Laporan...docx

  • Uploaded by: Izfaningrum Melati Sukma
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan...docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,046
  • Pages: 23
LAPORAN ANATOMI FISIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI KARDIORESPIRASI “PENYAKIT VESIKULER PERIFER” Dosen Pembimbing : Ns. Ida Mardalena, S.Kep.,Msi

Disusun oleh : KELOMPOK VI 1. Niken Anggraini Sri Saputri (P07120216042) 2. Atika Fajrin Ayuningtyas

(

3. Izfaningrum Melati Sukma

(

4. Muhammad Naufal Zain

(

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES YOGYAKARTA SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN B TAHUN 2019 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Indonesia mengalami peningkatan kasus kronik selama beberapa tahun terakhir. Hal ini tentunya menjadi awal efek domino yang membentuk berbagai macam penyakit, salah satunya hipertensi. Hipertensi ditemukan setidaknya pada 1 dari 5 penduduk Indonesia dengan prevalensi yang meningkat sesuai usia. Prevalensi hipertensi pada penduduk usia 55-64 tahun, 65–74 tahun, dan >75 tahun secara berturut-turut adalah 53,7%; 63,5%; dan 67,3%.1 Adapun di tahun 2014, Kabupaten Sikka sendiri memiliki prevalensi hipertensi tertinggi se-Nusa Tenggara Timur yaitu sebesar 11,4% (Seran SB, Hala KK, dkk. 2014). Pasien dengan PAP memiliki resiko tinggi mengalami infark miokard, stroke iskemik hingga kematian. Kebanyakan pasien dengan PAP (>50%) tidak merasakan gejala apapun sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosa PAP. Pemeriksaan yang direkomendasikan oleh American College of Cardiology Foundation/ American Heart Assosiation (ACCF/AHA) sebagai alat diagnosis utama PAP dengan menggunakan pemeriksaan Ankle Brachial Index (Thendria, 2014). Penyakit Arteri Perifer secara umum merupakan kumpulan kelainan yang menghambat aliran darah ke ekstremitas baik atas maupun bawah, kebanyakan akibat aterosklerosis. Gejala utama dari PAP ekstemitas bawah, klaudikasio intermitten, cenderung menghambat aktivitas pasien, menimbukan ketergantungan terhadap orang lain, menurunkan kualitas hidup pasien tersebut. Prevalensinya bervariasi tergantung umur, namun jumlahnya lebih tinggi pada kelompok usia diatas 40 tahun (15-20%). Kebanyakan pasien PAP (80%) adalah perokok maupun bekas perokok. Di Indonesia prevalensinya pada pasien DM mencapai 44%. Data rekam medis Pusat Jantung Harapan Kita (PJNKHK) menunjukkan jumlah pasien PAP ekstremitas bawah sebanyak 119 pasien selama Januari 2011 hingga Agustus 2012 (Elfi, 2012).

B. Rumusan Masalah C. Tujuan Tujuan Umum

Tujuan Khusus D. Manfaat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Penyakit arteri perifer merupakan semua penyakit yang terjadi pada pembuluh darah setelah keluar dari jantung dan aortailiaka. Penyakit ini meliputi keempat ekstermitas, arteri karotis, arteri renalis, arteri mesenterika, dan semua percabangan setelah ke luar dari aortailiaka (Antono & Ismail, 2009). Penyakit arteri perifer (peripheral arterial disease, PAD) merupakan kumpulan kelainan yang menghambat aliran darah ke ekstremitas, pada umumnya terjadi akibat aterosklerosis dan bermanifestasi sebagai klaudikasio (Eka Fithra, 2014). Peripheral Arterial Disease (PAD) atau bisa juga disebut Peripheral Arterial Occlusive Disease (PAOD) adalah penyumbatan pada arteri perifer akibat proses atherosklerosis atau proses inflamasi yang menyebabkan lumen arteri menyempit (stenosis), atau pembentukan thrombus. Tempat tersering terjadinya PAD adalah daerah tungkai bawah dan jarang ditemukan pada jari tangan. (Eva Decroli, 2015).

