LAPORAN TUTORIAL GASTROENTEROHEPATOLOGI MODUL KULIT KUNING
KELOMPOK 5 1.
Wd. Nurfadillah Silo (K1A1 15 122)
2.
Apriani Sumarto Rumansara (K1A1 14 124)
3.
Astrid Nabila (K1A1 15 008)
4.
Karwika Dwi Saputri Nurdin ( K1A1 16 007 )
5.
Nur Afiyat (K1A1 16 044)
6.
Gusti Ayu Kumala Dewi ( K1A1 16 046)
7.
Nur Inayatul Isra Ahmad ( K1A1 16 048)
8.
Anisa Luthfia (K1A1 16 113)
9.
Muhammad Junaid Azis ( K1A1 16 114)
10. Sri Meutia Wahyu Ningsih ( K1A1 16 116) 11. Ayu Amelia Anzar ( K1A1 16 118)
NAMA TUTOR : dr. Inez Tieneke Hasuba
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2018
A. Skenario Seorang laki-laki 35 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan utama kulit berwarna kuning. Keadaan tersebut dialami sejak 1 bulan yang lalu disertai dengan keluhan rasa penuh pada ulu hati, mual, tidak nafsu makan, demam, nyeri kepala, dan badan terasa lemah, 2 hari sebelum masuk RS penderita mengeluhkan mata kuning dan buang air kecil yang berwarna coklat seperti teh. Penderita belum buang air besar selama 5 hari. Penderita memiliki kebiasaan minum beralkohol. B. Kata Sulit
Demam Demam adalah peningkatan temperatur tubuh di atas normal (37 oC) (Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 29).
Mual Mual adalah sensasi tidak menyenangkan yang samar pada epigastrium dan abdomen dengan kecenderungan untuk muntah (Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 29).
C. Kalimat Kunci 1. Laki-laki 35 tahun 2. Kulit berwarna kuning sejak 1 bulan lalu 3. Keluhan rasa penuh pada ulu hati, mual, tidak nafsu makan, demam, nyeri kepala, badan lemas 4. Dua hari sebelumnya mata kuning dan dan buang air kecil coklat seperti teh 5. Belum buang air besar selama 5 hari 6. Riwayat konsumsi alkohol D. Pertanyaan 1. Jelaskan anatomi, histologi, dan fisiologi organ terkait!
2. Bagaimana fungsi dan mekanisme pembentukan bilirubin di hati dan sistem biliaris? 3. Jelaskan mekanisme pembentukan batu empedu! 4. Jelaskan pengertian, klasifikasi, dan derajat ikterus! 5. Bagaimana epidemiologi ikterus? 6. Jelaskan patomekanisme tiap gejala dari skenario! 7. Sebutkan penyakit-penyakit yang mempunyai gejala kulit kuning! 8. Jelaskan hubungan kebiasaan minum alkohol dengan keluhan yang dialami! 9. Jelaskan langkah-langkah diagnosis pada skenario! 10. Jelaskan differential diagnosis dan diagnosis sementara dari kasus!
E. Jawaban Pertanyaan 1.
Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Hepar
a. Anatomi Hepar Merupakan organ yang terbesar di dalam tubuh manusia. Warna coklat kemerah-merahan, konsistensi padat dan mengandung banyak pembuluh darah. Berat hepar kira-kira 1/50 berat badan; pada pria berat 1,4 – 1,6 kg dan pada wanita 1,2 – 1,4 kg. Ukuran hepar dalam arah transversal kira-kira 20 – 22,5 cm, arah vertical 15 – 17,5 cm [di bagian lateral], dan ukuran antero-posterior kurang lebih 10 – 12,5 cm.Hepar dibungkus oleh capsula Glissoni, yaitu suatu jaringan ikat yang transparan.
o
Morfologi Hepar
mempunyai
bentuk
hemisphere
dan
irregular,
serta
mempunyai permukaan yang rata. Mempunyai facies diaphragmatica yang konveks dan facies visceralis yang konkaf. Hepar terdiri dari dua buah lobi, yang dipisahkan oleh incisura umbilicalis [ligamentum falciforme hepatis] dan fossa sagittalis sinistra menjadi lobus hepatis dexter dan lobus hepatis sinister. -
Lobus Hepatis Dexter Lobus hepatis dexter mempunyai ukuran yang lebih besar daripada lobus hepatis sinister, yaitu kira-kira 5/6 bagian dari seluruh hepar. Fossa sagitalis sinistra terdiri atas :
fossa ductus venosi [ di dorso – cranial ] ;
fossa venae umbilicalis [ di ventro – caudal ].
Pada facies visceralis [ = facies postero – inferior ] terdapat dua fossae, yaitu :
1) fossae vesicae felleae, yang ditempati oleh vesica fellea ;
2) fossae venae cavae, yang ditempati oleh vena cava inferior. Kedua fossae tersebut, bersama-sama membentuk fossa sagitalis dextra. Di antara kedua fossae sagitalis sinistra dan fossa sagitalis dextra terdapat suatu cekungan, letak melintang, disebut porta hepatis, yang membagi dua lobus hepatis dexter, di antara kedua fossa tersebut tadi, menjadi dua buah lobi yang lebih kecil. Dengan demikian di antara kedua fossae sagitalis tadi tampak suatu bangunan berbentuk huruf “ H “ oleh adanya porta hepatis. Kedua lobi yang dimaksud adalah : 1) lobus quadratus hepatis ; 2)
lobus caudatus hepatis. Lobus quadratus hepatis terletak pada facies inferior lobus hepatis dexter, dibatasi di :
depan oleh margo anterior hepatis,
dorsal oleh porta hepatis
di bagian sinister oleh fossa venae umbilicalis
di sebelah kanan oleh fossa vesicae felleae. Pada lobus ini terdapat suatu cekungan, yang dibentuk oleh pars
pylorica ventriculi dan pars superior duodeni, dan disebut impressio duodeni lobi quadrati. -
Lobus caudatus hepatic Lobus ini berada pada facies posterior lobus hepatis dexter setinggi vertebra Thoracalis 10 – 11, dan dibatasi di :
ventro-caudal oleh porta heaptis,
kanan oleh fossa venae cavae,
kiri oleh fossa ductus venosi. Lobus ini mempunyai tonjolan yang berjalan agak ke antero-lateral,
yang memisahkan fossa venae cavae dan fossa vesicae felleae, tonjolan itu dinamakan processus caudatus. Di sebelah kiri dari processus caudatus, berbatasan dengan porta hepatis dan fossa ductus venosi, terdapat processus papillaris, suatu tonjolan kecil.
-
Lobus hepatis sinister Bentuknya jauh lebih kecil daripada lobus hepatis dexter, lebih pipih dan hanya kira-kira 1/6 dari hepar keseluruhan. Lokalisasi di dalam regio epigastrium dan sedikit di dalam regio hypochondrium sinistrum. Facies superior sedikit konveks. Permukaannya luas dan dibagi menjadi :
-
facies diaphragmatica
facies visceralis hepatis.
Facies diaphragmatica hepatis Facies ini berbatasan langsung dengan diaphragma thoracis, berbentuk konveks dan luas. Terbagi menjadi facies anterior dan facies superior, namun batasnya tidak jelas, dan disebut facies antero-superior Facies anterior, berbatasan dengan facies inferior dari facies visceralis hepatis berupa suatu tepi yang tajam, disebut margo anterior hepatis. Pada facies anterior ini terdapat perlekatan dari ligamentum falciforme hepatis, yang membagi hepar menjadi dua buah lobi. Pada margo anterior di sebelah kanan terdapat suatu cekungan, yang ditempati oleh fundus vesica fellea. Facies superior, bagian tengahnya berbentuk konkaf, merupakan suatu cekungan, disebut impressio cardiaca, yang ditempati oleh ventriculus dexter cordis. Ada bagian yang tidak ditutupi oleh peritoneum viscerale, disebut pars affixa hepatis.
-
Facies visceralis hepatis Berbatasan langsung dengan viscera abdominis lainnya di dalam cavum abdominis, terdiri dari dua buah permukaan, sebagai berikut :
facies posterior,
facies inferior. Kedua facies tersebut tidak mempunyai batas yang jelas, dan facies
visceralis ini disebut juga facies postero-inferior.
Facies posterior di bentuk sebagian besar oleh lobus hepatis dexter dan sebagian kecil oleh lobus hepatis sinister, berbentuk mirip segitiga. Bentuknya tampak agak konkaf oleh karena berbatasan dengan columna vertebralis. Sebagian besar facies posterior tidak ditutupi oleh peritoneum viscerale dan bersama-sama dengan bagian yang tidak ditutupi pula oleh peritoneum viscerale pada facies superior hepatis membentuk pars affixa hepatis. Pada facies posterior ini terdapat suatu cekungan yang dinamakan fossa venae cavae, ditempati oleh vena capa inferior. Di sebelah kanan fossa tersebut, terdapat suatu cekungan yang berbatasan dengan glandula suprarernalis dexter, disebut impressio suprarenalis. Pada facies posterior ini terdapat lobus caudatus hepatis [spigeli], yang di sebelah kirinya terdapat cekungan, disebut fossa ductus venosi, ditempati oleh ligamentum venosum Arantii. Pada fossa ductus venosi terdapat perlekatan dari ligamentum hepato gastricum. Di sebelah kiri fossa ductus venosi, pada lobus hepatis sinister, terdapat impressio oesophagea, ditempati oleh oesophagus pars abdominalis. Facies inferior, menghadap ke arah caudo – ventral dan berbatasan dengan facies anterior membentuk margo anterior hepatis. Pada facies inferior terdapat : 1. Impressio colica, ditempati oleh flexura coli dextra dan sebagian colon transversum, 2. Impressio renalis, ditempati oleh polus superior ren dexter, 3. Impressio duodenalis, ditempati oleh pars inferior duodeni, 4. Fossa vesicae felleae, ditempati oleh fundus vesicae felleae, 5. Fossa venae umbilicalis, ditempati oleh ligamentum teres hepatis yang merupakan sisa dari vena umbilicalis sinistra; fossa venae umbilicalis berada di bagian kiri dari lobus hepatis dexter. Di antara fossa vesicae felleae dan fossa venae umbilicalis terdapat lobus quadratus hepatis. Di antara lobus quadratus dan lobus caudatus hepatis terdapat porta hepatis, yang merupakan pintu tempat keluar masuknya struktur ke dan dari hepar, yaitu :
vena portae dan cabang-cabangnya [ramus dexter et sinister],
ductus cysticus, ductus hepaticus dan ductus chelodochus,
arteria hepatica propria dextra dan arteria hepatica sinistra,
nervus dan pembuluh lymphe. Pada lobus sinister terdapat suatu cekungan yang besar, yang
berhubungan dengan gaster, disebut impressio gastrica. Di sebelah kanannya dekat pada fossa sagitalis sinistra terdapat tonjolan yang dinamakan tuber omentale. Pada bagian margo posterior lobus hepatis sinister terdapat appendix fibrosa hepatis, jaringan ikat yang merupakan sisa dari jaringan hepar pada masa embryonal. o VASCULARISASI HEPAR Hepar mendapat circulasi darah dari arteria hepatica, vena portae dan vena hepatica. Circulasi ini disebut circulasi portal. 1) Arteri hepatica communis Merupakan cabang dari arteria coeliaca, berjalan ke ventral agak ke kanan pada margo superior pancreatic di sebelah dorsal pars superior duodeni. Kemudian arteri ini membelok dan masuk ke dalam ligamentum hepatoduodenale di bagian caudal foramen epiploicum Winslowi, berjalan di dalam ligamentum ini bersama-sama denga ductus choledochus, vena porta, pembuluh lymphe dan serabut saraf menuju ke porta hepatis. Di dalam ligamentum heptoduodenale a.hepatica communis berada di sebelah anterior agak ke kiri dari ductus choledochus, dan berada di sebelah anterior vena porta. Sampai pada porta hepatis a.hepatica communis bercabang dua membentuk [a] arteria hepatica propria dextra dan [b] arteria hepatica propria sinistra. 2) Arteri hepatica propria dextra Arteri ini berjalan di sebelah ventral vena portae, kemudian menyilang ductus hepaticus communis, berjalan terus ke kanan dan sebelum masuk ke dalam lobus hepatis dexter memberi cabang a.cystica yang memberi suplai darah kepada vesica fellea.
3) Arteri hepatica propria sinister Arteri ini berjalan ke arah porta hepatis, berada di sebelah kiri ductus hepatis dexter, dan sebelum masuk ke dalam lobus hepatis sinister memberi cabang ke cranial dan caudal, serta memberi suplai darah untuk capsula Glissoni dan lobus caudatus. 4) Vena portae hepatis Berada setinggi vertebra lumbalis II. Dibentuk oleh persatuan vena mesenterica superior dengan vena lienalis. Berada di sebelah dorsal collum pancreatic, berjalan di sebelah dorsal pars superior duodeni, lalu berjalan ascendens masuk ke dalam ligamentum hepato duodenale. Di dalam lig.hepato duodenale vena portae berada di sebelah dorsal a.hepatica communis, sampai pada porta hepatis vena portae bercabang dua menjadi ramus dexter dan ramus sinister, dan bersama-sama dengan a.hepatica propria dexter dan a.hepatica propria sinister masuk ke dalam lobus hepatis dexter dan lobus hepatis sinister. 5) Vena hepatica Vena ini membawa darah dari hepar masuk ke dalam vena capa inferior. Terdiri dari upper group, tiga vena yang besar dan lower group, yang jumlahnya bervariasi dan ukurannya lebih kecil. o Lymphonodus Hepar merupakan organ yang mempunyai sistema lymphatica yang terbesar dibandingkan dengan viscera abdominis lainnya. Diperkirakan ¼ ½ cairan lymphe yang berada di dalam ductus thoracicus berasal dari hepar. Terdiri dari kelompok superficial dan profunda. 1) Kelompok superficialis, berasal dari bagian subserosa hepar, meliputi 3 bagian, yaitu :
Pada facies inferior dan facies anterior hepatis. Sebagian besar dari bagian ini mengalir menuju ke lymphonodi hepatici, dan sebagian kecil [ dari lobus hepatis sinister ] mengalir menuju ke lymphonodi gastrici superiores, dan seterusnya menuju ke lymphonodi coeliaci, selanjutnya ke cysterna chili.
Pada facies superior dan facies posterior aliran lymphe menuju ke lymphonodi para aortici [ sekitar vena cava inferior ], selanjutnya menuju ke lymphonodi sternalle [ terletak di sebelah dorsal processus xiphoideus ] yang membawa cairan lymphe dari daerah pars affixa hepatis pada facies superior hepatis.
Pada facies posterior sebagian menuju ke lymphonodi coeliaci, seterusnya ke cisterna chili.
