Lapsus Dr Halimah Stase Anak Popy Maelandasari.docx

  • Uploaded by: Poppymaelandasari
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapsus Dr Halimah Stase Anak Popy Maelandasari.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,890
  • Pages: 25
1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Morbili, disebut juga measles atau campak, merupakan penyakit infeksi viral yang sangat menular dan sering terjadi pada anak-anak. Penyakit ini juga termasuk salah satu penyebab kematian terbesar pada anak. Sejak diadakannya program imunisasi, insidensi morbili telah menurun, tetapi akhir-akhir ini kembali meningkat. 1-3 Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia, pada tahun 2013 terjadi 145.700 kematian yang disebabkan oleh campak di seluruh dunia (berkisar 400 kematian setiap hari atau 16 kematian setiap jam) pada sebagian besar anak kurang dari 5 tahun. 2 Berdasarkan laporan Dirjen PP dan PL Depkes RI tahun 2014, masih banyak kasus campak di Indonesia yang dilaporkan mencapai 12.222 kasus. Frekuensi KLB sebanyak 173 kejadian dengan 2.104 kasus. Sebagian besar kasus campak adalah anak-anak usia pra-sekolah dan usia SD. Selama periode 4 tahun, kasus campak lebih banyak terjadi pada kelompok umur 5 – 9 tahun (3491) dan pada kelompok 1 – 4 tahun (3383 kasus). 3 Morbili dapat di diagnosis berdasarkan anamnesis berupa demam, batuk, pilek, mata merah, dan ruam yang timbul mulai dari belakang telinga sampai ke seluruh tubuh. Pemeriksaan fisik berupa suhu badan tinggi (> 38oC), mata merah, dan ruam makulopapuler. Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan darah berupa leukopenia dan limfositopenia. Pemeriksaan imunoglobulin M (IgM) campak juga dapat membantu diagnosis dan biasanya sudah dapat terdeteksi sejak hari pertama dan ke-2 setelah timbulnya ruam.

5,7

IgM campak ini dapat tetap terdeteksi setidaknya sampai 1 bulan

sesudah infeksi. 5,6 Penulisan laporan kasus ini dibuat untuk mengingat kembali penatalaksanaan morbili, khususnya morbili dengan komplikasi bronkopneumonia yang merupakan kompetensi 4a sebagai dokter umum.

2

BAB II LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien No. Rekam Medik : 39.05.59 Tanggal Masuk

: 29 Oktober 2018 Pukul 13:57 WIB

Nama Pasien

: An. Y

Jenis Kelamin

: Perempuan

Tanggal lahir

: 01 Februari 2012

Umur

: 6 tahun

Nama Ibu

: Ny. D

Nama Ayah

: Tn. D

Agama

: Islam

Bangsa

: Indonesia

Alamat

: Perum pinang indah blok D No 18

B. Anamnesis Tanggal

: 29 Oktober 2018 pukul 14:00 WIB

Diberikan Oleh

: Ibu kandung (Alloanamnesis)

Riwayat Penyakit Sekarang 1. Keluhan utama

: Sesak

2. Keluhan tambahan

: Demam, ruam

3. Riwayat Perjalanan Penyakit Sejak ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita mengalami demam tinggi, terus-menerus, tidak disertai menggigil dan kejang. Ibu penderita mengeluhkan demam disertai batuk berdahak (+), Os tidak bisa mengeluarkan dahak dan pilek namun tidak disertai sesak. Mata merah dan berair (+), silau bila terkena cahaya (+), nyeri kepala (-), nyeri sendi/ otot (-), mual (-), muntah (-), nyeri menelan (+), ruam (), nafsu makan menurun (-). BAB cair ada dan BAK tidak ada keluhan. Penderita

3

dibawa berobat ke dokter dan diberi obat penurun panas serta antibiotik, keluhan berkurang namun demam timbul kembali. Sejak ± 1 hari sebelum masuk rumah sakit, keluhan batuk berdahak (+) semakin bertambah parah disertai pilek tanpa adanya sesak. Ibu os juga mengatakan timbul ruam yang pertama kali terlihat di belakang telinga penderita kemudian ruam meluas ke wajah, leher, dada dan perut disertai demam (+) tinggi yang terjadi terusmenerus, semakin lama ruam timbul semakin banyak. Ruam tidak bersisik, tidak menonjol, dan tidak terasa gatal. Mata terlihat kemerahan dan berair (+), silau bila terkena cahaya (+). BAB dan BAK tidak ada keluhan. Penderita tidak dibawa berobat. Sekitar ± 2 jam sebelum masuk rumah sakit, penderita mengalami sesak. ruam sudah meluas hingga ke paha, kadang terasa gatal. Penderita dibawa ke IGD RSUD Palembang BARI.  Riwayat Penyakit Dahulu Pasien tidak pernah merasakan keluhan yang sama sebelumnya.  Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat Hipertensi

: Tidak ada

Riwayat Diabetes Melitus

: Tidak ada

Riwayat Asma

: Tidak ada

Riwayat keluarga dengan penyakit serupa

: Tidak ada

 Riwayat pengobatan Pasien pernah berobat sebelumnya ke IDG RSUD Palembang Bari dan mendapatkan obat penurun panas berupa Paracetamol.  Riwayat persalinan Masa Kehamilan

