LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK PEMBENIHAN PERIKANAN LAUT ACARA I KULTUR PAKAN ALAMI (Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp.)
Oleh : Nama NIM Kelompok
: Nindita Arrum Wa : B0A013030 : 7 (Tujuh)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PROGRAM STUDI D-III PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DAN KELAUTAN PURWOKERTO 2014
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembenihan merupakan mata rantai awal dan kunci keberhasilan dalam kegiatan perairan. Penyediaan pekan alami yang berkualitas dan tercukupi sangat penting untuk pemeliharaan larva ikan dan non ikan. Pentingnya pekan alami sangat dirasakan pada pembenihan organisme laut,karena hingga saat ini belum ada pekan buatan yang menggatikan peran pekan alami secara sempurna. Pengembangan usaha aquakultur sangat bergantung terhadap kesediaan suplai dan stok phytoplankton secarah simultan dan countinous. Sehingga kesinambungan pengembangan aquakultur dan industri aquakultur dapat terjaga dan aman dari kendala kebutuhan akan phytoplankton maupun zooplankton sebagai natural food (Anjar, dkk, 2002). Pakan alami sangat diperlukan dalam budidaya ikan dan pembenihan, karena akan menunjang kelangsungan hidup benih ikan. Pada saat telur ikan baru menetas maka setelah makanan cadangan habis, benih ikan membutuhkan pakan yang sesuai dengan ukuran tubuhnya. Pemberian pakan yang berlebihan atau tidak sesuai dengan kondisi ikan berakibat kualitas air media sangat rendah. Disamping air media cepat kotor dan berbau amis, berakibat pula kematian benih ikan sangat tinggi sampai sekitar 60 - 70% (Chumaidi et. al, 1990). Kultur phytoplakton skala laboratorium bisanya memerlukan kondisi lingkungan yang terkendali. Hal ini dimaksudkan agar pertumbuhan phytoplankton optimal sehingga didapatkan bibit (strarter) yang bermutu tinggi untuk skala kultur selanjutnya. Laboratorium kultur phytoplakton perlu di lengkapi dengan air conditioner untuk mengatur suhu ruangan. Cahaya sebagai sumber energy fotosintetis harus cukup, dengan intensitas sekitar 5.000-10.000 lux. Aerasi juga sangat diperlukan dalam kultur phytoplankton baik pada skala laboratorium, semi out-door maupun out-door (Effendi, 2003).
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah supaya mahasiswa paham dan mampu melakukan kultur skala laboratorium Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. secara benar dengan menggunakan media Guillard maupun Conway dan mendapat hasil yang optimal.
1.3. Manfaat
Manfaat dari praktikum ini adalah menambah pengetahuan dan wawasan kepada mahasiswa tentang cara budidaya Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. skala laboratorium dengan media Guillard dan Conway.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Marine Phytoplankton
Organisme perairan pada tingkat (tropic) pertama berfungsi sebagai produsen/penyedia energi disebut sebagai plankton. Definisi umum menyatakan bahwa yang dimaksud dengan plankton adalah suatu golongan jasad hidup akuatik berukuran mikroskopik, biasanya berenang atau tersuspensi dalam air, tidak bergerak atau hanya bergerak sedikit untuk melawan/mengikuti arus (Wibisono, 2005). Plankton terbagi dua yaitu zooplankton (plankton hewan) dan fitoplankton (plankton tumbuhan). Fitoplankton bersifat autotrofik yaitu dapat menghasilkan bahan organik makanannya sehingga berfungsi sebagai produsen primer. Zooplankton bersifat heterotrofik karena tidak dapat memproduksi bahan makanannya
sehingga
dia
berfungsi
sebagai
konsumen.
Plankton
dapat
dikelompokkan berdasarkan habitat sebagai beri : A. Plankton bahari a. Plankton oseanik : plankton yang hidup di luar paparan benua (lautan). b. Plankton neritik
: plankton yang hidup di atas paparan benua
(mulut sungai, perairan pantai dan perairan lepas pantai). c. Plankton air payau: plankton yang hidup di perairan salinitas rendah (0,530,0 ‰) (ARINARDI et al. 1957). B. Plankton air tawar Semua plankton yang hidup di perairan dengan salinitas kurang dari 0,5 ‰ (ARINARDI et al. 1957). Marine Fitoplankton atau Fitoplankton laut adalah bentuk individu yang paling penting dari kehidupan di laut. Organisme ini, yang oleh fotosintesis mengubah air dan karbon dioksida menjadi bahan organik, adalah dasar dari rantai makanan laut. Distribusi dan pola pertumbuhan fitoplankton (sebagai tumbuhan mereka harus tinggal di zona eufotik) menunjukkan variasi vertikal dan musiman (Ross, 1982). Menurut habitatnya, plankton terbagi atas 5 golongan. Haliplankton adalah plankton yang dihidup di air laut, hipalmiroplankton adalah plankton yang dihidup di air payau, potamoplankton adalah plankton yang hidup di sungai, heleoplankton
adalah plankton yang hidup di kolam, dan limnoplankton adalah plankton yang hidup di danau (Chen & Shetty, 1991).
2.2. Chlorella sp.
Chlorella sp. berasal dari bahasa latin chloros yang berarti hijau dan ella yang berarti kecil, kemudian diberi nama oleh Beyerinck ahli biologi Jerman. Chlorella adalah genus mikroalga atau ganggang hijau bersel tunggal yang hidup di air tawar, laut, dan tempat basah. Ganggang ini memiliki tubuh seperti bola.Di dalam tubuhnya terdapat kloroplas berbentuk mangkuk. Chlorella merupakan jenis mikroalga yang paling sering diteliti dan dimanfaatkan, baik untuk produk suplemen makanan maupun untuk mendukung sediaan energi terbaru (Chisti, 2008). Menurut Vashista (1979), klasifikasi Chlorella sp. sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Phylum
: Chlorophyta
Kelas
: Chlorophyceae
Ordo
: Chlorococcales
Family
: Chlorellaceae
Genus
: Chlorella
Species
: Chlorella sp.
Sel Chlorella sp. berbentuk bulat atau bulat telur dan umumnya merupakan alga bersel tunggal (unicellular), meskipun kadang-kadang dijumpai bergerombol. Diameter selnya berkisar antara 2-8 mikron, berwarna hijau, dan dinding selnya keras yang terdiri dari selulosa dan pektin, serta mempunyai protoplasma yang berbentuk cawan. Chlorella sp. dapat bergerak tetapi sangat lambat sehingga pada pengamatan seakanakan tidak bergerak. Perkembangbiakannya terjadi secara vegetatif dengan membelah diri. Setiap selnya mampu membelah diri dan menghasilkan empat sel baru yang tidak mempunyai flagel (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
2.3. Nannochoropsis sp.
Nannochloropsis sp. merupakan mikroalga berwarna kehijauan, selnya berbentuk bola, berukuran kecil dengan diamater 2-4 µm, memiliki 2 flagel dengan salah satu
flagelnya berambut tipis. Nannochloropsis sp. memiliki kloroplas dan nukleus yang dilapisi membran. Kloroplas memiliki stigma (bintik mata) yang bersifat sensitif terhadap cahaya. Nannochloropsis sp. dapat berfotosintesis karena memiliki klorofil. Ciri khas dari Nannochloropsis sp. adalah memiliki dinding sel yang terbuat dari komponen selulosa (Fachrullah, 2011). Menurut Hibberd (1981) klasifikasi Nannochloropsis sp. sebagai berikut: Kingdom : Chromista Super Divisi
: Eukaryotes
Divisi
: Chroniophyta
Kelas
: Eustigmatophyceae
Ordo
: Eustigmatales
Famili
: Monodopsidaceae
Genus
: Nannochloropsis
Spesies
: Nannochloropsis sp.
Nannochloropsis dapat tumbuh pada salinitas 0-35 ppt. Salinitas optimum untuk pertumbuhannya adalah 25-35 ppt dengan kisaran suhu optimal yaitu 25-300oC. Nannochloropsis sp. dapat tumbuh baik pada kisaran pH 8-9,5 dan intensitas cahaya 100-10000 lux (Vazquez-Duhalt dan Arredondo-Vega, 1991). Nannochloropsis membutuhkan beberapa nutrien untuk dapat tumbuh dengan baik. Nutrien tersebut terdiri dari unsur makro dan mikro. Unsur makro terdiri dari N, P, Fe, K, Mg, S dan Ca sedangkan
unsur
mikro
terdiri
dari
H2BO3,
MnCl3,
ZnCl2,
CoCl2,
(NH4)6Mn7O24.4H2O dan CuSO4.5H2O (Chen dan Shety, 1991). Perkembanganbiakan Nannochloropsis sp. terjadi secara aseksual yaitu dengan pembelahan sel atau pemisahan autospora dari sel induknya. Reproduksi sel ini diawali dengan pertumbuhan sel yang membesar.
Periode selanjutnya adalah terjadinya
peningkatan aktifitas sintesa sebagai bagian dari persiapan pembentukan sel anak, yang merupakan tingkat pemasakan awal. Tahap selanjutnya terbentuknya sel induk muda yang merupakan tingkat pemasakan akhir, yang disusul dengan pelepasan sel anak (Rusyani,2012).
III.
MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pipet tetes, gelas ukur besar, botol 0,6 liter, aerator, selang aerasi, bubble stones, plastik, alkohol, mikroskop, haemocytometer, cover glass.
3.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah media Guillard, media Conway, inokulum Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp, alkohol 70%.
3.2. Metode
Menurut Kerlinger (1986:398) yang dimaksud dengan eksperimen laborartorium adalah suatu penelitian yang mengkaji varian-varian dari semua atau hampir semua variabel bebas yang mungkin berpengaruh, sedangkan variabel-variabel yang tidak relevan dengan masalah-masalah penelitian dibuat seminimal mungkin. Hal ini dilakukan dengan cara mengasingkan penelitian itu dalam situasi fisik yang terpisah dari rutinitas kehidupan sehari-hari dan dengan memanipulasi satu atau lebih variabel bebas dalam situasi yang dispesifikasikan, dioperasionalkan, dikendalikan dengan cermat dan teliti.
3.3. Pelaksanaan Praktikum
Tahapan pada praktikum Kultur Budidaya Pakan Alami Nannochloropsis dan Chlorella sp., yakni : 1.
Disiapkan Bahan dan alat
2.
Disiapkan wadah yang telah di isi 400 ml air media.