B. Klasifikasi Berikut tabel klasifikasi Fontaine untuk penyakit arteri perifer (Bonow, 2012) : Fontaine Classification of Peripheral Artery Disease Stage Symptoms I Asymptomatic II Intermittent claudication IIa Pain free, claudication walking >200m Iib Pain free, claudication walking <200m III Rest and nocturnal pain

IV

Necrosis, gangrene

Secara klinis penyakit arteri perifer dibagi menjadi (Antono & Ismail, 2009): 1. Insufisiensi arteri akut Iskemia arterial akut disebabkan oleh emboli atau thrombosis akut mengikuti obstruksi parsial kronik. Emboli dapat berasal dari jantung atau bukan jantung. Berikut tabel etiologi insufisiensi arteri akut: Tabel Kategori Klinis Insufisiensi Arteri Akut (Modifikasi dari Klasifikasi SVS/ISCVS) Kategori Deskripsi/Prognosis Klinis Sinyal Dopler Sensorik Lemah Arteri Vena Otot Viabel Tidak terancam normal Audible Audible segera Teracam Dapat diselamatkan Ujung jari Inaudible Audible marginal jika diobati segera kaki minimal Terancam Dapat diselamatkan Ujung jari Inaudible Audible segera jika diobati segera kaki minimal Ireversibel Kematian jaringan anestesia Paralisis Inaudible Inaudible umum, kerusakan (rigor) saraf permanen

2. Insufisiensi arteri kronik Klaudikasio merupakan manifestasi yang paling sering terlihat pada insufisiensi arteri kronik. Klaudikasio biasanya timbul setelah aktivitas fisik dan berkurang atau bahkan menghilang setelah istirahat beberapa saat. Nyeri otot pada klaudikasio diperkirakan terjadi akibat aliran darah yang tidak adekuat. Penumpukan asam laktat dan metabolisme lain pada otot yang iskemia menyebabkan nyeri kram pada otot. Lokasi yang paling sering terkena adalah daerah betis, tetapi bisa juga pada daerah paha jika lokasi obstruksi terdapat di arteri iliaka eksterna atau arteri komunis, atau pada daerah bokong akibat penyempitan aorta atau arteri iliaka komunis. Tabel Kategori Klinis Iskemik Limb Kronik

Derajat 0

Kategori 0 1

I

2 3

II

4

III

5

6

Klinis Asimptomatik Klaudikasio ringan

Kriteria Objektif Treadmill stress test normal Treadmill komplit, tekanan ankle sebelahnya <50 mmHg Tetapi> 25 mmHg lebih rendah dari brachial Klaudikasio sedang Antara kategori 1 dan 3 Klaudikasio berat Treadmill tak selesai dan tekanan ankle sebelahnya < 50 mmHg Nyeri iskemik saat Tekanan ankle sat istirahat < 60 istirahat mmHg; nadi ankle dan metatarsal datar atau sangat lemah. Kematian jaringan minor, Tekanan ankle saat istirahat < 40 ulkus tak sembuh, mmHg; nadi ankle dan metatarsal gangren dengan iskemia datar atau sangat lemah pedal difus Kematian jaringan menjalar ke atas transmetatarsal, fungsi kaki tak dapat diselamatkan

C. Faktor Resiko Menurut Eva Decroli (2015) faktor risiko terkena penyakit arteri perifer adalah : 1. Merokok 2. Diet tinggi lemak atau kolesterol 3. Stress 4. Riwayat penyakit jantung 5. Serangan jantung 6. Stroke 7. Obesitas 8. Diabetes, dan 9. Kelainan sintesis protein seperti protein C dan protein S

Berikut kategori individu yang berisiko terkena penyakit arteri perifer ekstermitas inferior (AHA, 2011) : 1. Usia >50 tahun, dengan diabetes dan dalah satu resiko aterosklerosis (merokok, dyslipidemia, hipertensi, dan hiperhomosisteinemia) 2. Usia 50 – 69 tahun dengan riwayat merokok dan diabetes 3. Usia ≥70 tahun 4. Gejala saat beraktivitas (merujuk pada klaudiokasio) atau ischemic rest pain 5. Pemeriksaan pulsasi ekstermitas inferior yang abnormal 6. Riwayat aterosklerosis koroner, carotid, atau penyakit arteri renalis

D. Patofisiologi

E. Tanda dan Gejala Tanda gejala utama adalah nyeri pada area yang mengalami penyempitan pembuluh darah. Pembuluh darah yang terkena adalah pembuluh darah tungkai, maka tanda dan gejala awal adalah nyeri (klaudikasi) dan sensasi lelah pada otot yang terpengaruh. Bila yang terkena adalah pembuluh darah tangan, maka gejala yang muncul adalah nyeri dan jari-jari yang membiru sampai gambaran nekrosis. Kulit akan menjadi kering dan bersisik bahkan saat terkena luka kecil dapat terjadi ulkus karena suplai darah yang tidak adequat menyebabkan proses penyembuhan luka tidak berjalan dengan baik (Eva Decroli, 2015).

