otak : Hemiparesis alternans(gangguan ekstremitas kontralateral terhadap lesi dan nervus cranialisnya). c. Medulla spinalis : Tetra/Paraparese 2. Sistem Ekstrapiramidal Dimulai dari serebral korteks, basal ganglia, subkortikal nukleus secara tidak langsung ke spinal cord melalui multisynap conection. Intiinti yang menyusun ekstrapyramidal yaitu : 1. Korteks motorik tambahan (area 4s, 6, 8). 4

2. Ganglia basalis (Nucleus kaudatus, Putamen, Globus pallidus, substansia nigra), Korpus subtalamikum (Luysii), Nucleus ventrolateralis Talami. 3. Nucleus ruber & substansia retikularis batang otak. 4. Cerebellum, berfungsi untuk gerak otot dasar /gerak tonic, pembagian tonus secara harmonis, mengendalikan aktifitas piramidal. Gangguan pada ekstrapiramidal : Kekakuan, rigiditas, ataksia, tremor, balismus, khorea, atetose. LMN merupakan neuron-neuron yang menyalurkan impuls motoric pada bagian perjalanan terakhir (dari kornuanterior medulla spinalis) ke sel otot skeletal (final common pathway motoric impuls). B. Patologi Paraparese 1. Defenisi Paraparese merupakan hilangnya fungsi motorik kedua tungkai. Pada saat ini, istilah paraparese umumnya dipakai untuk semua keadaan kelemahan kedua tungkai, baik yang parsial maupun komplit (Satyanegara, 1998). 2. Etiologi Paraparese adalah suatu keadaan berupa kelemahan pada ekstremitas. Paraparesis bukan merupakan suatu penyakit yang berdiri sendiri, namun merupakan suatu gejala ,ang disebabkan adanya kelainan patologis pada medulla spinalis. Kelainan-kelainan pada medulla spinalis tersebut diantaranya adalah Multiple Sclerosis, suatu penyakit inflamasi dan demyelinisasi yang disebabkan oleh berbagai macam hal. Diantaranya adalah kelainan genetik, infeksi dari virus dan factor lingkungan. Selain itu, paraparesis juga dapat disebabkan oleh tumor yang menekan medulla spinalis, baik primer maupun skunder. Juga dapat disebabkan oleh kelainan vasculer pada pembuluh darah medulla spinalis, yang bisa berujung pada stroke medulla spinalis. Semua keadaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya paraparesis inferior, yang apabila tidak segera ditangani akan memperburuk keadaan penderita. Sehingga, diagnosis dan penanganan yang tepat pada kelainankelainan diatas diharapkan dapat membantu penderita paraparese untuk mewujudkan kondisi yang optimal.

