LAPORAN KASUS ”SEORANG PRIA USIA 73 TAHUN DIGIGIT ULAR SAAT
SEDANG DILUAR RUMAH” Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik Di Bagian Ilmu Bedah
Diajukan Kepada : Pembimbing : dr. Irwan syafril, Sp. B
Disusn Oleh : Bevi Ayu Kumala Wardani
H3A018013
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG RSUD TUGUREJO SEMARANG 2019
BAB I LATAR BELAKANG K a s u s Snake Bite atau kasus gigitan ular temasuk kasus yang sering dijumpai di Unit Gawat Darurat. Tidak ada data tentang berapa kasus gigitan ular di Indonesia karena masih banyak yang dibawa ke pengobatan
tradisional
bukan
ke
pelayanan
medis.
Sebagai
perbandingan, antara tahun 1999 sampai tahun 2001 terdapat 19.335 kedatangan ke rumah sakit di malaysia karena bisa gigitan binatang. Sebagian besar diantaranuya disebabkan oleh gigitan ular.1 Gigitan ular biasa terjadi karena berhubungan dengan tempat pekerjaan, atau dari ular yang masuk ke rumah karena men&ar i mangsa berupa tikus, katak, atau kadal. Tulisan ini ditujukan agar dapat mengenali berbagai jenis ular bera&un yang biasa ditemukan dan tata cara penanganan gigitan ular berbisa berdasarkan ketentuan WHO.1 Pasien gigitan ular berbisa dapat menimbulkan manifestasi neurotoksik, vaskulotoksik, miotoksik, dan hematotoksik, dengan
gejala dan
tanda yang
ringan sampai berat, seperti luka bekas gigitan, nyeri bekas gigitan, pembengkakan pada sekitar gigitan, perdarahan, gangguan koagulasi, paralisis otot pernafasan, kejang, dan akhirnya syok bahkan menyebabkan kematian. Penanganan pasien dengan gigitan ular berbisa dilakukan secara komprehensif dari aspek hematologi dan neurologi. Kadang-kadang gejala klinis tidak langsung timbul dan luput dari pengamatan.1
BAB II STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN 1. Nama
: Tn. T
2. Umur
: 73 tahun
3. Jenis kelamin : Pria 4. Alamat
: Mijen
5. No CM
: 572751
6. Masuk RS
: 09 Januari 2019
7. Bangsal
: Anggrek
B. DATA DASAR 1. Anamnesis Anamnesis dilakukan anamnesis secara auto anamnesis dan allo anamnesis pada tanggal 10 Januari 2019 di ruang Anggrek. 1) Keluhan Utama nyeri dan bengkak dikaki kiri 2) Riwayat Penyakit Sekarang Pada tanggal 09 Januari 2019, pasien datang ke IGD RSUD Tugurejo dengan keluhan nyeri dan bengkak pada kaki kiri. Awal mula karena pasien saat sedang diluar rumah digigit ular yang berwarna hijau, korban dalam keadaan sadar setelah digigit. Kemudian diantar oleh keluarga ke RSUD Tugurejo Semarang dengan keadaan korban terdapat luka gigitan, nyeri dan bengkak pada daerah kaki kiri. Pasien merasakan nyeri pada kaki kiri secara terus menerus. Keluhan mual, muntah, dan nyeri kepala disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhan. 3) Riwayat Penyakit Dahulu
a.
Allergy
: alergi makanan / obat disangkal
b.
Medicine
: disangkal
c.
Past illness a)
Riwayat jatuh : disangkal
b)
Riwayat operasi
c)
Riwayat opname: disangkal
d)
Riwayat asma : disangkal
d.
Environment
: disangkal
: pasien digigit ular
4) Riwayat Penyakit Keluarga a. Riwayat keluhan sama : disangkal b. Riwayat alergi : disangkal 5) Riwayat Sosial Ekonomi Pasien adalah petani dan tinggal bersama keluarganya. Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS PBI. 2.
