Laporan Skenario 1 - Bapilnas.docx

  • Uploaded by: Ahmad Agiel
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Skenario 1 - Bapilnas.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,271
  • Pages: 40
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 “BAPILNAS”

Kelompok 1 Nama Tutor: dr. Ana Rahmawati, M.Biomed. Ketua Kelompok

: Rido Angger Kurniawan

(16910049)

Sekretaris 1

: Nila Aisyah Wahyuni

(16910003)

Sekretaris 2

: Safira Dita Arviana

(16910048)

Anggota

: Achmad Tri Sugiarto Kharisul I.F.

(16910006)

Andi Firdha Restuwati

(16910014)

Muhammad Farid Wafi

(16910023)

Qonitatul Yumna

(16910039)

Rithio Chandraca Islamy

(16910040)

Putri Aulawiya Rosyida Halim

(16910044)

Silvia Dewi Maransisca

(16910047)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2018 1

DAFTAR ISI SKENARIO 1 …………………………………………………………………….........

3

LANGKAH I: KATA SULIT..........................................................................................

5

LANGKAH II: RUMUSAN MASALAH DALAM SKENARIO …………………...

6

LANGKAH III: JAWABAN DAFTAR MASALAH ………………………………...

7

LANGKAH IV: PETA MASALAH …………………………………………………..

9

LANGKAH V: TUJUAN PEMBELAJARAN (LEARNING OUTCOME) …….……

10

LANGKAH VI: SELF DIRECTED LEARNING …………………….……………...

11

LANGKAH VII: PEMBAHASAN LO, SOAP, DAN PETA KONSEP 7.1 Pembahasan LO ………………………………………………………………...

12

7.2 SOAP ………………………………………………………………….…….......

37

7.3 Peta Konsep .........................................................................................................

38

Daftar Pustaka .................................................................................................................... 39

2

SKENARIO 1 BAPILNAS Bapak Joko, seorang laki-laki umur 40 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan batuk berdahak yang dialami sejak 3 hari terakhir. Batuknya disertai dahak yang berwarna kehijauan, selain itu dia juga mengeluhkan demam dan badan lemas yang kadang hilang timbul. Dari anamnesis diketahui pasien pertama kali merasakan nyeri tenggorokan sejak 5 hari yang lalu. Pemeriksaan tanda vital: Suhu

: 38,5°C

TD

: 125/75 mmHg

HR

: 84x/menit, regular

RR

: 20x/menit

SPO2

: 95% on room air

Pemeriksaan Fisik : Leher

: Pembesaran kelenjar getah bening –

Rongga mulut

: Faring: hiperemis Tonsil: hiperemis, T3/T3

Jantung

: Ictus cordis nampak, gallop –

Paru

: vesikuler/vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

Abdomen

: supel, nyeri tekan –

Ekstremitas

: akral hangat, edema –

Dokter kemudian memberikan resep: -

Cefadroxil 2x500 mg 3 hari

-

Paracetamol 3x500 mg prn

-

Gliseril guaikolat 3x15 mg tab prn

Setelah 3 hari pasien datang lagi dengan keluhan yang masih sama. Dokter kemudian menyarankan pasien melakukan pemeriksaan penunjang berupa DL dan foto rontgen dada PA. dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan: Darah Lengkap: Hb

: 15 g/dL

Leukosit : 15.000 sel/mm3 3

Trombosit: 250.000 sel/mm3 LED

: 12 mm/jam

Foto Rontgen PA: Kesimpulan: dalam batas normal

Dokter kemudian melanjutkan terapi yang sama selama 3 hari dan menyarankan pasien untuk melakukan swab tenggorok dengan kultur dan tes kepekaan antibiotik.

4

LANGKAH I KATA SULIT 1.

Hiperemis : Pelebaran pembuluh darah pada organ tubuh tertentu akibat respon inflamasi.

2.

T3 : ukuran tonsil yang membesar. Besarnya ¾ jarak arkus anterior dan uvula.

3.

Vesikuler : suara yang dihasilkan darah saat melewati bronkhi.

4.

Cefadroxil : antibiotic spektrum luas golongan sefalosporin yang menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat dinding sel bakteri.

5.

Gliseril guaikolat : obat batuk ekspektoran yang merangsang pengeluaran batuk dengan meningkatkan volume dan menurunkan viskositas pada laposan mukosa.

6.

Akral hangat : perabaan pada ujung ekstremitas yang hangat pertanda kondisi normal dan perfusi tidak terganggu.

7.

Dahak : hasil sekresi berupa mukosa akibat inflamasi.

5

LANGKAH II RUMUSAN MASALAH DALAM SKENARIO 1. Mengapa Bapak Joko mengalami keluhan batuk berdahak dan dahak berwarna kehijauan? 2. Mengapa pasien mengalami demam yang hilang timbul dan terasa lemas? 3. Mengapa pasien baru merasakan gejala 3 hari yang lalu sedangkan nyeri tenggorokan sudah sejak 5 hari yang lalu? 4. Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan Bapak Joko? 5. Apa interpretasi dari pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik? 6. Mengapa dokter memberi resep 3 obat, cefadroxil, paracetamol, dan gliseril guaikonat? 7. Mengapa setelah 5 hari pasien dating dengan keluhan yang masih sama? 8. Mengapa dokter menyarankan pemeriksaan darah lengkap dan foto thoraks PA setelah 5 hari? 9. Apa interpretasi dari pemeriksaan darah lengkap? 10. Mengapa dokter menyarankan untuk dilakukan kultur swab tenggorok dan tes kepekaan antibiotic? 11. Mengapa dokter memberikan terapi yang sama? 12. Apa kemungkinan diagnosis untuk Bapak Joko?

6

LANGKAH III JAWABAN DAFTAR MASALAH 1.

Normalnya, mucus disekresikan 100 mL di saluran pernafasan, namun saat ada benda asing maka terjadi hipertrofi kelenjar submucosa pada trachea dan bronchi dan menyebabkan peningkatan sel goblet dan terjadi hipersekresi mucus di saluran nafas besar yang kemudian merangsang respon batuk. Warna hijau disebebkan oleh infiltrasi sel polimurfonuklear dan kaitannya dengan enzim myeloperoksidase.

2.

Peran dari interleukin 1 menyebabkan hipotalamus meingkatkan setpoint yang menyebabkan prostaglandin meningkat dan suhu tubuh yang meningkat, saat pathogen menyerang maka aka nada pertahanan dari tubuh dengan meningkatkan sel darah putih dan bias menyebabkan kenaikan suhu tubuh, saat pathogen mulai mati, masih terdapat sisa pathogen yang hidup maka demam akan turun, saat sisa pathogen ini menginfeksi kembali, maka demam akan kembali naik. Hal ini juga berkaitan dengan waktu kerja obat pada tubuh manusia. Lemas yang dirasakan bisa dikarenakan nafsu makan yang menurun akibat nyeri tenggorokan, stress psikosomatik, dan respon dari lobus frontalis

3. Awal terjadinya infeksi yang menyebabkan nyeri akibat peningkatan prostaglandin E2, pada saluran pernafasan, mucus akan berkumpul dan mengumpul karena hipersekresi yang disebabkan oleh kerja dari leukosit dan kemudian akan menjadi batuk berdahak. Selain itu, saat pathogen menginfiltrasi dan inkubasi dapat memengaruhi onset gejala yang timbul pada masingmasing individu. 4. Usia dan gender tidak berpengaruh banyak pada infeksi bakteri/virus karena bakteri/virus bisa menginfiltrasi kapan saja, meskipun umumnya menyerang pada anak anak. Factor yang memungkinkan untuk terinfeksi adalah laki laki yang aktif bekerja di luar ruangan dan terpapar udara luar dan ada atau tidaknya riwayat merokok 5. a. Suhu yang meningkat menandakan adanya inflamasi dan disertai akral hangat yang menandakan pasien normal atau hangat karena pasien mengalami demam. b. Tekanan darah normal menandakan tidak ada kerusakan dari organ jantung. c. HR, RR, SPO2 normal menandakan tidak adanya sesak nafas yang didukung dengan pemeriksaan paru menunjukkan bunyi vesikuler dan tidak adanya gallop. d. Pemeriksaan abdomen tidak ditemukan nyeri tekan dan teraba supel, menyingkirkan tanda hepatomegaly dan hepatitis e. Pemeriksaan rongga mulut didapatkan pelebaran pembuluh darah pada faring dan tonsil dan didapatkan tonsil yang membesar sebagai respon dari inflamasi f.