5

3. Proses Patologi Gangguan Gerak dan Fungsi Lesi yang mendesak medulla spinalis sehingga merusak daerah jaras kortikospinalis lateral dapat menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot-otot bagian tubuh yang terletak di bawah tingkat lesi. Lesi transversal medulla spinalis pada tingkat servikal , misalnya C5 dapat mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot- otot thoraks dan abdomen serta seluruh otot-otot kedua ekstremitas. Akibat terputusnya lintasan somatosensoris dan lintasan autonomy neurovegetatif asendens dan desendens, maka dari tingkat lesi kebawah, penderita tidak dapat melakukan buang air besar dan kecil, serta tidak memperlihatkan reaksi neurovegetatif. Lesi transversal yang memotong medulla spinalis pada tingkat thorakal atau tingkat lumbal atas mengakibatkan kelumpuhan yang pada dasarnya serupa dengan lesi yang terjadi pada daerah servikal yaitu pada tingkat lesi terjadi gangguan motorik berupa kelumpuhan LMN pada otototot yang merupakan sebagian kecil dari otot-otot toraks dan abdomen, namun kelumpuhan yang terjadi tidak begitu jelas terlihat dikarenakan peranan dari otot-otot tersebut kkurang menonjol. Hal ini dikarenakan lesi dapat mengenia komu anterior medulla spinalis. Dan dibawah tingkat lesi dapat terjadi gangguan motorik berupa kelumpuhan UMN kkarena jaras kortikospinal lateral segmen torakal terputus. Gangguan fungsi sensorik dapat terjadi karena lesi yang mengenia kornu posterior medulla spinalis maka akan terjadi penurunan fungsi sensibilitas dibawah lesi. Sehingga penderita berkurang mersakan adanya sensai taktill, rangsang nyeri, rangsang thermal, rangsang discrim dan rangsag lokalis. Gangguan fungsi otonom dapat terjadi akibat terputusnya jaras asendesn spinothalamicus sehingga inkotinensia urin dan inkotinensia alvi. Tingkat lesi transversal di medulla spinlais mudah terungkap oleh batas deficit sensorik. Di bawah batas tersebut, tanda-tanda UMN dapat ditemukan pad kedua tungkai secara lengkap. Paraparese dapat disebabkan oleh suatu infeksi, satu hingga dua segmen dari medulla spinalis dapat rusak sekaligus. Infeksi langsung dapat terjadi melallui emboli nseptik, luka terbuka dari tulang belakang, penjjalaran osteomyelitis, atau perluasan dari proses meningitis piogenik. Istilah myelitis tidak saja digunakan untuk proses peradangan pada medulla spinalis namun juga digunakan apabila lesinya menyerupai proses peradangan dan disebabkan oleh proses patologi yang mempunyai hubungan dengan infeksi, adanya tumor baik tumor ekstramedullar

6

maupun intramedular serta trauma yang menyababkan cedera medulla spinalis. 4. Gambaran Klinis - Hipertonus - Hiperfleksi - Reflex patologis (+) - Klonus - Atrofi otot tidak ada - Reflex automatisme spinal C. Pendekatan Intervensi Fisioterapi 1. SWD SWD ( Shock Wave Diathemy ) adalah salah satu modalitas fisioterapi yang menggunakan arus bolak – balik dengan frekuensi tinggi untuk memperoleh pengaruh panas dalam jaringan lokal, merileksasikan otot, mengurangi nyeri, dan meningkatkan metabolisme sel – sel. SWD juga dapat mempercepat proses jaringan yang terlibat dalam respon inflamasi dan merangsang penyembuhan jaringan. Panas yang ditimbulkan akan berpengaruh terhadap jaringan ikat terutama otot, tendon, kapsul sendi, dan ligamen yang akan menyebabkan terjadinya penurunan viskositas matriks sehingga elastisitas juga meningkat. 2. TENS TENS ( Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation ) merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang bertujuan sebagai arus interferensi yang dapat merangsang serabut saraf berdiameter besar sehingga dapat merangsang sistem saraf dari berbagai tipe nyeri sehingga dapat mengurangi nyeri dan melancarkan sirkulasi darah. 3. Exercise Therapy Exercise therapy adalah salah satu usaha dalam pengobatan fisioterapi yang di dalam pelaksanaannya menggunakan latihan – latihan gerak, baik secara aktif maupun pasif sehingga dapat mencegah gangguan fungsi, mengembangkan, memperbaiki, memelihara, dan mengembalikan kekuatan otot, stabilitas, rileksasi, koordinasi, dan kemampuan fungsional. 4. Breathing exercise Breathing excersise merupakan latihan yang bertujuan untuk memberikan latihan pernafasan. Latihan ini menekankan pada inspirasi maksimal yang panjang yang dimulai dari akhir ekspirasi dengan tujuan untuk meningkatkan volume paru, meningkatkan redistribusi ventilasi, mempertahankan alveolus agar tetap mengembang, meningkatkan oksigenasi, membantu membersihkan sekresi mukosa, mobilitas sangkar

7

thoraks, dan meningkatkan kekuatan daya tahan serta efisiensi dari otot – otot pernapasan. 5. Strengthening Strengthening adalah latihan penguatan otot yang dilakukan untuk membantu pasien meningkatkan kekuatan, ketahanan, dan menjaga lingkup gerak sendinya.

