Laporan Tutorial Sk3 Blok 16 Fix.docx

  • Uploaded by: Diyah Nur Fitria Munawaroh
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Tutorial Sk3 Blok 16 Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,834
  • Pages: 46
LAPORAN TUTORIAL SGD 3 SKENARIO 3 BLOK 16 “Gigi Berjejal”

Dosen Pembimbing Tutorial : drg. Nur Indah Febriani

Disusun oleh:

1. Rezki An Najmi Fathan

(Moderator)

J2A016023

2. Diyah Nur Fitria Munawaroh

(Scraber Ketik)

J2A016038

3. Luluk Hanifa Zahraniarachma

(Scraber Tulis)

J2A016047

4. Emilia Nurul Sholekah

J2A016039

5. Nasiha Aulia Khansa

J2A016015

6. Azzuhra Zhafirah Rizviar

J2A016041

7. Andra Mahyuza

J2A016042

8. Zulfah Aghnia Hurin

J2A016045

9. Dewi Yunita Sari

J2A016046

10. Yusril Akhmad Dwiyafi

J2A016049

11. Kurnia Bagas Triwibowo

J2A014029

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2019

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun ucapkan atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia – Nya penyusun dapat menyelesaikan laporan skenario yang berjudul “Gigi Berjejal”. Laporan skenario ini penyusun susun karena merupakan sebagian tugas yang telah diberikan dan pada kesempatan ini penyusun ucapkan terimakasih kepada beberapa pihak media dan drg. Indah selaku dosen tutorial blok enam belas yang senantiasa membantu dan membimbing dalam pembuatan laporan skenario yang satu ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Laporan ini pula penyusun susun untuk memperluas dan menambah wawasan para pembaca khususnya mahasiswa. Dalam pembuatan laporan ini telah disadari terdapat beberapa kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penyusun mengharapkan kepada semua pembaca agar dapat menyampaikan saran dan kritik guna penyempurnaan laporan tutorial ini.

Semarang, 31 Maret 2019

Tim Penyusun

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Upaya manusia untuk mendapatkan susunan gigi yang baik dapat ditelusuri pada bukti peninggalan masa lalu sampai sejauh tahun 3000 sebelum Masehi, misalnya peranti untuk memperbaiki gigi yang tidak terletak normal dapat ditemukan di Mesir. Kemudian pada tahun 1850 Norman Williams Kingsley di Amerika Serikat menulis Oral Deformities yang berisi etiologi, diagnosis dan perawatan kelainan letak gigi (Rahardjo, 2012). Diagnosis di bidang ortodontik dapat didefinisikan sebagai suatu studi dan interpretasi data klinis untuk menetapkan ada tidaknya maloklusi. Diagnosis merupakan suatu langkah dalam perawatan ortodontik sebelum merencanakan perawatan ortodontik (Rahardjo, 2011). Pengertian ortodonti yang lebih luas menurut American Board of Orthodontics (ABO adalah cabang spesifik dalam profesi kedokteran gigi yang bertanggung jawab pada studi dan supervise pertumbuhkembangan geligi dan struktur anatomi yang berkaitan, sejak lahir sampai dewasa, meliputi tindakan preventif dan korektif pada ketidakteraturan letak gigi yang membutuhkan reposisi gigi dengan peranti fungsional dan mekanik untuk mencapai oklusi normal dan muka yang menyenangkan. Tujuan perawatan ortodonti adalah memperbaiki letak gigi dan rahang yang tidak normal sehingga didapatkan fungsi geligi dan estetik geligi yang baik maupun wajah yang menyenangkan dan dengan hasil akan meningkatkan kesehatan psikososial seseorang (Rahardjo, 2012). Maloklusi yang merupakan penyimpangan pertumbuhkembangan geligi dan struktur anatomi yang terkait dapat menganggu kondisi psikologi seseorang. Maloklusi dapat dirawat dengan menggunakan peranti ortodonti agar didapat oklusi yang normal dan muka yang menyenangkan (Rahardjo, 2012).

SKENARIO 3 Gigi Berjejal Seorang perempuan usia 22 th datang ke poli gigi RS. Pasien tersebut mengeluhkan gigi depan bawahnya maju, sehingga membuatnya kurang percaya diri. Dokter gigi melakukan pemeriksaan subyektif, obyekti, dan membuat studi model untuk menganalisis gigi geligi pasien. Selain itu, dokter gigi merujuk pasien untuk melakukan pemeriksaan penunjungan radiograf untuk melihat rahang dengan kepala pasien. Hasil pemeriksaan obyektif : Terdapat relasi molar kanan dan kiri dalam kondisi mesiooklusi. Terdapat deformitas wajah dengan bentuk prognathisme mandibular dengan kondisi gigi insisivus rahang atas crowded dan memiliki inklinasi palatoversi.

1.2.Rumusan Masalah 1. Apa saja anamnesis perawatan orthodonsi? 2. Apa saja pemeriksaan ekstraoral dan intraoral? 3. Apa saja Analisis dan perhitungan yg dilakukan (Metode analisis)? 4. Apa saja yang termaasuk Analisis fungsional (fungsi dan cara analisis)? 5. Baaimana analisis radiograf (panoramic dan sefalometri)? 6. Bagaimana analisis model studi?

1.3 Tujuan 1

Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan anamnesis perawatan orthodonsi?

2

Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan pemeriksaan ekstraoral dan intraoral?

3

Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan analisis dan perhitungan yg dilakukan (Metode analisis)?

4

Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan analisis fungsional (fungsi dan cara analisis)?

5

Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan analisis radiograf (panoramic dan sefalometri)?

6

Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan analisis model studi?

6.3 Manfaat Agar dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai perawatan orthodontik bagi para pembaca.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gigi berjejal merupakan keadaan berjejalnya gigi di luar susunan gigi yang normal. Ditinjau dari segi permasalahan gigi berjejal dikategorikan menjadi dua yaitu gigi berjejal simpel dan gigi berjejal kompleks. Gigi berjejal simpel artinya ketidak harmonisan antara ukuran gigi dengan ruangan yang tersedia di alveolus dengan tidak disertai gangguan pada skeletal, muskular, atau fungsional oklusi. Sedangkan gigi berjejal kompleks artinya gigi berjejal yang disebabkan oleh ketidakseimbangan skeletal, fungsi bibir dan lidah, dan disfungsional oklusi yang menyebabkan ketidakharmonisan antara ukuran gigi dengan ruangan yang tersedia (Malik Isnaniah, 2008). Gigi berjejal anterior dan posterior adalah gigi yang memiliki penyimpangan posisi mahkota gigi termasuk gigi yang tumpang tindih, gigi berkelompok, rotasi dan gigi yang tidak terletak pada lengkung gigi (Sasea et al, 2013).

BAB III PEMBAHASAN

1. Skema

2. Pembahasan 2.1 Anamnesis perawatan orthodonsi Anamnesis adalah salah satu cara pengumpulan data status pasien yang didapat dengan cara operator mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan keadaan pasien : Anamnesis meliputi : 1. Keluhan Utama (chief complain/main complain) : Keluhan utama adalah alasan/motivasi yang menyebabkan pasien datang untuk dirawat. Dari keluhan yang telah dikemukakan itu akan dapat diketahui: • Apa sebenarnya yang pasien inginkan untuk mendapat perbaikan dari operator/dokter gigi

• Apakah keluhan itu memungkinkan untuk ditanggulangi dengan perawatan ortodontik? • Apakah keluhan itu menyangkut faktor esteik atau fungsional (bicara , mengunyah) ? • Keluhan utama bisanya diikuti oleh keluhan sekunder yaitu keluhan yang baru disadari setelah mendapat penjelasan dari operator: Apakah ada keadaan lain yang tidak disadari oleh pasien yang merupakan suatu kelainan yang memungkinkan untuk dirawat secara ortodontik ? Jika ada ini perlu dijelaskan dan dimintakan persetujuan untuk dirawat. Contoh : Pasien datang ingin merawatkan gigi depan rahang atas dan bawah yang dirasakan tidak teratur dan terlalu maju sehingga mengganggu penampilan. Dari hasil pemeriksaan pendahuluan untuk mencocokkan apa yang dikeluhkan pasien dengan keadaan yang sesungguhnya, ditemukan pula adanya ectopic kaninus kanan atas dan deep overbite anterior, kelainan ini perlu dijelaskan dan dimintakan persetujuan untuk dirawat ,setelah disetujui pasien, dicatat sebagai keluhan sekunder. Dari pernyataan itu dapat ditarik kesimpulan atau diagnosis bahwa keluhan utama pasien adalah merupakan kasus : • Crowding / gigi berjejal • Protrusif / gigi merongos / tonggos • Melibatkan gigi-gigi depan pada rahang atas dan bawah • Menggagu estetik Dengan keluhan sekunder : • Ectopic kaninus kanan atas dan deep over bite anterior. 2. Riwayat Kasus (Case History)

