LAPORAN TUTORIAL MODUL BENGKAK PADA WAJAH DAN PERUT BLOK SISTEM UROGENITAL
Tutor : dr. Nina Indriyani Disusun Oleh : Kelompok 9
ANDI TENRI WALE
(K1A1 15 054)
ASRI NURUL AFIFAH
(K1A1 15 060)
RESKI VINALIA AGAUS
(K1A1 17 023)
RESTUAJI BAGAS KHAIRUL UMAM (K1A1 17 024)
SITTI MUJAHIDAH
(K1A1 17 025)
SULASTRI
(K1A1 17 027)
SYAWAL NURDIANZAH
(K1A1 17 028)
HANDRIANI
(K1A1 17 069)
LA ODE MUHAMMAD ALBAR
(K1A1 17 071)
LA ODE MUHAMMAD RAZIL
(K1A1 17 072)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2018
MODUL 1 BENGKAK PADA WAJAH DAN PERUT
A. SKENARIO Seorang anak laki-laki, 12 tahun, dating ke Puskesmas dengan bengkak pada wajah dan perut. Keadaan ini dialami sejak 3 minggu yang lalu dan saat ini semakin bertambah. Tidak ada demam dan tanda-tanda infeksi lain
B. KATA SULIT
Infeksi : Masuknya mikroorganisme yang memeperbanyak diri di jaringan tubuh yang menyebabkan peradangan (Kamus Kedokteran Dorland : 2012).
C. KATA/KALIMAT KUNCI 1. Anak laki-laki 12 tahun 2. Bengkak pada wajah dan perut 3. Dialami sejak 3 minggu yang lalu dan semakin bertambah 4. Tidak ada demam dan tanda-tanda infeksi lain.
D. PERTANYAAN 1. Jelaskan anatomi dan fisiologi dari system urinarius 2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan GFR dan factor-faktor yang mempengaruhinya 3. Jelaskan kompensasi ginjal dalam keseimbangan asam-basa! 4. Sebutkan penyakit-penyakit yang menyebabkan bengkak pada wajah dan perut beserta penyebabnya! 5. Jelaskan factor-faktor yang memperberat gejala! 6. Jelaskan langkah-langkah diagnosis! 7. Jelaskan DD dan DS! 8. Bagaimana penatalaksanaan DD dan DS!
E. JAWABAN 1. Jelaskan anatomi dan fisiologi dari system urinarius! ANATOMI Pada manusia normal, organ ini terdiri dari ginjal beserta system pelvikalises, ureter, buli-buli, dan uretra. a. Ginjal
Gambar 1 : Struktur anatomi system urinaria
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitoneal bagian atas. Bentukya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap medial. Cekungan ini disebut hilus renalis, yang didalamnya terdapat apeks pelvis renalis dan struktur lain yang merawat ginjal, yakni Pembuluh darah, system limfatik dan system saraf. Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrous tipis dan mengikat disebut kapsula fibrosa (true capsule) ginjal, yang melekat pada parenkim ginjal. Diluar kapsula fibrosa terdapat jaringan lemak yang di sebelah luarnya dibatasi oleh fasia gerota. Diantara kapsula fibrosa ginjal dengan kapsula gerota terdapat rongga perirenal.
Disebelah cranial ginjal terdapat kelenjar adrenal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal bersama-sama ginjal dan jaringan lemak perirenal dibungkus
oleh fasia gerota. Dasia ini berfungsi sebagai barrier yang menghambat meluasnya perdarahan dari parenkim ginjal serta mencegah ekstravasasi urin pada saat terjadi trauma ginjal. Selain itu, fasia gerota dapat pula berfungsi sebagai barrier dalamn menghambat penyebaran infeksi atau menghambat metastasis tumor ke organ sekitarnya.
Stuktur anatomi ginjal terbagi menjadi 2 bagian, yaitu korteks dan medulla ginjal. Korteks ginjal terletak lebih superficial dan didalamnya terdapat berjuta-juta nefron. Nerfron merupakan unit fungsional terkecil ginjal. Medulla ginjal yang terletak lebih profunuds banyak terdapat duktuli atau saluran kecil yang mengalirkan hasil ultrafiltrasi berupa urin.
Nefron terdiri atas glomerulus, tubulus kontortus proksimal, loop of henle, tubulus kontortus
distalis, dan duktus koligentes. Darah yang
membawa sisa hasil metabolism dalam tubuh difiltrasi (disaring) di dalam glomerulus dan setelah sampai di tubulus ginjal beberapa zat yang masih diperlukan tubuh mengalami reabsorbsi dan zat sisa metabolism yang tidak dibutuhkan oleh tubuh akan mengalami sekresi membentuk urin. Urin yang terbentuk di nefron akan disalurkan melalui piramida ke system pelvikalis ginjal untuk kemudian disalurkan ke dalam ureter. System pelvikalis ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum, kaliks major dan pielum/pelvis renalis. Mukosa system pelvikales terdiri atas epitel transtitional dan dindingnya terdiri atas otot polos yang berkontraksi untuk mengalirkan urin ke ureter.
Suplai darah ginjal diperankan oleh arteri dan vena renalis. A. renalis merupakan cabang langsung dari aorta abdominalis dan vena renalis bermuara langsung kedalam vena cava inferior.
A. renalis bercabang menjadi
A.interlobaris, yang berjalan di dalam columna bertini (diantara pyramid), lalu membelok membentuk busur mengikuti basis pyramid sebagai A.arkuata dan selanjutnya menuju korteks sebagai A.interlobularis. Arteri ini bercabang kecil menuju ke glomerulus sebagai arteri afferent dari glomerulus keluar arteri
eferen yang menuju ke tubulus ginjal. Ginjal mendapat persyarafan melalui pleksus renalis, yang seratnya berjalan bersama dengan arteri renalis. Ginjal diduga tidak mendapat persyarafan parasimpatik. Impuls sensorik dari ginjal berjalan menuju corda spinalis segmen T10-T11 dan memberikan sinyal sesuai dengan level dermatomnya
b. Ureter Dinding ureter terdiri atas mukosa yang dilapisi sel transisional, otot polos sirkuler dan otot polos longitudinal. Ureter membentang dari pielum hingga buli-buli dan secara anatomis terdapat beberapa tempat uang ukurannya diameternya lebih sempit daripada di tempat lain, diantaranya pada : perbatasan antara pelvis renalis dan ureter, tempat penyilangan antara ureter dan A. iliaka di rongga pelvis dan saat ureter masuk ke dalam buli-buli.
Persarafan otonomik simpatetik dan parasimpatetik diantaranya : simpatetik yaitu serabut preganglionik dari segmen spinal T10-L2, serabut post ganglionik berasal dari
aortikorenal, mesenterica superior. Untuk
parasimpatetik yaitu serabut vagal melalui celiac ke ureter sebelah atas, sedangkan serabut dari S2-4 ke ureter bawah
c. Buli-Buli atau vesika urinaria Mukosa buli-buli terdiri atas sel transisional yang sama seperti pada mukosa pelvis renalis, ureter, dan uretra posterior. Pada dasar buli-bulli, kedua muara ureter, meatus uretra internus membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli. Saat buli-buli terisi penuh, memberikan rangsangan pada saraf aferen dan mengaktifkan pusat miksi di medulla spinalis segmen sacral s2-s4.
d. Uretra Merupakan tabung yang menyalurkan urin keluar dari buli-buli melalui proses miksi. Uretra dilengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak
pada perbatasan uretra dan buli-buli serta sfingter uretra externa yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior.