8

BAB III PROSES FISIOTERAPI

A. Laporan Status Klinik Tanggal Masuk

: 25 Maret 2019

B. Data – Data Medis Diagnosa Medis

: Suspek Epilepsi

Ruang

: Kamar 1 Sub Organik Wanita

C. Identitas Umum Pasien Nama

: Nn. Nu

Umur

: 16 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Pelajar

Alamat

: Makassar

D. Anamnesis Khusus Keluhan utama

: Kejang dan lemas pada tubuh

Lokasi keluhan

: ekstremitas bawah

Riwayat perjelanan penyakit : Pada tanggal 25 Maret 2019 pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan kejang, badan lemas pada tubuh. Riwayat kejang pertama terjadi pada usia 10 tahun. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien di diagnosa mengalami epilepsi

kemudian

diberi

obat

berupa

phonytoin dan phenobabital. Namun setelah 2 tahun obat tersebut habis dikonsumsi, riwayat kejang kembali muncul dengan bentuk pasien tampak bengong, dan mulut 9

bergerak – gerak. Awal perubahan perilaku ± 3 bulan yang lalu saat pasien berada di sekolah

dan

mengeluh

sakit

kepala,

mengamuk, gelisah, mondar – mandir, penglihatan ganda, dan kelemahan anggota gerak atau tetraparase motor neuron suspect akibat multiple scelorosis.

E. Pemeriksaan Vital Sign Tekanan darah

: 100 / 70 mmHg

Denyut Nadi

: 84x / menit

Pernafasan

: 20x / menit

Suhu

: 37,2oC

F. Inspeksi/Observasi 1.

Statis : a. Mimik wajah pasien terlihat cemas dan gelisah b. Pasien terlihat seperti ketakutan dan pemalu c. Adanya atropi otot pada tungkai

2.

Dinamis : a.

Pada saat berjalan pasien terlihat lunglai dan lemas

b.

Terjadi gerakan fleksi pada tungkai bawah

c.

Adanya kelemahan otot saat menggerakkan tungkai

d.

Terlihat tidak seimbang

G. Pemeriksaan Fungsi Dasar 1. Pemeriksaan Gerak Aktif a.

Regio hip

: Fleksi, ekstensi, abduksi, dan adduksi.

b.

Regio knee

: Fleksi, ekstensi, endorotasi, dan eksortasi.

2. Pemeriksaan Gerak Pasif a. Regio hip

: Fleksi, ekstensi, abduksi, dan adduksi.

b. Regio knee

: Fleksi, ekstensi, endorotasi, dan eksortasi. 10

3. TIMT a. Regio hip

: Fleksi, ekstensi, abduksi, dan adduksi.

b. Regio knee

: Fleksi, ekstensi, endorotasi, dan eksortasi.

H. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran Fisioterapi 1. Tes Sensorik a.

Tes tajam tumpul

: Normal

b.

Tes rasa raba

: Normal

c.

Tes koordinasi gerak : Terganggu

2. Tes koordinasi dan keseimbangan Hasil

: Terganggu

3. Pemeriksaan kognitif Hasil

: Terganggu

4. Tes Refleks a. Refleks biceps

: Nornal

b. Refleks tricpes

: Normal

c. Refleks patella

: Hipoaktif

d. Refleks achilles

: Hipoaktif

5. Tes Kekuatan Otot ( Manual Muscle Testing) a. Tungkai kanan

:3

b. Tungkai kiri

:3

11

I. Algoritma assessment fisioterapi

History Taking : Pada tanggal 25 Maret 2019 pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan kejang, badan lemas atau kelojotan pada tubuh. Riwayat kejang pertama terjadi pada usia 10 tahun. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien di diagnosa mengalami epilepsi kemudian diberi obat berupa phonytoin dan phenobabital. Namun setelah 2 tahun obat tersebut habis dikonsumsi, riwayat kejang kembali muncul dengan bentuk pasien tampak bengong, dan mulut bergerak – gerak. Awal perubahan perilaku ± 3 bulan yang lalu saat pasien berada di sekolah dan mengeluh sakit kepala, mengamuk, gelisah, mondar – mandir, penglihatan ganda, dan kelemahan anggota gerak atau tetraparase motor neuron suspect akibat multiple scelorosis. Inspeksi : 1. Statis -Mimik wajah pasien terlihat cemas dan gelisah -Pasien terlihat seperti ketakutan dan pemalu -Adanya atropi otot pada tungkai 2. dinamis -Pada saat berjalan pasien terlihat lunglai dan lemas -Terjadi gerakan fleksi pada tungkai bawah -Adanya kelemahan otot saat menggerakkan tungkai -Terlihat tidak seimbang