Disini dimaksudkan agar operator dapat menelusuri riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien yang melibatkan komponen dentofasial sampai terjadinya kasus maloklusi seperti yang diderita pasien saat ini. Rawayat kasus dapat ditelusuri dari beberapa aspek : a. Riwayat Gigi-geligi (Dental History): Anamnesis riwayat gigi-geligi dimaksudkan untuk mengetahui proses pertumbuhan dan perkembangan gigi-geligi pasien sampai keadaan sekarang sehingga dapat diketahui mulai sejak kapan dan bagai mana proses perkembangan terbentuknya maloklusi pasien. Meliputi riwayat pada : • Periode gigi susu (Decidui Dentition) : Untuk mengetahui adakah poses pertumbuhan dan perkembangan maloklusi pasien dimulai pada periode ini ? - Adakah gigis (rampant caries) pada waktu masa gigi susu ? - Adakah karies pada sela-sela gigi-gigi (proximal caries) pada waktu gigi susu ? Di daerah mana ? - Apakah karies ini ditambalkan ke dokter gigi? - Penahkah mendapat benturan (trauma) pada gigi-gigi susu? Di bagian mana ? • Periode gigi campuran (Mixed Dentitition) : Adakah proses pergantian dari gigi susu ke gigi permanen ini sebagai penyebab terjadinya maloklusi? Perlu diketahui kemungkinan adanya persistensi / prolonged retensi bahkan prematur loss. - Ketika gigi-gigi susu mulai goyah apakah dicabutkan kedokter gigi secara teratur ? - Adakah gigi-gigi yang sampai kesundulan / persistensi? Di daerah mana ?

- Adakah gigi susu yang karies besar tidak dirawat. Adakah sisasisa akar gigi susu yang tertinggal pada saat gigi permanen mulai erupsi ? - Adakah gigi-gigi permanen yang terlambat tumbuh (terlalu lama ompong) • Periode gigi permanen (Permanent Dentition) : Untuk mengetahui apakah maloklusi pasien dimulai pada periode ini ? - Adakah karies pada gigi permanen. Apakah sudah ditambal / apakah mendapat perawatan syaraf (endodontik) ? - Adakah gigi permanen yang telah dicabut ? Kapan ? Karena apa ? Apakah ada gigi yang telah dicabut dibiarkan tidak diganti dalam waktu yang lama ? - Adakah gigi tidak bisa tumbuh / impaksi ? Apakah sudah dicabut atau agenese ? - Adakah benturan / trauma pada gigi-gigi permanen , dibagian mana ? b. Riwayat Penyakit (Desease History) : Anamnesis Riwayat penyakit tujuannya untuk mengetahui : - Adakah penyakit yang pernah / sedang diderita pasien dapat menggangu proses pertumbuhan, perkembangan rahang dan erupsi normal gigi-geligi, sehingga diduga sebagai penyebab maloklusi. - Adakah penyakit yang diderita pasien dapat mengganggu / menghambat proses perawatan ortodontik yang akan dilakukan. - Adakah penyakit yang kemungkinan dapat menular kepada operator

- Perlu diketahui pada umur berapa dan berapa lama penyakit itu diderita pasien dan apakah sekarang masih dalam perawatan dokter, dokter siapa ? - Penyakit yang dimaksud antara laian : • Penyakit kekurangan gizi pada masa kanak-kanak • Tonsilitis atau Adenoiditis • Hypertensi atau penyakit Jantung • Hepatitis atau Lever • Asthma • Tubercolosis • HIV atau AIDS • Allergi terhadap obat tertentu • Dll. c. Riwayat keluarga (Family History) : Tujuan dari anamnesis riwayat keluarga adalah untuk mengetahui apakah maloklusi pasien merupakan faktor herediter (keturunan) yang diwariskan dari orang tua. Untuk iru perlu ditanyakan keadaan gigigeligi kedua orang tua dan saudara kandung pasien. ⇒ Contoh : Umur Susunan Gigi-geligi Orang tua : - Ayah : 38 tahun Teratur / Berjejal / Renggang, Protrusif / Retrusif - Ibu : 35 tahun Teratur / Berjejal / Renggang, Protrusif / Retrusif - Saudara: - Anak I(♂) : 19 tahun Teratur / Berjejal / Renggang, Protrusif / Retrusif

- Anak II (♀ ) : 17 tahun Teratur / Berjejal / Renggang, Protrusif / Retrusif - Anak III (♀) : 15 tahun Teratur / Berjejal / Renggang, Protrusif / Retrusif - Anak IV((♂) : 13 tahun Teratur / Berjejal / Renggang, Protrusif / Retrusif - Dst. 10. Kebiasaan buruk (Bad habit ) : Anamnesis bad habit dinamaksudkan untuk mengetahui etiologi maloklusi pasien apakah berasal dari suatu kebiasaan buruk yang telah / sedang dilakukan pasien. Untuk itu tanyakan kepada pasien atau orang tuanya tentang : - Jenis : Bad habit apa yang telah dilakukan ? - Kapan : Umur berapa bad habit dilakukan, apakah sekarang masih dilakukan ? - Durasi : Dari sejak kapan sampai kapan dilakukan ? - Frekuensi : Berapa kali per jam / perhari dilakukan ? - Intensitas : Seberapa kuat / keras dilakukan ? - Posisi : Bagaimana dan di bagian mana dilakukan ? - Apakah ada hubungan anatara bad habit yang dilakukan dengan keadaan maloklusi pasien 2.2 Pemeriksaan ekstraoral dan intraoral a. Luar mulut / Ekstra Oral : • Bentuk muka : simetris / asimetris • Tipe muka : Menurut Martin (Graber 1972) dikenal 3 tipe muka yaitu :

- Brahisepali : lebar, persegi - Mesosepali : lonjong / oval - Oligisepali : panjang / sempit

Gambar 5 : Hubungan atara bentuk muka dengan bentuk lengkung gigi Menurut Ricket (Graber 1972) lebih tepat untuk bentuk kepala yaitu proyeksi kepala terhadap bidang sagital sedangkan untuk tipe muka lebih tepat menggunakan istilah fasial : - Brahifasial - Mesofasial - Dolikofasial. Umumnya tipe muka berkaitan erat dengan bentuk lengkung gigi pasien. Klasifikasi bentuk muka dan kepala menurut Sukadana (1976) berdasarkan: Indeks muka = Tinggi muka ( A) (Jarak N – Gn) x 100 Lebar muka (B) (Jarak bizigomatik) Klasifikasi indeks muka : - Euriprosop ( muka pendek, lebar) : 80,0 – 84,9

- Mesoprosop (muka sedang ) : 85,0 – 89,9 - Leptoprosop (muka tinggi, sempit) : 90,0 – 94,9 Jika indeks : < 80,0 : Hipo Euriprosop > 94,9 : Hiper Leptoprosop

Gambar 6. : Indeks bentuk muka

Indeks kepala = Lebar kepala (B) (jarak bizigomatik supra mastoideus) x 100 Panjang kepala (A) (Jarak Gl –Oc) Klasifikasi indeks kepala : - Dolikosepali (kepala panjang sempit) : 70,0 – 74,9 - Mesosepali (kepala sedang ) : 75,0 – 79,9 - Brahisepali (kepala lebar persegi) : 80,0 – 84,9 Jika indeks : < 70,0 : Hipo Dolikosepali > 84,9 : Hiper Brahisepali

Gambar 7.: Indeks Bentuk Kepala

• Profil muka : Menurut Graber (1972) dikenal tiga tipe profil muka yaitu : - Cembung (convex), bila titik petemuan Lcb-Lca berada didepan garis Gl-Pog - Lurus (straight ), bila titik petemuan Lcb-Lca berada tepat pada garis Gl-Pog - Cekung (concave), bila titik petemuan Lcb-Lca berada dibelakang garis Gl-Pog Untuk menentukan profil muka digunakan 4 titik anatomis Gabella (Gl), Lip Contour atas (Lca), Lip Contour bawah (Lcb) dan Pogonion (pog) serta garis referensi Gl-Pog sebagaia acuan : - Glabella (Gl) : Titik terendah dari dahi terletak pada tengahtengah diantara alis mata kanan dan kiri. - Lip contour atas (Lca) : Titik terdepan bibir atas. - Lip contour bawah (Lcb) : Tiik terdepan bibir bawah - Pogonoin (Pog) : Titik terdepan dari dagu didaerah symphisis mandibula.

