Laporan Skenario 2 Geiatri.docx

  • Uploaded by: DHIYA
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Skenario 2 Geiatri.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 11,215
  • Pages: 58
LAPORAN TUTORIAL BLOK GERIATRI SKENARIO 2 “KISAH SEDIH KALA SENJA”

KELOMPOK XIX ARIF NURHADI ATMOKO

G 0014042

IQBAL RAFSANZANI

G 0014124

MUHAMMAD HAFIZHAN

G 0014164

NURROHMAT TRIATMOJO

G 0014180

AFRYSICHA TUNICIA

G 0014010

ARDELIA MITHAKARINA

G 0014038

DHIYA ANMAR SARI

G 0014066

FARADIBA MAHARANI

G 0014094

INDHAH MEILANI S

G 0014122

MUTHIA AZZIRA PALUPI

G 0014166

PUTI RAMADHINI

G 0014188

SARAH ASIFA

G 0014216

TUTOR : dr. Rohmaningtyas, Sp. KJ FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN

SKENARIO 2 KISAH SEDIH KALA SENJA

Kakek Taruno, kini berusia 78 tahun, dibawa ke poliklinik geriatri oleh cucunya karena beberapa hari mengeluh sulit kencing, tetapi masih keluar sedikit sedikit. Sebelumnya beliau justru mengeluh sulit menahan kencing. Setelah istrinya meninggal satu bulan yang lalu, sering marah-marah, gaduh gelisah, dan tidak bisa tidur. Sejak saat itu sering minum obat tidur dari dokter umum. Pada pemeriksaan tanda vital, Tekanan Darah 150/90 mmHg. Hasil pemeriksaan urin rutin lekosit 50/LPB. Hasil GDS 350 mg/dl, creatinin 2,0 mg/dl, Proteinuria (+3). Setelah diperiksa prostat dengan rectal touché didapatkan sulcus medianis datar. Juga dilakukan pemeriksaan Geriatric Depression Scale, Mini Mental Scale Examination, konsultasi bagian psikiatri. Oleh dokter disarankan dirawat di rumah sakit.

BAB II DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA A. Seven Jumps 1. JUMP I : Membaca skenario dan memahami pengertianbeberapa istilah dalam skenario a.

Geriatric Depression scale: Screening depresi, terdiri dari 30 atau 15 pertanyaan, untuk mengeliminasi hal2 somatik pada lansia.

b.

Kreatinin: produk sisa dari perombakan keratin fosfat yang di terjadi di otot, normalnya pada laki-laki 0,5 sampai dengan 1,5, sedangkan pada perempuan 0,4 sampai dengan 1,1.

c.

Mini Mental Scale Examination: Menilai fungsi kognisi, meliputi orientasi, repetisi, perhatian dan kalkulasi, recall, dan bahasa.

d.

Proteinuria: Protein terdapat di dalam urin, membuat urin menjadi keruh.

e.

Rectal Touche: Pemeriksaan colok dubur menggunakan jari untuk mengetahui adanya pembesaran prostat, adanya lendir atau darah, dan ada tidaknya kanker prostat.

2. JUMP II : Menentukan / mendefinisikan permasalahan 1.

Apa hubungan kejadian istri meninggal dengan keluhan pasien dan bagaimana patofisiologinya?

2.

Mengapa ada proteinuria dan kreatinin melebihi normal?

3.

Apa hubungan riwayat penyakit dahulu sulit menahan kencing dengan riwayat penyakit sekarang sulit kencing?

4.

Apa penyebab sulit kencing dan sulit menahan kencing?

5.

Apa penyebab pasien sulit tidur dan apa hubungan obat tidur yang dikonsumsi pasien?

6.

Apa hubungan usia dengan keluhan pasien?

7.

Bagaimana

interpretasi

tanda

vital,

pemeriksaan

fisik,

dan

pemeriksaan penunjang pasien? 8.

Apa saja faktor risiko depresi pada lansia?

9.

Bagaimana patofisiologi inkontinensia urin?

10. Apa saja tipe-tipe inkontinensia urin dan penatalaksanaannya? 11. Apa penyebab pasien marah-marah, gaduh gelisah? 12. Mengapa pada pasien harus dilakukan rectal touché? 13. Apa indikasi pemeriksaan GDS dan MMSE, bagaimana cara pemeriksaannya? 14. Mengapa harus dikonsultasikan ke psikiatri dan disarankan dirawat di rumah sakit? 15. Apa diagnosis banding keluhan pasien? 16. Apa saja pemeriksaan penunjang yang harus diberikan? 17. Bagaimana prognosis dari keluhan pasien? 18. Apa komplikasi dari keluhan pasien? 3. JUMP III: Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan sementara mengenai permasalahan. 1. Apa hubungan kejadian istri meninggal dengan keluhan pasien dan bagaimana patofisiologinya? Jawaban : sebagai LO 2. Mengapa ada proteinuria dan kreatinin melebihi normal? Jawaban : sebagai LO 3. Apa hubungan riwayat penyakit dahulu sulit menahan kencing dengan riwayat penyakit sekarang sulit kencing? Jawaban : sebagai LO 4. Apa penyebab sulit kencing dan sulit menahan kencing? Jawaban : sebagai LO 5. Apa penyebab pasien sulit tidur dan apa hubungan obat tidur yang dikonsumsi pasien? Jawaban : Ada 2 jenis obat tidur yang sering dipakai, yaitu : a. Benzodiazepin

Benzodiazepine berefek hypnosis, sedasi, relaksasi otot, ansiolitik, dan antikonvulsi. Hampir semua efek benzodiazepine merupakan hasil kerja golongan ini pada SSP dengan efek utama : sedasi, hypnosis, pengurangan terhadap rangsangan emosi/ansietas. Efeknya pada tidur menyebabkan mengurangi waktu jatuh tidur, sehingga meningkatkan siklus tidur REM. Kerja benzodiazepine berupa interakhsinya dengan reseptor penghambar neurotransmitter yang diaktifkan oleh asam gamma amino butirat (GABA). Benzodiazepin diabsorbsi secara sempurna di usus. Golongannya terbagi atas lama kerjanya, (1) senyawa yang bekerja sangat cepat; (2) senyawa yang bekerja cepat, dengan waktu paruh kurang dari 6 jam ; (3) senyawa yang bekerja sedang, dengan waktu paruh 6-24 jam, dan ; (3) senyawa yang bekerja lebih lama dari 24 jam. Metabolit aktifnya terikat pada protein plasma.Benzodiazepin dimetabolisme secara ekstensif oleh kelompok enzim mitokrom P450 di hati. Efek sampingnya antara lain lemas, sakit kepala, pandangan kabur, vertigo, mual dan muintah, diare, nyeri epigastric, nyeri sendi, nyeri dada, dan pada beberapa pasien dapat mengalami inkontinensia. Pada efek psikologik, benzodiazepine juga dapat meningkatkan efek paradoksal. Penggunaan benzodiazepine dalam waktu lama juga dapat berisiko terjadinya ketergantungan dan penyalahgunaan, namun dapat dicegah dengan penggunaan dosis yang tepat. Indikasi benzodiazepine antara lain : pengobatan insomnia, ansietas, kaku otot, medikasi preanestesi, dan anestesi. b. Barbiturat Efek utama barbiturat ialah depresi SSP, mulai dari sedasi, hypnosis,

berbagai

tingkat

anesthesia,

koma,

dan

bahkan

kematian.Barbiturat tidak dapat mengurangi rasa nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran.Bahkan, pada keadaan tertentu, barbiturat justru menimbulkan eksitasi, karena adanya depresi pusat penghambatan. Efek hipnotik barbiturate meningkatkan total lama tidur dan mempengaruhi tingkatan tidur, tergantung dosisnya. Penyalahgunaan

barbiturate berisiko terjadi ketergantungan. Dosis nonanestesi barbiturate terutama menekan respons pasca sinaps pada SSP. Penghambatannya hanya terjadi pada sinaps GABA-nergik. Efek lain barbiturat pada pernafasan menimbulkan depresi pernafasan yang berbanding lurus dengan dosis. Pada dosis hipnotik oral dapar menyebabkan pengurangan frekuensi dan amplitude nafas, ventilasi alveolus berkurang, seperti pada keadaan tidur fisiologis. Pada dosis hipnotik oral yang lebih tinggi atau suntikan IV dapat menyebabkan depresi pernafasan yang lebih berat.Pada system kardiovaskular juga, menyebabkan penurunan frekuensi nadi dan tekanan darah sedikit seperti pada keadaan tidur fisiologis, namun dengan dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan hipotensi dan syok.Barbiturat oral diabsorbsi secara cepat dan sempurna, dengan mula kerja sekitar 1060 menit, dan dihambat oleh adanya makanan di lambung.Barbiturat didistribusikan secara luas, dan dapat melewati plasenta. Pemberian secara IV akan ditimbun di jaringan lemak dan otot, dan menyebabkan pasien akan sadar dalam waktu 5-15 menit setelah penyuntikan. Barbiturat diekskresikan lewat urin dan eliminasinya berlangsung selama 24 jam.Efek samping barbiturate yang utama adalah hangover/after effects, yang terjadi pada beberapa hari setelah pemakaian. Efek samping ini meliputi vertigo, mual, muntah, atau diare.Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturate lebih menimbuilkan eksitasi daripada depresi. Sesekali juga menimbulkan rasa myalgia, neuralgia. Hipersentivitas akan barbiturate dapat terjadi terutama pada individu yang mengidap asma, urtikaria, angioedema, dan keadaan serupa. Penggunaan barbiturate sebagai hipnotik-sedatif saat ini sudah berkurang karena efeknya pada SSP kurang spesifik. Namun, masih digunakan sebagai terapi darurat kejang, seperti tetanus, eklamsia, status epilepsy, pendarahan serebral, dan keracunan konvulsan. Barbiturat tidak boleh diberikan pada pasien alergi

barbiturate, penyakit hati atau ginjal, hipoksia, dan penyakit Parkinson (Gunawan et al, 2011). Pada lansia yang mengalami gangguan tidur pada dasarnya lebih baik memberi tata laksana terlebih dahulu untuk penyakit yang menyebabkan gangguan tidur pada lansia. Hal ini dikarenakan adanya penurunan fungsi organ tubuh pada lansia sehingga sebisa mungkin meminimalisir obat yang masuk. Selain itu, menjaga pola hidup sehat lebih disarankan bagi lansia yang mengalami gangguan tidur dibandingkan mengkonsumsi obat tidur dalam jangka waktu lama. 6. Apa hubungan usia dengan keluhan pasien? Jawaban : Organ Kandung kemih