3.
Media terdiri dari 100 ml Inokulum bibit Nannochloropsi atau Chlorella dan
300 ml air laut dengan perbandingan 1:3. 4.
Pupuk Guillard disiapkan sebanyak 0,4 ml
5.
Ditambahkan Pupuk Guillard dimasukkan ke dalam gelas ukur dengan 300ml air
laut, lalu di homogenkan. 6.
Dimasukan bibit inokulum Nannochloropsis sp. atau Chlorella sp. kedalam
gelas ukur yang sama sebanyak 100ml. 7.
Media yang telah siap, di pindahkan ke dalam wadah yang telah di sediakan lalu
di beri aerasi. 8.
Media dibiarkan agar Nannochloropsis sp. atau Chlorella sp. dapat berkembang.
9.
Diamati kepadatan 1 x sehari selama 10 hari pengamatan menggunakan
mikroskop, pipet tetes dan haemcytometer. 10.
Hari terakhir, sampel Nannochloropsis sp. atau Chlorella sp. yang telah
dimasukkan ke dalam plastic dan diberi alkohol sebanyak 15 tetes dari hari ke-1 hingga hari ke-10 diamati dengan menggunakan mikroskop. 11.
Dicatat pertambahan kepadatannya.
3.4. Waktu dan Tempat
Praktikum Teknik Pembenihan Perikanan Laut Acara I Kultur Pakan Alami Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. ini dilaksanakan pada tanggal 11 November 2013 pada pukul 15.00 hingga 18.30 WIB di Laboratorium Hatchery Marikultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Gambar 1. Nannochloropsis sp.
Gambar 2. Chlorella sp.
RUMUS
= K1 + K2 + K3 + K4 4
Hari ke-
Nannochloropsis sp.
Chlorella sp.
H1
46+35+40+58 x 25 . 104 = 1.118,75 x 104 4
Belum terdapat Chlorella sp.
H2
76+48+43+56 x 25 . 104 = 1.393,75 x 104 4
H3
64+70+88+53 x 25 . 104 = 1.718,7 x 104 4
45+62+39+50 x 25 . 104 = 1.225,00 x 104 4
H4
41+74+54+63 x 25 . 104 = 1.450,0 x 104 4
59+54+41+50 x 25 . 104 = 1.275,00 x 104 4
H5
48+42+53+58 x 25 . 104 = 1.256,25 x 104 4
46+45+57+46 x 25 . 104 = 1.212,50 x 104 4
48+60+39+48 x 25 . 104 = 1.218,75 x 104 4
46+59+50+45 x 25 . 104 = 1.250,00 x 104 4
H6
H7
H8
H9
H10
43+57+58+59 x 25 . 104 = 1.356,25 x 104 4
39+37+40+47 x 25 . 104 = 1.018,75 x 104 4
12+20+18+12 x 25 . 104 = 387,50 x 104 4
43+34+46+49 x 25 . 104 = 1.075,00 x 104 4
27+20+22+27 x 25 . 104 = 600,00 x 104 4
40+51+48+30 x 25 . 104 = 1.056,25 x 104 4
10+11+18+14 x 25 . 104 = 331,25 x 104 4
Tidak dilakukan perhitungan
Tidak dilakukan perhitungan
4.2. Pembahasan
Pertumbuhan mikroalga ditandai dengan bertambahnya ukuran sel atau jumlah sel. Kepadatan sel tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk mengetahui pertumbuhan Nannochloropsis sp. (Fachrullah, 2011). Berdasarkan hasil perhitungan kepadatan yang terdapat dalam Table. 1, dapat diketahui bahwa terdapat
lima fase pertumbuhan
Nannochloropsis sp. menurut Kartikasari (2010), yaitu: 1. Fase lag (istirahat) disebut sebagai fase adaptasi kondisi lingkungan yang ditandai dengan peningkatan populasi yang tidak nyata. 2. Fase eksponensial disebut sebagai fase pertumbuhan, ditandai dengan peningkatan laju pertumbuhan beberapa kali lipat. 3. Fase pengurangan pertumbuhan yang ditandai dengan terjadinya penurunan pertumbuhan jika dibandingkan dengan fase eksponensial. 4. Fase stasioner yang ditandai dengan laju pertumbuhan stabil. 5. Fase kematian ditandai dengan laju kematian lebih tinggi dari laju pertumbuhan sehingga kepadatan populasi berkurang. Menurut Wirosaputro (2002) menyatakan terdapat 5 fase pertumbuhan Chlorella sp. yaitu : 1.
Fase Lag (istirahat) merupakan fase pertama pada pertumbuhan Chlorella sp.
Fase ini terjadi setelah inokulum diberikan kedalam media kultivasi. Fase ini merupakan fase adaptasi Chlorella sp. terhadap medium. Disini terjadi penundaan pertumbuhan karena Chlorella sp. harus beradaptasi dengan medium baru. 2.
Fase logaritmik/eksponensial merupakan fase lanjutan dari fase lag. Pada fase
ini terjadi pertambahan biomassa untuk pertama kali dan akan meningkat pertumbuhannya di fase selanjutnya. 3.
Fase Penurunan laju pertumbuhan (Declining Growth) merupakan fase dimana
terjadi pertambahan jumlah sel namun pertumbuhannya menurun. 4.
Fase Stasioner adalah fase dimana jumlah sel cenderung konstan. Hal ini
disebabkan menipisnya zat makanan atau menumpuknya metabolit beracun dalam medium sehingga pertumbuhan terhambat. 5.
Fase Kematian adalah fase penurunan jumlah sel Chlorella sp. Hal ini
diindikasikan oleh kematian sel mikroalga karena adanya perubahan kualitas air yang semakin buruk, penurunan kandungan nutrien.
Berdasarkan hasil perhitungan fitoplankton pada Tabel 1. Diketahui bahwa pada hari ke-1 jumlah kepadatan Nannochloropsis sp. adalah hal ini sama dengan teori menurut Kartikasari (2010) yang menyatakan bahwa fase lag terjadi pada awal pemberian inokulum ke dalam medium yaitu pada hari ke 1-2 dan menunjukkan pertumbuhan yang tidak terlalu nyata. Berbeda halnya menurut Wirosaputro (2002) yang menyatakan bahwa fase Lag Chlorella sp. atau penundaan pertumbuhan yang terjadi dikarenakan adaptasi dengan medium baru. Hal ini sesuai dengan praktikum karena pada Tabel 1. jumlah kepadatan Chlorella sp. pada hari hari ke-1 adalah tidak diketahui atau dapat dikatakan fase penundaan pertumbuhan, sementara pada hari ke-2 hingga ke-4 terjadi fase logaritmik. Menurut Kartikasari (2010) dan Wirosaputro (2002) yang menyatakan bahwa pada Fase Kematian terjadi penurunan kepadatan. Hal ini sesuai dengan praktikum yang ditunjukkan dengan Tabel 1. Pada hari terakhir terlihat bahwa terjadi penurunan kepadatan yang sangat terlihat. Menurut Wirosaputro (2002) karena adanya perubahan kualitas air yang semakin buruk, dan penurunan kandungan nutrien.
V.
KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum Kultur Budidaya Pakan Alami (Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp.) yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa kultur Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp.dapat dilakukan dengan menggunakan media Guillard maupun Conway dengan perbandingan air laut : media = 400 ml : 0,4 ml. Sementara terdapat pula tahapan pertumbuhan Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. yang meliputi fase lag, fase logaritmik, fase penurunan pertumbuhan, fase stasioner, dan fase kematian.
DAFTAR PUSTAKA Anjar S, E. Rusyani, L. Erawati, 2002. Budidaya Fiplankton Sakala laboratorium. Balai Budidaya Laut Lampung. Dirjen perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Lampung Arinardi, O.H, A.B. Sutomo, S.A. Yusuf, Trimaningsih, E. Asnaryanti, dan S.H. Riyono 1957. Kisaran kelimpahan dan komposisi plankton predominan di peraiaran Kawasan Timur Indonesia. P30-LIPI, Jakarta: 140 pp.
Chen, J and H.P.C. Shetty. 1991. Culture Of Marine Feed Organisms. National Inland Institute Kasetsart University Campus. Bangkhen, Bangkok, Thailand.38 P.
Christi, Y. 2008. Biodiesel from microalgae beats bioethanol. Trends in Biotechnology, Volume 26, Issue 3, March 2008, Pages: 126-131.
Chumaidi et. al. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Pakan Alami Ikan dan Udang. Puslitbangkan PHP\KAN\PT\12\Rep\1990. Jakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Fachrullah, M.R. 2011. Laju Pertumbuhan Mikroalga Penghasil Biofuel Jenis Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. yang Dikultivasi Menggunakan Air Limbah Hasil Penambangan Timah di Pulau Bangka. Skripsi. IPB. Bogor.
Hibberd, D.J. (1981). Notes on the Taxonomy and Nomenclature of the Alga Classes Eustigmatophyceae and Tribophyceae (synonym Xanthophyceae). Journal of the Linnean Society of London, Botany.
Isnansetyo, A, Ir dan Kurniastuty, Ir,. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton & Zooplankton, Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius. Yogyakarta.
Kartikasari, D. 2010. Pengaruh Penggunaan Media Yang Berbeda Terhadap Kemampuan Penyerapan Logam Berat Pb Pada Nannochloropsis sp. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Lampung.
Kerlinger, Fred. 1973. Foundations of Behavioral Research (2nd Edition) Holt, Rinehart and Winston.
Rusyani, E. 2012. Manfaat Nannochloropsis sp. Unila . Lampung.
Ross, D.A, 1982. Text Book of: Introduction Oceanography. Third Edition. PrenticeHall, Inc., USA.
Vashista, B. R. 1979. Botany for Degree Student. S. Chand and Company Ltd. Ram Nager. New Delhi.
Vazquez-Duhalt, R., & B.Q. Arredondo-Vega. 1991. Oil production from microalgae under saline stress. Biomass for energy and industry 5 th E.C. conference. Policy, Environment, Production and Harvesting 1: 547-551.
Wirosaputro, S. 2002. Chlorella sp. untuk kesehatan global, teknik budidaya dan pengolahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Wibisono, M.S, 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo, Jakarta.
LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK PEMBENIHAN PERIKANAN LAUT ACARA II PENDEDERAN NENER BANDENG (Chanos chanos)
Oleh : Nama NIM Kelompok
: Nindita Arrum Wardani : B0A013030 : 7 (Tujuh)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PROGRAM STUDI D-III PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DAN KELAUTAN PURWOKERTO 2014
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ikan bandeng (Chanos chanos) merupakan salah satu jenis ikan air payau yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Jenis Ikan ini sudah dikenal oleh masyarakat luas karena merupakan salah satu sumber protein hewani yang memiliki nilai gizi yang cukup tinggi serta ditunjang dengan rasanya yang enak dan memiliki kandungan kolesterol yang rendah sehingga aman untuk kesehatan. Untuk memenuhi kebutuhan ikan bandeng yang terus meningkat dan berkesinambungan hanya dapat dilakukan melalui pengembangan budidaya. Dengan terus berkembangnya teknologi pembenihan ikan bandeng, memungkinkan teknologi pembesaran ikan bandeng dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan, sehingga tidak menjadi kendala dalam teknologi pembesarannya (Taufik, 2000). Selama ini nener ikan bandeng yang digunakan untuk pembesaran ikan bandeng itu sendiri masih mengandalkan dari alam. Sedangkan produksi nener alam belum mampu untuk mencukupi kebutuhan budidaya bandeng yang terus berkembang. Oleh karena itu peranan usaha pembenihan bandeng dalam upaya untuk mengatasi masalah kekurangan nener tersebut menjadi sangat penting. Ketersediaan benih secara berkesinambungan merupakan masalah utama yang dialami oleh para pembudidaya saat ini. Dengan melihat keadaan yang ada pada ketersediaan nener dari alam tidak menjamin kebutuhan para penggelondong maupun kebutuhan pembudidaya di tambak dan Keramba Jaring Apung, walaupun kualitas nener yang bersumber dari alam masih lebih unggul bila dibandingkan produksi nener di hatchery tetapi dari segi kuantitas harus tetap merujuk ke hatchery (Fujiana, N, dkk., 2008).
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah supaya mahasiswa paham dan mampu melakukan pendederan Nener Bandeng skala laboratorium secara benar dengan mengontrol faktor lingungan dan dapat memberikan pakan yang disesuaikan dengan berat nener bandeng dengan benar.
1.3. Manfaat
Manfaat dari praktikum ini adalah menambah pengetahuan dan wawasan kepada mahasiswa tentang pendederan nener bandeng dengan mempertimbangkan faktor lingkungan dan pengontrolan pemberian pakan.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Nener Bandeng
Ikan bandeng termasuk dalam famili Chanidae (milk fish) yaitu jenis ikan yang mempunyai bentuk memanjang, padat, pipih (compress) dan oval. Menurut Sudrajat (2008) taksonomi dan klasifikasi ikan bandeng adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Osteichthyes
Subkelas
: Teleostei
Ordo
: Malacopterygii
Famili
: Chanidae
Genus
: Chanos
Spesies
: Chanos chanos Forskall
Nama dagang
: Milkfish
Nama lokal
: Bolu, muloh, ikan agam
Morfologi adalah bagian luar tubuh ikan mulai dari anterior sampai posterior. Yakni kepala merupakan bagian tubuh mulai dari ujung mulut sampai bagian belakang operculum. Tubuh (trancus) adalah bagian tubuh mulai dari batas akhir operculum sampai anus. Ekor (caudal) dari anus sampai bagian ujung sirip ekor bentuk tubuh. Secara garis besar tubuh ikan bandeng (Chanos chanos) tersusun atas tiga bagian, yaitu kepala, batang tubuh dan ekor. Pada tubuh ikan yaitu berbentuk simetri, yaitu terdiri atas dua belahan yang sama, apabila tubuh dibela dua menjadi dua belahan yang sama, dari kepala ke sampai ekor dengan arah punggung perut. Pada ujung depan terdapat mulut, ditas mulut terdapat cekung hidung yang sebelah-menyeblah, pada bagian kepala terdapat sepasang mata, tutup insang (Suyanto, 2009). Tubuh ikan bandeng tertutup oleh selaput tipis yang tembus oleh sinar, kulitnya banyak mengandung kelenjar lendir yang berfungsi untuk menghindarkan goresan pada saat ikan berenang dengan cepat. Ikan mempunyai sejumlah sirip, sirip yang berpasangan adalah untuk gerak maju mundur terdapat pada sirip dada dan sirip perut.
Sirip tunggal adalah untuk keseimbangan, misalnya sirip punggung dan sirip belakang. Sedangkan sirip belakang terdapat lubang anus Sutoyo (2009). Ikan bandeng dikenal sebagai ikan petualang yang suka merantau. Ikan bandeng ini mempunyai bentuk tubuh langsing mirip terpedo, dengan moncong agak runcing, ekor bercabang dan sisiknya halus. Warnanya putih gemerlapan seperti perak pada tubuh bagian bawah dan agak gelap pada punggungnya, Ciri umum ikan bandeng adalah tubuh memanjang agak gepeng, mata tertutup lapisan lemak (adipase eyelid), pangkal sirip punggung dan dubur tertutup sisik, tipe sisik cycloid lunak, warna hitam kehijauan dan keperakan bagian sisi, terdapat sisik tambahan yang besar pada sirip dada dan sirip perut. Bandeng jantan memiliki ciri-ciri warna sisik tubuh cerah dan mengkilap keperakan serta memiliki dua lubang kecil di bagian anus yang tampak jelas pada jantan dewasa (Suyanto, 1983). Sistem Integumen adalah system pembalut tubuh yang terdiri dari kulit dan derivatnya-derivatnya, yang meliputiwarna, lender, kulit, sisik, organ cahaya dan kelenjar racun. Kulit terdiri dari dua lapisan yaitula pisan epidermis dan lapisan dermis atau corium, lapisan epidermis adalah bagian dalam, sedangkan lapisan dermis adalah bagian luar. Kulit pada ikan selain sebagai pembalut tubuh juga berfungsi sebagaia alat pertahanan pertama terhadap penyakit, perlindungan dan penyesuaian diri terhadap factor lingkunganya mempengaruhi kehidupan ikan serta alat eksresi dan osmoregulasi (Taufik, 2000) Berdasarkan bentuk tipe sisik ikan bandeng (Chanoschanos) adalah cycloid yaitu sisik yang memiliki garis-garis melingkar. Warna pada ikan banding (Chanoschanos) yaitu putih perak. Kulit ikan terdiri dari dua lapisan luar yang disebut epidermis dan lapisan dalam disebut dermis atau corium. Pola warna pada ikan disebabkan oleh tiga hal yaitu karena konfigurasi fisik, pigmen pembaw awarna dan sel khusus yang memberwarna pada ikan (Effendy, 2007) Bandeng banyak dikenal orang sebagai ikan air tawar. Habitat asli ikan bandeng sebenarnya di laut, tetapi ikan ini dapat hidup di air tawar maupun air payau. Ikan bandeng hidup di Samudra Hindia dan menyeberanginya sampai Samudra Pasifik, mereka cenderung bergerombol di sekitar pesisir dan pulau-pulau dengan koral. Ikan yang muda dan baru menetas hidup di laut untuk 2 - 3 minggu, lalu berpindah ke rawarawa bakau, daerah payau, dan kadangkala danau-danau. Bandeng baru kembali ke laut kalau sudah dewasa dan bisa berkembang biak (Taufik, 2000).
Reproduksi ikan bandeng diawali dengan kematangan gonad induk ikan bandeng. Tahap selanjutnya yaitu pemijahan induk ikan bandeng. Pemijahan ikan bandeng secara alami terjadi didaerah pantai yang jernih dengan kedalaman 40-50 meter, dan ombak yang sedikit beriak karena sifat telurnya yang melayang (Arifudin, 1983). Pemijahan bandeng berlangsung parsial, yaitu telur matang dikeluarkan sedangkan yang belum matang terus berkembang didalam tubuh untuk pemijahan berikutnya. Dalam setahun, 1 ekor induk bandeng dapat memijah lebih dari satu kali.. Jumlah telur yang dihasilkan dalam satu kali pemijahan berkisar antara 300.000-1.000.000 butir telur (Murtidjo, 1989). Menurut Mudjiman (1983), pemijahan alami berlangsung dalam kelompokkelompok kecil yang tersebar disekitar gosong karang atau perairan yang jernih dan dangkal disekitar pulau pada bulan maret, mei, dan September sampai januari. Bandeng memijah pada tengah malam sampai menjelang pagi. Sedangkan pemijahan buatan dapat dilakukan melalui rangsangan hormonal. Hormon yang diberikan dapat berbentuk cair atau padat. Hormone bentuk padat diberikan setiap bulan, sedangkan hormone bentuk cair diberikan pada saat induk jantan dan betina sudah matang gonad. Induk bandeng akan memijah setelah 2– 15 kali implantasi tergantung pada tingkat kematangan gonad. Menurut Murtidjo (1989), pemijahan induk betina yang mengandung telur berdiameter lebih dari 750 mikron atau induk jantan yang mengandung sperma tingkat 3 dapat dipercepat dengan menyuntikkan hormoneLHR H a pada dosis 30– 50 mikro gram/kg berat tubuh atau dengan hormoneHC G pada dosis 5000-10.000 IU/kg berat tubuh Indikator bandeng memijah adalah bandeng jantan dan bandeng betina berenang beriringan dengan posisi jantan dibelakang betina. Pemijahan lebih sering terjadi pada pasang rendah dan fase bulan seperempat. Menurut Taufik (2000), dalam siklus hidupnya, bandeng berpindah dari satu ekosistem ke ekosistem lainnya mulai dari laut sampai ke sungai dan bahkan danau. Hal ini disebabkan karena bandeng memiliki kisaran adaptasi yang tinggi terhadap salinitas.
2.2. Faktor Fisika Kimia
Pengaruh suhu secara tidak langsung dapat menentukan stratifikasi massa air, stratifikasi suhu di suatu perairan ditentukan oleh keadaan cuaca dan sifat setiap
perairan seperti pergantian pemanasan dan pengadukan, pemasukan atau pengeluaran air, bentuk dan ukuran suatu perairan. Suhu air yang layak untuk pertumbuhan ikan bandeng adalah 27 – 32 oC (Mayunar et al., 1995).
III.
MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini akuarium 10 liter, aerator, selang aerasi, bubble stones, pipet tetes, timbangan analitik digital.
3.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah nener bandeng (Chanos chanos) ukuran awal yaitu panjang 2 cm dengan berat 0,2 gram, Spirulina sp., pellet yang sudah dihaluskan.
