Laporan Pratikum Fisiologi Pendengaran dan Keseimbangan Badan Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
KELOMPOK
NAMA
NIM
Ketua
Anri Ricardo Panggabean
102017067
Anggota
Richard Harris
102017193
Anggota
Melkisedek William H.K.P
102016015
Anggota
Rahmahani Aisya Parmana
102017212
Anggota
Putri Denova Siceria
102017213
Anggota
Anggi Osvianty Ricard
102017234
Anggota
Gabriella Nibenama Larosa
102017235
Anggota
Gytha Ninda Indriani
102017185
Anggota
Aurora Oktabella Andini
102017196
TTD
A4
1. Cara Rinne Tujuan : Untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulang pada telinga yang diperiksa. Alat dan bahan: 1. Garpu tala (512 Hz) Cara Kerja: 1.
Getarkanlah penala (frekuensi 512 Hz) dengan cara memukulkan salah satu ujung jarinya ke telapak tangan. Jangan sekali-sekali memukulnya pada benda yang keras.
2.
Tekanlah ujung tangkai penala pada processus mastoideus salah satu telinga orang percobaan.
3.
Tanyakanlah kepada orang percobaan apakah ia mendengar bunyi penala mendengung di telinga yang diperiksa, bila demikian orang percobaan harus segera memberi tanda bila dengungan bunyi itu menghilang.
1
4.
Pada saat itu pemeriksa mengangkat penala dari prosessus Mastoideus orang percobaan dan kemudian ujung jari penala ditempatkan sedekat-dekatnya ke liang telinga yang sedang diperiksa itu.
5.
Catatlah hasil pemeriksaan Rinne sebagai berikut :
Positif
: Bila orang percobaan masih mendengar dengungan hantaran
aerotimpanal.
Negatif :
Bila orang percobaan tidak lagi mendengar dengungan secara
hantaran aerotimpanal.
Hasil percobaan Pada percobaan ditemukan hasil Positif. Hal ini menunjukkan OP memiliki telinga normal, karena penghantaran melalui udara lebih besar daripada penghantaran melalui tulang. Pada gangguan pendengaran konduktif, stimulus lewat hantaran tulang akan terdengar lebih keras daripada lewat hantaran udara. Pada gangguan pendengaran sensorineural, baik persepsi lewat hantaran udara maupun tulang akan berkurang, tetapi keduanya akan berkurang jika dibandingkan dengan telinga normal. Cara Webber 1. Getarkanlah penala (frekuensi 256 atau yang lain) dengan cara seperti no. A.1 2. Tekankanlah ujung tangkai penala pada dahi pasien simulasi di garis median 3. Tanyakan kepada pasien simulasi apakah ia mendengar dengungan bunyi penala sama kuat dikedua telinganya atau kah terjadi lateralisasi. 4. Apa yang dimaksud dengan lateralisasi ? 5. Bila pada pasien simulasi tidak terdapat lateralisasi, maka untuk menimbulkan lateralisasi, maka untuk menimbulkan lateralisasi secara buatan, tutuplah salah satu telinganya dengan kapas, dan ulangi penjlaiannya. HASIL Sebelum lateralisasi buatan, pasien simulasi mendengar dengungan bunyi penala sama kuat di kedua telinganya. Setelah dibuat lateralisasi buatanya itu dengan cara menutup telinga kanan pasien simulasi dengan menggunakan kapas, dengungan terdengar lebih kuat di sebelah
2
Pembahasan Untuk memeriksa pendengaran diperlakukan pemeriksaan hantaran melalui udara dan melalui tulang dengan menggunakan garpu tala untuk pemeriksaan kualitatif dan menggunakan audiometer untuk pemeriksaan kuantitatif. Secara fisiologik, telinga dapat mendengar nada antara 20-18.000 Hz. Untuk pendengaran sehari-hari yang paling efektif antara 500-2.000 Hz. Oleh karena itu untuk memeriksa pendengaran dipakai garpu tala/penala yang bervariasi frekuensinya pada kisaran frekuensi tertentu, biasanya yang digunakan adalah garpu tala 512 Hz, 1024 Hz, dan 2048 Hz. Penggunaan tiga garpu tala ini penting untuk