: Aterm

Partus

: Sc atas indikasi riwayat sc 1x dengan DKP

Tempat

: RSUD Palembang Bari

Ditolong oleh

: Dokter Sp.OG

Tanggal

: 01 Februari 2012

Berat badan

: 3000 gram

Panjang badan

: 48 cm

Lingkar Kepala

: Ibu lupa

4

 Riwayat Makanan Asi

: 0 bulan – 2 tahun (ekslusif)

Susu Formula

: 2 tahun – sekarang

Bubur nasi

: 6 bulan – 7 bulan

Nasi tim

: 8 bulan – 9 tahun

Nasi biasa

: 1 tahun – sekarang

Daging

: 2x sebulan

Ayam

: 5x seminggu

Tahu, tempe

: 1x seminggu

Sayuran

: 2x seminggu

Buah

: 2x seminggu

Kesan

: kebutuhan gizi baik

Kesan

: Kualitas dan kuantitas asupan gizi cukup

 Riwayat Imunisasi Baru lahir

: Hepatitis BO

1 bulan

: BCG dan Polio 1

2 bulan

: DPT-HB-Hib1, Polio 2

3 bulan

: DPT-HB-Hib2, Polio 3

4 bulan

: DPT-HB-Hib3, Polio 4

9 bulan

:-

Kesan

: Imunisasi tidak Lengkap

 Riwayat Tumbuh kembang Gigi Pertama

: Usia 8 bulan

Berbalik

: Usia 3 bulan

Tengkurap

: Usia 3 bulan

Merangkak

: Usia 8 bulan

Duduk

: Usia 8 bulan

Berdiri

: Usia 10 bulan

Berjalan

: Usia 12 bulan

Berbicara

: Usia 2 tahun

Kesan

: Tumbuh kembang normal sesuai usia

5

4. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 29 Oktober 2018.  Pemeriksaan fisik umum Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Kompos mentis

Tanda vital

:



TD

: 100/60 mmHg



HR

: 92 x/menit (isi dan tegangan cukup, nadi reguler)



RR

: 40 x/menit



Suhu

: 38.7 oC

Berat badan

: 17 kg

Panjang badan

: 118 cm

Status Gizi

: BB/U : 10 - 25 SD (Gizi kurang) : TB/U : 75 -50 SD (Normoheight)

 Pemeriksaan Spesifik  Kepala Bentuk

: Normosefali, simetris, ubun ubun besar datar

Rambut

: Hitam, tidak mudah dicabut

Mata

: Konjugtivitis (+/+), lagoftalmus (-/-), palpebra edema (+/+), konjungtiva anemis(-), sklera ikterik(-), sekret (-/-), pupil bulat isokor, diameter 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+) normal.

Hidung

: Dismorfik (-), napas cuping hidung (-), sekret (+/+) warna jernih, epistaksis (-)

Mulut

: Sianosis (-), mukosa mulut dan bibir kering (+), ulser diameter 1cm berwarna putih tepi kemerahan.

Telinga

: Dismorfik (-), cairan (-)

Gigi

: Karies (+), gusi berdarah (-)

Lidah

: Atrofi papil (-), hiperemis (-), selaput (-), tremor (-)

Faring

: Hiperemis (-), edema (-), selaput (-)

Tonsil

: Simetris, ukuran T1-T1, uvula ditengah, hiperemis (-), edema (-), selaput (-), detritus (-)

 Leher

6

Inspeksi

: Dismorfik (-), benjolan (-), parotitis (-)

Palpasi

: Pembesaran KGB (-)

 Thorax Inspeksi

: Dismorfik (-), simetris, retraksi ada, iktus kordis tidak terlihat.

Palpasi

: Nyeri tekan (-), thrill tidak teraba, stem fremitus normal

Paru Perkusi

: Sonor pada kedua lapang paru,

Auskultasi

: Vesikuler (+/+) meningkat, RBHN (+), wheezing (-)

Jantung Auskultasi

: Bunyi jantung I dan II normal, irama reguler, murmur (-) gallop (-)

 Abdomen Inspeksi

: Datar, lemas, dismorfik (-), massa (-), efloresensi primer dan sekunder (-)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Palpasi

: Lemas, nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba

Perkusi

: timpani, nyeri ketok cva (-)

 Ekstremitas : Akral hangat (+) , CRT <2 detik, Ruam (+)

Status Neurologis Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 29 Oktober 2018 Tabel 1. Status neurologi Ekstremitas superior

Ekstremitas inferior

Kanan

Kiri

Kanan

Kiri

Gerakan

Luas

Luas

Luas

Luas

Kekuatan

5

5

5

5

Tonus

Eutoni

Eutoni

Eutoni

Eutoni

Klonus

-

-

Normal

Normal

Refleks fisiologis

Normal

Normal

Normal

Normal

Refleks patologis

-

-

-

-



Gejala rangsal meningeal

: Negatif



Fungsi sensorik

: Dalam batas normal



Nervi cranialis

: Tidak ada kelainan



Reflex primitif

: Tidak ada

7

Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 26 Oktober 2018 Tabel 2. Pemeriksaan laboratorium Hematologi