Ictus cordis yang Nampak bisa menandakan normal pada pasien yang kurus

7

6. Cefadroxil digunakan sebagai antibiotic untuk menghambat sintesis dinding sel bakteri, digunakan antibiotic spektrum luas karena belum diketahui mikroorganisme apa yang menginfiltrasi. Paracetamol digunakan untuk menurunkan demam dan meredakan nyeri yang ringan hingga sedang dan aman pada pasien dengan ganguan pencernaan. Sedangkan gliseril guaikolat digunakan untuk merangsang pengeluaran dahak dengan meningkatkan volume dan mengurangi viskositas dahak di trachea dan bronchi. 7. Infeksi tidak membaik yang diketahui dari nilai leukosit yang tinggi, selain itu ketaan pasien dalam mengikuti anjuran minum obat dari dokter juga penting dalam pengurangan gejala dan kesembuhan pasien. Isa juga pasien mengalami resistensi terhadap antibiotic maka dari itu dilakukan pemeriksaan kepekaan antibiotic. 8. Pemeriksaan darah lengkap digunakan untuk mengetahui perkembangan penyakit setelah diberi terapi, dan mempertimbangkan terapi kedepannya. Pemeriksaan thorax PA dilakukan karena pasien masih sanggup berdiri dan untuk mendapatkan gambaran yang bagus untuk melihat keterlibatan organ. 9. Dari pemeriksaan darah lengkap, didapatkan peningkatan leukosit karena dalam tubuh sedang terjadi infeksi. Kadar hemoglobin normal menandakan tidak anemia. Trombosit dan LED normal. 10. Tes kepekaan antibiotik dilakukan untuk menemukan antibiotic spektrum sempit agar tidak terus menerus menggunakan antibiotic spektrum luas yang bisa mengakibatkan bakteri baik juga akan terkikis. Sedangkan swab tenggorok dilakukan untuk mengetahui bakteri apa yang menginfiltrasi, dan dilakukan di tenggorokan karena infeksi bersifat local. 11. Karena belum diketahui jenis mikroorganisme yang menginfiltrasi, maka dari itu diberikan antibiotic spekturm luas, didasari dengan kenaikan leukosit pada pemeriksaan darah lengkap. Selain itu, pasien juga diharapkan untuk memperbaiki ketaatan pasien dalam mengonsumsi obat berkaitan dengan kesembuhannya. 12. Tonsillitis Faringitis Tonsilofaringitis

8

LANGKAH IV PETA MASALAH

9

LANGKAH V LEARNING OUTCOME 1.

Mengetahui Anatomi Rongga Mulut dan Tenggorokan

2.

Mengetahui Definisi dan Klasifikasi Tonsilofaringitis

3.

Mengetahui Epidemiologi Tonsilofaringitis

4.

Mengetahui Faktor Risiko Tonsilofaringitis

5.

Mengetahui Etiopatofisiologi Tonsilofaringitis

6.

Mengetahui Gejala dan Tanda Tonsilofaringitis

7.

Mengetahui Pemeriksaan Penunjang Tonsilofaringitis

8.

Mengetahui Diagnosis Banding Tonsilofaringitis

9.

Mengetahui Tatalaksana Tonsilofaringitis

10. Mengetahui Komplikasi dan Prognosis Tonsilofaringitis 11. Mengetahui Pencegahan Tonsilofaringitis

10

LANGKAH VI SELF DIRECTED LEARNING

11

LANGKAH VII PEMBAHASAN LO, SOAP, DAN PETA KONSEP

1.

Anatomi Rongga Mulut dan Tenggorokan Rongga mulut yang disebut juga rongga bukal, dibentuk secara anatomis oleh pipi, palatum keras,palatum lunak, dan lidah. Pipi membentuk dinding bagian lateral masing-masing sisi dari rongga mulut. Pada bagian eksternal dari pipi, pipi dilapisi oleh kulit. Sedangkan pada bagian internalnya, pipi dilapisi oleh membran mukosa, yang terdiri dari epitel pipih berlapis yang tidak terkeratinasi. Otot-otot businator (otot yang menyusun dinding pipi) dan jaringan ikat tersusun di antara kulit dan membran mukosa dari pipi. Bagian anterior dari pipi berakhir pada bagian bibir (Tortora et al., 2009).

Gambar 1: Anatomi Rongga Mulut Sumber : Tortora et al., 2009

Tenggorokan (Faring) Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Didalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang keatas bagian depan berhubungan dengan rongga 12

hidung, dengan perantaraan lubang bernama koana, keadaan tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus fausium. Tekak terdiri dari bagian superior yaitu bagian yang sama tinggi dengan hidung, bagian media yaitu bagian yang sama tinggi dengan mulut dan bagian inferior yaitu bagian yang sama tinggi dengan laring. Bagian superior disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang menghubungkan tekak dengan ruang gendang telinga. Bagian media disebut orofaring, bagian ini berbatas ke depan sampai di akar lidah. Bagian inferior disebut laringofaring yang menghubungkan orofaring dengan laring.

Gambar 2: Anatomi Hidung Sumber : American Cancer Society, 2013

Tonsil merupakan bagian dari jaringan limfoid yang melingkari faring dan secara kolektif dikenal sebagai cincin waldeyer. Cincin ini terdiri dari jaringan limfoid dari dasar lidah (tonsil lidah), dua tonsil tekak, adenoid, dan jaringan limfoid pada dinding posterior. Jaringan ini berperan sebagai pertahanan terhadap infeksi, tetapi ia dapat menjadi tempat infeksi akut atau kronis (Behrman, 2000) Tonsil terdiri atas: 1. Tonsil faringealis atau adenoid, agak menonjol keluar dari atas faring dan terletak dibelakang koana. 2. Tonsil palatina atau faucial, dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk. 13

3. Tonsil lingual atau tonsil pangkal lidah, epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk.

Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuh dengan cara menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung, dan kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang tonsil mengalami peradangan. Peradangan pada tonsil disebut dengan tonsilitis, penyakit ini merupakan salah satu gangguan Telinga, Hidung dan Tenggorokan ( THT ). Sistem imunitas ada 2 macam yaitu imunitas seluler dan humoral. Imunitas seluler bekerja dengan membuat sel (limfoid T) yang dapat “memakan“ kuman dan virus serta membunuhnya (Price & Wilson, 2005 ; Syaifudin, 2006). Sedangkan imunitas humoral bekerja karena adanya sel (limfoid B) yang dapat menghasilkan zat immunoglobulin yang dapat membunuh kuman dan virus. Kuman yang dimakan oleh imunitas seluler tonsil dan adenoid terkadang tidak mati dan tetap bersarang disana serta menyebabkan infeksi amandel yang kronis dan berulang (Tonsilitis kronis). Infeksi yang berulang ini akan menyebabkan tonsil dan adenoid bekerja terus dengan memproduksi sel-sel imun yang banyak sehingga ukuran tonsil dan adenoid akan membesar dengan cepat melebihi ukuran yang normal (Price & Wilson, 2005 ; Syaifudin, 2006).

2.

