Laporan Tugas Mata Kuliah
: Maternitas II
Topik
: Infeksi TORCH
Oleh Nama Mahasiswa
: RYAN FAISALDO SIRAD
NIM
: 1733021
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN & NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KATOLIK MUSI CHARITAS PALEMBANG
A. Definisi Infeksi TORCH TORCH adalah singkatan dari Toxoplasma gondi (Toxo), Rubella, Cyto Megalo Virus (CMV), Herpes Simplex Virus (HSV) yang terdiri dari HSVI dan HSV2 serta kemungkinan oleh virus lain (Other virus) yang dampak klinisnya lebih terbatas (misalnya mesles, Vericella, Echovirus, Mumps, virus Vaccinia, virus Polio, dan Coxsackie-B). Para pakar ahli telah sepakat bahwasanya TORCH adalah singkatan dari Toxso, Rabella, CMV, dan Herpes. Toxoplasmosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa yang tergolong dalam coccidia. Sebagai hospes definitive parasit ini adalah kuving, sedangkan manusia sebagai hospes perantaranya (Juanda, 2006). 1. Toxoplasma Toxoplasma adalah parasit intraseluler yang menginfeksi manusia dan hewan berdarah panas. Toxoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplama gondii (Juanda, 2006). Infeksi Toxoplasma disebabkan oleh parasit yang disebut Toxoplasma gondii. Pada umumnya, infeksi Toxoplasma terjadi tanpa disertai gejala spesifik. Kira-kira hanya 10%-20% kasus infeksi a. Penyebab Toxoplasma Infeksi Toxoplasma disebabkan oleh parasit yang disebut Toxoplasma gandii. Toxoplasma gandii adalah protozoa yang dapat di temukan pada hamper semua hewan dan unggas berdarah panas. Akan tetapi kucing adalah inang primernya. Kotoran kucing dan makanan yang berasal dari hewan yang kurang masak, mengandung oocysts dari Toxoplasma gandii dapat menjadi jalan penyebarannya (Sukarni&Sudarti, 2014). b. Faktor risiko Toxoplasma Ada beberapa faktor yang dianggap berisiko dalam masalah toxoplasma salah satunya yaitu status ekonomi. Status ekonomi yang rendah, cenderung mengkonsumsi makanan yang kurang bersih, sehingga mereka rentan terhadap berbagai makanan yang dikonsumsinya. Selain dari status ekoni yang rendah, faktor infeksi toksoplasma juga berhubungan dengan personal hygine yang rendah pula. Menkonsumsi makanan kurang bersih
dapat mengakibatkan ibu hamil terinfeksi toksoplasma. Selain status ekonomi, status kehamilan juga dapat dipengaruhi oleh berapa kali ibu mengalami kehamilan [ CITATION And \l 1033 ]. c. Tanda dan gejala Toxoplasma 1) Pada ibu Terkadang Toxoplasma dapat menimbulkan beberapa gejala seperti gejala influenza, timbul rasa lelah, malaise, dan demam. Akan tetapi umumnya tidak menimbulakan masalah yang berarti. Pada umumnya infeksi Toxoplasma tidak menimbulkan gejala yang spesifik. Ada beberapa gejala yang mungkin muncul pada orang yang terinfeksi toksoplasma, gejala-gejala tersebut adalah: a) Pyrexia of unknow origin (PUO). b) Terlihat lemas dan kelelahan, sakit kepala, rash, myalgia perasaan umum (tidak nyaman). c) Pembesaran kelenjar limfe pada serviks posterior. d) Infeksi menyebar ke saraf, otal, korteks dan juga dapat menyerang sel retina mata. 2) Pada janin Pada awal kehamilan infeksi toksoplasa dapat menyebabkan aborsi dan biasanya terjadi secara berulang. Namun jika kandungan dapat di pertahankan, maka dapat mengakibatkan kondisi lebih buruk ketika lahir. Diantaranya adalah : a) Lahir mati b) Ikterus, dengan pembesaran hati dan limpa c) Anemia d) Perdarahan e) Radang paru f) Penglihatan dan pendengaran kurang g) Dan juga gejala yang dapat muncul kemudian, seperti kelainan mata dan telinga, retardasi mental, kejang-kejang dan ensefalitis selain itu juga dapat merusak otak janin (Sukarni&Sudarti, 2014). Gejala Toxoplasma menurut Sembiring (2016).