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 10 Januari 2019 pada pukul 12.00 WIB di Bangsal Anggrek, RSUD Tugurejo Semarang. a. Keadaan Umum
: Baik
b. Kesadaran
: Compos mentis, E4M6V5
c. Tanda Vital 1)
Tekanan Darah : 140/80 mmHg
2)
Frek. Nadi
: 84 x/menit
3)
Frek. Nafas
: 24 x/menit
4)
Suhu
: 36 ºC
5)
SpO2
: 99%
d. Status Gizi 1)
Berat Badan
: 55 kg
2)
Tinggi Badan : 150 cm
3)
IMT
: 24,4 kg/m2
e. Status Generalisata 1)
Kulit
: Sawo matang, Kulit kering (-)
2)
Mata
: Konjungtiva palpebral anemia (-/-); : Sklera ikterik (-/-)
3)
Hidung
: Deformitas (-/-); Discharge (-/-); : Septum Deviasi (-/-)
4)
Telinga
: Discharge (-/-)
5)
Mulut
: Bibir kering (-); Sianosis (-); Faring :hiperemis (-), Tonsil T1-T1, kripte :tidak melebar
6)
Leher
7)
Thorax
: Pembesaran KGB (-)
a) Pulmo Inspeksi : Simetris Palpasi
: Stem fremitus normal
Perkusi
: Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi:
Suara
dasar
vesikuler,
suara
tambahan (-) b) Cor Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak Palpasi
: Ictus cordis teraba pada ICS V 1-2 : cm medial linea midclavicularis :sinistra
Perkusi
: Batas jatung normal
Auskultasi: Bunyi jantung I > II, reguler 8)
Abdomen Inspeksi
: Perut cembung, warna kulit sama :dengan sekitar
Auskultasi
: Peristaltik (+) normal
Perkusi
: Timpani (+), pekak sisi (+)
Palpasi
: Perabaan supel, organomegali (-), :nyeri tekan (-)
9)
Ekstremitas Superior Warna kulit
Sama
Inferior dengan Sama
daerah sekitar / daerah sama
dengan sama
dengan sekitar
dengan
sekitar
sekitar
-/-
-/-
Hematom
-/-
-/-
Deformitas
-/-
-/-
Oedem
-/-
-/+
Parestesi
-/-
-/-
Nyeri
-/-
-/+
Gerak aktif
Bebas /Bebas
Bebas /Terbatas
Gerak pasif
Bebas /Bebas
Bebas /Terbatas
Capillary
< 2 detik/< 2 < 2 detik/>2 detik
Refill
detik
Akral dingin
-/-
Vulnus laserasi
-/-
/
f.
Status Lokalis : Cruris sinistra
Look : Edema (+), vulnus morsum (+), fang marks (+), Luka terbuka (-), Perdarahan (-), deformitas (+), warna kulit sama dengan sekitar, pononjolan tulang (-). Feel : Nyeri tekan (+), pulsasi a. Dorsalis Pedis (+), krepitasi (-), suhu sama dengan bagian sekitar, paresthesia (-), capillary refill time >2 detik. Move : Gerakan terbatas pada tugkai kaki kiri bawah o Pronasi : bebas o Supinasi : bebas o Fleksi
: terbatas, nyeri
o Ekstensi : terbatas, nyeri o Aktif
: terbatas, nyeri
o Pasif
: terbatas, nyeri
Kekuatan : 5 – 5 – 3
Tanda Sindrom Kompartemen o Pain
: (+)
o Paresthesia
: (–)
o Pallor
: (–)
o Paralisis
: (–)
o Pulseless ness
: (–)
3. Pemeriksaan Penunjang a.
Hasil laboratorium darah lengkap 09 Januari 2019
Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai Normal
Leukosit
H 14.69
103/uL
4.5 – 13.5
Eritrosit
4.77
106/uL
3.8 – 5.8
Hemoglobin
13.90
g/dL
10.3 – 15.6
Hematokrit
40.40
%
33 – 45
MCV
84.70
fL
69 – 93
MCH
29.10
Pg
22 – 34
MCHC
34.40
g/dL
32 – 36
Trombosit
272
103/uL
184 – 488
RDW
13.20
%
11.5 – 14.5
PLCR
25.9
%
Diff Count
Eosinofil Absolute 0.42
103/uL
0.045 – 0.44
Basofil Absolute
0.04
103/uL
0 – 0.2
Netrofil Absolute
H 10.04
103/uL
1.8 – 8
Limfosit Absolute
2.71
103/uL
0.9 – 5.2
Monosit Absolute
0.88
103/uL
0.16 – 1
Eosinofil
2.90
%
2–4
Basofil
0.30
%
0–1
Neutrofil
H 72.40
%
50 – 70
Limfosit
L 18.40
%
25 – 50
Monosit
H 6.00
%
1–6
C. RESUME Pasien datang dengan keluhan nyeri dan bengkak pada kaki kiri sejam setelah digigit oleh ular hijau. Korban dalam keadaan sadar setelah digigit. Kemudian diantar ke IGD RSUD Tugurejo Semarang dengan keadaan korban terdapat luka gigitan, nyeri dan bengkak pada daerah kaki kiri. Pasien merasakan nyeri pada kaki kiri hilang timbul, terutama pada saat digerakkan dan sedikit berkurang saat tidak digerakkan. Keluhan mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-), BAB (-), dan BAK (-). Pada pemeriksaan fisik diperoleh hasil TD 140/80 mmHg, RR 24 x/menit, HR 884x/menit, suhu 36ºC.