2) Kelompok profunda, sebagian besar menuju ke lymphonodi hepatici, lalu menuju ke lymphonodi coeliaci, selanjutnya ke cisterna chili. Sebagian kecil saja yang menuju ke lymphonodi para aortici, selanjutnya ke lymphonodi coeliaci, terus ke cisterna chili.
o INNERVASI HEPAR Hepar mendapatkan innervasi dari ; a) Nn.splanchnici Innervasi ini bersifat sympathis untuk pembuluh darah di dalam hepar. Diperoleh melalui plexus coeliacus dan merupakan serabut-serabut postganglioner. b) N.vagus dexter et sinister Bersifat parasympathis, berasal dari chorda anterior dan chorda posterior nervi vagi.
Chorda anterior [ dari N.vagus sinister ], mengikuti a.gastrica dexter masuk ke dalam ligamentum hepatoduodenale, mencapai porta hepatis. Sebagian serabut chorda anterior tidak melalui plexus coeliacus dan sebagian lagi mengikuti percabangan plexus coeliacus, masuk ke dalam ligamentum hepatoduodenale, dan berakhir pada hepar ;
Chorda posterior [ dari N.vagus dexter ], setelah mempersarafi gaster lalu
masuk
plexus
coeliacus,
lalu
mengikuti
ligamentum
hepatoduodenale menuju ke porta hepatis, memberi rami hepatici.
c) N.phrenicus dexter Setelah masuk ke dalam cavum abdominis, lalu menuju ke plexus coeliacus, mengikuti ligamentum hepatoduodenale, mencapai porta hepatis. Nervus ini bersifat viscero-afferent untuk ligamentum falciforme hepatis, lig.coronarium hepatis, lig.triangulare hepatis dan capsula Glissoni. Semua serabut saraf tersebut tadi membentuk plexus hepaticus anterior dan plexus hepaticus posterior, dalam hal ini turut dibentuk oleh serabut-serabut dari plexus coeliacus dexter et sinister. -
Apparatus Excretorius Hepatis Terdiri dari :
a. Vescira fellea b. Ductus cysticus c. Ductus hepaticus d. Ductus Choledochus
Vesica Fellea (Gallbladder) Vesica fellea merupakan suatu kantong berbentuk memanjang, berjalan dari caudo-anterior pada fossa vesica fellea ke cranio-posterior sampai porta hepatis. Mempunyai dua facies, yaitu facies anterior yang berhubungan dengan dasar fossa vesica fellea, dan facies posterior yang ditutupi oleh peritoneum.
Morfologi vesica fellae terdiri dari corpus, collum dan fundus. Fundus vesica fellea terletak pada tepi costa 8 – 9 dexter, di sebelah lateral m.rectus abdominis, yaitu pada arcus costarum dexter. Berbatasan di dorso-caudal dengan colon transversum dan pars descendens duodeni. Mucosa vesica fellea berlipat-lipat membentuk villi, disebut plicae tunicae mucosae. Kadang-kadang fundus vesica fellea seluruhnya dibungkus oleh peritoneum sehingga seakan-akan mempunyai mesenterium, dan kelihatan fundus tergantung pada hepar. -
Vascularisasi
: a.cystira, suatu cabang dari a.hepatica propria
dexter; vena cystica bermuara ke dalam ramus dexter yang portae. -
Innervasi
: cabang-cabang dari plexus coeliacus.
-
Lymphe drainage
: menuju ke lymphonodi hepatici.
o Ductus Cysticus
Merupakan lanjutan dari vesica fellea, terletak pada porta hepatis. Panjangnya kira-kira 3 – 4 cm. Pada porta hepatis ductus cysticus mulai dari collum vesicae fellea, kemudian berjalan ke postero-caudal di sebelah kiri collum vesicae felleae. Lalu bersatu dengan ductus hepaticus communis membentuk ductus choledochus. Mucosa ductus ini berlipat-lipat terdiri dari 3 – 12 lipatan, berbentuk spiral yang pada penampang longitudional terlihat sebagai valvula, disebut valvula spiralis [ Heisteri ]. o Ductus Hepaticus Ductus hepaticus berasal dari lobus dexter dan lobus sinister bersatu membentuk ductus hepaticus communis pada porta hepatis dekat pada processus papillaris lobus caudatus. Panjang ductus hepaticus communis kurang lebih 3 cm. Terletak di sebelah ventral a.hepatica propria dexter dan ramus dexter vena portae. Bersatu dengan ductus cysticus menjadi ductus choledochus. o Ductus Choledochus Mempunyai panjang kira-kira 7 cm, dibentuk oleh persatuan ductus cysticus dengan ductus hepaticus communis pada porta hepatis. Di dalam perjalanannya dapat di bagi menjadi tiga bagian, sebagai berikut : 1) bagian yang terletak pada tepi bebas ligamentum hepatoduodenale, sedikit di sebelah dextro-anterior a.hepatica communis dan vena portae; 2) bagian yang berada di sebelah dorsal pars superior duodeni, berada di luar lig.hepatoduodenale, berjalan sejajar dengan vena portae, dan tetap di sebelah dexter vena portae ; 3) bagian caudal yang terletak di bagian dorsal caput pancreatis, di sebelah ventral vena renalis sinister dan vena cava inferior. Pada caput pancreatis ductus choledochus bersatu dengan ductus pancreaticus Wirsungi membentuk ampulla, kemudian bermuara pada dinding posterior pars descendens duodeni membentuk suatu tonjolan ke dalam lumen, disebut papilla duodeni major. b. Fisiologi
Hepar
Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan memiliki berbagai fungsi, beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan. Hati terletak di bawah diafragma.Hati dibagi menjadi 2 lobus utama yaitu lobus kanan dan lobus kiri.Hati dihubungkan oleh rangkaian duktus.Bermula dari duktus hepatikus kanan dan kiri, lalu bergabung menjadi satu pada duktus hepatikus utama.Duktus hepatikus utama bergabung dengan duktus kistikus dari kandung empedu, keduanya membentuk duktus empedu.Duktus empedu menuju duodenum dan bermuara di ampula hepatopankreatikus bersama-sama dengan duktus pankreatikus. Hati menampilkan 7 fungsi pokok yaitu: 1) Menghasilkan garam empedu, yang digunakan oleh usus halus untuk mengemulsikan dan menyerap lipid 2) Menghasilkan antikoagulan heparin dan protein plasma seperti protrombin, fibrinogen, dan albumin 3) Sel-sel retikuloendotelial hati, memfagosit (memangsa) sel-sel darah yang telah rusak, juga bakteri
4) Menghasilkan enzim yang memecah racun atau mengubahnya menjadi struktur yang tak berbahaya. Sebagai contoh, ketika asam amino hasil pemecahan protein dipecah lagi menjadi energy, dihasilkan sampahsampah nitrogen beracun (misalnya ammonia) yang akan diubah menjadi urea. Selanjutnya urea dibuang melalui ginjal dan kelenjar keringat. 5) Nutrient yang baru diserap akan dikumpulkan di hati. Tergantung kebutuhan tubuh, kelebihan glukosa akan diubah menjadi glikogen atau lipid untuk disimpan. Sebaliknya hati juga dapat mengubah glikogen dan lipid menjadi glukosa kembali jika dibutuhkan. 6) Hati menyimpan glikogen, tembaga, besi, vitamin A, B12, D, E, dan K. Juga menyimpan racun yang tak dapat dipecah dan dibuang (misalnya DDT) 7) Hati dan ginjal berperan dalam aktivasi vitamin D.
Kandung Empedu
Kandung empedu (Bahasa Inggris: gallbladder) adalah organ berbentuk buah pir yang dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk proses pencernaan. Pada manusia, panjang kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm dan berwarna hijau gelap – bukan
karena warna jaringannya, melainkan karena warna cairan empedu yang dikandungnya. Organ ini terhubungkan dengan hati dan usus dua belas jari melalui saluran empedu. Bagian-bagian dari kandung empedu adalah: o Fundus vesika felea merupakan bagian kandung empedu yang paling akhir setelah korpus vesika felea o Korpus Vesika Felea merupakan bagian dari kandung yang di dalamnya berisi getah empedu. o Leher Kandung Kemih merupakan leher dari kandung empedu yaitu saluran pertama masuknya getah empedu ke kandung empedu. o Duktus sistikus memiliki panjang sekitar 33/4 cm berjalan dari leher kandung empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus ,membentuk saluran empedu ke duodenum. o Duktus Hepatikus merupakan saluran yang keluar dari leher o Duktus koledokus merupakan saluran yang membawa empedu ke duodenum. Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu: o Membantu pencernaan dan penyerapan lemak o Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama haemoglobin (Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol.
c. Histologi Merupakan kelenjar eksokrin (empedu) & endokrin (albumin, transferin) yang dibungkus kapsula Glisson (mesotel, jaringan ikat padat tidak beraturan, kolagen, elastin, fibroblas, pembuluh darah kecil). Hilus/porta
hepatis
(tempat
masuk
vasa,
pembuluh
limfatik,
saraf).Pembuluh darah aferen : Vena porta (darah dari sal cerna, 75%) & Arteri hepatika (25%) .Pembuluh darah eferen : sinusoid – vena sentralis – vena hepatica.
Darah kaya nutrien (vena porta) & darah kaya oksigen (A. hepatika) lewat kanalis porta – sinusoid - bercampur – hepatosit – sinusoid – vena sentralis o Fungsi hati: -
sekresi empedu
-
Pembentukan protein plasma (faktor koagulasi, albumin, lipoprotein), urea, asam amino
-
Timbunan glukosa (glikogen) dan lemak (trigliserida)
-
Glukoneogenesis
-
Detoksifikasi
-
Transfer Ig A
o Sel – sel dari hepar -
Sel parenkim hati,
-
Sel endotel sinusoid
-
Sel Kupffer (makrofag)
-
Fibroblastic fat—storing cells / Ito cells droplet lemak, menyimpan vit A)
o Lobulus – lobulus hati 1) Lobulus klasik, (fungsi endokrin) -
Bentuk heksagonal
pada Celah Disse (berisi
-
Pusatnya vena sentralis
-
Sudutnya kanalis portal (jar ikat, duktus biliaris, a. hepatia, vena porta)
2) Lobulus portal (fungsi eksokrin) -
Bentuk segitiga
-
Pusatnya duktus biliaris
3) Asinus hati (O2 & nutrient) -
Bentuk belah ketupat
-
Ujung nya adalah vena sentralis
-
Pusatnya aliran darah yang masuk
-
3 zona, (bedasar perubahan patologis)
2. Fungsi dan Mekanisme Pembentukan Bilirubin di Hati dan Sistem Biliaris Bilirubin suatu pigmen tetrapirol, adalah produk penguraian hem (feroprotoporfirin IX). Sekitar 70-80% dari 250-300mg biirubin yang diproduksi setaip hari berasal dari penguraian hemoglobin di sel darah merah yang sudah tua. Sisanya berasal dari sel eritroid yang mengalami
penghancuran premature di sumsum tulang dan dari perputaran hemoprotein misalnya mioglobin di sitokrom yang terdapat di jaringan di seluruh tubuh. Pembentukan bilirubin terjadi di retikuloendotel, terutama di limpa dan hati. Reaksi pertama, hemoglobin dikatalisis oleh enzim mikrosom hem oksigenase, secara oksidatif menguraikan jembatan α gugus porfirin dan membuka cincin hem. Produk akhir dari reaksi ini adalah biliverdin, karbon monoksida dan besi. Reaksi kedua biliverdin dikatalisis oleh enzim sitosol biliverdin m=reduktase, mereduksi jemabtan metilensentral biliverdin dan mengubahnya menjadi bilirubin. Bilirubin terbentuk di sel retikuloendotel pada hakikatnya tidak larut dalam air. Hal ini disebabkan oleh ikatan hydrogen internal yang kuat antara gugus larut-air bilirubin, gugus dengan asam imino dan laktam pada separuh lawannya. Konfigurasi ini menghambat akses pelarut ke residu hidropobik di bagian luar.bilirubin tak terkonjugasi yang terikat ke albumin diangkut ke hati tempat bilirubin, tetapi bukan albuminnya, diserap oleh hepatosit melalui suatu proses ynag paling tidak melibatkan transport membrane yang diperantarai oleh pangangkut. Setelah masuk ke hepatosit, bilirubin tak terkonjugasi terikat ke protein sitosol ligandin, atau glutation S-transferase B. sementara ligandin merupakan suatu protein transport, yang berperan meyanlurkan bilirubin tak terkonyugasi dari membrane plasma ke reticulum endoplasma. Kini perannya mungkin adalah mengurangi efluks bilirubin kembali ke plasma. Di reticulum endoplasma, bilirubin dilarutkan dengan berkonjugasi ke asam glukoronat, suatu proses yang merusak ikatan hydrogen internal dan ,menghasilkan bilirubin monoglukoronida dan diglukoronida. Konjugasi asam glukoronat ke bilirubin dikatalisis oleh bilirubin uridin difosfatglukoronosil transferase (UDPGTG). Bilirubin Konjugat yang kini hidrofilik berdifusi ke reticulum endoplasma ke membrane kanalikulus, tempat bilirubin monoglukoronida dan diglukoronida secara aktif dipindahkan ke dalam kanalikulus empedu oleh suatu mekanisme dependen-energi yang melibatkan protein resistensi obat multiple.
Bilirubin terkonjugasi dieksresikan ke dalam saluran empedu lalu ke duodenum mengalir tanpa berubah sepanjang usus halus prokimal. Bilirubin terkonjugasi tidak diserap oleh mukosa usus. Ketika mencapai ileum distal dan kolon, bilirubin terkonjugasi dihidrolisis menjadi bilirubin tak terkonjugasi oleh β-glukoronidase bakteri. Bilirubin tak terkonjugasi direduksi oleh bakteri usus normal untuk membentuk sekelompok tetrapitrol tak berwarna yang disebut urobilinogen. Sekitar 80-90% dari produk-produk ini dieksresikan dalam tinja, baik tanpa diubah maupun dioksidasi menjadi turunan oranye yang disebut utobilin. Sisa 10-20% urobilinogen diserap secara pasif, masuk ke darah vena porta, dan dire-ekspresikan oelh hati. Sebagian kecil (biasanya <3 mg/dl) lolos dari penyerapan hati, tersaring oleh glomerulus ginjal dan dieksresikan di urin. 3. Mekanisme Pembentukan Batu Empedu Batu
empedu
yang
ditemukan
pada
kandung
empedu
di
klasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan batu campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung >50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50% kolesterol), 10% sisanya adalah batu jenis pigmen
yang
mana
mengandung
<20%
kolesterol.
