TEKNOLOGI DAN FORMULASI SEDIAAN SEMISOLID SALEP SALISILAT DAN SULFUR
1. DASAR TEORI Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obatnya larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok.Salep tidak boleh berbau tengik.Menurut pemikiran modern salep adalah sediaan semipadat untuk pemakaian pada kulit dengan atau tanpa penggosokan.Oleh karena itu salep dapat terdiri dari substansi berminyak atau terdiri dari emulsi lemak atau lilin yang mengandung air dalam proporsi relatif tinggi (Anief, 1999). Salep adalah sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir. Dasar salep yang digunakan sebagai pembawa dibagi dalam 4 kelompok: dasar salep senyawa hidrokarbon, dasar salep serap, dasar salep yang dapat dicuci dengan air, dasar salep larut dalam air. Setiap salep obat menggunakan salah satu dasar salep tersebut (Depkes RI, 2014). Dasar salep hidrokarbon Dasar salep ini dikenal sebagai dasar salep berlemak antara lain vaselin putih dan salep putih. Hanya sejumlah kecil komponen berair dapat dicampurkan ke dalamnya.Salep ini dimaksudkan untuk memperpanjang kontak bahan obat dengan kulit dan bertindak sebagai pembalut penutup.Dasar salep hidrokarbon digunakan terutama sebagai emolien, dan sukar dicuci.Tidak mongering dan tidak tampak berubah dalam waktu lama (Depkes RI, 2014). Dasar salep serap Dasar salep serap ini dapat dibagi dalam 2 kelompok.Kelompok pertama terdiri atas dasar salep yang dapat bercampur dengan air membentuk emulsi air dalam minyak (Parafin hidrofilik dan Lanolin anhidrat), dan kelompok kedua terdiri atas emulsi air dalam minyak yang dapat bercampur dengan sejumlah larutan air tambahan (Lanolin). Dasar salep serap juga bermanfaat sebagai emolien (Depkes RI, 2014). Dasar salep yang dapat dicuci dengan air Dasar salep ini adalah emulsi minyak dalam air antara lainSalep hidrofilik dan lebih tepat disebut “Salep”. Dasar ini dinyatakan juga sebagai “dapat dicuci dengan air” karena mudah dicuci
dari kulit atau dilap basah, sehingga lebih dapat diterima untuk dasar kosmetik.Beberapa bahan obat dapat menjadi lebih efektif menggunakan dasar salep ini daripada Dasar salep hidrokarbon.Keuntungan lain dari dasar salep ini adalah dapat diencerkan dengan air dan mudah menyerap cairan yang terjadi pada kelainan dermatologic (Depkes RI, 2014). Dasar salep larut dalam airKelompok ini disebut juga “dasar salep tak berlemak” dan terdiri dari konstituen larut air. Dasar salep jenis ini memberikan banyak keuntungan seperti dasar salep yang dapat dicuci dengan air dan tidak mengandung bahan tak larut dalam air seperti parafin, lanolin anhidrat atau malam. Dasar salep ini lebih tepat disebut “gel” (Depkes RI, 2014). Pemilihan dasar salep tergantung pada beberapa faktor seperti khasiat yang diinginkan, sifat bahan obat yang dicampurkan, ketersediaan hayati, stabilitas dan ketahanan sediaan jadi.Dalam beberapa hal perlu menggunakan dasar salep yang kurang ideal untuk mendapatkan stabilitas yang diinginkan. Misalnya obatobat yang cepat terhidrolisis, lebih stabil dalam Dasar salep hidrokarbon daripada dasar salep yang mengandung air, meskipun obat tersebut bekerja lebih efektif dalam dasar salep yang mengandung air (Depkes RI, 2014). Peraturan pembuatan salep menurut F. Van Duin: 1) Peraturan salep pertama “zat-zat yang dapat larut dalam campuran lemak, dilarutkan ke dalamnya, jika perlu dengan pemanasan”. 2) Peraturan salep kedua “bahan-bahan yang larut dalam air, jika tidak ada peraturan lain, dilarutkan lebih dahulu dalam air, asalkan jumlah air yang dipergunakan dapat diserap seluruhnya oleh basis salep dan jumlah air yang dipakai, dikurangi dari basis salepnya” 3) Peraturan salep ketiga “bahan-bahan yang sukar atau hanya sebagaian dapat larut dalam lemak dan air harus diserbukkan lebih dahulu, kemudian diayak dengan pengayak No.60” 4) Peraturan keempat