Definisi dan Klasifikasi Tonsilofaringitis Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke jaringan sekitarnya. Faringitis biasanya timbul bersama-sama dengan tonsilitis, rhinitis dan laryngitis. Faringitis banyak diderita anak-anak usia 5-15 th di daerah dengan iklim panas. Faringitis dijumpai pula pada dewasa yang masih memiliki anak usia sekolah atau bekerja di lingkungan anak-anak (Bisno Alan et al, 2002). Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3-5 kali infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis setiap tahunnya (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina yang ditandai dengan peradangan tonsil, sakit tenggorokan, gangguan menelan dan pembesaran ringan kelenjar limfe leher. Peradangan biasanya meluas hingga ke adenoid maupun tonsil lingual (tonsil jaringan limfoid di dasar lidah), melibatkan cincin Waldeyer) dan seringkali bersamaan dengan faringitis, yang dinamakan faringotonsilitis (Tanto, Chris et al. 2014). Klasifikasi faringitis menurut Kementrian Kesehatan RI 2014 adalah: 1. Faringitis Akut a. Faringitis Viral

14

Dapat disebabkan oleh rinovirus, adenovirus, Epstein Barr Virus (EBV), virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus, dan lain-lain. Pada adenovirus juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak. Gejala khas dengan diawali gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai rinorea dan mual. b. Faringitis Bakterial Gejala khas ditandai dengan nyeri kepala hebat, muntah, kadang demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk, dan seringkali terdapat pembesaran KGB leher.Infeksi grup A stereptokokus beta hemolitikus merupakan penyebab faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%). Faringitis akibat infeksi bakteri streptokokkus group A dapat diperkirakan dengan menggunakan Centor criteria, yaitu : 1) Demam 2) Anterior Cervical lymphadenopathy 3) Eksudat tonsil 4) Tidak ada batuk Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor 1. Bila skor 0-1 maka pasien tidak mengalami faringitis akibat infeksi streptokokkus group A, bila skor 1-3 maka pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi streptokokkus group A dan bila skor 4 pasien memiliki kemungkinan 50% terinfeksi streptokokkus group A. c. Faringitis Fungal Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring. Gejala khas ditandai dengan terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan. d. Faringitis Gonorea Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital. Faringitis virus atau bakterialis akut adalah penyakit yang sangat sering. Penyebab faringitis akut dapat bervariasi dari organisme yang menghasilkan eksudat saja sampai yang menyebabkan edema dan bahkan ulserasi. Organisme yang ditemukan termasuk streptokokus, pneumokokus, dan basilus influenza, di antara organisme yang lainnya (Adam, 1997).

2. Faringitis Kronik a. Faringitis Hiperplastik Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring. Gejala khas ditandai dengan mula-mula tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk yang berdahak (Kementrian Kesehatan RI, 2014). 15

b. Faringitis Atrofika Pada kasus yang ringan, mukosa tampak tipis dan berkilau atau seperti kaca, dengan tidak tampaknya semua jaringan tetapi hanya sejumlah kumpulan jaringan limfoid yang tampak pada faring normal. Pada inspeksi yang teliti, seseorang biasanya dapat melihat adanya lapisan mukus, yang normal transparan, tampak lebih tebal dan semitransparan. Mukus ini mungkin meninggikan permukaan dalam bercak-bercak. Pada bentuk faringitis atrofika yang lanjut, kekeringan menjadi menyolok, lapisan mukus konsistensinya seperti lem, dan sewaktu- waktu tampak krusta. Jika sekresi ini diangkat, membrana mukosa di bawahnya tampak kering, berkerut. Stadium lanjut faringitis atrofika ini disebut "faringitis sika" dan biasanya dihubungkan dengan rinitis atrofika atau "rinitis sika" (Adam, 1997). Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembapannya sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. Gejala khas umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau (Kementrian Kesehatan RI, 2014). 3. Faringitis Spesifik a. Faringitis Tuberkulosis Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Gejala khas dengan nyeri hebat pada faring dan tidak berespon dengan pengobatan bakterial non spesifik. b. Faringitis Luetika Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring, seperti juga penyakit lues di organ lain. Gambaran klinik tergantung stadium penyakitnya. Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan riwayat hubungan seksual, terutama seks oral.

4. Faringitis Membranosa Bentuk faringitis membranosa ini biasanya tampak pada dewasa rnuda. Selain nyeri tenggorokan pada umumnya terdapat demam ringan, adenopati servikalis disertai nyeri, dan napas yang bau. Diagnosis diperkuat dengan adanya sejumlah bakteri fusiformis yang tampak benama dengan pewarnaan fontana. Penanganan terdiri dari pemeriksaan penunjang, obat kumur sodiunr perborat atau hidrogen peroksida, dan terapi penisilin spesifik (Adam, 1997).

16

Klasifikasi Tosilitis 1. Tonsilitis Akut/ Angina Tonsiliaris Pada tonsilitis akut terdapat superinfeksi bakteri pada peradangan yang biasanya dicetuskan oleh virus di tonsil palatina. Agen penyebab pada kebanyakan kasus berupa Streptococcus A hemolyticus-B.Terdapat berbagai stadium klinis tonsilitis akut, yaitu: a. Angina catarrhalis : diawali dengan pembengkakan tonsil yang tampak kemerahan b. Angina follicularis : terbentuk bintik-bintik c. Angina lacunaris : kumpulan lapisan kriptus Terapi dengan penisilin, obat alternatif sefalosporin atau antibiotik makrolid (Nagel, Patrick, 2012). Menurut (Tanto Chis et al, 2014) tonsilitis akut dibagi menjadi: a) Tonsilitis Viral Penyebab tersering virus Epstein Barr (EBV) dan disebut juga tonsilitis mononukleus infeksiosa. Hemofilus Influenza menyebabkan tonsilitis akut supuratif. Dan dapat pula oleh virus coxachie dimana ditemukan luka-luka kecil di palatum dan tonsil yang terasa sangat nyeri. Terapi dengan istirahat, minum air yang cukup, apabila perlu dengan analgetik dan antivirus. b) Tonsilitis Bakterial Menyebabkan 15-30% faringotonsilitis. Paling sering oleh streptococcus beta hemoliticus group A, streptococcus viridan dan streptococcus piogenes. Terdapat detritus berbentuk bercak pada tonsil (tonsilitis folikularis) dan jika bercak tersebut menyatu membentuk alur maka disebut tonsilitis lakunaris. Didapatkan tonsil membesar, hiperemis dan terdapat detritus dengan berbagai bentuk, selain itu teraba kelenjar getah bening submandibula yang bengkak dan nyeri pada penekanan. Tonsilitis rekuren adalah tonsilitis streptokokal yang berulang, terdapat 7 episode kultur positif dalam satu tahun, 5 infeksi dalam dua tahun berturut-turut, atau 3 infeksi tiap tahunnya selama tiga tahun. c) Tonsilitis Membranosa Tonsilitis Difteri. Disebabkan oleh corynebacterium diphteriae, bakteri ini menghasilkan endotoksin khusus yang menyebabkan nekrosis sel epitelia dan ulserasi. Gejala umum berupa demam subfebris, pusing dan nafsu makan menurun, untuk gejala lokal berupa pembesaran tonsil dan tertutup bercak putih keabu-abuan kotor yang makin meluas membentuk membran semu (pseudomembran) yang dapat meluas hingga palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea, dan bronkus hingga dapat menyumbat pernapasan.

17

Terapi dengan antitoksin (APS) difteri tanpa menunggu hasil kultur, antibiotik penisilin, kortikosteroid, obat simptomatik lainnya seperti antipiretik, dan trakeostomi bila sudah ada sumbatan jalan napas. 2. Tonsilitis Kronik Tonsilitis kronik adalah peradangan tonsil yang melebihi tiga bulan. Faktor penyebab dapat berupa peradangan lambat setelah tonsilitis akut dan peradangan detritus yang terkontaminasi mikroorganisme. Proses penyakit sangat bervariasi mulai dari tonsilitis akut dengan gejala yang kambuh hingga gambaran klinis yang sepenuhnya tidak jelas. Detritus yang menumpuk tidak jarang disertai dengan foctor ex ore dan gangguan pengecapan di mulut, dan pada sebagian kasus, terdapat gangguan menelan. Pada inspeksi, tonsil tampak membentuk parut dan permukaannya sangat retak. Bila tonsil palatina ditekan, detritus atau nanah akan keluar. Kelenjar limfe pada angulus mandibularis biasanya membesar. Terapi dengan tonsilektomi, paling tidak pada empat kali tonsilitis yang memerlukan antibiotik atau menimbulkan demam per tahunnya (Nagel, Patrick, 2012). Diberikan terapi suportif berupa pemberian obat kumur untuk menjaga kebersihan mulut, indikasi dilakukannya tonsilektomi berdasarkan panduan American Academy of Otolaryngology & Head and Neck surgery (AAO-HNS) (Tanto Chis et al, 2014).