pemeriksaan secara kualitatif. Bila salah satu frekuensi ini terganggu, penderita akan sadar adanya gangguan pendengaran. Bila tidak mungkin menggunakan ketiga garpu tala diatas, maka diambil 512 Hz karena pengaruh garpu tala ini tidak terlalu dipengaruhi suara bising di sekitarnya. Penghantaran udara merupakan hantaran melalui semua bagian telinga, dari kanalis auditorius eksternus, membrana timpani, tulang-tulang pendengaran lalu ke fenestra ovalis. Penghantaran tulang adalah melalui tulang langsung ke telinga bagian dalam. Tes Rinne adalah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulang pada telinga yang diperiksa. Caranya yaitu garpu tala digetarkan, kemudian ditempelkan pada tulang mastoid sampai pendengar tidak mendengar lagi, lalu dipindahkan ke depan liang telinga. Disini akan terdengar lagi oleh karena hantaran udara lebih baik daripada melalui tulang. Ini disebut Rinne positif. Bila ada gangguan aliran udara disebut Rinne negatif. Rinne positif terdapat pada orang normal dan pada penderita gangguan saraf (neurosensoris). Rinne negatif terdapat pada gangguan aliran udara (tuli konduktif), misalnya di daerah membran timpani, serumen pada liang telinga, kerusakan tulang pendengaran, dan sebagainya. Kehilangan pendengaran dapat berasal perifer atau sentral. Kehilangan pendengaran perifer biasanya disebabkan oleh disfungsi dalam penghantaran suara melalui telinga luar atau tengah atau oleh transduksi energi suara menjadi aktivitas saraf pada telinga dalam dan saraf ke-8. Kehilangan suara ini dapat konduktif, sensorineural, maupun campuran. Kehilangan pendengaran konduktif terjadi bila penghantaran suara melalui telinga luar dan tengah, atau keduanya secara fisik terganggu. Keadaan seperti serumen atau benda asing terjepit dalam saluran telinga luar, gangguan atau perlekatan rantai osikula, adalah beberapa contoh yang dapat menyebabkan kehilangan pendengaran konduktif. Cedera pada atau salah 3
perkembangan struktur pada telinga dalam, seperti penghancuran sel rambut karena kebisingan, gangguan pada jendela oval, koklea, atau gangguan saraf ke 8 adalah beberapa keadaan yang menyebabkan kehilangan pendengaran sensorineural. Kombinasi kehilangan pendengaran konduktif dan sensorineural disebut kehilangan pendengaran campuran. Kesimpulan Adanya hambatan pada liang telinga dapat menyebabkan gangguan pada pendengaran. Hantaran bunyi melalui tulang tidak tergantung pada kerasnya suara melainkan terantung pada kontak langsung antara sumber suara dengan tulang cranium, khususnya prosessus mastoideus. Cara Schwabach Tujuan: membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya dianggap normal. Alat dan bahan: Garpu tala (512 Hz) Cara Kerja: 1. Menggetarkan penala dan meletakkan tangkainya pada processus mastoideus kiri pasien simulasi. 2. Memastikan pasien simulasi dapat mendengar getaran (dengungan) dari penala dan meminta pasien simulasi memberi tanda apabila getaran (dengungan) sudar tidak terdengar. 3. Setelah diberi tanda oleh pasien simulasi, secepat mungkin memindahkan tangkainya ke processus mastoideus kanan pemeriksa. 4. Mencatat apakah getaran (dengungan) masih dapat didengar atau tidak. 5. Menggetarkan penala dan meletakkan tangkainya pada processus mastoideus kanan pemeriksa. 6. Saat getaran (dengungan) sudah tidak dapat didengar, secepat mungkin memindahkan tangkainya ke processus mastoideus kanan pasien simulasi 7. Menanyakan apakah getaran (dengungan) masih dapat didengar atau tidak, kemudian mencatat hasilnya.