Pemeriksaan Fisik Vital sign TD : 100/70 mmHg N : 84/menit P : 20/menit S : 37,2 oC

Tes koordinasi : terganggu

pemeriksaan kognitif : terganggu

Tes Refleks - Patella : Hipoaktif -Achilles : Hipoaktif

Tes Sensorik : koordinasi gerak terganggu

Diagnosa : Gangguan aktifitas fungsional ekstremitas inferior et causa paraparese

12

tes MMT 3/3

J. Diagnosa Fisioterapi “Gangguan Aktifitas fungsioonal ekstremitas inferior et causa paraparese” K. Problematik Fisioterapi

PROBLEMATIK FISIOTERAPI Anatomical / Functional Activity Limitation Impairment 1. Kesulitan berjalan 1. Gangguan keseimbagan dengan jarak yang jauh 2. penurunan kekuatan otot 2. Belum bisa bagian ekstremitas inferior memposisikan duduk ke berdiri karena kelemahan pada kedua tungkai

Participation Retriction Adanya hambatan melakukan aktivitas sosial antara pasien dengan masyarakat.

L. Tujuan Fisioterapi 1. Tujuan jangka pendek 

Melatih keseimbangan



Meningkatkan kekuatan otot bagian ekstremitas inferior

2. Tujuan jangka panjang



Memperbaiki kemampuan fungsional pasien yang berhubungan dengan kegiatan berjalan dan memposisikan duduk ke berdiri.

M. Program Intervensi Fisioterapi 1. Infra Red -

Tujuan

: untuk memperlancar aliran darah, menurunkan

ketegangan otot dan mengurangi nyeri -

Persiapan Alat Terapis mempersiapkan IR, pengecekan alat. Terapis mengecek kabel tidak boleh bersilangan juga mengecek apakah alat dapat dipakai atau tidak dengan menggunakan lampu detector.

-

Persiapan Pasien

13

Sebelum dilakukan terapi dengan IR pasien diberi penjelasan tujuan terapi dan kontraindikasinya. Dijelaskan juga bahwa panas yang dirasakan walaupun hanya sedikit namun tetap menimbulkan reaksi di dalam jaringan. Lakukan tes panas dingin pada daerah yang akan diterapi untuk memastikan ada tidaknya gangguan sensibilitas. Pakaian didaerah yang akan diterapi (bokong) harus dilepaskan. Posisi pasien tengkurap. -

Pelaksanaan terapi Setelah persiapan alat dan pasien selesai, daerah yang akan diterapi bebas dari kain dan lampu IR sejajar pada lumbal, alat di ON kan dengan waktu 15 menit, jarak lampu dengan daerah yang diterapi 45 cm, kemudian dicek dengan menanyakan langsung kepada pasien apakah sudah mulai hangat, kabel tidak boleh bersilangan dan bersentuhan dengan pasien. Selama terapi harus dikontrol rasa panas dari pasien, apabila terlalu panas jaraknya bisa ditambah, dan ditanyakan apakah rasa nyeri meningkat / bertambah. Setelah selesai terapi matikan alat dan mengontrol keadaan pasien.  Dosis :

F : 3 kali/minggu I

: 45 cm

T : luminos T : 15 menit 2. Active Resisted Exercise -

Tujuan

: Untuk meningkatkan kekuatan otot

-

Posisi pasien

: pasien dalam keadaan terlentang

-

Posisi fisioterapi : beridiri di samping bed pasien

-

Tenik

: Pasien diminta menggerakkan tungkai bawah

secara perlahan ke segala arah sampai batas toleransi nyeri yang dirasakan pasien. Terapis memberikan tahanan minimal dengan arah yang berlawanan.