Hasil

Nilai Normal

Hemoglobin

14,6 g/d

P: 12-14 g/dl

Leukosit

3800/ul

5.000-10.000/ ul

Trombosit

215.000/ul

150.000-400.000/ ul

Hematokrit

42%

P: 37-43%

Hitung jenis

:

 Basofil

0

0-1%

 Eosinofil

0

1-3%

 Batang

2

2-6%

 Segmen

73

50-70%

 Limfosit

20

20-40%

 Monosit

5

2-8%

Widal Test  Thypus O

1/160

 Thypus H

1/80

 Pharathypus AO

1/80

 Pharathypus AH

1/80

 Pharathypus BO

1/80

 Pharathypus CO

1/80

 Pharathypus CH

1/80

8

Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2018 Tabel 3. Pemeriksaan laboratorium Hematologi

Hasil

Nilai Normal

Hemoglobin

14,6 g/d

P: 12-14 g/dl

Leukosit

3800/ul

5.000-10.000/ ul

Trombosit

215.000/ul

150.000-400.000/ ul

Hematokrit

42%

P: 37-43%

Hitung jenis

:

 Basofil

0

 Eosinofil

2

 Batang

3

1-3%

 Segmen

75

2-6%

 Limfosit

15

50-70%

 Monosit

5

20-40%

0-1%

2-8%

Widal Test  Thypus O

1/160

 Thypus H

1/80

 Pharathypus AO

1/80

 Pharathypus AH

1/80

 Pharathypus BO

1/80

 Pharathypus CO

1/80

 Pharathypus CH

1/80

Foto Thorax AP tanggal 29 Oktober 2018

9

7. Diagnosis Banding  Morbili + Bronkhopneumonia  Rubela + Bronkhopneumonia  Demam Skalartina + Bronkhopneumonia

8. Anjuran Pemeriksaan Darah tepi dan foto thoraks

9. Diangnosis Kerja Morbili + Bronkhopneumonia

10. Tatalaksana  IVFD D5 ½ Ns gtt 16x/menit  Injeksi ampicillin 3 x 600 mg  Injeksi Gentamicin 2x 35 mg  Ambroxol syr 3x1 Cth  Vitamin A 1x200.000 IU

11. Prognosis Ad Vitam

: Bonam

Ad Sanationam

: Bonam

Ad fungsionam

: Bonam

12. Follow Up Tabel 4. Follow up 29 Oktober 2018 ( hari ke 1) Tanggal

Pemeriksaan

29 Oktober S : Demam (+), batuk (+), nyeri  menelan (+), BAB cair 1x, sesak 2018 (+) 07:00 WIB  O: KU : Tampak sakit sedang Sens : Compos mentis  TD : 100/60 mmHg HR : 92 x/menit  RR : 40 x/menit T : 38,7ºC Kepala:

Tindakan IVFD D5 ½ Ns gtt 16x/menit Injeksi ampicillin 3 x 600 mg Injeksi Gentamicin 2x 35 mg Ambroxol syr 3x1 Cth

10

Normocephali, NCH (-)  Leher : Pembesaran KGB (-) Thoraks : Simetris, retraksi (+), vesikuler meningkat (+/+), RBHN (+/+), wheezing (-/-), BJ I/II (+), murmur (-) , gallop (-) Abdomen : Datar, lemas, BU meningkat (+), hepar lien tidak teraba, nyeri tekan (-) Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2”, Lab: Hb : 14,6 g/dl Leukosit : 3800/ul Trombosit : 215.000/ul Hematokrit : 42%

Vitamin

A

1x200.000 IU hari ke I dan II

A: Morbili + Bronkhopneumonia

Tabel 5. Follow up 1 November 2018 ( hari ke 3) Tanggal

Pemeriksaan

1 Novemeber

S : Demam (+), nyeri kepala (+) O: KU : Tampak sakit sedang Sens : Compos mentis TD : 100/50 mmHg HR : 85 x/menit RR : 29x/menit T : 37,8ºC Kepala: Normocephali, UUB datar, Leher : Pembesaran KGB (-) Thoraks : Simetris, retraksi (-), vesikuler (+/+), RBHN berkurang (+/+), wheezing (-/-), Bunyi jantung 1/ bunyi jantung 2 (+) normal , murmur (-) , gallop (-) Abdomen : Datar, lemas, BU (+), hepar lien tidak teraba, nyeri tekan (-)

2018

07:00 WIB

Tindakan 

IVFD D5 ½ Ns gtt 16x/menit



Injeksi ampicillin 3 x 600 mg



Cefixime 1x 140 mg



Ambroxol syr 3x1 Cth

11

Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2” Lab: Hb : 14,6 g/dl Leukosit : 3800/ul Trombosit : 215.000/ul Hematokrit : 42% A: Morbili + Bronkhopneumonia

12

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi Morbili Morbili, disebut juga measles atau campak, merupakan penyakit infeksi viral yang sangat menular dan sering terjadi pada anak-anak. Penyakit ini juga termasuk salah satu penyebab kematian terbesar pada anak. Sejak diadakannya program imunisasi, insidensi morbili telah menurun, tetapi akhir-akhir ini kembali meningkat.13