4
8. Mengulangi langkah ke-1 hingga ke-7, namun kali ini melakukan pada processus mastoideus kiri pasien simulasi dan pemeriksa. Hasil percobaan Pada percobaan ditemukan hasil
schwabach normal. Hal ini menunjukan OP
memiliki tlinga normal, karena tidak terjadi gangguan perseptif dan ganguan konduktif. Karena jika hasilnya schwabach memendek artinya OP menderita gangguan perseptif pada telinganya. Sedangkan jika hasilnya schwabach memanjang artinya OP menderita gangguan konduktif pada telinganya. Pembahasan Untuk memeriksa pendengaran diperlakukan pemeriksaan hantaran melalui udara dan melalui tulang dengan menggunakan garpu tala untuk pemeriksaan kualitatif dan menggunakan audiometer untuk pemeriksaan kuantitatif. Secara fisiologik, telinga dapat mendengar nada antara 20-18.000 Hz. Untuk pendengaran sehari-hari yang paling efektif antara 500-2.000 Hz. Oleh karena itu untuk memeriksa pendengaran dipakai garpu tala/penala yang bervariasi frekuensinya pada kisaran frekuensi tertentu, biasanya yang digunakan adalah garpu tala 512 Hz, 1024 Hz, dan 2048 Hz. Penggunaan tiga garpu tala ini penting untuk pemeriksaan secara kualitatif. Bila salah satu frekuensi ini terganggu, penderita akan sadar adanya gangguan pendengaran. Bila tidak mungkin menggunakan ketiga garpu tala diatas, maka diambil 512 Hz karena pengaruh garpu tala ini tidak terlalu dipengaruhi suara bising di sekitarnya.1 Tes Schwabach adalah tes yang membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal..Caranya adalah penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada proseus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi kemudian dipindahkan ke proseus mastoideus telinga pemeriksa yang pendengarannya dianggap normal. Bila masih dapat mendengar, disebut memendek atau tuli saraf, bila pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang denhan cara sebaliknya. Bila pasien masih dapat mendengar, disebut memanjang atau terdapat tuli konduktif. Jika kira-kira sama mendengarnya disebut sama dengan pemeriksa.
5
Kesimpulan Tes Schwabach adalah tes yang membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal. Jika hasilnya schwabach memendek terdapat gangguan perseptif, schwabach memanjang terdapat gangguan konduktif, schwabach normal tidak terdapat gangguan. Hantaran bunyi melalui tulang tidak tergantung pada kerasnya suara melainkan tergantung pada kontak langsung antara sumber suara dengan tulang cranium, khususnya processus mastoideus. Sikap dan Keseimbangan Badan: Pengaruh Kedudukan Kepala dan Mata yang Normal terhadap Keseimbangan Badan a. Cara Kerja 1. Suruhlah pasien simulasi berjalan mengikuti suatu garis lurus di lantai dengan mata terbuka dan kepala serta badan dalam sikap yang biasa. Perhatikan jalannya dan tanyakan apakah ia mengalami kesukaran dalam mebgikuti garis lurus tersebut. 2. Ulangi latihan di atas dengan mata tertutup. 3. Ulangi latihan di atas dengan kepala dimiringkan dengan kuat ke kiri dan kepala dimiringkan dengan kuat ke kanan. b. Hasil Percobaan 1. Ketika mata terbuka, pasien simulasi dapat berjalan lurus mengikuti garis lurus. 2. Saat mata tertutup, pasien simulasi mulai berjalan kearah kiri dan pergerakannya semakin lambat. 3. Pada saat pasien simulasi berjalan dengan mata terbuka dan kepala dimiringkan kearah kiri, pasien simulasi dapat berjalan lurus mengikuti garis lurus. 4. Pada saat pasien simulasi berjalan dengan mata tertutup dan kepala dimiringkan kearah kiri, pasien simulasi tidak dapat berjalan lurus, namun berjalan zigzag dan dominan ke arah kanan. 5. Pada saat pasien simulasi berjalan dengan mata terbuka dan kepala dimiringkan kearah kuat, pasien simulasi dapat berjalan lurus mengikuti garis lurus.