Gambar 8 : Tipe profil menurut Graber : A. Cekung, B. Lurus, C. Cembung Menurut Schwarz (Boersma,1987) Tipe profil bervariasi masingmasing menjadi : - Cembung (Anteface ) bila titik Sub nasale (Sn) berada di depan titi Nasion (Na) - Lurus (Average face) bila titik Sub nasale (Sn) berada tepat segaris dengan Nasion (Na) - Cekung (Retroface) bila titik Sub nasale (Sn) berada di belakang titik Nasion (Na Masing-masing tipe ini masih bisa bervariasi dengan kombinasi : - Retrognatik (Dorsaly rotated dintition ) : Bila gigi-geligi rahang bawah berotasi ke arah belakang sehingga posisi titik Pog tampak lebih ke belakang dari posisi Nasion - Ortogantik (Unrotated dentition): Bila gigi-geligi rahang bawah tidak berotasi / posisinya normal titik Pog tampak lurus terhadap Nasion - Prognatik (Ventraly rotated dentition) : Bila gigi-geligi rahang bawah berotasi kedepan, dagu (titik Pog) tampak maju terhadap Nasion

- Nasion (Na) adalah titik terdepan dari sutura Fronto nasalis - Subnasale (Sn) adalah titik titik terdepan tepat dibawah hidung Dengan demikian akan didapatkan 9 tipe muka : - Cembung : Anteface dengan variasi retrognatik, ortognatik dan prognatik - Lurus : Average face dengan variasi retrognatik, ortognatik dan prognatik - Cekung : Retroface dengan variasi retrognatik, ortognatik dan prognatik • Otot-otot mastikasi dan otot-otot bibir Serabut otot bersifat elastis , mempunyai dua macam ketegangan (tonus), aktif dan pasif. Pada waktu kontraksi terdapat ketegangan yang aktif dan apabila dalam keadaan dilatasi terdapat ketegangan pasif. Dengan demikian pada waktu istirahat otot-otot mastikasi dan bibir mempunyai tonus yang dalam keadaan normal terdapat keseimbangan yang harmonis, bila tidak normal tonus otot sangat kuat(hypertonus)

atau

sangat

lemah

(hipotonus)

menimbulkan anomali pada lengkung gigi

dapat

akibat adanya

ketidakseimbangan atara tekanan otot di luar dan di dalam mulut. Pada pemeriksaan klinis, periksa : - Otot-otot mastikasi : normal / hypertonus / hypotonus - Otot bibir atas : normal / hypertonus / hypotonus - Otot bibir bawah : normal / hypertonus / hypotonus • Keadaan bibir pada waktu istirahat (rest position) : terbuka / menutup

Bibir terbuka pada waktu rest posisi bisa disebabkan karena bibir terlalu pendek (incompetent) atau hypotonus otot bibir sering dijumpai pada pada pasien yang gigi depannya protrusif. • Keadaan pipi : normal / cembung / cekung Keadaan ini juga berkaitan dengan tonus otot-otot pipi (m. masseter) pasien. b. Dalam mulut /Intra oral : Pemeriksaan intraoral dilakukan dengan mengamati : • Kebersihan mulut (oral hygiene / OH) : baik / cukup / jelek Ini dapat ditetapkan dengan Indeks OHIS, pasien yang kebersihan

mulutnya

jelek

kemungkinan

besar

kebersihan

mulutnya akan lebih jelek lagi selama perawatan dilakukan , oleh karena itu motivasi kebersihan mulut perlu diberikan sebelum perawatan ortodontik dilakukan. • Keadaan lidah : normal / macroglossia / microglossia Pasien yang mempunyai lidah besar ditandai oleh : - Ukuran lidah tampak besar dibandingkan ukuran lengkung giginya - Dalam keadaan relax membuka mulut, lidah tampak luber menutupi permukaan oklusal gigi-gigi bawah. - Pada tepi lidah tampak bercak-bercak akibat tekanan permukaan lingual mahkota gigi (tongue of identation) - Gigi-gigi tampak renggang-renggang (general diastema) • Palatum : normal / tinggi / rendah serta normal / lebar / sempit Pasien dengan pertumbuhan rahang rahang atas kelateral kurang (kontraksi) biasanya palatumnya tinggi sempit, sedangkan yang pertumbuhan berlebihan (distraksi) biasanya mempunyai

palatum rendah lebar. Jika ada kelainan lainnya seperti adanya peradangan, tumor, torus, palatoschisis, dll. Dicatat. • Gingiva : Normal / hypertophy / hypotropy Adanya peradangan pada gingiva bisa ditetentukan dengan gingival indeks (GI) • Mucosa : normal / inflamasi / kelainan lainnya Pasien dengan oral hygiene yang jelek biasanya mempunyai gingiva dan mucosa yang inflamasi dan hypertropy. • Frenulum labii superior : normal / tinggi / rendah , tebal / tipis • Frenulum labii inferior : normal / tinggi / rendah , tebal / tipis • Frenulum lingualis : normal / tinggi / rendah , tebal / tipis Pemeriksaan frenulum dilakukan untuk mengetahui posisi perlekatannya (insersio) pada marginal gingiva serta ketebalannya, apakah akan mengganggu pengucapan kata-kata tertentu dan apakah akan mengganggu pemakaian plat ortodontik yang akan dipasang ? • Tonsila palatina : normal / inflamasi / hypertrophy • Tonsila lingualis : normal / inflamasi / hypertrophy • Tonsila pharengea : normal / inflamasi / hypertrophy Apakah ada amandel yang membengkak? Dilakukan pemeriksaan dengan menekan lidah pasien dengan kaca mulut, jika dicurigai adanya kelaianan yang serius pasien dikonsulkan ke dokter ahli THT sebelum dipasangi alat ortodontik. • Bentuk lengkung gigi rahang atas dan rahang bawah : Parabola / Setengah elips / Trapeziod / U-form / V-form / Setengah lingkaran ⇒ Ciri-ciri :

- Parabola : Kaki lengkung (dari P1 sampai M2 kanan dan kiri) beberbentuk garis lurus devergen ke posterior dengan posisi gigi M2 merupakan terusan kaki lengkung, sedangkan puncak lengkung (C – C) berbentuk garis lengkung (curved). - Setengah elips : Kaki lengkung berbentuk garis lengkung konvergen ke posterior ditandai oleh posisi gigi M2 mulai berbelok kearah median line, sedangkan puncak lengkung juga merupakan garis lengkung (curved). . - Trapezoid : Kaki lengkung merupakan garis lurus devergen ke posterior dan puncak lengkung merupakan garis datar di anterior dari gigi C – C. - U-form : Kaki lengkung merupakan garis lurus sejajar ke posterior, sedangkan puncak lengkung merupakan garis lengkung. - V-form : Puncak lengkung merupakan garis lurus devergen ke posterior, tetapi puncak lengkung merupakan garis menyudut ke anterior ditandai dengan posisi gigi I2 masih merupakan terusan kaki lengkung lurus konvergen ke anterior. - Setengah lingkaran : Kaki lengkung dan puncak lengkung merupakan garis lengkung merupakan bagian dari setengah lingkaran. Ini biasanya dijumpai pada akhir periode gigi desidui sampai awal periode gigi campuran (mixed dentision) • Pemeriksaan gigi geligi : - Rumus gigi : Periksa elemen gigi apa saja yang ada pada pasien. Tulislah rumus gigi sesuai dengan gigi yang sudah erupsi dan beri keterangan. - Apel gigi : Periksa gigi-gigi yang telah mengalami perawatan dan gigi yang tidak normal atau telah mengalami perawatan. 87654321|12345678