3.2. Epidemiologi Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia, pada tahun 2013 terjadi 145.700 kematian yang disebabkan oleh campak di seluruh dunia (berkisar 400 kematian setiap hari atau 16 kematian setiap jam) pada sebagian besar anak kurang dari 5 tahun. 2

Gambar 1. Jumlah kasus campak, frekuensi KLB campak, jumlah kasus pada KLB campak tahun 2011 sampai dengan 2014 di Indonesia.4

Berdasarkan laporan Dirjen PP dan PL Depkes RI tahun 2014, masih banyakasus campak di Indonesia yang dilaporkan mencapai 12.222 kasus. Frekuensi KLB sebanyak 173 kejadian dengan 2.104 kasus. Sebagian besar kasus campak adalah anak-anak usia pra-sekolah dan usia SD. Selama periode 4 tahun, kasus campak lebih banyak terjadi pada kelompok umur 5 – 9 tahun (3491) dan pada kelompok 1 – 4 tahun (3383 kasus). 3

13

3.3. Etiologi Campak adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh RNA virus genus Morbilli virus, famili Paramyxoviridae.

4,5,6

Virus ini berasal dari famili

yang sama dengan virus gondongan (mumps), virus parainfluenza, virus metapneumovirus manusia, dan virus respiratoir sinsitial (RSV). Virion virus campak berukuran 100 – 250 nm da mengandung inti RNA untai singuler yang diselubungi dengan lapisan pelindung lipid. Virus campak memiliki 6 struktur protein utama. 1. Protein H (Haemagglutinin) berperan penting dalam perlekatan virus ke sel penderita. 2. Protein F (Fusion) meningkatkan penyebaran virus dari sel ke sel. 3. Protein M (Matriks) di permukaan dalam lapisan pelindung virus berperan penting dalam penyatuan virus. 4. Protein L (Large) terletak di dalam, bekerja bersama protein L 5. NP (Nukleoprotein) terletak di dalam dan bekerja sebagai pembentuk struktur nukleokapsid. 6. Protein P (Polimerase phosfoprotein) terletak di dalam. Bersama protein L bekerja dalam aktivitas polimerase RNA virus. Karena virus campak dikelilingi lapisan pelindung lipid, maka mudah diïnaktivasi oleh cairan yang melarutkan lipid seperti eter dan kloroform. Selain itu, virus juga dapat diïnaktivasi dengan suhu panas (> 37oC), suhu dingin (< 20oC), sinar ultraviolet, serta kadar (pH) ekstrem (pH < 5 dan > 10). 5,7 Virus ini jangka hidupnya pendek (short survival time), yaitu kurang dari 2 jam. 8-10

3.4. Patofisiologi Penyebaran infeksi terjadi jika terhirup droplet di udara yang berasal dari penderita. Virus campak masuk melalui saluran pernapasan dan melekat di sel-sel epitelial saluran napas. Setelah melekat, virus bereplikasi dan diikuti dengan penyebaran ke kelenjar limfe regional. Setelah penyebaran ini, terjadi viraemi primer disusul multiplikasi virus di sistem retikulo-endothelial di limpa, hepar, dan kelenjar limfe. Multiplikasi virus juga terjadi di tempat awal melekatnya virus. Pada hari ke-5 sehingga hari ke-7 infeksi, terjadi viraemi sekunder di seluruh tubuh terutama di kulit dan saluran pernapasan. Pada hari ke-11 hingga hari ke-14, virus ada di darah, saluran pernapasan, dan organ-organ tubuh lainnya;

14

2 – 3 hari kemudian virus mulai berkurang. Selama infeksi, virus bereplikasi di sel-sel endothelial, sel-sel epitelial, monosit, dan makrofag. Tabel 1. Patogenesis infeksi campak 8

3.5. Gambaran Klinis Masa inkubasi campak berkisar 10 hari (8 – 12 hari). 7 Gejala kinis terjadi setelah masa inkubasi, terdiri dari tiga stadium: Stadium prodromal. Berlangsung kira-kira 3 hari (kisaran 2 – 4 hari), ditandai dengan demam yang dapat mencapai 39,5oC ± 1,1oC. Selain demam, dapat timbul gejala berupa malaise, coryza (peradangan akut membran mukosa rongga hidung), konyungtivitis (mata merah), dan batuk. Gejala-gejala saluran pernapasan menyerupai gejala infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus-virus lain. Konyungtivitis dapat disertai mata berair dan sensitif terhadap cahaya (fotofobi). Tanda pathognomonik berupa enantema mukosa bukal yang disebut bercak Koplik yang muncul pada hari ke-2 atau ke-3 demam. 1,5,7 Bercak ini berbentuk tidak teratur dan kecil berwarna merah terang, di tengahnya didapatkan noda putih keabuan. Timbulnya bercak Koplik ini hanya sebentar, kurang lebih 12 jam, yang menyebabkannya sukar terdeteksi dan biasanya luput saat pemeriksaan klinis. Stadium

eksantematosa.