Status lokalis a. Cruris sinistra look: luka terbuka (-), Perdarahan (), oedem (+), vulnus morsum (+), fang marks (+), deformitas (-) feel: nyeri tekan (+), krepitasi (-), pulsasi a. Dorsalis pedis (+), move: gerakan aktif dan pasif terbatas karena nyeri, ROM hip joint, knee joint dan ankle joint terbatas, tanda komparemen: pain (+), paralisis (-), pallor (-), pulselessness (-). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan leukosit 14.69 (H).
D. INITIAL PLAN Diagnosis kerja : Vulnus morsum serpentis e.c snake bite grade 1 a/r pedis senistra tanpa komplikasi Terapi •
Rawat inap
Inj Ceftriaxon 2x1 gr
•
Inform consent
Asam Mefenamat 3x1
•
Infus RL 20 tpm
Inj Dexametason 2x1 amp
•
Inj drip ABU 3 flash
Inj Ketorolac 2x
Ganjal kaki kiri dengan posisi lebih tinggi 1. Initial Plan Monitoring -
Keadaan umum
-
Tanda vital
-
Tanda perdarahan
-
Keluhan nyeri
-
Tanda sindrom kompartemen
2. Initial Plan Edukasi -
Jelaskan kondisi pasien dan tingkat keparahan nya dan berikan saran agar tetap tenang dan tidak panik
-
Sarankan untuk dirawat di RS selama 1x 24 jam untuk observasi untuk menghindari delayed effect
-
Prinsip imobilisasi untuk memperlambat penyebaran bisa ular
-
Menjaga kebersihan luka agar memperkecil infeksi sekunder
E. PROGNOSIS 1. Quo ad vitam
: ad bonam
2. Quo ad functional
: ad bonam
3. Quo ad sanationam
: ad bonam
BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. KLASIFIKASI JENIS ULAR Diagnosis dari spesies ular yang menggigit korban penting untuk diketahui. Bisa dilakukan dengan mengidentifikasi ular yg sudah mati, ciri-cirinya atau dari manifestasi klinis yang muncul.1 dari 2500 –3000 spesies ular yang tersebar di dunia kira-kira ada 500 ular yang beracun.3 famili viperidae (vipers, adders, pit vipers, and mocassins), elapidae (cobras, mambas, kraits, coral snakes, australasian venomous snakes, and sea snakes), atractaspididae (burrowing asps) — memiliki kemampuan untuk menyuntikkan bisa menggunakan gigi yang telah termodifikasi (taring).2
Gambar 1. Jenis-jenis ular berbisa
Gambar 2. Spesies ular berbisa di Indonesia
Kategori 1 : Ular berbisa yang tersebar luas dan mengakibatkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian yang tinggi. Kategori 2 : Ular berbisa yang mengakibatkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian yang tinggi tetapi berdasarkan data epidemiologi jarang terjadi karena habitat dan perilaku ular yang jauh dari populasi manusia. Bisa ular dihasilkan dan disimpan pada sepasang kelnjar di bawah mata dan dihubungkan ke taring oleh Saluran racun menghubungkan kelenjar penghasil racun sampai dasar taring (fang).