Secara klinis penyakit arteri perifer dibagi menjadi insufisiensi arteri akut dan insufisiensi arteri kronik dengan tanda gejala sebagai berikut (Antono & Ismail, 2009): 1. Insufisiensi arteri akut Gejala klinis insufisiensi arteri akut ditandai dengan perubahan suhu yang mencolok pada distal ekstremitas yang tersumbat. Jika telapak kaki masih dapat bergerak dorsofleksi dan plantarfleksi menandakan otot-otot masih

hidup. Jika telapak kaki tak dapat bergerak menandakan adanya ancaman nekrosis paling tidak pada beberapa bagian otot. Tabel Etiologi Insufisiensi Arteri Akut Emboli: - Fibrilasi atrium - Penyakit katup jantung (penyakit jantung rematik atau endokaditis) - Infark miokard (dengan atau tanpa aneurisma ventrikel) - Katup jantung prosthetik - Miksoma atrium kiri - Embolus paradoksik - Kardiomiopati kongestif - Kardiomiopati hipertropik - Kalsifikasi annulus katup mitral Perifer: - Lesi ulkus arteriosclerosis - Aneurisma (Aorta, iliaka, femoralis, popliteal, subclavia, axillaris) - Komplikasi kateterisasi atrial Thrombosis: - Aterosklerosis pada segmen penyempitan (dengan atau tanpa gangguan aliran) - Perdarahan intraplak - Penyalahgunaan obat

F. Penegakkan Diagnosis

G. Pemeriksaan Fisik Insufisiensi arteri akut Pemeriksaan Hasil Nadi dan irama Tidak ada pulsasi Murmur dan gallop Tekanan darah

Aneurisma pembuluh darah Bruit

Kardiomegali

Iskemia akut

Edema tungkai

Iskemia kronik

Insufisiensi arteri kronik Pemeriksaan anggota tubuh (dibandingkan dengan sebelahnya), antara lain: a. Bulu rontok b. Pertumbuhan kuku terganggu c. Kulit kering licin, atrofi d. Rubor e. Kaki menjadi pucat setelah diangkat elevasi setinggi 60 derajat selama 1 menit, (warna kembali normal dalam 10-15 detik. Jika kembali normal dalam waktu lebih dari 40 detik, menandakan iskemik berat)

Peningkatan JVP

Dehidrasi

f.

Ulkus pada jaringan iskemik (terkelupas, nyeri, perdarahan sedikit), gangrene g. Pulsasi femoralis atau dorsalis pedis tidak ada atau mengecil (terutama setelah berjalan) h. Bruit arterial Pemeriksaan tambahan dengan palpasi dan auskultasi untuk mencari kelainan aorta (aneurisma atau bruit)

(Antono & Ismail, 2009):

H. Penatalaksanaan Terapi PAD terdiri dari terapi suportif, farmakologis, intervensi non operasi, dan operasi. Terapi suportif meliputi perawatan kaki dengan menjaga tetap bersih dan lembab dengan memberikan krem pelembab. Memakai sandal dan sepatu yang ukurannya pas dan dari bahan sintetis yang berventilasi. Hindari penggunaan bebat elastik karena mengurangi aliran darah ke kulit. Pengobatan terhadap semua faktor yang menyebabkan atersklerosis harus diberikan seperti berhenti merokok, merubah gaya hidup, dan mengontrol hipertensi (Bonow, 2012). Latihan fisik merupakan pengobatan yang paling efektif. Latihan fisik dapat meningkatkan jarak tempuh sampai terjadinya gejala klaudikasio. Setiap latihan fisik berupa jalan kaki kira-kira selama 30-45 menit atau sampai terasa hampir mendekati nyeri maksimal. Program ini dapat dilakukan selama 6-12 bulan. Hal ini disebabkan karena peningkatan aliran darah kolateral, perbaikan fungsi vasodilator endotel, respons inflamasi, metabolisme muskuloskeletal dan oksigenasi jaringan lebih baik dengan viskositas darah (Antono & Ismail, 2009). Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada pasien PAD meliputi aspirin, klopidogrel, pentoksifilin, cilostazol, dan tiklopidin. Obat terpilih adalah heparin, sebab kerjanya cepat dan cepat dimetabolisme. Dosis 100-200 unit/kgBB bolus, diikuti 15-30 unit/kgBB/jam, jika perlu 300 unit/kgBB bolus, diikuti 60-70 unit/kgBB/jam dengan infus kontinu. Dengan pemantauan APTT 1,5-2,5 kontrol atau waktu pembekuan darah. Penggunaan dosis tinggi

bertujuan agar distal penyumbatan pada daerah iskemia dan kolateral tidak terjadi pembekuan darah yang meluas (Antono & Ismail, 2009). Tabel farmakoterapi untuk pasien dengan klaudikasi (Antono & Ismail, 2009): Obat Aspirin