Perubahan morfologis Trabekulasi meningkat

Perubahan Fisiologis Kapasitas penyimpanan menurun

Fibrosis meningkat

Kemampuan menahan kencing menurun

saraf autonom menurun

Kontraksi involunter meningkat

Pembentukan divertikula

Volume residu pasca berkemih meningkat

Uretra

Komponen seluler

Tekanan penutupan

menurun

menurun

Deposit kolagen

Tekanan akhiran keluar

meningkat

menurun

Prostat

Hiperplasi dan membesar

Vagina

Komponen seluler menurun Mukosa atrofi

Dasar Panggul

Deposit kolagen

meningkat Rasio jaringan ikat – otot meningkat Otot melemah Proses menua baik pada laki-laki maupun perempuan telah diketahui mengakibatkan perubahan-perubahan anatomis dan fisiologis pada system urogenital bagian bawah. Perubahan-perubahan tersebut berkaitan dengan menurunnya kadar estrogen pada perempuan dan hormone androgen pada laki-laki. Pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis dan kandungan kolagen sehingga mengakibatkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi dan mudah terbentuk trabekulasi sampai divertikel. Atrofi

mukosa,

perubahan

vaskularisasi

submukosa,

dan

menipisnya lapisan otot uretra mengakibatkan menurunnya tekanan penutupan uretra dan tekanan outflow. Pada laki-laki terjadi pengecilan testis dan pembesaran prostat sedangkan pada perempuan terjadi penipisan dinding vagina dengan timbulnya eritema atau ptekie, pemendekan dan penyempitan ruang vagina serta berkurangnya lubrikasi dengan akibat meningkatnya pH serta lingkungan vagina. Perubahan akibat proses menua pada system urogenital bawah mengakibatkan posisi kandung kemih prolapse sehingga melemahkan tekanan atau tekanan akhiran kemih keluar. Jika sebelumnya pasien mengalami kesulitan berkemih karena beberapa kemungkinan penyebab seperti penurunan kontraktilitas dari otot detrusor dan obstruksi oleh kelenjar prostat yang membesar, terdapat beberapa mekanisme yang menyebabkan lanjut usia mengalami kesulitan untuk menahan kencing. Sarkopenia pada lanjut usia dan perubahan komposisi jaringan ikat menyebabkan berubahnya efisiensi otot sfingter dan mengakibatkan terganggunya penyimpanan dan pengeluaran urin. Ketebalan otot polos dan lurik dari otot sfingter baik eksterna maupun interna mengalami

pengurangan. Gabungan dari overaktivitas detrusor dengan penurunan fungsi otot sfingter menyebabkan lanjut usia sulit menahan kencing. 7. Bagaimana interpretasi tanda vital, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien? Jawaban : Interpretasi Pemeriksaan Fisik dan Penunjang a. Hasil pemeriksaan prostat dengan rectal touche didapatkan sulkus medianus datar mengindikasikan adanya pembesaran prostat, maka DD nya adalah benign prostate hyperplasia (BPH) derajat 2. b. Hasil pemeriksaan tekanan darah 150/90 termasuk kedalam kategori hipertensi stage 2. c. Hasil pemeriksaan urin rutin lekosit 50/LPB menunjukkan adanya leukosuria. Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting terhadap dugaan adalah Infeksi Saluran Kemih(ISK). Dinyatakan positif bila terdapat >5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sedimen air kemih. Adanya leukosit silinder pada sediment urin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal. ISK pada skenario ini kemungkinan disebabkan oleh pembesaran prostat yang didapatkan pada pasien. Namun adanya leukosuria tidak selalu menyatakan adanya ISK karena dapat pula dijumpai pada inflamasi tanpa infeksi.Pada sistem urogenitalia yang normal, ginjal menyaring darah dan mencegahleukosit untuk melewati urin. Beberapa penyebab leukosit urin seperti ISK, nefritis interstisial, pielonefritis, dan penyebab lain yang menandakan terjadinya infeksi (normal= 0-4/LPB). d. GDS adalah hasil pengukuran gula darah yang dilakukan seketika waktu itu, tanpa ada puasa. GDS >200 mg/dL menandakan seseorang menderita diabetes melitus. Hasil pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS) didapatkan 350 mg/dl, maka pasien termasuk Diabetes Melitus (DM) karena gula darah mencapai >200 mg/dL. e. Proteinuria +3 : proteinuria (albuminuria) adalah suatu kondisi dimana terlalu bantak protei dalamurin. Ginjal yang bekerja dengan benar akan menyaring limbah keluar dari darah dan tetap menyimpan unsur

penting seperti albumin untuk mencegah air keluar dari darah ke jaringan. Nilai proteinuria dengan dipstik: (-): 10-20 mg/dl (+1): 50 mg/dl (+2): 100 mg/dl (+3): 300 mg/dl (+4): 1000-2000 mg/dl. f. Kreatinin 2.0 mg/dl :kreatinin dalam darah adalah salah satu indikator menilai fungsi ginjal selain ureum. Nilai normal kreatinin pada pria ada pada kisaran 0.7-1.2 mg/dl. Kenaikan nilai ini bisa karena gangguan fungsi ginjal, orang yang mengonsumsi obat darah tinggi jenis tertentu, serta orang yang melakukan olahraga fisik berat. Berdasarkan skenario, didapatkan kreatinin 2,0 mg/dl dan proteinuria (+3). Pemeriksaan kadar kreatinin serum dan protein pada urin digunakan untuk mengetahui fungsi ginjal. Kreatinin adalah produk limbah dalam darah yang berasal dari aktivitas otot. Produk limbah ini biasanya dibuang dari darah melalui ginjal, tapi ketika fungsi ginjal melambat, tingkat kreatinin akan meningkat. Jumlah kreatinin yang dikeluarkan seseorang setiap hari lebih bergantung pada massa otot total daripada aktivitas otot atau tingkat metabolisme protein, walaupun keduanya juga menimbulkan efek. Pembentukan kreatinin harian umumnya tetap, kecuali jika terjadi cedera fisik yang berat atau penyakit degeneratif yang menyebabkan kerusakan masif pada otot. Nilai rujukan pada dewasa yaitu laki-laki: 0,6-1,3 mg/dl; perempuan: 0,5-1,0 mg/dl. Pada lansia kadarnya mungkin berkurang akibat penurunan massa otot dan penurunan produksi kreatinin.

Bila ginjal rusak maka dapat terjadi kebocoran protein ke urin. Biasanya, hanya sebagian kecil protein plasma disaring di glomerulus yang diserap oleh tubulus ginjal dan diekskresikan ke dalam urin. Dengan menggunakan spesimen urin acak (random) atau urin sewaktu, protein dalam urin dapat dideteksi menggunakan strip reagen (dipstick). Normal ekskresi protein biasanya tidak melebihi 150 mg/24 jam atau 10 mg/dl urin. Lebih dari 10 mg/dl didefinisikan sebagai proteinuria. Sejumlah kecil protein dapat dideteksi pada urin orang yang sehat karena perubahan fisiologis. Selama olah raga, stres atau diet yang tidak seimbang dengan daging dapat menyebabkan proteinuria transien. Pada skenario pemeriksaan menggunakan Dipstick yang mendeteksi protein dengan indikator warna Bromphenol biru, yang sensitif terhadap albumin. Peningkatan ekskresi albumin merupakan petanda yang sensitif untuk penyakit ginjal kronik yang disebabkan karena penyakit glomeruler, diabetes mellitus, dan hipertensi. Berdasarkan tes fungsi ginjal didapatkan diagnosis banding antara lain chronic kidney disease (CKD), acute renal failureI (ARF), dan sindroma nefrotik diabetikum.

8. Apa saja faktor risiko depresi pada lansia? Jawaban : Gangguan depresi pada usia lanjut ditegakkan berpedoman pada PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III) yang merujuk pada ICD 10 (International Classification of Deseases 10). Gangguan depresi dibedakan dalam depresi ringan, sedang, dan berat sesuai dengan banyak dan beratnya gejala serta dampaknya terhadap kehidupan seseorang. Pedoman diagnostik lainnya adalah DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV). Depresi berat menurut DSM IV jika ditemukan 5 atau lebih gejala-gejala berikut di bawah ini,

yang terjadi hampir setiap hari selama 2 minggu dan salah satu dari gejala tersebut adalah mood depresi atau hilangnya rasa senang/minat. Gejala-gejala tersebut : -

Mood depresi hampir sepanjang hari

-

Hilang nikmat/rasa senang secara nyata dalam aktivitas normal

-

Berat badan menurun atau bertambah

-

Insomnia atau hipersomnia

-

Agitasi atau retardasi psikomotor

-

Kelelahan dan tidak punya tenaga

-

Rasa tidak berharga atau perasaan bersalah berlebihan

-

Sulit berkonsentrasi

-

Pikiran berulang tentang kematian, percobaan/ide bunuh diri.

ICD 10, pada gangguan depresi, ada tiga gejala utama yaitu : 1. Mood terdepresi 2. Hilang minat/semangat 3. Hilang tenaga/mudah lelah. Disertai gejala lain : 1.

Konsentrasi menurun

2.

Harga diri menurun

3.

Perasaan bersalah

4.

Pesimis memandang masa depan

5.

Ide bunuh diri atau menyakiti diri sendiri

6.

Pola tidur berubah

7.

Nafsu makan menurun

Faktor risiko terjadinya depresi menurut Amir N (2005) adalah jenis kelamin (wanita lebih cepat depresi dibandingkan laki-laki), usia rata-rata awitan antara 20-40 tahun), status perkawinan terutama individu yang bercerai atau berpisah, geografis (penduduk dikota lebih sering depresi daripada penduduk di desa), riwayat keluarga yang menderita gangguan depresi (kemungkinan lebih sering terjadi depresi), kepribadian : mudah

cemas, hipersensitif, dan lebih tergantung orang lain, dukungan sosial yaitu seseorang yang tidak terintegrasi ke dalam masyarakat, stresor sosial : peristiwa-peristiwa baik akut maupun kronik, tidak bekerja terutama individu yang tidak mempunyai pekerjaan atau menganggur. Depkes RI (2001) menyatakan ada beberapa keadaan yang beresiko menimbulkan depresi yaitu kehilangan/meninggal orang (objek) yang dicintai, sikap psimistik, kecendrungan berasumsi negatif terhadap suatu pengalaman

yang

mengecewakan,

kehilangan

integritas

pribadi,

berpenyakit degeneratif kronik, tanpa dukungan sosial yang kuat.

9. Bagaimana patofisiologi inkontinensia urin? Jawaban : a. Inkontinensia Urin Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah social dan higienis penderitanya. Proses menua baik pada laki-Iaki maupun perempuan telah diketahui mengakibatkan perubahan-perubahan anatomis dan fisiologis pada sistem urogenital bagian bawah. Secara keseluruhan perubahan akibat proses menua pada sistem urogenital bawah mengakibatkan posisi kandung kemih prolaps sehingga melemahkan tekanan atau tekanan akhiran kemih keluar. b. Penyebab dan Tipe Inkontinensia Urin Mengetahui

penyebab

inkontinensia

urin

penting

dalam

penatalaksanaannya yang tepat. Perlu dibedakan 4 penyebab pokok yaitu: gangguan urologik, neurologis, fungsional/psikologis , dan iatrogenik lingkungan. 1. Inkontinensia akut terjadi secara mendadak, biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenik yang menghilang jika bila kondisi akut teratasi atau problem medikasi dihentikan.

2. Inkontinensia persisten merujuk pada kondisi urikontinensia yang tidak berkaitan dengan kondisi akut iatrogenik dan berlangsung lama. Penyebab inkontinensia urin akut dapat di ingat dengan akronim DRIP. Ada 2 kelainan mendasar pada fungsi saluran kemih bawah yang melatarbelakangi inkontinensia persisten yaitu : a. Kegagalan menyimpan urin pada kandung kemih akibat hiperaktif atau menunmnya kapasitas kandung kemih atau lemahnya tahanan saluran keluar. b. Kegagalan

pengosongan

kandung

kemih

akibat

lemahnya

kontraksi otot detrusor atau meningkatnya tahanan aliran keluar. 3. Inkontinensia Urin Kronik-Persisten

c. Jenis-jenis Inkontinensia urin 1. Kelainan pada buli-buli (Inkontinensia Urge) a.

Overaktivitas detrusor 1) Hiperefleksia Detrusor (Kelainan Neurologis) Sering disebabkan oleh : Stroke, parkinson, cedera korda spinalis, multiple sklerosis, spina bifida.

2) Instabilitas Detrusor (Non Neurologis) Sering disebabkan oleh : obstruksi infravesika, pasca bedah infravesica, batu buli, tumor buli, sistitis b.