3.

Epidemiologi Tonsilofaringitis Menurut Dewi et al. (2013), tonsilofaringitis merupakan awal keadaan infeksi dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). ISPA merupakan infeksi penyakit yang terjadi di saluran nafas dan kebanyakan merupakan infeksi virus. Tonsilofaringitis ini biasanya terjadi pada anak, meskipun jarang pada anak berusia di bawah 1 tahun. Anak-anak usia 5 sampai 15 tahun merupakan usia yang paling rentan terinfeksi penyakit faringitis. Insidens meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, mencapai puncaknya pada usia 4−7 tahun, dan berlanjut hingga dewasa. Insidens faringitis karena bakteri streptokokus tertinggi pada usia 5−18 tahun, jarang pada usia di bawah 3 tahun, dan rasionya sebanding antara laki-laki dan perempuan (FK UNAIR, 2017). Biasanya penyakit ini didahului oleh virus. Virus yang menyebabkan faringitis akut sama seperti virus yang menyebabkan tonsilitis akut, yaitu adenovirus, ECHO virus, influenza, dan herpes. Bakteri penyebab faringitis akut 25% disebabkan oleh bakteri Streptokokus β Hemolitikus Grup A. Selain itu dapat juga disebabkan oleh bakteri Streptokukokus non hemolitikus, pneumokokus, basil influenza, staphylococus, dan difteri (Nasution, 2008).

18

4.

Faktor Resiko Tonsilofaringitis Faktor risiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin,turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza,konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok dan seseorang yang tinggal di lingkungan kitayang menderita sakit tenggorokan atau demam (Gore, 2013). Penyebab faringitis yang bersifat noninfeksi yaitu sleep apnea, GERD, merokok, dan alergi. Alergi menyebabkan hiperplasia limfoid, obstruksi nasal, dan keluarnya mukus hidung yang dapat mengiritasi faring (Lipsky, 2010) . Tonsilitis dapat menular melalui udara yaitu melalui percikan saliva/ludah dari orang yang menderita laryngitis akut. Infeksi ini biasanya disebabkan oleh virus dan bakteri, dipermudah oleh adanya rangsangan seperti asap, uap dan zat kimia. Biasanya penyakit ini didahului oleh virus (Lipsky, 2010). Faktor predisposisi yang membantu timbulnya penyakit flu, yaitu turunnya daya tahan tubuh karena infeksi virus (seperti virus influenza), flu, makanan kurang bergizi, konsumsi alcohol yang berlebihan, udara dingin, turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus (Taubert, 1994).

5.

Etiopatofisiologi Tonsilofaringitis Tonsilitis adalah suatu peradangan pada tonsil. Patogenesis tonsilitis episode tunggal masih belum jelas. Diperkirakan akibat obstruksi kripta tonsil, sehingga mengakibatkan terjadi multiplikasi bakteri patogen yang dalam jumlah kecil didapatkan dalam kripta tonsil yangnormal. Pendapat lain patogenesis terjadinya infeksi pada tonsil berhubungan erat dengan lokasi maupun fungsi tonsil sebagai pertahanan tubuh terdepan. Antigen baik inhalan maupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil terjadi perlawanan tubuh dan kemudian terbentuk focus infeksi. Peradangan akut pada saluran nafas atas yang disebabkan oleh virus seperti adenovirus,virus Epstein Barr, influenza, para influenza, herpes simpleks, virus papiloma. Peradangan oleh virus yang tumbuh di membran mukosa kemudian diikuti oleh infeksi bakteri. Keadaan ini akan semakin berat jika daya tahan tubuh penderita menurun akibat peradangan virus sebelumnya. Terjadinya tonsilitis dimulai saat bakteri masuk ke tonsil melalui kripte – kriptenya, secara aerogen (melalui hidung, droplet yang mengandung bakteri terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus ke tonsil), maupun secara foodvorn yaitu melalui mulut bersama makanan (Pfoh,2008). Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil berperan sebagai filter atau penyaring yang menyelimuti organisme berbahaya, sel-sel darah putih ini akan menyebabkan infeksi ringan pada tonsil. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibody 19

terhadap infeksi yang akan datang, akan tetapi kadang-kadang tonsil sudah kelelahan menahan infeksi atau virus. Infeksi bakteri dari virus inilah yang menyebabkan tonsilitis. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus (Pfoh,2008). Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsilitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsilitis lakunaris. Terdapat perpaduan bakteri aerobik dan anaerobik, namun yang paling dominan jenis streptokokus. Streptokokus group A beta-hemotlitikus menyebabkan gejala fokal. Drainase yang buruk pada kripta akan menyebabkan terjadinya retensi debris sel, sehingga dapat menjadi medium yang baik untuk perkembangan bakteri. Ketika terbentuk abses di kripta, infeksi menyebar dari epitel yang defek ke parenkim tonsilaris sehingga menyebabkan tonsillitis parenkim kripta. Infeksi juga melakukan penetrasi ke kapiler sekitar kripta, sehingga memberikan jalan untuk toksin dan bakteri menyebar ke sirkulasi sistemik (Pfoh,2008). Dalam jangka waktu yang panjang, parenkim tonsilaris akan menjadi jaringan fibrois dan megalami atrofi. Disamping menyebabkan efek iritatif pada jaringan dan organ tempat melekatnya bakteri, tonsillitis kronik juga akan menyebabkan infeksi fokal. Beberapa hal mengenai fokal infeksi - “Fokus” infeksi merupakan perubahan lokal dalam organ yang menyebabkan perubahan patologis disekitarnya. - Pada struktur tonsila palatine, terjadi penyempitan kripta, epithel spongiosum, dan pembuluh darah tidak terlindungi sehingga menciptakan suasana yang ideal untuk berkembangnya mikroorganisme patologi,toksin, mediator radang, ke dalam pembuluh darah. Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu (Pseudomembran), sedangkan pada tonsilitis kronik terjadi karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris (Pfoh,2008). Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula. Fungsi tonsil sebagai pertahanan terhadap masuknya bakteri ke tubuh baik yang melalui hidung maupun mulut. Bakteri yang masuk dihancurkan oleh makrofag, sel – sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena infeksi maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh bakteri – bakteri semuanya, akibatnya bakteri bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (tonsil sebagai fokal infeksi). Sewaktu – waktu bakteri bisa menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan umum yang menurun Tonsilitis yang disebabkan oleh bakteri ini disebut peradangan lokal primer.Setelah terjadi serangan 20