3.2. Metode
Menurut Kerlinger (1986:398) yang dimaksud dengan eksperimen laborartorium adalah suatu penelitian yang mengkaji varian-varian dari semua atau hampir semua variabel bebas yang mungkin berpengaruh, sedangkan variabel-variabel yang tidak relevan dengan masalah-masalah penelitian dibuat seminimal mungkin.
Hal ini
dilakukan dengan cara mengasingkan penelitian itu dalam situasi fisik yang terpisah dari rutinitas kehidupan sehari-hari dan dengan memanipulasi satu atau lebih variabel bebas dalam situasi yang dispesifikasikan, dioperasionalkan, dikendalikan dengan cermat dan teliti. Pengukuran parameter fisika, yaitu : 1.
Pengukuran yang di lakukan pada Pendederan Nener Bandeng (Chanos chanos)
adalah pengukuran parameter fisika yaitu pengukuran suhu dengan menggunakan thermometer secara berkesinambungan 2x sehari yaitu pagi dan sore hari, selama 15 hari pemeliharaan.
a.
Pelaksanaan Praktikum
Tahapan yang dilakukan pada saat praktikum Pendederan Nener Bandeng (Chanos chanos) adalah 1. Disiapkan alat dan bahan. 2. Akuarium dibersihkan telah terlebih dahulu menggunakan air mengalir. 3. Akuarium di isi air laut ¾ dari volume akuarium. 4. Disiapkan 5 ekor nener Bandeng (Chanos chanos ) kemudian dimasukkan kedalam akuarium. 5. Diberikan aerasi pada akuarium. 6. Di lakukan pengamatan selama 15 hari, yaitu pengukuran suhu air menggunakan thermometer air raksa, pagi pukul 07:00 wib dan sore pukul 17:00 wib. 7. Diberi pakan 2x sehari pagi dan sore, dengan pakan pagi berupa pellet 0,025mg dan sore di beri pakan Spirulina sp. 0,025 mg atau 1 tetes menggunakan pipet tetes. 8. Dicatat berapa nener Bandeng (Chanos chanos) yang mati selama 15 hari pemeliharaan. 9. Pada hari ke 15, nener Bandeng (Chanos chanos) di timbang bobotnya per ekor, kemudian di jumlah dengan semua nener bandeng yang masih hidup pada tiap kelompok lalu di bagi untuk mengetahui jumlah rata-rata bobot nener bandeng selama pemeliharaan. Pengukuran parameter fisika kimia air 1. Pengukuran yang di lakukan pada Pendederan Nener Bandeng (Chanos chanos) adalah
pengukuran
menggunakan
parameter
thermometer
fisika
dengan
yaitu
pengukuran
memasukkan
suhu
dengan
thermometer
secara
menyeluruh ke dalam akuarium secara berkesinambung 2x sehari yaitu pagi dan sore hari, selama 15 hari pemeliharaan.
b.
Waktu dan Tempat
Praktikum Teknik Pembenihan Perikanan Laut Acara II Pendederan Nener Bandeng ini dilaksanakan pada tanggal 11 November 2013 pada pukul 15.00 hingga 18.30 WIB di Laboratorium Hatchery Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Gambar 1. ikan bandeng
Hari/Tanggal Rabu, 12 Desember 2014 Kamis, 13 Desember 2014 Jumat, 14 Desember 2014 Sabtu, 15 Desember 2014 Minggu, 16 Desember 2014 Senin, 17 Desember 2014 Selasa , 18 Desember 2014 Rabu, 19 Desember 2014 Kamis , 20 Desember 2014 Jumat , 21 Desember 2014 Sabtu , 22 Desember 2014 Minggu , 23 Desember 2014 Senin , 24 Desember 2014 Selasa , 25 Desember 2014 Rabu, 26 Desember 2014
Parameter Salinitas pH
Pagi 22oC 23oC 23oC 23oC 23oC 23oC 22oC 23oC 22oC 22oC 23,5oC 23,5oC 23oC 23oC 22oC
Sore 26,5oC 27oC 24oC 25oC 25oC 25oC 25oC 26oC 26oC 24oC 25oC 25oC 25oC 25oC 24oC
Hasil pengukuran 28 ppt 7
Kematian ikan disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah suhu. Suhu yang kurang optimal dapat menyebabkan tergannggunya metabolisme ikan bandeng. Hal ini juga berpengaruh pada pola makan ikan bandeng. Suhu yang terlalu rendah (dingin) akan mengakibatkan ikan tidak memakan pakannya. Di sisi lain, pakan yang tidak dimakan oleh bandeng akan mengakibatkan pakan akan mengendap di dasar akuarium dan menimbulkan zat berbahaya seperti amoniak dan zat beracun lainnya yang bisa menyebabkan ikan keracunan dan mati.
4.2. Pembahasan
Hasil pengukuran dari nener bandeng dapat dilihat pertambahan panjang dan berat. Panjang awal nener bandeng yaitu 2 cm dengan berat 0,2 gram. Faktor kematian nener bandeng dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor kematian dalam Harijanto (2004) tersebut meliputi : 1.
Pengaruh Kepadatan Terhadap Parameter Kualitas Air. Kualitas air media
percobaan pendederan nener bandeng memegang peranan yang sangat penting yaitu sebagai pendukung kehidupan pendederan nener bandeng. Kualitas air ditentukan dengan mengukur beberapa faktor fisika dan kimia yang penting. Adapun faktor kualitas air yang diamati adalah suhu, oksigen, karbondioksida, pH, salinitas dan amonia. Suhu berpengaruh langsung terhadap proses metabolisme (Lawalata, 1977). Pertumbuhan ikan bandeng akan menurun jika suhu air turun sampai 25oC (Ranoemiharjo dan Padlan, 1976). Schuster (1960) berpendapat bahwa suhu air yang baik untuk kehidupan ikan adalah berkisar antara 25 - 38,5oC. Hal ini sesuai pendapat Villaluz da Unggul (1983) dalam Anggoro S (1984) bahwa glondongan dapat hidup normal pada suhu 20 - 33oC dan dapat tumbuh baik pada suhu 23,7 - 33oC. Berdasakan praktikum yang telah dilaksanakan, diketahui bahwa nener bandeng dapat hidup dengan suhu 22oC hingga 27oC. Hal ini sesuai dengan yang telah dinyatakan Villaluz da Unggul (1983) dalam Anggoro S (1984) yaitu nener bandeng dapat hidup pada suhu 20-33oC dan dapat tumbuh baik pada suhu 23,7 - 33oC. Berhubungan dengan pertambahan berat dan panjang nener bandeng juga dipengaruhi oleh suhu. Hal ini karena Suhu berpengaruh langsung terhadap proses metabolisme (Lawalata, 1977). Pertumbuhan ikan bandeng akan menurun jika suhu air turun sampai 25oC (Ranoemiharjo dan Padlan, 1976). Hal ini sesuai dengan praktikum karena pada suhu yang cukup rendah, walaupun nener bandeng dapat bertahan hidup, namun nener bandeng tidak terlalu banyak mengonsumsi pakan. 2.
Aklimatisasi yang kurang cukup menjadi salah satu faktor kematian. Dalam
melepaskan nener ke petak peneneran di perlukan waktu yang cukup untuk aklimatisasi, Sehingga nener dapat menyesuaikan diri terhadap keadaan atau kondisi lingkungan. Penggantian air secara mendadak dengan perbedaan kadar garam atau suhu yang besar dapat mengakibatkan yang kurang baik. Nener tidak cukup waktu untuk menyeduaikan
diri atau beradaptasi terhadap kondisi lingkungan dan akhirnya menjadi lemah, Bahkan dapat menyebabkan Kematian. Menurut Murtidjo (2002) metode budidaya yang efektif dapat dilakukan antara lain yaitu metode budidaya bandeng secara tradisional yang disempurnakan, metode progresif, metode modular, dan metode penebaran berganda. Dari keseluruhan metode tersebut inti kegiatan budidayanya sama yaitu meliputi perbaikan dan persiapan tambak, penebaran ikan, perawatan selama pemeliharaan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, pemberian pakan tambahan, dan mempertahankan kualitas air agar tetap layak. Menurut Mayunar (1995) usaha pembenihan bandeng di hatchery dapat mengarahkan kegiatan budidaya menjadi kegiatan yang mapan dan tidak terlalu dipengaruhi kondisi alam serta tidak memanfaatkan sumber daya secara berlebihan. Dalam siklusnya yang utuh, kegiatan budidaya bandeng yang mengandalkan benih hatchery bahkan dapat mendukung kegiatan pelestarian sumberdaya baik melalui penurunan terhadap penyian-nyian sumber daya benih species lain yang biasa terjadi pada penangkapan nener di alam maupun melalui penebaran di perairan pantai (restocking). Usaha skala Hatchery mencakup : PERSYARATAN LOKASI Pemilihan tempat perbenihan bandeng harus mempertimbangkan aspek-aspek yang berkaitan dengan lokasi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam persyaratan lokasi adalah sebagai berikut. 1) Status tanah dalam kaitan dengan peraturan daerah dan jelas sebelum hatchery dibangun. 2) Mampu menjamin ketrsediaan air dan pengairan yang memenuhi persyaratan mutu yang ditentukan; - Pergantian air minimal; 200 % per hari. - Suhu air, 26,5-31,0 0C. PH; 6,5-8,5. - Oksigen larut; 3,0-8,5 ppm. - Alkalinitas 50-500ppm. - Kecerahan 20-40 cm (cahaya matahari sampai ke dasar pelataran). - Air terhindar dari polusi baik polusi bahan organik maupun an organik. 3) Sifat-sifat perairan pantai dalam kaitan dengan pasang surut dan pasang arus perlu diketahui secara rinci.