Timbul

ruam

makulopapuler

dengan

penyebaran sentrifugal yang dimulai dari batas rambut di belakang telinga, kemudian menyebar ke wajah, leher, dada, ekstremitas atas, bokong, dan akhirnya ekstremitas bawah. Ruam ini dapat timbul selama 6 – 7 hari. Demam umumnya memuncak (mencapai 40oC) pada hari ke 2-3 setelah munculnya ruam. 1,5,7 Jika demam menetap setelah hari ke-3 atau ke-4, umumnya mengindikasikan adanya komplikasi.

15

Stadium konvalesens (penyembuhan). Setelah 3 – 4 hari umumnya ruam berangsur menghilang sesuai dengan pola timbulnya. Ruam kulit menghilang dan berubah menjadi kecoklatan yang akan menghilang dalam 7 – 10 hari . 1,7,10 3.6. Diagnosis Anamnesis berupa demam, batuk, pilek, mata merah, dan ruam yang mlai timbul dari belakang telinga sampai ke seluruh tubuh. Pemeriksaan fisik berupa suhu badan tinggi (> 38oC), mata merah, dan ruam makulopapuler. Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan darah berupa leukopenia dan limfositopenia. Pemeriksaan imunoglobulin M (IgM) campak juga dapat membantu diagnosis dan biasanya sudah dapat terdeteksi sejak hari pertama dan ke-2 setelah timbulnya ruam. 5,7IgM campak ini dapat tetap terdeteksi setidaknya sampai 1 bulan sesudah infeksi. 5,6 3.7. Diagnosis Banding Campak harus dibedakan dari beberapa penyakit yang klinisnya juga berupa ruam makulopapuler. Gejala klinis klasik campak adalah adanya stadium prodromal demam disertai koriza, batuk, konyungtivitis, dan penyebaran ruam makulopapuler. 7,9Penyakit lain yang menimbulkan ruam yang sama antara lain: 9 1. Rubella (campak jerman) dengan gejala lebih ringan tanpa disertai batuk. 2. Roseola infantum dengan gejala batuk ringan dan demam yang mereda ketika ruam muncul. 3. Parvovirus (penyakit kelima) dengan ruam makulopapuler tanpa stadium prodromal. 4. Demam skarlatina (scarlet fever) dengan gejala nyeri tengorokan dan demam tanpa konyungtivitis ataupun koriza. 5. Penyakit Kawasaki dengan gejala demam tinggi, konyungtivitis, dan ruam, tetapi tidak disertai batuk dan bercak Koplik. Biasanya timbul nyeri dan pembengkakan sendi yang tidak ada pada campak.

16

3.8. Tatalaksana Pada campak tapa komplikasi tatalaksana bersifat suportif, berupa tirah baring, antipiretik (parasetamol 10 – 15 mg/kg.dosis) dapat diberikan sehingga setiap 4 jam, cairan yang cukup, suplemen nutrisi, dan vitamin A.1,10,12 Vitamin A dapat berfungsi sebagai imunomodulator yang menigkatkan respons antibodi terhadap virus campak. Pemberian vitamin A dapat menurunkan angka kejadian komplikasi seperti diare dan pneumonia. 5 Vitamin A diberikan satu kali per hari selama 2 hari dengan dosis sebagai berikut: 1,5-7,9,10,12 1. 200.000 IU pada anak umur 12 bulan atau lebih 2. 100.000 IU pada anak umur 6 – 11 bulan 3. 50.000 IU pada aak kurang dari 6 bulan 4. Pemberian vitamin A tambahan satu kali dosis tunggal dengan dosis sesuai umur penderita diberikan antara minggu ke-2 hingga ke-4 pada anak dengan gejala defisiensi vitamin A. Pada campak dengan komplikasi otitis media dan/atau pneumonia bakterial dapat diberi antibiotik. 1,7,12Komplikasi diare diatasi dehidrasinya sesuai dengan derajat dehidrasinya. 10,12 3.9. Komplikasi Komplikasi umumnya terjadi pada anak risiko tinggi, yaitu: 2,10 1. Usia muda, terutama di bawah 1 tahun 2. Malnutrisi (marasmus atau kwasiorkor) 3. Pemukiman padat penduduk yang lingkungannya kotor 4. Anak dengan gangguan imunitas, contohnya pada anak terinfeksi B20 (HIV), malnutrisi, atau keganasan 5. Anak dengan defisiensi vitamin. Komplikasi dapat terjadi pada berbagai organ tubuh, antara lain: 1,5,7-9 1. Saluran pernapasan: bronkopneumonia, laringotrakeobronkitis (croup) 2. Saluran pencernaan: diare yang dapa diïkuti dengan dehidrasi 3. Telinga: otitis media 4. Susunan saraf pusat: a. Ensefalitis akut: timbul pada 0,01 – 0,1% kasus campak. Gejala berupa demam, nyeri kepala, letargi, dan perubahan status mental yang biasanya muncul antara hari ke-2 sampai hari ke-6 setelah munculnya ruam.