“salep-salep yang dibuat dengan jalan mencairkan, campurannya harus digerus sampai dingin” bahan-bahan yang ikut dilebur, penimbangannya harus dilebihkan 10-20% untuk mencegah kekurangan bobotnya (Syamsuni, 2006). Sediaan salep harus memiliki beberapa persyaratan antara lain (Syamsuni, 2006) : 1) Tidak boleh berbau tengik 2) Kecuali dinyatakan lain dan untuk salep yang mengandung obat keras atau narkotik, kadar bahan obat adalah 10%. 3) Kecuali dinyatakan lain, sebagai bahan dasar salep (basis salep) digunakan vaselin putih (vaselin album). Tergantung dari sifat bahan obat dan tujuan pemakaian salep, dapat dipilih beberapa bahan dasar salep sebagai berikut : a.
Ds. Senyawa hidrokarbon : vaselin putih, vaselin kuning (vaselin flavum), malam putih (cera album), malam kuning (cera flavum), atau campurannya.
b. Ds. Serap : lemak bulu domba (adeps lanae), campuran 3 bagian kolesterol, 3 bagian stearil-alkohol, 8 bagian mala putih dan 86 bagian vaselin putih, campuran 30 bagian malam kuning dan 70 bagian minyak wijen. c.
Ds. Yang dapat dicuci dengan air atau Ds. Emulsi, misalnya emulsi minyak dalam air (M/A).
d. Ds. Yang dapat larut dalam air, misalnya PEG atau campurannya. 4) Jika dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang cocok, harus menunjukkan susunan yang homogen. 5) Pada etiket harus tertera “obat luar”
Penggolongan salep (Anief, 2005) : 1) Menurut konsistensinya salep dapat dibagi : a. Unguenta b. Cream (salep) c. Pasta d. Cerata
e. Gelones/spumae/jelly 2) Menurut farmakologi dan penetrasinya, salep dapat dibagi menjadi : a. Salep epidermis (epidermic ointment ; salep penutup) guna melindungi kulit dan menghasilkan efek lokal, tidak diabsorpsi, kadang-kadang ditambahkan antiseptik, astringensia untuk meredakan rangsangan atau anestesi lokal. Ds yang baik adalah ds. senyawa hidrokarbon. b. Salep endodermis : salep bahan obatnya menembus kedalam kulit, tetapi tidak melalui kulit, terabsorpsi sebagaian, digunakan untuk melunakkan kulit atau selaput lendir. Ds yang terbaik adalah minyak lemak. c. Salep diadermis : salep yang bahan obatnya menembus kedalam tubuh melalui kulit dan mencapai efek yang diinginkan, misalnya salep yang mengandung senyawa merkuri iodida. 3) Menurut dasar salepnya, salep dapat dibagi : a. Salep hidrofobik yaitu salep yang tidak suka air atau salep dengan dasar salep berlemak (greasy bases) tidak dapat dicuci dengan air, misalnya : campuran lemak-lemak minyak lemak, malam b. Salep hidrofilik yaitu salep yang suka air atau kuat menarik air, biasanya ds. tipe M/A 4) Menurut Formularium Nasional a. Dasar salep 1 (ds. senyawa hidrokarbon) b. Dasar salep 2 (ds. serap) c. Dasar salep 3 (ds. yang dapat dicuci dengan air atau ds. emulsi M/A) d. Dasar salep 4 (ds. yang dapat larut dalam air)
Kualitas dasar salep yang baik adalah (Syamsuni, 2006) : 1) Stabil, tidak terpengaruh oleh suhu dan kelembapan dan selama dipakai harus bebas dari inkompatibilitas. 2) Lunak, harus halus, dan homogen 3) Mudah dipakai 4) Dasar salep yang cocok 5) Dapat terdistribusi secara merata.