tonsilitis ini tonsil akan benar-benar sembuh atau bahkan tidak dapat kembali sehat seperti semula. Penyembuhan yang tidak sempurna akan menyebabkan peradangan ringan pada tonsil (Pfoh,2008). Apabila keadaan ini menetap atau berulang, bakteri patogen akan bersarang di dalam tonsil dan terjadi peradangan yang kronis.Infeksi pada tonsil dapat terjadi akut, kronis dan tonsilitis akut berulang. Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat infeksi akut atau subklinis yang berulang. Ukuran tonsil membesar akibat hyperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang relatif kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis. Brodsky menjelaskan durasi maupun beratnya keluhan nyeri tenggorok sulit dijelaskan. Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri menelan dirasakan lebih dari 4 minggu dan kadang dapat menetap (Pfoh,2008). Brook dan Gober seperti dikutip oleh Hammouda (2010) menjelaskan tonsillitis kronis adalah suatu kondisi yang merujuk kepada adanya pembesaran tonsil sebagai akibat infeksi tonsil yang berulang. Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta tonsil mengakibatkan peningkatan stasis debris maupun antigen di dalam kripta, juga terjadi penurunan integritas epitel kripta sehingga memudahkan bakteri masuk ke parenkim tonsil. Bakteri yang masuk ke dalam parenkim tonsil akan mengakibatkan terjadinya infeksi tonsil. Pada tonsil yang normal jarang ditemukan adanya bakteri pada kripta, namun pada tonsilitis kronis bisa ditemukan bakteri yang berlipat ganda. Bakteri yang menetap di dalam kripta tonsil menjadi sumber infeksi yang berulang terhadap tonsil. Pembesaran tonsil dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi sehingga timbul gangguan menelan, obstruksi sleep apnue dan gangguan suara. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tonsil yang membesar dalam berbagai ukuran, dengan pembuluh darah yang dilatasi pada permukaan tonsil, arsitektur kripta yang rusak seperti sikatrik, eksudat pada kripta tonsil dan sikatrik pada pilar (Pfoh,2008). Disamping tonsilitis akut dan kronis Brodsky menjelaskan adanya tonsiltis akut rekuren yang didefinisikan sebagai tonsilitis akut yang berulang lebih dari 4 kali dalam satu tahun kalender, atau lebih dari 7 kali dalam 1 tahun, 5 kali setiap tahun selama 2 tahun, atau 3 kali setiap tahun selama 3 tahun (Pfoh,2008).

6.

Gejala dan Tanda Tonsilofaringitis Faringitis Faringitis khas akibat bakteri Streptococcus berupa nyeri tenggorokan dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala yang biasanya dikeluhkan oleh anak berusia diatas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Selain itu juga didapatkan demam yang dapat mencapai suhu 400 C, beberapa jam kemudian terdapat nyeri tenggorokan. Gejala seperti rinorea, suara serak, batuk, konjungtivitis, dan diare biasanya disebabkan oleh virus (Suardi, 2010). 21

Pada pemeriksaan fisik, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut Streptococcus menunjukkan tanda infeksi Streptococcus, yaitu eritema pada tonsil dan faring yang disertai dengan pembesaran tonsil (Suardi, 2010). Tonsilofaringitis akut Streptococcus sangat mungkin jika dijumpai tanda dan gejala sebagai berikut: 1. Awitan akut, disertai mual dan muntah. 2. Terdapat nyeri pada tenggorokan 3. Nyeri ketika menelan 4. Kadang disertai otalgia (sakit telinga) 5. Nyeri tenggorokan 6. Demam tinggi 7. Malaise 8. Kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri 9. Pada pemeriksaan tenggorokan ditemukan faring yang hiperemi, pembesaran tonsil disertai hiperemia, kadang didapatkan bercak kuning keabu-abuan yang dapat meluas membentuk seperti membran. Bercak menutupi kripta dan terdiri dari leukosit, sel epitel yang sudah mati dan kuman patogen (Ngastiyah, 2005). Akan tetapi, penemuan tersebut bukan merupakan tanda pasti faringitis Streptokokus, karena dapat juga ditemukan pada penyebab tonsilofaringitis yang lain. Sedangkan bila dijumpai gejala dan tanda berikut ini, maka kemungkinan besar bukan faringitis streptokokus: 1. Usia di bawah 3 tahun 2. Awitan bertahap 3. Kelainan melibatkan beberapa mukosa 4. Konjuntivitis, diare, batuk, pilek, suara serak 5. Mengi, ronki di paru 6. Eksantem ulseratif. Tanda khas faringitis difteri adalah membran asimetris, mudah berdarah, dan berwarna kelabu pada faring. Membran tersebut dapat meluas dari batas anterior tonsil hingga ke palatum mole dan/atau ke uvula (Suardi, 2010).. Pada tonsilofaringitis akibat virus, dapat juga ditemukan ulkus di palatum mole dan dinding faring serta eksudat di palatum dan tonsil, tetapi sulit dibedakan dengan eksudat pada tonsilofaringitis akibat Stretococcus. Gejala yang timbul dapat menghilang selama 24 jam, berlangsung 4 – 10 hari (self limiting disease), jarang menimbulkan komplikasi, dan memiliki prognosis yang baik. (Suardi, 2010)

22

Tonsilitis Tonsilitis Akut Tonsilitis viral, Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Haemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien. (Soepardi,2010). Tonsilitis bakterial, Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus b hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus, Streptokokus viridan danStreptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning. (Soepardi,2010) Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercakbercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur makan akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar sehingga terbentuk semacam membran semu (pseudomembrane) yang menutupi tonsil. Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok dan nyeri sewaktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui saraf n.glosofaringeus (n. IX) (Soepardi,2010). Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh mebran semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.Tonsilitis akut menimbulkan keluhan awal berupa rasa kering di tenggorok. Selanjutnya pasien merasa nyeri waktu menelan yang makin lama makin hebat, sehingga karena sakitnya, anak menjadi tidak mau makan. Nyeri hebat ini dapat menjalar ke telinga disebut referred pain. Panas badan dapat sangat tinggi sampai menimbulkan kejang pada anak dan bayi, nyeri kepala, badan lesu, nafsu makan berkurang (Soepardi,2010). Suara penderita terdengar seperti orang yang mulutnya terisi penuh makanan panas. Keadaan ini disebut plummy voice. Mulut berbau busuk (foetor ex ore), dan ludah menumpuk dalam kavum oris akibat adanya nyeri telan yang hebat (ptialismus).3Selain itu tonsil hiperemi, udem, permukaannya penuh detritus, ismus fausium,tampak menyempit. Palatum mole, arkus anterior dan arkus posterior udem dan hiperemi. Kelenjar limfe di daerah jugulo-digastrikus (di belakang angulus mandibula) membesar dan nyeri tekan. (Herawati,2003) 23

Tonsilitis Kronik Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa mengganjal di tenggorokan, dirasakan kering di tenggorok dan napas berbau (Herawati,2003)

7.

Pemeriksaan Penunjang Tonsilofaringitis Skor Centor dengan modifikasi dapat digunakan untuk menilai kemungkinan terkena faringitis streptokokus dan mempertimbangkan pemeriksaan penunjang serta tatalaksana (Kapita Selekta, 2008).

Gambar 3: Skor Centor Sumber: Kapita Selekta, 2008 1. Kultur swab tenggorok Kultur swab tenggorok merupakan gold standard dalam pemeriksaan. Akan tetapi pemeriksaan penunjang ini tidak disarankan pada anak usia dibawah 3 tahun, kecuali yang memiliki faktor resiko seperti saudara yang terinfeksi Streptokokus Hemolitikus type A. Pengambilan apus tenggorok pada daerah tonsil dan dinding faring posterior. Pemeriksaan ini dilakukan untuk membedakan faringitis bakteri dan faringitis virus, kecuali saat ciri faringitis virus muncul seperti rhinorrhea, batuk, konjungtivitis, sariawan, dan terdapat suara parau. 24