FISIOLOGI Setiap ginjal memiliki 1 juta unit fungsional mikroskopik yang disebut nefron. Setiap nefron teridiri dari komponen vaskuler dan komponen tubular. Bagian dominan komponen vascular nefron adalah glomerulus tempat filtrasi sebagian besar air dan zat terlarut dari darah yang melewatinya. Komponen vaskuler yang terpenting diantaranya arteriol aferen, kapiler glomerulus, arteriol eferen dan kapiler peritubulus. Untuk komponen tubular nefron semdiri, dimulai dari kapsula bowman, tubulus proksimal, ansa henle, tubulus distal serta duktus koligentes.
Gambar 2 : nefron merupakan unit fungsional ginajal
Tiga proses dasar yang terlibat dalam urinalisis di diantaranya filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubulus dan sekresi tubulus. Filtrasi merupakan langkah pertama dalam pembentukan urin. Proses filtrasi terjadi di glomerulus dimana terdapat kapiler glomerulus yang akan dilewati oleh plasma dan akan dilakukan pemindahan sebagian dari plasma. Hal ini karena pada dinding kapiler glomerulus terdiri atas lapis sel endotel yang memikiki banyak pori yang menyebabkan lebih permeable terhadap air dan zat terlarut lainnya. Gaya
yang berperan dalam proses filtrasi yaitu tekanan darah kapiler glomerulus, tekanan osmotic koloid dan tekanan hidrostatik kapsul bowman. Setelah proses filtrasi, dilanjutkandengan proses reabsorpsi oleh tubulus dimana reabsorbsi merupakan suatu proses selektif yang akan mengembalikan bahanbahan yang telah di filtrate tadi untuk di serap kembali masuk ke pembuluh darah sesuai dengan keperluan tubuh. Persentase rerata absorbs bahan yang terfiltrat diantaranya air 99%, natrium 99,5%, glukosa 100%, dan urea 50%. Kemudian dilanjutkan dengan proses sekresi tubulus, dimana bahan-bahan yang tidak diperlukan akan dikeluarkan kembali dari pembuluh darah masuk ke lumen tubulus yang nantinya akan bergabung dengan bbahan yang tidak di reabsorbsi. Bahan-bahan yang terpenting yang disekresikan oleh tubules adalah ion hydrogen, ion kalium, serta anuon dan kation organic. Setelah proses sekresi, akan dilanjutkan dengan proses ekresi dimana urin yang sesungguhnya terbentuk yang kemudian dikeluarkan dari tubuh.
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan GFR dan factor-faktor yang mempengaruhinya! GFR (Glomerulus Filtration Rate) merupakan volume cairan yang difiltrasi oleh glomerulus setiap satuan waktu. GFR atau LFG merupakan indikator fungsi renal yang penting untuk diagnosis gangguan fungsi ginjal. Ranal Inulin Clearance merupakan baku emas LFG/GFR, namun terbatas penggunaannya oleh karena ketidaktersediaan dan pemeriksaan yang sulit. Perhitungan LFG berdasarkan Kreatinin Klirens sering digunakan pada pasien anak. Untuk memperkirakan LFG digunakan rumus Schwartz, yaitu: eLFG = K × L/Scr Keterangan: eLFG
: estimated LFG (ml/menit/1,73m2)
L
: Tinggi Badan (cm)
Scr
: serum Creatinin (mg/dl)
K
: Konstanta (bayi aterm 0,45 ; anak dan remaja putri 0,55 ; remaja putra 0,7)
Faktor-faktor yang mempengaruhi GFR (Glomerulus Filtration Rate) yaitu:
a. Tekanan darah kapiler glomerulus adalah tekanan cairan (hidrostatik) yang ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus. Tekanan ini pada akhirnya bergantung pada kontraksi jantung (sumber energy yang menghasilkan filtrasi glomerulus) dan resistensi terhadap aliran darah yang ditimbulkan oleh arteriol aferen dan eferen. Tekanan darah kapiler glomerulus, dengan nilai rerata diperkirakan 55 mmHg, lebih tinggi daripada tekanan darah kapiler di tempat lain. Penyebab lebih tingginya tekanan dikapiler glomerulus adalah diameter arteriol aferen yang lebih besar dibandingkan dengan arteriol eferen. Karena darah dapat lebih cepat masuk ke glomerulus melalui arteriol aferen yang lebar daripada keluar melalui arteriol eferen yang lebih sempit, tekanan darah kapiler glomerulus tetap tinggi akibat terbendungnya darah dikapiler glomerulus. Selain itu, karena tingginya resistensi yang dihasilkan oleh arteriol eferen, tekanan darah tidak memiliki kecenderungan yang sama untuk turun disepanjang kapiler glomerulus seperti dikapiler lain. Tekanan darah glomerulus yang tinggi dan tidak menurun ini cenderung mendorong cairan keluar glomerulus menuju kapsula Bowman di seluruh panjang kapiler glomerulus, dan merupakan gaya utama yang menghasil filtrasi glomerulus. Sementara tekanan darah kapiler glomerulus mendorong filtrasi, dua gaya lain yang bekerja menembus membrane glomerulus (tekanan osmotic koloid plasma dan tekanan hidrostatik kapsula Bowman) melawan filtrasi. b. Tekanan osmotic koloid plasma ditimbulkan oleh distribusi tak seimbang protein-protein plasma di kedua sisi membrane glomerulus. Karena tidak dapat difiltrasi, protein plasma terdapat dikapiler glomerulus tetapi tidak di kapsula Bowman. Karena itu, konsentrasi H2O lebih tinggi di kapsula Bowman dari pada dikapiler glomerulus. Kecenderungan H2O untuk berpindah melalui osmosis menuruni gradient konsentrasinya sendiri dari kapsula Bowman ke dalam glomerulus melawan filtrasi
glomerulus . Gaya osmotic yang melawan ini memiliki rerata 30 mmHg, yang sedikit lebih tinggi daripada kapiler lain. Tekanan ini lebih tinggi karena H2O yang difiltrasi keluar darah glomerulus jauh lebih banyak sehingga konsentrasi protein plasma lebih tinggi daripada tempat lain. c. Tekanan hidrostatik kapsula Bowman, tekanan yang ditimbulkan oleh cairan dibagian awal tubulus ini, diperkirakan sekitar 15 mmHg. Tekanan ini, yang cenderung mendorong cairan keluar kapsula Bowman, melawan filtrasi cairan dari glomerulus menuju kapsula Bowman.
3. Jelaskan kompensasi ginjal dalam keseimbangan asam-basa! Untuk mempertahankan keseimbangan asam basa, ginjal harus mengeluarkan anion asam non volatile dan mengganti HCO3-.3 Ginjal mengatur keseimbangan asam basa dengan sekresi dan reabsorpsi ion hidrogen dan ion bikarbonat. Pada mekanisme pemgaturan oleh ginjal ini berperan 3 sistem buffer asam karbonat, buffer fosfat dan pembentukan ammonia. Ion hidrogen, CO2, dan NH3 diekskresi ke dalam lumen tubulus dengan bantuan energi yang dihasilkan oleh mekanisme pompa natrium di basolateral tubulus.Pada proses tersebut, asam karbonat dan natrium dilepas kembali ke sirkulasi untuk dapat berfungsi kembali. Tubulus proksimal adalah tempat utama reabsorpsi bikarbonat dan pengeluaran asam. Ion hidrogen sangat reaktif dan mudah bergabung dengan ion bermuatan negative pada konsentrasi yang sangat rendah. Pada kadar yang sangat rendahpun, ion hidrogen mempunyai efek yang besar pada sistem biologi. Ion hidrogen berinteraksi dengan berbagai molekul biologis sehingga dapat mempengaruhi struktur protein, fungsi enzim dan ekstabilitas membrane. Ion hidrogen sangat penting pada fungsi normal tubuh misalnya sebagai pompa proton mitokondria pada proses fosforilasi oksidatif yang menghasilkan ATP.4 Produksi ion hidrogen sangat banyak karena dihasilkan terus meneru1s di dalam tubuh. Perolehan dan pengeluaran ion hidrogen sangat bervariasi tergantung diet, aktivitas dan status kesehatan. Ion hidrogen di dalam tubuh berasal dari makanan, minuman, dan proses metabolism tubuh. Di dalam
tubuh ion hidrogen terbentuk sebagai hasil metabolism karbohidrat, protein dan lemak, glikolisis anaerobik atau ketogenesis.