Faktor
yang
mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah keadaan stasis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan kosentrasi kalsium dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang terbentuk dalam kandung empedu, kemudian lama kelamaan tersebut bertambah ukuran, beragregasi, melebur dan membentuk batu. Mekanisme pembentukan batu kolesteraol
Tiga hal yang memudahkan terjadinya batu kolesterol di kandung empedu yaitu supersaturasi kolesterol, pembetukan inti kolesterol dan disfungsi kandung empedu. -
Supersaturasi kolesterol Secara normal, komposisi empedu terdiri atas 70 % garam empedu, 22% fosfolipid (terutama lesitin), 4% kolesterol, 3% protein, dan 0,3% bilirubin.
18
Terbentuknya batu empedu tergantung dari keseimbangan
kadar garam empedu, kolesterol dan lesitin. Semakin tinggi kadar kolesterol atau semakin rendah kandungan garam empedu, akan membuat kondisi di dalam kandung empedu jenuh akan kolesterol (supersaturasi kolesterol). Kolesterol disintesis dihati dan diekskresikan dalam bentuk garam empedu. Dengan meningkatnya sintesis dan sekresi kolesterol, resiko terbentuknya empedu juga meningkat. Penurunan berat badan yang terlalu cepat (karena hati mensintesis kolesterol lebih banyak), maka esterogen dan kontrasepsi (menurunkan sintesis garam empedu) menyebabkan supersaturasi kolesterol. -
Pembentukan inti kolesterol Nampaknya faktor pembentukan inti kolesterol mempunyai peran lebih
besar
dalam
proses
pembentukan
dibandingkan
faktor
supersaturasi. Kolesterol baru dapat dimetabolisme di dalam usus dalam bentuk terlarut air. Dan empedu memainkan peran tersebut. Kolesterol diangkut dalam bentuk misel dan vesikel. Misel merupakan agregat yang berisi fosfolipid (terutama lesitin), garam empedu dan kolesterol. Apabila saturasi kolesterol lebih tinggi, maka akan diangkut dalam bentuk vesikel. Vesikel ibarat sebuah lingkaran dua lapis. Apabila kosentrasi kolesterol sangat banyak, dan supaya kolesterol dapat terangkut, maka vesikel akan memperbanyak lapisan lingkarannya, sehingga disebut sebagai vesikel berlapis-lapis (vesicles multilamellar). Pada akhirnya, di dalam kandung empedu, pengangkut kolesterol, baik misel dan vesikel, akan bergabung menjadi vesikel multilapis. Vesikel ini dengan adanya protein musin akan membentuk Kristal kolesterol. Kristal kolesterol yang
terfragmentasi pada akhirnya akan di lem (disatukan) oleh protein empedu membentuk batu kolesterol. -
Penurunan fungsi kandung empedu Menurunnya kemampuan kontraksi dan kerusakan dinding kandung empedu, memudahkan seseorang menderita batu empedu. Kontraksi kandung empedu yang melemah akan menyebabkan stasis empedu. Stasis empedu akan membuat musin yang di produksi di kandung empedu terakumulasi seiring dengan lamanya cairan empedu tertampung dalam kandung empedu. Musin tersebut akan semakin kental dan semakin pekat sehingga semakin menyulitkan proses pengosongan cairan empedu. Bila daya kontraksi kandung empedu menurun dan di dalam kandung empedu tersebut sudah ada Kristal, maka Kristal tersebut tidak akan dapat dibuang keluar ke duodenum. Beberapa kondisi yang dapat menganggu daya kontraksi kandung empedu, yaitu hipomotilitas, parenteral total (menyebabkan aliran empedu menjadi lambat), kehamilan, cedera medulla spinalis dan diabetes melitus.
4. Pengertian, Klasifikasi, dan Derajat Ikterus Penimbunan
pigmen
empedu
dalam
tubuh
menyebabkan
perubahan warna jaringan menjadi kuning dan disebut sebagai ikterus. Ikterus biasanya dapat dideteksi pada sklera, kulit, atau urine yang menjadi gelap bila bilirubin serum mencapai 2 sampai 3 mg/dL. Tabel 5.1. Penilaian ikterus menurut Kramer Derajat Ikterus
Luas Ikte rus
Perkiraan Kadar Bilirubin
I
Kepala dan leher
5 mg/dL
II
Sampai badan atas (di atas umbilikus)
9 mg/dL
III
Sampai badan bawah (di bawah umbilikus)
11 mg/dL
hingga tungkai atas (di atas lutut) IV
Sampai lengan dan kaki di bawah lutut
12 mg/dL
V
Sampai telapak tangan dan kaki
16 mg/dL
Tabel 5.2. Klasifikasi ikterus Gambaran Warna kuning
Warna urine
Hemolitik Kuning pucat
Hepatoseluler
Obstruktif
Orange-kuning
Kuning-hijau
muda atau tua
muda atau tua
Normal (atau gelap
Gelap (bilirubin
Gelap (bilirubin
dengan
terkonjugasi)
terkonjugasi)
Normal atau gelap
Pucat (lebih sedikit
Warna dempul
(lebih banyak
sterkobilin)
(tidak ada
urobilinogen) Warna feses
sterkobilin)
sterkobilin)
Pruritus
Tidak ada
Tidak menetap
Biasanya menetap
Bilirubin serum
Meningkat
Meningkat
Meningkat
Normal
Meningkat
Meningkat
Bilirubin urine
Tidak ada
Meningkat
Meningkat
Urobilinogen
Meningkat
Sedikit meningkat
Menurun
indirek atau tak terkonjugasi Bilirubin serum direk atau terkonjugasi
urine
5. Epidemiologi Ikterus Secara epidemiologi, ikterus terjadi pada 1/2500 kelahiran hidup, dan daripada jumlah tersebut, sebanyak 68% adalah intrahepatik dan 32% adalah ekstrahepatik.dan dari sejumlah kasus ekstrahepatik pula, sebanyak 72%86% adalah kasus hepatitis neonatal, atresia biliaris dan defisiensi αlantitripsin (gangguan metabolisme).
6. Patomekanisme Gejala a. Nyeri kepala Pada nyeri kepala, sensitisasi terdapat di nosiseptor meningeal dan neuron trigeminal sentral. Fenomena pengurangan nilai ambang dari kulit dan kutaneus allodynia didapat pada penderita yang mendapat serangan migren dan nyeri kepala kronik lain yang disangkakan sebagai refleksi pemberatan respons dari neuron trigeminalsentral.3 lnervasi sensoris pembuluh darah intrakranial sebahagian besar berasal dari ganglion trigeminal dari didalam serabut sensoris tersebut mengandung neuropeptid dimana jumlah dan peranannya adalah yang paling besar adalah CGRP(Calcitonin Gene Related Peptide), kemudian diikuti oleh SP(substance P), NKA(Neurokinin A), pituitary adenylate cyclase activating peptide (PACAP) nitricoxide (NO), molekul prostaglandin E2 (PGEJ2) bradikinin, serotonin(5-HT) dan adenosin triphosphat (ATP), mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor2. Khusus untuk nyeri kepala klaster
clan
chronic
parox-ysmal
headache
ada
lagi
pelepasan
VIP(vasoactive intestine peptide) yang berperan dalam timbulnya gejala nasal congestion dan rhinorrhea.10,14 Marker pain sensing nerves lain yang berperan dalam proses nyeri adalah opioid dynorphin, sensory neuron-specific sodium channel(Nav 1.8), purinergic reseptors(P2X3), isolectin B4 (IB4) , neuropeptide Y , galanin dan artemin reseptor ( GFR∝3 = GDNF Glial Cell Derived Neourotrophic Factor family receptor-∝3). 29 Sistem ascending dan descending pain pathway yang berperan dalam transmisi dan modulasi nyeri terletak dibatang otak. Batang otak
memainkan peranan yang paling penting sebagai dalam pembawa impuls nosiseptif dan juga sebagai modulator impuls tersebut. Modulasi transmisi sensoris
sebahagian
besar
berpusat
di
batang
otak
(misalnya
periaquaductal grey matter, locus coeruleus, nukleus raphe magnus dan reticular formation), ia mengatur integrasi nyeri, emosi dan respons otonomik yang melibatkan konvergensi kerja dari korteks somatosensorik, hipotalamus, anterior cyngulate cortex, dan struktur sistem limbik lainnya. Dengan demikian batang otak disebut juga sebagai generator dan modulator sefalgi.25 Stimuli elektrode, atau deposisi zat besi Fe yang berlebihan pada periaquaduct grey(PAG) matter pada midbrain dapat mencetuskan timbulnya nyeri kepala seperti migren (migraine like headache).Pada penelitian MRI(Magnetic Resonance Imaging) terhadap keterlibatan batang otak pada penderita migren, CDH(Chronic Daily Headache) dan sampel kontrol yang non sefalgi, didapat bukti adanya peninggian deposisi Fe di PAG pada penderita migren dan CDH dibandingkan dengan kontrol.15 Patofisiologi CDH belumlah diketahui dengan jelas .Pada CDH justru yang paling berperan adalah proses sensitisasi sentral. Keterlibatan aktivasi reseptor NMDA(N-metil-DAspartat), produksi NO dan supersensitivitas akan menaikkan produksi neuropeptide sensoris yang bertahan lama. Kenaikan nitrit Likuor serebrospinal
ternyata
bersamaan
dengan
kenaikan
kadar
cGMP(cytoplasmic Guanosine Mono phosphat) di likuor. Kadar CGRP, SP maupun NKA juga tampak meninggi pada likuor pasien CDH.26 Reseptor opioid di down regulated oleh penggunaan konsumsi opioid analgetik yang cenderung menaik setiap harinya. Pada saat serangan akut migren, terjadi disregulasi dari sistem opoid endogen, akan tetapi dengan adanya analgesic overusedmaka terjadi desensitisasi yang berperan dalam perubahan dari migren menjadi CDH.15 Adanya inflamasi steril pada nyeri kepala ditandai dengan pelepasan kaskade zat substansi dari perbagai sel. Makrofag melepaskan sitokin lL1 (Interleukin .1), lL6 dan TNF∝ (Tumor Necrotizing Factor ∝) dan NGF (Nerve Growth Factor). Mast
cellmelepas/mengasingkan metabolit histamin, serotonin, prostaglandin dan arachidonic acid dengan kemampuan melakukan sensitisasi terminal sel saraf. Pada saat proses inflamasi, terjadi proses upregulasi beberapa reseptor
(VR1,
sensory
specific
sodium/SNS,
dan
SNS-2)dan
peptides(CGRP, SP) b. Mual Beberapa rangsangan yang dapat
menimbulkan rasa mual ,
diantaranya ialah : rasa nyeri dalam perut , rangsangan labirin , daya ingat yang tak menyenangkan. Umumnya letak yang tepat dari impuls rangsangan yang tak diketahui dengan pasti .perasaan mual umunya disertai dengan timbulnya hipersalivasi. Selama ada rasa mual , tonus lambung menurun, begitu juga peristaltik lambung berkurang bahkan menghilang. Sebaliknya tonus duodenum dan jejenum bagian proksimal menaik, sehingga timbul refluks isi duodenum kedalam lambung c.
Mata Kuning - Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi
bilirubin.
Penghancuran
eritrosit
yang
menimbulkan
hiperbilirubinemia paling sering akibat hemolisis intravaskular (kelainan autoimun, mikroangiopati atau hemoglobinopati) atau akibat resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi/indirek melampaui kemampuan sel hati. Akibatnya bilirubin indirek meningkat dalam darah. Karena bilirubin indirek tidak larut dalam air maka tidak dapat diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Tetapi pembentukkan urobilinogen meningkat yang mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam urine feces (warna gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik : hemoglobin abnormal (cickle sel anemia), kelainan eritrosit (sferositosis heriditer),
antibodi serum (Rh. Inkompatibilitas transfusi), dan malaria tropika berat. o Hiperbilirubinemia konjugasi/direk Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu. Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan dengan : Hepatitis, sirosis hepatis, alkohol, leptospirosis, kolestatis obat (CPZ), zat yg.meracuni hati fosfor, klroform, obat anestesi dan tumor hati multipel. Ikterus pada trimester terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma Dubin Johnson dan Rotor, ikterus pasca bedah. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang akolik. Penyebab tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah : -
Obstruksi sal.empedu didalam hepar
-
Sirosis hepatis,
-
abses hati,
-
hepatokolangitis,
-
tumor maligna primer dan sekunder.
-
Obstruksi didalam lumen sal.empedu : batu empedu, askaris
-
Kelainan di dinding sal.empedu : atresia bawaan, striktur traumatik, tumor saluran empedu.
-
Tekanan dari luar saluran empedu : Tumor caput pancreas, tumor Ampula
Vatery,
pancreatitis,
metastasis
tumor
di
lig.hepatoduodenale d. Urin berwarna teh tua Sedangkan warna urin seperti air teh (merah kecoklatan) bisa karena adanya peningkatan bilirubin dan urobilinogen. Adanya bilirubin
menunjukkan kerusakan (sumbatan) pada saluran kanalikuli biliaris sehingga bilirubin tak bisa keluar, yang akhirnya mengalir masuk ke pembuluh darah menuju ginjal. Adanya urobilinogen dalam urin menunjukkan urin normal tapi karena kadarnya yang meningkat sehingga terjadi oksidasi berlebih yang akhirnya urin menjadi merah kecoklatan. e. Tidak nafsu makan Salah satu penyebabnya bisa dikarenakan terjadinya ikterus hepatoseluler dan meningkatkan produksi bilirubin atau hiperbilirubinemia sehingga sekresi sekretin dan kolesistokinin meningkat yang menyebabkan penurunan tekanan sfingter esofagus bagian bawah, peningkatan motilitas duodenum serta motilitas lambung berkurang. Efek dari hal tersebut adalah refluks isi lambung yang asam melewati esofagus padahal epitel dari esofagus tidak dipersiapkan untuk menahan asam sehingga terjadi iritasi dari lapisan mukosa esofagus. Refluks dari isi lambung ke esofagus mencetus pusat mual muntah di bagian otak untuk memberikan respon mual. Ketika refluks sampai ke mulut dan akhirnya dikeluarkan juga merangsang nervus vagus di sepanjuang esofagus dan bisa terjadi muntah. Maka dari itu umumnya menimbulkan gangguan makan. f. Badan lemas Karena metabolisme
adanya
kerusakan
bilirubin
Terganggunya
fungsi
meningkatkan
glukosa
fungsi
hati,
(hiperbilirubinemia) metabolik, dalam
penurunan darah
terjadi
penurunan
menimbulkan
ikterus.
metabolisme
glukosa
(hiperglikemia),
penurunan
metabolisme lemak sehingga pemecahan lemak menjadi energi tidak ada akibatnya terjadi keletihan.