4) Faktor-faktor biologis seperti kesuburan perairan, rantai makanan, speciesdominan, keberadaan predator dan kompretitor, serta penyakit endemik harus diperhatikan karena mampu mengakibatkan kegagalan proses produksi. SARANA DAN PRASARANA 1) Sarana Pokok Fasilitas pokok yang dimanfaatkan secara langsung untuk kegiatan produksi adalah bak penampungan air tawar dan air laut, laboratorium basah, bak pemeliharaa larva, bak pemeliharaan induk dan inkubasi telur serta bak pakan alami. a. Bak Penampungan Air Tawar dan Air Laut. Bak penampungan air (reservoir) dibangun pada ketinggian sedemikian rupa sehingga air dapat didistribusikan secara gravitasi ke dalam bak-bak dan sarana lainnya yang memerlukan air (laut, tawar bersih). Sistim pipa pemasukkan dan pembuangan air perlu dibangun pada bak pemelihara induk, pemeliharaan larva, pemeliharan pakan alami, laboratorium kering dan basah serta saran lain yang memerlukan air tawar dan air laut serta udara (aerator). Laboratorium basah sebaiknya dibangun berdekatan dengan bangunan pemeliharaan larva dan banguna kultur murni plankton serta diatur menghadap ke kultur masal plankton dan dilengkapi dengan sistim pemipaan air tawar, air laut dan udara. b. Bak Pemeliharaan Induk Bak pemeliharaan induk berbentuk empat persegi panjang atau bulat dengan kedalaman lebih dari 1 meter yang sudut-sudutnya dibuat lengkung dan dapat diletakkan di luar ruangan langsung menerima cahaya tanpa dinding. c. Bak Pemeliharan Telur Bak perawatan telur terbuat dari akuarium kaca atau serat kaca dengan daya tampung lebih dari 2.000.000 butir telur pada kepadatan 10.000 butir per liter. d. Bak Pemeliharaan Larva Bak pemeliharaan larva yang berfungsi juga sebagai bak penetasan telur dapat terbuat dari serat kaca maupun konstruksi beton, sebaiknya berwarna agak gelap, berukuran (4x5x1,5) m3 dengan volume 1-10 ton berbentuk bulat atau bujur sangkar yang sudutsudutnya dibuat lengkung dan diletakkan di dalam bangunan beratap tembus cahaya tanpa dinding balik. Untuk mengatasi penurunan suhu air pada malam hari, bak larva diberi penutup berupa terval plastik untuk menyangga atap plastik, dapat digunakan bentangan kayu/bambu.
Gambar 1. Bak Pemeliharaan Larva e. Bak Pemeliharaan Makanan Alami, Kultur Plankton Chlorella sp dan Rotifera. Bak kultur plankton chlorella sp disesuaikan dengan volume bak pemeliharaan larva yang terbuat dari serat kaca maupun konstruksi beton ditempatkan di luar ruangan yang dapat langsung mendapat cahaya matahari. Bak perlu ditutup dengan plastik transparan pada bagian atasnya agar cahaya juga bisa masuk ke dalam bak untuk melindungi dari pengaruh air hujan. Kedalamam bak kultur chlorella sp harus diperhitungkan sedemikian rupa sehingga penetrasi cahaya matahari dapat dijamin mencapai dasar tangki. Kedalaman air dalam tangki disarankan tidak melebihi 1 meter atau 0,6 m, ukuran bak kultur plankton chlorella sp adalah (20 x 25 x 0,6)m3. Bak kultur rotifera terbuat dari serat kaca maupun konstruksi baton yang ditempatkan dalam bangunan beratap tembus cahaya tanpa dinding. Perbandingan antara volume bak chlorella, rotifera dan larva sebaliknya 5:5:1. 2) Sarana Penunjang Untuk menunjang perbenihan sarana yang diperlukan adalah laboratorium pakan alami, ruang pompa,air blower, ruang packking, ruang genset, bengkel, kendaraan roda dua dan roda empat serta gudang (ruang pentimpanan barang-barang opersional) harus tersedia sesuai kebutuhan dan memenuhi persyaratan dan ditata untuk menjamin kemudahan serta keselamatan kerja. a. Laboratorium pakan alami seperti laboratorium fytoplankton berguna sebagai tempat kultur murni plankton yang ditempatkan pada lokasi dekat hatchery yang memerlukan ruangan suhu rendah yakni 22~25 0C. b. Laboratorium kering termasuk laboratorium kimia/mikrobialogi, sebaiknya dibangun berdekatan dengan bak pemeliharaan larva berguna sebagai bangunan stok kultur dan penyimpanan plankton dengan suhu sekitar 22~25 0C serta dalam ruangan. Untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemasaran hasil dilengkapi dengan fasilitas ruang pengepakan yang dilengpaki dengan sistimpemipaan air tawar dan air laut, udara serta sarana lainnya seperti peti kedap air, kardus, bak plastik, karet dan oksigen murni. Alat angkut roda dua dan empat yang berfungsi untuk memperlancar pekerjaan dan pengangkutan hasil benih harus tersedia tetap dalam keadaan baik dan siap pakai. Untuk pembangkit tenaga listrik atau penyimpanan peralatan dilengkapi dengan pasilitas ruang genset dan bengkel, ruang pompa air dan blower, ruang pendingin dan gudang.
3) Sarana Pelengkap Sarana pelengkap dalam kegiatan perbenihan terdiri dari ruang kantor, perpustakaan, alat tulis menulis, mesin ketik, komputer, ruang serbaguna, ruang makan, ruang pertemuan, tempat tinggal staf dan karyawan. TEKNIK PEMELIHARAN 1) Persiapan Opersional. a. Sarana yang digunakan memenuhi persyaratan higienis, siap dipakai dan bebas cemaran. Bak-bak sebelum digunakan dibersihkan atau dicuci dengan sabun detergen dan disikat lalu dikeringkan 2-3 hari. Pembersihan bak dapat juga dilakukan dengan cara membasuh bagian dalam bak kain yang dicelupkan ke dalam chlorine 150 ppm (150 mil larutan chlorine 10% dalam 1 m3 air) dan didiamkan selama 1~2 jam dan dinetralisir dengan larutan Natrium thiosulfat dengan dosis 40 ppm atau desinfektan lain yi formalin 50 ppm. Menyiapkan suku cadang seperti pompa, genset dan blower untuk mengantisipasi kerusakan pada saat proses produksi. b. Menyiapkan bahan makanan induk dan larva pupuk fytoplankton, bahan kimia yang tersedia cukup sesuai jumlah dan persyaratan mutu untuk tiap tahap pembenihan. c. Menyiapkan tenaga pembenihan yang terampil, disiplin dan berpengalaman dan mampu menguasai bidang kerjanya. 2) Pengadaan Induk. a. Umur induk antara 4~5 tahun yang beratnya lebih dari 4 kg/ekor. b. Pengangkutan induk jarak jauh menggunakan bak plastik. Atau serat kaca dilengkapi aerasi dan diisi air bersalinitas rendah (10~15)ppt, serta suhu 24~25 0C. Atau serat kaca dilengkapi aerasi dan diisi air barsalinitas rendah (10~15) ppt, serta suhu 24~25 0C. c. Kepadatan induk selama pengangkutan lebih dari 18 jam, 5~7 kg/m3 air. Kedalaman air dalam bak sekitar 50 cm dan permukaan bak ditutup untuk mereduksi penetrasi cahaya dan panas. d. Aklimatisasi dengan salinitas sama dengan pada saat pengangkutan atau sampai selaput mata yang tadinya keruh menjadi bening kembali. Setelah selesai aklimatisasi salinitas segera dinaikan dengan cara mengalirkan air laut dan mematikan pasok air tawar. 3) Pemeliharaan Induk a. Induk berbobot 4~6 kg/ekor dipelihara pada kepadatan satu ekor per 2~4 m3 dalam bak berbentuk bundar yang dilengkapi aerasi sampai kedalaman 2 meter. b. Pergantian air 150 % per hari dan sisa makanan disiphon setiap 3 hari sekali. Ukuran bak induk lebih besar dari 30 ton. c. Pemberian pakan dengan kandungan protein sekitar 35 % dan
lemak 6~8 % diberikan 2~3 % dari bobot bio per hari diberikan 2 kali per hari yaitu pagi dan masa sore. d. Salinitas 30~35 ppt, oksigen terlarut . 5 ppm, amoniak < 0,01 ppm, asam belerang < 0,001 ppm, nirit < 1,0 ppm, pH; 7~85 suhu 27~33 0C. 4) Pemilihan Induk a. Berat induk lebih dari 5 kg atau panjang antara 55~60 cm, bersisik bersih, cerah dan tidak banyak terkelupas serta mampu berenang cepat. b. Pemeriksaan jenis kelamin dilakukan dengan cara mem-bius ikan dengan 2 phenoxyethanol dosis 200~300 ppm. Setelah ikan melemah kanula dimasukan ke-lubang kelamin sedalam 20~40 cm tergantung dari panjang ikan dan dihisap. Pemijahan (striping) dapat juga dilakukan terutama untuk induk jantan. c. Diameter telur yang diperoleh melalui kanulasi dapat digunakan untuk menentukan tingkat kematangan gonad. Induk yang mengandung telur berdiameter lebih dari 750 mikron sudah siap untuk dipijahkan. d. Induk jantan yang siap dipijahkan adalah yang mengandung sperma tingkat III yaitu pejantan yang mengeluarkan sperma cupuk banyak sewaktu dipijat dari bagian perut kearah lubang kelamin. 5) Pematangan Gonad a. Hormon dari luar dapat dilibatkan dalam proses metabolisme yang berkaitan dengan kegiatan reproduksi dengan cara penyuntikan dan implantasi menggunakan implanter khusus. Jenis hormon yang lazim digunakan untuk mengacu pematangan gonad dan pemijahan bandeng LHRH –a, 17 alpha methiltestoteron dan HCG. b. Implantasi pelet hormon dilakukan setiap bulan pada pagi hari saat pemantauan perkembangan gonad induk jantan maupun betina dilakukan LHRH-a dan 17 alpha methiltestoteren masingmasing dengan dosis 100~200 mikron per ekor (berat induk 3,5 sampai 7 kg). 6) Pemijahan Alami. a. Ukuran bak induk 30-100 ton dengan kedalaman 1,5-3,0 meter berbentuk bulat dilengkapi aerasi kuat menggunakan “diffuser” sampai dasar bak serta ditutup dengan jaring. b. Pergantian air minimal 150 % setiap hari. c. Kepadatan tidak lebih dari satu induk per 2-4 m3 air. d. Pemijahan umumnya pada malam hari. Induk jantan mengeluarkan sperma dan induk betina mengeluarkan telur sehingga fertilisasi terjadi secara eksternal. 7) Pemijahan Buatan. a. Pemijahan buatan dilakukan melalui rangsangan hormonal. Hormon berbentuk cair diberikan pada saat induk jantan dan betina sudah matang gonad sedang hormon