Menurunnya Komplians buli-buli (Penurunan buli-buli dalam mempertahankan tekanannya pada saat pengisian urin, akibat bertambahnyakolagen

pada

matriks

detrusor

atau

kelainan

ditandai

dengan

neurologis 2. Kelainan pada uretra (Inkontinensia Stress) a. Hiperpermeabilitas uretra b. Defisiensi sfingter intrinsik

d. Tipe Inkontinensia Urin 1. Inkontinensia

urin

tipe

urgensi

:

ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul. Manifestasinya berupa urgensi, frekuensi, dan nokturia. Kelainan ini dibagi 2 subtipe yaitu motorik dan sensorik. - Subtipe motorik disebabkan oleh lesi pada sistem saraf pusat seperti stroke, parkinsonism, tumor otak dan sklerosis multipel atau adanya lesi pada medula spinalis suprasakral. - Subtipe sensorik disebabkan oleh hipersensitivitas kandung kemih akibat sistitis, uretritis, dan divertikulitis. 2. Inkontinensia urin tipe stres : akibat tekanan intraabdominal yang meningkat seperti batuk, bersin, atau mengejan, terutama terjadi

pada

perempuan

usia

lanjut

yang

mengalami

hipermobilitas uretra dan lemahnya otot dasar panggul akibat seringnya melahirkan, operasi dan penurunan estrogen. 3. Inkontinensia urin tipe overflow : Meningkatnya tegangan kandung kemih akibat obstruksi prostat hipertrofi pada laki-Iaki atau lemahnya otot detrusor akibat diabetes melitus, trauma medula spinalis, obat-obatan dapat menimbulkan. Manifestasi

klinisnya berupa berkemih sedikit, pengosongan kandung kemih tidak sempurna, dan nokturia. 4. Inkontinensia urin tipe fungsional : akibat penurunan berat fungsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat. Hal ini terjadi biasanya pada demensia berat, gangguan mobilitas (artritis genu, kontraktur), gangguan neurologik dan psikologik. 10. Apa saja tipe-tipe inkontinensia urin dan penatalaksanaannya? Jawaban : Tipe- tipe inkontinensia urin sudah terjawab di nomor 9. Penatalaksaannya adalah : a. Terapi non Farmakologi 1. Bladder

training

bertujuan

memperpanjang

interval

berkemih yang normal dengan teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam sekali. 2. Latihan otot dasar panggul, dilakukan tiga sampai lima kali sehari dengan 15 kontraksi dan menahan hingga 10 detik. Latihan ini dapat meningkatkan kekuatan uretra untuk menutup sempurna. Efektif untuk tipe stres atau campuran dan tipe urgensi. 3. Habit training memerlukan penjadwalan waktu berkemih. Diupayakan agar jadwal berkemih sesuai dengan pola berkemih pasien sendiri. Teknik ini sebaiknya digunakan pada inkontinensia urin tipe fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas kesehatan atau pengasuh pasien. 4. Prompted voiding dilakukan dengan cara mengajari pasien mengenali kondisi atau status kontinensia mereka serta

dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif. 5. Terapi

biofeedback

bertujuan

agar

pasien

mempu

mengontrol/menahan kontraksi involunter otot detrusor kandung kemihnya. Cara biofeedback mempunyaikendala karena penderita karena jangka waktu lama dan perlu mempunyai intelegensia yang cukup untuk dapat mengikuti petunjuk pelatihnya, 6. Stimulasi elektrik merupakan terapi yang menggunakan dasar kejutan kontraksi otot pelvis dengan menggunakan alat-alat bantu pada vagina atau rektum. Terapi ini tidak begitu

disukai

oleh

pasien,

karena

pasien

harus

menggunakan alat dan kemajuan dari terapi ini terlihat lamban. 7. Penggunaan

keteter

menetap

(indwelling

catheter)

sebaiknya tidak digunakan secara rutin dalam pengelolaan inkontinensia urin karena dapat terjadi ISK sampai sepsis, pembentukan batu, abses, dan bocor. b. Terapi Farmakologi •

Obat fenilpropanolamin saat ini dihentikan penggunaannya untuk inkotinensia urin tipe stres karena uji klinik menunjukkan adanya peningkatan risiko stroke.



Pseudoefedrin

dapat

digunakan

untuk

tatalaksana

inkontinensia tipe stres karena meningkatkan tekanan sfingter uretra, sehingga menghambat pengeluaran urin •

Antikolinergik

dapat

inkontinensia

urgensi.

digunakan Oksibutinin

untuk

tatalaksana

memiliki

efek

antikolinergik dan merelaksasikan otot halus. Tolterodin

merupakan kompetitif bloker reseptor M3.

11. Apa penyebab pasien marah-marah, gaduh gelisah? Jawaban : sebagai LO 12. Mengapa pada pasien harus dilakukan rectal touché? Jawaban: Karena berdasarkan hasil pemeriksaan leukosit menunjukkan kemungkinan terjadinya Infeksi Saluran Kemih (ISK). ISK memiliki komplikasi seperti Benign Prostat Hiperplasia (BPH). Selain itu, pada pria usia lanjut, kejadian BPH banyak terjadi pada usia di atas 50 tahun. Berdasarkan dari keluhan yang dialami pasien yaitu sulit kencing merupakan salah satu gejala dari BPH. Itulah sebabnya perlu dilakukan pemeriksaan Rectal Toucher untuk menegakkan diagnosis dengan lebih pasti. 13. Apa indikasi pemeriksaan GDS dan MMSE, bagaimana cara pemeriksaannya? Jawaban : Pemeriksaan MMSE (Mini-Mental State Examination) Disebut juga Folstein test adalah tes yang digunakan untuk menunjukkan ada atau tidaknya pelemahan kognitif (cognitive impairment) pada pasien. Tes dilakukan dengan memberikan pertanyaan sederhana atau masalah pada pasien dengan cakupan: tempat dan waktu tes dilakukan, mengulangi beberapa kata, aritmatika, penggunaaan dan pemahaman bahasa, dan kemampuan motorik dasar. Nilai tertinggi dari MMSE adalah 30. Metode

Skor

Interpretasi

Single Cutoff

< 24

Abnormal

Range

< 21

Meningkatkan

> 25

demensia Menurunkan

kemungkinan

kemungkinan

menderita

menderita

demensia Pendidikan

Keparahan

21

Abnormal untuk pendidikan kelas 8

< 23

Abnormal untuk pendidikan SMA

< 24

Abnormal untuk pendidikan kuliah

24 – 30

Tidak ada pelemahan kognitif

18 – 23

Pelemahan kognitif ringan

0 – 17

Pelemahan kognitif berat

Tabel: Interpretasi Skor MMSE Interpretasi: 24-30 (normal) 17-23 (probable) < 16 (definitif) atau 25-30 (normal) 21-24 (gangguan ringan) 10-20 (gangguan sedang) < 9 (gangguan berat) MINI MENTAL STATUS EXAMINATION (MMSE) 1.

Nama Pasien

: ... (Laki-laki / Perempuan )

2.

Umur

: ... tahun

3.

Pekerjaan/Jabatan : ...

4.

Pendidikan Terakhir: ...

5.

Riwayat

Penyakit:

O

Lainnya............................... 6.

Alasan Diperiksa

:-

Stroke O

DM O

HT O

Jantung O

Item Tes

Standar

ORIENTASI 1

Sekarang : tahun, bulan, hari, tanggal, musim 5

2

berapa/apa?

5

Kita berada dimana? Negara, Provinsi, Kota, RS, Lantai REGISTRASI 3

Sebutkan nama 3 benda (apel-meja-koin), tiap benda 3 1 detik. Pasien disuruh menyebutkan nama benda tersebut. Nilai 1 untuk setiap jawaban yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebutkan ketiganya dengan benar, catat berapa kali pengulangannya. ATENSI dan KALKULASI

4

Kurangi 100 dengan 7 sampai 5 kali pengurangan. 5 Nilai 1 untuk setiap jawaban benar. Atau disuruh mengeja terbalik kata “WAHYU”, nilai 1 untuk setiap urutan benarnya. MENGINGAT KEMBALI

5

Pasien disuruh menyebut ulang ke 3 nama ad 3. Nilai 3 1 setiap yang benar. BAHASA

6

Pasien disuruh menyebutkan 2 nama benda yang ditunjukkan ke dia.

7

Pasien disuruh mengulang kata : namun – tanpa – 2

8

bila. Pasien disuruh melakukan perintah: “ Ambil kertas 1 ini dengan tangan kanan anda – Lipat menjadi 2 – 3

9

dan letakkan di lantai!” Pasien disuruh baca dan melakukan perintah tertulis:

10

“ Pejamkan mata anda!”

1

Pasien

Pasien disuruh menulis satu kalimat lengkap yang 11

berarti.

1

Pasien disuruh mengkopi bentuk gambar dibawah ini:

1

TOTAL

30

Pemeriksaan GDS (Geriatric Depression Scale) Penilaian yang dilakukan untuk mengetahui skala depresi seorang pasien lanjut usia, salah satu tool yang dapat dipergunakan adalah Geriatric Depression Scale (GDS). Versi asli dari tool ini terdiri dari 30-item. Beri tanda silang ( √ ) di Kolom yang telah diberikan 1. Apakah anda puas dengan kehidupan anda? 2. Apakah anda mengurangi banyak aktivitas dan hobi anda? 3. Apakah anda merasa kehidupan anda terasa hampa? 4. Apakah anda senantiasa bosan? 5. Apakah anda memiliki harapan pada masa depan? 6. Apakah anda terganggu dengan pikiran yang tidak dapat dilupakan? 7. Apakah anda bersemangat setiap waktu? 8. Apakah anda takut tentang sesuatu yang buruk yang akan menimpa anda? 9. Apakah anda merasa bahagia setiap waktu? 10. Apakah anda merasa tidak berdaya?

Ya

Tidak

11. Apakah anda merasa gelisah dan gugup? 12. Apakah anda lebih memilih di dalam rumah daripada berjalan-jalan ke luar dan melakukan sesuatu yang baru? 13. Apakah anda selalu khawatir akan masa depan anda? 14. Apakah anda memiliki masalah pada ingatan? 15. Apakah anda berfikir bahwa luar biasa anda diberikan kehidupan sampai sekarang? 16. Apakah anda selalu merasa kecewa dan sedih? 17. Apakah anda merasa tidak berguna? 18. Apakah anda mengkhawatirkan masa lalu anda? 19. Apakah anda menemukan kehidupan yang menyenangkan? 20. Apakah anda memiliki kesulitan untuk memulai hal yang baru? 21. Apakah anda memiliki energi maksimal? 22. Apakah anda merasa situasi anda saat ini tidak tertolong? 23. Apakah anda berfikir bahwa orang lain lebih baik dari anda? 24. Apakah anda selalu menangisi hal-hal kecil? 25. Apakah anda selalu merasa ingin menangis? 26. Apakah anda memiliki kesulitan dalam berkonsentrasi? 27. Apakah anda menikmati suasana bangun di pagi hari? 28. Apakah anda lebih memilih untuk menghindari perkumpulan sosial?

29. Apakah anda mudah untuk membuat keputusan? 30. Apakah pikiran anda jernih?

Panduan penilaian Beri tanda silang ( √ ) di Kolom yang telah diberikan

Ya

Tidak

1. Apakah anda puas dengan kehidupan anda?

0

1

2. Apakah anda mengurangi banyak aktivitas dan hobi anda?

1

0

3. Apakah anda merasa kehidupan anda terasa hampa?

1

0

4. Apakah anda senantiasa bosan?

1

0

5. Apakah anda memiliki harapan pada masa depan?

0

1

6. Apakah anda terganggu dengan pikiran yang tidak dapat dilupakan?

1

0

7. Apakah anda bersemangat setiap waktu?

0

1

8. Apakah anda takut tentang sesuatu yang buruk yang akan menimpa 1

0

anda? 9. Apakah anda merasa bahagia setiap waktu?

0

1

10. Apakah anda merasa tidak berdaya?

1

0

11. Apakah anda merasa gelisah dan gugup?

1

0

12. Apakah anda lebih memilih di dalam rumah daripada berjalan-jalan ke 1

0

luar dan melakukan sesuatu yang baru? 13. Apakah anda selalu khawatir akan masa depan anda?