Dosis 81-325 mg/hari 75 mg/hari

Direkomendasi oleh American College of Chest Physicians untuk PAD Klopidogrel ES lebih ringan dibandingkan aspirin pada CAPRIE trial, resiko TTP lebih sedikit disbanding tiklopidin Pentoxifylline 1,2 g/hari PO Efek terhadap kemampuan berjalan lebih kecil Cilostazol 100 mg 2 Hati-hati pada pasien gagal jantung; dosis dikurangi 50 kali/hari mg 2 kali/hari jika minum obat CCB; menyebabkan diare dan gangguan lambung Tiklodipin 500 mg/hari Harus diawasi resiko TTP

Jika iskemia baru terjadi 4-6 jam dan masih vital yang ditandai dengan nyeri, paralisis atau parastesia, merupakan indikasi yntuk tindakan intervensi revaskularisasi. Jika iskemia lebih dari 8 jam, tidak dilakukan revaskularisasi karena sudah terjadi nekrosis otot. Hal ini tergantung dari kolateral arteri distal dan obstruksi. Intervensi revaskularisasi dapat dilakukan dengan cara (Antono & Ismail, 2009): 1. Operasi Operasi dilakukan dengan teknik embolektomi dengan balon Forgaty dengan anestesi lokal atau regional. Untuk penyakit aortoiliaka dan femoral popliteal ditentukan oleh lokasi, lamanya sumbatan, dan kondisi pasien. Jika ditemukan tanda retrombosis dan emboli berulang harus dilakukan operasi segera. Heparin diberikan sampai 48-72 jam dengan dosis tinggi

yang direkombinasikan, kemudian dosis

diturunkan sesuai kondisi pasien selama 7 hari dan dilanjutkan dengan antikoagulan oral atau heparin dosis rendah suntik subkutan. Jika msih vital setelah lebih dari 48 jam sejak gejala timbul, diperlakukan sebagai peyakit obstruksi kronik berat. 2. Trombolitik

Terapi trombolitik dengan kateter arterial selektif perkutan pada trombus yang menyumbat dapat mengurangi komplikasi perdarahan dibandingkan dengan cara pemberian intra vena. Tissue plasminogen activator dosis rendah atau streptokinase dosis rendah intra arteri 5000-10.000 IU/jam selama 12-48 jam dengan monitor efek terapi baik secara klinis atau serial arteriografi. Dapat juga diberikan urokinase 240.000 IU/jam selama 4 jam, diikuti 120.000 IU/jam sampai maksimum 48 jam, atau rekombinan tPA diinfus 1 mg/jam atau 0,05 mg/kg/jam. Dilanjutkan antikoagulan intravena heparin dan diikuti warfarin per oral. 3. Angioplasty transluminal perkutan Terapi angioplasty transluminal perkutan segera mengikuti terapi trombolitik

intra

arterial,

pemasangan

stent

dan

aterektomi,

memberikan hasil yang baik terhadap patensi arteri yang tersumbat.

I. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan ankle brachial index (ABI) Uji noninvasif yang cukup akurat untuk mendeteksi adanya PAD dan untuk menentukan derajat penyakit ini. ABI merupakan pengukuran noninvasif ABI didefinisikan sebagai rasio antara tekanan darah sistolik pada kaki dengan tekanan darah sitolik pada lengan. Kriteria diagnostik PAD berdasarkan ABI ((National institute for health and clinical excellence. Lower limb peripheral arterial disease : diagnosis and management. UK: 2012) diinterpretasikan sebagai berikut:

2. Toe-Brachial Index (TBI) Suatu pemeriksaan noninvasif yang dilakukan pada pasien diabetes dengan PAD khususnya pada pasien yang mengalami kalsifikasi pada pembuluh darah ekstremitas bawah yang menyebabkan arteri tidak dapat tertekan dengan menggunakan teknik tradisional (ABI, indeks ABI > 1,30) sehingga pemeriksaan ini lebih terpercaya sebagai indikator PAD dibandingkan ABI. Nilai TBI yang ≥ 0,75 dikatakan normal atau tidak terdapat stenosis arteri (National institute for health and clinical excellence. Lower limb peripheral arterial disease : diagnosis and management. UK: 2012) 3. Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dengan menghitung ankle brachial index (ABI) sangat berguna untuk mengetahui adanya penyakit arteri perifer (Fuster, et al, 2011). Tekanan arteri dapat direkam disepanjang tungkai dengan memakai manset spygmomanometrik dan menggunakan alat Doppler untuk auskultasi atau merekam aliran darah. Tekanan sistolik normal di semua tungkai adalah sama. Tekanan dipergelangan kaki sedikit lebih tinggi dibandingkan tangan. Jika terjadi stenosis yang signifikan, tekanan darah sistolik di kaki akan menurun (Fuster, et al, 2011). 4. Computed Tomographic Angiography (CTA)

Mengevaluasi

sistem

arteri

perifer

telah

berkembang

seiring

perkembangan multidetector scanner (16- atau 64-slice).Sensitivitas dan spesifisitas alat ini untuk mendeteksi suatu stenosis sekitar 50% atau oklusi adalah sekitar 95- 99%. Seperti halnya ultrasonografi dupleks, CTA juga menyediakan gambaran dinding arteri dan jaringan sekitarnya termasuk mendeteksi adanya aneurisma arteri perifer, karakteristik plak, kalsifikasi, ulserasi, trombus atau plak yang lunak, hiperplasia tunika intima, in-stent restenosis dan fraktur stent. CTA tetap memiliki keterbatasan dalam hal penggunaannya pada pasien dengan insufisiensi renal sedang-berat yang belum menjalani dialysis (National institute for health and clinical excellence. Lower limb peripheral arterial disease : diagnosis and management. UK: 2012). 5. Magnetic Resonance Angiography (MRA) Pemeriksaan noninvasif yang memiliki resiko rendah terhadap kejadian gagal ginjal. Pemeriksaan yang memiliki rekomendasi dari ACC/AHA (Class I Level of Evidence A)ini dapat memberikan gambaran pembuluh darah yang hampir sama dengan gambaran pembuluh darah pada pemeriksaan angiografi. Modalitas pemeriksaan ini tidak menggunakan radiasi dan media kontras yang digunakan (gadolinium-based contrast) tidak terlalu nefrotoksik dibandingkan dengan kontras yang digunakan pada CTA maupun angiografi kontras. Sensitivitas dan spesifisitas alat ini untuk mendeteksi stenosis arteri dibandingkan dengan angiografi kontras adalah sekitar 80-90% (National institute for health and clinical excellence. Lower limb peripheral arterial disease : diagnosis and management. UK: 2012).

Berikut tabel daftar pemeriksaan penunjang yang di rekomendasikan berdasarkan manifestasi klinis pasien (AHA, 2011):

J. Penilaian Sistem 1. Informasi Subjektif Karena masalah vaskular perifer utamanya terdiagnosis melalui keluhan subjektif, kemampuan wawancara/anamnesa yang baik untuk mendapatkan informasi mengenai nyeri pada kaki, edema perifer, dan perubahan warna kulit merupakan hal yang penting. Pasien seringkali bertanya pada Farmasisnya mengenai gejala-gejala; maka dari itu, Farmasis perlu untuk mampu melakukan penilaian terhadap gejala-gejala tersebut dan menentukan penyebab yang mungkin, terapi yang sesuai, dan rujukan kepada penyedia layanan primer. a. Nyeri Kaki ANAMNESA Gambarkan jenis nyeri yang anda alami. Apakah terasa terbakar, sakit, atau kram? Berapa lama anda mengalami gejala ini?Apakah gejala ini terjadi mendadak atau bertahap? Apakah yang menyebabkan timbulnya nyeri ini? Apakah yang menyebabkannya terasa membaik atau hilang? Apakah nyeri muncul saat berjalan ataun beraktivitas? Bila iya, berapa blok yang dapat anda lewati sebelum nyeri muncul? Apakah anda belakangan ini memulai program pelatihan baru?