4. Sebutkan penyakit-penyakit yang menyebabkan bengkak pada wajah dan perut beserta penyebabnya! a. Sindrom nefrotik Sindrom nefrotik adalah kondisi klinis ditandai dengan proteinuria berat, terutama albuminuria (.1 g/m2/24 jam), hipoproteinemia (albumin serum ,2,5g/dL), edema, dan hiperkolestrolemia (>250 mg/dL). Gejala-gejalanya seperti : bengkak pada kedua kelopak mata, perut (asistes), tungkai, skrotum/labia, atau seluruh tubuh. b. Glomeruonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS) Glomeruonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS) dapat terjadi secara epidemi atau sporadik, paling sering pada anak usia sekolah yang lebih muda, antara 5-8 tahun. Gejala-gejalanya seperti: -
Riwayat infeksi saluran pernapasan 1-2 minggu sebelumnya atau infeksi kulit (pioderma) 3-6 minggu sebelumnya;
-
Hematuria mikroskopis atau sembab (edema) di kedua kelopak mata dan tungkai;
-
Pada stadium lebih lanjut, dapat ditemukan komplikasi kejang, penurunan kesadaran (enselopati hipertensi), gagal jantung atau edema paru.
c. Kwashiorkor Pada gizi buruk Kwashiorkor, anak tampak letargis, apatis, dan/atau iritabel. Manifestasi khas yang dapat dikeluhkan oleh orangtua pasien adalah bengkak/buncit (edema), yang terkadang menyebabkan berat badan pasien tampak tidak berkurang pada awal terjadinya gizi buruk kwashiorkor. d. Karsinoma kandung kemih/ tumor ganas buli adalah suatu penyakit keganasan yang mengenai kandung kemih dan menempati urutan ke empat
keganasan pada laki-laki, dan urutan ke
10 pada perempuan. Pada
diagnosis di anamnesisnya terdapat gejala nyeri tulang/nyeri pada pelvis, edema ekstremitas bawah, nyeri pinggang pada pasien dengan penyakit yang sudah berkembang. e. Sindrom Nefritik Akut Sindrom Nefritik akut terdiri atas hipertensi, hematuria, gangguan fungsi ginjal ditandai dengan adanya silinder eritrosit, dan proteinuria ringan sampai sedang. Pada diagnosis di pemeriksaan fisisnya terdapat tanda-tanda kelebihan cairan : edema preorbital/edema dikaki, hipertensi, ronki basah halus (jika ada edema paru), peningkatan vena jugular, asites, atau efusi pleura.
5. Jelaskan faktor-faktor yang memperberat gejala! Edema merupakan tanda dan gejala yang umum pada kelebihan volume cairan. Edema merujuk kepada penimbunan cairan di jaringan subkutis dan menandakan ketidak seimbangan gaya-gaya starling (kenaikan tekanan intravaskuler atau penurunan tekanan intravaskuler) yang menyebabkan cairan merembes ke dalam ruang interstisial. Sehingga faktor yang memperberat adalah: a. Hipoproteinemia dan
kelainan ginjal yang parah seperti Gagal Ginjal
KronikPada kelainan ginjal terjadi penurunan fungsi renal. Produksi akhir metabolisme protein tertimbun dalam darah dan terjadilah uremia yang mempengaruhi setiap sistem tubuh. Retensi natrium dan cairan mengakibatkan ginjal tidak mampu dalam mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine secara normal.. Pasien biasanya menahan natrium dan cairan yang dapat meningkatkan resiko edema, gagal jantung kongesif dan hipertensi. Untuk menghindari hal-hal tersebut maka dapat dilakukan pencegahan untuk kelebihan volume cairan dengan berbagai terapi yang dapat diberikan. b. Pola diet yang tidak sehat pada masyarakat Pola diet yang tidak sehat identic dengan konsumsi makanan siap saji ataupun makanan instan merupakan faktor resiko yang memperberat terjadinya
kerusakan ginjal yang dapat berlanjut pada overload cairan (edema). Manifestasi
klinis
overload
cairan
berhubungan
dengan
penurunan
kemampuan ginjal dalam meregulasi penyerapan dan keluaran elektrolit Na, sehingga menyebabkan retensi Na yang lebih lanjut meningkatkan volume cairan ekstrasel. Keadaan overload diperberat dengan adanya penurunan laju filtrasi glomerulus sehubungan dengan gangguan regulasi air oleh ginjal.
6. Jelaskan langkah-langkah diagnosis! a. Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang (onset, lokasi, durasi, sifat, faktor yang meperberat,faktor yang memperingan) Menanyakan keluhan utama pasien misalnya adakah gangguan berkemih (frekuensi, urgensi), volume urin, perubahan komposisi urin (hematuria, proteinuria), edema, nyeri dan gejala yang berhubungan dengan penyakit sistemik seperti demam, mual, muntah, nyeri tekan pada perut bagian bawah.
Riwayat Penyakit Dahulu Misalnya Diabetes Melitus dapat mengalami komplikasi glomerulosklerosis, pasien dengan arthritis rheumatoid dapat diobati dengan analgesik dan atau penisilamin yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Dalam menggali riwayat penyakit dahulu, penting juga untuk mendapatkan informasi mengenai riwayat penggunaan obat-obatan misalnya pasien hipertensi sebaiknya dihindari penggunaan penghambat beta pada pasien dengan riwayat asman.
Riwayat Keluarga Adanya kerentanan genetik pada nefropati diabetes telah dibuktikan dan pada pasien dengan diabetes melitus tipe 1 dengan riwayat keluarga hipertensi akan lebih rentan untuk mengalami nefropati diabetes.
Riwayat Sosial Seperti kebiasaan pasien mengkonsumsi makanan asam seperti jus buah yang memiliki kandungan oksalat yang tinggi dan dapat mengakibatkan terbentuknya oksalat di ginjal, konsumsi alkohol berlebihan akan memicu
peningkatan tekanan darah, pembentuk batu idiopatik mengkonsumsi protein hewani lebih banyak dari orang normal; pola diet tersebut dikaitkan dengan peningkatan ekskresi kalsium, oksalat, dan asam urat dalam urin. Prevalensi batu pada vegetarian setengah lebih rendah dripada populasi umum. Merokok berkontribusi terhadap perkembangan artherosklerosis pada pasien dialisis dan juga merupakan faktor risiko untuk hipertensi.