7.
Penyakit-Penyakit yang Mempunyai Gejala Kulit Kuning - Ikterus hemolitik (pra hepatik) Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan ikterus hemolitik yaitu anemia sel sabit, sferositosis herediter (SDM abnormal), anemia pernisiosa,
talasemia, malaria.Transfusi darah juga dapat menyebabkan ikterus hemolitik bila terjadi inkompatibilitas transfusi. - Ikterus hepatoseluler (inta hepatik) Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan ikterus hepatoseluler yaitu hepatitis (termasuk hepatitis alkoholik, hepatitis autoimun), sirosis hepatis, leptospirosis, karsinoma hepar, pemakaian obat-obatan tertentu (seperti isoniazid, diklofenak, lovastatin yang menyebabkan gangguan transport bilirubin; asetaminofen (paracetamol), penisilin, kontasepsioral, estrogen, steroid anabolik yang menyebabkan hepatitis imbas obat), Sindrom Gilbert, Sindrom Cringle-Najjar, Sindrom Dubin-Johnson, Sindrom Rotor, sirosis bilier. - Ikterus obstruktif (post hepatik) Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan ikterus obstruktif yaitu atresia bilier, kolelitiasis, karsinoma kaput pankreas, karsinoma ampula Vateri, pankreatitis, kanker vesica vellea.
8. Hubungan Kebiasaan Minum Alkohol dengan Gejala Hepar adalah organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di dalam tubuh. Organ hati terlibat dalam metabolisme zat makanan
serta
mendetoksifikasi
sebagian besar obat dan zat
kimia
yang
toksikan dan juga untuk
tidak berguna/merugikan
tubuh,
termasuk alkohol/etanol. Yang bertanggung jawab terhadap peran sentral hati
dalam metabolisme adalah hepatosit.
Konsumsi alkohol kronis
mengakibatkan berbagai gangguan hati yaitu: steatosis hati (perlemakan hati) (80%), steatohepatitis alkoholik
(10-35%), sirosis (10%),
dan
karsinoma hepatoselular. Pada konsumsi alkohol kronis terjadi peningkatan
permeabilitas
usus sehingga endotoksin usus mudah masuk ke aliran darah yang kemudian dapat mengaktifkan sel Kupffer. Bila teraktivasi, sel Kupffer akan
memproduksi berbagai sitokin, salah satunya yang sangat penting
yaitu TNF-α, dan reactive oxygen species; keduanya merupakan pemicu berbagai jenis proses inflamasi pada hati. Peningkatan radikal bebas akibat pemberian
alkohol
akan
mengaktifkan
nuclear
factor
yang
akan
meningkatkan tumor necrosis factor (TNF alfa) yang berperan terhadap nekrosis dan inflamasi pada hati. Bila terpapar etanol baik akut maupun kronis TNF-α dapat meningkatkan pembentukan ROS di mitokondria hepatosit
melalui
rantai
transpor elektron
sehingga memperparah
kerusakan jaringan hati. Penyebab ikterus dapat dibagi kepada tiga fase yaitu, fase ikterus prahepatik, ikterus postheatik, dan ikterus intrahepatik. Hubungan gejala penyakit kuning dengan kebiasaan meminum alkohol dapat dijelaskan pada fase ikterus intrahepatik yang diakibatkan oleh Kerusakan sel hati dan biasa terjadi pada keadaan: hepatitis, sirosis hepatic, tumor, bahan kimia, dll. Ikterus jenis ini terjadi di dalam hati karena penurunan pengambilan dan konjugasi oleh hepatosit sehingga gagal membentuk bilirubin terkonjugasi. Kegagalan tersebut disebabkan rusaknya sel-sel hepatosit, hepatitis akut atau kronis dan pemakaian obat yang berpengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel hati. Gangguan konjugasi bilirubin dapat disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil transferase sebagai katalisator. Kerusakan sel hati menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu sehingga bilirubin direk akan meningkat dan juga menyebabkan bendungan di dalam hati sehingga bilirubin darah akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam aliran darah. Bilirubin direk ini larut dalam air sehingga mudah di ekskresikan oleh ginjal kedalam air kemih. Adanya sumbatan intrahepatik akan menyebabkan penurunan ekskresi bilirubin dalam saluran pencernaan yang kemudian
akan
menyebabkan
sterkobilinogen menurun.
9. Langkah-Langkah Diagnosis
tinja
berwarna
pucat,
karena
a. Langkah-Langkah Diagnosis Umum Sistem Gastroenterohepatologi 1) Anamnesis
Identitas pasien
Keluhan utama
Onset
Gejala lain yang berhubungan
Menggali riwayat penyakit dahulu dan sekarang yang berkaitan diantaranya riwayat kebiasaan dan riwayat keluarga
2) Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
-
Periksa rambut, konjungtiva, sklera dan kulit
-
Kulit thoraks, kontur abdomen, kontur usus, skar, kongesti vena, peristaltik usus yang tampak atau adanya massa.
-
Auskultasi
Dengan menggunakan membran stetoskop diatas mid abdomen untuk mendengarkan bising usus.
-
Bruit dari karsinoma pankreas dikiri regio epigastrium
-
Pemeriksaan khusus asites : pudle sign, shifting dullness, dan fluid wave
-
Palpasi Palpasi abdomen dengan ringan denga jari-jari adduksi kedalaman 1
cm, dan palpasi dalam dengan kedalaman 4-5 cm tujuan untuk menemukan struktur dibawahnya. -
Menilai ekspresi wajah pasien
-
Palpasi kuadran kiri abdomen. Untuk menemukan palpable lien (dengan metode schuffner dan metode hacket) dan ginjal kiri, normal tidak ditemukan massa.
-
Palpasi kuadran kanan abdomen, untuk menemukan palpable hepar, ginjal kanan
-
Apabila ditemukan massa pada abdomen dilakukan penilaian : lokasi, ukuran, besar, keknyalan, mobilitas dan pulsasi.
Perkusi
-
Perkusi pada ke empat kuadran abdomen.
-
Perkusi batas paru hepar digaris midklavikula kanan dimulai dari ICS II kebawah.
-
Untuk menentukan lokasi dan ukuran hepar.
b. Langkah-Langkah Diagnosis Umum dengan Keluhan Utama Kuning
Tahap awal ketika akan mengadakan penilaian klinis seorang pasien
dengan
ikterus
adalah
tergantung
kepada apakah
hiperbilirubinemia bersifat konjugasi atau tak terkonjugasi.
Ikterus ringan tanpa warna air seni yang gelap harus difikirkan kemungkinan
adanya hiperbilirubinemia
indirect yang mungkin
disebabkan oleh hemolisis, sindroma Gilbert atau sindroma Crigler Najjar, dan bukan karena penyakit hepatobilier.
Ikterus yang
lebih berat dengan disertai warna urin yang gelap
menandakan penyakit hati atau bilier.
Jika ikterus berjalan sangat progresif perlu difikirkan segera bahwa kolestasis lebih bersifat ke arah sumbatan ekstrahepatik (batu saluran empedu atau keganasan kaput pankreas). Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya keluhan sakit bilier atau kandung
empedu
yang
teraba.
Jika
sumbatan
karena
keganasan pankreas (bagian kepala/kaput) sering timbul kuning yang tidak disertai gajala keluhan sakit perut (painless jaundice).
Kadang-kadang bila bilirubin telah mencapai kadar yang lebih tinggi, warna kuning pada sklera mata sering memberi kesan yang
berbeda
dimana ikterus lebih memberi kesan kehijauan
(greenish jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan (yellowish jaundice) pada kolestasis intrahepatik.
Diagnosis
yang
akurat
untuk
suatu
gejala
ikterus
dapat
ditegakkan melalui penggabungan dari gejala-gajala lain yang timbul
dan
hasil
pemeriksaan
fungsi
hepar serta
beberapa
prosedur diagnostik khusus. Sebagai contoh, ikterus yang disertai
demam, dan terdapat fase prodromal seperti anoreksia, malaise, dan nyeri tekan hepar menandakan hepatitis. Ikterus yang disertai rasa gatal
menandakan
kemungkinan adanya
suatu
penyakit
xanthomatous atau suatu sirosis biliary primer. Ikterus dan anemia menandakan adanya suatu anemia hemolitik.
c. Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin Pemeriksaan darah dilakukan unutk mengetahui adanya
suatu
anemia dan juga keadaan infeksi.
Urin Tes yang sederhana yang dapat kita lakukan adalah melihat warna urin dan melihat apakah terdapat bilirubin di dalam urin atau tidak.
Bilirubin Penyebab ikterus yang tergolong prehepatik akan menyebabkan peningkatan bilirubin
indirek.
Kelainan
intrahepatik
dapat
berakibat hiperbilirubin indirek maupun direk. Kelainan posthepatik dapat meningkatkan bilirubin direk.
Aminotransferase dan alkali fosfatase
Tes serologi hepatitis virus IgM hepatitis A adalah pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis A akut. Hepatitis B akut ditandai oleh adanya HBSAg dan deteksi DNA hepatitis B.
Biopsi hati Histologi hati tetap merupakan pemeriksaan definitif untuk ikterus hepatoseluler dan beberapa kasus ikterus kolestatik (sirosis biliaris primer, kolestasis intrahepatik akibat obat-obatan (drug induced).
d. Pemeriksaan Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan sangat berharga ubtuk mendiagnosis penyakit infiltratif dan kolestatik. USG abdomen, CT Scan, MRI sering bisa menemukan metastasis dan penyakit fokal pada hati. Endoscopic Retrograd Cholangiopancreatography (ERCP) dan PTC (Percutans Transhepatic Colangiography). ERCP merupakan suatu perpaduan antara
pemeriksaan
endoskopi
dan radiologi untuk mendapatkan
anatomi dari sistim traktus biliaris (kolangiogram) dan
sekaligus
duktus pankreas (pankreatogram). ERCP merupakan modalitas yang sangat bermanfaat dalam membantu diagnosis ikterus bedah dan juga dalam terapi sejumlah kasus ikterus bedah yang inoperabel. Di samping itu kelainan di daerah papila Vateri (tumor, impacted stone)
yang juga sering merupakan penyebab ikterus bedah dapat
terlihat jelas dengan teknik endoskopi ini.
10. Differential Diagnosis dan Diagnosis Sementara a. Hepatitis Alkoholik o Pengertian Hepatitis alkoholik adalah peradangan hati yang disebabkan oleh minuman beralkohol. Meskipun hepatitis alkoholik paling mungkin terjadi pada peminum berat selama bertahun-tahun, hubungan antara peminum alkohol dan hepatitisalkoholik merupakan hal yang kompleks. Tidak semua peminum berat mengalamihepatitis alkoholik, dan penyakit ini dapat terjadi pada orang yang hanya minum sedikit. Orang yang terus minum alkohol dapat mengalami kerusakan hati yanglebih serius dalam bentuk sirosis dan gagal hati. o Patogenesis Patogenesis hepatitis alkoholik adalah multifaktorial. Bukti saat ini menunjukkan bahwa kerusakan adalah hasil akhir dari interaksi kompleks antara metabolisme etanol, peradangan dan kekebalan bawaan. Jalur metabolik seperti itu menghasilkan spesies oksigen reaktif yang
merupakan penginduksi kuat peroksidasi lipid, yang pada gilirannya menyebabkan
kematian
hepatosit
oleh
nekrosis
atau
apoptosis.