1

0

14. Apakah anda memiliki masalah pada ingatan?

1

0

15. Apakah anda berfikir bahwa luar biasa anda diberikan kehidupan 0

1

sampai sekarang? 16. Apakah anda selalu merasa kecewa dan sedih?

1

0

17. Apakah anda merasa tidak berguna?

1

0

18. Apakah anda mengkhawatirkan masa lalu anda?

1

0

19. Apakah anda menemukan kehidupan yang menyenangkan?

0

1

20. Apakah anda memiliki kesulitan untuk memulai hal yang baru?

1

0

21. Apakah anda memiliki energi maksimal?

0

1

22. Apakah anda merasa situasi anda saat ini tidak tertolong?

1

0

23. Apakah anda berfikir bahwa orang lain lebih baik dari anda?

1

0

24. Apakah anda selalu menangisi hal-hal kecil?

1

0

25. Apakah anda selalu merasa ingin menangis?

1

0

26. Apakah anda memiliki kesulitan dalam berkonsentrasi?

1

0

27. Apakah anda menikmati suasana bangun di pagi hari?

0

1

28. Apakah anda lebih memilih untuk menghindari perkumpulan sosial?

1

0

29. Apakah anda mudah untuk membuat keputusan?

0

1

30. Apakah pikiran anda jernih?

0

1

Interpretasi Hasil Nilai 0-9

: normal

Nilai 10-19

: depresi ringan

Nilai 20-30

: depresi berat

14. Mengapa harus dikonsultasikan ke psikiatri dan disarankan dirawat di rumah sakit? Jawaban : sebagai LO 15. Apa diagnosis banding keluhan pasien? Jawaban : sebagai LO Apa saja pemeriksaan penunjang yang harus diberikan? Jawaban : sebagai LO 16. Bagaimana prognosis dari keluhan pasien? Jawaban : sebagai LO 17. Apa komplikasi dari keluhan pasien? Jawaban : sebagai LO

5. JUMP V : Merumuskan tujuan pembelajaran Tujuan Pembelajaran : 1. Apa hubungan kejadian istri meninggal dengan keluhan pasien dan bagaimana patofisiologinya? 2. Mengapa ada proteinuria dan kreatinin melebihi normal? 3. Apa hubungan riwayat penyakit dahulu sulit menahan kencing dengan riwayat penyakit sekarang sulit kencing? 4. Apa penyebab sulit kencing dan sulit menahan kencing? 5. Apa penyebab pasien marah-marah, gaduh gelisah? 6. Mengapa harus dikonsultasikan ke psikiatri dan disarankan dirawat di rumah sakit? 7. Apa diagnosis banding keluhan pasien? 8. Apa saja pemeriksaan penunjang yang harus diberikan? 9. Bagaimana prognosis dari keluhan pasien? 10. Apa komplikasi dari keluhan pasien?

7. Jump VII : Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang diperoleh.

1. Apa hubungan kejadian istri meninggal dengan keluhan pasien dan bagaimana patofisiologinya? Jawab : Keluhan yang dialami pasien merupakan gejala dari depresi, dan kemungkinan akibat istri pasien meninggal(ditinggal pasangan hidup). 2.

Mengapa ada proteinuria dan kreatinin melebihi normal? Jawab : Pada skenario, hasil pemeriksaan pasien didapatkan proteinuria (+3) dan kreatinin 2.0 mg/dl. Proteinuria (+3) menunjukkan kondisi dimana terlalu banyak protein dalamurin. Ginjal yang bekerja dengan benar akan menyaring limbah keluar dari darah dan tetap menyimpan unsur penting seperti albumin untuk mencegah air keluar dari darah ke jaringan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan pasien mengalami kerusakan ginjal. Hal ini didukung dengan kadar kreatinin pasien yaitu 2.0 mg/dl. Kreatinin dalam darah adalah salah satu indikator menilai fungsi ginjal selain ureum. Nilai normal kreatinin pada pria ada pada kisaran 0.7-1.2 mg/dl.Kenaikan nilai ini bisa karena gangguan fungsi ginjal, orang yang mengonsumsi obat darah tinggi jenis tertentu, serta orang yang melakukan olahraga fisik berat. Bila ginjal rusak maka dapat terjadi kebocoran protein ke urin. Biasanya, hanya sebagian kecil protein plasma disaring di glomerulus yang diserap oleh tubulus ginjal dan diekskresikan ke dalam urin. Dengan menggunakan spesimen urin acak (random) atau urin sewaktu, protein dalam urin dapat dideteksi menggunakan strip reagen (dipstick). Normal ekskresi protein biasanya tidak melebihi 150 mg/24 jam atau 10 mg/dl urin. Lebih dari 10 mg/dl didefinisikan sebagai proteinuria. Sejumlah kecil protein dapat dideteksi pada urin orang yang sehat karena perubahan fisiologis. Selama olah raga, stres atau diet yang tidak seimbang dengan daging dapat menyebabkan proteinuria transien. Pada skenario pemeriksaan menggunakan

Dipstick yang mendeteksi protein dengan indikator warna Bromphenol biru, yang sensitif terhadap albumin. Peningkatan ekskresi albumin merupakan petanda yang sensitif untuk penyakit ginjal kronik yang disebabkan karena penyakit glomeruler, diabetes mellitus, dan hipertensi. Dari skenario, GDS pasien juga tergolong tinggi. Kemungkinan pasien mengalami nefropatik diabetikum sebagai salah satu komplikasi penyakit DM. Nefropatik diabetikum merupakan komplikasi DM yang menyerang ginjal, sehingga ginjal dapat mengalami kerusakan. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan kadar kreatinin dan adanya proteinuria pada pasien. 3.

Apa hubungan riwayat penyakit dahulu sulit menahan kencing dengan riwayat penyakit sekarang sulit kencing? Jawab : Hal ini ada kaitannya dengan perubahan-perubahan fisiologis pada saluran kemih bawahyang mungkin dialami oleh pasien dalam skenario akibat proses menua, yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya inkontinensia urin. Proses menua baik pada laki-laki maupun perempuan telah diketahui mengakibatkan perubahan-perubahan anatomis dan fisiologis pada sistem urogenital bagian bawah. Perubahan-perubahan tersebut berkaitan dengan menurunnya kadar estrogen pada perempuan dan hormon androgen pada lakilaki. Pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis dan kandungan kolagen sehingga mengakibatkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi dan mudah terbentuk trabekulasi sampai divertikel. Atrofi mukosa, perubahan vaskularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot uretra mengakibatkan menurunnya tekanan penutupan uretra dan tekanan outflow. Pada laki-laki terjadi pengecilan testis dan pembesaran prostat sedangkan pada perempuan terjadi penipisan dinding vagina dengan timbulnya eritema atau ptekie, pemendekan dan penyempitan ruang vagina serta berkurangnya lubrikasi dengan akibat meningkatnya pH serta lingkungan vagina.

Perubahan

akibat

proses

menua

pada

sistem

urogenital

bawah

mengakibatkan posisi kandung kemih prolapse sehingga melemahkan tekanan atau tekanan akhiran kemih keluar. Sehingga, dapat dilihat pada skenario ini pasien mengalami kesulitan berkemih karena beberapa kemungkinan penyebab seperti penurunan kontraktilitas dari otot detrusor dan obstruksi oleh kelenjar prostat yang membesar. Hal ini didukung dengan pemeriksaan rectal toucher dimana sulcus medianus kelenjar prostat pasien datar yang mengindikasikan terjadinya pembesaran prostat. Sedangkan untuk keluhan pasien sebelumnya yaitu sulit menahan kencing pada lansia, berikut uraian mekanismenya : -

Kandung kemih overaktif memiliki gejala berupa seringnya berkemih, nokturia, urgensi berhubungan dengan usia dan disebabkan karena aktivitas motorik dan/atau sensorik yang abnormal. Overaktivitas detrusor adalah kontraksi yang tidak diinginkan dari otot detrusor, dengan atau tanpa pengeluaran urin. Perubahan sensorimotor ini menyebabkan perubahan fungsi penyimpanan dan pengosongan kandung kemih. Terdapat kombinasi dari peningkatan volume urin di kandung kemih dengan

penurunan

efektivitas

sensasi,

menyebabkan

turunnya

kewaspadaan lansia sebelum munculnya keinginan untuk berkemih yang kuat. -

Sarkopenia pada lanjut usia dan perubahan komposisi jaringan ikat menyebabkan berubahnya efisiensi otot sfingter dan mengakibatkan terganggunya penyimpanan dan pengeluaran urin. Ketebalan otot polos dan lurik dari otot sfingter baik eksterna maupun interna mengalami pengurangan. Gabungan dari overaktivitas detrusor dengan penurunan fungsi otot sfingter menyebabkan lanjut usia sulit menahan kencing

4.

Apa penyebab sulit kencing dan sulit menahan kencing? Jawab : Mekanisme dan penyebab keduanya dijelaskan pada nomor 3.

5.

Apa penyebab pasien marah-marah, gaduh gelisah?

Jawab : Kemungkinan hal ini disebabkan oleh depresi yang dialami pasien akibat ditinggal sang istri (istri meninggal dunia). Depresi adalah penyakit umum yang paling sering pada usia diatas 60 tahun dan merupakan penyakit dengan gejala/manifestasi klinis yang tidak spesifik. Etiologi depresi diketahui memiliki multifaktorial, yaitu obat-obatan, kehilangan (pasangan hidup, anggota keluarga, taraf kesehatan yang menurun, kehilangan rasa aman, jabatan), pemiskinan sosial dan lingkungan, neurobiologi, kemunduran kondisi fisik, multipatologi, perubahan pada sistem saraf pusat, serta penurunan kapasitas sensoris, intelektual, daya ingat sehingga membuat dirinya terisolasi. Adapun gejala-gejala depresi : a. Mood depresi hampir sepanjang hari b. Hilang nikmat/rasa senang secara nyata dalam aktivitas normal c. Berat badan menurun atau bertambah d. Insomnia atau hipersomnia e. Agitasi atau retardasi psikomotor f. Kelelahan dan tidak punya tenaga g. Rasa tidak berharga atau perasaan bersalah berlebihan h. Sulit berkonsentrasi i. Pikiran berulang tentang kematian, percobaan/ide bunuh diri

6.

Mengapa harus dikonsultasikan ke psikiatri dan disarankan dirawat di rumah sakit? Jawab : Terdapat 2 prinsip utama yang harus dilaksanakan dalam pelayanan kesahatan pada lansia, yaitu 1) Prinsip Holistik a. Seorang penderita harus dipandang sebagai manusia seutuhnya, yaitu meliputi lingkungan kejiwaan dan sosial ekonomi. Sehingga dalam diagnosis lpada geriatri menggunakan asesmen geriatri, yaitu tidak

hanya meliputi seluruh organ dan sistem, tapi juga kejiwaan dan lingkungan sosial ekonomi. b. Sifat holistik secara vertikal dan horisontal. Secara vertikal yaitu pemberian pelayanan harus dimulai dari pelayanan di masyarakat sampai ke palayanan tertinggi , yaitu rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk apsien geriatri. Secara horisontal yaitu pelayanan kesahatan geriatri harus meliputi pelayanan kesejahteraan lansia secara menyeluruh. Pelayanan kesehatan harus bekerja lintas sektoral. c. Pelayanan kesehatan harus mencakup aspek preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. 2) Prinsip Tata Kerja dan Tata Laksana secara Tim Tim geriatri merupakan tim multidisipliner dan interdisipliner. Yaitu berasal dari berbagai disiplin ilmu kesehatan. Interdisiplin berarti dari masing-masing disiplin ilmu dapat saling mengintegrasikan terapi untuk mencapai tujuan bersama. Adanya beberapa penyakit pada pasien menyebabkan pasien mengalami gangguan tidur. Kualitas tidur pasien pun menjadi berkurang. Pasien membutuhkan perawatan yang baik untuk mengobati penyakit yang mendasari gangguan tidur ini. Selain itu, yang pasien butuhkan tidak hanya obat tidur saja. Apabila pasien dirawat di rumah sakit, pasien bisa mendapat obat-obatan yang bisa mengobati penyakit yang menyebabkan pasien susah tidur. Apabila penyakit ini bisa diatasi, kualitas tidur pasien bisa diperbaiki dan kemudian dapat melakukan aktivitas seperti semula. Sedangkan pasien dikonsultasikan ke psikiatri dengan tujuan untuk memastikan diagnosis penyakit pada pasien apakah benar depresi atau tidak ataupun apakah ada gangguan psikiatri lain pada pasien dan agar pasien mendapat tatalaksana yang tepat jika benar mengalami gangguan psikiatri tersebut. 7.