HAL-HAL YANG ABNORMAL Nyeri kaki yang berkaitan dengan PAD biasanya jenis yang sakit/kram/lemah yang muncul saat berjalan atau beraktivitas dan mereda dengan beristirahat. Saat penyakit melanjut, jarak yang dapat ditempuh oleh pasien dengan berjalan sebelum mengalami nyeri kaki akan berkurang. Ingatlah bahwa kram pada kaki pada malam hari umum terjadi pada pasien lanjut usia dan wanita hamil, jadi hal ini bukan merupakan tanda dari PAD. b. Perubahan Warna Kulit Perifer ANAMNESA Apakah terdapat perubahan warna pada kaki anda (kebiruan, kemerahan, atau pucat)? Apakah perubahan pada suhu permukaan kaki (hangat atau dingin)? Apakah terdapat luka di kaki atau ulkus? HAL-HAL YANG ABNORMAL Kulit pada ekstremitas bawah dapat menjadi sianotik, eritemik, atu pucat pada PAD. Ekstremitas bawah suhunya dapat menjadi dingin pada PAD dan hangat pada TVD. Pada tahap lanjut, PAD kronik dapat menyebabkan luka pada kaki atau ulkus. c. Edema ANAMNESA Kapan pembengkakan terjadi? Kapan saat terburuk dan terbaiknya, atau apakah ini menetap sepanjang hari? Saat hari berakhir? Saat pagi hari? Setelah berdiri sepanjang hari? Apakah yang meredakan gejala ini? Apakah gejala ini terjadi pada kedua kaki atau hanya satu? Apakah anda memiliki riwayat gagal jantung atau masalah ginjal? HAL-HAL ABNORMAL TVD menyebabkan pembengkakan hanya pada satu kaki yang akan menetap sepanjang hari. Edema pada gagal jantung atau gagal ginjal biasanya terjadi bilateral, berkurang di pagi hari, dan progresif selama seharian. 2. Informasi Objektif Penilaian fisik Penilaian fisik sistem vaskular perifer meliputi inspeksi, auskultasi, dan palpasi. Satu prinsip

dasar

dari penilaian

vaskular

perifer

adalah

perbandingan satu sisi dengan sisi yang lain harus dilakukan selama inspeksi dan palpasi ekstremitas

a. Langkah 1 inspeksi pada lengan dan kaki Nilai hal hal berikut ini: 1)

Warna (catat ada/tidaknya sianosis, eritema, atau pucat)

2)

Pertumbuhan rambut (catat area yang mengalami penurunan pertumbuhan rambut yang disebabkan oleh berkurangnya sirkulasi).

3)

Atrofi otot

4)

Edema (catat/tidaknya adanya pembengkakan atau kulit yang mengkilat dan kencang)

5)

Adanya varises

6)

Ulserasi (catat ada/tidaknya luka terbuka)

7)

Kuku (catat ada/tidaknya kuku yang menebal dan keras[Lihat BAB 8]) HAL-HAL YANG ABNORMAL Lihat Kotak 13-1 dan 13-2 untuk tanda-

tanda adanya PAD dan TVD. b. Langkah 2 : Palpasi Lengan Palpasi denyut arteri radialis dan brakhial (catat laju, irama, tekanan, dan simetrisitas denyut pada kedua lengan) (Gambar. 13-8 dan 13-9) Derajat/tingkatan kekuatan (amplitude) denyut menggunakan skala dari 0 sampai 4: 4+ Penuh 3+ Meningkat 2+ Normal 1+ Lemah/Menurun 0 tidak ada Kekuatan harus secara bilateral sama besar. HAL-HAL ABNORMAL Denyut yang penuh atau meningkat terjadi pada status hiperkinetik (misal saat olah raga, cemas/ansietas, demam tinggi, anemia, dan hipertiroidisme). Denyut yang lemah terjadi pada penyakit arteri perifer atau syok.

Palpasi denyut nadi radialis

Palpasi denyut nadi brakhialis

c. Langkah 3 : Palpasi Isian Ulang Kapiler 1) Bentangkan tangan individu sejajar dengan tinggi jantungnya. 2) Tekan/remas dasar kuku setiap jari 3) Lepaskan, dan catat lama/durasi kembalinya warna kuku 4) Warna seharusnya kembali ke normal dalam 1 sampai 2 detik. Kondisi tertentu (yaitu ruangan yang sejuk, menurunnya suhu tubuh, anemia) dapat memperpanjang waktu ini. HAL-HAL YANG ABNORMAL Waktu kembalinya warna lebih dari 1 sampai 2 detik menandakan adanya vasokonstriksi, menurunnya aliran darah, atau menurunnya keluaran jantung (gagal jantung). d. Langkah 4 : Palpasi Kaki 1) Periksa suhu kulit dengan menggunakan punggung tangan sepanjang kaki turun hingga telapak kaki, bantingkan titik-titik pada tiap kaki secara simetris. 2) Kulit seharusnya hangat dan sama suhunya pada kedua kaki (bilateral) 3) Gunakan jari-jari, palpasi denyut pada kedua kaki di arteri femoralis, poplitea, dorsalis dis, dan arteri tibialis posterior. 4) Nilai laju denyut, irama, kekuatan, dan simetrisitas pada setiap kaki.