Endotoksemia tingkat tinggi juga telah didapatkan di antara seseorang yang mengalami hepatitis alkoholik, mungkin karena peningkatan permeabilitas usus . Endotoksin (lipopolisakarida) berikatan dengan protein pengikat lipopolisakarida, dan kompleks kemudian menempel pada molekul CD14 pada sel Kupffer yang memicu jalur untuk menyebabkan aktivasi sel Kupffer. Berbagai sitokin dilepaskan karena respon Th1 yang meningkat, khususnya interferon-gamma dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-α). Faktor chemotactic seperti interleukin-8 menyebabkan migrasi leukosit polimorfonuklear ke lobulus hepatik. Perubahan ini menginduksi sindrom respon inflamasi sistemik yang ditandai dengan malaise, demam, dan leukositosis neutrofil perifer. TNF-α memediasi efeknya dengan mengikat ke dua molekul permukaan sel, TNF-R1 dan TNF-R2 . TNF-R1 adalah inducer utama hepatocytotoxicity melalui nekrosis atau apoptosis. Metabolisme etanol menghasilkan acetaldehyde, dan malondialdehyde adalah salah satu produk akhir dari peroksidasi lipid. Kedua senyawa mengikat protein seluler untuk membentuk adisi yang stabil. Respon imun variabel terhadap neoantigen ini dapat berkontribusi terhadap kerentanan individu terhadap hepatitis alkoholik. Sangat mungkin bahwa baik nonimmunologic (stres oksidatif, cedera sitokin) dan faktor imunologi memainkan peran penting dalam patogenesis hepatitis alkoholik. Berbagai pilihan pengobatan di hepatitis alkoholik berbagi tujuan pengobatan umum untuk memblokir berbagai tanggapan imunologi bawaan . o Faktor risiko Sebuah studi telah mengidentifikasi faktor risiko terhadap perkembangan dan perkembangan penyakit hati. Pola minum, jenis kelamin, predisposisi genetik, dan penyakit hati bersamaan dapat meningkatkan risiko kerentanan. Konsumsi alkohol secara bersamaan
dengan asupan makanan telah dipublikasikan untuk menurunkan risiko penyakit hati alkoholik dibandingkan dengan mereka yang mengonsumsi alkohol saja. Variant gen penyandian untuk metabolisme alkohol, seperti alkohol dehidrogenase, dehidrogenase aldehid, dan sitokrom CYP2E1 dapat memfasilitasi hepatotoksisitas dengan meningkatkan toleransi alkohol melalui penundaan pembentukan asetaldehida atau metabolisme alkohol melalui jalur toksik non-oksidatif lainnya. Polimorfisme gen dehidrogenase sensitivitas
asetaldehida
alkohol
pada
dapat orang
menyebabkan Asia
dan
berbagai
wanita,
yang
tingkat dapat
mengembangkan penyakit hati alkoholik bahkan jika mereka tidak mengonsumsi alkohol sama besarnya dengan yang lain. Perempuan dua kali lebih mungkin mengembangkan hepatotoksisitas dengan jumlah yang lebih rendah dan durasi penggunaan alkohol yang lebih pendek dibandingkan dengan laki-laki, yang mungkin disebabkan oleh perbedaan alkohol lambung dan proporsi lemak tubuh yang lebih tinggi pada wanita di samping perbedaan tingkat dehidrogenase. Polimorfisme gen CYP2E1 dapat mempengaruhi metabolisme alkohol di antara mereka dengan latar belakang etnis dan pecandu alkohol yang berbeda, namun patogenesis yang tepat belum dapat dipahami. Obesitas yang mendasari dengan indeks massa tubuh (BMI) ≥ 30 kemungkinan mempotensiasi keparahan hepatitis alkoholik. Jalur umum dipostulasikan untuk generasi steatohepatitis melalui efek sinergis atau aditif dari penggunaan alkohol berat dikombinasikan dengan obesitas, meskipun mekanisme yang tepat tidak didefinisikan dengan baik. Satu unit alkohol setara dengan 8 g. Subjek yang kelebihan berat badan atau obesitas yang mengkonsumsi 15 atau lebih unit alkohol per minggu memiliki peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas terkait hati dibandingkan dengan kontrol. Penelitian lain di Inggris yang meneliti 107, 742 perempuan menemukan bahwa subjek dengan BMI tinggi (≥ 25 kg / m
2
) yang minum ≤ 15 unit alkohol memiliki risiko pengembangan
penyakit hati kronis yang setara dibandingkan dengan wanita dengan BMI
rendah (<25) yang minum ≥ 15 unit per minggu. Wanita dengan BMI ≥ 25 yang minum ≥ 15 unit alkohol mingguan memiliki hasil yang paling buruk. Alkoholik dengan co-morbiditas hati lainnya, seperti hepatitis B, hepatitis C, dan hemochromatosis memiliki keparahan penyakit yang lebih besar dan kemungkinan untuk mengembangkan sirosis. Penyakit hati kronis yang mendasari dapat berkontribusi pada pengembangan presentasi akut dan kronis pada Hepatitis alkoholik. o Presentase Klinis Gejala
hepatitis
alkoholik
tidak
spesifik,dapat
mengalami
kelelahan, nyeri perut kuadran kanan atas, anoreksia, demam, dan penurunan berat badan. Perkembangan ikterus dapat terjadi secara cepat. Pasien dengan hepatitis alkoholik dapat mengembangkan hepatomegali lunak, asites, ensefalopati hepatik, perdarahan gastrointestinal atas, dan sarcopenia. Tanda-tanda penyalahgunaan alkohol kronis seperti spider angiomata, splenomegali, eritema palmar, ginekomastia, pembesaran kelenjar parotid, atrofi testis, dan kontraktur Dupuytren mungkin ada. Studi
laboratorium
karakteristik
menunjukkan
2:
1
aspartat
aminotransferase (AST) ke alanine aminotransferase (ALT) rasio dengan nilai-nilai khas kurang dari 300-400 mg / dL. Kadar ALT serum biasanya lebih rendah daripada AST pada hepatitis alkoholik karena aktivitas ALT yang berkurang pada vitamin B6 hepatosit yang hilang dan cedera mitokondria yang menyebabkan pelepasan mitokondria AST. Tingkat aminotransferase yang lebih tinggi dapat mengarah ke faktor tambahan yang menyebabkan hepatotoksisitas ( misalnya , hepatitis iskemik yang dilemahkan, kerusakan hati yang disebabkan obat, rhabdomyolysis, atau hepatitis virus akut). Tingkat bilirubin bisa setinggi 30 mg / dL dengan koagulopati berat, leukositosis, anemia, dan onset baru gagal ginjal terlihat pada pasien dengan sindrom hepatorenal. Penarikan alkohol berat dapat mengancam jiwa ketika pasien mengalami tremens delirium, kejang,
koma, dan serangan jantung. Pengobatan dengan stabilisasi hemodinamik, perlindungan saluran napas, dan benzodiazepin diperlukan . Ada prevalensi lebih tinggi dari pasien yang mengalami penarikan alkohol pada hepatitis alkoholik dibandingkan dengan sirosis alkoholik. Beberapa gangguan elektrolitik telah diidentifikasi pada pasien dengan hepatitis alkoholik, seperti hipokalemia, hypophosphatemia, dan hypomagnesaemia antara lain. Suplementasi dengan tiamin, asam folat, dan koreksi glukosa, kalium, magnesium, dan fosfat dianjurkan. o Diagnosa Hepatitis alkoholik terutama merupakan diagnosis klinis. Jika ada pantangan yang dikonfirmasi untuk lebih dari 2 bulan atau pasien melaporkan kurang dari 4 minuman sehari-hari secara rata-rata, hepatitis alkoholik kurang mungkin. Biopsi hati dianggap sebagai standar emas untuk diagnosis hepatitis alkoholik, tetapi mereka tidak dianggap dilakukan secara rutin untuk evaluasi AH di Amerika Serikat. Diagnosis histologis tidak diperlukan untuk diagnosis dan manajemen AH berdasarkan parameter ini . Namun demikian, jika diagnosis klinis tidak jelas atau muncul multifaktorial, biopsi hati dapat dipertimbangkan. Perhatian harus dilakukan ketika ada hipertensi portal parah dan koagulopati. Jika manfaat lebih besar daripada risiko, pendekatan transjugular dapat menentukan gradien vena hepatic dan tekanan portal dan direkomendasikan ketika pasien mengalami koagulopati berat atau asites.
Penyebab
lain
penyakit
hati,
termasuk
sirosis
alkohol
dekompensasi, sepsis, dan obstruksi bilier harus disingkirkan. Pencitraan abdomen biasanya menunjukkan steatosis dan / atau sirosis dengan splenomegali, yang tidak spesifik pada hepatitis alkoholik . Temuan histologis kardinal hepatitis alkoholik meliputi hepatosit pembengkakan, badan Mallory-Denk, dan infiltrasi neutrofilik dalam pengaturan steatosis makrovesikular dengan fibrosis dan distorsi lobular. o Predikator motalitas
Sistem penilaian klinis telah dikembangkan untuk memprediksi hasil pada pasien dengan hepatitis alkoholik dan pengobatan panduan. Salah satunya menggunakan skor Maddrey Skor Maddrey menggabungkan serum bilirubin dan waktu prothrombin untuk menghasilkan skor fungsi diskriminan (DF). A DF> 32 ditandai sebagai hepatitis alkoholik berat dan memiliki mortalitas jangka pendek yang tinggi sekitar 50%. Pasien dengan DD> 32 mungkin mendapat manfaat dari terapi kortikosteroid. DF <32 diklasifikasikan sebagai tingkat keparahan ringan atau sedang dengan tingkat mortalitas 10%. o Tatalaksana -
Suplementasi gizi Pasien dengan hepatitis alkoholik dan sirosis memiliki defisiensi nutrisi dan sarkopenia. Malnutrisi kalori protein dikaitkan dengan mortalitas jangka pendek dan panjan. Vitamin A, Vitamin D, tiamin, piroksidin, folat, dan seng adalah defisiensi vitamin yang umum terlihat pada pecandu alkohol. Studi awal dari Asosiasi Veteran menemukan 100% dari 363 pasien hepatitis alkoholik memiliki kekurangan gizi protein kalori . Tingkat malnutrisi dikaitkan dengan tingkat keparahan penyakit hati.
-
Kortikosteroid Pasien dengan hepatitis alkoholik ringan (DF <32) memiliki tingkat kematian 10% bila tidak diobati dengan prednisolon. Perawatan suportif dibenarkan . Berbagai pilihan pengobatan telah dipelajari, namun
hanya
prednisolon
yang
tetap
menjadi
terapi
utama.
Kortikosteroid memiliki berbagai fungsi modulasi kekebalan termasuk penindasan faktor transkripsi pro-inflamasi: NFΚΒ dan protein pengaktif 1 (AP-1), yang menurunkan tingkat sirkulasi TNF-α dan IL-8 .Penggunaan prednisolon diindikasikan pada pasien dengan DF> 32 atau ensefalopati hepatik, tetapi kontraindikasi pada infeksi aktif, perdarahan gastrointestinal, pankreatitis akut, atau gagal ginjal.
-
Pentoxifylline Pentoxifylline menghambat faktor nekrosis tumor, sitokin yang bertanggung jawab untuk inisiasi kaskade inflamasi yang terlihat pada hepatitis alkoholik.. Manfaat yang terlihat sebagian besar untuk mencegah sindrom hepatorenal. Ini dapat menjadi alternatif bagi pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap steroid atau gagal ginjal awal, namun tidak direkomendasikan sebagai agen lini pertama.
-
N-acetylcysteine Stres oksidatif yang dihasilkan dari hepatitis alkohol menurunkan tingkat glutathione. NAC adalah zat antioksidan, yang merupakan proobat untuk prekursor gluthathione.
-
Penghambat alpha anti-TNF lainnya Penghambat anti-TNF alfa, seperti infliximab dan etanercept tidak dianjurkan untuk pengobatan hepatitis alkoholik. Meskipun studi awal kortikosteroid dan infliximab menunjukkan peningkatan skor Maddrey dalam bulan pertama, penelitian selanjutnya menunjukkan anti-TNF alpha inhibitor dikaitkan dengan peningkatan kematian akibat infeksi
-
Transplantasi hati Transplantasi hati dapat dianggap sebagai pilihan terakhir untuk pasien dengan hepatitis alkoholik ketika perawatan medis telah gagal atau merupakan kontraindikasi. Kebanyakan pusat transplantasi hati membutuhkan pantangan minimal enam bulan sebelum pertimbangan alokasi donor. Mengingat kelangkaan organ donor, risiko rekatisme dikhawatirkan untuk pasien dengan hepatitis alkoholik yang menjalani transplantasi hati . Meskipun hasil awal mungkin tampak menjanjikan, masalah etika yang berkaitan dengan kekurangan organ, kekhawatiran sosial budaya tentang peredaran organ yang bijaksana, dan risiko rekolisme tetap Kelayakan seleksi pasien melalui penilaian psikososial yang ketat dibatasi oleh sumber daya. Seorang psikiater kecanduan yang berpengalaman dalam transplantasi hati mungkin tidak tersedia di semua
pusat. Transplantasi hati untuk hepatitis alkoholik akut berat refrakter harus digunakan secara bijaksana pada individu yang sangat terseleksi yang berisiko residivisme rendah. b. Kholelitiasis o
Definisi Kolelitiasis adalah deposit Kristal empedu yang ditemukan di dalam kandung empedu. Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder.
o Epidemiologi Prevalensi kolelitiasis berkisar antara 5-25% dengan angka kejadian yang lebih sering pada populasi Negara barat, perempuan dan usia lanjut. Di negara Barat komposisi utama batu empedu adalah kolesterol, sedangkan penelitian di Jakarta pada 51 pasien didapatkan batu pigmen pada 73% pasien sedangkan batu kolesterol pada 27% pasien. o Patologi Batu emepedu pada hakekatnya merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu: kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan fosfolipid. Batu empedu memiliki komposisi yang terutama terdiri dari tiga jenis: pigmen, kolesterol, dan batu campuran. Batu pigmen terdiri atas garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini: bilirubinat, karbonat, fosfat atau asam lemak rantai panjang. Batu ini cenderung berukuran kecil, multiple dan berwarna hitam kecoklatan. Batu kolesterol biasanya berukuran besar, soliter, berstruktur bulat atau oval, bewarna kuning pucat dan seringkali mengandung kalsium dan pigmen. Batu kolesterol campuran paling sering ditemukan. Batu ini memiliki gambaran batu pigmen maupun batu kolesterol, majemuk, dan bewarna coklat tua. o Etiologi
Kasus batu emepedu sering ditemukan di Amerika Serikat, yaitu mengenai 20% penduduk dewasa. Setiap tahunnya, beberapa ratus ribu orang yang menderita penyakit ini menjalani pembedahan saluran empedu. Batu empedu jarang terjadi pada usia dua dekade pertama. Namun wnaita yang meminum obat kontrasepsi oral atau yang hamil akan lebih beresiko menderita batu empedu, bahkan pada usia remaja dan usia 20-an. Faktor ras dan familial tampaknya berkaitan dengan semakin tingginya insiden terbentuknya batu empedu. Isiden sangat tinggi pada orang Amerika asli, diikuti oleh orang kulit putih, dan akhitnya orang Afro-Amerika.
Kondisi
klinis
yang
dikaitkan
dengan
semakin
meningkatnya insiden batu empedu adalah diabetes, sirosi hati, pancreatitis, kanker kandung empedu, dan penyakit atau reseksi ileum. Faktor resiko lain yang berkaitan dengan timbulnya batu empedu adalah obesitas, multiparitas, pertambahan usia, jenis kelamin perempuan, dan ingesti segera makanan yang mengandung kalori rendah atau lemak rendah. o Patogenesis Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang dibentuk pada bagian saluran empedu lain. Etiologi batu empedu masih belum diketahui sepenuhnya, akan tetapi tampaknya faktor presdiposisi terpentingadalah gangguan mtabolisme yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor penting dalam pembentukkan batu emepdu. Sejumlah penyelidikan menunjukkan bahwa hati penderita batu emepdu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empeduuntuk membentuk batu empedu. Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, prubhan komposisi kimia, dan pengendapan unsur
tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme sfingter Oddi, atau keduanyadapat menyebabkan terjadinya statis. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu. Mucus meningkatkan viskositas empedu, dan unsure sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering timbul sebagai akibat dari terbentuknya batu empedu, dibandingkan sebagai penyebab terbentuknya batu empedu. o Manifestasi Klinis Dapat bersifat asimtomatis. Gejala muncul saat terjadi inflamasi dan obstruksi ketika batu bermigrasi ke duktus sistikus. Keluhan khas berupa kolik bilier. Karakteristik kolik bilier antara lain : -
Nyeri kuadran kanan atas atau epigastrium
-
Kadang menjalar ke area interskapularis, scapula kanan atau bahu
-
Bersifat episodik, remiten dan mendadak
-
Berlangsung 15 menit – 5 jam
-
Hilang perlahan dengan sendirinya
-
Disertai mual dan muntah
o Diagnosis Diagnosisi ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, yang dibuktikan dengan temuan radiologi berupa batu empedu pada kandung empedu. o Penatalaksanaan Pada pasien asimtomatis belum terdapat bukti yang mendukung intervensi bedah. Resiko operasi dianggap lebih besar dibandingkan manfaatnya. Tatalaksana berupa intervensi gaya hidup, antara lain olahraga, ,enurunkan berat badan dan diet rendah kolesterol. Pasien dengan gejala pilihan terapi utama berupa intervensi bedah atau prosedur invasiv minimal untuk mengeluarkan batu. Terapi farmakologis masih belum menunjukkan efikasi yang bermakna. -
Intervensi bedah (Kolesistektomi Laparoskopi)
-
Prosedur Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
-
Terapi farmakologis dengan asam ursodeksikolat dosis 10-15 mg/KgBB/Hari.
o Komplikasi -
Kolesistitis akut (radang kandung empedu)
-
Koledokolitiasis (batu empedu pada duktus sistikus)
-
Kolangitis akut (radang saluran empedu)
-
Pankreatitis akut
-
Mukokel, empiema, hingga gangrene pada kandung empedu
-
Keganasan kandung empedu
c. Hepatitis Virus Istilah “Hepatitis” dipakai untuk semua jenis peradangan pada selsel hati, yag bisa disebabkan oleh infeksi (virus, bakteri, parasit), obatobatan (termaksud obat tradisional), konsumsi alcohol, lemak yang berlebih dan penyakit autoimmune. Ada 5 jenis hepatitis virus yaitu hepatitis A, B, C, D, dan E. antara hepatitis yang satu dengan yang lain tidak saling berhubungan. o Hepatitis A -
Penyebabnya adalah virus hepatitis A, dan merupakan penyakit endemis di beberapa Negara berkembang. Selain itu merupakan hepatitis yang ringan bersifat akut, sembuh spontan/sempurna, tanpa gejala sisa dan tidak menyebabkan infeksi kronik
-
Penularannya melalui fecal oral. Sumber penularan umumnya terjadi karna pencemaran air minum, makanan yang tidak dimasak, makanan yang tercemar, sanitasi yang buruk, dan personal hygiene rendah.