17

Umumnya self-limited (dapat sembuh sendiri), tetapi pada sekitar 15% kasus terjadi perburukan yang cepat dalam 24 jam. Gejala sisa dapat berupa kehilangan pendengaran, gangguan perkembangan, kelumpuhan, dan kejang berlang. b. Subakut sklerosis panensefalitis (SSPE). Suatu proses degeneratif susunan saraf pusat yang disebabkan infeksi persisten virus campak, timbul beberapa tahun setelah infeksi (umumnya 7 tahun). Penderita mengalami perubahan tingkah laku, mental retardasi, kejang mioklonik, dan gangguan motorik. 5. Mata: keratitis 6. Sistemik: septikaemi karena infeksi bakteri seunder. 3.10. Prognosis Campak merupakan self-limiting disease, namun sangat infeksius. Mortalitas dan morbiditas meningkat pada penderita dengan faktor risiko yang memengaruhi timbulnya komplikasi. Di negara berkembang, kematian mencapai 1 – 3%, dapat meningkat hnigga 5 – 15% saat terjadi KLB campak. 1

3.11. Prevensi Pencegahan dilakukan dengan vaksinasi campak ataupun vaksinasi MMR (measles, mumps, rubella). Sesuai jadwal imunisasi rekomendasi IDAI tahun 2014, vaksin campak diberikan pada usia 9 bulan. Selanjutnya, vaksin penguat dapat diberikan pada usia 2 tahun. Apabila vaksin MMR diberikan pada usia 15 bulan, tidak perlu vaksinasi campak pada usia 2 tahun. Selanjutnya, MMR ulangan diberikan pada usia 5 – 6 tahun.13 Dosis vaksin campak ataupun vaksin MMR 0,5 mL subkutan. 8 Imunisasi

ini

tidak

dianjurkan

pada

ibu

hamil,

anak

dengan

imunodefisiensi primer, pasien tuberkulosis yang tidak diobati, pasien kanker atau transplantasi organ, pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak imunokompromisata

yang terinfeksi

HIV.

Anak

terinfeksi

HIV

tanpa

imunosupresi berat dan tanpa bukti kekebalan terhadap campak, bisa mendapat imunisasi campak. 1,8 Reaksi KIPI (Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi) yang dapat terjadi pascavaksinasi campak berupa demam pada 5 – 15% kasus, yang dimulai pada hari ke-

18

5 – 6 sesudah imunisasi, dan berlangsnug selama 5 hari. Ruam dapat dijumpai pada 5% resipien, yang timbul pada hari ke-7 sehingga 10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2 – 4 hari.8 Reaksi KIPI dianggap berat jika ditemukan gangguan sistem saraf pusat, seperti ensefalitis dan ensefalopati pasca-imunisasi. Risiko kedua efek samping tersebut dalam 30 hari setelah imunisasi diperkirakan 1 di antara 1.000.000 dosis vaksin. 6,8 Reaksi KIPI vaksinasi MMR yang dilaporkan pada penelitian mencakup 6000 anak berusia 1 – 2 tahun berupa malaise, demam, atau ruam 1 minggu setelah imunisasi dan berlangsung 2 – 3 hari.8 Vaksinasi MMR dapat menyebabkan efek samping demam, terutama karena komponen campak.14,15 Kurang lebih 5 – 15% anak akan mengalami demam > 39,4oC setelah imunisasi MMR.6,8,14,15 Reaksi demam tersebut biasanya berlangsung 7 -12 hari setelah imunisasi, ada yang selama 1 – 2 hari. Dalam 6 – 11 hari setelah imunisasi, dapat terjadi kejang demam pada 0,1% anak, ensefalitis pasca-imunisasi terjadi pada < 1/1.000.000 dosis. 8

19

BAB IV ANALISIS KASUS

Seorang anak perempuan berusia 6 tahun hari dibawa ke RSUD Bari dengan keluhan demam ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Os mengalami demam tinggi, terus-menerus, tidak disertai menggigil dan kejang. Ibu penderita mengeluhkan demam disertai batuk berdahak (+). Pada pemeriksaan fisik didapatkan mata merah dan berair (+), silau bila terkena cahaya, nyeri menelan (+), ruam (+) yang pertama kali terlihat di belakang telinga penderita, kemudian ruam meluas ke wajah, leher, dada dan perut disertai demam (+) tinggi yang terjadi terus-menerus, nafsu makan menurun. Pasien datang dengan keluhan utama sesak demam tinggi terus menerus dan disertai timbulnya ruam yang muncul pada hari 3 demam tinggi. Dari keluhan ini dapat dipikirkan adanya penyakit morbili atau rubella. Rubella dapat disingkirkan karena penderita mengalami batuk, dan penyakit Kawasaki dapat disingkirkan karena tidak terdapat gejala persendian. Penderita mengalami demam dengan batuk 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Penemuan ini sejalan dengan stadium prodromal yang berlangsung sekitar 2 hingga 4 hari. Pada stadium ini dapat ditemukan bercak Koplik. Antibiotik dan parasetamol tidak akan mengubah perjalanan penyakit campak.1 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita mengalami ruam yang pertama kali timbul di belakang telinga, demam masih ada. Kejadian ini dapat diinterpretasi sebagai mulai berjalannya fase eksantematosa, di mana ada ruam makulopapuler yang pertama kali timbul di belakang telinga kemudian ke wajah. Ruam yang kemudian meluas hingga ke thoraks, abdomen, lalu paha bersifat khas pada rubeola. Sesak yang dialami penderita 2 jam sebelum masuk rumah sakit sangat mungkin disebabkan oleh bronkopneumonia, yang merupakan komplikasi sering terjadi pada campak. Bronkopneumonia akan dikonfirmasi pada pemeriksaan fisik. Penderita tidak mendapatkan imunisasi campak pada usia 9 bulan, yang merupakan bagian dari imunisasi dasar. Kemungkinan penderita untuk mengalami campak meningkat secara signifikan, dan diagnosis mulai terarah ke morbili. Penderita berada pada usia sekolah – penderita kemungkinan besar mendapatkan campak dari penderita di sekolah, bisa juga dari lingkungan tempat tinggal penderita yang padat penduduk. Pada umumnya, penderita akan mengalami demam tertinggi pada 2 – 3 hari setelah munculnya ruam. Pemeriksaan dilakukan pada hari ke-5 setelah ruam

