Lapsus Jantung.docx

  • Uploaded by: Inggit Batur Primadani
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapsus Jantung.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,832
  • Pages: 42
LAPORAN KASUS ACS

Disusun oleh : Ichtiyaumullail

1810221046

Pembimbing: dr. Rima Sagita, Sp.JP

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA PERIODE 4 MARET 2019 – 11 MEI 2019

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu

Oleh : Ichtiyaumullail

Jakarta,

1810221046

Maret 2019

Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Pembimbing,

(dr. Rima Sagita, Sp.JP) ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Ny.A 52 tahun dengan post syncope, electrolyte imbalance, elevated liver enzym, hipoalbuminemia, pneumonia ortostatik, CVD stroke infark, dan CHF e.c CAD” ini. Adapun referat ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Penyusunan laporan ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang turut membantu terselesaikannya laporan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Khaerulsyah Nasution, Sp.PD selaku pembimbing dan seluruh teman kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam atas kerjasamanya selama penyusunan laporan ini. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna perbaikan yang lebih baik. Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Jakarta,

Januari 2019

Penulis

iii

BAB I PENDAHULUAN

Elektrolit merupakan molekul ionisasi yang ditemukan dalam darah, jaringan, dan sel-sel tubuh. Molekul ini, baik yang bermuatan positif (kation) dan negatif (anion), mengkonduksi aliran listrik serta membantu keseimbangan pH dan nilai asam basa dalam tubuh. Keseimbangan elektrolit sangat penting, karena total konsentrasi elektrolit akan mempengaruhi keseimbangan cairan dan konsentrasi elektrolit berpengaruh

pada

fungsi

sel.

Elektrolit

berperan

dalam

mempertahankan

keseimbangan cairan, regulasi asam basa, memfasilitasi reaksi enzim dan transmisi reaksi neuromuskular.1 Terdapat beberapa elektrolit seperti natrium, kalium, kalsium, magnesium,dan klorida yang secara normal terdapat dalam tubuh. Elektrolit tersebut yang juga dikenal sebagai garam tubuh, diperlukan dalam jumlah tertentu di dalam tubuh. Namun, terkadang kadar elektrolit dapat meningkat atau menurun dalam keadaan tertentu dan hal ini yang dikenal sebagai gangguan elektrolit.1 Gangguan elektrolit merupakan ketidakseimbangan antara garam ionisasi tertentu (seperti, natrium, kalium, kalsium, dan magnesium) dalam darah. Obatobatan, penyakit kronik, dan trauma (seperti luka bakar dan fraktur) dapat menyebabkan konsentrasi elektrolit tertentu dalam tubuh menjadi terlalu tinggi (hiper-) atau terlalu rendah (hipo). Jika hal ini terjadi, dapat menghasilkan ketidakseimbangan atau gangguan elektrolit. Gangguan cairan dan elektrolit dapat membawa pasien dalam kegawatanyang kalau tidak dikelola dengan cepat dan tepat dapat menimbulkan kematian. Usaha pemulihan kembali volume serta komposisi cairan dan elektrolit tubuh dalam kondisi yang normal disebut resusitasi cairan dan elektrolit.2

BAB II STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien

II.

Nama

:

Ny. AYL

Jenis Kelamin

:

Perempuan

Usia

:

52 tahun

Agama

:

Islam

Pendidikan Terakhir

:

S1

Pekerjaan

:

Guru

Status Pernikahan

:

Menikah

Tanggal Masuk RS

:

31 Desember 2018

Tanggal Periksa

:

2 Januari 2019

Ruang Rawat

:

Almanda 1

Pembiayaan

:

BPJS

Anamnesis Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis di Bangsal Almanda 1 RSUD Pasar

Minggu pada 1 Januari 2019 pukul 10:50 WIB a. Keluhan Utama Pingsan saat akan kontrol ke Poli Jantung RSUD Pasar Minggu b. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Minggu dengan pingsan saat akan kontrol ke Poli Jantung RSUD Pasar Minggu. Pasien pingsan saat duduk menunggu dan merasakan sesak, lemas, dan mual. Pingsan baru pertama kali terjadi. Sesak dirasakan sejak 2 hari SMRS, sifat hilang timbul. Sesak nafas dirasakan seperti terengah-engah. Pasien biasa tidur dengan 2 hingga 3 bantal, sering terbangun saat malam hari karena sesak, dan pasien tidak dapat berjalan. Nyeri dada disangkal oleh pasien dan sebelumnya pasien tidak pernah mengeluh nyeri dada. Selain itu, kaki pasien bengkak sejak 1 minggu SMRS. Batuk kering sejak 1 minggu SMRS, batuk darah disangkal.. Pasien menyangkal sebelum pingsan mengompol, batuk maupun bersin. Pasien menyangkal pula mengkonsumsi obat antidepresan, mengalami muntah

profuse, diare kronik, dan kelainan tekanan darah rendah disertai penyakit gula, ginjal serta kerusakan tulang belakang. Pasien tidak memiliki kepribadian mudah cemas dan riwayat epilepsi. Namun pasien mengakui memiliki riawayat penyakit jantung koroner. Selain itu pasien mengakui memiliki penyakit stroke tanpa didahului sakit kepala tiba-tiba. Pasien sudah tidak mau makan sejak 3 bulan SMRS, karena setiap masuk makanan muntah. Muntah isinya air dan tidak pernah muntah darah. Keluhan nyeri perut, tenggorkan terasa terbakar, dan perut terasa membesar disangkal. Pasien menyangkal tidak memiliki penyakit paru dan batuk kronik maupun berdarah. Keluarga pasien mengaku pasien sudah 4 kali masuk rumah sakit. Saat masuk rumah sakit pertama kalinya hingga ketiga kalinya, pasien mengeluh nyeri ulu hati, mual, dan muntah, serta tidak mau makan. Saat keempat kalinya pasien dirawat di RS GPI pada bulan November 2018 di RS GPI dikatakan bahwa pasien terkana stroke dengan hasil CT Scan stroke iskemik. Saat itu, keluhan mulut mencong ke kiri, lidah ke kanan, dan bicara pelo, dan lemah anggota tubuh sebelah kiri. Riwayat trauma sebelum lemah anggota tubuh kiri disangkal. Saat ini, keluhan mulut mencong tidak dapat dinilai, bicara pelo, serta lemah anggota tubuh sebelah kiri. Pasien sudah 1 bulan tidak dapat bangun dan berjalan. Makan dan minum pasien berkurang. Pasien menyangkal terdapat muntah–muntah atau diare yang lama. Saat ini keluhan kesemutan, kram otot, dan kelemahan otot diakui. BAK dan BAB dalam batas normal.

c. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat penyakit jantung

: diakui, yaitu penyakit jantung coroner

Riwayat stroke

: diakui, yaitu stroke

Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat asma

: disangkal

Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

Riwayat penyakit paru

: disangkal

Riwayat penyakit liver

: disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat hipertensi

: diakui

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat asma

: disangkal

Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

Riwayat penyakit jantung

: disangkal

Riwayat penyakit liver

: disangkal

Riwayat stroke

: disangkal

e. Riwayat Pengobatan •

Kontrol ke poli Saraf RSUD PM (1/12/2018) dengan CVD stroke iskemik mendapat asam folat 1x1 mg, citicoline 1x500 mg, vitamin B kompleks 2x1 tab, kapcam (paracetamol 500 mg, ibu profen 200 mg, amitriptylin 25 mg, diazepam 2 mg) 3x1 caps



Kontrol ke poli Jantung RSUD PM (29/11/2018)dengan CAD

mendapat

miniaspi 1x80 mg, simvastatin 1x20 mg, ramipril 1x2,5 mg, dan spironolakton 1x25 mg

f. Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan Pasien tinggal bersama suami dan satu anaknya. Riwayat minum alkohol, dan merokok, disangkal. Pasien sehari-hari tidak mau makan dan jika dipaksakan makan hanya 2 hingga 3 suap bubur lalu muntah. Ekonomi pasien cukup, anak dan suaminya bekerja. III. Pemeriksaan Fisik Status Generalis Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: GCS E3VxM5

Tanda Vital Tekanan darah Laju nadi

: 110/70 mmHg : 111x/menit, lemah, reguler

Laju pernapasan

: 29x/menit

Suhu

: 37,3oC

SaO2

: 95% dengan NRM 10 lpm

Status Antropometri BB

: 50 kg

TB

: 159 cm

IMT

: 19,77 kg/m2

1. Pemeriksaan kepala Bentuk kepala

: Simetris, mesocephal

Rambut

: Distribusi rambut merata, warna hitam

2. Pemeriksaan mata a. Konjungtiva

: Anemis (+/+)

b. Sklera

: Ikterik (-/-)

c. Palpebra

: Oedem (-/-)

d. Refleks cahaya

: Langsung (+/+), tidak langsung (+/+), pupil isokor 3mm/3mm

3. Pemeriksaan telinga a. Simetris

: (+)

b. Kelainan bentuk

: (-)

c. Discharge

: (-)