Riwayat Pengobatan Adanya riwayat penggunaan obat NSAID sangat rentan terhadap efek buruk pada ginjal dan memicu nefritis intertisial, obat hipotensi dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal, ACE Inhibitor menyebabkan perburukan fungsi ginjal misalnya pada pasien dengan penyakit renovaskular bilateral dan obat lain (garam emas atau D-penisilamin) dapat menyebabkan kerusakan glomerulus reversible.
b. Pemeriksaan Fisis Inspeksi keadaan umum, adakah gangguan status mental, hiperventilasi, cegukan Menilai status hidrasi kulit dan mukosa mulut Kulit : pucat, pigmentasi, kering, bersisik atau bekas garukan, lesi hiperkeratosis Wajah : pucat kekuningan, uremic frost, moon face, jerawat, akantosis,nigran, pupuran, ruam kupu-kupu. Mata : kalsifikasi perilimbal, edem palpebra. Distribusi lemak tubuh di daerah sentral, lipodistrofi parsial Abdomen : adakah massa ginjal, distensi ureter atau kandung kemih? Kuku pucat dan suram, splinter haemorrhages, jari tabuh. Pemeriksaan Palpasi : Palpasi daerah abdomen dan punggung adakah pembesaran ginjal. Ginjal kanan diraba dengan menempatkan tangan kanan di posterior pinggang dan tangan kiri pada dinding perut anterior disebalah kanan umbilicus secara
horizontal. Dengan tujuan menggoyangkan ginjal, jari-jari tangan kanan pemeriksa menjentikkan bagian posterior pinggang pasien keatas sementara tangan kanan lainnya menunggu untuk merasakan ginjal mealayang keatas dan turun kembali. Pemeriksaan ballottement ginjal : meminta pasien tidur dalam posisi telentang dengan kepala sedikit terangkat diatas bantal dan kedua lengan berada di sisi tubuh. Ginjal kiri diraba dengan tangan kanan di tempatkan di posterior pinggang kiri dan tangan kiri pada dinding perut anterior disebelah kiri umbilikus. Memerkirakan ukuran dan bentuk ginjal adalah nyeri saat palpasi Pada pasien yang menjalani dilisis peritoneal adakah hernia inguinalis atau umbilikalis Adakah edema tungkai Pemeriksaan testis untuk menentukan apakah ada atrofi atau tumor Pemeriksaan dubur dan pemeriksaan vagina serta nyeri tekan suprapubik bila ada indikasi. Pemeriksaan perkusi Melakukan perkusi abdomen jika ditemukan kesulitan dalam membedakan ginjal kiri yang membesar dan splenomegali atau pada pasien dengan hepatomegali Pemeriksaan asites Pada pasien yang dicurigai infeksi saluran kemih : adakah nyeri ketok pada sudut kosto – vertebral kanan dan kiri? Aulkutasi Melakukan aulkutasi dengan meletakkan stetoskop diposterior pinggang, lateral dari panggul, dan di anterior abdomen pada pasien hipertensi atau paska biopsy ginjal, adakah bruit?
Pada pemeriksaan prekordium, aukultasi adanya bunyi jantung tambahan : murmur, pericardial rub serta gallop.
c. Pemeriksaan penunjang Lab Bun Serum kreatinin Urinalisis rutin Biopsy ginjal Radiologi : USG, IVP-BNO, CT SCAN
7. Jelaskan DD dan DS! a. KWASHIORKOR
DEFINISI Kwashiorkor adalah sindrom klinis yang diakibatkan dari defisiensi protein berat dan asupan kalori yang tidak adekuat. Dari kekurangan masukan atau dari kehilangan yang berlebihan atau kenaikan angka metabolik yang disebabkan oleh infeksi kronik, akibat defisiensi vitamin dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut. Kwashiorkor berarti “anak tersingkirkan”, yaitu anak yang tidak lagi menghisap, dapat menjadi jelas sejak masa bayi awal sampai sekitar usia 5 tahun, biasanya sudah menyapih dari ASI. Walaupun pertambahan tinggi dan berat dipercepat dengan pengobatan, ukuran ini tidak pernah sama dengan tinggi dan berat badan anak yang secara tetap bergizi baik.
ETIOLOGI Etiologi dari kwashiorkor adalah 1. Kekurangan intake protein 2. Gangguan penyerapan protein pada diare kronik
3. Kehilangan protein secara berlebihan seperti pada proteinuria dan infeksi kronik 4. Gangguan sintesis protein seperti pada penyakit hati kronis.
Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang berlangsung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut antara lain: 1. Pola makan Protein (asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori yang cukup, tidak semua makanan mengandung protein / asam amino yang memadai. Bayi yang masih menyusui umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan ibunya, namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein dari sumber-sumber lain (susu, telur, keju, tahu dll) sangatlah dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi anak berperan penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama pada masa peralihan ASI ke makanan pengganti ASI. 2. Faktor sosial Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan sosial dan politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk menggunakan makanan tertentu dan sudah berlangsung turun temurun dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor. 3. Faktor ekonomi Kemiskinan keluarga / penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan proteinnya. 4. Faktor infeksi dan penyakit lain Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi. Seperti gejala malnutrisi protein
disebabkan oleh gangguan penyerapan protein, misalnya yang dijumpai pada keadaan diare kronis, kehilangan protein secara tidak normal pada proteinuria (nefrosis), infeksi saluran pencernaan, serta kegagalan mensintesis protein akibat penyakit hati yang kronis.
PATOFISIOLOGI MEP adalah manifestasi dari kurangnya asupan protein dan energi, dalam makanan sehari-hari yang tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG), dan biasanya juga diserta adanya kekurangan dari beberapa nutrisi lainnya.
Disebut malnutrisi primer bila kejadian MEP akibat kekurangan asupan nutrisi, yang pada umumnya didasari oleh masalah sosial ekonomi, pendidikan serta rendahnya pengetahuan di bidang gizi. Malnutrisi sekunder bila kondisi masalah nutrisi seperti di atas disebabkan karena adanya penyakit utama, seperti kelainan bawaan, infeksi kronis ataupun kelainan pencernaan dan metabolik, yang mengakibatkan kebutuhan nutrisi meningkat, penyerapan nutrisi yang turun dan/meningkatnya kehilangan nutrisi.
Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai cadangan makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai dengan pembakaran cadangan karbonhidrat kemudian cadangan lemak serta protein dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stress katabolik (infeksi)
maka
kebutuhan
protein
akan
meningkat,
sehingga
dapat
menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada saat status gizi masih di atas -3 SD (-2SD- -3SD), maka terjadilah kwashiorkor (malnutrisi akut /”decompensated malnutrition”). Pada kondisi ini penting peranan radikal bebas dan anti oksidan. Bila stres katabolik ini terjadi pada saat status gizi di bawah -3 SD, maka akan terjadilah marasmik-kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus dapat teradaptasi sampai di bawah -3 SD maka akan terjadilah marasmik (malnutrisi kronik / compensated malnutrition).
Dengan demikian pada MEP dapat terjadi: gangguan pertumbuhan, atrofi otot, penurunan kadar albumin serum, penurunan hemoglobin, penurunan sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai sintesis enzim.
PATOLOGI Pada defisiensi protein murni tidak terjadi katabolisme jaringan yang sangat berlebihan karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori dalam dietnya. Kelainan yang mencolok adalah gangguan metabolik dan perubahan sel yang disebabkan edema dan perlemakan hati. Karena kekurangan protein dalam diet akan terjadi kekurangan berbagai asam amino dalam serum yang jumlahnya yang sudah kurang tersebut akan disalurkan ke jaringan otot, makin kurangnya asam amino dalam serum ini akan menyebabkan kurangnya produksi albumin oleh hepar yang kemudian berakibat timbulnya odema. Perlemakan hati terjadi karena gangguan pembentukan beta liprotein, sehingga transport lemak dari hati terganggu dengan akibat terjadinya penimbunan lemak dalam hati.