Baik dalam ukuran besar maupun kecil, salep dibuat dengan dua metode umum, yaitu (Ansel, 1989) : 1) Pencampuran Dalam metode pencampuran, komponen dari salep dicampur bersamasama dengan segala cara sampai sediaan yang rata tercapai. 2) Peleburan Dengan metode peleburan, semua atau beberapa komponen dari salep dicampurkan dengan melebur bersama dan didinginkan dengan pengadukan yang konstan sampai mengental.Komponen-komponen yang tidak dicairkan biasanya ditambahkan pada campuran yang sedang mengental setelah didinginkan dan diaduk.
Fungsi salep adalah (Anief, 2005) : 1) Sebagai bahan pembawa substansi obat untuk pengobatan kulit 2) Sebagai bahan pelumas pada kulit 3) Sebagai pelindung untuk kulit yaitu mencegah kontak permukaan kulit dengan larutan berair dan rangsang kulit.
2. TINJAUAN BAHAN AKTIF 2.1 Asam Salisilat a) Karakteristik Fisika Kimia Rumus molekul : C7H6O3 Nama IUPAC
: 2-Hydroxybenzoic acid
Titik lebur
: 158,6°C
Berat molekul
: 138,121 g/mol
Kepadatan
: 1,44 g/cm³
Titik didih
: 211°C
PKa
: 2,97
Pemerian
: Hablur ringan tidak berwarna atau serbuk berwarna putih; hampir tidak berbau; rasa agak manis dan tajam (FI III, 1979).
Kelarutan
: Larut dalam 550 bagian air dan dalam 4 bagian etanol (95%) P; mudah larut dalam kloroform P dan dalam eter P; larut dalam larutan amonium asetat P, dinatrium hidrofenfosfat P, kalium sitrat P dan natrium sitrat P (FI III, 1979)
b) Bentuk Kimia
(FI III, 1979) c) Efek Farmakologi Asam salisilat merupakan kelompok senyawa obat yang telah dipergunakan secara luas karena memiliki efek sebagai analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Turunan asam salisilat yang paling umum digunakan adalah asam asetil salisilat (asetosal). Asetosal sering digunakan untuk mengurangi sakit kepala, inflamasi, nyeri sendi, juga beberapa pengobatan serangan jantung dan stroke pada orang tua (Fadeyi et al., 2004). Asam salisilat dan turunannya termasuk dalam golongan obat antiinflamasi non steroid (Non Steroidal Anti-inflammatory Drugs = NSAIDs). Obat-obatan NSAIDs bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase (COX) sehingga menyebabkan konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin terganggu. Selain COX, 5lipoksigenase (5-LO) merupakan salah satu enzim penting yang terlibat dalam proses metabolisme asam arakidonat. Derivat hidrazon memiliki karakter farmakoforik untuk menghambat COX dan tipe hidrazon merupakan dual inhibitor terhadap enzim COX dan 5-LO. Oleh karena itu senyawa ini dipelajari sebagai agen analgesik dan antiinflamasi yang lebih poten dibandingkan NSAIDs (Wilmana & Gan, 2007).