-
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya IgM antibody dalam serum penderita
-
Gejalanya bersifat akut tidak khas bisa berupa demam, sakit kepala, mual dan muntah, sampai ikterus. Bahkan dapat menyebabkan pembengkakan hati.
-
Tidak ada pengobatan khusus hanya pengobatan pendukung dan menjaga keseimbangan nutrisi
-
Pencegahannya melalui kebersihan lingkungan, terutama terhadap makanan dan minuman. Serta menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
o Hepatitis B Hepatitis B akut -
Etiologinya virus Hepatitis B dari golongan virus DNA
-
Masa inkubasi 60-90 hari
-
Penularannya vertikel 95% terjadi masa perinatal (saat persalinan) dan 5% intra uterine, penularan horizontal melalui transfuse darah, jarum suntik tercemar, pisau cukur, tattoo, transplantasi organ.
-
Gejala tidak khas sepeti lesu, nafsu makan berkurang, demam ringan, nyeri abdomen sebelah kanan, dapat timbul ikterus, air kencing warna the.
-
Diagnosis ditegakkan dengan test fungsi hati serum transminase (ALT meningkat), serologi HBsAg dan IgM anti HBC dalam serum.
-
Pengobatan tidak diperlukan
antiviral,
pengobatannya bersifat
simtomatis -
Pencegahannya :
a. Telah dilakukan penapisan darah sejak tahun 1992 terhadap bank darah melalui PMI. b. Imunisasi yang sudah masuk dalam program nasional HBO (<12 jam), DPT/HB1 (2 bulan), DPT/HB2 (3 bulan), DPT/HB3 (4 bulan) c. Menghindari factor risiko yang menyebabkan terjadinya penularan
Hepatitis B kronik -
Hepatitis B kronik berkembang dari Hepatitis B akut
-
Usia saat terjadinya infeksi mempengaruhi kronisitas penyakit. Bila penularan terjadi saat bayi maka 95% akan menjadi Hepatitis B kronik sedangkan bila penularan terjadi pada usia balita maka 20-30% menjadi penderrita hepatitis B kronik dan bila penularan saat dewasa maka hanya 5% yang menjadi penderita hepatitis B kronik
-
Hepatitis B kronik ditandai dengan HBsAg (Hepatitis B surface Antigen) positif (>6 bulan). Selain HBsAg, perlu diperiksa HBeAg (Hepatitis B E-Antigen, anti-HBe dalam serum, kadar ALT (Alanin Amino Transferase), HBV-DNA (Hepatitis B Virus-Deoxyribunukleic Acid) serta biopsy hati.
-
Biasanya tanpa gejala
-
Sedangkan untuk pengobatannya saat ini telah tersedia 7 macam obat untuk hepatitis B (Interferon alfa-2a, pegimterferon alfa-2a, lamivudin, adefovir, entecavir, telbivudin dan tenofovir)
-
Prinsip pengobatan tidak perlu terburu-buru tetapi jangan terlambat
-
Adapun tujuan pengobatan memperpanjang harapan hidup, menurunkan kemungkinan terjadinya sirosis hepatis atau hepatoma
o Hepatitis C -
Penyebab utamanya adalah sirosis dan kanker hati
-
Etiologi virus Hepatitis C termaksud gologan virus RNA (Ribo Nucleic Acid)
-
Masa inkubasi 2-24 minggu
-
Penularan melalui hepatitis C melalui darah dan cairan tubuh, penuaran masa perinatal sangat kecil melalui jarum suntik (IDUs, tatto), transplantasi organ, kecelakaan kerja (petugas kesehatan), hubungan seks dapat menularkan tetapi sangat kecil.
-
Kronisitasnya 80% penderita akan menjadi kronik
-
Pengobatan hepatitis C : kombinasi pegylated interferon dan ribavirin.
-
Pencegahan hepatitis C dengan menghindari factor resiko karna sampai saat ini belum tersediannya vaksin untuk hepatitis C
o Hepatitis D
-
Virus hepatitis D paling jarang ditemukan, tetapi paling berbahaya
-
Hepatitis D juga disebut virus delta, virus ini memerlukan virus hepatitis B untuk berkembang biak sehingga hanya ditemukan pada orang yang telah terinfeksi virus Hepatitis B.
-
Tidak ada vaksin tetapi otomatis orang akan terlindungi jika telah diberikan imunisasi Hepatitis B.
o Hepatitis E -
Dahulu dikenal sebagai hepatitis non a- non b
-
Etiologi virus hepatitis E termaksud virus RNA
-
Masa inkubasi 2-9 minggu
-
Penularan melalui fecal oral seperti hepatitis A
-
Diagnosis dengan didapatkannya IgM dan IgG, Anti HEV pada penderita yang terinfeksi
-
Gejalannya ringan menyerupai gejala flu, sampai ikterus
-
Pengobatannya belum ada pengobatan antivirus
-
Pencegahannya dengan menjaga kebersihan lingkungan, terutama kebersihan makanan dan minuman
-
Vaksinasi hepatitis E belum tersedia.
d. Kista Duktus Koledokus o Pendahuluan Pada tahun 1720, seorang ahli anatomi berkebangsaan Jerman, Abraham Vater, mendeskripsikan anatomi normal dan abnormal dari duktus biliaris. Pada tahun1852, Douglas, pertama kali mempublikasikan deskirpsi klinis dari seorang pasien dengan dilatasi dari duktus biliaris. Kista duktus koledokus lebih sering ditemukan pada perempuan, dengan rasio perempuan dibanding laki-laki yaitu 3:1 dan 4:1. Kondisi ini jarang terjadi, dengan insidensi terjadinya pada populasi di Barat yaitu 1 dalam 13.000 sampai 15.000 kelahiran hidup.
o Etiologi dan Embriologi Etiologi pasti kista duktus koledokus sampai saat ini masih belum diketahui dengan jelas. Terdapat beberapa teori berkenaan dengan etiologi dan patogenesis dari kista duktus koledokus: 1) Terjadinya kongenital
kegagalan pada
rekanalisasi
dinding
duktus
sehingga biliaris,
terjadi dimana
kelemahan hal
ini
merupakan hipotesis awal 2) Terdapatnya abnormalitas pada inervasi dari distal common bile duct yang menyebabkan terjadinya obstruksi fungsional dan dilatasi proksimal 3) Kelemahan yang didapat dari dinding duktus biliarisyang berhubungan dengan PBM, pertama kali diperkenalkan oleh Babbit (1969), dimana digambarkan terdapatnya common pancreaticobiliary channel pada kistaduktus koledokus, dan terjadinya refluks enzim pankreas dapat menyebabkankerusakan pada duktus biliaris dan dilatasi, 4) Terdapatnya obstruksi dari bagiandistal duktus biliaris. Stenosis sering ditemukan dibagian bawah dari kista tipe 1,tetapi apakah penyebabnya kongenital ataupun sekunder akibat adari inflamasi masih belum jelas. Todani
dan
kawan
–
kawan,
berdasarkan
analisisnya
menggunakan endoscopic retrograde cholangiography (ERCP) dan pemeriksaan dengan kolangiografi lain, menerangkan terjadinya anomali pada pembentukan duktus pankretiko biliaris dimana duktus pankreatikus bersatu dengan duktus biliaris pada lokasi yang lebih proksimal diluar ampula Vater, dimana hal ini dapat menyebabkan terjadinya refluks dari enzim pankreas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan pada dinding duktus dan terjadinya dilatasi. Konsentrasi yang tinggi dari enzim pankreas sering ditemukan pada bile di dalam kista. Hal ini ditunjang dengan meningkatnya kadar amilase yang diaspirasi dari kistaduktus koledokus. Long
common
channel tidak
hanya
disertai
dengan
komplikasi pankreatitis, tetapi dapat juga disertai dengan komplikasi protein plugs, kalkulus, pada anak dan dapat berkembang menjadi karsinoma kandung empedu. o Patologi Pada kista duktus koledokus, mukosa duktus biliaris menunjukkan adanya erosi, deskuamasi epitel dan hiperplasia papilary dengan regenerasi atipik. Displasia mukosaduktus biliaris
tanpa
karsinoma
juga
kerap
ditemui.
Perubahan
metaplasia seperti selmucous, sel goblet dan sel Panet juga ditemui. Hiperplasia dan metaplasia meningkat seiring usia dan dapat menjadi karsinoma pada usia dewasa. Perubahan ini dapat ditemui pada semua tipe kista duktus koledokus. Mukosa menunjukkan
kandung
empedu
kolesistitis,
pada
pasien
cholesterolosis,
dengan
adenomyosis
PBMU atau
adenomyomatosis, polip, termasuk adenoma dan hiperflasia epitel. Mukosa kandung empedu pada FFCC ditandai hiperplasia difus d i epitel dengan atau tanpa metaplasia dari pyloric glands, sel goblet dan sel Panet. o Kelainan Penyerta Kelainan pada pertemuan duktus pankreatikobiliaris sering dijumpai. Hilar duct strictures dapat dijumpai pada kista tipe IV. Todani et al, 1998, melaporkan terdapat18 kasus dengan hilar duct stricture dari 55 pasien dengan kista tipe IV. Kelainan lain yang dilaporkan yaitu duktus biliaris ganda, duplikasi kandung empedu danagenesis kandung empedu. Terjadinya
malformasi
diluar
kandung
empedu
jarang
ditemukan. Kemungkinan kelainan penyerta lain yang cukup sering ditemukan yaitu anomali pada traktus urinarius (Dudin et al.,1995;Stringer et al.,1995; Samueldan Splitz,1996), dan duodenal atresia, annular pankreas dan abnormalitas pada jari (Dudinet al ., 1995)
o Klasifikasi Anatomis Klasifikasi Kista Duktus koledukus yang umum dipakai adalah klasifikasi menurut Alonzo-Todani (1977) yang didasarkan pada lokasi kista duktus billiaris: -
Tipe I
: tipe ini merupakan tipe yang tersering (80-90% dari Kista
Duktus Koledokus). Tipe ini mencangkup dilatasi fusiform atau sacular dari duktuskoledokus dengan melibatkan sebagian hingga seluruh duktus. -
Tipe I A
: berbentuk sacular dan melibatkan seluruh dari duktus
ekstrahepatik. -
Tipe I B
: berbentuk sacular dan melibatkan sebagian segmen dari
duktus billiaris. -
Tipe I C : berbentuk fusiform dan melibatkan sebagian besar hinggaseluruhnya dari duktus ekstra hepatik
-
Tipe II
: tampak seperti divertikulum yang menonjol pada dinding
duktus koledokus, sedangkan duktus billiaris intrahepatik dan ektrahepatik normal. -
Tipe III
: dikenal sebagai choledochocele. Biasanya terdapat
intraduodenal tetapi terkadang dapat muncul pada bagian intra hepatik dari traktus biliaris. Sebaliknya, sistem duktus normal dan duktus koledokus biasanya memasuki choledochocele ke dalam dinding dari duodenum. -
Tipe IV
: untuk tipe IVA terjadi dilatasi multipel dari duktus intra
dan ekstrahepatik sedangkan untuk tipe IV B hanya melibatkan duktus ekstrahepatik saja. -
Tipe V (Caroli disease): multipel dilatasi dari duktus intrahepatik.