1) G1
: Pembesaran kelenjar getah bening di leher ukuran < 3 cm dan
tidak nyeri 2) G6 : Demam, keringat malam, dan pegal-pegal, batuk, sesak nyeri 3) 4) 5) 6)
dada G7 G8 G10 G11
: Nyeri tenggorokan :Nyeri perut akibat pembesaran getah bening di sekitar usus : Bitnik-bintik merah pada kulit : Kejang dan mengalami gangguan keseimbangan, gangguan
saraf, nyeri hebat pada kepala 7) G12 : Kelumpuhan sebelah anggota gerak 8) G13 : Nyeri mata, silau, mata merah gelap pada sebagian lapang pandang d. Patofisiologi Toxoplasma Toxoplasma gandii mempunyai 3 fase dalam hidupnya tiga fase ini terbagi lagi menjadi 5 tingkat siklus : Fase proliferatif, stadium kista, fase schizogoni, gemetogoni dan fase ookista. Siklus aseksual terdiri dari fase proliferasi dan stadium kista. Fase ini dapat terjadi dalam bermacam macam inang, sedangkan siklus seksual secara spesifik hanya terdapat pada kucing. Kucing menjadi terinfeksi setelah memakan mamalia, seperti tikus yang terinffeksi. Kista dalam tubuh kucing dapat terbentuk setelah terjadi beberapa siklus proliferasi dimana terbentuk tropozoit. Kista dengan ini dapa terbentuk selama infeksi kronis yang berhubungan dengan imunitas tubuh. Kista terbentuk intrasel dan kemudian terdapat secara bebas di dalam jaringan sebagai stadium tidak aktif dan dapat menetap dalam jaringan tanpa menimbulkan reaksi inflamasi. Kista pada binatang yang terinfeksi menjadi infeksius, jika termakan oleh karnivora dan toxoplasma tersebut masuk melalui usus. Infeksi pada manusia dapat terjadi saat makan daging kurang matang, sayur-sayuran
yang tidak
masak makanan terkontaminasi kotoran kucing melalui lalat atau serangga, juga kemungkinan terinfeksi saat menghirup udara yang terdapat ookista yang berterbangan (Sukarni&Sudarti, 2014). e. Pencegahan
Pencegahan toksoplasma dapat dilakukan dengan hal-hal berikut : 1) Menggunakan sarung tangan kalau mengurus tanaman di pekarangan atau tanah. Karena kucing mencari tempat buang air besar di pekarangan atau tanah. 2) Mencuci tangan dengan bersih setelah mengolah tanaman dan tanah pekarangan. 3) Bila mengelolah daging mentah, bersihkan dengan baik papan tempat pengolahan, pisau, dan alat alat lain yang kontak dengan daging. Cuci tangan dengan air dan sabun selesai mengolah daging mentah. 4) Masaklah daging dengan sempurna, jangan mencicipi daging yang belum matang sempurna. Dengan mengikuti anjuran pencegahan ini, terbukti sudah cukup untuk mencegah penularan parasit toxoplasma (Sukarni&Sudarti, 2014). 2. Rubella Infeksi Rubella ditandai dengan demam akut, ruam pada kulit dan pembesaran getah bening. Infeksi ini disebabkan oleh virus Rubella, dapat menyerang anak-anak dan dewasa muda, karena dapat menyebabkan kelainan pada bayinya (Sukarni&Sudarti, 2014). a. Penyebab Rubella Infeksi ini disebabkan oleh virus rubella. Virus ini pertamakali ditemukan di amerika pada tahun 1966, virus ini menyebar melalui droplet. Periode inkubasinya sekitar 14-15 hari (Sukarni&Sudarti, 2014). b. Faktor risiko Rubella Ada faktor yang meningkatkan risiko terkena rubella yaitu : 1) Pernah menderita rubella sebelumya. 2) Tidak mendapatkan vaksin gondok, cacar air, dan campak. 3) Berpergian ke Negara lain atau tempat epidemic rubella. c. Tanda dan gejala Rubella Rubella menyebabkan sakit ringan dan tidak spesifik pada orang dewasa, ditandai dengan cacar seperti ruam, demam, dan infeksi saluran pernafasan atas Gejala Rubella menurut Sembiring (2016). 1) G2 :Demam serta keringatdingin. 2) G14 :Sakit kepala terlalu sering disertai hidung tersumbat, pembengkakan.