berbentuk padat diberikan setiap bulan (implantasi). b. Induk bandeng akan memijah setelah 2-15 kali implantasi tergantung dari tingkat kematangan gonad. Hormonyang digunakan untuk implantasi biasanya LHRH –a dan 17 alpha methyltestoterone pada dosis masing- masing 100-200 mikron per ekor induk (> 4 Kg beratnya). c. Pemijahan induk betina yang mengandung telur berdiameter lebih dari 750 mikron atau induk jantan yang mengandung sperma tingkat tiga dapat dipercepat dengan penyuntikan hormon LHRH- a pada dosis 5.000-10.000IU per Kg berat tubuh. d. Volume bak 10-20 kedalaman 1,5-3,0 meter berbentuk bulat terbuat dari serat kaca atau beton ditutup dengan jaring dihindarkan dari kilasan cahaya pada malam hari untuk mencegah induk meloncat keluar tangki. 8) Penanganan Telur. a. Telur ikan bandeng yang dibuahi berwarna transparan, mengapung pada salinitas > 30 ppt, sedang tidak dibuahi akan tenggelam dan berwarna putih keruh. b. Selama inkubasi, telur harus diaerasi yang cukup hingga telur pada tingkat embrio. Sesaat sebelum telur dipindahkan aerasi dihentikan. Selanjutnya telur yang mengapung dipindahkan secara hati-hati ke dalam bak penetasan/perawatan larva. Kepadatan telur yang ideal dalam bak penetasan antara 20-30 butir per liter. c. Masa kritis telur terjadi antara 4-8 jam setelah pembuahan. Dalam keadaan tersebut penanganan dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menghindarkan benturan antar telur yang dapat mengakibatkan menurunnya daya tetas telur. Pengangkatan telur pada fase ini belum bisa dilakukan. d. Setelah telur dipanen dilakukan desinfeksi telur yang menggunakan larutan formalin 40 % selama 10-15 menit untuk menghindarkan telur dari bakteri, penyakit dan parasit. 9) Pemeliharaan Larva. a. Air media pemeliharaan larva yang bebas dari pencemaran, suhu 27-310 C salinitas 30 ppt, pH 8 dan oksigen 5-7 ppm diisikan kedalam bak tidak kurang dari 100 cm yang sudah dipersiapkan dan dilengkapi sistem aerasi dan batu aerasi dipasang dengan jarak antara 100 cm batu aerasi. b. Larva umur 0-2 hari kebutuhan makananya masih dipenuhi oleh kuning telur sebagai cadangan makanannya. Setelah hari kedua setelah ditetaskan diberi pakan alami yaitu chlorella dan rotifera. Masa pemeliharaan berlangsung 21-25 hari saat larva sudah berubah menjadi nener. c. Pada hari ke nol telur-telur yang tidak menetes, cangkang telur larva yang baru menetas perlu disiphon sampai hari ke 8-10 larva dipelihara pada kondisi air stagnan dan setelah hari ke 10 dilakukan pergantian air
10% meningkat secara bertahap sampai 100% menjelang panen. d. Masa kritis dalam pemeliharaan larva biasanya terjadi mulai hari ke 3-4 sampai ke 7-8. Untuk mengurangi jumlah kematian larva, jumlah pakan yang diberikan dan kualitas air pemeluharan perlu terus dipertahankan pada kisaran optimal. e. Nener yang tumbuh normal dan sehat umumnya berukuran panjang 12- 16 mm dan berat 0,006-0,012 gram dapat dipelihara sampai umur 25 hari saat penampakan morfologisnya sudah menyamai bandeng dewasa. 10) Pemberian Makanan Alami a. Menjelang umur 2-3 hari atau 60-72 jam setelah menetas, larva sudah harus diberi rotifera (Brachionus plicatilis) sebagai makanan sedang air media diperkaya chlorella sp sebagai makanan rotifera dan pengurai metabolit. b. Kepadatan rotifera pada awal pemberian 5-10 ind/ml dan meningkat jumlahnya sampai 15-20 ind/ml mulai umur larva mencapai 10 hari. Berdasarkan kepadatan larva 40 ekor/liter, jumlah chlorella : rotifer : larva = 2.500.000: 250 : 1 pada awal pemeliharaan atau sebelum 10 hari setelah menetas, atau = 5.000.000 : 500:1 mulai hari ke 10 setelah menetas. c. Pakan buatan (artificial feed) diberikan apabila jumlah rotifera tidak mencukupi pada saat larva berumur lebih dari 10 hari. 11) Budidaya Chlorella Kepadatan chlorella yang dihasilkan harus mampu mendukung produksi larva yang dikehendaki dalam kaitan dengan ratio volume yang digunakan dan ketepatan waktu. Wadah pemeliharaan chlorella skala kecil menggunakan botol kaca/plastik yang tembus cahaya volume 3-10 liter yang berada dalam ruangan bersih dengan suhu 23-25 0C, sedangkan untuk skala besar menggunkan wadah serat kaca volume 0,5-20 ton dan diletakkan di luar ruangan sehingga langsung dengan kepadatan ± 10 juta sel/m3. Panen chlorella dilakukan dengan cara memompa, dialirkan ke tangki- tangki pemeliharaan rotifera dan larva bandeng. Pompa yang digunakan sebaiknya pompa benam (submersible) untuk menjamin aliran yang sempurna. Pembuangan dan sebelumnya telah disiapkan wadah penampungan serta saringan yang bermata jaring 6070 mikron, berukuran 40x40x50 cm, di bawah aliran tersebut. Rotifer yang tertampung pada saringan dipindahkan ke wadah lain dan dihitung kepadatanya per milimeter. 12) Budidaya Rotifera.
Budidaya rotifera skala besar (HL) sebaiknya dilakukan dengan cara panen harian yaitu sebagian hasil panen disisakan untuk bibit dalam budidaya berikutnya (daily partial harvest). Sedangkan dilakukan dengan cara panen penuh harian (batch harvest). Kepadatan awal bibit (inokulum) sebaiknya lebih dari 30 individu/ml dan jumlahnya disesuaikan dengan volume kultur, biasanya sepersepuluh dari volume wadah. Wadah pemeliharaan rotifer menggunakan tangki serat kaca volume 1-10 ton diletakkan terpisah jauh dari bak chrollela untuk mencegah kemungkinan mencemari kultur chlorella dan sebaiknya beratap untuk mengurangi intensitas cahaya matahari yang dapat mempercepat pertumbuhan chlorella. Keberhasilan budidaya rotifera berkaitan dengan ketersediaan chlorella atau Tetraselmis yang merupakan makanannya. Sebaiknya perbandingan jumlah chlorella dan rotifer berkisar 100.000 : 1 untuk mempertahankan kepadatan rotifer 100 individu/ml. Pada kasus-kasus tertentu perkembangan populasi rotifer dapat dipacu dengan penambahan air tawar sampai 23 ppt. Apalagi jumlah chlorella tidak mencukupi dapat digunakan ragi (yeast) pada dosis 30 mg/1.000.000 rotifer. Panen rotifer dilakukan dengan cara membuka saluran pembuangan dan sebelumnya telah disiapkan wadah penampungan serta jaringan yang bermata jaring 60-70 mikro berukuran 40x40x50 cm, di bawah aliran tersebut. Rotifer yang tertampung pada saringan dipindahkan ke wadah lain dan dihitung kepadatannya per milimeter. Pencatatan tentang perkembangan rotifer dilakukan secara teratur dan berkala serta data hasil pengamatan dicatat untuk mengetahui perkembangan populasi serta cermat dan untuk bahan pertimbangan pemeliharaan berikutnya. PANEN 1) Panen dan Distribusi Telur. Dengan memanfaatkan arus air dalam tangki pemijahan, telur yang telah dibuahi dapat dikumpulkan dalam bak penampungan telur berukuran 1x5,5x0,5 m yang dilengkapi saringan berukuran 40x40x50 cm, biasa disebut egg collector, yang ditempatkan di bawah ujung luar saluran pembuangan. Pemanenan telur dari bak penampungan dapat dilakukan dengan menggunakan plankton net berukuran mata 200-300 mikron dengan cara diserok. Telur yang terambil dipindahkan ke dalam akuarium volume 30-100 liter, diareasi selama 15-30 menit dan didesinfeksi dengan formalin 40 % pada dosis 10 ppm selama 10-15 menit sebelum diseleksi.
Sortasi telur dilakukan dengan cara meningkatkan salinitas air sampai 40 ppt dan menghentikan aerasi. Telur yang baik terapung atau melayang dan yang tidak baik mengendap. Persentasi telur yang baik untuk pemeliharaan selanjutnya harus lebih dari 50 %. Kalau persentasi yang baik kurang dari 50 %, sebaiknya telur dibuang. Telur yang baik hasil sortasi dipindahkan kedalam pemeliharaan larva atau dipersiapkan untuk didistribusikan ke konsumen yang memerlukan dan masih berada pada jarak yang dapat dijangkau sebelum telur menetas ( ± 12 jam). 2) Distribusi Telur. Pengangkutan telur dapat dilakukan secara tertutup menggunakan kantong plastik berukuran 40x60 cm, dengan ketebalan 0,05 – 0,08 mm yang diisi air dan oksigen murni dengan perbandingan volume 1:2 dan dipak dalam kotak styrofoam. Makin lama transportasi dilakukan disarankan makin banyak oksigen yang harus ditambahkan. Kepadatan maksimal untuk lama angkut 8 – 16 jam pada suhu air antara 20 – 25 0C berkisar 7.500-10.000 butir/liter. Suhu air dapat dipertahankan tetap rendah dengan cara menempatkan es dalam kotak di luar kantong plastik. Pengangkutan sebaiknya dilakukan pada pagi hari untuk mencegah telur menetas selama transportasi. Ditempat tujuan, sebelum kantong plastik pengangkut dibuka sebaiknya dilakukan penyamaan suhu air lainnya. Apabila kondisi air dalam kantong dan diluar kantong sama maka telur dapat segera dicurahkan ke luar. 3) Panen dan Distribusi Nener. Pemanenen sebaiknya diawali dengan pengurangan volume air, dalam tangki benih kemudian diikuti dengan menggunakan alat panen yang dapat disesuaikan dengan ukuran nener, memenuhi persyaratan hygienis dan ekonomis. Serok yang digunakan untuk memanen benih harus dibuat dari bahan yang halus dan lunak berukuran mata jaring 0,05 mm (gambar XI.3) supaya tidak melukai nener. Nener tidak perlu diberi pakan sebelum dipanen untuk mencegah penumpukan metabolit yang dapat menghasilkan amoniak dan mengurangi oksigen terlarut secara nyata dalam wadah pengangkutan. 4) Panen dan Distribusi Induk. Panen induk harus diperhatikan kondisi pasang surut air dalam kondisi air surut volume air tambak dikurangi, kemudian diikuti penangkapan dengan alat jaring yang disesuaikan ukuran induk, dilakukan oleh tenaga yang terampil serta cermat. Seser / serok penangkap sebaiknya berukuran mata jaring 1 cm agar tidak melukai induk.