4. Pemeriksaan hidung a. Discharge

: (-)

b. Napas cuping hidung : (-) 5. Pemeriksaan mulut a. Bibir

: sianosis (-), pucat (+), mukosa kering

b. Lidah

: sianosis (-)

6. Pemeriksaan leher Tidak ada deviasi trakea, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan KGB, JVP 5+2 mmHg 7. Pemeriksaan thoraks Pulmo Inspeksi : simetris kanan kiri, retraksi (-), ketinggalan gerak (-) Palpasi : vocal fremitus tidak dapat dinilai

Perkusi : sonor di kedua lapang paru, batas paru hepar di SIC V LMCD Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), RBK +/+, RBH +/+, wheezing -/Jantung Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V LMCS Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V LMCS, kuat angkat Perkusi : Batas atas kanan

: SIC II LPSS

Batas atas kiri

: SIC II LMCS

Batas bawah kanan

: SIC V LPSD

Batas bawah kiri

: SIC V LMCS

Auskultasi : S1>S2, regular, murmur (-), gallop (-) 8. Pemeriksaan abdomen Inspeksi : datar, jaringan parut (-), spider navy (-) Auskultasi : bising usus Perkusi : timpani, undulasi (-), shifting dullness (-) Palpasi : supel, nyeri tekan (-) Hepar : tidak teraba Lien

: tidak teraba

9. Pemeriksaan ekstremitas Superior : Edema (-/-), akral dingin (+/+), sianosis (-/-), ikterik (-/-) Inferior : Edema pitting (+/+), akral dingin (+/+), sianosis (-/-), ikterik (-/-) 10. Pemeriksaan neurologis Tanda rangsang meningeal : Laseq >70/>70

Kaku kuduk (-) Kerniq

>135/>135 Status motorik : Status Motorik

Superior

Inferior

B/B

B/B

Tidakdapat dinilai

Tidakdapat dinilai

Tonus

N/N

N/N

Trofi

Eu/Eu

Eu/Eu

-/-

-/-

Gerak Kekuatan Motorik

Klonus

Refleks fisiologis

Biceps +/+ Triceps +/+

Patella +/+ Achilles +/+

Refleks patologis

Hoffman Tromner -/-

Babinsky -/-

Status sensorik : Tidak dapat dinilai Otonom: Retensio uri (-), retensio alvi (-)

IV. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium 31 Desember 2018 Parameter Nilai Satuan

Nilai normal

Darah rutin Hb

11.4 (↓)

mg/dL

11.7─15.5

Ht

33 (↓)

%

35─47

11.9 (↑)

103/μL

3.6─11.0

Trombosit

197

103/μL

150─440

Eritrosit

3.87

106/μL

3.80─5.20

SGOT

149 (↑)

U/L

<35

SGPT

40 (↑)

U/L

<35

106

mg/dL

70─180

37

mg/dL

<48

0.95

mg/dL

0.6

Natrium

126 (↓)

mEq/L

135─147

Kalium

3.00 (↓)

mEq/L

3.50─5.00

Klorida

89 (↓)

mEq/L

95─105

Leukosit

Fungsi hati

Diabetes GDS Fungsi ginjal Ureum Kreatinin Elektrolit

EKG 31 Desember 2018

Interpretasi EKG: Sinus rhythm HR: 75, regular Axis: + di Lead I, + di AVF  normoaksis Gelombang P 0,04 detik dan 0,1 mV Interval PR 0,12―0,16 detik QRS duration 0,04―0,08 detik ST segmen tidak ada elevasi T inverted di V3―V5 Jumlah R di lead I dan V6 >35 mm  Left ventrikel hypertrophy Foto Thorax 31 Desember 2018

Thorax AP

− Cor membesar ke lateral kiri dengan apeks yang tertanam pada diafragma, pinggang jantung normal − Sinuses dan difragma normal (+) − Pulmo: Hilus normal Corakan bronkovaskular meningkat hingga ke apeks Tampak perbercakan di paracardial kanan dan kiri Kranialisasi (-) Kesan: Kardiomegali dengan bendungan paru, bronkopneumonia

Head CT Scan 31 Desember 2018

Kesan: Infark di substansia alba periventrikuler lateralis kiri Sinusitis maksilaris kiri

V.

VI.

Diagnosis Kerja •

Post Syncope



Electrolyte Imbalance (Hiponatremia, Hipokalemia)



Elevated liver enzym



CVD stroke infark



CHF ec CAD



Pneumonia ortostatik

Tatalaksana

Tatalaksana Farmakologi Terapi saat di IGD − O2 10 lpm NRM

− Challenge NS 200 cc  nadi kuat − Drip Lasix 3 mg/jam Terapi rawat inap − O2 8 lpm NRM − IVFD NaCl 3% 500 cc/24 jam − Inj. Ranitidin 2x1 amp iv − Inj. Ondansentron 3x1 amp iv − KSR 3x1 tab per NGT − Curcuma 3x1 tab per NGT − Obat rutin jantung lanjut  miniaspi 1x80 mg, simvastatin 1x20 mg, ramipril 1x2,5 mg, dan spironolakton 1x25 mg − Obat rutin neuro lanjut  asam folat 1x1 mg, citicoline 1x500 mg, vitamin B kompleks 2x1 tab, kapcam 3x1 caps − NGT − DC-UT

VII.

Prognosis



Quo ad vitam

: dubia ad malam



Quo ad functionam

: dubia ad malam



Quo ad sanationam

: dubia ad malam

VIII. Follow Up 1 Januari 2019 kontak (+), sesak (-), muntah (-) saat diajak bicara, respon jawabnya lama S dan bicara terputus-putus tidak jelas

O

Tanda vital TD: 140/90 mmHg HR: 74x/menit, reguler, kuat angkat RR: 24x/menit T: 36.2oC SaO2: 97% dengan SM 6 lpm Status generalis: Mata: CA +/+, SI -/Pulmo: SD Vesikuler +/+, RBK +/+, rales +/+, Wh-/Cor: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-) Abdomen: datar, supel, nyeri tekan (-), tympani sekuruh lapang abdomen Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, pitting edema tungkai +/+ Lab tanggal 1/9/19 (AGD) pH 7.52 (↑) pCO2 27.6 (↓) pO2 208.9 (↑) HCO3 22.9 SO2 99.8% BE 1.9 TCO2 23.8 Suhu 37.1 Kesan: Alkalosis respiratorik

A

• Post sinkop • Electrolyte Imbalance (Hiponatremia, Hipokalemia) • Elevated liver enzym • CVD stroke infark • CHF ec CAD • Pneumonia ortostatik

P

• IVFD NaCl 3% 500 cc/24 jam • Inj. Ranitidin 2x1 amp iv • Inj. Ondansentron 3x1 amp iv • KSR 3x1 tab per NGT • Curcuma 3x1 tab per NGT • Obat rutin jantung lanjut  miniaspi 1x80 mg, simvastatin 1x20 mg, ramipril 1x2,5 mg, dan spironolakton 1x25 mg • Obat rutin neuro lanjut  asam folat 1x1 mg, citicoline 1x500 mg, vitamin B kompleks 2x1 tab, kapcam 3x1 caps

2 Januari 2019 kontak (+), sesak (-), muntah (-) S saat diajak bicara tidak menjawab dan hanya melihat pemeriksa O

Status generalis: TD: 100/70 mmHg HR: 88x/menit RR: 20 x/menit T: 36.4oC SaO2: 97% dengan SM 6 lpm Status generalis: Mata: CA +/+, SI -/Pulmo: SD Vesikuler +/+, RBK +/+, rales +/+, Wh-/Cor: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-) Abdomen: datar, supel, nyeri tekan (-), tympani seluruh lapang abdomen Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, pitting edema tungkai +/+ Lab tanggal 2/9/19 Elektrolit: Na / K/ Cl  129 (↓) / 3.2 / 96 Albumin: 1.59 (↓) Ur/ Cr: 37/ 0.95

A

• Post sinkop • Electrolyte Imbalance (Hiponatremia, Hipokalemia) • Elevated liver enzym • CVD stroke infark • CHF ec CAD • Pneumonia ortostatik • Hipoalbuminemia