Gambar 3 : mekanisme edema pada Kwashiorkor
MANIFESTASI KLINIS Tanda atau gejala yang dapat dilihat pada anak dengan malnutrisi energi protein kwashiorkor, antara lain: 1. Wujud Umum Secara umumnya penderita kwashiorkor tampak pucat, kurus, atrofi pada ekstremitas, adanya edema pedis dan pretibial serta asites. Muka penderita ada tanda moon face dari akibat terjadinya edema. Penampilan anak kwashiorkor seperti anak gemuk (sugar baby). 2. Retardasi Pertumbuhan Gejala penting ialah pertumbuhan yang terganggu. Selain berat badan, tinggi badan juga kurang dibandingkan dengan anak sehat. 3. Perubahan MentaL Biasanya penderita cengeng, hilang nafsu makan dan rewel. Pada stadium lanjut bisa menjadi apatis. Kesadarannya juga bisa menurun, dan anak menjadi pasif. Perubahan mental bisa menjadi tanda anak mengalami dehidrasi. Gizi buruk dapat mempengaruhi perkembangan mental anak. Terdapat dua hipotesis yang menjelaskan hal tersebut: karakteristik perilaku anak yang gizinya kurang menyebabkan penurunan interaksi dengan lingkungannya dan keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan outcome perkembangan yang buruk, hipotesis lain mengatakan bahwa keadaan gizi buruk mengakibatkan perubahan struktural dan fungsional pada otak. 4. Edema Pada sebagian besar penderita ditemukan edema baik ringan maupun berat. Edemanya
bersifat
pitting.
Edema
terjadi
bisa
disebabkan
hipoalbuminemia, gangguan dinding kapiler, dan hormonal akibat dari gangguan eliminasi ADH. 5. Kelainan Rambut Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai bangunnya (texture), maupun warnanya. Sangat khas untuk penderita kwashiorkor ialah rambut kepala yang mudah tercabut tanpa rasa sakit. Pada penderita kwashiorkor lanjut, rambut akan tampak kusam, halus, kering, jarang dan berubah warna
menjadi putih. Sering bulu mata menjadi panjang. Rambut yang mudah dicabut di daerah temporal (Signo de la bandera) terjadi karena kurangnya protein menyebabkan degenerasi pada rambut dan kutikula rambut yang rusak. Rambut terdiri dari keratin (senyawa protein) sehingga kurangnya protein akan menyebabkan kelainan pada rambut. Warna rambut yang merah (seperti jagung) dapat diakibatkan karena kekurangan vitamin A, C, E. 6. Kelainan Kulit Kulit penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih mendalam dan lebar. Sering ditemukan hiperpigmentasi dan persisikan kulit karena habisnya cadangan energi maupun protein. Pada sebagian besar penderita dtemukan perubahan kulit yang khas untuk penyakit kwashiorkor, yaitu crazy pavement dermatosis yang merupakan bercak-bercak putih atau merah muda dengan tepi hitam ditemukan pada bagian tubuh yang sering mendapat tekanan. Terutama bila tekanan itu terus-menerus dan disertai kelembapan oleh keringat atau ekskreta, seperti pada bokong, fosa poplitea, lutut, buku kaki, paha, lipat paha, dan sebagainya. Perubahan kulit demikian dimulai dengan bercak-bercak kecil merah yang dalam waktu singkat bertambah dan berpadu untuk menjadi hitam. Pada suatu saat mengelupas dan memperlihatkan bagian-bagian yang tidak mengandung pigmen, dibatasi oleh tepi yang masih hitam oleh hiperpigmentasi. Kurangnya nicotinamide dan tryptophan menyebabkan gampang terjadi radang pada kulit. 7. Kelainan Gigi dan Tulang Pada tulang penderita kwashiorkor didapatkan dekalsifikasi, osteoporosis, dan hambatan pertumbuhan. Sering juga ditemukan caries pada gigi penderita. 8. Kelainan Hati Pada biopsi hati ditemukan perlemakan, bisa juga ditemukan biopsi hati yang hampir semua sela hati mengandung vakuol lemak besar. Sering juga
ditemukan tanda fibrosis, nekrosis, dan infiltrasi sel mononukleus. Perlemakan hati terjadi akibat defisiensi faktor lipotropik. 9. Kelainan Darah dan Sumsum Tulang Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita kwashiorkor. Bila disertai penyakit lain, terutama infestasi parasit (ankilostomiasis, amoebiasis) maka dapat dijumpai anemia berat. Anemia juga terjadi disebabkan kurangnya nutrien yang penting untuk pembentukan darah seperti Ferum, vitamin B kompleks (B12, folat, B6). Kelainan dari pembentukan darah dari hipoplasia atau aplasia sumsum tulang disebabkan defisiensi protein dan infeksi menahun. Defisiensi protein juga menyebabkan gangguan pembentukan sistem kekebalan tubuh. Akibatnya terjadi defek umunitas seluler, dan gangguan sistem komplimen. 10. Kelainan Pankreas dan Kelenjar Lain Di pankreas dan kebanyakan kelenjar lain seperti parotis, lakrimal, saliva dan usus halus terjadi perlemakan. Pada pankreas terjadi atrofi sel asinus sehingga menurunkan produksi enzim pankreas terutama lipase. 11. Kelainan Jantung Bisa terjadi miodegenerasi jantung dan gangguan fungsi jantung disebabkan hipokalemi dan hipomagnesemia. 12. Kelainan Gastrointestinal Gejala gastrointestinal merupakan gejala yang penting. Anoreksia kadangkadang demikian hebatnya, sehingga segala pemberian makanan ditolak dan makanan hanya dapat diberikan dengan sonde lambung. Diare terdapat pada sebagian besar penderita. Hal ini terjadi karena 3 masalah utama yaitu berupa infeksi atau infestasi usus, intoleransi laktosa, dan malabsorbsi lemak. Intoleransi laktosa disebabkan defisiensi laktase. Malabsorbsi lemak terjadi akibat defisiensi garam empedu, konjugasi hati, defisiensi lipase pankreas, dan atrofi villi mukosa usus halus. Pada anak dengan gizi buruk dapat terjadi defisiensi enzim disakaridase.
13. Atrofi Otot Massa otot berkurang karena kurangnya protein. Protein juga dibakar untuk dijadikan kalori demi penyelamatan hidup. 14. Kelainan Ginjal Malnutrisi energi protein dapat mengakibatkan terjadi atrofi glomerulus sehingga GFR menurun.
Gambar 4 : Manifestasi klinis kwashiorkor pada anak
DIAGNOSIS Anamnesis Keluhan yang sering ditemukan adalah pertumbuhan yang kurang, anak kurus, atau berat badannya kurang. Selain itu ada keluhan anak kurang/tidak mau makan, sering menderita sakit yang berulang atau timbulnya bengkak pada kedua kaki, kadang sampai seluruh tubuh.
Pemeriksaan Fisik 1. Perubahan mental sampai apatis 2. Anemia 3. Perubahan warna dan tekstur rambut, mudah dicabut / rontok 4. Gangguan sistem gastrointestinal 5. Pembesaran hati 6. Perubahan kulit (dermatosis) 7. Atrofi otot 8. Edema simetris pada kedua punggung kaki, dapat sampai seluruh tubuh.