3) G15
:Tidak nafsu makan dan mual, ruam-ruam merah pada seluruh
badan. d. Patofisiologi Rubella Virus Rubella ditransmisikan melalui pernapasan dan mengalami replikasi di nasofaring dan di daerah kelenjar getah bening. Viremia terjadi antara hari ke 5 sampai hari ke 7 setelah terpajan virus Rubella. Dalam ruangan tertutup, virus Rubella dapat menular ke setiap orang yang berada di ruangan yang sama dengan penderita. Masa inkubasi virus Rubella berkisar antara 14-21 hari. Masa penularan 1 minggu sebelum dan empat hari setelah permulaan (onset) ruam (rash). Pada episode ini, Virus Rubella sangat menular (Sukarni&Sudarti, 2014). e. Pencegahan Rubella Walaupun tidak ada obat yang spesifik untuk virus ini, namun dapat diberikan pencegahan yaitu dengan vaksin dalam bentuk vaksin kombinasi yang sekaligus digunakan untuk mencegah infeksi campak dan gondongan, dikenal sebagai vaksin MMR (Mumps, Measles, Rubella) yang disuntikkan sebanyak 2 kali. Suntikan vaksin pertama diberi semasa umur 12-15 bulan dan suntikan kedua biasanya diberi semasa umur 4-6 tahun. Pemberian imunisasi MMR pada wanita usia reproduktif yang belum mempunyai antibodi terhadap virus rubela amatlah penting untuk mencegah terjadinya infeksi Rubella kongenital pada janin. Setelah pemberian imunisasi MMR, penundaan kehamilan harus dilakukan selama 3 bulan (Sukarni&Sudarti, 2014). 3. Cytomegalovorus (CMV) Infeksi CMV disebabkan oleh virus Cytomegalo, dan virus ini termasuk golongan virus keluarga Herpes lainya, virus CMV ini dapat tinggal secara laten dalam tubuh dan CMV merupakan salah satu penyebab infeksi berbahaya bagi janin. Jika ibu hamil terinfeksi, maka janin yang di kandungan mempunyai risiko tertular (Sukarni&Sudarti, 2014). a. Penyebab CMV
Penularan CMV akan terjadi jika kontak langsung dengan cairan tubuh penderita seperti air seni, air ludah, darah, air mata, sperma dan air susu ibu. Bisa juga karena transpaltasi organ. Kebanyakan penularan terjadi karena cairan tubuh penderita menyentuh tangan individu yang rentan. Kemudian diabsorsi melalui hidung dan tangan. Virus juga dapat ditularkan kepada bayi melalui sekresi vagina pada saat lahir atau pada saat menyusu (Sukarni&Sudarti, 2014). b. Faktor risiko CMV Ibu hamil yang terinfeksi CMV berisiko menularkannya kepada janin. Risiko inveksi congenital CMV paling besar terdapat pada wanita yang sebelumnya tidak pernah terinfeksi dan mereka yang terinfeksi pertama kali ketika hamil. Infeksi CMV lebih sering terjadi di Negara berkembang dan masyarakat dengan status social ekonomi lebih rendah dan merupakan penyerius paling signifikan cacat lahir di Negara – Negara industri (Sukarni&Sudarti, 2014). c. Tanda dan gejala CMV Gejala yang muncul pada wanita hamil minimal dan biasanya mereka tidak sadar telah terinfeksi. Tetapi jika menibulkan gejala maka akan tampak gejala antara lain : 1) Mononucleosis-like syndrome yaitu demam yang tidak teratur selama 3 minggu. Secara klinis timbul gejala lathargi, malaise dan kelainan hematologi yang sulit dibadakan infeksi mononucleosis (tanpa tonsillitis atau faringitis dan limfadenopati servikal). 2) Sindroma post tranfusi. Viremia terjadi 3 – 8 minggu setelah tranfusi. Tampak gambaran panas kriptogenik, splenomegali, kelainan biokimia dan hematologi. 3) Penyakit sistemik luas antara lain pneumonitis yang mengancam jiwa yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi kronis dengan thymoma atau pasien dengan kelainan sekunder dari proses imunologi (seperti HIV tipe 1 atau 2).