Kultur dilakukan saat hasil tes RADT negative untuk menguatkan dalam penegakan diagnosis. Sedangkan hasil tes RADT positif tidak perlu dilakukan kultur swab tenggorok karena hasilnya sudah sangat spesifik. Pada RADT negative pada orang dewasa tidak perlu melakukan kultur swab tenggorok ulang (Shulman, et al., 2012). Pemeriksaan kultur swab tenggorok tidak bisa membedakan fase infektif dan kolonisasi, nemun digunakan sebagai investigasi outbreak, monitor resistensi antibiotic, atau mengetahui pathogen lain yang menyebabkan infeksi. Pemeriksaan memerlukan waktu 1-2 hari untuk mendapatkan hasilnya (Shulman, et al., 2012).. 2. Uji deteksi antigen cepat (RADT) Pemeriksaan ini dilakukan ketika tidak Nampak gejala seperti pada faringitis virus (Shulman, et al., 2012).. 3. Titer antibody anti streptokokus Menunjukkan hasil terdahulu bukan terkini, jadi tidak direkomendasikan untuk dilakukan untuk menegakkan diagnosis (Shulman, et al., 2012). 4. Pemeriksaan ASTO (anti streptolysin O) Untuk mengukur kadar antibodi terhadap streptolisin O, suatu zat yang dihasilkan oleh bakteri Streptococcus grup A. Dilakukan pemeriksaan jika terdapat riwayat terinfeksi streptokokus grup A, misalnya demam rematik atau faringitis. Antibody ditemukan dalam darah beberapa minggu atau beberapa bulan setelah infeksi sembuh. Sebaiknya dilakukan pengulangan dalam 2-4 minggu setelah pemeriksaan awal untuk mengetahui perubahan hasil (Meadow, 2002). 5. Pemeriksaan laboratorium berupa: a. Darah lengkap Pemeriksaan ini dilakukan saat terjadi tanda inflamasi, misalnya demam. Tujuannya untuk mengetahui penyebab infeksi dan adanya infeksi lain dalam tubuh. (Davey, 2006) b. Analisa gas darah Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai fungsi pernafasan, dilakukan saat ada gangguan pada pernafasan (Davey, 2006). Bagi pemeriksa yang menangani pasien dengan episode faringitis yang rekuren, serta telah dilakukan pemeriksaan kultur swab tenggorok dan menunjukkan hasil yang adekuat, maka disarankan untuk mempertimbangkan kemungkinan pasien adalah karier faringitis kronis yang mengalami infeksi virus yang berulang (kuat, sedang).

6. Beberapa tes yang dilakukan untuk mengetahui etiologi dari faringitis, misalnya:

25

a. Tes infeksi jamur, menggunakan slide dengan pewarnaan KOH untuk mengetahui etiologi faringitis oleh karena jamur (Meadow, 2002). b. Tes Monospot yang merupakan tes antibodi heterofil. Tes ini digunakan untuk mengetahui adanya mononukleosis atau infeksi karena tersebarnya virus Epstein Barr dalam tubuh melalui air liur. Tes dilakukan jika terdapat tanda dan gejala mononucleosis infeksius seperti demam, sakit tenggorok, Lelah, pembengkakan kelenjar, tujuannya untuk mendeteksi penyakit dalam waktu 5 hari hingga 3 minggu setelah infeksi (Meadow, 2002). c. ELISA yang digunakan untuk mengetahui adanya virus HIV atau tidak (Meadow, 2002).

8.

Diagnosis Banding Tonsilofaringitis 1. Difteri Penyebab dari tonsilitis difteri adalah suatu jenis kuman yang spesifik, yaitu Corynebacterium diphteriae yang termasuk dalam kelompok kuman gram positif dan berada biasanya di saluran nafas atas, seperti hidung, faring dan laring. Seseorang yang terinfeksi dari kuman difteri akan mengalami tiga golongan gejala, berupa: 1) gejala umum, seperti demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan nyeri saat menelan. 2) gejala lokal, seperti tonsil membengkak yang tertutup bercak putih kotor membentuk membran semu, dimana membran tersebut dapat meluas ke pallatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakhea, bronkus dan dapat menyumbat saluran nafas serta mudah berdarah. 3) gejala akibat eksotoksin seperti pada jantung dapat menyebabkan miokarditis, dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan pernafasan bila mengenai saraf kranial. Diagnosis difteri dapat ditegakkan melalui pemeriksaan kultur swab. (Bull, 2002) (Soepardi,2007) Tabel 1: Perbandingan Antara Difteri dan Tonsilitis Akut. Tonsilitis Akut (Ulseratif) Difteri Riwayat

Tonsilitis berulang

Telah terpapar difter

Temperatur

Tinggi

Tinggi

Takikardi

Sebanding dengan demam Tidak sebanding dengan demam, nadi lemah

Toxaemia

Tidak ada

Bisa ada

26

Nyeri / sakit

Berat

Sedang atau tidak ada.

Albuminuria

Tidak ada

Selalu ada

Sumber: A Short Textbook of ENT for Students and Practitioners. Seventh Edition, 2005 2. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulsero Membranosa) Penyebab penyakit ini merupakan suatu bakteri jenis spirochaeta atau triponema yang terdapat pada penderita dengan tingkat hygine mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C. Gejala yang akan timbul pada pasien dengan penyakit ini berupademam dengan kenaikan suhu sampai 390C, nyeri kepala, badan lemah dan kadang disertai dengan gangguan pencernaan, rasa nyeri pada bagian mulut, hipersalivasi, serta gigi dan gusi mudah berdarah.(Adams, 2013) Tabel 2: Perbandingan Antara APV dan Tonsilitis Akut.

Tonsillitis akut

Angina plaut viscent

Gejala demam

Etiologi

Letak

Ada

Streptookokus B hemoliticus

Tonsil

Ada

Bakteri spirochaeta atau Triponema

Dari mulut sampai tenggorokan

Kriteria Gejala Gejala Gejala Pembesaran nyeri Gejala Tampilan bau referred kelenjar tenggoro disfagi faringoskopi mulut otalgia limfe kan

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Ada

Tidak ada

Tidak ada

Gejala badan terasa lemah

Mukosa tonsil hiperemis dan Tidak ada edematous

Ada

Mukosa tonsil putih keabuan, tak edema

Ada

Ada

Sumber: Sumber: A Short Textbook of ENT for Students and Practitioners. Seventh Edition, 2005 3. Scarlett fever Scarlett fever dapat menyerupai tonsilitis akut karena ditemukan juga gejala pembesaran tonsil serta eritema. Pada palatum dan uvula terdapat eksudat putih keabuabuan. Scarlett fever disebabkan oleh infeksi streptococcus dan menyebabkan ruam eritematosa berwarna abu-abu. Pada lidah didapatkan eritema dan edema sehingga memberikan gambaran strawberry tongue (tanda patognomonik). (Probst, 2006)

27

Gambar 4 : Scarlett Fever Sumber : Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 2002 4. Abses peritonsilar Abses peritonsilar adalah sekumpulan pus yang terletak diantara kapsul tonsil dan muskulus konstriktor faringeal superior. Abses peritonsilar biasanya merupakan komplikasi dari tonsillitis akut. Gejala yang paling sering adalah sulit menelan, mengeluarkan air liur, trismus, dan demam. Asimetris peritonsiler dapat terjadi dan disertai deviasi uvula. Aspirasi dengan jarum menjadi standar baku untuk diagnosis dan tatalaksana (Tanto, 2014)

Gambar 5: Abses Peritonsiler Sumber: Pediatric ENT, 2007.

9.

Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Penatalaksanaan

dari

penyakit

faringitis

harus

sesuai

dengan

penyebabnya A. Tujuan Penatalaksanaan, yaitu Mengatasi gejala secepat mungkin, membatasi penyebaran infeksi serta membatasi komplikasi.

B. Terapi Pokok Penatalaksanaan komprehensif penyakit faringitis akut, yaitu: 1. Istirahat cukup. 2. Minum air putih yang cukup. 3. Berkumur dengan air yang hangat 4. Pemberian farmakoterapi: 28

a. Topikal - Obat kumur antiseptik bertujuan untuk menjaga kebersihan mulut. - Pada faringitis fungal diberikan nystatin 100.000-400.000 2 kali/hari. - Faringitis kronik hiperplastik terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia - Larutan nitras argentin 25% b. Oral sistemik 

Anti virus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi virus dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anakkurang dari lima tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.



Faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya Streptococcus group A diberikan antibiotik yaitu penicillin G benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama sepuluh hari dan pada dewasa 3x500 mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4x500 mg/hari. Selain antibiotik juga diberikan kortikosteroid karena steroid telah menunjukkan perbaikan klinis karena dapat menekan reaksi inflamasi. Steroid yang dapat diberikan berupa deksametason 3x0,5 mg pada dewasa selama tiga hari dan pada anak-anak 0,01mg/kgBB/hari dibagi tiga kali pemberian selama tiga hari.



Faringitis gonorea, sefalosporin generasi ke-tiga, Ceftriakson 2 gr IV/IM single dose.



Pada faringitis kronik hiperplastik, jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit hidung dan sinus paranasal harus diobati.



Faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi.