Hasil pemeriksaan pada anak dengan MEP:
Kondisi I Jika ditemukan: a. Renjatan (Shock) b. Letargis c. Muntah dan atau diare atau dehidrasi.
Kondisi II Jika ditemukan: a. Letargis b.Muntah dan atau diare atau dehidrasi.
Kondisi III Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi.
Kondisi IV Jika ditemukan letargis.
Kondisi V Jika tidak ditemukan: a. Renjatan (Shock) b. Letargis c. Muntah/diare/dehidrasi.
Penyakit penyerta yang sering ditemui pada MEP:
Gangguan mata
Gangguan kulit
Diare persisten
Anemia berat
Parasit/cacing
Tuberkulosis
Malaria
HIV
DIAGNOSIS BANDING Adanya edema serta ascites pada bentuk kwashiorkor perlu dibedakan dengan: 1. Trauma 2. Sindroma nefrotik 3. Payah jantung kongestif 4. Pellagra infantil
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang diperlukan:
Pemeriksaan laboratorium: kadar gula darah, darah tepi lengkap, feses lengkap, elektrolit serum, protein serum (albumin, globulin), feritin. Pada pemeriksaan laboratorium, anemia selalu ditemukan terutama jenis normositik normokrom karena adanya gangguan sistem eritropoesis akibat hipoplasia kronis sumsum tulang di samping karena asupan zat besi yang kurang dalam makanan, kerusakan hati dan gangguan absorbsi. Selain itu dapat ditemukan kadar albumin serum yang menurun.
Pemeriksaan radiologi (dada, AP dan lateral) juga perlu dilakukan untuk menemukan adanya kelainan pada paru.
Tes mantoux
EKG
KOMPLIKASI Anak dengan kwashiorkor akan lebih mudah untuk terkena infeksi dikarenakan lemahnya sistem imun. Tinggi maksimal dan kempuan potensial untuk tumbuh tidak akan pernah dapat dicapai oleh anak dengan riwayat kwashiorkor. Bukti secara statistik mengemukakan bahwa kwashiorkor yang terjadi pada awal kehidupan (bayi dan anak-anak) dapat menurunkan IQ secara permanen. Komplikasi lain yang dapat ditimbulkan dari kwashiorkor adalah: 1. Defisiensi zat besi 2. Hiperpigmentasi kulit 3. Edema anasarka 4. Imunitas menurun sehingga mudah infeksi 5. Diare karena terjadi atrofi epitel usus 6. Hipoglikemia, hipomagnesemia
b. GNAPS
DEFINISI GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara histopatologi menunjukkan proliferasi & Inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi group A β-hemolytic streptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut
EPIDEMIOLOGI Salah satu bentuk glomerulonefritis akut (GNA) yang banyak dijumpai pada anak adalah glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS). GNAPS dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia 6 – 7 tahun. Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan sebaran usia 2,5 – 15 tahun dengan rerata usia tertinggi 8,46 tahun dan rasio ♂ : ♀ = 1, 34 : 1.
Angka
kejadian
GNAPS
sukar
ditentukan
mengingat
bentuk
asimtomatik lebih banyak dijumpai daripada bentuk simtomatik. Di negara maju, insiden GNAPS berkurang akibat sanitasi yang lebih baik, pengobatan dini
penyakit infeksi, sedangkan di negara sedang berkembang insiden
GNAPS masih banyak dijumpai.2
Di Indonesia & Kashmir, GNAPS lebih
banyak ditemukan pada golongan sosial ekonomi rendah, masing – masing 68,9%1 & 66,9%.3.
GEJALA KLINIS a) Simtomatik
Periode laten : Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu; periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA, sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di bawah 1 minggu.
Bila periode laten ini
berlangsung kurang dari 1 minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schöenlein atau Benign recurrent haematuria.
Edema : Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia
eksterna
(edema
skrotum/vulva)
menyerupai
sindrom
nefrotik.Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol waktu bangun pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau setelah melakukan kegitan fisik. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi.
Kadang- kadang terjadi edema laten, yaitu edema yang tidak tampak dari luar dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan berat badan. Edema bersifat pitting sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke jaringan interstisial yang dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan semula.
Hematuria Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS,4,5 sedangkan hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu penelitian multisenter di Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46-100%, sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-100%. Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau berwarna
seperti cola. Hematuria
makroskopik
biasanya timbul dalam minggu pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik GNAPS sudah sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun, sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan indikasi untuk
dilakukan
biopsi
ginjal,
mengingat
kemungkinan
adanya
glomerulonefritis kronik.
Hipertensi : Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. Albar mendapati hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada kebanyakan
kasus dijumpai hipertensi ringan
(tekanan diastolik 80-90 mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup dan diet yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya ensefalopati
hipertensi
hipertensi
yaitu hipertensi
berat menyebabkan
yang disertai gejala serebral,
seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang-
kejang. Penelitian multisenter
di Indonesia menemukan ensefalopati
hipertensi berkisar 4-50%.
Oliguria Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan produksi urin kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria yang menunjukkan adanya kerusakan glomerulus yang berat dengan prognosis yang jelek.
Gejala Kardiovaskular : Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi yang terjadi pada 20-70% kasus GNAPS. Bendungan sirkulasi dahulu diduga terjadi akibat hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap terjadi walaupun tidak ada hipertensi atau gejala miokarditis. Ini berarti bahwa bendungan terjadi bukan karena hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga akibat retensi Na dan air sehingga terjadi hipervolemia.
Edema paru Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat bendungan sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat secara radiologik. Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis. Pada pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar atau basah halus. Keadaan ini disebut acute pulmonary edema yang umumnya terjadi dalam minggu pertama dan kadang-kadang bersifat fatal. Gambaran klinik ini menyerupai
bronkopnemonia sehingga penyakit utama ginjal tidak
diperhatikan. Oleh karena itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang teliti dan jangan lupa pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara 62,5-85,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya
gejala-gejala klinik lain. Kelainan radiologik
toraks dapat berupa kardiomegali, edema paru dan efusi pleura. Tingginya kelainan radiologik ini oleh karena pemeriksaan radiologik dilakukan dengan posisi Postero Anterior (PA) dan Lateral Dekubitus. Kanan (LDK).Suatu penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan efusi pleura 81,6%, sedangkan Srinagar da Pondy Cherry mendapatkan masing- masing 0,3% dan 52%.1 Bentuk yang tersering Kardiomegali
adalah bendungan paru.
disertai dengan efusi pleura sering disebut nephritic lung.
Kelainan ini bisa berdiri sendiri atau bersama-sama. Pada pengamatan 48 penderita GNAPS yang dirawat di departemen Anak RSU. Wahidin Sudirohusodo dan RS. Pelamonia di Makassar sejak April 1979 sampai Nopember 1983 didapatkan 56,4% kongesti paru, 48,7% edema paru dan 43,6% efusi pleura. Kelainan radiologik paru yang ditemukan pada GNAPS ini sering sukar dibedakan dari bronkopnemonia,
pnemonia,
atau
peradangan pleura, oleh karena adanya ronki basah dan edema paru. Menurut
beberapa
penulis, perbaikan radiologik paru pada GNAPS
biasanya lebih cepat terjadi, yaitu dalam waktu 5-10 hari, sedangkan pada bronkopnemonia atau pneumonia diperlukan waktu lebih lama, yaitu 2-3 minggu.
Atas dasar inilah kelainan radiologik paru dapat membantu
menegakkan diagnosis GNAPS walaupun tidak patognomonik. Kelainan radiologik paru disebabkan oleh kongesti paru yang disebabkan oleh hipervolemia akibat absorpsi Na dan air
Gejala-gejala lain Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat edema atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung lama.