V IV III II I | I II III IV V V IV III II I | I II III IV V 87654321|12345678 - Anomali / malposisi gigi individual : Periksa posisi gigi-gigi secara urut dengan membayangkan garis oklusi sebagai referensi. Setiap penyimpangan yang ada dicatat. - Relasi gigi-gigi pada oklusi sentrik : Pasien disuruh oklusi sentrik, periksa hubungan gigi-gigi terhadap antagonisnya : - Gigi Posterior : Relasi Molar : Kanan : Klas I, II, III Angle Kiri : Klas I, II, III Angle Cross bite : ada / tidak Open bite : ada / tidak ( jika ada, tulis gigi mana ) Scissor bite : ada / tidak Cup to cup bite : ada / tidak Dll. - Gigi anterior : Relasi kaninus : Kanan : Klas I, II, III Angle Kiri : Klas I, II, III Angle Overjet : ……..….mm Overbite :………… mm Cross bite : ada / tidak Open bite : ada / tidak (jika ada, tulis gigi mana) Edge to edge bite : ada / tidak

Ini menunjukkan adanya cross bite antara gigi insivus pertama kanan rahang atas terhadap gigi insivus pertama dan kedua rahang bawah. - Median line gigi rahang atas dan rahang bawah : normal / tidak normal , segaris / tidak segaris Amati posisi garis tengah gigi rahang atas dan rahang bawah

terhadap

sutura

palatina

mediana

jika

didapatkan

penyimpangan, kearah mana penyimpangannya dan ukur seberapa besar penyimpangan tersebut 2.3 Analisis dan perhitungan yg dilakukan (Metode analisis) Analisis Kesimetrisan Lengkung gigi Analisis kesimetrisan dapat membedakan kedudukan gigi-gigi di sebelah kiri dan kanan dalam bidang transversal dan sagital. Asimetris dapat terjadi hanya pada lengkung gigi saja atau pada lengkung rahang. Asimetris

lengkung

dapat

diukur

dengan

menggunakan

Symmetograph. Garis orentasi mid palatal digunakan

alat untuk

pengukuran asimetris dalam arah transversal, dan garis tuberositas maksila untuk pengukuran asimetris antero posterior. Berdasarkan hasil analisis kesimetrisan dapat diketahui gigi mana yang perlu dilakukan koreksi, apakah diperlukan pencabutan atau ekspansi untuk memperbaiki ketidaksimetrisan lengkung.

Perbedaan Lengkung Gigi dan Lengkung rahang (Arch Length Discrepancy)

Analisis Arch Length Discrepancy membandingkan panjang lengkung gigi dengan lengkung rahang. Tahap pertama dilakukan pengukuran panjang lengkung gigi yaitu mengukur mesiodistal terbesar gigi dari gigi 16 sampai 26 untuk rahang atas dan 36 sampai 46 untuk rahang bawah. Jumlah total lebar mesiodistal menunjukkan ruangan yang dibutuhkan untuk susunan gigi dalam lengkung yang ideal.

Tahap kedua mengukur panjang lengkung rahang.

Ada dua cara,

pertama menurut Nance pengukuran panjang lengkung rahang menggunakan brass wire atau kawat kuningan melewati setiap gigi, pada region gigi posterior melalui permukaan oklusal dan pada gigi anterior melalui tepi insical. Jarak diukur dari bagian titik kontak mesial gigi molar pertama kanan sampai molar pertama kiri (Gambar 3.) Cara kedua pengukuran panjang lengkung rahang dengan menggunakan teknik segmental yang diperkenalkan oleh Lundstrom, yaitu pengukuran dibagi menjadi menjadi enam segmen, kemudian dijumlahkan (Gambar4.) Setelah mendapatkan ukuran panjang lengkung gigi dan panjang lengkung rahang, penilaian dilakukan dengan cara membandingkan ukuran panjang lengkung gigi dengan panjang lengkung rahang. Jika hasilnya negative berarti kekurangan ruangan, Jika hasilnya positif berartike lebihan ruangan.

Analisis Bolton ( Tooth Size Discrepancy ) Analisis Bolton atau Tooth size discrepancy yang diperkenalkan oleh Dr. Wayne Bolton in 1958 merupakan analisis yang dipakai untuk menentukan rasio lebar mesiodistal gigi-gigi maksila dengan mandibula. Menurut Bolton ada hubungan antara lebar gigi-gigi maksila dan mandibula, pada oklusi yang normal ukuran gigi maksila akan sesuai dengan gigi-gigi mandibula. Terdapat dua rasio yaitu rasio total dan anterior. Pada rasio total diukur dua belas gigi mandibular dan dua belas gigi maksila. Rasio total yang normal adalah 91,3% . Hubungan overbite dan overjet serta dan oklusi gigi-gigi posterior yang baik akan tercapai pada rasio total yang normal. Jika rasio lebih besar dari 91,3% maka gigi-gigi mandibula lebih besar daripada yang seharusnya. Jika rasio total lebih kecil dari 91.3% maka gigi-gigi maksila lebih besar daripada seharusnya.

Kelebihan ukuran dua belas gigi maksila dapat ditentukan dengan menggunakan rumus :

Indeks Rasio anterior menentukan kesesuaian ukuran mesiodital kenam gigi-gigi anterior maksila dan mandibula, Rasio anterior normal adalah 77,2%. Jika rasio anterior lebih besar daripada 77,2% maka gigi-gigi anterior mandibular lebih besar daripada yang seharusnya, sebaliknya jika rasio anterior lebih kecil daripada 77,2% maka gigigigi anterior maksila yang terlalu besar daripada yang seharusnya.

Menentukan ukuran yang ideal untuk gigi-gigi maksila dan mandibula dapat juga mengunakan tabel Bolton seperti terlihat pada tabel 1. Ukuran gigi-gigi maksila yang lebih besar akan menyebabkan overbite dan overjet yang besar, crowding pada maksila, diastema mandibula, linguoversi gigi insisif maksila atau labiversi gigi insisif mandibula. Ukuran gigi-gigi mandibula yang lebih besar biasanya akan menyebabkan overbite dan overjet yang kecil, crowding mandibula, spasing pada maksila, labioversi gigi insisif maksila atau linguoversi gigi insisif mandibula. Analisis Howes Susunan gigi berjejal tidak hanya disebabkan ukuran gigi yang terlalu besar tetapi juga dapat disebabkan lengkung basal tulang yang terlalu kecil. Ukuran yang digunakan sebagai patokan pada Analisis Howes adalah: Pertama, Panjang lengkung gigi yaitu jumlah ukuran mesiodistal gigi 16 sampai dengan gigi 26.Cara pengukuran mesiodistal gigi sama dengan cara pengukuran gigi pada teknik pengukuran gigi pada ALD (gambar2). Kedua,Lebar lengkung rahang / lebar basis apikal yaitu jarak antara titik terdalam fossa kanina, diukur dari titik pada ujung apeks gigi premolar pertama rahang atas kiri dan kanan dengan menggunakan jangka berujung runcing atau jangka sorong (Gambar7). Analisis Howes didapat dengan membagi lebar basis apical dengan panjang lengkung gigi dikali 100.