Klasifikasi kista duktus koledokus dengan pancreaticobiliary malunion (PBMU) : 1) Dilatasi pada duktus biliaris ekstrahepatik yang berbentuk kistik 2) Dilatasi pada duktus biliaris yang berbentuk fusiform 3) Forme fruste kista duktus koledokus tanpa PBMU
4) Tampak seperti divertikulum pada duktus koledokus 5) Choledochocele ( diverticulum pada bagian distal dari duktus koledokus) 6) Hanya terjadi dilatasi dari duktus biliaris intrahepatik (penyakit Caroli’s)
o Prenatal Diagnosis Kista duktus koledokus dapat terdeteksi secara rutin dengan pemeriksaan prenatal ultrasonografi yang dilakukan pada minggu ke 15 kehamilan (Schroeder et al., 1989;Bancroft et al ., 1994; Stringer et al., 1995; Redkar et al ., 1998). Kista mungkin sulit dibedakan dengan atresia duodenum, kista ovarium ataupun kelainan lain. Kista ini dapat terlihat secara tipikal, tetapi tipe dari kista tidak dapat ditentukan. Menurut Redkar, MacKenzie dan kolega, walaupun maternal ultrasonografi berguna, tetapi tidak akurat dan tidak dapat diandalkan dalam membedakan kista duktus koledokus dengan malformasi yang terjadi padi traktus biliaris. Tetapi bagaimanapun juga, apabila terdapat kecurigaan akan diagnosis kista duktuskoledokus, harus dilakukan ultrasonografi postnatal. Apabila kecurigaan akan kistaduktus koledokus dapat dibuktikan, maka dilakukan penatalaksanaan sehubungandengan diagnosis. o Presentasi Klinis Kista duktus koledokus dapat terlihat pada semua usia, tetapi lebih dari setengahnya pertama kali terlihat pada dekade pertama kehidupan. Manifestasi klinis akan berbeda sesuai dengan usia pada saat permulaan gejala. Gejala pada pasien dengan kista duktus koledokus dapat diklasifikasikan menjadi gejala pada anak bayi dan pada anak yang lebih besar. Pada bayi, dengan rentang usia 1 sampai 3 bulan, gejala yang
muncul adalah obstruktif jaundice, feses yang akholis, dan hepatomegali. Tampilan klinis pada kelompok ini tidak dapat dibedakan dari atresia biliaris. Kadang-kadang disertai juga dengan fibrosis hati. Pasien pada kelompok ini tidak harus terdapatgejala nyeri pada abdomen ataupun massa pada abdomen. Pada kelompok umur yang lebih besar, biasanya manifestasi klinis akantampak pada anak setelah usia 2 tahun. Pada anak yang lebih besar, gejalanya dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu massa pada perut kanan atas dengan jaundice intermittent karena obstruksi biliaris, yang umumnya dijumpai pada pasien dengan kista duktus koledokus sakuler, dan nyeri perut akibat pankreatitis, yang biasanya tampak pada bentuk yang fusiform. Pada kelompok umur ini, classic triad berupa nyeri perut, terabanya massa, dan jaundice yang dikemukan oleh Alonso-Lej dan kolega biasanya dijumpai. Karena obstruksi yang terjadi pada kelompok umur inihanya parsial, maka gejala bersifat intermiten. Rekuren kolangitis dapat menjadi ciri dari gejala kista duktus koledokus pada anak yang lebih besar. Bagaimanapun, sangat penting ditekankan bahwa gejala pada anak yang lebih besar sering tidak ketara dan bersifat intermitan, sehingga sering tidak terdiagnosis, yang mengakibatkan kerusakan hati yang terus berlanjut, sehingga pasien biasanya datang dengan kondisi sirosis hati dan manifestasi hipertensi portal. o Diagnosis -
Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium tidak mampu untuk menegakkan diagnosis dari kistaduktus koledokus, tetapi dapat menggambarkan kondisi klinis dari pasien. Oleh karena gejala tersering adalah jaundice, hasil laboratorium terpenting adalah conjugated hiperbilirubinemia, peningkatan alkaline phosphatase, dan marker lainuntuk obstruktif jaundice. Apabila obstruksi biliaris sudah terjadi dalam jangka waktu yang lama, maka dapat
pula disertai profil koagulasi yang abnormal. Nilai amilase plasma dapat menunjukkan peningkatan pada saat episode nyeri perut. -
Pemeriksaan Radiologi Bagaimanapun bentuk dari kelainan anatomi, pemeriksaan radiologis merupakankunci dalam menegakkan diagnosis. Computed tomography (CT) cholangiography, dahulu digunakan sebagai alat penunjang dalam menegakkan diagnosis dari kistaduktus koledokus, saat ini digantikan oleh pemeriksaan yang lebih akurat. Ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang awal yang terpilih dandapat menggambarkan ukuran, bentuk, duktus proksimal, pembuluh darah dan bnetuk dari hepar. Komplikasi seperti kolelitiasis, hipertensi portal dan biliary ascites dapat pula terlihat. Percutaneus
transhepatic
retrogradecholangiopancreatography
cholangiography (ERCP)
dan
dapat
endoscopic memeberikan
gambaran yang akurat darisistem pancreaticobiliary. Tetapi, pemeriksaan ini bersifat invasif dan tidak cocok untuk digunakan berulang kali serta merupakan kontraindikasi apabila dilakukandalam keadaan pankreatitis akut. Pemeriksaan ini dilakukan dengan anesthesia umum. Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) dapat dilakukan dibawah pengaruh sedasi pada anak tanpa menggunakan bahan kontras atau tanapa radiasi. MRCP merupakan pemeriksaan yang bersifat noninvasif dan dapatdigunakan untuk menggambarkann duktus pankreatik dan biliaris proksimal dariobstruksi. Pada anak dengan usia dibawah 3 tahun,
MRCP
amungkin
tidak
dapat
menggambarkan
sistem
pankreticobiliaris dikarenakan kalibernya yang kecil. Kolangiografi intraoperatif tidak diperlukan jika seluruh sistem biliaris telah dicitrakan sebelum eksisi kista, namun hal ini harus dipakai jika system pancreaticobiliary tidak seluruhnya tercitrakan. o Penatalaksanaan Eksisi kista merupakan terapi definitif yang terpilih untuk kista duktus koledokus karena tingginya morbiditas dan tingginya resiko
terjadinya karsinoma setelahdrainase interna. Bervariasi pendekatan telah diusahakan sejak dahulu untuk penanganan pembedahan mulai dari aspirasi kista, marsupialisasi, serta drainage eksternal tetapi angka mortalitas tetap tinggi. Hal ini mungkin dikarenakan kebanyakan pasien yang datang dengan kondisi lanjut. Pada tahun1924, McWhorter pertama kali mempublikasikan eksisi dari kistakoledokus dengan anastomosis dari duktus hepatikus ke duodenum. Prosedur inidirasakan sangat sulit, dengan angka kematian mencapai
30%.
Pada
tahun
1933,Gross
mempublikasikan
dan
menyimpulkan bahwa choledochocystoduodenostomy sebagai prosedur pembedahan yang cukup aman dan efektif serta memiliki mortalitas yang rendah. Pada tahun 1965, Fonkalsrud dan Boles mendukung hal tersebut, sehingga sejak saat itu drainase interna tanpa eksisi kista merupkan tindakan yang terpilih. Kemudian terhadap pasien tersebut dilakukan follow up selama 15 tahun, dan didapatkan bahwa angka morbiditas meningkat dari 30% menjadi 50%, dan hal ini berhubungan dengan morbiditas yang terjadi lanjut. Komplikasi yang terjadi antara lain kronik kolangitis yang rekuren, kemungkinan akibat terjadinya refluks dari duodenum ke traktus biliaris, yang pada akhirnya menyebabkan inflamasi kronis danstenosis pada anastomosis. Hal memberikan gejala yang ringan sehingga diagnosis tidak dapat dibuktikan dan pada akhirnya berkembang menjadi sirosis bilier danhipertensi portal. Pada tahun 1970, Kasai dan kolega dan Ishida dan kolega, melaporkan hasilyang memuaskan dengan dilakukannya eksisi kista dan Roux-en-Y jejunostomy.Roux-en-Y cyst jejunostomy telah dikembangkan sebagai alternatif dari cytduodenostomy untuk menghindari terjadinya reflux isi dari duodenum ke dalam percabangan traktus billiaris. o Tekhnik Operasi Posisi pasien supine diatas meja operasi. Dilakukan insisi subcostal kanan yang dapat diperlebar kemudian. Bila dibandingkan dengan tipe kista yang fusiform, biasanya terjadi adesi antara tipe kista yang kistik
dengan struktur disekitarnya seperti vena porta dan arteri hepatika, terutama pada anak yang lebih tua. Dilakukan insisi transverse pada dinding anterior kista, akan tampak dinding posterior kista dari dalam, sehingga kista dapat dibebaskan dari jaringan sekitarnya termasuk vena porta dan arteri hepatica. Apabila adhesi kista cukup hebat, mukosektomi kista lebih baik dilakukandaripada
full-thickness.
Untuk
menghindari
terjadinya
pankreatitis dan atau pembentukan batu akibat dari kista residual, maka duktus
biliaris
distal
harus
direseksi
sedekat
mungkin
dengan
pancreticobiliary junction (gambar 12). Setelah dilakukan mukosektomi, ujung distal dari kista dijahitkan secara transfixed sebanyak 2 kali dengan benang absorbable. Stump distal bisa saja dibiarkan demikian atau dibenamkan diantara dinding otot disekitar kista. Eksisi
kista
dan
Roux-en-Y
hepatico-jejunostomy
(RYH)
merupakan tindakan terpilih untuk kista duktus koledokus. Anastomosis jejunum diatas dari sisa CBDdirekomendasikan jika rasio antara CBD dan jejunum proksimal kurang atau sama dengan 1 (common hepatic duct) sampai 2,5 (jejunum).
Jika duktus biliaris terlalukecil, maka lebih
disarankan melakukan end to side anastomosis. Anastomisis harus dilakukan sedekat mungkin dengan ujung jejunal limb. End to side anastomosis harus dilakukan jauh dari ujung buntu jejunum proksimal sehingga dapat terjadi blind pouch saat anak semakin besar. Statis bile pada blind pouch dapat membentuk batui ntrahepatik, khususnya jika duktus
intrahepatik
berdilatasi.
Kami percaya
dengan
hepatico
jejunostomy end to end dan jejuno-jejunostomy end to sideakan mencegah terbentuknya batu dan terjadinya kolangitis asenden. Beberapa ahli bedah menentukan panjang Roux en Y jejuna limb tanpa mempertimbangkan ukuran anak. Hal ini menyebabkan jejunal limb Roux en Y yang panjang yang sebetulnya tidak perlu khsususnya bayi dan anak yang lebih muda.Redundansi Roux limb agaknya akan terjadi seiring pertumbuhan anak. Hal ini menyebabkan terjadinya bile statis pada limb,
yang pada akhirnya menyebabkanterjadinya kolangitis atau terjadinya pembentukan batu. Konstruksi Roux en Yagaknya mencegah terjadinya redundansi Roux limb. Kami merekomendasikan mengamankan jejunal limb dari ligamentum Treitz ke Roux limb pada anastomosisside to side sekitar 8cm proksimal dari anastomosis end to side untuk memastikan bileflow yang smooth dan pasase distal yang baik. Tanpa menggunakan teknik ini jejunostomy akan berbentuk T, sehingga menyebabkan terjadinya refluks konten jejunum ke Roux limb, situasi yang kami temui pada satu pasien yang dioperasi ditempat lain. o Komplikasi Dari beberapa literatur disebutkan dapat terjadi komplikasi pasca eksisi kista baik awal maupun lanjut seperti cholangitis, pembentukan batu, striktur anatomosis, pancreatitis, disfungsi hepar dan keganasan. Fenomena pembentukan batu setelah operasi pertama kali diungkapkan olehTsuchida et al. Uno dan kawan-kawan, pada penelitiannya tentang batu intrahepatik yang terjadi setelah eksisi kista, menerangkan bahwa selalu terjadi striktur sebagaikejadian awal. Cetta juga melaporkan bahwa stasis dari bile akibat striktur dari duktus merupakan kejadian yang mendahului, bukan mengikuti, untuk terbentuknya batuintrahepatik. Telah banyak
dilaporkan
terjadinya
degenerasi
maligna
baik
akibat
retained cyst ataupun akibat inflamasi kronis yang terjadi oleh karena refluks dari enzim pankreas akibat kelemahan dari fungsi sfingter Oddi yang menyebabkan perubahan histologis dan perkembangan ke arah malignansi. Pankreatitis akut merupakankomplikasi yang terjadi pada 20% kasus pada follow up jangka panjang akibat dari pembentukan protein plug.
e. Hepatitis Akut Karena Obat Mekanisme Hepatotoksisitas
Mekanisme jejas hati karena obat yang mempengaruhi protein transport pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit karena asam empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan transport pada kanalikuli yangmenghasilkan translokasi Fas sitoplasmik ke membran plasma, dimana reseptor-reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memacu kematian
sel
melalui
apoptosis.
reaksi hepatoseluler melibatkan mengandung
heme
Disamping
sistem
sitokrom
itu,
banyak
P-450
yang
dan menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang
dapat membuat ikatan kovalen obat dengan
enzim,
sehingga
menghasilkan ikatan baru yang tidak punya peran. Kompleks enzimobat ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitik sel T, merangsang respons imun multifaset yang melibatkan sel-sel sitotoksik dan berbagai sitokin. Obat- obat tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu. 1) Kerusakan hepatosit Ikatan kovalen dari obat ke protein intraseluler dapat menyebabkan penurunan ATP, menyebabkan perakitan benang-benang
aktin
gangguan
aktin.
Kegagalan
di permukaan hepatosit menyebabkan
rupturnya membran hepatosit. 2) Gangguan protein transport Obat yang mempengaruhi protein transport di membran kanalikuli dapat mengganggu aliran empedu. Hilangnya proses pembentukan vili dan gangguan pompa transport misal protein
3
(MRP3)
kolestasis. 3) Aktivasi sel T sitolitik
menghambat
multidrug
resistance–associated
ekskresi bilirubin, menyebabkan
Ikatan kovalen dari obat pada enzim P450 dianggap imunogen, mengaktifkan sel T dan sitokin dan menstimulasi respon imun multifaset. 4) Apoptosis hepatosit Aktivasi jalur apoptosis
oleh reseptor Fas TNF menyebabkan
berkumpulnya caspase interseluler, yang berakibat pada kematian sel terprogram (apoptosis). 5) Reaksi Hipersensitivit as Biasanya terjadi setelah satu sampai lima minggu dimana terjadi proses sensitisasi. Biasanya dijumpai tanda-tanda sistemik berupa demam, ruam kulit,
eosinofilia
dan
kelainan
histologik
berupa
peradangan
granulomatosa atau eosinofilik pada hati. Dengan memberikan satu atau dua challenge dose, gejala-gejala di atas biasanya segera timbul lagi. 6) Reaksi
idiosinkrasi
karena
kelainan
metabolisme
(
Metabolic-
idiosyncratic ) Mempunyai masa laten yang sangat bervariasi yaitu antara satu minggu sampai lebih dari satu tahun. Biasanya tidak disertai demam, ruam kulit,eosinofilia maupun kelainan histopatologik yang spesifik seperti di atas. Dengan memberikan satu atau dua challenge dose kelainan ini tidak dapat diinduksi untuk timbul lagi; untuk ini obat perlu diberikan lagi selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan waktu yang cukup lama agar penumpukan metabolit. 7) Gangguan mitokondria Beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada α-oksidasi (mempengaruhi produksi energi dengan cara menghambat sintesis dinuclotide adenin nicotinamide flavin,
yang
menyebabkan
rantai respirasi. 8) Kerusakan duktus biliaris
dan
dinucleotide
adenin
menurunnya produksi ATP) dan enzim
Metabolit racun yang diekskresikan di empedu dapat menyebabkan kerusakan epitel duktus biliaris.
Secara patofisiologik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati dibedakan atas dua golongan yaitu hepatotoksin yang predictable dan yang unpredictable. -
Predictable Drug Reactions (intrinsik), merupakan obat yang dapat dipastikan selalu akan menimbulkan kerusakan sel hepar bila diberikan kepada setiap penderita dengan dosis yang cukup tinggi. Dari golongan ini ada obat yang langsung merusak sel hati, ada pula yang merusak secara tidak langsung yaitu dengan mengacaukan metabolisme atau faalsel
hati.
merusak
Obat
hepatotoksik
predictable
yang
langsung
sel hati umumnya tidak digunakan lagi untuk pengobatan.
Contohnya ialah karbon tetraklorid dan kloroform. Hepatotoksin yang predictable yangmerusak secara tidak langsung masih banyak yang dipakai misalnya parasetamol, tetrasiklin, metotreksat, etanol, steroid kontrasepsi
danrifampisin.