Pemindahan induk dari tambak harus menggunakan kantong plastik yang kuat, diberi oksigen serta suhu air dibuat rendah supaya induk tidak luka dan mengurangi stress. Pengangkutan induk dapat menggunakan kantong plastik, serat gelas ukuran 2 m3, oksigen murni selama distribusi. Kepadatan induk dalam wadah 10 ekor/m3 tergantung lama transportasi. Suhu rendah antara 25 – 27 0C dan salinitas rendah antara 10-15 ppt dapat mengurangi metabolisme dan stress akibat transportasi. Aklimatisasi induk setelah transportasi sangat dianjurkan untuk mempercepat kondisi induk pulih kembali. Hal ini supaya induk dapat memijah dan menghasilkan hasil optimal.
V.
KESIMPULAN
Berdasakan praktikum yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa nener bandeng dapat hidup pada suhu 22oC, namun suhu optimal nener bandeng untuk pertumbuhan yaitu berkisar 23oC – 33oC. Hal ini dikarenakan pada suhu 22oC kondisi nener bandeng adalah tidak memakan pellet maupun pakan alami secara optimal. Sementara itu, pemberian bobot pakan alami maupun pellet yang diberikan kepada nener bandeng adalah sebanyak 5% dari berat nener bandeng.
DAFTAR PUSTAKA Anggoro, S. 1984. Pengaruh Salinitas Terhadap Kuantitas dan Kualitas Makanan Alami Serta Produksi Biomassa Nener Bandeng. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Arifudin, R. 1983. Bandeng duri lunak dalam Kumpulan Hasil Penelitian Teknologi Pasca Panen Perikanan. BPTP. Jakarta.
Effendy, 2007. Pengelompokan organ-organ pada ikan. Penebar swadaya. Jakarta.
Harijanto. 2004. Tingkat Survival Rate Pendederan Bandeng (Chanos chanos Forskal) dengan Variasi Kepadatan dalam Bak Penampungan. Program Sudi Budidaya Perairan, Universitas Dr. Soetomo, Jl. Semolowaru 84 Surabaya. Surabaya.
Kerlinger, Fred. 1973. Foundations of Behavioral Research (2nd Edition) Holt, Rinehart and Winston.
Mayunar, Purba R dan Imanto PT. 1995. Pemilihan Lokasi untuk Budidaya Ikan Laut. Prosiding Temu Usaha Pemasyarakatan Teknologi Keramba Jaring Apung bagi Budidaya Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian – Forum Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Agribisnis (FKKPA). Jakarta 12 – 13 April, No. 38: 179 – 187.
Murtidjo, 2002. Budidaya Bandeng Secara intensif. Kanisius,Yoyakarta.
Padlan. Ranoemiharjo. 1976. Teknik Pengelolaan Peneneran Bandeng (Chanos chanos Forskal). Lembaga Penelitian Perikanan Darat. Pusat Pembenihan Udang . Jepara.
Schuster, W. H. 1960. Sinopsis of Biological Data On Milkfish (Chanos chanos Forskal). FAO Fisheries Biology Sinopsis. No. 4.
Suseno, S. 1988. Budidaya Ikan dan Udang di Tambak. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sutoyo, 2007. Anatomi Komparativa. Penerbit: Alumni. Bandung
Suyanto. 2009. Morfologi Ikan Bandeng. Penebar Swadaya, Jakarta.
Suyanto. 2009. Morfologi Ikan Bandeng. Penebar Swadaya, Jakarta
Taufik, A. 2000. Budidaya Bandeng Secara Intensif. Penebar Swadaya, Jakarta.
LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK PEMBENIHAN PERIKANAN LAUT ACARA III PEMIJAHAN KERANG DARAH (Anadara granosa)
Oleh : Nama NIM Kelompok
: Nindita Arrum Wardani : B0A013030 : 7 (Tujuh)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PROGRAM STUDI D-III PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DAN KELAUTAN PURWOKERTO 2014
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara maritim yang didominasi oleh wilayah perairan yaitu berkisar dua per tiga wilayah nya berupa peraiaran laut lepas. Laut pesisir pantai, teluk maupun selat. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki panjang pantai mencapai 81.000 km, dengan jumlah mencapai 17.508 buah serta potensi lestari sumber daya perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,40 juta ton per tahun. Dari potensi tersebut jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,12 juta ton per tahun atau sekitar 80 % dari potensi lestari (Dahuri, 2003). Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1995), pengelolaan sumberdaya perairan di Indonesia merupakan pengelolaan seluruh aspek yang mencakup kehidupan masyarakat nelayan beserta potensi sumberdaya dan komponen pendukungnya. Perkembangan usaha perikanan khususnya disektor penangkapan laut, sampai dengan pelita V telah memberikan hasil yang cukup memuaskan. Keberhasilan usaha tersebut dapat dilihat dari tingkat kemampuan dalam mengelola seluruh kekayaan laut dan menggunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Menurut Moeljanto dan Heruwati (1975) dalam dalam Kasry (2003), kerang darah merupakan salah satu jenis kerang yang mempunyai nilai ekonomis penting dan disukai masyarakat. Selanjutnya Ismail (1971) dalam Kasry (2003) mengatakan kerang darah mempunyai rasa yang guring karena mengandung lemak dan kadar protein yang tinggi. Komposisi kimia kerang dara (Anadara sp.) adalah air 83%, lemak 0.91%, protein 10.33% dan kadar abu 1.84% (Moeljanto dan Heruwati 1975 diacu dalam Kasry 2003). Kerang darah yang telah dewasa yang berukuran diameter 4 cm dapat memberikan sumbangan energi sebesar 59 kalori serat mengandung 8 gram protein, 1.1 gram lemak, 3.6 gram karbohidrat, 133 mg kalsium, 170 mg phosfor, 300 SI vitamin A dan 0.01 mg vitamin B1 (Karnadi 1991 diacu dalam Kasry 2003).
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah supaya mahasiswa paham dan mampu melakukan pemijahan kerang darah (Anadara granosa) secara benar dengan menggunakan metode ekspose dan kejut suhu (thermal shock).
1.3. Manfaat
Manfaat dari praktikum ini adalah menambah pengetahuan dan wawasan kepada mahasiswa tentang metode pemijahan kerang darah (Anadara granosa) menggunakan metode ekspose dan kejut suhu (thermal shock).
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerang Darah
Kerang darah (Anadara granosa) merupakan kelas bivalva famili Archidae dan genus Anadara. Bentuknya bulat kipas, agak lonjong, mempunyai dua belahan yang sama (simetris), kerang ini memiliki garis palial pada cangkang sebelah dalam lengkap dan garis palial bagian luar beralur. Bagian dalam halus dengan warna putih mengkilat. Warna dasar kerang dara yaitu putih kemerahan (merah darah), bagian daging berrwarna merah dan ukuran lebar cagkang dapat mencapai 4 cm (Heru dan suseno 2006). Klasifikasi kerang darah menurut Broom (1985) dalam Marzuki et al. 2006, adalah sebagai berikut: Filum
: Mollusca
Kelas
: Bivalva
Ordo
: Arcoida
Famili
: Arcidae
Sub Famili
: Anadarinae
Genus
: Anadara
Spesies
: Anadara granosa
Disebut kerang darah karena kelompok kerang ini memiliki pigmen darah merah/haemoglobin yang disebut bloody cockles, sehingga kerang ini dapat hidup pada kondisi kadar oksigen yang relatif rendah, bahkan setelah dipanen masih bisa hidup walaupun tanpa air. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika pedagang menjual kerang dalam keadaan hidup dengan ciri cangkang tertutup rapat bila terkena sentuhan. Sedangkan kerang yang mati cangkangnya agak terbuka dan sedikit menganga yang diikuti oleh bau segar yang perlahan-lahan berganti dengan bau busuk (amoniak) (PKSPL 2004). Morfologi kerang darah adalah mempunyai 2 keping cangkang yang tebal, ellifs dan kedua sisi sama, kurang lebih 20 rib, cangkang berwarna putih ditutupi periostrakum yang berwarna kuning kecoklatan sampai cokelat kehitaman. Ukuran kerang dewasa 6-9 .Kerang darah (Anadara granosa) termasuk kedalam hewan lunak yang hidup pada perairan berlumpur, hidupnya dengan cara membenamkan diri di
dalam lumpur berpasir di daerah pasang surut. Biota ini mampu mengakumulasikan timbal sehingga dapat dimanfaatkan sebagai indikator pencemaran (Nurjanah et.al 2005). Kerang ini menghuni kawasan Indo-Pasifik dan tersebar dari pantai Afrika timur sampai ke Polinesia. Hewan ini gemar memendam dirinya ke dalam pasir atau lumpur dan tinggal di mintakat pasang surut. Panjang dewasanya berukuran 5 sampai 6 cm dan lebar 4 sampai 5 cm. Kerang ini hidup di perairan pantai yang bersubstrat pasir berlumpur dan dapat juga ditemukan pada ekosistem estuary, mangrove dan padang lamun (Marzuki, 2006). Umumnya kerang darah berumah dua dan pembuahannya internal. Telur yang dibuahi sperma akan berkembang manjadi larva glosidium yang terlindung oleh dua buah katup. Ada beberapa jenis yang dari katupnya keluar larva panjang dan hidup sebagai parasit pada hewan lain, misalnya pada ikan. Pada saat terjadi pemijahan, alat kelamin jantan akan mengeluarkan sperma ke air dan akan masuk dalam tubuh hewan betina. Melalui sifon air masuk, sehingga terjadilah pembuahan. Ovum akan tumbuh dan berkembang yang melekat pada insang dalam ruang mantel, kemudian akan menetas dan keluarlah larva yang disebut glokidium. Larva ini akan keluar dari dalam tubuh hewan betina melalui sifon air keluar, kemudian larva tersebut menempel pada insang atau sirip ikan dan larva tersebut akan dibungkus oleh lendir dari kulit ikan. Larva ini bersifat sebagai parasit kurang lebih selama 3 minggu. Setelah tumbuh dewasa, larva akan melepaskan diri dari insang atau sirip ikan dan akan hidup bebas (Broom, 1985).