P

• IVFD NaCl 3% 500 cc/24 jam • Inj. Ranitidin 2x1 amp iv • Inj. Ondansentron 3x1 amp iv • KSR 3x1 tab per NGT • Curcuma 3x1 tab per NGT • Inj. Lasix 2x1 amp iv • Obat rutin jantung lanjut  miniaspi 1x80 mg, simvastatin 1x20 mg, ramipril 1x2,5 mg, dan spironolakton 1x25 mg • Obat rutin neuro lanjut  asam folat 1x1 mg, citicoline 1x500 mg, vitamin B kompleks 2x1 tab, kapcam 3x1 caps • Transfusi albumin 1 botol

3 Januari 2019 kontak (+) S saat diajak bicara, respon jawabnya lama dan bicara pelo O

TD: 100/70 HR: 88x/menit RR: 20 x/menit

T: 36.4 x/menit SaO2: 98% dengan SM 6 lpm Status generalis: Mata: CA +/+, SI -/Pulmo: SD Vesikuler +/+, RBK +/+, rales +/+, Wh-/Cor: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-) Abdomen: datar, supel, nyeri tekan 9-), tympani seluruh lapang abdomen Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, pitting edema tungkai -/Lab tanggal 3/9/19 Albumin: 1.89 (↓) Urinalisa: Makroskopis: warna kuning tua, keruh Mikroskopis: eritrosit 15-20 LPB, leukosit 30-40 LPB, bakteri (+), ragi hifa 2+, spora, pH 5 (↓), leukosit esterase 3+, blood 3+ A

• Post sinkop • Electrolyte Imbalance (Hiponatremia, Hipokalemia) • Elevated liver enzyme • CVD stroke infark • CHF ec CAD • Pneumonia ortostatik • Hipoalbuminemia

P

• IVFD NaCl 3% 500 cc/24 jam • Inj. Ranitidin 2x1 amp iv • Inj. Ondansentron 3x1 amp iv • KSR 3x1 tab per NGT • Curcuma 3x1 tab per NGT • Obat rutin jantung lanjut  miniaspi 1x80 mg, simvastatin 1x20 mg, ramipril 1x2,5 mg, dan spironolakton 1x25 mg • Obat rutin neuro lanjut  asam folat 1x1 mg, citicoline 1x500 mg, vitamin B kompleks 2x1 tab, kapcam 3x1 caps

4 Januari 2019 Pasien mengalami penurunan kesadaran dan sesak S O

GCS: E1V1M1 TD: 50/20 mmHg on vascon 0,5 mcg/kgbb/menit dan dobutamin 15 mcg/kgbb/menit HR: 112x/menit RR: 20x/menit T: 36.4oC SaO2: 98% dengan NRM 10 lpm Status generalis: Mata: CA +/+, SI -/-, RC +/+, pupil isokor 4mm/4mm Mulut: Mukosa bibir kering, sianosis (-) Leher: JVP 5+2 mmHg Paru: SD Vesikuler menurun +/+, RBK +/+, rales +/+, Wh-/Cor: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-) Abdomen: datar, supel, nyeri tekan 9-), tympani seluruh lapang abdomen Ekstremitas: akral dingin, CRT >2 detik, edema tungkai -/- Lab 4/1/2019: Elektrolit: Na/ K/ Cl 129 (↓) / 3.2 (↓) / 96 Albumin 1,79 (↓) AGD dengan NRM 15 lpm pH 7.31 (↓) pCO2 36.3 (↓) pO2 147.8 (↑) HCO3 18.3 SO2 99.1% BE -6.7

TCO2 19.4 Suhu 36.9

A

• Post sinkop • Hipokalemia (2.8)CHF ec CAD • Hipoalbuminemia • Pneumonia ortostatik • CVD stroke infark • CHF ec CAD

P

• IVFD NaCl 3% 500 cc/24 jam • Inj. Ranitidin 2x1 amp iv • Inj. Ondansentron 3x1 amp iv • KSR 3x1 tab per NGT • Curcuma 3x1 tab per NGT • Obat rutin jantung lanjut  miniaspi 1x80 mg, simvastatin 1x20 mg, ramipril 1x2,5 mg tunda, dan spironolakton 1x25 mg • Obat rutin neuro lanjut  asam folat 1x1 mg, citicoline 1x500 mg, vitamin B kompleks 2x1 tab, kapcam 3x1 caps

4 Januari 2019 Pasien mengalami penurunan kesadaran, tekanan darah semakin turun, S sudah dengan support dobutamin dan raivas. Pukul 18.51 pasien mengalami henti jantung dan meninggal dunia.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

III.1

Keseimbangan Elektrolit Rerata total cairan pada tubuh individu dewasa sebanyak 60% dari total berat

badan, meskipun lebih rendah pada individu dengan obesitas karena jaringan lemak

memiliki lebih sedikit air dari pada jaringan lain.2 Adapun pembagian cairan pada tubuh seperti pada gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Kompartemen Cairan Tubuh dengan Perkiraan Konsentrasi Elektrolit Sumber: Lobo & Lewington, 2013

Kedua bagian dipisahkan oleh sel membran dengan sistem pompa Na aktif, sehingga elektrolit Na lebih banyak di luar sel (ECF). Pada sel (ICF) lebih banyak anion seperti protein, glikogen yang tidak dapat keluar dengan electrical neutrality (GibbsDonnan equilibrium). Mekanisme ini memastikan bahwa Na, Cl dan HCO3 menjaga osmolalitas ECF dan K pada ICF.2 ECF terbagi menjadi intravaskular dan interstitial (ekstravaskular). Pada intravaskular (volume darah 5―7% total berat badan) memiliki komponen RBC (Ht 40―45% total BB) dan WBC serta plasma (55―60% total BB). Antara intravaskular dengan ekstravaskular dipisahkan oleh membran kapiler dengan mikrospora sehingga albumin hanya dapat keluar sebanyak 5%/hari yang kemudian kembali ke sirkulasi melalui saluran limfatik dengan jumlah yang sama untuk menjada keseimbangan. Adapun tekanan hidrostatik sebagai pendorong cairan keluar dan tekanan onkotik (plasma protein seperti albumin) sebagai penjaga cairan tetap di dalam untuk menjaga keseimbangan (Starling Effect). Cairan eksternal dan keseimbangan elektrolit antara tubuh dengan lingkungan didefinisikan sebagai asupan cairan dan elektrolit dengan keluaran dari renal, GIT, kulit, dan paru (termasuk insensible loss).2

III.1.1

Keseimbangan Eksternal

Gambar 2 di bawah ini menunjukan nilai normal asupan sehari-hari dengan keluaran cairan dan elektrolit.

Gambar 2. Perkiraan Keseimbangan Cairan Harian Sumber: Lobo & Lewington, 2013

a. Intake Pada keadaan normal sumber asupan cairan melalui makan, tetapi hasil akhir semua makanan akan menghasilkan air dan CO2 sebagai oksidasi pembakaran energi. Rasa haus dipicu ketika keseimbangan negatif karena asupan yang tidak cukup atau keluaran yang berlebih, atau asupan Na yang tinggi. Tetapi pada usia lanjut mekanisme ini telah berkurang untuk menjada keseimbangan osmolalitas (280-290 mOsm/kg).2 b. Output Cairan hilang yang tidak tampak seperti evaporasi dari paru dan kulit terus terjadi tanpa disadari kurang lebih 0.5―1L/hari pada keadaan dingin sedangkan keadaan panas (demam) dapat bertambah kekurangan Na hingga 50mmol/L.2 Kehilangan dari GIT pada keadaan normal 100-150mL/hari dalam bentuk tinja meskipun keadaan tertentu dapat lebih besar (N Lobo & Lewington, 2013). Renal sebagai regulator keseimbangan cairan dan elektrolit. Keseimbangan ini dikontrol melalui tekanan dan sensor osmotik serta perubahan sekresi hormon. Fluktuasi air dan Na dalam mempengaruhi plasma osmolalitas melalui osmoreseptor.2 a) Air dikontrol oleh osmoreseptor yang terletak di hypothalamus dan sinyal pada kelenjar hipofisis posterior melaui hormon vasopresin (meningkatkan) atau ADH (menurunkan). Dilusi ECF seperti plasma pada asupan cairan berlebih sehingga menyebabkan osmolalitas lebih rendah dari pada plasma akan menurunkan sekresi ADH. Kemudian tubulus distal glomerulus mengekskresikan cairan berlebih (melalui glukokortikoid pada adrenal seperti hiponatrium pada kelainan