Untuk kasus faringitis kronik hiperplastik dilakukan kaustik sekali sehari selama 3-5 hari (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

10. Komplikasi dan Prognosis Tonsilofaringitis Komplikasi a. Abses pertonsil Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptococcus group A ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007 ). 29

b. Otitis media akut Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan gendang telinga (Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007 ). c. Mastoiditis akut Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam sel-sel mastoid ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007 ). d. Laringitis Merupakn proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk larynx. Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena virus, bakter, lingkungan, maupunmkarena alergi ( Reeves, Roux, Lockhart, 2001 ). e. Sinusitis Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satua atau lebih dari sinus paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan berisi udara dari dinding yang terdiri dari membran mukosa( Reeves, Roux, Lockhart, 2001 ). f.

Rhinitis Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan nasopharynx ( Reeves, Roux, Lockhart, 2001 ).

g. Demam scarlet, Demam ini ditandai dengan demam dan bintik kemerahan (Pommerville, 2011) h. Demam reumatik, Inveksi virus Streptococcus hemolitikus Group A awalnya ditandai dengan luka pada tenngorok dan menyebabkan inflamasi sendi atau kerusakan pada katup jantung terutama katup mitral dan aorta. Demam reumatik merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dari faringitis (Harrison’s et al, 2008). i.

Glomerulonefritis; Komplikasi berupa glomerulonefritis akut merupakan respon inflamasi terhadap protein M spesifik. Kompleks antigen-antibodi yang terbentuk berakumulasi pada glomerulus ginjal yang akhirnya menyebabkan glomerulonefritis ini (Pommerville, 2011).

j.

Abses peritonsilar Abses peritonsial biasanya disertai dengan nyeri faringeal, disfagia, demam, dan dehidrasi (Harrison’s et al, 2008).

k. toxic shock syndrome di seababkan karena virus Streptococcus ( Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). l.

Meningitis

30

Infeksi bakteri pada daerah faring yang masuk ke peredaran darah, kemudian masuk ke meningen dapat menyebabkan meningitis. Namun hal ini jarang terjadi ( Reeves, Roux, Lockhart, 2001 ).

Prognosis Sebagian besar faringitis atau tonsillitis yang diakibatkan oleh virus memiliki prognosis yang lebih baik karena sangat jarang menimbulkan komplikasi dan juga merupakan self limiting disease yang mana akan dapat membaik apabila sistem imun membaik. Sedangkan pada faringitis atau tonsillitis yang diakibatkan oleh bakteri memiliki prognosis yang lebih buruk karena dapat mengakibatkan berbagai komplikasi, oleh karena itu dibutuhkan pemberian antibiotik yang tepat sesuai dengan jenis bakteri agar fase penyembuhan dapat berlangsung tanpa mengakibatkan komplikasi (Pommerville, 2011).

11. Pencegahan Tonsilofaringitis Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan umumnya didasarkan pada jenis pengendalian berikut ini (WHO, 2007): Reduksi dan Eliminasi Pasien yang terinfeksi merupakan sumber utama patogen di fasilitas pelayanan kesehatan dan penyebaran agen infeksius dari sumbernya harus dikurangi/dihilangkan. Contoh pengurangan dan penghilangan adalah promosi kebersihan pernapasan dan etika batuk (Lampiran C.1.3) dan tindakan pengobatan agar pasien tidak infeksius. Pengendalian administratif Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan harus menjamin sumber daya yang diperlukan untuk pelaksanaan langkah pengendalian infeksi. Ini meliputi pembangunan prasarana dan kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi yang berkelanjutan, kebijakan yang jelas mengenai pengenalan dini ISPA yang dapat menimbulkan kekhawatiran, pelaksanaan langkah pengendalian infeksi yang sesuai (misalnya, Kewaspadaan

Standar

untuk

semua

pasien),

persediaan

yang

teratur

dan

pengorganisasian pelayanan (misalnya, pembuatan sistem klasifikasi dan penempatan pasien). Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan juga harus melakukan perencanaan staf untuk mempromosikan rasio pasien-staf yang memadai, memberikan pelatihan staf, dan mengadakan program kesehatan staf (misalnya, vaksinasi, profilaksis) untuk meningkatkan kesehatan umum petugas kesehatan. Pengendalian lingkungan dan teknis Pengendalian ini mencakup metode untuk mengurangi konsentrasi aerosol pernapasan infeksius (misalnya, droplet nuklei) di udara dan mengurangi keberadaan 31

permukaan dan benda yang terkontaminasi sesuai dengan epidemiologi infeksi. Contoh pengendalian teknis primer untuk aerosol pernapasan infeksius adalah ventilasi lingkungan yang memadai (≥ 12 ACH) dan pemisahan tempat (>1m) antar pasien. Untuk agen infeksius yang menular lewat kontak, pembersihan dan disinfeksi permukaan dan benda yang terkontaminasi merupakan metode pengendalian lingkungan yang penting. Alat Pelindung Diri (APD) Semua strategi di atas mengurangi tapi tidak menghilangkan kemungkinan pajanan terhadap risiko biologis. Karena itu, untuk lebih mengurangi risiko ini bagi petugas kesehatan dan orang lain yang berinteraksi dengan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan, APD harus digunakan bersama dengan strategi di atas dalam situasi tertentu yang menimbulkan risiko penularan patogen yang lebih besar. Penggunaan APD harus didefinisikan dengan kebijakan dan prosedur yang secara khusus ditujukan untuk pencegahan dan pengendalian infeksi (misalnya, kewaspadaan isolasi). Efektivitas APD tergantung pada persediaan yang memadai dan teratur, pelatihan staf yang memadai, membersihkan tangan secara benar, dan yang lebih penting, perilaku manusianya.

32

Gambar 6: Algoritma pencegahan dan Pengendalian Infeksi untuk Pasien yang Diketahui atau Suspek Terinfeksi ISPA. Sumber: WHO, 2007

33

Tabel 3: Tindakan Pengendalian Infeksi Untuk Petugas Kesehatan dan Keluarga yang Merawat yang Memberikan Pelayanan Kepada Pasien ISPA Sesuai dengan Sampel Patogen

Sumber: WHO, 2007

a)

ISPA yang disebabkan oleh bakteri adalah infeksi pernapasan umum yang

disebabkan oleh organisme seperti Streptococcus pneumoniae, Haemophilus inflenzae, Chlamydia spp., dan Mycoplasma pneumoniae.

34

b)

Saat ISPA baru teridentifiasi, cara penularannya biasanya belum diketahui. Lakukan

tingkat pengendalian infeksi tertinggi yang tersedia sampai situasi dan cara penularannya diketahui. c)

Membersihkan tangan sesuai dengan Kewaspadaan Standar (lihat Lampiran C).

d)

Sarung tangan dan gaun pelindung harus dipakai sesuai dengan Kewaspadaan

Standar (lihat Lampiran C). Bila kebutuhan sarung tangan mungkin melebihi persediaan, pemakaian sarung tangan harus selalu diprioritaskan untuk kontak dengan darah dan cairan tubuh (sarung tangan tak steril), dan kontak dengan lokasi steril (sarung tangan steril). e)

Bila ada kemungkinan percikan darah atau cairan tubuh lainnya dan gaun pelindung

tidak kedap air, celemek kedap air harus dipakai sebagai lapisan gaun pelindung. f)

Pelindung wajah (masker bedah dan pelindung mata) harus digunakan sesuai dengan

Kewaspadaan Standar oleh petugas kesehatan bila kegiatan yang dilakukan dapat menimbulkan percikan atau cipratan darah, cairan tubuh, sekret, dan ekskresi ke mukosa mata, hidung, atau mulut; atau bila dengan pasien yang memperlihatkan gejala penyakit pernapasan (misalnya, batuk/bersin) dan cipratan sekresi dapat menjangkau mukosa mata, hidung, atau mulut. g)

Pada saat pedoman ini disusun, belum pernah terjadi penularan fl burung tipe A dari

manusia ke manusia yang efiien dan berkelanjutan, dan bukti yang tersedia tidak menunjukkan penularan dari manusia ke manusia melalui udara. Karena itu, masker bedah sudah cukup untuk tindakan perawatan rutin. h)