Apa diagnosis banding keluhan pasien? Jawab :

Diagnosis banding berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium yaitu : 1. Hasil pemeriksaan prostat dengan rectal touche didapatkan sulkus medianus datar mengindikasikan adanya pembesaran prostat, maka DD nya adalah benign prostate hyperplasia (BPH) derajat 2. 2. Hasil pemeriksaan urin rutin lekosit 50/LPB menunjukkan adanya leukosuria. Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting terhadap dugaan adalahinfeksi saluran kemih(ISK). Dinyatakan positif bila terdapat >5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sedimen air kemih. Adanya leukosit silinder pada sediment urin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal. ISK pada skenario ini kemungkinan disebabkan oleh pembesaran prostat yang didapatkan pada pasien. Namun adanya leukosuria tidak selalu menyatakan adanya ISK karena dapat pula dijumpai pada inflamasi tanpa infeksi. 3. Hasil pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS) didapatkan 350 mg/dl, maka pasien termasuk Diabetes Melitus (DM) karena gula darah mencapai >200 mg/dL. 4. Didapatkan Kreatinin 2,0 mg/dl dan Proteinuria (+3). Pemeriksaan kadar kreatinin serum dan protein pada urin digunakan untuk mengetahui fungsi ginjal. Berdasarkan tes fungsi ginjal didapatkan diagnosis banding antara lain chronic kidney disease (CKD), acute renal failureI (ARF), dan sindroma nefrotik diabetikum. 1. Diabetes Melitus Sekitar 50% lansia mengalami intoleransi glukosa dengan kadar gula darah puasa normal. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi Diabetes Melitus maupun Gangguan Toleransi Glukosa (GTG) meningkat seiring dengan pertambahan usia, menetap sebelum akhirnya menurun. Dari data WHO didapatkan bahwa setelah mencapai usia 30 tahun, kadar glukosa darah akan naik 1-2 mg%/tahun pada saat puasa dan akan naik sebesar 5,6-13 mg%/tahun pada 2 jam setelah makan.

Seiring dengan proses penuaan, semakin banyak lansia yang berisiko terhadap terjadinya DM, sehingga sekarang dikenal istilah prediabetes. Prediabetes merupakan kondisi tingginya gula darah puasa (gula darah puasa 100-125mg/ dL) atau gangguan toleransi glukosa (kadar gula darah 140199mg/dL, 2 jam setelah pembebanan 75 g glukosa). Modifikasi gaya hidup mencakup menjaga pola makan yang baik, olah raga dan penurunan berat badan dapat memperlambat perkembangan prediabetes menjadi DM. Bila kadar gula darah mencapai >200 mg/dL maka pasien ini masuk dalam kelas Diabetes Melitus (DM). Gangguan metabolisme karbohidrat pada lansia meliputi tiga hal yaitu resistensi insulin, hilangnya pelepasan insulin fase pertama sehingga lonjakan awal insulin postprandial tidak terjadi pada lansia dengan DM, peningkatan kadar glukosa postprandial dengan kadar gula glukosa puasa normal. Di antara ketiga gangguan tersebut, yang paling berperanan adalah resistensi insulin. Timbulnya resistensi insulin pada lansia dapat disebabkan oleh 4 faktor perubahan komposisi tubuh: massa otot lebih sedikit dan jaringan lemak lebih banyak, menurunnya aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan jumlah reseptor insulin yang siap berikatan dengan insulin, perubahan pola makan lebih banyak makan karbohidrat akibat berkurangnya jumlah gigi sehingga, perubahan neurohormonal (terutama insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dan dehidroepiandosteron (DHEAS) plasma) sehingga terjadi penurunan ambilan glukosa akibat menurunnya sensitivitas reseptor insulin dan aksi insulin. Gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan tidak selalu tampak pada lansia penderita DM karena seiring dengan meningkatnya usia terjadi kenaikan ambang batas ginjal untuk glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan melalui urin bila glukosa darah sudah cukup tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus terganggu seiring dengan penuaan, maka polidipsi pun tidak terjadi, sehingga lansia penderita DM mudah mengalami dehidrasi hiperosmolar akibat hiperglikemia berat. DM pada lansia umumnya bersifat asimptomatik, kalaupun ada gejala, seringkali berupa gejala tidak khas seperti kelemahan, letargi, perubahan

tingkah laku, menurunnya status kognitif atau kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi, mudah jatuh, dan inkontinensia urin). Inilah yang menyebabkan diagnosis DM pada lansia seringkali agak terlambat. Bahkan, DM pada lansia seringkali baru terdiagnosis setelah timbul penyakit lain. Berikut ini adalah data M.V. Shestakova (1999) mengenai manifestasi klinis pasien lansia sebelum diagnosis DM ditegakkan.

Di sisi lain, adanya penyakit akut (seperti infark miokard akut, stroke, pneumonia, infeksi saluran kemih, trauma fisik/ psikis) dapat meningkatkan kadar glukosa darah. Hal ini menyebabkan lansia yang sebelumnya sudah mengalami toleransi glukosa darah terganggu (TGT) meningkat lebih tinggi kadar gula darah sehingga mencapai kriteria diagnosis DM. Tata laksana kondisi medis akut itu dapat membantu mengatasi eksaserbasi intoleransi glukosa tersebut. 2. Cedera Ginjal Akut Cedera ginjal akut atau acute kidney injury adalah penurunan mendadak dari kapasitas ginjal untuk mengekskresi limbah nitrogen dan menjaga homeostasis cairan dan elektrolit. Kriteria umum yang banyak dipakai untuk mendefinisikan AKI adalah peningkatan dari kreatinin serum melebihi batas normal, dengan atau tanpa penurunan keluaran urin. AKI umum terjadi pada lanjut usia dengan insidensi mencapai 949 sampai 1129 per sejuta populasi.

Etiologi: -

Prerenal: hipoperfusi ginjal, yang bisa terjadi karena hypovolemia karena dehidrasi, kehilangan darah, muntah atau diare, sepsis, gagal jantung, atau sirosis hepar dekompensasi. Obat seperti AINS, ACE inhibitor, ARB yang memngaruhi otoregulasi dari aliran darah ginjal dapat menyebabkan AKI

-

Intrinsik: disebabkan oleh cederan langsung terhadap sel ginjal, bentuk paling umum adalah cedera tubuler akut. Sayangnya, penyebab terbanyak adalah iatrogenik dengan antibiotik golongan aminoglikosida adalah obat penyebab AKI. Infeksi ginjal adalah penyebab intrinsik lainnya. Infeksi seperti glomerulonephritis dapat merusak sel-sel ginjal dan memicu AKI.

-

Postrenal: penyebab obstruktif harus diperiksa pada pasien dengan AKI. Penyakit prostat merupakan penyebab umum dari obstruksi saluran kemih. Penyebab lainnya meliputi kalkuli ginjal, striktur urethra, fibrosis retroperitoneal, nekrosis papil ginjal, dan keganasan pelvis.

Tatalaksana: -

Segera: tujuan utamanya adalah untuk menangani kondisi yang mengancam nyawa dan menghentikan penurunan fungsi ginjal sebelum kerusakan menjadi ireversibel. Hipotensi, syok, dan gagal napas dapat dideteksi dari gejala klinis dan sepsis harus ditangani dengan antibiotik dan resusitasi cairan. Kegawatan lainnya adalah hyperkalemia, kondisi in dapat memicu aritmia. Stabilisasi dari miokardium dilakukan dengan kalsium intravena, diikuti infus insulin dan dekstrosa untuk meningkatkan ambilan kalium seluler. Hal ini dilakukan untuk menurunkan kadar kalium darah. Edema paru disebabkan karena volume cairan yang berlebihnan pada pasien yang oliguria atau anuria. Pemberian diuretik mungkin dibutuhkan untuk menginduksi diuresis, namun apabila gagal dapat dilakukan terapi pengganti ginjal. Asidosis metabolik dapat dikoreksi dengan natrium bikarbonat intravena. Asidosis dapat membaik seiring dengan perbaikan fungsi ginjal, namun dibutuhkan terapi penggantian ginjal pada pasien asidosis yang tetap oliguria atau anuria.

-

Lanjutan: lakukan anamnesis untuk mencari penyebab AKI. Kateterisasi urethra harus dilakukan pertama kali, tidak hanya untuk mengurangi volume urin karena obstruksi, namun juga untuk memantau keluaran urin. Seluruh medikasi nefrotoksik harus dihentikan. Beberapa obat seperti lithium, salisilat barbiturate, dan asam inorganik dapat dikeluarkan dengan dialysis (Fillit et al, 2009).

3. Nefrosklerosis Hipertensif Pengerasan ginjal menunjukkan adanya perubahan patologis pada pembuluh darah ginjal sebagai akibat dari hipertensi. Keadaan ini merupakan salah satu penyebab gagal ginjal kronik. Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan pada struktur arteriol yang ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi. Pada ginjal, arteriosklerosis ginjal akibat hipertensi lama disebut nefrosklerosis jinak. Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia karena penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan pada glomerulus dan atrofi tubulus, yang pada prosesnya akan merusak nefron. Nefrosklerosis maligna merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan perubahan struktur ginjal selama fase maligna dari hipertensi esensial. Lumen yang menyempit akan menyebabkan iskemia pada jaringan ginjal. Hal ini akan merangsang pelepasan renin yang kemudian malah akan meningkatkan tekanan darah (Price & Wilson, 2006). 4. Nefropati Diabetik Nefropati diabetik (ND) merupakan komplikasi penyakit diabetes mellitus yang termasuk dalam komplikasi mikrovaskular, yaitu komplikasi yang terjadi pada pembuluh darah halus (kecil). Hal ini dikarenakan terjadi kerusakan pada pembuluh darah halus di ginjal. Kerusakan pembuluh darah menimbulkan kerusakan glomerulus yang berfungsi sebagai penyaring darah. Tingginya kadar gula dalam darah akan membuat struktur ginjal berubah sehingga fungsinyapun terganggu. Dalam keadaan normal protein tidak tersaring dan tidak melewati glomerolus karena ukuran protein yang besar tidak dapat melewati lubang-

lubang glomerulus yang kecil. Namun, karena kerusakan glomerolus, protein (albumin) dapat melewati glomerolus sehingga dapat ditemukan dalam urin yang disebut dengan mikroalbuminuria. Gejala nefropati diabetik dibagi menjadi beberapa tahap, yang paling sederhana adalah 3 tahap, yaitu mikroalbuminuria (berlangsung 5-15 th); makroalbuminuria (5-10 th); dan gagal ginjal terminal (3-6 th). Mogensen membagi ND menjadi 5 tahap dengan menambahkan 2 tahap sebelum mikroalbuminuria pada DM tipe 1. Tahap pertama adalah pembesaran ginjal akibat hiperfiltrasi dan tahap kedua adalah silent stage dimana ekskresi albumin normal tetapi struktur glomerolus berubah. Banyak bukti penelitian yang menunjukkan bahwa penyebab timbulnya gagal ginjal pada diabetes melitus adalah multifaktor, mencakup faktor metabolik, hormon pertumbuhan dan cytokin, dan faktor vasoaktif. Sebuah penelitian

di

Amerika

Serikat

menyimpulkan

bahwa

peningkatan

mikroalbuminuria berhubungan dengan riwayat merokok, ras India, lingkar penggang, tekanan sistolik dan diastolik, riwayat hipertensi, kadar trigliserid, jumlah sel darah putih, riwayat penyakit kardiovaskuler sebelumnya, riwayat neuropati dan retinopati sebelumnya. Penelitian lain di Inggris menyimpulkan bahwa faktor risiko nefropati diabetk adalah 1) glikemia dan tekanan darah, 2) ras, 3) diet dan lipid, 4) genetik. Dari sekian banyak faktor-faktor risiko tersebut, tidak semuanya bisa dijelaskan patofisiologinya, namun beberapa sumber pustaka dan jurnal menulis pembahasannya kurang lebih sebagai berikut : a) Faktor Metabolik Faktor metabolik yang sangat mempengaruhi progresivitas komplikasi diabetes mellitus adalah hiperglikemi. Mekanismenya secara pasti belum diketahui, namun hiperglikemi mempengaruhi timbulnya nefropati diabetik melalui tiga jalur, yaitu glikasi lanjut, jalur aldose reduktase, dan aktivasi protein kinase C (PKC) isoform. b) Hormon Pertumbuhan dan Cytokin