Gambar 3. Anatomi kantong bisa ular dan saluran bisa Sampai saat ini belum ada aturan baku untuk membedakan ular berbisa atau tidak. Beberapa ular yang tidak berbisa telah berevolusi menyerupai ular beracun begitu pula sebaliknya sehingga terlihat hampir sama. Meskipun dalam beberapa hal ular berbisa memiliki ciri-ciri tertentu seperti ukuran dan bentuk tubuhnya, pola kulitnya, perilaku dan suara jika dalam keadaan terancam. 1 Sebagai contoh ular jenis kobra sudah dikenal luas akan menegakkan tubuhnya, menyemburkan racun dan secara agresif mematuk lawannya jika dalam kondisi terancam. Ular penghasil bisa (snake venom) berbahaya, bisa yang dikeluarkannya 90% merupakan protein sisanya merupakan nonenzim seperti protein nontoksis yang mengandung karbohidrat dan logam. Bisa tersebut mengandung lebih dari 20 macam
enzim yang berbeda termasuk phospholipases A2, B, C, D hydrolases, phosphatases
(asam
sampai
alkalis), proteases,
esterases,
acetylcholinesterase, transaminase, hyaluronidase, phosphodiesterase, nucleotidase dan ATPase serta nucleosidases (DNA & RNA).3
B. BIS A ULAR Beberapa enzim yang terkandung dalam bisa ular antara lain :
Zinc metalloproteinase haemorrhagins: Merusak endotel vaskular, mengakibatkan perdarahan.
Procoagulant enzymes : Mengandung serine protease dan enzim prokoagulan yang merupakan zat pengaktif faktor X, prothrombin dan faktor koagulan yang menstimulasi pembekuan darah dengan membentuk benang fibrin pada aliran darah. Ironisnya proses ini membuat darah menjadi sukar membeku karena hampir semua fibrin rusak dan faktor-faktor pembekuan darah tersebuat akan berkurang dalam waktu sekitar 30 menit setelah gigitan ular.
Phospholipase A2 (lecithinase): Merusak mitokondria, Sel darah merah, leukosit, platelet, saraf tepi, otot skeletal, endotel vaskular, dan membran-membran lain, menghasilkan aktifitas neurotoksik di presinaps, dan memicu pelepasan histamin dan antikoagulan.
Acetylcholinesterase
Hyaluronidase: meningkatkan penyebaran bisa ke seluruh jaringan.
Enzim proteolitik : meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga menybabkan edema, munculnya bulla, lebam, dan nekrosis pada tempat gigitan. 1
Selain itu ada zat penyusun bisa ular yang bersifat neurotoksik post sinaps yaitu α-bungarotoxin and cobrotoxin, yang terdiri atas 60-62 atau 66-74 asam aminio dan subunit fosfolipase A yang melepaskan asetilkolin pada saraf tepi di neuromuscular junction dan mencegah pelepasan neurotransmiter. Peningkatan permeabilitas vaskular jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan renjatan atau syok yang jika tidak tertangani dapat menyebabkan
kematian. Seringkali bisa ular bersifat neurotoksik yang menyebabkan kelumpuhan (paralysis) dan terhentinya pernapasan, serta pengaruh kardiotoksik menyebabkan denyut jantung berhenti juga berpengaruh kepada terjadinya miotoksik.2
Tabel 1. Protein pada bisa ular dan kepentingan klinis
C. EPIDEMIOLOGI Pada tahun 1998 angka kematian diperkirakan sekitar 125.000 dari 5 juta kasus per tahun termasuk 100.000 kematian dari 2 juta kasus di Asia.1 Di Amerika dilaporkan 4000-7000 kasus gigitan ukar per tahun dengan
rata-rata 4 kasus per 100.000 penduduk. Selama 5 tahun penelitian retrospektif dari sekitar 25 kasus gigitan, 4 diantaranya memerlukan tindakan fasciotomi dan 2 memerlukan tandur kulit dengan rasio laki-laki : perempuan = 9 : 1 Dan 50% sering terjadi pada umur 18-28 tahun.5 Di Indonesia sendiri dilaporkan sekitar 20 kasus kematian dari ribuan kasus gigitan ular per tahun.1
D. PATOGENESIS a. Gangguan pembekuan darah Umumnya ular berbisa, bisanya mengandung serine protease, metaloproteinase yang mengganggu hemostasis dengan aktivasi atau menghambat faktor koagulan atau platelet dan merusak endotel vaskular. Enzim dalam bisa ular akan berikatan dengan reseptor platelet menginduksi atau menghambat agregasi platelet. Enzim-enzim prokoagulan akan mengaktifkan protrombin, faktor V,X,XIII dan pasminogen endogen. Kombinasi konsumsi aktivitas antikoagulan, terganggunya jumlah dan fungsi platelet dan kerusakan dinding endotel pembuluh darah berakibat perdarahan yang hebat pada pasien, Penyakit pembekuan darah (koagulopati) ditandai defibrinasi yang berkaitan dengan jumlah trombosit. Di samping itu dapat mengubah protrombin menjadi trombin dan mengurangi faktor V,VII, protein C dan plasminogen.Tekanan di sistem kardiovaskuler menyebabkan DIC atau tekanan di otot jantung. 2 b. Neurotoksik Bisa ular yang bersifat neurotoksik akan menghambat eksitasi neuromuskular junction perifer dengan berbagai cara. Sehingga gejala yang paling sering muncul adalah mengantuk, menunjukkan bahwa ada kemungkinan pengaruh sedasi sentral yang terkait dengan molekul kecil non protein yang terdapat dalam bisa ular king cobra. Hampir sebagian besar neurotoksin akan mengakibatkan pamanjangan efek dari asetilkolin, sehingga muncul gejala paralisis seperti ptosis, ophtalmoplegia eksternal, midriasis, dan depresi jalan napas dan total flacid paralysis seperti pada pasien dengan Myastenia Gravis. Selain itu ada pola paralisis desendens yang sulit dijelaskan secara patofisiologinya.