4) Hepatitis anikterik yang terutama terjadi pada anak – anak (Sukarni&Sudarti, 2014). Gejala CMV menurut Sembiring (2016). 1) G3 : Demam, letih lesu, gangguan penglihatan 2) G4 : Jumlah sel darah putih menurun 3) G9 : Kejang-kejang dan muntaber d. Patofisiologi CMV Masa inkubasi CMV 1) Setelah lahir 3 – 12 minggu 2) Setelah tranfusi 3 – 12 minggu 3) Setelah tranpaltasi 4 mingggu – 4 bulan Urin yang mengandung CMV dari beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah infeksi. Virus tersebut dapat tetap tidak aktif dalam tubuh seseorang tetapi masih dapat diaktifkan kembali. Hingga kini belum ada imunisasi untuk mencegah penyakit ini (Sukarni&Sudarti, 2014). e. Pencegahan CMV Yang penting dan perlu diperhatika bagi wanita hamil yang seronegatif harus mencegah agar tidak terlalu sering kontak dengan anak usia 2 – 4 tahun yang diketahui menderita infeksi sitomegalovirus, dan selalu menjaga kebersihan diri dengan membiasakan selalu mencuci tangan setelah kontak dengan produk cairan anak – anak seperti muntahan, popok dan lain – lain (Sukarni&Sudarti, 2014). 4. Herpes Infeksi herpes pada alat genital (kelamin) disebabkan oleh Virus Herpes Simpleks tipe II (HSV II). Virus ini dapat berada dalam bentuk laten, menjalar melalui serabut syaraf sensorik dan berdiam diganglion sistem syaraf otonom (Sukarni&Sudarti, 2014). a. Penyebab Herpes Virus herpes simpleks tipe I dan II merupakan virus hominis DNA. Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada kultur, antigenic dan lokasi klinis (tempat predileksi) (Sukarni&Sudarti, 2014). b. Faktor risiko Herpes
Faktor risiko terjadinya HZ adalah usia tua dan disfungsi imunitas seluler. Pasien dengan supresi imun memiliki risiko 20-100 kali lebih besar dibanding
pasien
imunokompeten.
Keadaan
imunosupresi
yang
berhubungan dengan risiko terjadinya HZ adalah infeksi HIV (Human immunodeficiency virus), pasien yang menjalani transplantasi organ, leukemia,
limfoma,
radioterapi,
kemoterapi,
dan
penggunaan
kortikosteroid jangka panjang. Faktor lain yang dilaporkan sebagai salah satu faktor risiko terjadinya HZ adalah jenis kelamin perempuan, adanya trauma fisik pada 1 dermatom yang terkena dan tindakan pembedahan (Ayuningati, 2013 Hal 211) c. Tanda dan gejala Herpes Gejala klinis inveksi VHS ini berlangsung dalam 3 tingkatan. 1) Infeksi primer. Tempat predileksi VHS tipe I di daerah pinggang ke atas terutama didaerah mulut dan hidung, biasanya dimulai pada anak – anak. Inokulasi dapat terjadi secara kebetualan, missal kontak kulit dengan perawat, dokter gigi, atau pada orang yang menggigit jari (herpetic Whitlow). Infeksi primer oleh VHS tipe II mempunyai tempat predileksi didaerah pinggang ke bawah terutama genital menyebabkan herpes meningitis dan infeksi neonates. 2) Fase laten. Pada fase ini tidak akan ditemukan gejala klinis VHS dapat ditemukan dam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis 3) Infeksi Rekuens. Hal ini berarti VHS pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehigga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu ini dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual,
dan
sebagainya),trauma
psikis
(gangguan
emosional,