Addison’s Disease). Sebaliknya, dehidrasi menyebabkan konsentrasi pekat sehingga meningkatkan sekresi ADH agar tubulus-tubulus mengasorbsi air. Pada keadaan normal dapat mengekskresikan urea 500mL. Hal ini dapat berubah tergantung pada usia dan penyakit yang menyebabkan kapasitas hasil produk akhir meningkat atau asupan protein berlebih. Sehingga menilai fungsi renal sangat penting pada volume dan konsentrasi (osmolalitas). b)

Na sebagai penjaga intergritas volume ECF (93% kation plasma darah) dan tekanan osmotik. Apabila terjadi penurunan maka sensor tekanan pada sirkulasi akan aktif sehingga renal mengeluarkan renin. Hormon ini menstimulasi sekresi aldosteron pada adrenal untuk mereabsorpsi Na di tubulus renal. Sebaliknya, ketika berlebih maka sistem renin-aldosteron akan dinonaktifkan sehingga akan diekskresikan. Renal hanya dapat mengekskresikan Na dalam urin <5 mmol/L. Sehingga rekomendasi asupan elektrolit ini sebesar 1-2mmol/hari. Atrial natriuretic peptide lebih berperan pada volume di atrium kanan dibandingkan menjaga Na. Adapun fungsi Na adalah :3

c)

1.

Mengatur keseimbangan asam-basa dan mengoptimalkan osmotik

2.

Regulasi volume cairan tubuh

3.

Kontraksi sel otot

4.

Berperan pada fungsi kelenjar adrenal

5.

Absorpsi karbohidrat

Kalium memiliki proporsi kecil pada esktraselular dengan nilai normal (3.5-5.3 mmol/L) untuk mencegah disfungsi muskular dan kejadian cardiac arrest. Elektrolit ini berkebalikan dengan Na dan H pada tubulus renal. Proses ekskresi baik aktif maupun pasif terjadi pada tubulus konvulasi dan duktus kolektivus. Elektrolit ini berfungsi sebagai resting membrane potential pada neuron dan seratserat muskulus setelah terjadi depolarisasi dan aksi potensial. Selain itu berperan pada pertukaran Na di tubulus renal oleh aldosteron, dan pompa basolateral Na/K. Rekomendasi asupan elektrolit ini sebesar 4700mg/hari. Adapun fungsi K adalah :3 1.

Mengatur keseimbangan asam-basa dan optimalkan osmotik

2.

Mengaktivasi enzim-enzim intraselular

3.

Metabolisme karbohidrat dan protein

d)

4.

Peran penting untuk fungsi jantung (kontraktilitas)

5.

Meningkatkan permeabilitas membran sel

Klorida merupakan anion yang berperan utama pada gradient tekanan osmotik antara ICF dengan ECF dan mengatur hidrasi. Selain itu sebagai penyeimbang kation ECF sehingga menjaga kenetralan elektritas cairan. Sistem sekresi dan reabsorpsi elektrolit ini terjadi di renal melalui jalur ion Na. Adapun fungsi Cl adalah :3 1.

Anion utama asam lambung dengan ion hidrogen

2.

Transport karbondioksida dalam darah dan meningkatkan bikarbonat plasma

III.1.3

Electrolyte Imbalance

Selain cairan, tubuh memiliki berbagai ion atau elektrolit dengan fungsinya masing-masing. Beberapa ion memiliki peran dalam transmisi impuls membran sepanjang membran sel di neuron dan muskulus. Ion yang lain membantu untuk stabilisasi struktur protein pada enzim. Selain itu membantu melepaskan hormonhormon dari kelenjar endokrin. Adapun ion di plasma berkontribusi dalam menjaga keseimbangan osmotik yang mengkontrol pergerakan air antara sel-sel dengan lingkungannya. Elektrolit yang berfungsi pada tubuh antara lain sodium (Na), potassium (K), klorida (Cl), bikarbonat (HCO3), kalsium (Ca), dan fosfat.1 Semua ion ini berfungsi sebagai eksitabilitas neuron, sekresi endokrin, permeabilitas membran, keseimbangan cairan asam basa tubuh, dan kontrol pergerakan cairan antar kompartemen. Adapun macam-macam ketidakseimbangan elektrolit antara lain :1 a. Hiponatremia adalah konsentrasi Na lebih rendah dari normal yang biasa terjadi pada pengeluaran cairan berlebih pada tubuh. Kehilangan elektrolit berlebih dapat berasal dari keringat berlebih, muntah profuse, diare, pemakaian diuretik, keluaran urin berlebih (pada pasien DM), asidosis (metabolik atau KAD). Adapun kehilangan yang relatif rendah dapat berasal dari retensi cairan pada pasien edema atau gagal jantung. Pada level sel akan terjadi osmosis dari luar ke dalam sel mengakibatkan sel membengkak, sehingga mengurangi efisiensi oksigen. Selain itu akan mengganggu keseimbangan asam-basa. Gejala klinis berupa gangguan

neurologis serta gejala awal yang biasanya non spesifik, meliputi anoreksia, mual, dan lemas. b. Hipernatremia dapat terjadi karena kehilangan cairan seperti darah sehingga membentuk

hemokonsentrasi.

Ketidakseimbangan

hormon

ADH

dengan

aldosteron ikut berperan. Kelemahan, letargi, dan hiperrefleksi dapat berlanjut menjadi kejang, koma, bahkan kematian. c. Hipokalemia terjadi sama seperti kondisi hiponatremia. Kehilangan elektrolit berlebih dapat berasal dari asupan berkurang atau kelaparan, terkadang dari muntah, diare, alkalosis. Sedangkan kehilangan bersifat relatif terjadi pada kondisi insulin dependen karena K akan masuk dari intravaskular ke sel saat penyerapan glukosa. Gejala hipokalemi menimbulkan gejala fatigue, kesemutan, poliuri, polidipsi, kram otot, dan kelemahan otot. Sedangkan efek kardiovaskular yang paling menonjol meliputi abnormalitas EKG, aritmia, penurunan kontraktilitas jantung, dan tekanan darah arteri yang labil akibat disfungsi otonom. d. Hiperkalemia dapat mengakibatkan rusak fungsi dari otot muskulus, sistem saraf, dan hati. Jika elektrolit dari sel darah berakhir pada ECF maka terjadi konsentrasi tinggi yang abnormal. Hal ini mengakibatkan depolarisasi parsial (eksitasi) pada membran plasma serta otot skeletal, neuron, sel-sel jantung, dan dapat menyebabkan gagal repolarisasi. Sebagai contoh pada sistem saraf yaitu individu dengan kondisi ini dapat mengakibatkan penurunan kesadaran, kesemutan, dan kelemahan otot pernafasan. e. Hipokloremia terjadi karena defek pada absorpsi tubulus renal, selain itu muntah, diare, asidosis metabolik. Sedangkan hiperkloremia terjadi karena dehidrasi, pengeluaran berlebih NaCl, menelan air laut, keracunan aspirin, gagal jantung, keturunan, penyakit paru kronis, fibrosis sistik. Tanda dan gejala dari hiperkloremia berhubungan dengan ketidakseimbangan asam basa dan elektrolit. Tanda dan gejala dari hiponatremia, hipokalemia, dan alkalosis metabolik dapat terjadi. Alkalosis metabolik merupakan gangguan akibat kelebihan intake alkali atau kehilangan ion hidrogen. Hipereksibilitas otot, tetani, kelemasan, dan kram otot juga dapat terjadi. Hipokalemia dapat menyebabkan hipokloremia sehingga terjadi disritmia jantung. Selain itu, oleh karena rendahnya kadar klorida paralel dengan rendahnya kadar