Mekanisme kerja asam salisilat mempunyai aktifitas antiseptik dan germisida sehubungan dengan adanya gugus fenol. Daya ini diperkuat lagi oleh adanya gugus karboksilnya. Interaksi pemberian bersama sediaan akne topikal lainnya atau sediaan mengandung keratolitik lain (misalnya
benzoilperoksid,
resorsinol,
atau
tretinoin)
dapat
menyebabkan iritasi kulit yang berlebihan. Pada pemberian bersama senyawa merkuri topikal, sulfur dapat melepaskan H2S yang berbau busuk, dapat mengiritasi dan memberi warna hitam pada kulit (Aisiyah, 2000).
d) Data Klinis Efek Klinis meliputi Keracunan akut dan keracunan kronik. Keracunan akut meliputi terhirup iritasi disertai batuk, bersin dan sesak napas. Paparan berat dapat menyebabkan keracunan sistemik; gejala meliputi sakit kepala, pusing, nadi cepat, dan tinnitus. Kontak dengan kulit Telah dilaporkan terjadinya keracunan parah akibat penggunaan salep asam salisilat untuk mengatasi masalah dermatologi dan untuk perawatan kulit luka bakar.
e) Toksisitas Secara umum penggunaan terapi topikal relatif lebih aman dan memiliki efek samping minimal bila dibandingkan dengan rute pemberian sistemik, namun terapi topikal memiliki potensi toksisitas sistemik, efek teratogenik, dan interaksi obat akibat absorpsi sistemik yang harus diwaspadai. Penggunaan asam salisilat pada area yang luas dapat mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah yang signifikan. Asam salisilat diabsorpsi secara cepat karena sifatnya yang cenderung lipofilik, terutama bila diberikan dalam vehikulum minyak/salap dengan atau tanpa oklusi. Bioavailibilitas absopsi asam salisilat melalui kulit bervariasi antara 11,8%- 30,7%. Asam salisilat yang diberikan secara topikal tidak melalui metabolisme awal di hati, sehingga tidak mengalami penurunan signifikan jumlah zat aktif sebelum bekerja. Hal
inilah yang menyebabkan asam salisilat relatif aman bila diberikan secara oral, namun dapat memberikan mani-festasi gejala kelainan saraf pusat akibat toksisitas pada pemberian secara topikal dalam dosis yang sama. Batas maksimal pemberian asam salisilat adalah 2g/24 jam (Sulistyaningrum, 2012).
2.2 Sulfur a)
Karakterisktik fisika kimia Simbol
: 16S
Titik lebur
: 115,2°C
Massa atom
: 32,065 ± 0,005
Titik didih
: 444,6°C
Pemerian
: Tidak berbau; tidak berasa
Kelarutan
: Praktis tidak larut dalam air; sangat mudah karut
dalam karbondisulfida P; sukar larut dalam minyak zaitun P, sangat sukar larut dalam etanol (95%) P (FI III, 1979).
b) Efek farmakologi Sulfur diindikasikan untuk pengobatan topical acne vulgaris (mengatasi masalah jerawat), ance rosarea, dermatitis seborrheic. Sulfur memiliki khasiat bakterisid dan fungisid lemah berdasarkan dioksidasinya menjadi asam pentathionat (H2S5O6) oleh kuman tertentu dikulit. Zat ini juga bersifat keratolitis( melarutkan kulit tanduk), sehingga banyak digunakan bersama asam salisilat dalam salep dan lotion (2-10%) untuk pengobatan jerawat dan kudis. Sulfur precipitatum adalah yang paling aktif, karena serbuknya yang terhalus. Dahulu zat ini digunakan sebagai laksans lemah berkat perombakan dalam usus menjadi sulfide (natrium/kalium) yang merangsang peristaltic usus (Tjay dan Rahardja, 2008). Selain itu, sulfur juga biasa digunakan untuk terapi acne, dandruff atau ketombe, scabies, seborroic condition atau kelebihan minyak pada kulit kepala, dan infeksi jamur permukaan. Scabies merupakan infeksi
parasit pada kulit yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei (kompedia). Gejala utamanya adalah pruritus, dimana disebabkan karena reaksi alergi pada parasit. Sulfur juga digunakan sebagai mild irritant laxative dan obat homoeopathic medicine (Sweetman,2002).