PATOMEKANISME Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan filtrasi glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya normal. Hal tersebut akan menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah 1%. Keadaan ini akan menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis
berkurang yang akan mengakibatkan tubulus distalis meningkatkan proses reabsorbsinya, termasuk Na, sehingga akan menyebabkan retensi Na dan air. Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan air didukung oleh keadaan berikut ini: 1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses radang di glomerulus. 2. Overexpression dari epithelial sodium channel. 3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin intrarenal.
Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan air, sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi. Efek proteinuria yang terjadi pada GNAPS tidak sampai menyebabkan edema lebih berat, karena hormon-hormon yang mengatur ekpansi cairan ekstraselular seperti renin angiotensin, aldosteron dan anti diuretik hormon (ADH) tidak meningkat. Edema yang berat dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga hormon tersebut meningkat.
KOMPLIKASI Komplikasi yang sering dijumpai adalah : 1. Ensefalopati hipertensi (EH). EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak > 6 tahun dapat melewati tekanan darah 180/120 mmHg. EH dapat diatasi dengan memberikan nifedipin (0,25 – 0,5 mg/kgbb/dosis) secara oral atau sublingual pada anak dengan kesadaran menurun. Bila tekanan darah belum turun dapat diulangi tiap 15 menit hingga 3 kali. Penurunan tekanan darah harus dilakukan secara bertahap. Bila tekanan darah telah turun sampai 25%, seterusnya ditambahkan kaptopril (0,3 – 2 mg/kgbb/hari) dan dipantau hingga normal.2. Gangguan ginjal akut (Acute kidney injury/AKI) Pengobatan konservatif :
Dilakukan pengaturan diet untuk mencegah katabolisme dengan memberikan kalori secukupnya, yaitu 120 kkal/kgbb/hari.
Mengatur elektrolit : Bila terjadi hiponatremia diberi NaCl hipertonik 3%. Bila terjadi hipokalemia diberikan : Calcium Gluconas 10% 0,5 ml/kgbb/hari. NaHCO 7,5% 3 ml/kgbb/hari. 3 K+ exchange resin 1 g/kgbb/hari. Insulin 0,1 unit/kg & 0,5 – 1 g glukosa 0,5 g/kgbb.
Edema paru Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring, sehingga sering disangka sebagai bronkopneumoni.
2. Posterior leukoencephalopathy syndrome Merupakan komplikasi yang jarang dan
sering dikacaukan dengan
ensefalopati hipertensi, karena menunjukkan gejala-gejala yang sama seperti sakit kepala, kejang, halusinasi visual, tetapi tekanan darah masih normal.
PROGNOSIS Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila tidak ada komplikasi, sehingga sering digolongkan ke dalam self limiting disease. Walaupun sangat jarang, GNAPS dapat kambuh kembali. Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang berlangsung 1-2 minggu, kemudian disusul dengan menghilangnya gejala laboratorik terutama hematuria mikroskopik dan proteinuria dalam waktu 1-12 bulan. Pada anak 85-95% kasus GNAPS sembuh sempurna, sedangkan pada orang dewasa 50-75% GNAPS dapat berlangsung kronis, baik secara klinik maupun secara histologik atau laboratorik. Pada orang dewasa kira-kira 1530% kasus masuk ke dalam proses kronik, sedangkan pada anak 5-10% kasus
menjadi glomerulonefritis
kronik. Walaupun prognosis
GNAPS baik,
kematian bisa terjadi terutama dalam fase akut akibat gangguan ginjal akut (Acute kidney injury), edema paru akut atau ensefalopati hipertensi.
c. SINDROM NEFROTIK
DEFINISI Sindrom nefrotik (SN) adalah sindrom klinik yang mempunyai banyak penyebab, ditandai dengan permeabilitas membran glomerulus yang meningkat dengan manifestasi proteinuri masif yang menyebabkan hipoalbuminemia dan biasanya disertai edema dan hiperkolesterolemia
ETIOLOGI Secara etiologi, SN dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan glomerulonefritis sekunder. Secara umum, golmerulonefritis primer terbagi menjadi 5, yakni :
GN lesi minimal
Glomerulosklerosis fokal segmental
GN membranosa
GN membranoploriferasi
GN proliferative lain
Yang mana semuanya bersifat idiopatik. Sedangkan glomerulonefritis sekunder dapat disebabkan oleh beberapa factor di antarananya :
Infeksi
Keganasan
Penyakit jaringan penghubung
Efek obat toksin.
EPIDEMIOLOGI SN merupakan perwujudan (manifestasi) glomerulus yang paling sering ditemukan di anak yang 15 kali lebih sering daripada di orang dewasa. Kelainan histologik yang terbanyak di anak adalah kelainan minimal yang disebut "Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal" (SNKM).
Prevalensi SNKM di negara barat sekitar 2–3 kasus per 100.000 anak < 16 tahun, di Asia 16 kasus per 100.000 anak dan di Indonesia sekitar 6 kasus per 100.000 anak < 14 tahun. Anak laki-laki lebih sering terjangkit daripada anak perempuan dengan perbandingan 2:1. Anak dengan SNKM biasanya berumur 1 < 10 tahun, sekitar 90% kasus berumur < 7 tahun dengan usia rerata 2–5 tahun.
GEJALA KLINIS
Proteinuri berat (>50mg/kgbb)
Edema masif
Hypoproteinemia(<2,5gr/dl)
Hypercoagulasi
Hyperlipidaemia(>250mg/dl) (Hypercholestrolemia).
PATOMEKANISME Proteinuria terbagi menjadi 3 jenis, yaitu glomerular, tubular, dan overflow. Kehilangan protein pada SN termasuk ke dalam proteinuria glomerular.
Kelainan
makromolekul
pada
melewati
podosit
dinding
glomerular
kapiler
meningkatkan
glomerulus.
Hal
ini
filtrasi yang
menyebabkan protein yang seharusnya tidak terdapat dalam urin, menjadi terfiltrasi dan ikut terekskresi bersama urin.
Gambar 5 : Podosit pada glomerulus.
Proteinuria masif dapat menyebabkan penurunan kadar protein plasma dalam darah yang disebut hypoalbuminemia yang dapat menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga terjadi edema. Penurunan tekanan onkotik juga dapat menyebabkan syok hypovolemik.
Gambar 6 : Mekanisme edema pada sindrom nefrotik
Hypercoagulasi terjadi akibat dari kompensasi hepar dalam mensintesis protein karena terjadinya hypoalbuminemia. Sintesis protein koagulasi di hepar menyebabkan peningkatan koagulasi intravascular seperti fibrinogen dan faktor-faktor koagulasi lainnya yang dapat memicu komplikasi berupa emboli paru dan thrombosis vena dalam (deep vein thrombosis).
Gambar 7 : Gangguan koagulasi pada sindrom nefrotik
Hyperlipidemia diakibatkan oleh sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme yang dapat memicu terjadinya lipiduria yang pada pemeriksaan sedimen urin dapat membentuk akumulasi lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dalam urin.
Gambar 8 : Gambaran oval fat bodies pada pemeriksaan sedimen urin
KOMPLIKASI
Infeksi
Tromboemboli
AKI/CKD
Heart Failure
Anemia,
Gangguan Tubulus Ginjal,
Gangguan Hormon
Hipokalsemia.