5) Golongkan dalam derajat kekuatan denyut menggunakan skala 0 sampai 4 dan bandingkan pada masing-masing kaki: 4+ Penuh 3+ Meningkat 2+ Normal 1+ Lemah/Menurun 0 tidak ada PERHATIAN! Skala denyut adalah pemeriksaan subjektif. HAL-HAL

YANG

ABNORMAL

PAD

dapat

menyebabkan

denyut

yang

berkurang atau lemah yang terjadi bilateral. TVD dapat menyebabkan denyut yang lemah atau tidak adanya denyut pada kaki yang terkena jika dibandingkan dengan kaki yang sehat

e. Langkah 5 : Palpasi Edema Perifer 1) Tekan dengan menggunakan dua jari tangan, Press down, using your first two fingers, di atas tibia (tulang kering) atau di puncak kaki selama paling tidak 5 detik lalu lepaskan. (Gambar 13-14) 2) Kulit seharusnya balik kembali dan tidak meninggalkan indentasi (lekukan). Bila terdapat edema pitting, klasifikasikan dalam tingkatan skala 1 sampai 4. 4+ Pitting yang sangat dalam, indentasi menetap dalam jangka waktu lama, terdapat pembengkakan yang bermakna. 3+ Pitting yang dalam, indentasi menetap dalam jangka waktu yang pendek, pembengkakan yang terlihat. 2+ Pitting sedang, indentasi menghilang dengan cepat, tidak tampak pembengkakan. 1 + Pitting ringan, sedikit indentasi, tidak tampak pembengkakan. PERHATIAN! Skala edema adalah pemeriksaan subjektif. HAL-HAL YANG ABNORMAL Edema pitting dapat terjadi akibat beberapa sebab berbeda (misal PAD, TVD, gagal jantung kongestif, gagal ginjal). Bila terdapat edema pitting, evaluasi tanda dan gejala yang lain untuk menentukan penyebab

BAB III CONTOH KASUS

Dilaporkan suatu kasus dengan penyakit arteri perifer yang menyerang jari tangan kiri pada wanita dengan usia 55 tahun. Pasien masuk dengan keluhan utama nyeri pada tangan kiri sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri pada tangan kiri sejak 8 jam yang sebelum masuk rumah sakit, nyeri dirasakan tiba-tiba, terus-menerus, tidak menjalar. Pasien juga mengeluhkan tangan kiri terasa lemah, terasa dingin dan kebas. Kelima jari tangan kiri menghitam sejak 8 jam yang lalu. Awalnya, ujung jari tangan kiri memerah, lalu membiru, dan kemudian menghitam, lalu perlahan-lahan meluas hingga pangkal jari. Pasien 9 tahun yang lalu mengalami nyeri pada kaki kanan yang disertai dengan kaki kanan menghitam yang dimulai dari ujung jari-jari kaki kanan yang lama kelamaan mengenai pertengahan kaki kanan sehingga berakhir dengan amputasi. Delapan tahun yang lalu dengan keluhan dan gejala yang sama berakhir pula dengan amputasi jempol kaki kiri. Pasien sudah dikenal menderita diabetes melitus tipe 2 sejak 8 tahun yang lalu. Pasien mengalami nyeri pada payudara kiri yang dirasakan selama 1 hari sebelum masuk rumah sakit pada 4 tahun yang lalu. Pasien kemudian didiagnosis mengalami kanker payudara dan akhirnya dilakukan operasi pengangkatan kanker. Setelah itu, pasien tidak kontrol lagi untuk kanker tersebut. Riwayat sakit jantung, hipertensi, alergi makanan, obat-obatan dan cuaca tidak ada. Tidak ada anggota keluarga lain yang pernah mengalami amputasi. Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pasien hamil 7 kali, dan mengalami abortus spontan pada kehamilan ke 2 pada tahun 1986 dan kehamilan ke 4 pada tahun 1988. Kehamilan terakhir prematur 8 bulan dan menjalani operasi sectio caesaria. Kehamilan dan persalinan lainnya normal. Kesadaraan Compos Mentis Cooperative, keadaan umum lemah, tekanan darah rata-rata pada tangan kanan 140/90 mmHg, tangan kiri 140/90 mmHg, kaki kiri 120/80 mmHg, dan ABI 0,86. Frekuensi nadi arteri radialis kanan 110 x/menit,

teratur, pengisian cukup, sementara arteri radialis kiri 110 x/menit, teratur, teraba lemah. Frekuensi nafas 24 x/menit, suhu 37,1 0C, indeks massa tubuh 25,6 kg/m2 (overweight). Sianosis ditemukan pada manus sinistra digiti I, II, III, IV, V sampai regio metacarpophalangeal sinistra. Pasien memiliki skor visual analog scale 10. Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada leher dan axilla. Terdapat bekas operasi pada mammae kiri. Paru dan jantung dalam keadaan normal, hepar sedikit

membesar.