natrium, kadar air dapat menjadi berlebihan. Hiponatremia dapat menyebabkan kejang dan koma. f. Hiperkloremia dapat mengakibatkan hiperkloremia asidosis metabolik oleh karena iatrogenik pemberian klorida seperti larutan NaCl 0.9%, larutan NaCL 0.45%, atau larutan Ringer Laktat. Kondisi ini dapat pula disebabkan oleh kehilangan ion bikarbonat dari ginjal dan saluran pencernaan yang diikuti dengan peningkatan ion klorida. Ion klorida dalam bentuk garam asam terakumulasi, dan asidosis terjadi dengan menurunnya ion bikarbonat. Trauma kepala, peningkatan produksi keringat, kelebihan hormone mineralokortikoid, dan penurunan filtrasi ginjal dapat menuju peningkatan kadar klorida serum. Tanda dan gejala dari hiperkloremia hampir menyerupai asidosis metabolik, hipervolemia dan hipernatremia. Takipneu, kelemahan, letargi, napas yang dalam dan cepat; kemampuan kognitif yang menurun, dan hipertensi dapat terjadi. III.1.4 Penatalaksanaan Electrolyte Imbalance Adapun penatalaksanaan dari electrolyte imbalance adalah sebagai berikut :4 a. Hipernatremia Pengobatan untuk hipernatremia bertujuan mengembalikan osmolalitas plasma ke nilai normal sejalan dengan koreksi masalah yang mendasarinya. Kekurangan air sebaiknya dapat dikoreksi dalam waktu 48 jam dengan larutan hipotonik seperti dekstrosa 5% dalam air. Abnormalitas volume ekstraseluler juga harus dikoreksi. b. Hiponatremia Sama dengan hipernatremia, pengobatan hiponatremia ditujukan pada koreksi baik penyakit yang mendasarinya maupun kadar natrium plasma. Saline isotonik umumnya merupakan pengobatan terpilih untuk pasien hiponatremia dengan penurunan jumlah total natrium tubuh. Saat penurunan cairan ekstraseluler dikoreksi, diuresis air yang spontan akan mengembalikan kadar natrium plasma ke normal. Hal sebaliknya, pembatasan cairan merupakan pengobatan terpilih untuk pasien hiponatremia dengan jumlah total natrium tubuh yang normal atau meningkat. c. Hiperkalemia

Oleh karena potensial letalnya, hiperkalemia yang melebihi 6 mEq/L sebaiknya diterapi. Hiperkalemia yang berhubungan dengan hipoaldosterinisme dapat diobati dengan penggantian hormon mineralokortikoid. Obat-obatan yang berperan dalam terjadinya hiperkalemia sebaiknya dihentikan dan sumber peningkatan intake kalium sebaiknya dikurangi atau dihentikan. Kalsium (kalsium glukonat 10% 5–10 mL atau kalsium klorida 10% 3–5 mL) dapat mengantasonis efek kardiovaskuler dari hiperkalemia dan berguna pada pasien dengan tanda hiperkalemia. Ketika asidosis metabolik terjadi, natrium bikarbonat intravena (biasanya 45 mEq) akan meningkatkan uptake seluler dari kalium dan dapat menurunkan kadar kalium plasma dalam waktu 15 menit. β-agonis meningkatkan uptake seluler kalium dan dapat berguna pada hiperkalemia akut yang berhubungan dengan transfusi masif; epinefrin dosis rendah (0.5–2mg/menit) sering menurunkan kadar kalium plasma secara cepat dan menyediakan bantuan inotropik pada keadaan ini. Infus glukosa dan insulin intravena (glukosa 30g dengan insulin 10U) juga efektif dalam meningkatkan uptake seluler dari kalium serta menurunkan kadar kalium plasma. d. Hipokalemia Penggantian oral dengan larutan kalium klorida umumnya aman (60–80 mEq/hari). Penggantian kekurangan kalium biasanya memerlukan beberapa hari. Penggantian intravena dengan larutan kalium klorida sebaiknya diberikan pada pasien dengan atau yang beresiko terhadap manifestasi jantung atau kelemahan otot. Penggantian kalium intravena perifer sebaiknya tidak melebihi 8 mEq/jam karena efek iritatif dari kalium pada vena perifer. e. Hiperkloremia Larutan hipotonik intravena dapat diberikan untuk mengembalikan keseimbangan. Larutan RL dapat diberikan supaya laktat diubah menjadi bikarbonat di hati, sehingga dapat meningkatkan kadar bikarbonat dan mengoreksi asidosis. Natrium bikarbonat intravena dapat diberikan untuk meningkatkan kadar bikarbonat yang menuju pada ekskresi ginjal terhadap ion klorida akiba kompetisi bikarbonat dan klorida untuk berikatan dengan natrium. Diuretik dapat diberikan untuk mengeliminasi klorida. Natrium, klorida, dan cairan dibatasi.

f. Hipokloremia Terapi meliputi koreksi penyebab hipokloremia serta ketidakseimbangan asam-basa dan elektrolit. Larutan NaCl 0.9% atau ½ normal saline (NaCl 0.45%) diberikan intravena untuk menggantikan klorida. Jika pasien menerima diuretik dapat dihentikan atau diberikan diuretik tipe lain. Amonium klorida, sebuah agen yang bersifat asam, dapat diberikan untuk mengatasi alkalosis metabolik, dosisnya tergantung dari berat pasien dan kadar klorida serum. III.1.5

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Keseimbangan Cairan dan Elektrolit Adapun faktor-faktor yang berpengaruh pada keseimbangan cairan dan

elektrolit tubuh antara lain :1 a) Umur Kebutuhan intake cairan bervariasi tergantung dari usia, karena usia akan berpengaruh pada luas permukaan tubuh, metabolisme, dan berat badan. Infant dan anak-anak lebih mudah mengalami gangguan keseimbangan cairan dibanding usia dewasa. Pada usia lanjut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dikarenakan gangguan fungsi ginjal atau jantung. b) Iklim Orang yang tinggal di daerah yang panas dan kelembaban udaranya rendah memiliki peningkatan kehilangan cairan tubuh dan elektrolit melalui keringat. Sedangkan seseorang yang beraktifitas di lingkungan yang panas dapat kehilangan cairan sampai dengan 5 L per hari. c) Diet Diet seseorag berpengaruh terhadap intake cairan dan elktrolit. Ketika intake nutrisi tidak adekuat maka tubuh akan membakar protein dan lemak sehingga akan serum albumin dan cadangan protein akan menurun padahal keduanya sangat diperlukan dalam proses keseimbangan cairan sehingga hal ini akan menyebabkan edema. d) Stress Stress dapat meningkatkan metabolisme sel, glukosa darah, dan pemecahan glikogen otot. Mrekanisme ini dapat meningkatkan natrium dan retensi air sehingga bila berkepanjangan dapat meningkatkan volume darah

e) Kondisi Sakit Kondisi sakit sangat berpengaruh terhadap kondisi keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. Misalnya : − Trauma seperti luka bakar akan meningkatkan kehilangan air melalui IWL. − Penyakit ginjal dan kardiovaskuler sangat mempengaruhi proses regulator keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. − Pasien dengan penurunan tingkat kesadaran akan mengalami gangguan pemenuhan intake cairan karena kehilangan kemampuan untuk memenuhinya secara mandiri. f) Tindakan Medis Banyak tindakan medis yang berpengaruh pada keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh seperti : suction, nasogastric tube dan lain-lain. g) Pengobatan Pengobatan seperti pemberian diuretik, laksatif dapat berpengaruh pada kondisi cairan dan elektrolit tubuh. h) Pembedahan Pasien dengan tindakan pembedahan memiliki resiko tinggi mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh, dikarenakan kehilangan darah selama pembedahan.

III.2

Elevated Liver Enzym

III.2.1

Fungsi Normal Hati Hepar adalah organ terbesar di abdomen sebagai pusat metabolisme

karbohidrat, protein, dan lemak. Proses ini merupakan fungsi krusial termasuk hasil akhir metabolisme, detoksifikasi, penghancuran RBC tua, sintesis asam empedu, dan formasi plasma protein serta faktor pembekuan. Sebagian besar makanan dan obat dari GIT ke hepar melalui sistem vena portal sehingga mencegah potensi substansi toksik masuk ke saluran pembuluh darah seluruh organ tubuh.4 Pada keadaan normal ammonia berasal dari metabolisme protein dan produksi bakteri usus dan dikeluarkan melalui renal. Gangguan detoksifikasi ini menyebabkan gangguan kesadara yang disebut enselopati atau koma hepatikum.5

Stres oksidatif dicurigai memainkan peran penting dalam masalah kesehatan. Hal ini didefinisikan sebagai keseimbangan antara generasi endogen ROS (reactive oxygen) dan RNS (nitrogen species), serta sistem pertahanan antioksidan. Radikal bebas ROS dan RNS merupakan hasil akhir metabolisme normal. Namun akan menjadi berbahaya jika berlebih. Adapun antioksidan (glutation), beberapa vitamin, dan enzim (katalase, superoksida dismut, dan bermacam peroksidase) merupakan substansi yang mencegah proses radikal bebas. Sumber antioksida dari luar seperti beri-beri, buah, sayuran.4