2.2. Faktor Fisika Kimia
Broom (1985) yang menyatakan bahwa kerang darah tumbuh baik pada perairan yang memiliki salinitas 27-35 o/oo, suhu optimal bagi kehidupan kerang A. granosa adalah sekitar 25-32oC. Adapun lokasi budidaya yang akan digunakan perlu dipertimbangkan mengingat secara alami kerang darah hidup dalam cekungan-cekungan di dasar perairan di wilayah pantai pasir berlumpur. Jenis kekerangan ini menghendaki kondisi perairan yang memiliki kadar garam antara 13-28 ppm, kecerahan 0,5-2,5 m, dan pH 7,5-8,4.
III.
MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum Pemijahan Kerang Darah ini adalah akuarium 10 liter, aerator, selang aerasi, gelas ukur, gayung, ember, penggaris, sikat gigi, nampan plastik.
3.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum Pemijahan Kerang Darah ini adalah inokulum Kerang Darah (Anadara granosa), air laut, air tawar, inokulum Nannochloropsis sp.
3.2. Metode
Menurut Kerlinger (1986:398) yang dimaksud dengan eksperimen laborartorium adalah suatu penelitian yang mengkaji varian-varian dari semua atau hampir semua variabel bebas yang mungkin berpengaruh, sedangkan variabel-variabel yang tidak relevan dengan masalah-masalah penelitian dibuat seminimal mungkin.
Hal ini
dilakukan dengan cara mengasingkan penelitian itu dalam situasi fisik yang terpisah dari rutinitas kehidupan sehari-hari dan dengan memanipulasi satu atau lebih variabel bebas dalam situasi yang dispesifikasikan, dioperasionalkan, dikendalikan dengan cermat dan teliti. Metode praktikum menggunakan perlakuan ekspose dan kejut suhu. Kerang darah yang telah dibersihkan cangkangnya, didiamkan di luar permukaan air selama ± 10-15 menit, kemudian dimasukkan ke dalam akuarium berisi 2000 ml air laut suhu standard dan 600 ml air laut yang telah dipanaskan.
3.3. Pelaksanaan Praktikum
Tahapan pada praktikum kali ini adalah sebagai berikut:
Seleksi dan aklimatisasi induk
1.
Disiapkan akuarium volume 10-50 liter yang sudah dibersihkan, dan dilengkapi
dengan aerasi 2.
Diisi dengan air laut steril bersalinitas 27-30 ppt hingga 75% atau sekitar
¾
dari
volume total 3.
Induk kerang darah yang sudah dibersihkan dan diukur panjang dan lebar
cangkangnya, kemudian dimasukkan kedalam akuarium 4.
Diberikan pakan Nannochloropsis sp. dengan perbandingan 10 ml : 1 lt
5.
Dilakukan aklimatisasi induk kerang darah selama ±24 jam
Pemijahan
1.
Disiapkan dua buah akuarium ukuran 10-60 liter
2.
Akuarium diisi dengan air laut bersalinitas 27-30 ppt sebanyak 50% atau
½
dari
volume 3.
Kerang darah dimasukkan ke dalam akuarium 1 dan air dalam akuarium 2
dipanaskan menggunakan heater atau menambahkan air yang direbus, sehingga suhunya meningkat 5-7oC dari suhu awal 4.
Suhu awal di akuarium 1 diamati
5.
Kerang darah pada akuarium 1 diangkat untuk diekspose selama ±15 menit
6.
Kerang darah dipindahkan dari akuarium 1 ke dalam akuarium 2 yang suhunya
telah dinaikkan 7.
Ditunggu dan diamati sampai semua induk memijah
Pemeliharaan larva dan spat
1.
Disiapkan akuarium yang sudah dibersihkan lengkap dengan aerasi
2.
Telur dari tempat pemijahan dipindahkan dengan menggunakan plankton net ke
dalam akuarium pemeliharaan larva 3.
Dilakukan pemberian pakan berupa setelah larva kerang darah berumur 5-7 hari
4.
Pemberian pakan dilakukan secara intensif
5.
Dilakukan pengamatan periode kritis pada larva kerang darah dengan melakukan
pemeliharaan secara terkontrol Pengukuran parameter fisika, yakni: 1.
Pengukuran yang dilakukan dala pemijahan kerang darah (Anadara granosa)
adalah pengukuran parameter fisika yaitu pengukuran suhu dengan menggunakan
thermometer. Adapun perubahan suhu air dalam metode thermal shock yang digunakan untuk pemijahan kerang darah adalah berkisar 5-7oC.
3.4. Waktu dan Tempat
Praktikum Teknik Pembenihan Perikanan Laut Acara III Kultur Budidaya Kerang Darah ini dilaksanakan pada tanggal 1 Desember 2014 pada pukul 15.00 hingga 18.30 WIB di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Gambar 1. Induk Kerang darah (Anadara granosa)
Gambar 2. Larva Kerang Darah
Tabel Pengukuran Parameter Fisika NO. 1. 2.
Parameter Suhu Salinitas
Awal 30oC 30 ppt
Akhir 36oC 28 ppt
4.2. Pembahasan
Menurut Marzuki (2006) kerang darah dewasa dapat terjadi pemijahan secara alami dengan kondisi gonad matang penuh yang biasanya terjadi pada kondisi perubahan lingkungan perairan. Secara perlakuan dapat dilakukan melalui proses shock mekanik pada saat cangkang dibersihkan atau melalui perbedaan tekanan. Selanjutnya kerang dibawa ke peraian dangkal yang sudah disiapkan. Untuk melakukan pemijahan kerang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu manipulasi lingkungan dan rangsangan kimia. a. Manipulasi lingkungan Metode pertama manipulasi lingkungan yang biasa di gunakan dan resiko kegagalannya relatif kecil adalah metode kejut suhu (thermal shock), fluktuasi suhu, dan ekspose. Metode kejut suhu dilakukan dengan cara, jika suhu air di tempat pemijahan mulanya sekitar 28ºC di tinggikan menjadi 35ºC, ini di naikkan secara bertahap dengan bantuan alat pemanas (heater). Induk-induk akan memijah setelah 60-90 menit dari perlakuan. Biasanya yang lebih dulu memijah adalah induk jantan dan di susul oleh induk betina. Sperma yang keluar seperti asap berwarna putih. Metode kejut suhu dianggap paling efektif dengan tingkat kegagalan yang relatif kecil. Sistem ini dapat juga dikombinasikan dengan fluktuasi suhu. Metode yang ke dua adalah fluktuasi suhu, jika suhu awal tempat pemijahan sekitar 28ºC di tinggikan menjadi 33-45ºC . jika induk belum memijah setelah 60-90 menit maka suhu di turunkan kembali ke suhu awal, perlakuan ini di lakukan terus-menerus sampai induk memijah. Metode yang ketiga yaitu metode ekspose juga sering di lakukan dan ada kalanya di kombinasikan dengan metode kejut suhu. Induk di letakkan di tempat teduh, lalu di biarkan selama 30-45 menit, pada kondisi tertentu, misalnya induk belum mencapai fase matang gonad (fase III) maka perlu di lakukan ekspose lebih lama, bisa mencapai 1-2 jam. Setelah masa ekspose, induk di kembalikan lagi ke tempat bak pemijahan. Pada kasus ini bisa di kombinasi antara metode ekspose dengan metode kejut suhu atau fluktuasi suhu. b. Rangsangan kimia Walaupun diperoleh hasil fertilasi atau pembuahan yang kurang baik sering juga dilakukan proses pemijahan dengan menggunakan bahan kimia. Tujuan penggunaan
bahan kimia dalam proses pemijahan tiram adalah untuk merubah lingkungan mikro pada tempat pemijahan. Bahan kimia digunakan untuk merubah kondisi air terhadap pHnya sehingga induk tiram menjadi shock dan mengeluarkan sel-sel gonatnya. Bahan di gunakan diantaranya H2O2, NaOH, NH4OH, NH4 dan bahan lainnya. Kematian induk yang terjadi, disebabkan oleh beberapa hal, yakni pada saat perlakuan metode ekspose, induk kerang darah terlalu lama berada di atas air laut. Selain itu, juga dapat disebabkan karena kurangnya faktor lingkungn seperti O2 terlarut dan kurangnya salinitas. Kendala ini yang sering didapatkan.
V.
KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa metode ekspose dan kejut suhu dapat memacu pemijahan kerang darah.
Metode
ekspose dilakukan selama ±10-15 menit. Adapun pertambahan suhu air laut awal dan akhir adalah berkisar 5-7oC.
DAFTAR PUSTAKA Broom MJ. 1985. The Biology and Culture of Marine Bivalve Mollusca of the Genus Anadara. International centre for living aquatic resource management. Manila. 37p.
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S, P dan Sitepu, M. J. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Hayati Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradya Pramitha. Jakarta. 305 hlm.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1995. Survei Sosial dan Ekonomi Perikanan Laut Provinsi Jawa Tengah Tahun 1992. Departemen Pertanian. Jakarta.
Kasry A. 2003. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologis Ringkas. Bharata. Jakarta.
Kerlinger, Fred. 1973. Foundations of Behavioral Research (2nd Edition) Holt, Rinehart and Winston.
Marzuki, dkk. 2006. Kepadatan Populasi Dan Pertumbuhan Kerang Darah Anadara antiquata L. (Bivalvia: Arcidae) di teluk sungai pisang, kota Padang, Sumatera Barat. Makara, sains, vol. 10, no. 2.
Moeljanto, R, E.S. Heruwati. 1975. Peranan Penanganan dalam Pengolahan Kerang Darah (Anadara granosa). Jurnal Penelitian Teknologi Perikanan Vol. 1: 33-47.
Nurjanah, Zulhamsyah, Kustiyariyah. 2005. Kandungan Mineral dan Proximat Kerang Darah (Anadara granosa) yang diambil dari Kabupaten Boalemo, Gorontalo.Buletin Hasil Perikanan. Vol VIII(2) : 15-24.
PKSPL. 2004. Penelitian dan Pengembangan Budidaya Perikanan (Kerang Darah) di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. PKSPL : Gorontalo.