Gambar 4. Neuromuscular junction dan protein neurotoxic bisa ular c. Hipotensi Hipotensi yang terjadi pasca gigitan ular disebabkan karena banyak hal terkait bisa ular itu sendiri. Ada beberapa faktor yang memepngaruhi permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi ekstravasasi plasma ke jaringan interstisiel. Selain itu zat-zat dalam bisa ular akan memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap otot jantung, otot polos dan jaringan lain. Melalui bradykininpotentiating peptide, efek hipotensif dari bradikinin akan semakin meningkat
dengan
tidak
aktifnya peptidyl
peptidase yang berfungsi
menghancurkan bradikinin dan mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Penemuan patofisiologi ini merupakan awal mula sintesis captopril dan ACE inhibitor lain.
E. DIAGNOSA a. Anamnesa Riwayat dan mekanisme kejadian, jenis ular yang menggigit (warna, ukuran, bentuk, ciri khas) dapat ditanyakan langsung kepada korban gigitan, namun seringkali pasien tidak tahu. Selain itu perlu ditanyakan waktu kejadian yang dapat mempengaruhi terapi dan prognosis pasien, gejala yang pasien rasakan saat ini serta riwayat alergi, pengobatan (antikoagulan) dan penyakit terdahulu (jantung, paru, ginjal).5
b. Manifestasi Klinis -
Gigitan ular tanpa masuknya bisa ular Pada korban gigitan ular atau yang masih disangka tergigit ular biasanya akan muncul gejala panik, cemas serta gelisah dikarenakan kerakutan yang biasa sehingga dapat muncul gejala kaku pada ekstremitas ataupun vasovagal shock. Tekanan darah dan nadi akan meningkat disertai menggigil dan berkeringat.
-
Gigitan ular dengan masuknya bisa ular
Tanda dan gejala awal Setelah masuknya taring ular pada kulit akan muncul nyeri yang kemudian berkembang sensasi terbakar, berdenyut dan nyeri akan bertambah hebat dan akan meningkat ke bagian proksimal dari bagian yang tergigit. Pembesaran kelenjar getah bening regional sering dijumpai (KGB ingunalis jika yang tergigit adalah ekstremitas inferior dan KGB axila jika yang tergigit adalah ekstremitas superior.
c.
Pemeriksaan Fisik 1,4,5 1. Cek tanda-tanda vital (jalan napas, napas, sirkulasi / ABC) 2. Cek tanda bekas gigitan ular berbentuk 2 titik bekas taring ular 3. Status generalis : 1) lemas, mual, muntah, nyeri perut
2) hipotensi 3) penglihatan terganggu, edema konjungtiva (chemosis) 4) pengeluaran keringat dan hipersalivasi 5) Aritmia, edema paru, shock 6) Tanda perdarahan spontan (petekie, epistaksis, hemoptoe) 7) Parestesia
d. Status lokalis : 1) terdapat sepasang lubangan (pungsi) bekas gigitan sebagai tanda luka, 2) bengkak sekitar gigitan dan berwarna kemerahan (tanda-tanda inflamasi) yang muncul dalam 5 menit sampai 12 jam setelah kejadian 3) daerah sekitar gigitan nyeri, muncul bula 4) mati rasa atau kebas ( numbness ) atau kesemutan rasa berdenyutdenyut (tingling ) di sekitar wajah atau tungkai dan lengan.