c)
Toksisitas Pemakaian sulfur secara topikal dapat mengakibatkan iritasi dan dilaporkan pula adanya dermatitis setelah pemakaian berulang-ulang. Kontak dengan mata, mulut, dan membran mukosa lain sebaiknya dihindari. Kontak dengan sulfur dapat merubah warna logam tertentu seperti misalnya perak, dan pemakaian sulfur dengan komponen merkurial secara topikal dapat menghasilkan turunan hidrogen sulfida yang berbau busuk dan dapat dapat menimbulkan noda hitam pada kulit (Sweetman, 2002).
3. BENTUK SEDIAAN TERPILIH Asam salisilat diabsorpsi baik oleh kulit dan banyak digunakan dalam obat gosok salep (Tjay Tan, Hoan, 2007). Sediaan ditujukan untuk pengggunaan topikal pada kulit, maka dibuat sediaan berupa salep. Zat aktif asam salisilat bersifat keratolitik dan dapat dikombinasikan dengan sulfur untuk penyakit iritasi kulit. Agar mencapai efek terapinya sehingga dibuat sediaan salep.
4. PERHITUNGAN DAN PERENCANAAN DOSIS 4.1 Per takaran terkecil Kondisi
Kandungan
Dosis
1,8-3%
Gunakan 1-4 kali setiap hari
Jerawat
0,5-2%
Gunakan 1-3 kali setiap hari.
Kutil, kapalan
12-40%
Hiperkeratosis dan kulit bersisik
Gunakan pada kutil atau kepalan selama 48 jam.
5-17% dengan
Gunakan secukupnya hingga
campuran
mengering, Ulangi 1- 2 kali hingga
collodion
kutil atau kapalan bisa terlepas.
4.2 Per kemasan terkecil Sediaan salep asam salysilat dibuat sebanyak 5 gram tiap pot dengan berisi asam salysilate sebanyak 2% dan sulfur sebanyak 4% dari keseluruhan bahan. Dipilih kemasan 5 gram karena kemasan tersebut paling efisien. Jika menggunakan kemasan yang besar dapat menghasilkan sisa yang banyak, dan bila obat disimpang terlalu lama akan menyebabkan obat rusak dan tidak stabil.
5. SPESIFIKASI PRODUK 5.1 Persyaratan Umum Sediaan Syarat umum sediaan salep antara lain : 1)
Pemerian tidak boleh berbau tengik.
2)
Mudah menyebar rata.
3)
Praktis, mudah dibersihkan atau dicuci.
4)
Cara kerja berlangsung pada jaringan setempat.
5)
Stabil, selama masih dipakai mengobati maka salep harus bebas dari inkontapibilitas, stabil pada suhu kamar dan kelmbapan yang ada di kamar.
6)
Lunak, yaitu semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi lunak dan homogen.
7)
Terdistribusi merata dengan ukuran partikel 1-100 µM
8)
Bewarna kuning, tidak berbau dan berbentuk setengah padat.
9)
Memiliki pH sediaan 4,5-6,5
10) Mudah diratakan, lembut dan mudah dibersihkan. 11) Viskositas yang baik 12) Penandaan,pada etiket harus tertera “obat luar”
5.2 Rancangan Spesifikasi Produk 1) Bentuk sediaan
: Salep
2) Kadar bahan aktif
: Asam salisilat 2% Sulfur 4%
3) Warna
: Putih kekuningan
4) Rasa
: Menimbulkan sensasi dingin
5) Bau
: Tidak tengik khas asam salisilat
6) pH
: 4,5 – 6,5
6. RANCANGAN FORMULA 6.1 Skema/Bagan Alur Fikir
Salep asam salisilat belerang Berasa kaku ketika diaplikasikan
Agar mudah berpenetrasi dengan baik pada kulit
Mudah teroksidasi
a. Ditambahkan basis (parafin cair)
Ditambahkan basis (vaselin)
Ditambahkan Antioksidan (BHT)
6.2 Komponen Penyusun No
Nama Komponen
Kegunaan
1.