6
6. Pada saat pasien simulasi berjalan dengan mata tertutup dan kepala dimiringkan kearah kanan, pasien simulasi tidak dapat berjalan lurus namun berjalan kearah kanan. c. Pembahasan Sistem informasi sensoris meliputi visual, vestibular, dan somatosensoris. Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris. Keseimbangan akan terus berkembang sesuai umur seseorang. Mata akan membantu agar tetap fokus pada titik utama untuk mempertahankan keseimbangan dan sebagai monitor tubuh selama melakukan gerak statik atau dinamik. Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau proprioseptif serta persepsi-kognitif. Informasi propriosepsi disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus medialis dan talamus. Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian bergantung pada impuls yang datang dari alat indra dalam dan sekitar sendi. Reflex vestibularis berjalan menuju SSP dan bersinap pada neuron inti vestibularis di batang otak. Selanjutnya neuron vestibularis menuju kebagian lain dari otak, sebagian langsung menuju motoneuron yang mensarafi otot-otot ekstraokular dan motoneuron spinalis yang lain menju formatia retikularis batang otak, serebelum dan lainnya. Pada percobaan pengaruh kedudukan kepala dan mata yang normal terhadap keseimbangan badan, tubuh membutuhkan input seperti visual, somatosensorik, dan vestibuler untuk menjaga keseimbangannya, kekurangan salah satu komponen tersebut akan berpengaruh pada keseimbangan tubuh. Hal ini dapat dilihat saat input visual dihilangkan, terjadi gangguan pada keseimbangan. Ketika kepala dimiringkan, akan terjadi perangsangan asimetris pada reseptor proprioseptif (untuk sikap dan posisi tubuh) di otot leher dan alat vestibuler yang menyebabkan tonus yang asimetris pula pada otot-otot ekstrimitas. Dalam keadaan seperti ini, mata yang terbuka berusaha untuk mempertahankan sikap badan yang seimbang sehingga OP bisa berjalan lurus ke depan. Apabila mata ditutup, maka keseimbangan akan terganggu.
d. Kesimpulan Tubuh membutuhkan input seperti visual, somatosensorik, dan vestibuler untuk menjaga keseimbangannya, kekurangan salah satu komponen tersebut akan berpengaruh pada keseimbangan tubuh. 7
Latihan dengan Kursi Barany Nistagmus 1. OP diminta duduk tegak di kursi Barany dengan kedua tangannya memegang erat tangan kursi. 2. Kedua mata OP ditutup dengan saputangan dan kepalanya ditundukkan 30˚ ke depan. 3. Kursi diputar ke kanan 10 kali dalam 20 detik secara teratur dan tanpa sentakan. 4. Pemutaran kursi dihentikan dengan tiba-tiba. 5. OP diminta membuka mata dan melihat jauh ke depan. 6. Memperhatikan adanya nistagmus. Menetapkan arah komponen lambat dan cepat nistagmus tersebut. Mengidentifikasi apa yang dimaksud dengan rotarory nistagmus dan postrotary nystagmus.
. Hasil Pemeriksaan Sikap dan Keseimbangan Badan Menggunakan Kursi Barany :
Posisi kepala
a. Nistagmus
b. Tes Kursi Barani
c. Tes Jatuh
Jenis dan arah
arah penyimpangan
Arah Jatuh
nistagmus -
Ke arah kiri 6x pukulan, 5x kena dengan cepat
30◦ ke depan -
-
1x salah
Ke arah kanan lambat
Kena pada pukulan ke 2-6
120◦ menunduk kan -
-
kepala ke bawah 90◦
memiringkan -
kepala ke belakang
8
jatuh
ke
kanan rasa ke kanan -
kepala ke bahu kanan 60◦ mengadah kan -
Badan
Badan
jatuh
ke
kanan rasa ke kanan -
Badan jatuh ke kiri rasa ke kanan
PEMBAHASAN Nistagmus Nistagmus merupakan suatu refleks yang mempertahankan fiksasi penglihatan pada titik-titik yang tetap, sementara tubuh berputar. Ketika rotasi dimulai, mata akanbergerak secara perlahan ke arah yang berlawanan dengan arah putaran. Kemudian mata dengan cepat kembali ke titik fiksasi yang baru dan kembali bergerak perlahan seperti awal dan demikian seterusnya. Dari mekanisme tersebut dapat ditentukan komponen cepat dan komponen lambat dari proses tersebut. Komponen lambat adalah komponen yang bergerak secara perlahan dan bergerak berlawanan arah dengan arah rotasi
(dalam hal
ini komponen lambatnya ke arah
kanan).Sedangkan komponen cepat adalah gerakan mata dengan cepat ke titik fiksasi yang baru dan arahnya searah dengan arah rotasi (dalam percobaan ini komponen cepatnya ke arah kiri).