menstruasi), dan dapat pula timbul akibat jenis makanan dan minuman yang merangsang (Sukarni&Sudarti, 2014). d. Patofisiologi Herpes HSV-1 menyebabkan munculanya gelembung berisi cairan yang terasa nyerii pada mukosa mulut, wajah, dan sekitar mata. HSV-2 atau herpes
genital ditularkan nelalui hubungan seksual dan menyebabkan vagina terlihat bercak dengan luka mungkin muncul iritasi, penurunan kesadaran yang disertai pusing, dan kekuningan pada kuli (jaundice) dan kesulitan bernafas atau kejang. Biasanya hilang dalam 2 minggu infeksi, infeksi pertama HSV adalah yang paling berat dan dimulai setelah masa inkubasi 4 – 6 hari. Setelah infeksi pertama, HSV memiliki kemampuan yang unik untuk bermigrasi sampai pada saraf sensorik tepi menuju spinal ganglia dan berdormasi sampai diaktifasi kembali. Pengaktifan virus yang berdormasi tersebut dapat disebabkan penurunan daya tahan tubuh, stress, depresi, alergi pada makanan, demam, trauma pada mukosa genital, menstruasi, kurang tidur, dan sinar ultraviolet (Sukarni&Sudarti, 2014). e. Pencegahan Untuk mencegah rekuens berbagai usaha dapat dilakukan dengan tujuan meningkatkan imunitas – imunitas selular dengan memberi levamisol dan isoprinosin atau asklovir secara berkala, menurut penelitian memberikan hasil baik. Efek levamisol dan isoprinosin ialah sebagai imunostimulator (Sukarni&Sudarti, 2014). B. Evidence based (EBN) TORCH Sebaiknya dilakukan pemeriksaan IgG avidity untuk mengetahui apakah infeksi sudah lama atau baru terjadi, primer atau sekuder karena keterbatasan dana. Penetapan IgG avidity dilakukan bersamaan waktu penetapan IgG, karena intepretasi hasil IgG avidity tidak dapat dilakukan dengan baik bila kadar IgG dibawah 6 aU/ml atau diatas 400 aU/ml C. Kesimpulan TORCH adalah singkatan dari Toxoplasma gondi (Toxo), Rubella, Cyto Megalo Virus (CMV), Herpes Simplex Virus (HSV) yang terdiri dari HSVI dan HSV2 serta kemungkinan oleh virus lain (Other virus) yang dampak klinisnya lebih terbatas (misalnya mesles, Vericella, Echovirus, Mumps, virus Vaccinia, virus Polio, dan Coxsackie-B). Infeksi TORCH infeksi paling umum menyerang wanita
yang ataupun sedang hamil dan infeksi ini bisanya ditularkan ke calon basi sehingga menyebabkan cacat. Oleh sebab itu penting untuk dilakukan diagnosa dini agar dapat dilakukan pencegahan dan pengobatan lebih awal. Namun sering terjadi hambatan – hambatan seperti : keterbatasan waktu, keadaan fisik yang tidak memungkinkan meninggalkan rumah, masalah keuangan dan lain lain.
Daftar Pustaka
Aini, Z. M., & Saimin, J. (2017). Hubungan Infeksi Torch Pada Kehamilan Dengan Kejadian Kelainan Kongenital Pada Bayi Baru Lahir. 4(2).
Andriyani, R., & Megasari, K. (2015). Faktor Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Toksoplama pada Ibu Hamil di RSUD Arifin Achmad. Jurnal Kesehatan Andalas. 4(2). Ayuningati, L. K., & Indramaya, D. M. (n.d.). Studi Retrospektif: Karateristik Pasien Herpes Zoaster. 211-217. Brunner, & Suddrath. (2013). Keperawatan Medikal-bedah. Jakarta: EGC. Icesmi, S., & Sudarti. (2014). Patologi : Kehamilan. Persalinan, Nifas dan Neonatus Risiko Tinggi. Yogyakarta: Nuha Medika. Juanda. (2006). TORCH (TOXO, RUBELLA, CMV, DAN HERPES) Akibat dan Solusinya. Solo: PT Wangsa Jrta Lestari. Sembiring, E., & Roza, E. (2016). Apliksi Diagnosa Infeksi TORCH pada Kehamilan. 4(2), 119124.