PROGNOSIS Prognosis penyakit SN didasarkan pada sensitive atau resistennya seseorang terhadap steroid. Pasien dengan steroid resisten memiliki prognosis yang buruk dengan komplikasi hingga End Stage Renal Disesae (ESRD). Sedangkan pasien dengan sensitif steroid memiliki prognosis yang lebih baik walaupun pada kondisi tertentu dapat terjadi relaps dengan persentase lebih dari 50 %.
TATA LAKSANA Tata laksana paling utama dari SN adalah steroid, terutama prednisone dengandosis 1 mg/kgBB. Pemberian diuretik tipe loop, yaitu furosemide dengan dosis 40-80 mg/kgBB jika terjadi sesak akibat udem paru.
8. Bagaimana penatalaksanaan DD dan DS! a. Sindrom Nefrotik Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengobati edema, dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam (sekitar 2 gram natrium per hari) dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat
dikombinasikan dengan tiazid, metalozon, dan/atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi resiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein, 0.8-1.0 g/kgBB/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II reseptor antagonist) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam mengurangi proteinuria. Jika terjadi trombosis, dapat diberikan heparin dilanjutkan dengan warfarin selama pasien masih dalam keadaan nefrotik. Beberapa bukti klinis dalam populasi menyokong suatu pendapat bahwa perlunya mengontrol keadaan dislipidemia pada kasus SN. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserid,
dan
meningkatkan
kolesterol
HDL.
b. GNAPS (Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus) 1. Istirahat Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut, tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan seperti sebelum sakit. Lamanya perawatan bergantung keadaan penyakit. 2. Diet Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat, diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5 – 1,0 gr/kgBB/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5 – 1 gr/kgBB/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik terutama pada penderita anuria dan oliguria, yaitu jumlah cairan yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran. 3. Antibiotik Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan untuk eradikasi kuman, yaitu Amoksisilin 50mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika
terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi eritromisin dosis 30mg/kgBB/hari.
c. Kwashiorkor
Pengobatan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit Rehidrasi oral dengan Resomal, secara parenteral hanya pada dehidrasi berat atau syok.
Atasi/cegah hipoglikemia GDA < 50mg/dl → 50 ml D10% bolus IV → evaluasi tiap 2 jam beri makanan tiap 2 jam.
Atasi gangguan elektrolit Beri cairan rendah Na (resomal) Makanan rendah garam
Atasi/cegah dehidrasi Penilaian dehidrasi denyut nadi, pernafasan, frekuensi kencing, air mata. Cairan resomal peroral 5 ml/kgbb
Atasi/cegah hipotermi Suhu < 36° hangatkan, berikan makanan tiap 2 jam
Antibiotika sebagai pengobatan pencegahan infeksi: a. Bila tidak jelas ada infeksi, berikan kotrimoksasol selama 5 hari. b. Bila infeksi nyata: Ampisilin IV selama 2 hari, dilanjutkan dengan oral sampai 7 hari, ditambah dengan gentamisin IM selama 7 hari.
Mulai pemberian makanan Fase awal faali hemostasis kurang jadi harus hati-hati. Pemberian porsi kecil, sering, rendah laktosa oral nasogastrik. Kalori 80-100 kal?Kgbb/ hari, cairan 130 ml/hari.
Atasi penyakit penyerta yang ada sesuai pedoman Bila ada ulkus di mata diberikan: - Tetes mata chloramphenicol atau salep mata tetracycline, setiap 2-3 jam selama 7-10 hari. - Teteskan tetes mata atropin, 1 tetes 3 kali sehari selama 3-5 hari.
- Tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan garam faali.
Dermatosis Dermatosis ditandai adanya hipo/hiperpigmentasi, deskwamasi (kulit mengelupas), lesi ulcerasi eksudatif, menyerupai luka bakar, sering disertai infeksi sekunder, antara lain oleh Candida. Tatalaksana: - Kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KmnO (kaliumpermanganat) 1% selama 10 menit. - Beri salep atau krim (Zn dengan minyak katsor). - Usahakan agar daerah perineum tetap kering. - Umumnya terdapat defisiensi seng (Zn): beri preparat Zn peroral. - Beri Mebendazole 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau preparat antelmintik.
Diare melanjut Diobati bila hanya diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan umum. Berikan formula bebas/rendah lactosa. Sering kerusakan mukosa usus dan Giardiasis merupakan penyebab lain dari melanjutnya diare. Bila mungkin, lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik. Beri: Metronidazole 7,5 mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari.
Tuberkulosis Pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberkulin/mantoux (seringkali alergi) dan Ro-foto toraks. Bila positif atau sangat mungkin TB, diobati sesuai pedoman pengobatan TB. Vitamin A (dosis sesuai usia, yaitu <6 bulan : 50.000 SI, 6-12 bulan : 100.000 SI, >1 tahun : 200.000 SI) pada awal perawatan dan hari ke-15 atau sebelum pulang. Multivitamin-mineral, khusus asam folat hari pertama 5 mg, selanjutnya 1 mg per hari. Tindakan kegawatan :
-
Syok (renjatan) Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit membedakan keduanya secara klinis saja. Syok karena dehidrasi akan membaik dengan cepat pada pemberian cairan intravena, sedangkan pada sepsis tanpa dehidrasi tidak akan membaik dengan cepat. Hati-hati terhadap terjadinya overhidrasi. Pedoman pemberian cairan: Berikan larutan dextrosa 5% : NaCl 0.9% (1:1) atau larutan ringer dengan kadar dextrosa 5% sebanyak 15 ml/KgBB dalam satu jam pertama. Evaluasi setelah 1 jam:
a)
Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernafasan) dan status hidrasi, maka syok disebabkan dehidrasi. Ulangi pemberian cairan seperti di atas untuk 1 jam berikutnya, kemudian lanjutkan
dengan
pemberian
Resomal/penggantil,
per
oral/nasogastrik, 10 ml/kgBB/jam selama 10 jam, selanjutnya mulai berikan formula khusus (-75/pengganti). b)
Bila tidak ada perbaikan klinis maka anak menderita syok septik. Dalam hal ini, berikan cairan rumat sebanyak 4 ml/kgBB/jam dan berikan transfusi darah sebanyak 10 ml/kgBB secara perlahan-lahan (dalam 3 jam). Kemudian mulailah pemberian formula (F75/pengganti).
Anemia berat Tranfusi darah diperlukan bila: a) Hb < 4 g/dl b) Hb 4-6 g/dl disertai distress pernafasan atau tanda gagal jantung c) Tranfusi darah:
Berikan darah segar 10 ml/kgBB dalam 3 jam Bila ada tanda gagal jantung, gunakan ‘packed red cells’ untuk transfusi dengan jumlah yang sama.Beri furosemid 1 mg/kgBB secara i.v pada saat transfusi dimulai.
Perhatikan adanya reaksi tranfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok). Bila pada anak dengan distres nafas setelah transfusi Hb tetap < 4 g/dl atau antara 4-6 g/dl, jangan ulangi pemberian darah.
Berikan stimulasi sensorik dan dukungan emosional Kasih sayang, lingkungan yang ceria, bermain.
Tindak lanjut di rumah Beri makanan sering energi dan protein padat.
DAFTAR PUSTAKA Sherwood, L. 2015. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem, Edisi 8. Jakarta : EGC. Tanto, Chris. 2016. Kapita Selekta Kedokteran Edisi4. Jakarta : Media Aesculapius. Purnomo, Basuki B. 2016. Dasar-dasar Urologi, Edisi 3. Jakarta : IKAPI Setiati, Siti. 2017. Panduan Sistemis Untuk Diagnosis Fisis Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Komperhensif. Jakarta pusat : Interna Publishing