III.2.2

Enzim Utama Hati Gamma-glutamyltransferase (GGT) adalah enzim glikoprotein ikatan membran

yang merupakan derivat dari hepatosit dan sel epitel biliaris, tubulus renal, pancreas, dan intestinal. Peningkatan serum GGT sebagai penanda disfungsi hepar, obstruksi biliaris, lemak hepar, dan alkohol. Meskipun demikian serum ini menjadi penilaian utama asupan alkohol berlebih. Fungsi utama enzim ini adalah menjaga level glutation intraselular dan konjugasi metabolismenya karena merupakan antioksidan utama di sel mamalia. Selain itu dijadikan sebagai biomarker beberapa penyakit ekstra hepar kronis yang berkaitan dengan stres oksidatif seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, sindrom metabolik, kanker, penyakit neurodegeneratif, dan reumatik artritis.5 Serum Aminotransferase (ALT & AST) berperan sebagai tanda adanya kerusakan hepar baik akut maupun kronik. Alanine aminotransferase (ALT) utamanya berasal dari hepatosit, sedangkan aspartate aminotransferase (AST) ditemukan pula di jantung, jaringan otot skeletal, renal, dan otak. Namun peningkatan asimtomatik dapat terjadi pula pada individu dengan asupan alkohol berlebih, obesitas, hepatitis viral maupun autoimun, Wilson‟s disease, kolik, kelainan metabolisme otot, penyakit otot didapat, penggunaan latihan berlebih.5 Penanda fungsi hepar lain seperti alkaline phosphate (ALP), bilirubin, albumin, dan faktor pembekuan. ALP adalah enzim yang membantu transport hasil metabolit melalui membran sel. Peningkatan terjadi pada penyakit hepar, tulang, meskipun enzim ini terdapat pada beberapa jaringan organ lain. Sintesis dan pelepasan enzim ini distimulasi oleh kolestasis dan bertahan dalam sirkulasi selama 7 hari. Bilirubin adalah hasil pemecahan hemoglobin yang tidak terpakai pada sistem RES. Bilirubin yang tidak

terkonjugasi dibawa ke hepar untuk dikonjugasikan oleh asam glukoronik sehingga sifatnya berubah menjadi water-soluble dan dapat diekskresikan ke biliaris. Apabila terjadi hyperbilirubinemia tak terkonjugasi pada dewasa sering disebabkan kelainan hemolysis atau penyakit herediter, Gilbert‟s syndrome (defek genetik bersifat jinak). Hiperbilirubinemia terkonjugasi disebabkan oleh disfungsi hepatoselular atau obstruksi biliaris, dan kerusakan hepar seperti hepatitis viral akut. Selain itu hepatosit memproduksi albumin dan faktor pembekuan.6 1. Serum Bilirubin Terdapat beberapa tipe serum ini antara lain total bilirubin, bilirubin direk, dan bilirubin indirek. Total bilirubin dihitung sebagai jumlah dengan nilai normal 0,2-0,9mg/dL (2-15µmol/L) sedangkan pada laki-laki lebih tinggi 3-4 µmol/L dibandingkan perempuan. Ini alasan mengapa menegakan diagnosis Gilbert‟s syndrome lebih mudah pada laki-laki.6 Bilirubin direk adalah fraksi yang water-soluble dengan nilai normal 0,3mg/dL (5,1 µmol/L). Bilirubin indirek adalah fraksi unsoluble yang dihitung dari bilirubin tidak terkonjugasi. Peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi diakibatkan pengambilan atau produksi berlebih sedangkan peningkatan bilirubin terkonjugasi diakibatkan kerusakan ekskresi di intrahepatik, regurgitasi yang tidak terkonjugasi (dari hepatosit duktus biliaris). Semua kelainan ini terjadi ketika hemolysis dengan produksi berlebih bilirubin dan penurunan glomerulus filtration rate (GFR) (ekskresi 25mg/dL). Sifat bilirubin tak terkonjugasi yang terikat oleh albumin seharusnya tidak berada pada urin (penyakit hepatobiliaris). Sedangkan urobilinogen akan menghilang pada kasus kolelitiasis.7 2. Aminotransferase Kedua enzim merupakan penanda terjadinya nekrosis hepatoselular antara lain AST (serum glutamate oxaloacetic transaminase–SGOT) dan ALT (serum glutamic pyruvate transaminase–SGPT). Dimana AST terdapat pada mitokondria dan sitosol hepatosit sedangkan ALT hanya pada sitosol sehingga AST merupakan isoenzim murni.7 3. Alkaline Phosphatase Enzim ini adalah keluarga dari metaloenzim zink dengan serine sebagai active centre. Secara histokimia ditemukan di mikrovili kanalikuli biliaris dan permukaan sinusoidal hepatosit. Enzim ini memiliki gen yang sama pada organ hepar, tulang,

dan renal kecuali organ intestinal serta plasenta. Pada individu sehat enzim ini paling banyak berasal dari hepar dan tulang. Nilai rerata bergantung pada usia terutama usia remaja/pubertas sedangkan rendah di usia pertengahan hingga usia lanjut. Peningkatan serum enzim ini mengindikasikan kerusakan intrahepatik dan ekstrahepatik. Sedangkan nilai rendah terjadi pada kondisi hipotiroid, anemia pernisious, defisiensi zink, hipofosfat kongenital. Mekanisme enzim ini mencapai aliran masih belum diketahui akan tetapi hipotesis mengatakan (1) kebocoran dari kanalikuli biliaris ke sinusoidal hepar, dan (2) hepar yang rusak gagal mengekskresikan yang berasal dari tulang, intestinal, dan hepar.7 4. Serum Protein Hepar adalah sumber utama sebagian besar serum protein. Sel parenkim betanggung jawab untuk sintesis albumin, fibrinogen, dan faktor koagulasi lain serta sebagian besar globulin a dan b. Albumin secara kuantitatif menjadi protein penting dalam plasma sebagai indikator fungsi hepar. Waktu hidup yang panjang (20 hari) menjadikan protein ini bukan sebagai indikasi penyakit akut hepar. Selain itu juga sintesis dapat dipengaruhi faktor luar seperti status nutrisi, keseimbangan hormonal, dan tekanan osmotik. Hormon tiroid dan kortikosteroid menstimulasi sintesis dengan meningkatkan albumin mRNA dan tRNA di hepatosit. Hipoalbumin tidak menggambarkan secara spesifik penyakit hepar karena dapat disebabkan pula oleh malnutrisi, sindrom nefrotik, dan enteropati kronik. Rerata nilai normal antara 3,5–4,5g/dL namun sepanjang waktu nilai ini merefleksikan sintesis, degradasi, dan distribusi.7 Prealbumin memiliki nilai normal 0,2-0,3 g/L. Sifatnya yang hanya memiliki waktu hidup pendek menjadikan protein ini sebagai petanda hepatotoksis karena obat. Kolinesterase dapat dijadikan penanda penurun sintesis hati yang murni dibandingkan albumin karena tidak dipengaruhi faktor luar. Globulin merupakan unsur protein tubuh yang terdiri dari alfa, beta, dan gama. Berfungsi sebagai pengankut beberapa hormone, lipid, logam, dan antibodi. Peningkatan protein ini menandakan sintesis antibodi sedangkan penurunan sebagai penanda penurunan imunitas tubuh, malnutrisi, malabsorpsi, penyakit hepar, dan renal.7 5. Faktor Koagulasi

Pembekuan merupakan hasil dari beberapa fase yang compleks reaksi – reaksi enzimatik setidaknya sebanyak 13 faktor kecuali faktor VII. Hepar sebagai sumber sintesis dari 11 protein koagulasi antara lain fibrinogen, prothrombin (PT), faktor labile, faktor stable, faktor Christmas, faktor stuart prowe, prekalikrein, dan molekular WT kininogen. Berikut fase koagulasi berdasarkan faktor – faktor pembekuan.8 PT diajadikan sebagai metode standar untuk menilai faktor pembekuan yang berasal dari ekstrinsik. Rerata waktu normal 9 – 11 detik, dikatakan memanjang bila >2 detik. Akan tetapi ada beebrapa faktor seperti faktor I, II, V, VII, IX, dan X yang bergantung pada vitamin K. Sebagai contoh kasus obstruksi biliaris menyebabkan terjadi malabsorpsi vitamin larut lemak (A, D, E, K). Selain itu dijadikan sebagai prosedur tetap sebelum dilakukan biospi hepar maupun renal sebagai peringatan tendensi peradarahan meskipun telah digantikan oleh International Normalized Ratio (INR).8

III.3

Sinkop9

III.3.1 Definisi Sinkop adalah kehilangan kesadaran sementara akibat hipoperfusi serebral global transien dikarakteristikkan dengan onset cepat, durasi yang pendek, dan pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran dikarenakan penurunan aliran darah ke sistem aktivasi retikular yang berlokasi pada batang otak dan tidak membutuhkan terapi listrik atau kimia untuk kembali normal. Faktanya, definisi dapat diperluas menjadi T-LOC (transien loss of consiousnness), sebuah istilah yang sengaja dibuat untuk mencakup semua gangguan yang dicirikan dengan kehilangan kesadaran (LOC= Loss of consciousness) yang self limited, tanpa memandang mekanismenya.