Gambar 5. Manifestasi klinis pasien dengan gigitan ular
Beberapa faktor yang berpengaruh pada kematian akibat gigitan antara lain 1 1. Serum Anti Bisa Ular : pemberian dosis yang tidak adekuat atau anti bisa ular yang hanya spesifik untuk satu jenis spesia ular tertentu 2. Waktu ketika mendapat terapi yang adekuat pada pusat layanan kesehatan memanjang akibat korban biasanya terlebih dahulu datang pada pengobatan alternatif atau masalah pada transportasi 3. Adanya kegagalan multifungsi pada sistem organ sebagai contoh syok hemoragik atau sepsis ,dan obstruksi jalan nafas
e. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pemeriksaan yang diperlukan adalah pemeriksaan Darah lengkap meliputi leukosit, trombosit, Hemoglobin, hematokrit dan hitung jenis leukosit. Faal Hemostasis ( Prothrombin time, Activated Partial Thromboplastin time, International Normalized Ratio), Cross Match, Serum elektrolit, Faal ginjal (BUN, Kreatinin), Urinalisis untuk melihat myoglobinuria, dan Anlisis Gas darah
Pencitraan Foto rontgen thorax untuk melihat apakah ada edema paru
Lain-lain Mencari tanda-tanda sindrom kompartemen
f.
Diagnosis Banding 5 - Anafilaksis - Deep vein thrombosis (DVT) - Gigitan kalajengking - Syok septik - Sengatan lebah - Luka terinfeksi
F. KLASIFIKASI Derajat gigitan ular : 1. Derajat 0 - Bekas gigitan 2 taring – - Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam - Pembengkakan dan nyeri minimal 2. Derajat I (Minimal ) - Bekas gigitan 2 taring - Bengkak dan kemerahan dengan diameter 1 – 5 inchi - Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam - Nyeri sedang sampai berat 3. Derajat II (Moderate) - Bekas gigitan 2 taring - Nyeri hebat, Bengkak dan kemerahan dengan diameter 6 – 12 inchi dalam 12 jam - Petechie, echimosis, perdarah pada bekas gigitan - Ada tanda-tanda sistemik (mual, muntah, demam, Pembesaran kelenjar getah bening) 4. Derajat III (Severe) - Bekas gigitan 2 taring - nyeri sangat hebat , Bengkak dan kemerahan lebih dari 12 inchi - Tanda-tanda derajat I dan II muncul dengan sangat cepat. Ditemukan tanda-tanda sistemik (gangguan koagulasi, mual, muntah, takikardi, hipotermia, ekimosis, petekia menyeluruh). - Syok dan distres nafas 5. Derajat IV (Extremely severe) - Sangat cepat memburuk - Bengkak dan kemerahan di seluruh ekstremitas yang terkena gigitan, muncul ekimosis, nekrosis dan bulla -
Meningkatnya
tekanan
intrakompartemen
yang
dapat
menghambat aliran darah vena atau arteri - Kegagalan multiorgan (ginjal, jantung) bisa sampai koma bahkan meninggal
G. PENATALAKSANAAN Secara umum tujuan panatalaksanaan pasien dengan gigitan ular adalah untuk menetralisisr toksin, mengurangi angka kesakitan, dan mencegah komplikasi. Alur yang harus dilakukan adalah : Pertolongan pertama
Rujukan ke rumah sakit
Penilain klinis dan resusitasi dengan cepat dan tepat
Mengenali spesies ular jika memungkinkan
Melakukan pemeriksaan penunjang
Pemberian Serum Anti Bisa Ular (SABU)
Observasi respon terhadap pemberian SABU
Terapi suportif dan perawatan luka gigitan
Rehabilitasi serta terapi komplikasi
Biasanya setelah kejadian tergigit ular akan dilakukan beberapa cara tradisional untuk penanganan pertama, namun sebaiknya cara- cara tersebut tidak dilakukan :
Menyedot bisa ular dengan mulut
Memasang torniquet dengan ketat di sekitar luka gigitan karena bisa mengakibatkan nyeri, bengkak dan menghambat aliran darah ke ekstremitas perifer
Melakukan ompres panas, dingin atau penyayatan luka
Pemberian ramuan herbal atau kompres es 1,5
Yang harus dilakukan sebagai pertolongan pertama pada korban gigitan ular sebelum ke rumah sakit (pre hospital) :
Pastikan ABC dan monitor tanda-tanda vital (Nadi, Laju pernafasan, Tekanan Darah, Suhu) kemudian lakukan resusitasi dengan kristaloid sekitar 500- 1000 cc.