Hormon Pertumbuhan dan Cytokin disebabkan efek promotif dan proliferatifnya, hormon pertumbuhan dan cytokin dianggap berperan penting dalam progresivitas gangguan fungsi ginjal akibat diabetes mellitus. Terutama growth hormone (GH) / Insuline like growth factors (IGFs), - 6 - 6 TGF-βs, dan vascular endothelial growth factors (VEGF) telah diteliti memiliki efek yang signifikan terhadap penyakit ginjal diabetik. c) Faktor Vasoaktif Beberapa hormon vasoaktif seperti kinin, prostaglandin, atrial natriuretik peptide, dan nitrit oksida, memainkan peranan dalam perubahan hemodinamik ginjal dan berimplikasi pada inisiasi dan progresi nefropati diabetik. d) Ras Ras Bangsa yang paling banyak menderita nefropati diabetik adalah bangsa Asia Selatan. Mereka memiliki resiko dua kali lipat terkena komplikasi mikroalbuminuria dan proteinuria. e) Diet dan Lipid Diet dan Lipid Beberapa penelitian membuktikan adanya penurunan kadar albumin urin yang signifikan setelah dilakukan intervensi diet. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa terjadi perubahan kadar albuminuria setelah dilakukan koreksi glikemik pada DM tipe 2. Perubahan ini mungkin disebabkan karena perubahan hemodinamik akibat penurunan glikemia dan juga mungkin disebabkan karena penurunan intake protein. Hubungan antara kadar lipid plasma, albuminuria, dan gangguan fungsi ginjal juga dilaporkan oleh sebuah penelitian dengan 585 sampel yang melakukan diet selama 3 tahun dan berhasil menurunkan kadar albuminuria, tetapi kadar glukosa puasa dan trigliserid bervariasi. Kadar trigliserid juga berhubungan dengan peningkatan albuminuria dan proteinuria.

f) Genetik Peran gen polimorfisme, Angiotensin Converting Enzime (ACE), dan angiotensinogen pada pasien dengan mikroalbuminuria telah dilaporkan oleh sebuah penelitian dengan 180 sampel. Tidak ada hubungan yang signifikan antara albuminuria dengan insersi dan delesi dalam gen ACE tetapi kadar albuminuri meningkat pada pasien homozigot dengan genotip DD. Tetapi penelitian ini belum cukup kuat untuk diambil sebuah kesimpulan. g) Riwayat penyakit kardiovaskuler sebelumnya Nefropati diabetik, yang merupakan suatu penyakit ginjal kronis, merupakan penyebab terjadinya gagal ginjal terminal yang juga merupakan komplikasi dari penyakit kardiovaskuler. Mekanisme patogenesis

antara

penyakit

kardiovaskuler

dan

timbulnya

nefropati diabetik belum diketahui dengan pasti. Faktor risiko yang sudah diketahui menyebabkan timbulnya nefropati diabetik dan penyakit

kardiovaskular

adalah

hiperglikemi,

hipertensi,

peningkatan kadar kolesterol LDL, dan albuminuria. Sedangkan faktor-faktor lain yang diduga merupakan faktor risiko adalah hiperhomosisteinemia,

inflamasi/stres

oksidatif,

peningkatan

produk akhir glikasi, dimetilarginin asimetrik, dan anemia.

5. Depresi Gangguan depresi pada usia lanjut ditegakkan berpedoman pada PPDGJ III (PedomanPenggolongan Diagnosis gangguanJiwa di Indonesia III) yang merujuk pada ICD 10 (International Classification of Deseases 10). Gangguan depresi dibedakan dalam depresi ringan, sedang, dan berat sesuai dengan banyak dan beratnya gejala serta dampaknya terhadap kehidupan seseorang. Pedoman diagnostik lainnya adalah DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV). Depresi berat menurut DSM IV jika ditemukan 5 atau lebih gejala-gejala berikut dibawah ini, yang terjadi hamper

setiap hari selama 2 minggu dan salah satu dari gejala tersebut adalah mood terdepresi atau hilangnya rasa senang / minat. Gejala-gejala tersebut : 1. Mood depresi hamper sepanjang hari 2. Hilang nikmat/rasa senang secara nyata dalam aktivitas normal 3. Berat badan menurun atau bertambah 4. Insomnia atau hipersomnia 5. Agitasi atau retardasi psikomotor 6. Kelelahan dan tidak punya tenaga 7. Rasa tidak berharga atau perasaan bersalah berlebihan 8. Sulit berkonsentrasi 9. Pikiran berulang tentang kematian, percobaan/ide bunuhdiri.

Menurut ICD 10, pada gangguan depresi, ada tiga gejala utama yaitu : 4.

Mood terdepresi

5.

Hiulang minat/semangat

6.

Hilang tenaga/mudah lelah.

Disertai gejala lain : 8.

Konsentrasi menurun

9.

Harga diri menurun

10. Perasaan bersalah 11. Pesimis memandang masa depan 12. Ide bunuh diri atau menyakiti diri sendiri 13. Pola tidur berubah 14. Nafsu makan menurun Tes yang dapat digunakan untuk memeriksa depresi yaitu GDS (Geriatric Deppresion Scale) dan MMSE (Mini Mental Scale Examination) seperti yang sudah dijelaskan pada jump 3. 8.

Apa saja pemeriksaan penunjang yang harus diberikan? Jawab : Depresi

Pemeriksaan penunjang atau untuk skrining depresi, antara lain : 1) GDS (Geriatric Depression Scale) - Sudah dijelaskan di jump 3. 2) MMSE (Mini Mental Scale Examination) - Sudah dijelaskan di jump 3. 3) Skala Nilai Depresi Dari Hamilton (Hamilton Depression Rating Scale/HDRS) Terdiri dari 24 pertanyaan mengenai tingkah laku yang menuju depresi. Diantaranya : 1. Suasana perasaan depresi (perasaan sedih, putus asa, tak berdaya, tak berharga) 0 = tidak ada 1 = perasaan ini dinyatakan hanya bila ditanya 2 = perasaan ini dinyatakan spontan secara verbal 3 = perasaan ini dinyatakan secara nonverbal, misalnya ekspresi wajah, postur, suara dan kecenderungan menangis. 4 = perasaan ini dinyatakan spontan secara verbal dan nonverbal 2. Perasaan bersalah 0 = tidak ada 1 = menyalahkan diri sendiri, merasa telah mengecewakan orang lain 2 = ide-ide bersalah atau renungan tentang perbuatan salah atau berdosa pada masa lalu 3 = sakit ini merupakan suatu hukuman, waham bersalah 4 = mendengar suara-suara tuduhan atau kutukan dan/atau mengalami halusinasi penglihatan yang mengancam 3. Bunuh diri 0 = tidak ada 1 = merasa hidup tidak berharga 2 = mengharapkan kematian atau segala pikiran tentang kemungkinan tersebut 3 = ide-ide atau gerak-gerak isyarat tentang bunuh diri

4 = percobaan bunuh diri (segala percobaan yang serius diberi nilai 4) 4. Insomnia 0 = tidak ada kesulitan jatuh tidur 1 = kadang-kadang mengeluh sulit jatuh tidur, misalnya lebih dari 15 menit 2 = mengeluh sulit jatuh tidur setiap malam 5. Insomnia (middle) 0 = tidak ada kesulitan mempertahankan tidur 1 = mengeluh gelisah dan terganggu sepanjang malam 2 = terjaga sepanjang malam (segala keadaan bangkit dari tempat tidur diberi nilai 2 kecuali untuk buang air kecil) 6. Insomnia (late) 0 = tidak ada kesulitan 1 = bangun terlalu pagi tetapi dapat tidur kembali 2 = bila telah bangun/bangkit dari tempat tidur, tidak dapat tidur kembali 7. Kerja dan kegiatan 0 = tidak ada kesulitan 1 = pikiran dan perasaan tentang ketidakmampuan, keletihan atau kelemahan sehubungan dengan kegiatan, kerja atau hobi 2 = hilangnya minat dalam melakukan kegiatan, hobi atau pekerjaan, baik dilaporkan secara langsung oleh pasien atau secara tidak langsung melalui kelesuan/tidak bergairah, keragu-raguan dan kebimbangan (merasa harus mendorong diri untuk bekerja atau melakukan kegiatan) 3 = berkurangnya waktu aktual yang dihabiskan dalam melakukan kegiatan atau menurunnya produktivitas. Di rumah sakit, beri nilai 3 bila pasien tidak menghabiskan waktu paling sedikit 3 jam sehari dalam melakukan kegiatan (tugas rumah sakit atau hobi) diluar tugas-tugas bangsal

4 = berhenti bekerja karena sakitnya sekarang. Di rumah sakit, beri nilai 4 bila pasien tidak melakukan kegiatan apapun kecuali tugas-tugas bangsal, atau bila pasien gagal melaksanakan tugastugas bangsal tanpa dibantu 8. Retardasi (lambat dalam berpikir dan berbicara, kemampuan berkonsentarasi, penurunan aktivitas motorik) 0 = normal dalam berbicara dan berpikir 1 = sedikit lamban dalam wawancara 2 = jelas lamban dalam wawancara 3 = sulit diwawancarai 4 = stupor lengkap 9. Agitasi 0 = tidak ada 1 = memainkan tangan, rambut dan lain-lain 2 = meremas tangan, menggigit kuku, menarik rambut, menggigit bibir 10. Anxietas psikis 0 = tidak ada kesulitan 1 = ketegangan dan mudah tersinggung yang bersifat subyektif 2 = mengkuatirkan hal-hal kecil 3 = sikap kuatir yang tercermin di wajah atau pembicaraan 4 = katakutan diekspresi tanpa ditanya 11. Anxietas somatik 0 = tidak ada 1 = ringan 2 = sedang 3 = berat 4 = inkapasitas Keadaan fisiologis yang mengiringi anxietas seperti : -

gastrointestinal:mulut, sendawa

sulit

mencerna,

diare,

kram,

-

kardiovaskular :palpitasi, nyeri kepala

-

pernapasan : hiperventilasi, menghela nafas panjang sering-sering buang air kecil