Gambar 3. Konteks Kehilangan Kesadaran Transien (T-LOC: transien loss of consciousness, SCD: sudden cardiac death) Sumber: Brignole et al, 2018

II.3.2 Klasifikasi

Gambar 4. Klasifikasi Patofisiologikal Penyebab Pokok Sinkop Sumber: Brignole et al, 2018

III.3.3 Patofisiologi 1) Sinkop refleks (Neurally Mediated Syncope) Sinkop refleks secara tradisional mengacu pada kondisi heterogen dimana refleks kardiovaskular yang secara normal berfungsi untuk mengontrol sirkulasi mengalami gangguan secara intermitten, dalam respon terhadap pencetus, menyebabkan vasodilatasi dan/atau bradikardi dan dengan demikian membuat turunnya tekanan darah arteri dan perfusi serebral global. Sinkop refleks biasanya diklasifikasikan berdasarkan jalur eferen yang paling terlibat, yakni simpatik atau parasimpatik. Istilah „tipe vasodepresor‟ seringkali digunakan bila didominasi hipotensi akibat hilangnya tonus vasokonstriktor pada saat posisi tegak. Istilah „kardioinhibitor‟ digunakan bila didominasi bradikardi atau asistol dan „campuran‟ merupakan istilah bila kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama. Sinkop refleks tampaknya merupakan ekspresi proses patologis, utamanya berkaitan dengan kegagalan sistem saraf otonom untuk mengaktivasi refleks

kompensasi, sehingga terdapat tumpang tindih dengan kegagalan sistem saraf otonom. Berikut pemicu sinkop refleks antara lain : •

Sinkop vasovagal, dimediasi oleh emosi atau oleh stres ortostatik. Biasanya didahului oleh gejala prodromal aktivasi otonom (berkeringat, pucat, muntah).



Sinkop situasional secara tradisional mengacu pada sinkop refleks yang berhubungan dengan kondisi tertentu yang spesifik. Sinkop pasca latihan dapat terjadi pada atlet muda sebagai bentuk dari sinkop refleks sebagaimana pada subjek usia pertengahan dan tua sebagai manifestasi awal gangguan nervus otonomik sebelum mereka mengalami hipotensi ortostatik yang tipikal.



Karotid sinus sinkop, dipicu oleh manipulasi mekanik pada sinus karotis. Pada bentuk yang lebih umum tidak ditemukan pemicu mekanik dan hal ini didiagnosis dengan masase sinus karotis.



Bentuk atipikal digunakan untuk mendeskripsikan situasi dimana sinkop refleks terjadi dengan pemicu yang tidak jelas bahkan tidak ada. Diagnosis kemudian hanya didasarkan pada anamnesis, dan lebih jauh pada eksklusi penyebab sinkop yang lain (tidak adanya penyakit jantung struktural) dan munculnya gejala yang sama pada pemeriksaan tilt-table.

2. Hipotensi Ortostatik dan Sindrom Intoleransi Ortostatik Berbeda dengan sinkop refleks, pada ANF aktivitas eferen simpatis mengalami kerusakan kronik sehingga respon vasokontriksi berkurang. Pada saat berdiri, tekanan darah menjadi turun dan terjadi sinkop atau pre-sinkop. Hipertensi ortostatik didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik secara abnormal saat berdiri. Dari sudut pandang patofisiologi, terdapat perbedaan yang jelas antara sinkop refleks dan ANF, namun manifestasi klinis pada dua kondisi ini biasanya tumpang tindih sehingga sulit menegakkan diagnosis. „Intoleransi ortostatik‟ mengacu pada gejala dan tanda pada posisi tegak akibat abnormalitas pada sirkulasi. Sinkop adalah salah satu gejalanya dan gejala lain yaitu: (i) pusing/rasa melayang, pre-sinkop; (ii) kelemahan, kelelahan, lesu; (iii) palpitasi, berkeringat; (iv) gangguan penglihatan (termasuk pandangan kabur, silau, tunnel vision; dan (vi) nyeri pada leher, regio oksipital/paraservikal dan bahu), low back pain atau nyeri area prekordial. Bentuk sinkop refleks dengan stres ortostatik sebagai berikut:



OH klasik  merupakan tanda klinis didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik ≥20 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥10 mm Hg dalam 3 menit posisi tegak, muncul pada pasien dengan ANF murni, hipovolemia atau bentuk lain dari ANF.



Initial OH  dicirikan dengan penurunan tekanan darah segera setelah posisi tegak >40 mmHg. Tekanan darah kemudian secara cepat dan spontan kembali ke normal, sehingga periode hipotensi dan gejala relatif pendek.



Delayed (progresif) OH  tidak jarang pada pasien berusia tua. Hal ini dihubungkan dengan kerusakan degeneratif pada refleks kompensasi dan kekakuan jantung pada lansia yang sensitif terhadap penurunan preload.



Delayed OH  dicirikan dengan penurunan tekanan darah sistolik secara lambat progresif pada posisi tegak.

3. Sinkop Kardiak (Kardiovaskuler) a) Aritmia Aritmia adalah penyebab sinkop kardiak paling sering. Hal ini menginduksi gangguan hemodinamik, yang dapat menyebabkan penurunan kritis pada CO dan aliran darah serebral. Meskipun demikian, sinkop seringkali memiliki faktor kontribusi yang multipel, termasuk denyut jantung, tipe aritmia (supraventrikular atau ventrikular), fungsi ventrikel kiri, postur, dan kecukupan kompensasi vaskular. b) Penyakit Struktural Penyakit struktural kardiovaskular dapat menyebabkan sinkop bila kebutuhan sirkulasi melebihi kemampuan jantung yang mengalami kerusakan untuk meningkatkan outputnya. Seperti penyakit jantung: Penyakit katup, infark miokard akut/iskemia, kardiomiopati obstruktif, massa kardiak (miksoma atrial, tumor, dsb), penyakit perikardium/tamponade, anomali kongenital pada arteri koroner, disfungsi katup prostetik. Penyebab lain: Emboli paru, diseksi aorta akut, hipertensi pulmonal

III.3.4 Evaluasi Pasien dengan Sinkop 1. Evaluasi Awal

Evaluasi meliputi anamnesis penyakit secara hati-hati, pemeriksaan fisik, temasuk pengukuran tekanan darah ortostatik dan EKG. Berdasarkan penemuan pada pemeriksaan-pemeriksaan ini, pemeriksaan tambahan lain dapat dilakukan : •

Masase sinus karotis pada pasien >40 tahun.



Ekokardiografi ketika diketahui riwayat penyakit jantung sebelumnya atau data yang ada mengarahkan pada penyakit jantung struktural atau sinkop sekunder akibat kausa kardiovaskular.



Monitoring EKG dengan segera ketika muncul kecurigaan sinkop aritmik.



Orthostatic challenge (lying-to-standing orthostatic test dan tes tilt table) bila sinkop terkait posisi berdiri atau terdapat kecurigaan ke arah mekanisme refleks.



Pemeriksaan lain yang kurang spesifik seperti evaluasi neurologi atau tes darah hanya diindikasikan bila terdapat kecurigaan ke arah T-LOC non sinkopal. Evaluasi awal harus dapat menjawab 3 pertanyaan kunci:

a) Apakah merupakan episode sinkopal atau bukan? b) Apakah diagnosis etiologi telah dapat ditentukan? c) Apakah ada data yang mengarahkan pada resiko tinggi kejadian kardiovaskular atau kematian? 2. Diagnosis Sinkop Diferensiasi antara sinkop dan kondisi non-sinkopal dengan kehilangan kesadaran yang nyata atau semu dapat diperoleh pada sebagian besar kasus melalui anamnesis yang detail, namun kadang pula menjadi sangat sulit. Pertanyaan berikut harus dijawab : a) Apakah kehilangan kesadaran komplit ? b) Apakah kehilangan kesadaran bersifat transien dengan onset cepat dan durasi yang pendek ? c) Apakah pasien pulih secara spontan, komplit, tanpa sekuele ? d) Apakah pasien kehilangan tonus postural ? Bila jawaban terhadap semua pertanyaan di atas positif, episode gejala mungkin sekali mengarah pada sinkop. Bila jawaban pada salah satu atau lebih pertanyaan diatas adalah negatif, eksklusikan bentuk lain dari LOC sebelum berlanjut ke evaluasi sinkop lebih jauh 3. Diagnosis Etiologi

Evaluasi awal dapat menentukan penyebab sinkop pada 23―50% pasien. Terdapat beberapa temuan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, atau EKG yang dapat dipertimbangkan pada diagnosis penyebab sinkop, yang membuat tidak diperlukan lagi evaluasi lebih jauh. Pada banyak kasus lain, penemuan pada evaluasi awal tidak dapat menegakkan diagnosis definitif namun mengarahkan pada beberapa penyebab yang mungkin. Pada kondisi ini, tes-tes tambahan biasanya diperlukan.