Asam salisilat
Zat aktif
2.
Sulfur
Zat aktif
3.
BHT
Antioksidan
4.
Vaseline
Basis
5.
Paraffin cair
Basis
6.3 Pemilihan Bahan Komponen Penyusun Formula
No
Nama Bahan
Kegunaan
Alasan
1.
Asam salisilat
Zat aktif
Dapat menimbulkan efek keratolitik
2.
Sulfur
Zat aktif
Dapat menimbulkan efek antiskabies
3.
BHT
Antioksidan
a) Kompatibel dengan semua bahan b) Parafin cair mudah teroksidasi sehingga dibutuhkan antioksidan
4.
Vaseline
Basis
a) Kompatibel dengan seluruh bahan b) Agar sediaan mudah berpenetrasi dengan baik pada kulit
5.
Paraffin cair
Basis
a) Digunakan untuk menghaluskan basis salep b) Stabil
pada
perubahan
suhu,
kompatibel terhadap banyak zat aktif, mudah digunakan, mudah disebar, melekat pada kulit, tidak terasa
berminyak
dan
mudah
dibersihkan.
6.4 Formula Lengkap dengan Kadar Pilihan
No
Nama Bahan
Kegunaan
Kadar
1.
Asam salisilat
Zat aktif / Keratolitik (1 - 2%)
2%
2.
Sulfur
Zat aktif /Antiskabies (4 - 20%)
4%
3.
BHT
Antioksidan (0,0075 – 0,1%)
0,01 %
4.
Vaseline
Basis
85 %
5.
Paraffin cair
Basis
9%
7. PERHITUNGAN DAN CARA PEMBUATAN 7.1 Skala Kecil (1 tube = 5 g) No
Nama Bahan
Penggunaan
+ 10 %
1.
Asam salisilat
2 % x 5 g = 0,1 g
0,11 g
2.
Sulfur
4 % x 5 g = 0,2 g
0,22 g
3.
BHT
0,01 % x 5 g = 0,0005 g
0,00055 g
4.
Vaseline
5.
Paraffin cair
9
{100% - (2% + 4%)} x 5 g = 4,7 g
10
x 4,7 g = 4,23 g
4,65 g
x 4,7 g = 0,47 g
0,51 g
1 10
7.2 Skala Besar (4 tube = 20 g) No
Nama Bahan
Penggunaan
Total
1.
Asam salisilat
0,11 g x 4
0,44 g
2.
Sulfur
0,22 g x 4
0,88 g
3.
BHT
0,00055 g x 4
0,0022 g
4.
Vaseline
4,65 g x 4
18,6 g
5.
Paraffin cair
0,51 g x 4
2,04 g
8. CARA EVALUASI 8.1 Uji Organoleptis (Lachman, 1994) Macam evaluasi
Memeriksa kesesuaian bau, warna, bentuk, dan konsistensi sedapat mungkin mendekati dengan spesifikasi sediaan yang telah ditentukan selama formulasi.
Nama alat
Menggunakan panca indera
Metode
Pemeriksaan bau, warna, bentuk, dan konsistensi menggunakan panca indera. a) Bau : mengenali aroma atau bau sediaan sirup dengan mencium aroma sediaan b) Warna : melihat warna dari sediaan c) Bentuk : mengenali bentuk dari sediaan d) Konsistensi : dirasakan konsistensi dari salep
Pengolahan data
Didapatkan hasil bentuk, warna, dan bau yang dievaluasi pada sediaan yang di buat.
8.2 Uji Homogentis (Lachman, 1994) Macam evaluasi
Untuk mengetahui secara visual distribusi partikel/granul dari suatu salep. Sebagian sampel diamati pada gelas objek secara visual.