20

muncul pertama kali, yang menunjukkan demam sudah seharusnya turun (38,3oC). Ruam makulopapuler masih ditemui, karena baru akan menghilang pada 6 – 7 hari setelah muncul pertama kali. Retraksi menunjukkan anak terlihat sesak. Rhonkhi basah halus-nyaring di kedua lapangan paru merupakan tanda yang khas pada bronkopneumonia paediatrik, di mana sekret mengisi ruangan alveolair dan ikut bergerak ke atas saat ekspirasi. Cairan yang bergerak dalam pipa akan memberikan bunyi harmonik, yang dikenal sebagai rhonkhi. Bronkopneumonia telah dapat ditegakkan sebagai diagnosis tambahan, yang berupa komplikasi dari morbili. Hasil laboratorium pada 28 Oktober 2018 menggambarkan morbili, karena terdapat hasil leukosit 3800 /ul dengan interpretasi leukopenia Jadi diagnosis morbili dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dan dapat juga dipastikan dengan pemeriksaan penunjang. Penderita didiagnosis dengan morbili + bronkopneumonia karena secara klinis, penderita menunjukkan gejala dan tanda yang sesuai untuk morbili. Penderita juga memenuhi tiga dari lima kriteria pada bronkopneumonia, yaitu dispnoe, demam, dan ronkhi basah halus-nyaring. Cairan

yang

dibutuhkan

oleh

pasien

adalah

1000+(17−10)

∗50mL=1350mL per hari. Cairan maintenance pada anak 17 kg adalah Dekstrosa 5% 1/2 normal salin, Digunakan dosis 16 tetes/menit. Vitamin A digunakan sebagai imunomodulator yang meningkatkan respons antibodi; selain itu juga menjaga ketahanan mukosa yang bertujuan mencegah komplikasi seperti bronkopneumonia (yang telah terjadi sebelum pemberian terapi). Kombinasi Ampisilin/Gentamicin merupakan terapi yang seharusnya terpilih sebagai pengobatan empirik bronkopneumonia dengan penyakit menular, menurut Panduan Praktik Klinik FK Unsri. 16 Tetapi, keterbatasan sumber daya dan tidak tersediaan Sulbaktam dalam Formularium Nasional, Ampisilin dan Gentamisin dapat digunakan sebagai pengganti. 22 Metode ini juga sejalan dengan Buku Ajar Respirologi Anak FK Unair. 21

Dosis Ampisilin

2 x 35 mg, Hal ini telah sesuai dengan teori bahwa dosis ampicillin 10-25 mg/kgBB. Paracetamol digunakan sebagai antipiretik jika suhu naik kembali, walaupun kemungkinannya kecil. Penderita dirawat isolasi, karena morbili bersifat menular melalui droplet 4 hari sebelum ruam muncul hingga 4 hari setelah ruam hilang. Namun pada pasien tidak diberikan Oksigen nasal sebagai

21

terapi suportif sesak pada bronkopneumonia. Rontgen thoraks digunakan untuk mengonfirmasi terjadinya bronkopneumonia. Os tidak mengalami masalah dengan intake oral dan diberikan diet nasi biasa. Penderita direncanakan untuk pulang pada 5 Oktober 2018 (hari ke-7 di rumah sakit), dengan Cefixime 1x140 mg sebagai terapi lanjutan rawat jalan. Ambroksol digunakan sebagai mukokinetik untuk pengobatan simptomatik bronkopneumonia. Prognosis pada pasien ini adalah bonam baik untuk vitam, fungsionem, dan sanationem karena penderita tidak menunjukkan tanda-tanda perburukan maupun kegawatdaruratan selama perawatan. Sebagai pertimbangan tambahan, bronko-pneumonia merupakan komplikasi tunggal morbili pada kasus ini, dan tidak disertai keratitis, otitis media, maupun ensefalitis.