-

berkeringat

12. Gejala somatik (gastrointestinal) 0 = tidak ada 1 = tidak ada nafsu makan tetapi dapat makan tanpa dorongan orang lain. Perut terasa penuh 2 = Sulit makan tanpa dorongan orang lain, meminta atau membutuhkan pencahar atau obat-obatan untuk buang air besar atau obatan-obatan untuk simtom gastrointestinal 13. Gejala somatik (umum) 0 = tidak ada 1 = anggota gerak, punggung atau kepala terasa berat. Nyeri punggung, nyeri kepala, nyeri otot. Hilang tenaga dan kelelahan 2 = segala simtom di atas yang jelas diberi nilai 2 14. Gejala genital (misalnya : hilangnya libido, gangguan menstruasi) 0 = tidak ada 1 = ringan 2 = berat 15. Hipokondriasis 0 = tidak ada 1 = dihayati sendiri 2 = preokupasi tentang kesehatan diri 3 = sering mengeluh, meminta pertolongan, dan lain-lain 4 = waham hipokondarasis 16. Kehilangan berat badan (pilih antara A atau B) A. Bila dinilai berdasarkan riwayat 0 = tidak ada kehilangan berat badan 1 = kemungkinan berat badan berkurang sehubungan dengan sakit sekarang

2 = berat badan jelas berkurang (menurut pasien) B. Bila diukur perubahan berat badan actual, dinilai setiap minggu oleh psikiater bangsal 0 = kehilangan berat badan kurang dari 0,5 kg seminggu 1 = kehilangan berat badan lebih dari 0,5 kg seminggu 2 = kehilangan berat badan lebih dari 1 kg seminggu 17. Tilikan 0 = mengetahui dirinya depresi dan sakit 1 = mengetahui dirinya sakit tetapi disebabkan oleh makanan yang buruk, iklim, kerja berlebihan, virus, perlu istirahat, dan lain-lain. 2 = menyangkal sepenuhnya bahwa dirinya sakit 18. Variasi diurnal Pagi (AM) Sore (PM) 0

0

= tidak ada

1

1

= ringan

2

2

= berat

Dicatat apakah simtom lebih berat pada pagi atau sore hari dan dinilai keparahan variasi tersebut. 19. Depersonalisasi dan derealisasi (misalnya : merasa tidak nyata, ide nihilistik) 0 = tidak ada 1 = ringan 2 = sedang 3 = berat 4 = inkapasitas 20. Gejala paranoid 0 = tidak ada 1 = kecurigaan ringan 2 = kecurigaan sedang 3 = ide referensi 4 = waham referensi dan waham kejar

21. Gejala obsesif dan kompulsif 0 = tidak ada 1 = ringan 2 = berat 22. Ketidakberdayaan 0 = tidak ada 1 = perasaan subyektif yang diperoleh hanya bila ditanya 2 = perasaan tidak berdaya dinyatakan langsung oleh pasien 3 = memerlukan dorongan, bimbingan dan penentraman hati untuk menyelesaikan tugas bangsal atau higiene diri. 4 = memerlukan bantuan fisik untuk berpakaian, makan, bedside tasks atau higiene diri. 23. Keputusasaan 0 = tidak ada 1 = sering-sering merasa ragu bahwa ‘keadaan akan membaik’ tetapi masih dapat ditentramkan 2 = merasa putus asa secara konsisten tetapi masih menerima penentraman 3 = mengekspresikan perasaan putus asa, hilang harapan, pesimis tentang masa depan, yang tidak dapat dihilangkan. 4 = keteguhan spontan dan tidak sesuai bahwa ‘saya tidak akan pernah sembuh’ atau padanannya. 24. Perasaan tidak berharga (terentang dari hilangnya harga diri, perasaan rendah diri, mencela diri yang ringan sampai waham tentang ketidakberhargaan) 0 = tidak ada 1 = menunjukkan perasaan tidak berharga (kehilangan harga diri) hanya bila ditanya. 2 = menunjukkan perasaan tidak berharga (kehilangan harga diri) secara spontan

3 = berbeda dengan nilai 2 di atas berdasarkan derajat. Pasien secara sukarela menyatakan bahwa dia ‘tidak baik’, ‘rendah’. 4 = waham tentang ketidakberhargaan, misalnya ‘Saya adalah tumpukan sampah’ atau padanannya.

Interpretasi (rentang nilai 0 - 50) : Nilai keseluruhan ≤ 7 : normal Nilai keseluruhan 8 - 13 : depresi ringan Nilai keseluruhan 14 - 18 : depresi sedang Nilai keseluruhan 19 - 22 : depresi berat Nilai keseluruhan ≥ 23 : depresi sangat berat.

4) Skala Depresi Rentang-Mandiri Zung(Zung Self-rating Depression Scale) Berupa kuisioner yang berisi 20 pertanyaan dimana terdiri dari 10 pertanyaan positif dan 10 pertanyaan negatif yang meliputi gejala afektif, gejala psikologis dan gejala fisik, yang dijawab dengan waktu yang sudah ditentukan. Interpretasi : Skor 25-49 : minimal depression Skor 50-59 : mild depression Skor 60-69 : moderately depression Skor > 70 : severely depression

5) Kuesioner Kesehatan Umum (KKU) Instrumen penggunaan mandiri yang terdiri dari enam perubahan deteksi ada tidaknya distres psikiatri.

6) Inventaris Depresi Back (IDB) Terdiri dari pertanyaan yang berkenaan dengan 21 karakteristik depresi, termasuk keinginan bunuh diri. Skor kritis > 18 menunjukkan depresi klinis.

7) Pusat untuk Studi Epidemologis Skala Depresi (PSE-D) Instrumen ini terdiri dari 20 pokok pernyataan

8) Instrumen yang lain adalah Jadwal Wawancara Diagnostik (JWD), Campuran Wawancara Diagnostik Internasional, CAMDEX (Cambridge Mental Disorders of The Elderly Examination), CIE (Canbera Interview for the Elderly), dll

Diabetes Mellitus Untuk penegakan diagnosis DM tipe II yaitu dengan pemeriksaan glukosa darah dan pemeriksaan glukosa peroral (TTGO). Sedangkan untuk membedakan DM tipe II dan DM tipe I dengan pemeriksaan C-peptide.27 1) Pemeriksaan glukosa darah a. Glukosa Plasma Vena Sewaktu Pemeriksaan gula darah vena sewaktu pada pasien DM tipe II dilakukan pada pasien DM tipe II dengan gejala klasik seprti poliuria, polidipsia dan polifagia. Gula darah sewaktu diartikan kapanpun tanpa memandang terakhir kali makan. Dengan pemeriksaan gula darah sewaktu sudah dapat menegakan diagnosis DM tipe II. Apabila kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl (plasmavena) maka penderita tersebut sudah dapat disebut DM. Pada penderita ini tidak perlu dilakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa. b. Glukosa Plasma Vena Puasa Pada pemeriksaan glukosa plasma vena puasa, penderita dipuasakan 8-12 jam sebelum tes dengan menghentikan semua obat yang digunakan, bila ada obat yang harus diberikan perlu ditulis dalam formulir. Intepretasi pemeriksan gula darah puasa sebagai berikut : kadar glukosa plasma puasa < 110 mg/dl dinyatakan normal, ≥126 mg/dl adalah diabetes melitus, sedangkan antara 110- 126 mg/dl disebut glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Pemeriksaan gula

darah puasa lebih efektif dibandingkan dengan pemeriksaan tes toleransi glukosa oral. c. Glukosa 2 jam Post Prandial (GD2PP) Tes dilakukan bila ada kecurigaan DM. Pasien makan makanan yang mengandung 100gr karbohidrat sebelum puasa dan menghentikan merokok serta berolahraga. Glukosa 2 jam Post Prandial menunjukkan DM bila kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dl, sedangkan nilai normalnya ≤ 140. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140 mg/dl tetapi < 200 mg/dl. d. Glukosa jam ke-2 pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) Pemeriksan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dilakukan apabila pada pemeriksaan glukosa sewaktu kadar gula darah berkisar 140-200 mg/dl untuk memastikan diabetes atau tidak. Sesuai kesepakatan WHO tahun 2006,tatacara tes TTGO dengan cara melarutkan 75gram glukosa pada dewasa, dan 1,25 mg pada anak-anak kemudian dilarutkan dalam air 250-300 ml dan dihabiskan dalam waktu 5 menit.TTGO dilakukan minimal pasien telah berpuasa selama minimal 8 jam. Penilaian adalah sebagai berikut; 1) Toleransi glukosa normal apabila ≤ 140 mg/dl; 2) Toleransi glukosa terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140 mg/dl tetapi < 200 mg/dl; dan3) Toleransi glukosa ≥ 200 mg/dl disebut diabetes melitus. 2) Pemeriksaan HbA1c HbA1c merupakan reaksi antara glukosa dengan hemoglobin, yang tersimpan dan bertahan dalam sel darah merah selama 120 hari sesuai dengan umur eritrosit. Kadar HbA1c bergantung dengan kadar glukosa dalam darah, sehingga HbA1c menggambarkan rata-rata kadar gula darah selama 3 bulan. Sedangkan pemeriksaan gula darah hanya mencerminkan saat diperiksa, dan tidak menggambarkan pengendalian jangka panjang. Pemeriksaan gula darah diperlukan untuk pengelolaaan diabetes terutama untuk mengatasi komplikasi akibat perubahan kadar glukosa yang berubah mendadak.

Kategori HbA1c : HbA1c < 6.5 % = Kontrol glikemik baik HbA1c 6.5 -8 % = Kontrol glikemik sedang HbA1c > 8 % = Kontrol glikemik buruk

Cidera Ginjal Akut Pemeriksaan pencitraan dimulai dari IVU (dengan menyuntikkan bahan kontras dosis tinggi 2ml/kg berat badan) guna menilai tingkat kerusakan ginjal dan melihat keadaan ginjal kontralteral. Pembuatan IVU dikerjakan jika diduga ada : 1) Luka atau luka tembak yang mengenai ginjal 2) Cedera

tumpul

ginjal

yang

memberikan

tanda-tanda

hematuria

ginjal

yang

memberikan

tanda-tanda

hematuria

makroskopik, dan, 3) Cedera

tumpul

mikroskopik dengan disertai syok (Purnomo, 2012) Pemeriksaan USG : pemeriksaan USG ini diharapkan dapat menemukan adanya kontusio parenkim ginjal atau hematoma subkapsuler. Dapat juga diperlihatkan adanya robekan kapsul ginjal. Jika terjadi pada ginjal yang tidak dapat digunakan IVU (misalkan pada non visualized) perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau arteriografi. Pemeriksaan IVU pada kontusio renis sering menunjukkan gambaran system pelvikalises normal. Dalam keadaan ini pemeriksaan ultrasonografi abdomen dapat menunjukkan adanya hematoma parenkim ginjal yang terbatas pada subkapsuler dan dengan kapsul ginjal yang masih utuh. Di klinik-klinik yang telah maju, peran IVU sebagai alat diagnosis dan penentuan derajat trauma ginjal mulai digantikan oleh CT scan (Purnomo, 2012). Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya robekan jaringan ginjal, ekstravasasi kontras yang luas, dan adanya nekrosis jaringan ginjal, dapat mendeteksi adanya trauma pada organ lain.

Pada setiap trauma tajam yang diduga mengenai ginjal harus dipikirkan untuk melakukan tindakan eksplorasi, tetapi pada trauma tumpul, sebagian besar tidak memerlukan operasi. Terapi yang dikerjakan pada trauma ginjal adalah: 1) Konservatif Tindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Pada keadaan ini dilakukan observasi tanda vital (tensi, nadi, dan suhu tubuh), kemungkinan

adanya

penambahan

massa

di

pinggang,

adanya

pembesaran lingkar perut, penurunan kadar hemoglobin darah, dan perubahan warna urin pada pemeriksaan serial (Purnomo, 2012). Jika selama observasi didapatkan adanya tanda-tanda perdarahan atau kebocoran urin yang menimbulkan infeksi, harus segera dilakukan tindakan operasi seperti terlihat pada skema berikut ini. Observasi Didapatkan

Tanda vital ↓ Massa di pinggang↑

suhu tubuh ↑ massa di pinggang ↑

Hb ↓ Urin > pekat

Merupakan tanda

merupakan tanda

perdarahan > hebat

Segera eksplorasi untuk Menghentikan perdarahan

2) Operasi

drainase urin segera

Operasi ditujukan pada trauma ginjal major dengan tujuan untuk segera menghentikan

perdarahan.