Gambar 7. Cara pengukuran lebar basis apical

Apabila dari analisis Howes didapatkan hasil 44%, maka menunjukkan bahwa basis apikal cukup lebar untuk semua gigi 16 sampai dengan 26. Bila hasil yang didapat <37% menunjukkan lengkung basal yang sempit sehingga perlu pencabutan gigi. Sedangkan bila hasil 37-44 % , termasuk katagori meragukan antara pencabutan gigi atau ekspansi lengkung gigi. Dan jika hasilnya >44%, menunjukkan lebar lengkung basal > lebar lengkung gigi antara 14 dan 24, sehingga ekspansi dapat dilakukan dengan aman. Selain itu dilakukan pengukuran lebar lengkung gigi dari puncak bonjol premolar pertama rahang atas kiri dan kanan (gambar 8). Kemudian lebar lengkung gigi dibandingkan dengan lebar lengkung rahang. Apabila hasilnya panjang lengkung gigi lebih besar dari pada lengkung rahang berarti lebar lengkung gigi tidak bias diekspansi. Jikahasilnya panjang lengkung gigi lebih kecil dari pada lengkung rahang berarti masih dapat diekspansi.

Gambar 8.Pengukuran lebar lengkung gigi dari puncak bonjol premolar rahang atas Kiri dan kanan

Pont mengemukakan gigi yang lebar membutuhkan lengkung yang lebar untuk membentuk susunan yang normal. Jika jumlah lebar mesiodistal insisivus maksila pada model gigi dan pengukuran jarak interpremolar dan jarak intermolar diketahui, maka indeks Pont diperoleh melalui cara:

Lebar mesiodistal gigi diperoleh dengan mengukur jarak dari titik kontak mesial ke titik kontak distal gigi yang terbesar dengan menggunakan jangka sorong (Bishara dkk., 1989; Glinka, 1990). Dimensi mesiodistal gigi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi profil wajah (Susilowati, 2009). Titik pengukuran yang dipergunakan merupakan cekung distal pada oklusal gigi premolar pertama untuk mengukur jarak interpremolar dan pada cekung mesial pada permukaan oklusal pada gigi molar pertama maksila untuk mengukur jarak intermolar (Iyyer, 2003). Pengukuran panjang lengkung gigi menurut Korkhaus dapat dilakukan dengan mengukur jarak dari titik paling anterior permukaan labial gigi insisivus pertama maksila tegak lurus dengan garis yang menghubungkan titik referensi lebar interpremolar Pont (Rakosi dkk., 1993). Indeks panjang lengkung gigi Korkhaus diperoleh melalui:

Korkhaus (1939 sit. Rakosi dkk., 1993) menilai bentuk palatum berdasarkan indeks tinggi palatum. Palatum yang tinggi merupakan gambaran dari penyempitan bagian apikal prosesus alveolaris maksila yang biasanya terjadi pada kasus dengan kebiasaan menghisap jari atau bernafas melalui mulut. Tinggi palatum berdasarkan Korkhaus didefinisikan sebagai garis jumlah mesiodistal keempat insisivus maksila jarak interpremolar vertikal yang tegak lurus terhadap raphe

palatina yang berjalan dari permukaan palatum ke permukaan oklusal pada garis intermolar menurut Pont. Indeks tinggi palatum dapat diketahui melalui rumus sebagai berikut:

Nilai rata-rata indeks tersebut ialah 42, yang merupakan indeks ras Kaukasoid, selanjutnya dalam penelitian yang dilakukan Korkhaus (1939 sit Rakosi dkk., 1993) diketahui bahwa nilai indeks ini meningkat apabila palatum tinggi dan nilainya menurun jika palatum dangkal.

2.4 Analisis fungsional (fungsi dan cara analisis) A. Path of Closure Posisi istirahat merupakan posisi normal mandibula dalam hubungannya dengan kerangka muka bagian atas. Otot yang bekerja pada mandibula dalam keadaan relasksi dan kondili mandibula pada posisi retrusi pada fosa glenoidalis. 21 Posisi istirahat ditentukan oleh panjang anatomis otot yang bekerja pada mandibula (Rahardjo, 2011). Path of closure adalah arah gerakan mandibula dari posisi istirahat ke oklusi sentrik. Idealnya path of closure dari posisi istirahat ke posisi oklusi maksimum berupa gerakan engsel sederhana melewati freeway space yang besarnya 2-3 mm, arahnya ke atas dan ke depan. Freeway space = interocclusal clearance adalah jarak antarklusal pada saat mandibula dalam posisi istirahat (Rahardjo, 2011). Menurut Rahardjo (2011), ada 2 macam perkecualian path of closure yang bisa dilihat yaitu deviasi mandibula dan displacement mandibula.

- Path of closure yang berawal dari posisi kebiasaan mandibula akan tetapi ketika gigi mencapai oklusi maksimum mandibula dalam posisi relasi sentrik. Ini disebut deviasi mandibula. - Path of closure yang berawal dari posisi istirahat, akan tetapi oleh karena adanya halangan oklusal maka didapatkan displacement mandibula. B. Deviasi Mandibula Keadaan ini berhubungan dengn posisi kebiasaan mandibula. Bila mandibula dalam posisi kebiasaan, maka jarak antaroklusal akan bertambah sedangkan kondili letaknya maju di dalam fosa glenoidales. Arah path of closure adalah ke atas dan ke belakang akan tetapi bila gigi telah mencapai oklusi mandibula terletak dalam relasi sentrik (kondili dalam keadaan posisi normal pada fosa glenoidalis) (Rahardjo, 2011). C. Displacement Mandibula Displacement dapat terjadi dalam jurusan sagital dan transversal. Kontak prematur dapat menyebabkan displacement mandibula untuk mendapatkan hubungan antartonjol gigi yang maksimum. Dalam jangka panjang displacement dapat terjadi selama pertumbuhan geligi. Pada beberapa keadaan displacement terjadi pada fase geligi sulung, kemudian pada saat gigi permanen erupsi gigi tersebut akan diarahkan oleh

kekuatan

otot

ke

letak

yang

memperparah

terjadinya

displacement. Displacement dapat juga terjadi pada usia lanjut karena gigi yang maju dan tidak terkontrol yang disebabkan hilangnya gigi posterior akibat pencabutan (Rahardjo, 2011). Displacement dalam jurusan transversal sering berhubungan dnegan adanya gigitan silang posterior. Bila lengkung geligi atas dan bawah sama lebarnya, suatu displacement mandibula ke transversal diperlukan untuk mencapai posisi oklusi maksimum. Bila hal tersebut terjadi maka akan didapatkan relasi gigitan silang gigi posterior pada

satu sisi. Displacement ke transversal tidak berhubungan dnegan bertambahnya jarak antaroklusal atau adanya over closure. Pada beberapa kasus akan terjadi rasa sakit pada otot dan akan hilang bilamana displacement dikoreksi (Rahardjo, 2011). Adanya gigitan silang unilateral gigi posterior yang disertai adanya garis median atas dan bawah yang tidak segaris akan menimbulkan dugaan adanya displacement ke transversal. Keadaan ini perlu diperiksa secara seksama dengan memperhatikan pasien pada saat menutupkan mandibulanya dari posisi istirahat ke oklusi. Keadaan yang perlu diperhatikan adalah letak garis median baik pada saat posisi istirahat maupun pada saat oklusi (Rahardjo, 2011). Displacement ke arah sagital dapat terjadi karena adanya kontak prematur pada daerah insisivi. Pada keadaan ini biasanya didapatkan over closure mandibula. Pada kasusu kelas III ringan terdapat gigitan edge to edge pada insisivi, mandibula bergeser ke anterior untuk mendapatkan oklusi di daerah bukal (Rahardjo, 2011). D. Sendi Temporomandibula Sebagai panduan umum bila pergerakan mandibula normal berarti fungsinya tidak terganggu, sebaliknya bila pergerakan mandibula terbatas biasanya menunjukkan adanya masalah fungsi. Oleh karena itu, satu indikator penting tentang fungsi sendi temporomandibula adalah lebar pembukaan maksimal, yang 23 pada keadaan normal berkisar 35-40 mm, 7 mm gerakan ke lateral dan 6 mm ke depan. Palpasi pada otot pengunyahnya dan sendi temporomandibula merupakan bagian pemeriksaan rutin dan perlu dicatat tanda-tanda adanya maslah pada sendi temporomandibula, misalnya adanya rasa sakit pada sendi, suara dan keterbatasan pembukaan (Rahardjo, 2011). Pada