14

-

Dosis F : setiap hari I

: toleransi pasien

T : kontak langsung dengan pasien T : 8 kali repetis

-

-

3. William flexion exercise Tujuan : mengurangi nyeri, dan memberikan stabilitas otot Posisi pasien : Terlentang, kedua lutut menekuk dan kedua kaki rata pada permukaan matras. Posisi fisioterapis : berdiri di samping pasien Teknik : Pasian diminta meiatakan pinggang dengan menekan pinggang ke bawah melawan matras dengan mengkontraksikan otot perut dan otot pantat Dosis F : setiap hari I : toleransi pasien T : active exercise T : 10 kali repetisi

-

4. Breathing exercise Tujuan : memelihara, menjaga dan meningkatkan fungsi respirasi

-

Posisi pasien : duduk di atas bed

-

Posisi Fisioterapi : berdiri di samping pasien,

-

Teknik pelaksanaan : Minta

pasien

untuk

menarik

napas

melalui

hidung

menghembuskan melalui mulut -

Dosis : F : setiap hari I : toleransi pasien T : kontak langsung T : 4x repetisi

-

5. Stretching Tujuan Posisi pasien

: mencegah kontraktur sekaligus koreksi posture : tidur terlentang 15

dan

-

-

Posisi fisioterapis : berdiri di samping bed Teknik : Pasien tidur terlentang kemudian fisioterapis menggerakkan kedua tungkai bergantian secara pasif disetiap persendian ke segala arah dan ditambah dengan penguluran. Dosis : F : setiap hari I : penguluran max T : passif streaching T : 8x hitungan

N. Evaluasi a. Evaluasi Sesaat Kekuatan otot tungkai dan kemampuan fungsi motorik lebih baik. b. Evaluasi Berkala Terapi secara berkala dilakukan untuk meningkatkan kekuatan otot dengan menggunakan manual muscle testing, meningkatkan luas gerak sendi, dan memperbaiki kemampuan fungsional terutama fungsi motorik agar lebih maksimal.

16

BAB IV PENUTUP Paraparese merupakan hilangnya fungsi motorik kedua tungkai. Pada saat ini, istilah paraparese umumnya dipakai untuk semua keadaan kelemahan kedua tungkai, baik yang parsial maupun komplit (Satyanegara, 1998). Penyebab dari paraparese

kebanyakan

karena

kompresi

yang

hebat

sehingga

dapat

menghancurkan korpus vertebra yang menyebabkan kegagalan pada kolum vertebralis anterior dan pertengahan dalam mempertahankan posisinya. Bagian posterior korpus vertebra hancur sehingga fragmen tulang dan diskus dapat bergeser ke kanalis spinalis. Jika vertebra berkurang lebih dari 50%, gaya mekanik pada bagian depan korpus vertebra akan menyebabkan terjadinya kolaps yang akhirnya dapat mengganggu fungsi neurologik (Apley, 1995). Adapun tujuan intervensi yang dapat diberikan infra red, active resisted exercise, streatching, breathing exercise, dan William flexion.

17

DAFTAR PUSTAKA https://docplayer.info/72898501-Paraparese-inferior-lesi-umn.html https://www.slideshare.net/homeworkping4/200894661-caseyosua http://eprints.ums.ac.id/36344/1/NASKAH%20PUBLIKASI%20KARYA%20TU LIS%20ILMIAH.pdf http://eprints.ums.ac.id/21911/13/NASKAH_PUBLIKASI.pdf http://eprints.ums.ac.id/26846/12/Naskah_Publikasi.pdf http://sulfandyphysio.blogspot.com/2012/04/penatalaksanaan-fisioterapipada.html

18

Related Documents

Sampul Lapsus Pakis Fix.docx
November 2019 16
Tugas Pkn Individu Fixdocx
October 2019 113
Lapsus Depresi.docx
December 2019 38
Lapsus Snhl.docx
November 2019 33

More Documents from "BanyDiarra"