Percobaan kursi barany: Alat dan bahan: 2. Kursi Barany Cara kerja : b. Tes penyimpangan penunjukkan: 1. Memposisikan pasien duduk tegak di atas kursi putar Barany dengan tangan memegang erat lengan kursi, mata tertutup, dan kepala ditundukkan 30° ke depan. 2. Memutar kursi putar Barany menurut arah jarum jam sebanyak 10 kali dalam 20 detik secara teratur tanpa sentakan. 3. Setelah 10 kali putaran, menghentikan kursi putar Barany secara tiba-tiba. 4. Mengulurkan tangan kepada pasien simulasi dan meminta pasien simulasi untuk mengangkat lengan kanannya dan menurunkannya kembali dengan cepat untuk menyentuh tangan pemeriksa. 5. Memperhatikan adanya penyimpangan penunjukkan pada pasien simulasi, kemudian mencatat hasilnya. Hasil percobaan
9
b. Tes penyimpangan penunjukkan: Tangan pasien simulasi mengarahkan tangannya ke temannya. Pada percobaan pertama gagal, karena belum berhasil menyentuh tangan temannya. Kemudian pada percobaan ke dua masih gagal dan percobaan ketiga pasien simulasi berhasil menepuk tangan temannya.
Pembahasan Nistagmus adalah gerak bola mata kian kemari yang terdiri dari fase lambat dan fase cepat. Nistagmus juga dapat dijelaskan sebagai suatu gejala yang timbul akibat keseimbangan dalam telinga terganggu sehingga menyebabkan pandangan menjadi berkunang-kunang (pandangan kabur) dan kepala menjadi pusing.Pada percobaa nistagmus ini dikenal adanya rotatorynystagmus dan prostoratory nystagmus. Rotatory nistagmus sendiri adalah gerakan involunter bola mata sesuai gerak rotasi dari axis. Pada nigtamus, gerakan mata cenderung horizontal, tetapi bisa juga dalam keadaan vertikal bila kepala direbahkan selama rotasi. Arah komponen cepat selama rotasi sama dengan arah rotasi, tetapi saat nigtamus pascarotasi yang terjadi akibat pergerakan kupula sewaktu rotasi sehingga menimbulkan gerakan yang berlawanan. Sedangkan postrotatory nistagmus adalah gerakan yang terjadi apabila seseorang sedang berputar dan secara tiba-tiba dihentikan, dimana fase cepat dari nistagmus berlawanan arah dari gerakan rotasi sebelumnya.. Fase lambat merupakam reaksisistem vestibuler terhadap ransangan sedangkan fase cepat merupakan raksi kompensasinya. Nistagmus merupaka suatu parameter yang akurat untuk menentukan aktivitas sistem vestibuler. Nistagmus adalah gejala yang berasal dari satu sumbermeskipun nistagmus dan vertigo tidak selalu timbul bersamaan.dalam keadaan terlatih dengan baikvertigo biasanya tidak diraskan meskipun nistagmus ada.pada kelainan vestibuler perifer gejala vertigo dapat dihilangkan dengan latihan yang baik. Nistagmus terdiri dari nistagmus horisontal, nistagmus vertikal dan nistagmus rotoroar. Tes jatuh 1.
Memposisikan pasien duduk di atas kursi putar Barany dengan tangan memegang erat lengan kursi, mata tertutup, serta kepala dan badan ditundukkan hingga kepala membentuk sudut 120° ke depan.
10
2.