Bukti yang ada sekarang menunjukkan bahwa penularan SARS di fasilitas layanan

kesehatan umumnya terjadi melalui droplet dan kontak. Karena itu, masker bedah sudah cukup untuk tindakan perawatan rutin. i)

Sebagian prosedur yang menimbulkan aerosol terbukti berkaitan dengan

peningkatan risiko penularan SARS dan tuberkulosis (Tabel 6). Sampai sekarang, risiko infeksi yang berkaitan dengan prosedur yang menimbulkan aerosol pada pasien ISPA bakteri, ISPA yang disebabkan oleh rhinovirus, parainflenzae, RSV, dan adenovirus belum diketahui. Sebagai tindakan pencegahan minimal, masker bedah yang terpasang rapat harus digunakan. j)

Bila masker bedah tidak tersedia, gunakan cara lain untuk pengendalian sumber

infeksi (misalnya, saputangan, tisu, atau tangan) saat batuk dan bersin. k)

Ini adalah patogen yang umum ditemukan pada anak-anak, yang mungkin tidak

sesuai dengan pelaksanaan rekomendasi ini. l)

Gabungkan (cohorting) pasien dengan diagnosis yang sama. Bila hal ini tidak

memungkinkan, tempatkan tempat tidur pasien secara terpisah minimal dengan jarak 1 m.

35

m) Ruang untuk Kewaspadaan Transmisi Airborne dapat diberi ventilasi alami atau mekanis, dengan tingkat pertukaran udara yang memadai minimal 12 ACH dan arah aliran udara terkontrol. n)

Bila tersedia, ruang untuk Kewaspadaan Transmisi Airborne harus diprioritaskan

untuk pasien infeksi yang dapat menular lewat airborne (misalnya, tuberkulosis paru, cacar air, campak) dan untuk pasien yang terinfeksi organisme baru yang menyebabkan ISPA. Selain itu, kualitas ventilasi merupakan salah satu faktor utama yang menentukan risiko pajanan di ruangan isolasi. Karena itu, perlu dipertimbangkan berbagai metode yang tersedia untuk mencapai ventilasi yang memadai pada ruangan yang digunakan untuk mengisolasi pasien yang mungkin menderita ISPA yang tertular melalui airborne. Pada pedoman ini, istilah “ruang Kewaspadaan Transmisi Airborne” digunakan untuk menyatakan suatu ruangan dengan ≥12 ACH dan arah aliran udara yang diharapkan, yang dapat dicapai dengan ventilasi alami atau mekanis. Ruangan seperti ini dapat digunakan untuk mengisolasi pasien yang terinfeksi patogen yang ditularkan melalui udara (misalnya, tuberkulosis paru, campak, cacar air) dan ISPA yang disebabkan oleh agen baru yang dapat menimbulkan kekhawatiran sebelum cara penularannya diketahui. Ruang Kewaspadaan Transmisi Airborne dapat diberi ventilasi alami atau mekanis. Sebaliknya, bila suatu ruangan berventilasi baik (≥12 ACH) tapi aliran udaranya tidak ditentukan, dalam pedoman ini ruangan tersebut dinamakan “ruang untuk satu pasien yang berventilasi memadai” (WHO, 2007). Tabel 4: Rangkuman Kelebihan dan Kekurangan Beberapa Jenis Sistem Ventilasi

Sumber: WHO, 2007

36

SOAP

37

PETA KONSEP

38

DAFTAR PUSTAKA Adam George L. 1997. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC Adams, George L. Boies : Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta : EGC. 1997 Adams, L. G. Boies, L. R. Higler, P. A. 2013. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta. EGC. Anonymous. Pharyngitis [internet]. 2011 [diunduh tanggal 5 Juli 2011]. Diambil dari http://www.umm.edu/altmed/articles/pharyngitis-000129.htm. Arif, M. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FKUI Behrman, Kliegmen. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran. Bhargava KB, Bhargava SK, Shah TM. 2005. A Short Textbook of ENT for Students and Practitioners. Seventh Edition. Usha : Mumbai. P. 226, 243-244, 249-250, 252. Bisno Alan et al. 2002. Practice Guidelines for the Diagnosis and Management of Group A Streptococcal Pharyngitis. Clin Infect Dis;2002;35:113-125. Bull PD. 2002. Lectures Note on Disease of the Ear, Nose, and Throat. Ninth Edition. Blackwell Science : Sheffield. P. 111-113, 116-117. Davey, Patrick. 2006. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga Dewi, Agustia et al. 2013. Determining of Pharyngitis Caused by Streptococcus Group a in Pediatrics Using Mcisaac Score and Rapid Antigen Detection Test (RADT) as Consideration on Using Antibiotic Wisely. Jurnal Biologi (16) 1: 7. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Ed ke-17. Philadelphia: McGraw-Hill FK UNAIR. 2017. Rinotonsilofaringitis. Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya. Gore and E. Aslan. 2004. Biological control of Fusarium oxysporum f.sp melonis by wettable powder formulations of the two strains of Pseudomonas putida. J. Phytopathology. USA. Graham JM, Scadding GK, Bull PD.. 2007. Pediatric ENT. Springer : New York. P.131-136. Herawati, Sri dan Rukmini, Sri. 2003. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hidung Tenggorokan untuk Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC Kementrian Kesehatan RI. 2014. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer edisi revisi.Jakarta Lipsky MS, King MS. 2010. Blueprints Family Medicine. Philadelphia: Lippincott. Meadow, Roy., Newell, J. Simon. 2002. Lecture Notes: Pedriatica 7th Edition. Jakarta: Erlangga Nagel, Patrick & Robert Gurkov. 2012. Dasar-dasar Ilmu THT edisi kedua. Jakarta: EGC Nasution, Minasari. 2008. Infeksi Laring Faring (Faringitis Akut). Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Medan. Ngastiyah, Setiawan. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC

39

Pfoh E, Wessels MR, Goldmann D,Lee GM. 2008. Burden and economic cost of group A streptococcal pharyngitis. Pediatrics 121:22934. Pommerville JC. Alcamo’s. 2011. Fundamentals of Microbiology. Ed ke-9. Sudbury: Jones & Bartlett Publisher. h.304-305. Price, S.A & Wilson, L.M, 2005, patofisiologi : Clinical Concepts of Desiase Process, Edisi 6, Vol 2, Alih bahasa, Braham U.Pendit, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta Probst R, Grevers G, Iro H. 2006. Basic Otorhinolaringology. Thieme : Stuttgart. P. 113-115. Reeves CJ, Roux G and Lockhart R, 2001, Keperawatan Medikal Bedah, Buku I, (Penerjemah Joko Setyono), Jakarta : Salemba Medika Shulman, S.T., Bisno, A.L., Clegg H.W., Gerber M. A., Kaplan, E.L., Lee,G., Martin, J.M., and Beneden, C.V. 2015. Clinical Practice Guideline for the Diagnosis and Management of Group A Streptococcal Pharyngitis: 2012 Update by the Infectious Diseases Society of America. Clinical Infectious Diseases Advance. Snow JB. 2002. Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Decker : London. P. 69-370. Soepardi, E. A., dkk. 2010.Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Suardi, Adi Utomo, dkk. 2010. Buku Ajar: Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta: Badan penerbit IDAI. Syaifuddin, 2006, Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi 3, Editor Monica Ester, Jakarta : EGC Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S. and Pradipta, E.A., 2014. Kapita selekta kedokteran. Edisi IV. Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius, pp.1070 Taubert KA, Rowley AH, Shulman ST.1994. Seven-year national survey of Kawasaki disease and acute rheumatic fever. Pediatr Infect Dis J. Tortora, G. J., & Derrickson, B. 2009. Principles of Anatomy & Physiology. USA: John Wiley & Sons. Inc. World Health Organization. 2007. WHO Interim Guideline: Infection prevention and control of epidemic-and pandemic-prone acute respiratory diseases in healthcare. Jenewa. World Health Organization.

40

Related Documents


More Documents from ""