22

BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Simpulan yang didapatkan sebagai berikut: Seorang anak perempuan berusia 6 tahun hari dibawa ke RSUD Bari dengan keluhan demam ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Os mengalami demam tinggi, terus-menerus, tidak disertai menggigil dan kejang. Ibu penderita mengeluhkan demam disertai batuk berdahak (+). Pada pemeriksaan fisik didapatkan mata merah dan berair (+), silau bila terkena cahaya, nyeri menelan (+), ruam (+) yang pertama kali terlihat di belakang telinga penderita, kemudian ruam meluas ke wajah, leher, dada dan perut disertai demam (+) tinggi yang terjadi terus-menerus, nafsu makan menurun. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin terdapat leukopenia dan limfopeni. Pada pasien ini diberikan tatalaksana berupa IVFD D5 ½ Ns gtt 16x/menit, injeksi ampicillin 3 x 600 mg, injeksi Gentamicin 2x 35 mg, Ambroxol syr 3x1 Cth dan Vitamin A 1x200.000 IU. 5.2. Saran Saran kepada pasien dan keluarga, bahwa morbili merupakan penyakit yang dapat di sebabkan oleh virus dan dapat menular melalui droplet. Namun penyakit ini dapat dicegah dengan melakukan imunisasi campak yang diberikan pada umur 9 bulan, diulang pada saat masuk SD, atau immunisasi MMR pada usia 12-15 bulan diulang pada usia 5-6 tahun. Pada anak yang pernah menderita campak, imunisasi tidak perlu diberikan.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Dubbey AP. Measles, dalam: Parthasarathy A, Menon PSN, Gupta P, Nair MKC, Agrawal R, Sukumaran TU, editor. IAP Textbook of Pediatrics, 5th ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd; 2013. hal. 250-1. 2. World

Health

Organization.

Measles.

Februari

2015.

Diakses

melalui

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs286/en pada 01 Novenber 2018 20:32 WIB. 3. World Health Organization. Measles – The Americas. 13 Februari 2015. Diakses melalui

http://who.int/cst/don/13-february-2015-measles/en

pada

01

Novenber

201820:55 WIB. 4. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun 2014. Jakarta, 2015. 5. Maldonado YA. Rubeola Virus (Measles and Subacute Sclerosing Panence-phalitis), dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG, editor. Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases, 4th ed. Churchill Livingstone: Elsevier Inc.; 2012. Hal. 1137-44. 6. The American Academy of Pediatrics. Measles, dalam: AAP. 2015 Report of the Committee

on

Infectious

Diseases.

20

Februari

2015.

Diakses

melalui

http://redbook.solutions.aap.org/DocumentLibrary/2015RedBookMeasles.pdf pada 01 Novenber 201818:30 WIB. 7. Cherry JD. Measles Virus, dalam: Cherry JD, Harrison GJ, Kaplan SI, Hotez PJ, Steinbach WJ, editor. Feigin & Cherry’s Textbook of Pediatric Infectious Diseases, 7th ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2014 (Vol 2). hal. 2373-94. 8. Soegijanto S, Salimo H. Campak, dalam: Ranuh IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko. Pedoman Imunisasi di Indonesia, edisi keempat. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2011. hal. 341-5. 9.

Khuri-Bulos N. Measles, dalam: Elzouki AY, Hatfi HA, Nazer HM, Stapleton FB, Oh W, Whitley RJ, editor. Textbook of Clinical Pediatrics, 2nd ed. Berlin: Springer; 2012. hal. 1221-7.

10. World Health Organization. Treating Measles in Children. 2004. Diakses melalui http://www.who.int/immunization/documents/EPI_TRAM_97.02/en

pada

01

Novenber 2018 21:43 WIB. 11. Info Imunisasi. Campak Bisa Dicegah dengan Imunisasi. 17 Juli 2012. Diakses melalui

http://infoimunisasi.com/headline/campak-bisa-dicegah-dengan-imunisasi

pada 01 Novenber 2018 18:37 WIB. 12. Pediatric Infectious Disease Society of the Philippines. Interim Management Guidelines for Measles. 2013. 13. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jadwal Imunisasi IDAI 2014. 2014.

24

14. Centers for Disease Control and Prevention. Measles. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. 2015. 15. Halim RG. Campak pada Anak. 2016. Cermin Dunia Kedokteran 238/vol. 43 no. 3. hal. 186-9. 16. Departemen/Staf Medik Fungsional Kesehatan Anak RSUP dr. Mohammad Hoesin/Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Panduan Praktik Klinik (PPK) Respirologi. Palembang; 2016. hal. 1 – 4. 17. Raharjoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak, edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010. hal. 350 – 5. 18. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007. hal. 1302 - 28. 19. UNICEF. The Challenge: Pneumonia is the Leading Killer of Children. UNICEF. 2011 Mar. 20. Alberta Medical Association. Guidelines for the Diagnosis and Management of Community-Acquired Pneumonia (Pediatric). Diakses melalui, 20:14 WIB. 21. Alsagaff, Hood. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Anak. Surabaya: Penerbit FK Unair. 2004. hal. 67 – 74. 22. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 328/Menkes/SK/VIII/2013. Jakarta; 2013. 23. World Health Organization. WHO Growth Charts. 2005

25

Related Documents


More Documents from "bio rizkimaulana"