pemeriksaan

pasien

yang

membutuhkan

perawatan

ortodontik, adanya pergeseran mandibula baik ke lateral maupun sagital pada saat menutup mandibula perlu mendapat perhatian yang

saksama. Oleh karena articular eminence kurang berkembang pada anak-anak maka sukar untuk mendapatkan relasi sentrik sedangkan pada orang dewasa lebih mudah. Anak dengan pergeseran mandibula ke lateral yang jelas biasanya mempunyai lebar lengkung geligi atas yang sempit dalam jurusan transversal pada kedua sisinya. Banyak anak dan orang dewasa dengan pola skelet kelas II memajukan mandibula ke depan untuk mendapatkan profil yang lebih baik daripada keadaan sebenarnya. hal ini disebut Sunday bite. Kadangkadang suatu keadaan yang nampak seperti kelas III berawal dari kebiasaan memajukan mandibula untuk menghindari halangan oklusal di anterior agarterhindar dari keadaan edge to edge(Rahardjo, 2011). Rasa sakit

dan disfungsi

sendi

temporomandibula jarang

didapatkan pada anak-anak tetapi kadang-kadang, pada pasien dewasa, merupakan motivator untuk mendapatkan perawatan ortodontik. Hubungan oklusi geligi dengan simtom sendi temporomandibula merupakan kontroversi yang besar sehingga perlu ditelaah secara objektif. Perawatan ortodontik kadang-kadang dapat menghilangkan problema pada pasien dengan gangguan pada sendi temporomandibula. Pasien perlu diberi pengertian tentang apa yang mungkin terjadi pada simtomnya semasa dan sesudah perawatan ortodontik (Rahardjo, 2011). 2.4 Analisis radiograf Sefalometri adalah ilmu yang mempelajari pengukuran kuantitatif bagian-bagian tertentu kepala untukmendapatkan informasi tentang polakraniofasial.

Sefalometri

lebih

banyak

digunakan

untuk

mempelajari tumbuh kembang kompleks kraniofasial kemudian berkembang sebagai sarana yang sangat berguna untuk mengevaluasi keadaan

klinis

misalnya

membantu

menentukan

diagnosis,

merencanakan perawatan, menilai hasil perawatan dalam bidang ortodonti. Untuk mendapatkan sefalogram yang terstandar diperlukan prosedur pembuatan sefalogram yang sama. Umumnya diperlukan suatu pembuatan sefalogram (sefalometer) yang terdiri dari sumber

sinar, sefalostat untuk fiksasi kepala pada letak yang ditentukan dan film yang diletakkan pada kaset untuk menangkap bayangan kepala. Radiografi sefalometri mempunyai beberapa kegunaan yakni: a. Mempelajari pertumbuhan dari kraniofasial. b. Untuk melakukan diagnosa/analisa kelainan kraniofasial. c. Untuk mempelajari tipe wajah. d. Klasifikasi abnormalitas skeletal dan dental serta tipe wajah. e. Untuk evaluasi kasus-kasus yang telah dirawat (progress reports). f. Pembuatan rencana perawatan. g. Perkiraan arah pertumbuhan. h. Sebagai alat bantu dalam riset yang melibatkan regio kranio-dentofasial.

Titik-Titik Sefalometri Pada Jaringan Lunak Gambaran kranium jaringan keras dan lunak arah lateral dapat dilihat denganbantuan alat radiografi sefalometri lateral. Penggunaan titik-titik jaringan lunak padasefalometri (Gambar 1) sebagai berikut: a. Nasion kulit (N’) : titik paling cekung pada pertengahan dahi dan hidung. b. Pronasale ( P / Pr ) : titik paling anterior dari hidung. c. Subnasale (Sn) : titik septum nasal berbatasan dengan bibir atas. d. Labrale superior (Ls) : titik perbatasan mukokutaneus dari bibir atas. e. Sulcus Labial Superior (Sls) : titik tercekung di antara Sn dan Ls. f. Stomion superior ( Stm s) : titik paling bawah dari vermillion bibir atas. g. Stomion inferior ( Stm i) : titik paling atas dari vermillion bibir bawah. h. Labrale inferior (Li) : titik perbatasan dari membran bibir bawah. i. Inferior Labial Sulcus (Ils): titik paling cekung di antara Li dan Pogonion. j. Pogonion kulit (Pog’) : titik paling anterior pada jaringan lunak dagu. k. Menton kulit (Me’) : titik paling inferior pada jaringan lunak dagu.

Titik-Titik Sefalometri Pada Skeletal Penggunaan titik-titik skeletal pada sefalometri (Gambar 2) sebagai berikut: a. Sella (S) : Terletak di tengah dari outline fossa pituitary (sella turcica) b. Nasion (N) : Terletak di bagian paling inferior dan paling anterior dari tulang frontal, berdekatan dengan sutura frontonasalis. c. Orbitale (Or) : Terletak pada titik paling inferior dari outline tulang orbital. Sering pada gambaran radiografi terlihat outline tulang orbital kanan dan kiri. Untuk itu maka titik orbitale dibuat di pertengahan dari titik orbitale kanan dan kiri. d. Titik A (A) : Terletak pada bagian paling posterior dari bagian depan tulang maksila. Biasanya dekat dengan apeks akar gigi insisif sentral atas.

e. Titik B (B) : Terletak pada titik paling posterior dari batas anterior mandibula, biasanya dekat dengan apeks akar gigi insisif sentral bawah. f. Pogonion (Pog) : Terletak pada bagian paling anterior dari dagu. g. Gnathion (Gn) : Terletak pada outline dagu di pertengahan antara titik pogonion dan menton. h. Menton (Me) : Terletak bagian paling inferior dari dagu. i. Articulare (Ar) : Terletak pada pertemuan batas inferior dari basis kranii dan permukaan posterior dari kondilus mandibula. j. Gonion (Go) : Terletak pada pertengahan dari sudut mandibula. k. Porion (Po) : Terletak pada bagian paling superior dari ear rod (pada batas superior dari meatus auditory external).

Sudut-Sudut yang Menjelaskan Hubungan Skeletal dan Gigi Garis yang saling bersinggungan akan membentuk sudut, sudut yang yang menjelaskan hubungan skeletal dengan gigi yaitu (Gambar 3): a. SNA : Hubungan posisi anteroposterior dari basis apikal maksila terhadap garis yang melalui basis kranii anterior. b. SNB : Hubungan posisi anteroposterior dari basis apikal mandibula

terhadap garis yang melalui basis kranii anterior. c. ANB : Hubungan posisi anteroposterior dari maksila terhadap posisi anteroposterior dari mandibula. Maloklusi kelas II yang parah sering dihubungkan dengan nilai ANB yang besar.

Analisis Steiner Steiner dalam penilaian sefalometri lateral membagi 3 bagian kepala secara terpisah, yaitu skeletal, gigi dan jaringan lunak. Analisis skeletal berkaitan dengan maksila dan mandibula, analisis gigi melibatkan kaitan gigi insisivus rahang atas dan rahang bawah, sedangkan analisis jaringan lunak untuk menilai keseimbangan dan harmonisasi profil wajah. Analisis Skeletal Para

antopologi

menggunakan

garis

horizontal

Frankfort

untuk

menghubungkan strukstur kraniofasial ketika mempelajari skeletal wajah. Namun pada sefalometri lateral, titik porion dan orbital tidak mudah untuk di identifikasi. Oleh karena itu Steiner menggunakan dasar tengkorak

anterior (Sella ke Nasion) sebagai garis referensi, dimana nantinya akan dikaitkan dengan titik A atau titik B. Keuntungan dengan menggunakan garis ini adalah garis ini hanya bergerak dalam jumlah minimal setiap kali kepala ini menyimpang dari posisi profil yang benar.

Gambar Sudut SNA (a) Ideal (b) Protrusif (c) Retrusif.

Analisis skeletal Sudut SNB (a) Ideal (b) Protrusif (c) Retrusif.