Memutar kursi putar Barany menurut arah jarum jam sebanyak 10 kali dalam 10 detik secara teratur tanpa sentaskan.
3.
Setelah 10 kali putaran, menghentikan kursi putar Barany secara tiba-tiba.
4.
Meminta pasien simulasi untuk membuka mata dan menegakkan badannya.
5.
Memperhatikan ke arah mana pasien simulasi akan jatuh dan menanyakan ke arah mana rasanya ia akan jatuh.
6.
Mengulangi langkah ke-1 hingga ke-5 sebanyak dua kali lagi, namun kali ini memiringkan kepala pasien simulasi masing-masing 90° ke kanan dan 60° ke belakang.
Hasil KETERANGAN KEPALA
PERASAAN JATUH
ARAH JATUH
BUNGKUK KE DEPAN 120O
Kanan
Kanan
KANAN 90O
Kanan
Kanan
BELAKANG 60O
Kanan
Kiri
Pembahasan Pada telinga bagian dalam, terdapat sistem keseimbangan yang terdiri dari 3 kanalis semisirkular. 3 kanalis semisirkularis ini mengandung cairan dan sensor yang berfungsi untuk mendeteksi pergerakan rotasi kepala. Pada setiap ujung kanalis semisirkularis terdapat pelebaran (ampula) yaitu tempat krista ampularis. Krista ampularis terdiri dari sel-sel rambut (reseptor) dan kupula. Pergerakan sel rambut ini diaktifkan oleh gerakan cairan telinga dalam yaitu endolimfe. Apabila kepala diputar, maka cairan endolimfe akan bergerak ke arah yang berlawanan dengan arah putaran. Cairan ini akan mendorong kupula dan melengkungkan selsel rambut. Ketika kecepatan tubuh telah konstan, cairan endolimfe akan memutar dengan kecepatan yang sama seperti kecepatan tubuh dan kupula akan mengayun kembali ke posisi tegak. Bila rotasi berhenti, gerakan cairan endolimfe akan menjadi searah dengan putaran dan kupula akan terayun kearah yang berlawanan dengan arah waktu akselerasi dan kembali ke posisi tengah. Pada tes jatuh, terjadi pergerakan cairan endolimfe secara terus menerus sehingga impuls akan terus dihantar ke otak sehingga tubuh merasa belum seimbang meskipun putaran telah diberhentikan. Hal tersebut mengakibatkan pasien simulasi akan terjatuh dan merasakan sensasi yang berlawanan dengan arah jatuhnya. 11
A. Kesan (sensasi) a.
Cara kerja 1. Gunakan pasien simulasiyang lain Suruhlah pasien simulasiduduk di kursi Barany dan tutuplah kedua matanya dengan sapu tangan 2. Putarlah kursi tersebut ke kanan dengan kecepatan yang berangsur-angsur bertambah dan kemudian kurangilah kecepatan putarannya secara berangsur-angsur pula sampai berhenti. 3. Tanyakan kepada pasien simulasi arah perasaan berputar 1) sewaktu kecepatan putar masih bertambah 2) sewaktu kecepatan menetap 3) sewaktu kecepatan dikurangi 4) segera setelah kursi dihentikan 4. Berikan keterangan tentang mekanisme terjadinya arah perasaan berputar yang dirasakan pasien simulasi.
Hasil a. Kesan (sensasi): Pada saat kursi Barany diputarkan sewaktu kecepatan masih bertambah pasien simulasi merasa tubuhnya diputar ke kanan, dan sewaktu kecepatan putar menetap pasien simulasi merasa tubuhnya diputar ke kanan lalu sewaktu kecepatan putar dikurangi pasien simulasi merasa tubuhnya diputak ke kiri, namun setelah kursi Barany berhenti diputarkan pasien simulasi merasakan sensasi arah putar tubuhnya ke arah kiri. Pembahasan a. Kesan (sensasi): Ketika kecepatan berputar bertambah seharusnya pasien simulasi merasakan rotasi ke kiri karena inersia endolimfe. Lalu pada saat kecepatan tetap, endolimfe akan menyusul dan bergerak bersama dengan rotasi kepala yang menyebabkan seharusnya pasien simulasi merasakan rotasi ke arah kanan. Ketika rotasi kepala melambat dan berhenti, endolimfe akan bergerak searah
dengan
rotasi
kepala.