Nama alat
Kaca arloji
Metode
Metodenya sampel diambil pada bagian atas, tengah atau bawah. Sampel diletakkan pada gelas objek dan diratakan dengan gelas objek lain hingga lapisan tipis terbentuk. Setelah itu susunan partikel yang terbentuk diamati visual
Pengolahan data
Jika terdapat perbedaan sifat pada basis dan zat aktif akan terjadi proses penggumpalan sehingga mengakibatkan bentuk sediaan yang memiliki partikel lebih besar dari sediaan. Salep yang homogen ditandai dengan tidak terdapatnya gumpalan pada hasil pengolesan sampai titik akhir pengolesan. Salep yang diuji diambil dari tiga tempat yaitu bagian atas, tengah dan bawah dari wadah salep.
8.3 Uji pH (Lachman, 1994) Macam evaluasi
Untuk dapat menentukan pH dari sediaan
Nama alat
pH meter
Metode
Pengukuran nilai pH menggunakan alat bantu stik pH atau dengan menggunakan kertas kertas pH universal yang dicelupkan ke dalam 0,5 gram salep yang telah diencerkan dengan 5 ml aquadest.
Pengolahan data
Kulit normal berkisar antara pH 4,5 - 6,5. Nilai pH yang melampaui 7 dikhawatirkan dapat menyebabkan iritasi kulit. Nilai pH salep yang baik adalah 4,5 - 6,5 atau sesuai dengan nilai pH kulit manusia.
8.4 Uji Daya Sebar (Ansel, 1989) Macam evaluasi
Dilakukan untuk melihat kemampuan sediaan menyebar pada kulit, dimana suatu basis salep sebaiknya memiliki daya sebar yang baik untuk menjamin pemberian obat yang memuaskan.
Nama alat
Lempeng kaca dan anak timbangan gram
Metode
Salep ditimbang ± 0,5 gram, diletakkan pada kaca bundar bagian rengah diatas diberi anak timbangan sebagai beban dan dibiarkan 1menit. Diameter salep yang menyebar (dengan mengambil panjang rata-rata diameter dari beberapa sisi), diukur. 50 gram, 100 gram, 200 gram, 300gram, 400 gram dan 500 gram digunakan sebagai beban, pada setiap penambahan beban didiamkan selama 1 menit dan diukur diameter salep yang menyebar.
Pengolahan data
Sediaan salep yang nyaman digunakan memiliki daya sebar 5-7 cm
DAFTAR PUSTAKA
Aisiyah, Siti., dkk. 2000. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pembuatan Balsam Metil Salisilat Untuk Mengatasi Rasa Nyeri Sendi Dan Otot Di Lingkungan Mojosongo Surakarta. Journal of Dedicators Community. Vol 1 (1). Anief, M. 1999. Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ansel. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: Universitas Indonesia. Departemen Kesehatan. 1979. Farmakope Indonesia (Edisi III). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Farmakope Indonesia, edisi V, Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Fadeyi et al., 2004. Hong Kong Journal of Emergency Medicine: A volunteer study on the blood salicylate level of excessive use of topical methylsalicylate. Hongkong: HJEM Publishing Lachman L., Lieberman H.A., Kanig J.L.. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri diterjemahkan oleh Suyatni S., Edisi II. Jakarta: UI Press. Sulistyaningrum, Sri Katon., dkk. 2012. Penggunaan Asam Salisilat dalam Dermatologi. J Indon Med Assoc. Vol 62 (7). Sweetman, S.C. 2002. Martindale 36 The Complete Drug Reference. London: Pharmaceutical Press. Syamsuni. 2006. Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Tjay dan Rahardja, 2008. Obat – Obat Penting Edisi VI. Jakarta : Elex Media Kompetindo Klompok Kompas Gramedia. Wilmana & Gan, 2007. Ramuan Tradisional untuk Penyakit Kulit. Jakarta: Swadaya.