Pembatasan pergerakan dan imobilisasi pada daerah sekitar gigitan
Segera rujuk ke tempat pelayanan kesehatan yang memadai
Jangan berikan SABU terlebih dahulu 1,2,5
Rumah sakit Selalu periksa Airway Breathing Circulation Disability of nervous system Exposure (hindari hipotermia) dan evaluasi tanda-tand syok (takipnea, takikardia, hipotensi, perubahan status mental). Pemberian SABU berdasarkan derajat gigitan ular.1
Keadaan yang memerlukan resusitasi segera jika adanya tanda-tanda syok dari - Efek bisa ular pada cardiovascular seperti hipovilemia, syok perdarahan, pelepasan mediator inflamasi dan yang jarang yaitu anafilaksis primer - Gagal nafas karena paralisis otot pernafasan - Cardiac arrest karena hiperkalemia akibat rhabdomyolisis a. Antibiotik Antibiotik profilaksis spektrum luas masih direkomendasikan yaitu cephalosporin generasi tiga dengan spektrum luas gram negatif (Ceftriaxone) akan menekan pertumbuhan bakteri yang mengakibatkan infeksi sekunder. b.
Analgesik Jika diperlukan dapat diberikan analgetik kuat seperti golongan opioid : petidin dengan dosis dewasa 50-100 mg, anak-anak 1-1,5 kg/kgBB atau morfin dengan dosis dewasa 5-10 mg dan anak-anak 0,03-0,05 mg/kg
H. KOMPLIKASI Hal utama penyebab kecacatan adalah nekrosis lokal dan sindrom kompartemen. Nekrosis yang luas mungkin memerlukan tindakan debridemen atau amputasi karena kerusakan pada jaringan yang lebih dalam. Di kemudian hari dapat saja timbul osteomyelitis, dan ulkus kronis. Jika setelah gigitan ular sempat terjadi paralisis otot pernapasan yang mengakibatkan hipoksia otak dan bisa mengakibatkan defisit neurologis menetap.
I. MONITORING Pada pasien dengan gagal nafas dapat diberikan oksigen, intubasi atau bagging manual dan biasanya akan membaiki dalam 1 bulan. Dapat juga diberikan
anticholinesterase. Tirah baring dan pembatasan gerak untuk menghindari trauma diperlukan pada pasien dengan gangguan hemostasis, dapat diberikan transfusi FFP (fresh Frozen Plasma) dan Cryoprecipitate dengan konsentrat platelet, namun jika tidak ada dapat diebrikan Whole Blood. Kadang diperlukan vasopressor sejenis dopamin atau norepinefrin pada pasien dengan syok atau kerusakan miokardium dan dialisi jika terjadi AKI. Adanya rhabdomyolisis mengakibatkan asidosis metabolik seperti pada crush injury dapat dikoreksi dengan natrium bicarbonat sesuai dosis
DAFTAR PUSTAKA 1. Warrell DA, Looareesuwan S, White NJ, et al. Severe neurotoxic envenoming by the Malayan krait Bungarus candidus(Linnaeus): response to antivenom and anticholinesterase.BMJ (Clin Res Ed)1983; 286: 678–80. 2. Williams D, Gutiérrez JM, Harrison R, et al. The Global Snake Bite Initiative: an antidote for snake bite. Lancet 2010; 375:89–91. 3. Isbell LA. Snakes as agents of evolutionary change in primate brains.J Hum Evol 2006; 51: 1–35. 4. Vidal N, Hedges SB. Higher-level relationships of caenophidian snakes inferred from four nuclear and mitochondrial genes. C R Biol 2002; 325: 987– 95. 5. Ohman A. Has evolution primed humans to “beware the beast” Proc Natl Acad Sci USA 2007; 104: 16396–97. 6. Gatineau E, Lee CY, Fromageot P, Ménez A. Reversal of snake neurotoxin binding to mammalian acetylcholine receptor by specific antiserum.Eur J Biochem1988; 171: 535–39