Akibatnya,
kupula
secara
sementara
membengkok sesuai dengan arah rotasi pada awal rotasi, yang menyebabkan 12
sensasi rotasi ke arah kiri pada pasien simulasi saat kecepatan rotasi dikurangi dan berhenti. Latihan Sederhana Untuk Kanalis Semisirkularis Horisontalis Alat dan bahan Alat dan bahan yang perlu dipersiapkan untuk melaksanakan praktikum ini adalah sebagai berikut: 1. Tongkat atau statif yang panjang Langkah kerja Keseluruhan percobaan ini dibagi menjadi dua percobaan dengan topik pemeriksaan pendengaran serta sikap dan keseimbangan badan. Langkah-langkah untuk masing-masing percobaan adalah: III. Percobaan kanalis semisirkularis horizontalis: 1. Meminta pasien simulasi untuk berjalan memutari tongkat panjang menurut arah jarum jam sambil berpegangan pada tongkat tersebut dengan mata tertutup dan kepala ditundukkan sebanyak 10 kali dalam 30 detik. 2. Setelah 10 kali putaran, meminta pasien simulasi untuk berhenti dan membuka matanya, kemudian berjalan lurus. 3. Memperhatikan cara jalan pasien simulasi dan mencatat hasilnya. 4. Mengulangi langkah ke-1 hingga ke-3, namun kali ini meminta pasien simulasi untuk berjalan memutari tongkat panjang berlawanan arah jarum jam. Hasil percobaan Setelah melakukan seluruh percobaan-percobaan di atas, demikian adalah hasil yang kami peroleh dari percobaan kami: D. Percobaan kanalis semisirkularis horizontal
13
Pertama kali tubuh pasien simulasi diputar searah jarum jam, ketika diminta untuk membuka mata dan berjalan lurus, pasien simulasi tidak dapat berjalan dengan lurus, dan lebih condong kearah kanan. Kemudian percobaan dilanjutkan dengan arah putar tubuh pasien simulasi berlawanan dengan arah jarum jam, ketika diminta untuk membuka mata dan diminta untuk berjalan lurus, pasien simulasi lebih condong kearah kiri. Pembahasan D. Percobaan canalis semicircularis horizontalis: Pada saat pasien simulasi berjalan berputar searah jarum jam, secara fisika terjadi gaya sentripetal yang menyebabkan dorongan ke arah luar sehingga organ vestibular pun mendapatkan rangsangan yang sama. Hal ini menyebabkan pada saat berjalan lurus, pasien simulasi cenderung berjalan ke arah kanan, dan demikian pula sebaliknya untuk putaran yang berlawanan dengan arah jarum jam. DAFTAR PUSTAKA 1. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan pendengaran dan kelainan telinga. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku ajar ilmu kesehatan: telinga, hidung, tenggorok, kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.h.11-8. 2. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak nelson. Edisi ke-15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000.h.2198. 3. Pudjiastuti SS . Fisioterapi .Dalam : Ester M, editor.Fungsi motorik. Edisi ke 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2002 .h. 22-5. 4. Isselbacher.
Prinsip-prinsip
ilmu
penyakit
dalam.
Dalam
:Braunwald
E,editor.Dizzinessdan vertigo.Edisi ke-1. Jakarta: EGC; 1999.h.115-8. 5. Arvin BK. Ilmu kesehatan anak . Dalam :Wahab AS, editor. Somatosensory.Edisi ke 15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2000.h.2092-4. 6. Sherwood L. Human physiology. From cells to systems. 8th edition. China: Brooks/Cole, Cengage Learning; 2013: p.237-40. 7. Hartanto YB, Nirmala WK, Ardy, Setiono S, Dharmawan D, Yoavita, et.al., penyunting. Kamus saku kedokteran dorland. Edisi ke-28. Jakarta: EGC; 2008: h.7712. 14
15