Tetrasiklin,
etanol
dan
metotreksat
menimbulkan steatosisyaitu degenerasi lemak pada sel hati. Parasetamol menimbulka nnekrosis, sedangkan steroid kontrasepsi dan steroid yang mengalamialkilasi pada atom
C--17
menimbulkan
ikterus
akibat
terhambatnya pengeluaran empedu. Rifampisin dapat pula menimbulkan ikterus karena mempengaruhi konjugasi dan transpor bilirubin dalam hati. -
Unpredictable merupakan
obat
Drug
Reactions/Idiosyncratic
drug
reactions,
yang menimbulkan kerusakan hati namun bukan
disebabkan karena toksisitas intrinsik dari obat, tetapi karena adanya reaksi idiosinkrasi yang hanya terjadi pada orang-orang tertentu. Ciri dari kelainan yang bersifat idiosinkrasi ini ialah timbulnya tidak dapat diramalkan dan biasanya hanya terjadi pada sejumlah kecil orang yang
rentan. Menurut sebab terjadinya, reaksi yang berdasarkan
idiosinkrasi ini dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu karena reaksi hipersensitivitas dan karena kelainan metabolisme. o Implikasi Klinik Gambaran klinik hepatotoksitas imabas obat sulit di bedakan secara klinik dengan penyakit hepatitis atau klolestasis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obatan
atau substansi hepatotoksik lain harus
dapat di ungkap onset umumnya cepat lelah , malaise, dan ikterus, serta dapat
terjadigagal
meminum
hati
akut
yang
berat terutama bila pasien masi
obat tersebut setelah onset hepatotoksisitas. Apabila jejas
hepatosit lebih dominan maka kadar aminotransferase dapat meningkat hingga paling tidak lima kali batas atas normal, sedangkan kenaikan kadar fosfatase alkali dan bilirubin menonjol pada kholestasis. Mayoritas reaksi obat idiosinkratik melibatban kerusakan hepatosit seluruh lobul hepatic dengan derajat nekrosis dan apoptosis bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa hari atau minggu sejak mulai minum obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah obat penyebab di hentikan pemakaianya . Beberapa obat menunjukkan reaksi alergi yang menonjol, seperti phenytoin yang berhubungan dengan demam, limfadenopati, rash, dan jejas hepatosit yang berat. Pemulian
reaksi
imunologik
umumnya lambat
sehingga di duga allergen tetap bertahap di hepatosit selama berminggu minggu bahkan berbulan-bulan. Overdosis asetaminofen ( lebih dari 4 gr per 24 jam) merupakan contoh hepatotoksisitas obat yang tergantung dosis yang dengan cepat menyebabkan jejas hepatosit terutama area sentrilobuler. Kadar aminotranserase biasanya sangat tinggi, dapat melebihi 3500UI/L. Berdasarkan international consensus criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas imbas obat berdasarkan:
-
Waktu mulai dari minum dan berhentinya minum obat sampai awitan reaksi nyata adalah sugestif (5-90
hari dari awal minum obat) atau
kompatibel ( <5 hari atau >90 hari sejak mulai minum obat dan <15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan <30 hari dari penghentian obat untuk reaksi kolestasis) dengan hepatotoksisitas obat. -
Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (enzim hati turun 50% dari konsentrasi diatas batas atas normal dalam 8 hari) atau sugestif (enzim hati turun 50% dalam 30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat.
-
Adanya respon positif pada paparan ulang obat yang sama paling tidak kenaikan 2 x lipat enzim hati.
o Epidemiologi Angka kejadian hepatitis akut et causa obat-obatan sebagian besar tidak diketahui dengan pasti, hal ini dikarenakan penelitian prospektif pada populasi yang berhubungan dengan kerusakan hati yang diakibatkan oleh obat masih relatif rendah. Angka kejadian penyakit ini pada populasi umum diperkirakan 1-2 kasus per 100.000 orang pertahun. Pada pusat rujukan tersier kira-kira terdapat 1,2% hingga 6,6% kasus penyakit hati akut yang diakibatkan oleh hepatitis akut et causa obat- obatan. Sedangkan estimasi insidens penyakit ini adalah 14 per 100.000 pasien per tahun pada penelitian prospektif yang dilakukan di Prancis bagian utara, yang berarti 10 kali lebih tinggi dari rata-rata yang dilaporkan oleh penelitian lain. Laporan terbaru mengindikasikan bahwa hepatitis akut et causa obat-obatan dan alkohol terjadi dalam 1/100 pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam. Hepatitis akut et causa obat- obatan adalah kejadian yang jarang tetapi terkadang menjadi penyakit yang serius. Diagnosis yang cepat dan akurat sangat penting di dalam praktek sehari-hari. Di negara-negara barat, penyebab mayoritas hepatitis akut et causa obat-obatan adalah obat
antibiotik,
antikonvulsan
dan
agen
psikotropika. Laporan lain menyebutkan bahwa Asetaminofen merupakan penyebab utama hepatitis akut et causa obat-obatan di negara-negara barat.
Di
Amerika
Serikat,
amoksisilin/klavulanat,
INH,
nitrofurantoin
danflorokuinolons adalah penyebab hepatitis akut et causa obat-obatan yang terbanyak. Perbedaan diantara penelitian di AS dan Eropa dikarenakan terdapat perbedaan di dalam penggunaan obat-obat yang diterima di masing-masing negara dan kebiasaandi dalam meresepkan obat. Di negara Asia, herbal dan suplemen diet adalah penyebab paling sering dari hepatitis akut et causa obat-obatan. Herbal dan suplement diet baru-baru ini menyebabkan kurang dari 10% kasus hepatitis akut et causa obat-obatan di negara-negara barat. o Etiologi Cedera hati dapat menyertai inhalasi, ingesti atau pemberian secara parenteral dari sejumlah obat farmakologis dan bahan kimia. Terdapat kurang lebih 900 jenis obat, toksin dan herbal yang telah dilaporkan dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-sel
hati.
Beberapa
diantaranya
seperti pada tabel 1 dibawah ini merupakan penyebab paling sering dari Drug Induced Liver Injury. Obat-obat
yang
telah
Induced Liver Injury yakni
dilaporkan
dapat
menyebabkan Drug-
Penelitian yang dilakukan oleh Kazuto Tajiri and Yukihiro Shimizu di Jepang mengungkapkan bahwa penyebab dari Drug Induced Liver Injury diantaranya adalah asetaminofen (16,9%), anti-HIV seperti Stavudine,Didanosine,
Nepirapine, Zidovudine (16,8%), Troglitazone
(11,7%), antikonvulsan seperti Asam Valproat dan phenitoin (10,3%), anti kanker (12,3%)yang meliputi Flutamide (3,3%), Cyclophosphamide (3,1%), Methotrexate. o Patogenesis -
Metabolisme obat Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga membuat mereka mampu menembus membran sel intestinal. Obat kemudian diubah lebih hidrofilik melalui
proses-proses biokimiawi di dalam hepatosit,
menghasilkan produk- produk larut air yang diekskresi ke dalam urin atau empedu. Biotransformasi hepatik ini melibatkan jalur oksidatif utamanya melalui sistem enzim sitokrom P-450. -
Sistem Enzim yang Berperan Dalam Detoksifikasi Sistem tahap I Sistem detoksifikasi tahap I, melibatkan terutama enzim supergen sitokrom P-450, secara umum merupakan enzim pertahanan pertama
melawan bahan asing. Sebagian besar bahan kimia dimetabolisme melalui biotransformasi tahap I. Pada reaksi umum tahap I, enzim sitokrom P-450 (CYP450) menggunakan oksigen dan sebagai kofaktor, NADH, untuk menambah kelompok reaktif, misalnya hidroksil radikal. Sebagai hasil dari tahap ini dalam detoksifikasi, diproduksi suatu molekul reaktif yang lebih toksik daripada molekul awal. Apabila molekul reaktif ini tidak berlanjut pada metabolisme selanjutnya, yaitu tahap II (konjugasi), dapat menyebabkan kerusakan pada protein, RNA, dan DNA di dalam sel. Beberapa penelitian menunjukkan bukti terhadap hubungan antara terjadinya induksi tahap I dan/atau berkurangnya aktivitas tahap II dengan
meningkatnya
resiko
penyakit, misalnya kanker, SLE, dan penyakit Parkinson. Sistem tahap II Reaksi konjugasi pada tahap II umumnya mengikuti aktivasi tahap I,dimana akan mengakibatkan xenobiotik yang telah larut air dapat diekskresikan melalui urin atau empedu. Beberapa macam reaksi konjugasi terdapat di dalam tubuh, termasuk glukoronidasi, sulfas, dan konjugasi glutation serta asam amino. Reaksi ini memerlukan kofaktor yang
tercukupi
melalui
makanan.
Banyak
yang
diketahui
mengenai peran dari sistem enzim tahap I pada metabolism bahan kimia seperti halnya aktivasinya oleh racun lingkungan dan komponen makanan tertentu. Walau begitu, peran detoksifikasi tahap I pada praktek klinik tidak terlalu diperhatikan. Kontribusi dari sistem tahap II lebih diperhatikan dalam penelitian dan praktek klinik. o Faktor Resiko Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya Drug Induced Liver Injury antara lain: 1) Ras Beberapa obat memiliki perbedaan toksisitas terhadap ras tertentu. Misal, ras kulit hitam akan lebih rentan terhadap toksisitas isoniazid. Laju
metabolisme dikontrol oleh enzim P-450 dan itu berbeda pada tiap individu. 2) Umur Reaksi obat jarang terjadi pada anak-anak. Resiko kerusakan hepar meningkat pada orang dewasa oleh karena penurunan klirens, interaksi obat, penurunan aliran darah hepar, variasi ikatan obat, dan volume hepar yang lebih rendah. Ditambah lagi, kurangnya asupan makanan, infeksi,dan sering keluar masuk rumah sakit menjadi alasan penting akan terjadinya hepatotoksisitas obat. 3) Jenis Kelamin Walaupun alasannya tidak diketahui, reaksi obat pada hepar lebih banyak pada wanita. 4) Konsumsi alcohol Peminum alkohol akan lebih rentan pada toksisitas obat karena alkohol menyebabkan kerusakan hepar dan perubahan sirotik yang mengubah metabolisme obat. Alkohol menyebabkan deplesi simpanan glutation yangmenyebabkannya lebih rentan terhadap toksisitas obat. 5) Penyakit hepar Pada umumnya, pasien dengan penyakit hati kronis tidak semuanya memiliki peningkatan resiko kerusakan hepar. Walaupun total sitokrom P-450 berkurang, beberapa orang mungkin terpengaruh lebih dari yanglainnya. Modifikasi dosis pada penderita penyakit hati harus berdasarkan pengetahuan mengenai enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien dengan infeksi HIV dan Hepatitis B atau C, resiko efek hepatotoksik meningkat jika diberikan terapi antiretroviral. Pasien dengansirosis juga resikonya meningkat terhadap dekompensasi pada obat. 6) Faktor genetic Gen unik mengkode tiap protein P-450. Perbedaan genetik pada enzim P-450 menyebabkan reksi abnormal terhadap obat, termasuk reaksi idiosinkratik.
Debrisoquine
merupakan
obat
antiaritmia
yang
menyebabkan rendahnya metabolisme karena ekspresi dari P-450-II-D6. Hal ini dapat di identifikasi dengan amplifikasi PCR dari gen mutasi. 7) Penyakit lain Seseorang dengan AIDS, malnutrisi, dan puasa lebih rentan terhadap reaksi obat karena rendahnya simpanan glutation. 8) Formulasi obat Obat-obatan long-acting lebih menyebabkan kerusakan hepar dibandingkan dengan obat-obatan short-acting. o Penatalaksanaan Kecuali
penggunaan
N-acetylcysteine
untuk
keracunan
asetaminofen (parasetamol), tidak ada anti dotum spesifik terhadap setiap obat. Terapi efek hepatotoksik obat terdiri dari penghentian segera obat-obatan yang dicurigai. Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan kortikosteroid, meskipun belum ada bukti penelitian klinis dengan kontrol. Demikian juga penggunaan ursodiol pada keadaan kolestatik. Pada obatobatan
tertentu
seperti
amoksisilin, asam klavulanat
dan
fenitoin
berhubungan dengan sindrom dimana kondisi pasien memburuk dalam beberapa minggu sesudah pengobatan dihentikan dan perlu waktu berbulan-bulan untuk pulih sepertisedia kala. Prognosis gagal hati akut karena reaksi idiosinkratik obat buruk,dengan angka mortalitas lebih dari 80%. o Pencegahan -
Membeli obat sesuai dengan aturan resep dari dokter
-
Hati-hati dalam penggunan herbal dan suplemen
-
Jangan mencampur penggunaan obat dan alcohol
-
Hati-hati dengan paparan bahan kimia
-
Lindungi anak-anak dari semua obat, herbal dan suplemen
o Komplikasi Komplikasi dari hepatitis akut adalah : -
Peningkatan tekanan di vena porta
Darah dari usus, lien dan pancreas masuk ke hati melalui vena porta. Jika ada kerusakan pada jaringan hati maka akan terjadi bendungan sirkulasi darah yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada vena porta. -
Pelebaran vena Ketika ada pembendungan di vena porta maka darah akan mengalir kembali ke perut, esophagus dan traktus intestinal bagian bawah.
-
Gagal hati
-
Sirosis hati
DAFTAR PUSTAKA Adyana, P., 2012,
Pengaruh Alkohol Terhadap Kesehatan, Semnas FMIPA
Undiksha 2012. Cahyono, J. B. S. B. 2009. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisius FK UNHAS, 2018, Penuntun CSL Sistem Gastroenterohetpaologi, Makassar. Fung, P., Pyrsopoulos, N. 2017. Emerging Concept in Alcoholic Hepatitis. Departemen of Medicine, Division of Gastroenterology and Hepatology. Rutgers new jersey Medical School. Newark Irwana, O., 2009, Ikterus, Pekanbaru Riau, Files of DrsMed – FK UR Longo dan L. 2014. Harrison Gastroenterology dan Hepatologi. Jakarta: EGC M, L.B., Sunny W., 2012, Peran Sel Kupffer pada Steatohepatitis Alkohol, Jurnal Biomedik, Volume 4, Nomor 2, Juli 2012, hlm. 79-87 Ndraha, S. 2013. Kolestasis Intrahepatik. Continuing Medical Education 40 (8) : 567 Price, S.A. dan Wilson, L. M. 2015. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Jakarta: EGC Setiati, S., dkk, 2014, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Interna Publising : Jakarta Tanto C, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius Waldo E. Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 1 & 2. Penerbit Buku Kedokteran : Jakarta.