Penilaian

pulsasi arteri

dan

sensibilitas

tampak pada

tabel

di

bawah ini.

Pada regio manus sinistra, tampak pucat kehitaman setinggi digiti I, II, III, IV, V sampai regio metacarpophalangeal sinistra, teraba dingin, pulsasi arteri radialis berkurang, tidak ada sensorik, refilling kapiler >2 detik.

Hasil pemeriksaan laboratorium adalah hemoglobin 15,9 gr/dl, leukosit 16.300/mm3, hematokrit 46 %, trombosit 234.000/mm3, differential count 0/1/2/92/3/2, laju endap darah 46 mm/jam, gula darah sewaktu 293 mg/dl. Pemeriksaan urin dan feses rutin dalam batas normal. EKG dalam batas normal. Penatalaksanaan: 2. Istirahat/ Diet diabetes 1500 kkal (karbohidrat 828 kkal, protein 60 gr, lemak 33 gr), diet jantung II, diet rendah garam II / Oksigen 2 liter/menit. 3. Bolus 100.000 unit streptokinase dilanjutkan dengan drip 50.000 unit/jam streptokinase dalam 50cc NaCl 0,9% dengan kecepatan 2,1 cc/jam. 4. Drip 5mg morfin dalam 250cc NaCl 0,9% dengan kecepatan 20 tetes/menit, tambahkan dosis morfin 2mg dalam 250cc NaCl 0,9% jika nyeri tidak menurun. 5. Ceftriaxone 1x2 gr (iv). 6. Ascardia 1x80mg (po). 7. Clopidogrel 1x75mg (po). 8. Cilostazole 2x100mg (po). 9. Drip insulin 50 unit dalam 50cc NaCl 0,9% (syringe pump) mulai dengan kecepatan 1,5cc/jam, kemudian dilanjutkan dengan dosis penyesuaian insulin. Pemeriksaan lanjutan berupa rontgen throrax dengan hasil ditemukan cor dan pulmo dalam batas normal. Echo Doppler pada ekstremitas kiri atas didapatkan flow menurun pada sistem arteri lengan kiri setinggi arteri palmar digital hingga distal. Echocardiografi dalam batas normal. Protein S pasien ini 53,50%, rendah dari nilai protein S kontrol 86% (nilai normal 70 – 123%), sementara protein C 79,70% (nilai normal 70 – 140%) dengan nilai protein C kontrol 91,4%.

Selama perawatan, tampilan klinis membaik, kecuali jari II tangan kiri yang berakhir dengan amputasi.

(Eva Decroli. 2015. Iskemia pada Jari Tangan Penderita Diabetes Melitus: Suatu Keadaan Peripheral Arterial Disease Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4(2). Website: http://jurnal.fk.unand.ac.id)

BAB IV

PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Antono & Ismail. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II: Penyakit Arteri Perifer. Jakarta: FK UI. Bonow RO, et al. (2012). Braunwald’s Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicinie 9th Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. Fuster, Walls, Harringtons. 2011. Hurst's The Heart, 13th Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. Eka Fithra Elfi. 2014. Peran Latihan Disupervisi pada Pasien dengan Penyakit Arteri Perifer Eksremitas Bawah. MKA, Volume 37, Nomor 2, Agustus 2014. Website: http://jurnalmka.fk.unand.ac.id Eva Decroli. 2015. Iskemia pada Jari Tangan Penderita Diabetes Melitus: Suatu Keadaan Peripheral Arterial Disease Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4(2). Website: http://jurnal.fk.unand.ac.id National institute for health and clinical excellence. Lower limb peripheral arterial disease : diagnosis and management. UK: 2012. Seran SB, Hala KK, Simanjuntak EMF, Hermanus L, Sinaga ME, Ralo T, et al. Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2014 [Internet]. Kupang: Dinas Kesehatan Propinsi NTT; 1 Juni 2015 [Diakses 2 Juli 2017]. Tersedia di: http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVINSI _2014/19_ NTT_2014.pdf

More Documents from "Izfaningrum Melati Sukma"