Titik A dan titik B dianggap sebagai batas anterior dan basis apikal rahang atas dan rahang bawah. Besar konveksitas wajah diketahui dengan mengukur besar sudut SNA dan SNB (Gambar 4 dan Gambar 5). Nilai rata-rata untuk SNA adalah 82˚± 2˚, apabila lebih besar dari 84˚ disebut profil wajah cembung (protrusif) dan bila nilai SNA lebih kecil dari 80˚ disebut profil wajah cekung (retrusif). Begitu pula untuk penilaian SNB, nilai rata-rata untuk penilaian SNB adalah 80˚± 2˚, apabila lebih besar daripada 82˚ dise but profil wajah cembung (protrusif) dan bila nilai SNA lebih kecil dari 78˚ disebut profil wajah cekung (retrusif). Steiner tidak hanya memperharikan nilai SNA dan SNB, karena nilai tersebut hanya menunjukkan apakah wajah mengalami protrusif dan retrusif, tetapi Steiner juga memperhatikan perbedaan sudut antara SNA dan SNB atau sudut ANB (Gambar 6). Sudut ANB memberikan gambaran umum tentang perbedaan anteroposterior dari rahang ke apikal basis mandibula. Rata-rata sudut ANB ini adalah 2˚, apabila nilai AN B lebih besar dari 2˚ maka disebut kelas II skeletal dan apabila lebih kecil dari 2˚ disebut kelas III skeletal. Analisis Gigi Inklinasi gigi insisivus dalam perawatan ortodonti, yaitu pada penentuan diagnosis dan evaluasi hasil perawatan, merupakan salah satu faktor yang selalu dipertimbangkan dalam menetapkan estetika wajah pasien. Inklinasi gigi insisivus sentral ditetapkan melalui pengukuran derajat kemiringan /angulasi gigi pada sefalogram lateral melalui analisis sefalometri. Perpotongan sumbu insisivus atas dan bawah membentuk sudut interinsisal, besar rata-rata untuk sudut interinsisal adalah 130˚ (Gambar 9), Sudut yang lebih besar menggambarkan letak insisivus yang lebih tegak (retrusif) dan sudut yang lebih kecil berarti insisivus lebih maju (protrusif). Sudut interinsisal berkaitan dengan kontak insisivus yang dihubungkan dengan kedalaman overbite. Inklinasi gigi insisivus atas yang retrusif menyebabkan sudut interinsisal menjadi lebih besar. Besarnya

sudut interinsisal akan mempengaruhi kontak antara gigi insisivus atas dan bawah. Analisis Jaringan Lunak Analisis jaringan lunak pada dasarnya adalah catatan grafis dari pengamatan visual yang dilakukan dalam pemeriksaan klinis pasien. Analisis jaringan lunak mencakup penilaian terhadap adaptasi jaringan lunak dan profil tulang dengan mempertimbangkan ukuran, bentuk, dan postur bibir seperti terlihat pada sefalometri lateral. Steiner, Ricketts, Holdaway, dan Merrifield mengembangkan kriteria dan garis referensi untuk keseimbangan profil wajah. Meskipun tidak ada konsep yang seragam tentang apa yang merupakan profil ideal, garis Steiner (S-line) adalah acuan untuk menentukan keseimbangan wajah pada jaringan lunak secara luas digunakan dalam ortodonti sampai saat ini. Menurut Steiner, bibir atas dan bibir bawah harus menyentuh garis yang membentang dari kontur jaringan lunak dagu ke tengah batas bawah hidung. Bibir yang terletak di luar garis ini cenderung menonjol dalam hal gigi dan rahang, rahang dan gigi ini biasanya membutuhkan perawatan ortodonti untuk mengurangi kecembungan tersebut. Jika posisi bibir di belakang garis ini, profil pasien umumnya ditafsirkan sebagai profil cekung. Koreksi ortodonti biasanya diperlukan untuk memajukan gigi dalam lengkung gigi sehingga menyentuh S-line. 2.6 Analisis model studi Model studi adalah rekam ortodontik yang paling sering digunakan untuk menganalisis suatu kasus dan memberikan banyak informasi, pembuatannya informasi mudah dan murah. Keadaan yang dapat dilihat pada model menurut Rahardjo (2011) adalah sebagai berikut: A. Bentuk Lengkung Geligi Model dilihat dari oklusai kemudian diamati bentuk lengkung geligi.Bentuk lekung geligi yang normal adalah berbentuk parabola;

ada beberapa bentuk lekung geligi yang tidak normal misalnya lebar, menyempit di daerah anterior dan lainlain (Rahardjo, 2011). Bentuk lengkung geligi ini berhubungan dengan bentuk kepala misalnya pasien dengan bentuk kepala brakisefalik cenderung mempunyai bentuk geligi yang lebar (Rahardjo, 2011). B. Diskrepansi pada Model Diskrepansi pada model adalah perbedaan antaratempat yang tersedia (available space) dengan lempat yang dibutuhkan (required space). Diskrepansi pada model merupakan bagian dari diskrepansi total yang terdiri atas: diskrepansi model, diskrepansi sefalometrik, kedalaman kurva Spee dan pergeseran molar ke mesial. Diskrepansi pada model digunakan untuk menentukan macam perawalan pasien tersebut, apakah termasuk perawatan pencabutan gigi permanen atau tanpa pencabutan gigi permanen (Rahardjo, 2011). Untuk mengetahui diskrepansi pada model perlu diketahui tempat yang tersedia dan tempat yang dibutuhkan. Pengertian tempat yang tersedia available space adalah tempat di sebelah mesial molar pertama permanen kiri sampai mesial molar pertama permanen kanan yang akan ditempati gigi-gigi permanen (premolar kedua kiri sampai premolar kedua kanan) dalam kedudukan/letak yang benar (Rahardjo, 2011). Ada berbagai cara untuk mengukur tempat yang tersedia. Salah satu cara untuk mengukur tempat yang tersedia di rahang atas adalah dengan membuat lengkungan dari kawat tembaga (brass wire) mulai dari mesial molar pertama permanen kiri melewati fisura gigi-gigi di depannya terus melewati insisal insisivi yang letaknya benar terus melewati fisura gigi-gigi posterior sampai mesial molar pertama permanen sisi kanan. Kawat ini kemudian diluruskan dan diukur panjangnya. Panjang kawat ini merupakan tempat yang tersedia. Untuk rahang bawah lengkung kawat tidak melewati fisura gigi posterior tetapi lewat tonjol bukal gigi posterior rahang bawah (Rahardjo, 2011).

1. Analisis Ukuran Gigi Untuk mendapat oklusi yang baik diperlukan ukuran gigi yang proporsional. Bila gigi-gigi atas besar sedangkan gigi-gigi bawah kecil tidak mungkin untuk mendapatkan oklusi yang ideal. Meskipun pada kebanyakan orang proporsi giginya sangat sesuai tetapi kurang lebih 5% tidak mencapai proporsi ini karena adanya variasi ukuran gigi secara individual. Keadaan ini biasa disebut tooth size discrepancy. Insisivi lateral atas merupakan gigi yang paling banyak mengalami anomali, meskipun gigi-gigi lain juga mempunyai banyak variasi ukuran (Rahardjo, 2011). Tooth size analysis atau lebih sering disebut analisis Bolton (sesuai dengan yang menemukan) dilakukan dengan mengukur lebar mesiodistal setiap gigi permanen. Ukuran ini kemudian dibandingkan dengan tabel standar jumlah lebar gigi anterior atas maupun anterior bawah (dari kaninus ke kaninus) dan juga jumlah lebar mesiodistal semua gigi atas dan bawah (molar pertama ke molar pertama) tidak termasuk molar kedua dan ketiga. Bila pengukuran menggunakan sarana digital maka komputer dengan cepat dapat menentukan tooth size analysis. Pemeriksaan cepat untuk mengetahui perbedaan gigi anterior dapat dilakukan dengan membandingkan ukuran insisivi lateral atas dan bawah. Bila insisivi lateral atas lebih besar maka hampir dapat dipastikan akan didapatkan perbedaan. Untuk rahang bawah dapat dilakukan dengan membandingkan ukuran premolar kedua atas dan bawah yang ukurannya kurang lebih sama. Bila perbedaan ukuran gigi ini kurang dari 1,5 mm jarang berpengaruh secara signifikan, tetapi kalau melebihi 1,5 mm akan menimbulkan masalah pada perawatan ortodontik dan sebaliknya hal ini dimasukkan dalam pertimbangan perawatan ortodontik (Rahardjo, 2011).