Selanjutna

mungkin

perlu

dilakukan

debridement, reparasi ginjal (berupa renografi atau penyambung vaskuler) atau tidak jarang harus dilakukan nefrektomi parsial bahkan nefrektomi total karena kerusakan ginjal yang sangat berat

Nefrosklerosis Hipertensif Hingga saat ini, penatalaksanaan NH masih mengacu pada penelitian AASK (African American Study of Kidney Disease and Hypertension). AASK meneliti 1094 orang ras Afrika-Amerika yang hipertensi kronik dengan gangguan fungsi ginjal yang tidak dapat dijelaskan sebabnya serta adanya proteinuria ringan berkisar 500 – 600 mg per hari. Digunakan tiga obat antihipertensi yakni ramipril, metoprolol dan amlodipin. Target penurunan tekanan darah adalah 125/75 mmHg atau 140/90 mmHg. Sasaran primer pada akhir penelitian ini adalah perubahan LFG yakni saat pertama terjadi penurunan LFG 50% atau LFG 25 ml/menit/1.73 m2; saat terjadi gagal ginjal; atau saat kematian. Penelitian ini selama 4 tahun, didapatkan rerata penurunan tekanan darah tertinggi adalah 141/85 mmHg dan rerata penurunan tekanan darah terendah adalah 128/78 mmHg. Sasaran primer ternyata tidak berbeda bermakna pada kelompok dengan target 140/90 mmHg atau 125/75 mmHg. Hal ini menunjukkan bahwa target tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg tidak memberikan hasil lebih baik. Dari segi kelompok jenis obat, ramipril menunjukkan hasil sasaran primer yang lebih baik bermakna dibanding dengan metoprolol atau amlodipin. Metoprolol sendiri tidak berbeda bermakna dengan amlodipin. Namun setelah 10 tahun penelitian, tidak didapatkan perbedaan bermakna antara ketiga jenis antihipertensi maupun penurunan tekanan darah serendah mungkin terhadap progresi penurunan LFG. Penelitian lain dalam skala lebih kecil dilakukan oleh Siewer-Delle dkk di Swedia. Diteliti 23 pasien pria dengan hipertensi primer baru dan 11 pasien pria dengan normotensi dengan usia yang sama. Antihipertensi yang dipakai

adalah penyekat beta dan penambahan hidroklorotiazid jika diperlukan. LFG dinilai pada saat awal, saat 7 tahun dan saat 14 tahun. Setelah 7 tahun penelitian, ternyata didapatkan penurunan LFG dari 103 ml/menit/1.73m2 menjadi 84 ml/ menit/1.73m2 namun setelah itu tidak terjadi penurunan LFG sampai dengan tahun ke- 14. Selama 14 tahun penelitian, didapatkan rerata tekanan darah berkisar 139/88 mmHg. Siewert menyimpulkan bahwa pada pasien Swedia (ras kulit putih), pengendalian hipertensi dengan obat konvensional dapat mencegah penurunan fungsi ginjal selama 14 tahun. Disimpulkan bahwa (1) target penurunan tekanan darah pada pasien dengan nefrosklerosis hipertensif adalah ≤140/90 mmHg dan (2) semua jenis antihipertensi menunjukkan hasil yang tidak berbeda dalam mencegah progresi penurunan LFG. 9.

Bagaimana prognosis dari keluhan pasien? Jawab : Depresi Depresi pada lansia yang tidak ditangani dapat berlangsung bertahun-tahun dan dihubungkan dengan kualitas hidup yang jelek, kesulitan dalam fungsi sosial dan fisik, kepatuhan yang jelek terhadap terapi, dan meningkatnya morbiditas dan mortalitas akibat bunuh diri dan penyebab lainnya. Beberapa penelitian

menunjukkan

bahwa

depresi

pada

lansia

menyebabkan

peningkatan penggunaan rumah sakit dan outpatient medical services. Diabetes Mellitus Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu : 1) Komplikasi akut - Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawahnilai normal (< 50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu, Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan. Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat

secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis. 2)

Komplikasi

Kronis

-

Komplikasi

makrovaskuler,

komplikasi

makrovaskuler yangumum berkembang pada penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalamipenyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke. - Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1 seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi (Waspadji, 2009) 10.

Apa komplikasi dari keluhan pasien? Jawab : a. Inkontinensia urin Inkontinensia urin sendiri dapat disebabkan oleh Benign Prostate Hyperplasia yang sering terjadi pada pria usia lanjut dan bisa menyebabkan komplikasi diantaranya adalah Infeksi Saluran Kemih yang dapat dilihat dari hasil pemerikaan urin rutin pasien. Penyebab lainnya dari kencing berulang adalah Diabetes Mellitus tipe 2 yang diderita pasien, status diabetes pasien dibuktikan oleh hasil pemeriksaan Gula Darah Sewaktu yang melebihi normal. Selain komplikasi klinis, inkontinensia urin juga berdampak pada psikologis pasien, salah satunya depresi akibat ketidakberdayaan lansia untuk hidup mandiri. Kondisi psikiatrik pasien juga dapat memperparah penyakit fisik yang diderita pasien. Sehingga terdapat keterkaitan antara satu kondisi dengan kondisi lainnya. Penatalaksanaan pada pasien geriatri sebisa mungkin menghindari polifarmasi, sehingga terapi farmakologis didahulukan untuk penyakit yang paling membutuhkan penanganan.

b. Diabetes Mellitus

Pada hasil laboratorium pasien diperoleh GDS 350 mg/dl. Kemungkinan pasien menderita diabetes mellitus dikarenakan kadar GDS pasien yang tinggi. Terdapat banyak komplikasi yang ditimbulkan akibata DM terutama

pada

lansia

berupa

komplikasi

mikrovaskuler

dan

makrovaskuler dan salah satunya adalah nefropati diabetikum yang sudah dijelaskan di nomor sebelumnya. Komplikasi kronik DM Tipe II meliputi: -

Mikroangiopati Komplikasi mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang

kapiler,

arteriola

retina

(retinopati

diabetik),

glomerolus ginjal (nefropati diabetik), dan saraf perifer (neuropati diabetik) dan lesi pada otot serta kulit. Lesi ini ditandai dengan adanya penimbunan glikoprotein dan senyawa kimia membran dasar berasal dari glukosa maka hiperglikemia menyebabkan bertambahnya kecepatan pembentukan sel-sel membran dasar. Manifestasi mikroangiopati timbul 15-20 tahun sesudah awitan DM tipe II. Faktor yang mempengaruhi tingkat komplikasi mikroangiopati adalahhipertensi, jenis kelamin, umur, kadar insulin serum, kadar lipid serum, macam pengobatan, merokok, permeabilitas dan fragilitas kapiler. -

Makroangiopati Komplikasi makroangiopati terdiri dari penyakit jantung koroner, stroke dan penyakit vaskuler perifer. Komplikasi makroangiopati atau penyakit vaskuler diabetik merupakan penyebab utama morbilitas dan mortalitas pada DM Tipe II. Ada dua teori mengenai terjadinya komplikasi kronik. Teori pertama adalah hipotesis genetik metabolik yang menyatakan komplikasi kronik merupakan akibat kelainan metabolik pada penderita diabetes melitus. Makroangiopati diabetikum memliki gambaran serupa aterosklerosis. Penyakit ini diakibatkan oleh reaksi biokimia yang

disebabkan oleh insufisiensi insulin. Reaksi biokimia ini berupa penimbunan

sorbitol

pada

tunika

intima

vaskuler,

hiperlipoproteinemia dan kelainan pembekuan darah. Pada akhirnya kelainan makroangiopati ini menyebabkan penyumbatan vaskuler. Jika mengenai pada arteri perifer akan menyebabkan insufisiensi aliran perifer dan gangren pada ekstremitas serta adanya insufisiensi serebral dan stroke. Jika mengenai arteri koronaria dan aorta menyebabkan timbulnya infark miokard. Faktor yang berpengaruh pada makroangiopati adalah hipertensi, hiperlipidemia, hiperinsulinemia, neuropati, viskositas darah meningkat, efek metabolik defisiensi insulin.

c. Depresi Pada depresi dapat dijumpai hal-hal seperti di bawah ini : - Depresi dapat meningkatkan angka kematian pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler - Pada depresi timbul ketidakseimbangan hormonal yang dapat memperburuk penyakit kardiovaskular. (Misal: peningkatan hormon adrenokortikotropin akan meningkatkan kadar kortisol). - Metabolisme

serotonin

yang

terganggu

pada

depresi

akan

menimbulkan efek trombogenesis. - Perubahan suasana hati (mood) berhubungan dengan gangguan respons imunitas termasuk perubahan fungsi limfosit dan penurunan jumlah limfosit. - Pada depresi berat terdapat penurunan aktivitas sel natural killer. - Pasien depresi menunjukkan kepatuhan yang buruk pada program pengobatan maupun rehabilitasi.

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Berdasarkan hasil diskusi yang telah kami laksanakan dapat disimpulkan bahwa Kakek Taruno menderita Infeksi Saluran Kemih akibat inkontinensia urin. Selain itu, karena penyakit Diabetes Melitus yang diderita, tekanan darah Kakek Taruno menjadi tinggi karena komplikasi Nefropati Diabetikum. Beberapa penyakit tersebut menjadikan kakek Yoso mengalami depresi, ditambah masalah psikologis akibat meninggalnya sang istri.

B. Saran Saran untuk diskusi tutorial skenario 2 blok geriatri ini antara lain yaitu dalam melakukan kegiatan diskusi tutorial, seharusnya kami lebih aktif lagi dalam mengemukakan pendapat dan mencantumkan sumber informasi yang dapat dipercaya berdasarkan prinsip Evidence Based Medicine (EBM) setiap kali kami menyampaikan pendapat. Selain itu, kami sebaiknya dapat menggunakan waktu secara efisien mungkin agar waktu yang dialokasikan untuk diskusi dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

DAFTAR PUSTAKA

Agodoa LY, Appel L, Bakris GL, et al. African American Study of Kidney Disease and Hypertension (AASK) Study Group. Eff ect of ramipril vs amlodipine on renal outcomes in hypertensive nephrosclerosis: a randomized controlled trial. JAMA 2001;285(21);2719 Amir N. 2005. Depresi, Aspek Neurobiologi Diagnosis dan Tatalaksana, Jakarta : Balai Penerbit FKUI Depkes dan Kesejahteraan Sosial RI. 2001. Pedoman Pembinaan Kesehatan Jiwa Usia Lanjut Bagi Petugas Kesehatan, Jakarta. Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth (ed). 2011. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Badan Penerbit FKUI Hastuti, Rini Tri. Faktor-faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita Diabetes Melitus Studi Kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta [dissertation]. Universitas Diponegoro (Semarang). 2008. Purnomo Basuki B, Dasar-Dasar Urologi. Sagung Seto. Jakarta: 2012. Siewert-Delle A, Ljungman S, Hartford M, Wilkstrand J. Eff ect of 14 years of antihypertensive treatment on renal function and urinary albumin excretion in primary hypertension [abstrak]. Am J Hypertens 1996;9:841-9 Waspadji S. Kaki diabetes. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III. Edisi 5. Jakarta: Interna publishing, 2009.h.1961 Wright JT Jr, Bakris G, Greene T, et al. African American Study of Kidney Disease and Hypertension (AASK) Study Group. Eff ect of blood pressure lowering and antihypertensive drug class on progression of hypertension kidney disease: results from the AASK trial. JAMA 2002;288(19):2421.

Related Documents


More Documents from "Cintaa Tuuk"