III.3.5 Tatalaksana 1.

Prinsip Umum Penangan Sinkop Tujuan utama terapi pasien dengan sinkop adalah untuk memperpanjang harapan

hidup, membatasi cedera fisik dan mencegah rekurensi. Kepentingan dan prioritas sasaran yang berbeda ini bergantung pada penyebab sinkop. Kerangka terapi secara sebagaimana terangkum dalam gambar 5.

Gambar 5. Terapi Sinkop Sumber: Brignole et al, 2018

2.

Manajemen Sinkop refleks\

Non farmakologis Edukasi dan penekanan bahwa kondisi ini merupakan penyakit yang tidak membahayakan. Secara umum, terapi awal menekankan edukasi pada kewaspadaan dan menghindari pencetus yang mungkin (seperti lingkungan yang ramai dan panas, deplesi volume), pengenalan awal terhadap gejala prodromal dan melakukan manuver

untuk mencegah episode (seperti posisi telentang, physical counterpressure manoeuvres (PCM). Penting untuk menghindari obat yang dapat menurunkan tekanan darah (termasuk α bloker, diuretik dan alkohol) Farmakologis Karena adanya gangguan untuk mencapai vasokonstriksi yang sesuai pada kondisi sinkop refleks, vasokonstriktor α agonis (etilefrin dan midodrine) telah digunakan. Secara keseluruhan, data-data penelitian mengarahkan bahwa terapi farmakologi kronik menggunakan α agonis semata mungkin hanya sedikit dapat digunakan pada sinkop refleks, dan penggunaan jangka panjang tidak dapat disarankan untuk gejala yang muncul sesekali.

Pacu Jantung Pemasangan pacu jantung untuk sinkop refleks didasarkan pada respon pada tilt testing. Pacu jantung mungkin berguna pada komponen kardioinhibitor pada refleks vasovagal, namun tidak memiliki efek pada komponen vasodepresor yang seringkali dominan. Karenanya, pacu jantung hanya memiliki peran terbatas pada terapi sinkop refleks, kecuali bradikardi spontan yang berat terdeteksi selama monitoring berkepanjangan

III.3.6 Komplikasi Untuk prognosis dan stratifikasi resiko pada sinkop, terdapat dua elemen penting yang harus dipertimbangkan, yaitu: 1. Risiko kematian dan kejadian mengancam nyawa Penyakit jantung struktural dan penyakit pada sistem listrik jantung, adalah faktor resiko mayor SCD dan mortalitas keseluruhan pada pasien dengan sinkop 2. Risiko rekurensi sinkop dan cedera fisik Pada studi populasi, sekitar sepertiga pasien mengalami rekurensi sinkop pada follow-up 3 tahun. Jumlah episode sinkop selama kehidupan adalah predictor terkuat rekurensi. Contohnya, pada pasien dengan diagnosis yang belum jelas, resiko rendah dan usia >40 tahun, riwayat satu atau dua episode sinkop selama kehidupan diprediksi mengalami 15 dan 20% rekurensi setelah 1 dan 2 tahun,

secara respektif, sedangkan riwayat 3 episode sinkop selama kehidupan diprediksi mengalami rekurensi 36 dan 42% setelah 1 dan 2 tahun, secara respektif.

BAB IV KESIMPULAN

Elektrolit merupakan substansi berupa ion dalam larutan yang dapat mengkonduksi muatan listrik di dalam tubuh. Keseimbangan elektrolit dalam tubuh sangat esensial untuk menjalankan fungsi normal dari sel dan organ tubuh. Elektrolit yang umumnya diperiksa oleh dokter dengan tes darah meliputi natrium, kalium, kalsium, magnesium, dan klorida. Elektrolit serum meliputi: natrium, elektrolit bermuatan positif yang membantu keseimbangan cairan dalam tubuh dan berhubungan dengan fungsi neuromuskular; kalium, komponen utama cairan intraseluler yang membantu regulasi fungsi neuromuskular dan tekanan osmotik; kalsium, kation yang mempengaruhi kerja neuromuskular dan membantu pertumbuhan tulang serta koagulasi darah; magnesium, mempengaruhi kontraksi otot serta aktivitas intraseluler; klorida, elektrolit bermuatan negatif yang membantu regulasi tekanan darah. Terapi dari gangguan elektrolit tergantung dari penyakit yang mendasarinya serta jenis elektrolit yang terlibat. Jika gangguan ini disebabkan oleh kurangnya konsumsi atau intake cairan yang tidak tepat, perubahan nutrisional dapat dianjurkan. Jika pengobatan seperti diuretik mencetuskan gangguan elektrolit ini, maka penghentian atau pengaturan terapi obat dapat memperbaiki kondisi tersebut secara efektif. Terapi penggantian cairan atau elektrolit, baik melalui oral alatu intravena, dapat mengembalikan penurunan elektrolit menjadi normal. Dokter seharusnya berhatihati dalam pemberian obat yang mempengaruhi kadar elektrolit serta keseimbangan asam-basa tubuh. Individu dengan penyakit ginjal, masalah tiroid, dan kondisi lainnya yang dapat mencetuskan gangguan elektrolit sebaiknya diedukasi tentang tanda dan gejala gangguan elektrolit ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonymous. 2013. Chapter 26. Fluid, Electrolyte, and Acid-Base Balance [https://opentextbc.ca/anatomyandphysiology/chapter/26-3-electrolyte-balance/] 2. N Lobo, Dileep., Lewington, Andrew JP. 2013. Basic Concepts of Fluid and Electrolyte Balance. Bibliomed – Medizinische Verlagsgesellschaft, Melsungen : Germany. 3. Zivkov, Balos M., Jaksic, Sandra., Knezevic, Slobodan., Kapetanov, Milos. 2016. Electrolyte – Sodium, Potassium and Chloride in Pultry Nutrition. Archiv Veterinarske Medicine, Vol 9, No.1 : 31-42. 4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Management of Patients with Fluid and Electrolyte Disturbances. Clinical Anesthesiology 4th edition, New York: Lange Medical Books/Mc Graw-Hill Medical Publishing Division, 2016, 28; 662―689 5. Danielsson, Joanna. 2014. Liver Enzymes and Lifestyle. University of Tampere : Tampere 6. Rosida, Azma. 2016. Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Hati. Berkala Kedokteran, Vol.12, No.1 : 123-131. Patologi Klinik FK Unlam : Banjarmasin. 7. Thapa, B.R., Walia, Anuj. 2007. Liver Function Tests and Their Interpretation. Indian J pediatr 74 (7) : 663 – 671. Institute of Medical Education and Research : India. 8. De Caterina, Raffaele., Husted, Steen., Wallentin, Lars., Andreotti, Fellcita., Arnesen, Harald., Bachmann, Fedor., Baigent, Collin., Huber, Kurt., Jespersen, Jorgen., Dalby, Kristensen Steen., Lip, Gregory Y.H., Morais, Joao., Hviisted, Rasmussen Lars., Siegbahn, Agneta., Verheugt, Freek W.A., Weitz, Jeffrey I. 2013. General Mechanisms of Coagulation and Targets of Anticoagulants (Section I). Institute of Cardiology “G. d‟Annuzio” Universiti : Chieti Italy.

Related Documents

Lapsus Depresi.docx
December 2019 38
Lapsus Snhl.docx
November 2019 33
Lapsus Paraparese.docx
November 2019 41
Lapsus Tulunagung.doc
December 2019 42
Lapsus Neneng.docx
November 2019 43
Lapsus Oklusi.docx
June 2020 25

More Documents from "Hyder"

Makalah Fs.docx
June 2020 1
Lapsus Jantung.docx
June 2020 5
Inggit Biologi.docx
June 2020 7
Sptk Televisi.docx
May 2020 17