2. Kurva Spee Lengkung yang menghubungkan insisal insisivi dengan bidang oklusal molar terakhir pada rahang bawah. Pada keadaan normal kedalamannya tidak melebihi 1,5 mm. Pada kurva Spee yang positif (bentuk kurvanya jelas dan dalam) biasanya didapatkan gigi insisivi yang supra posisi atau gigi posterior yang infra posisi atau gabungan kedua keadaan tadi (Rahardjo, 2011). Kurva Spee adalah kurva dengan pusat pada suatu titik di tulang lakrimal (Lakrimal) dengan radius pada orang dewasa 65-70 mm. Kurva ini berkontak di empat lokasi yaitu permukaan anterior kondili, daerah kontak distooklusal molar ketiga, daerah kontak mesiooklusal molar pertama dan tepi insisisal. Mungkin karena sampel yang dipakai berbeda dengan peneliti (Hitchcock, Dale) mencoba mengukur sesuai dengan yang dilakukan oleh Spee, tetapi tidak memperoleh hasil yang sama dengan Spee (Rahardjo, 2011).

3. Diastema Ruang antara dua gigi yang berdekatan, gingiva di antara gigi-gigi kelihatan. Adanya diastema pada fase geligi pergantian masih merupakan keadaan normal, tetapi adanya diastema pada fase geligi permanen perlu diperiksa lebih lanjut untuk mengetahui apakah keadaan tersebut suatu keadaan yang tidak normal (Rahardjo, 2011).

4. Simetri Gigi-gigi Pemeriksaan ini untuk mengetahui simetri gigi senama dalam

jurusan

sagital

maupun

transversal

dengan

cara

membandingkan letak gigi permanen senama kiri dan kanan. Berbagai alat bisa digunakan untuk keperluan pemeriksaan ini, misalnya suatu transparent ruled grid atau simetroskop yang dapat dibuat sendiri (Rahardjo, 2011).

Letakkan model studi pada dasamya kemudian simetroskop diletakkan pada bidang oklusal gigi mulai dari yang paling anterior, bagian simetroskop menyentuh gigi yang paling labial, garis tengah simetroskop garis berimpit dengan median model. Kemudian geser simetroskop ke distal sambil mengamati apakah gigi yang senama terletak pada jarak yang sama baik dalam jurusan sagital maupun transversal (Rahardjo, 2011). Sebagai acuan, molar yang lebih distal dianggap lebih stabil karena belum terjadi pergeseran, atau pun seandainya telah terjadi pergeseran ke jurusan sagital pergeseran tersebut tidak sebanyak pada molar yang terletak lebih mesial. Dengan demikian dapat diketahui penyebab adanya perubahan relasi molar pada satu sisi. Perubahan relasi molar dapat terjadi karena adanya tanggal prematur molar sulung (Rahardjo, 2011).

5. Gigi yang Terletak Salah Pemeriksaan dilakukan pada gigi secara individu. Menurut Angle (1907) dengan diketahuinya kelainan letak gigi secara individu dapat direncanakan perawatan untuk meletakkan gigi tersebut pada letaknya yang benar. Penyebutan letak gigi yang digunakan di antaranya adalah sebagai berikut : Versi :

mahkota gigi miring ke arah tertentu tetapi akar gigi tidak

(misalnya

mesioversi,

distoversi,

labioversi,linguoversi). Infra oklusi : gigi

yang

tidak

mencapai

garis

oklusal

dibandingkan dengan gigi lain dalam lengkung geligi. Supra oklusi : gigi yang melebihi garis oklusal dibandingkan dengan gigi lain dalam lengkung geligi. Rotasi

: gigi berputar pada sumbu panjang gigi, bisa sentris atau eksentris.

Transposisi : dua gigi yang bertukar tempat, misalnya kaninus menempatitempat insisivi lateral dan insisivi lateral menempati tempatkaninus. Ektostema : gigi yang terletak di luar lengkung geligi (misalnya kaninusatas). Cara penyebutan lain seperti yang dianjurkan Lischer untuk gigi secara individual adalah sebagai berikut:

Mesioversi : mesial terhadap posisi normal gigi Distoversi : distal terhadap posisi normal gigi Linguoversi : lingual terhadap posisi normal gigi Labioversi : labial terhadap posisi normal gigi Infravesi : inferior terhadap garis oklusi Supravesi : superior terhadap garis oklusi Aksiversi : inklinasi aksial yang salah (tipped) Torsiersi :

berputar menurut sumbu panjang gigi

Transbersi : perubahan urutan posisi gigi Kelainan letak gigi dapat juga merupakan kelainan sekelompok gigi. 28 Protrusi : kelainan kelompok gigi anterior atas yang sudut inklinasinya terhadap garis maksila > 1100 untuk rahang bawah sudutnya > 900 terhadap garis mandibula. Retrusi : kelainan kelompok gigi anterior atas yang sudut inklinasinya terhada garis maksila < 1100 untuk rahang bawah < 900 Berdesakan : gigi yang tumpang tindih Diastema : terdapat ruangan diantara dua gigi yang berdekatan

BAB IV PENUTUP

Kesimpulan Dari apa yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa: 1.

Diagnosa dibutuhkan sebagai dasar bagi dokter untuk melakukan tindakan.

Dalam ortodonsia, diagnosa dibutuhkan untuk menentukan perawatan yang akan dilakukan terhadap pasien. Diagnosa yang tepat memerlukan pemeriksaan yang tepat dan sesuai dengan prosedur yang telah ada. 2. Pemilihan perawatan yang tepat, tentu dapat terjadi jika diagnosanya tepat dan jika disadari bahwa rencana perawatan merupakan suatu proses interaktif dimana pasien dilibatkan dalam proses membuat keputusan

Saran Agar mahasiswa calon dokter gigi dapat melakukan dignosa yang tepat diharapkan mahasiswa dapat memahami bagaimana cara prosedur pemeriksaan yang dilakukan sebelum menyimpulkan diagnosa.

DAFTAR PUSTAKA 1. Bernabé E., Carlos F.M., Estimating arch length discrepancy through Little’s Irregularity Index for epidemiological use.European journal of othodontics. 2006. 269-273 2. Bhalajhi Sundaresa Iyyer. Orthodontics the Art and Science. 3rd Ed. New Delhi Arya (MEDI) Publishing House. 2006 3. Foster TD. 1997. Buku Ajar Orthodonsi. Jakarta: EGC 4. Hong Q et al. A Study of Bollton’s and Pont’s Analysis on Permanent Dentition of Nepalese. Journal of Hard Tissue Biology.2008. 17 (2): 55-62 5. Mavreas dimitrious, Athanasiou Arhanasiouus E. Factor affecting the duration of orthodontic treatment: a systemic review. University of theddoloniki 2008 Des; (30): 387, 393 6. Moyers, R.E. Handbook of Orthodontics. Edisi IV. Chicago: Year Book MedicalPublisher. 1988. Hal 221-241 7. Premkumar S., Prep manual for undergraduate orthodontics. Elsevier: New Dehli. 2008. Hal 191-200 8. Profit WR, and Fields, HW. 2000. Contemporary Orthodontics, ed.3. Mosby, Philladelpia, p. 145-294 9. Rahardjo Pambudi. 2009. Ortodonti Dasar. Surabaya : Airlanggan University Press 10. Rahardjo Pambudi. 2011. Diagnosis Ortodontik. Surabaya : Airlanggan University Press 11. Rahardjo Pambudi. 2012. Ortodonti Dasar. Ed 2. Surabaya : Airlanggan University Press 12. Roberts W.E., William F.H., James J.B. Adjunctive Oerthodontic Therapy in Adults Biologi, Medical, and Treatment Consideration. In Text Book of Orthodontics. Philadelphia. W.B. Saunders Comp. 2001. Hal 520-523

Related Documents


More Documents from "BerlianaAgustin"