LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI SISTEM PERNAPASAN DAN PENCERNAAN (DEA62040)
SEMESTER GENAP
DISUSUN OLEH KELOMPOK B2 ANGGOTA : 1. Tantia Eka Wahyuni 2. Wida Hanggar Astuti 3. Diannira Balqis Winardi 4. Era Wiloka 5. Ernila Dewi Anggraeni 6. Jefferson Azarya Pieter 7. Kevin Diagonsa Anandhy 8. Shifa Nida’ul Khofiyya 9. Shindy Ariesta Dewiadjie 10. Tiara Rahma Amelinda
(165070500111021) (165070500111027) (175070500111008) (175070501111008) (175070500111018) (175070500111002) (175070501111014) (175070507111014) (175070500111012) (175070507111002)
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI JURUSAN FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA TA 2018/2019
PNEUMONIA 1. DEFINISI Pneumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan sistem pernapasan dimana alveoli (mikroskopik udara mengisi kantong dari paru yang bertanggung jawab untuk menyerap oksigen dari atmosfer) menjadi radang dan dengan penimbunan cairan. Pneumonia disebabkan oleh berbagai macam sebab, meliputi infeksi karena bakteri, virus, jamur atau parasit. Definisi lain menyebutkan bahwa pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus respiratorius dan alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat mengganggu pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paruparu. Pada perkembangannya berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia, yaitu pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia/CAP), apabila infeksinya terjadi di masyarakat dan pneumonia-RS atau
pneumonia
nosokomial
(hospital-acquired
pneumonia/HAP),
bila
infeksinya didapat di rumah sakit (Faisal, dkk, 2014). 2. EPIDEMIOLOGI Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di negara berkembang. Penyakit pneumonia adalah penyebab utama kematian balita baik di Indonesia maupun di dunia, namun tidak banyak perhatian terhadap penyakit ini. Oleh karena itu, penyakit ini sering disebut sebagai pembunuh balita yang terlupakan (The Forgotten Killer of Children). Di negara berkembang, penyakit pneumonia merupakan 25% penyumbang kematian pada anak, terutama pada bayi berusia kurang dari 2 bulan. Insidens pneumonia di Negara berkembang adalah 2-10 kali lebih banyak dari pada negara maju. Perbedaan tersebut berhubungan dengan etiologi dan faktor resiko pneumonia di negara tersebut (Rahajoe dkk, 2008 dalam Alfaqinisa, 2015). Di Indonesia, angka kejadian pneumonia pada balita adalah sekitar 1020% per tahun. Angka kematian pneumonia pada balita di Indonesia adalah 6 per 1000 balita. Ini berarti dari setiap 1000 balita setiap tahun ada 6 orang diantaranya yang meninggal akibat pneumonia. Jika dihitung, jumlah balita
yang meninggal akibat pneumonia di Indonesia mencapai 150.000 balita per tahun, 12.500 per bulan, 416 perhari, 17 balita per jam atau 1 orang balita per menit. (Maryunani, 2010). Dari hasil pencatatan dan pelaporan tahun 2012, cakupan penemuan penderita Pneumonia balita di Jawa Timur sebesar 27,08% dengan jumlah penderita yang dilaporkan oleh kabupaten/kota adalah 84.392 orang (Dinkes Jatim, 2013). 3. ETIOLOGI Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Pada beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri gram negatif. Cara terjadinya penularan berkaitan pula dengan jenis kuman, misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan Streptococus pneumoniae, melalui selang infus oleh Staphylococus aureus sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh Pseudomonas aeruginosa. Pada rawat jalan jenis patogen tidak diketahui pada 40% kasus, dilaporkan adanya Streptococus pneumonia pada (9-20%), Micobacterium pneumonia (13-37%), Chlamydia pneumonia ( 17%). Patogen pada PK rawat inap diluar ICU. Pada 20-70% tidak diketahui penyebabnya Streptococus Pneumonia, Haemophilus influenza, Micobacterium pneumonia, Chlamydia pneumonia, Legionella, dan virus sebesar 10%. Sedangkan pada PK rawat inap di ICU yang menjadi etiologinya adalah
Streptococus
pneumonia,
Enterobacteriacae,
Pseudomonas
Aeuroginosa (Kristjana et al, 2014).
4. PATOFISIOLOGI Perjalanan mikroorganisme bisa sampai ke paru-paru, antara lain: 1. Melalui inhalasi/penghirupan mikroorganisme dari udara yang tercemar; 2. Melalui aliran darah dari infeksi organ tubuh yang lain;
3. Melalui migrasi perpindahan organisme langsung dari infeksi didekat paru-paru (Misnadiarly, 2008) Pada individu yang sehat, patogen yang mencapai paru dikeluarkan atau tertahan dalam pipi melalui mekanisme pertahanan diri seperti refleks batuk, klirens mukosiliaris, dan fagositosis oleh makrofag alveolar. Pada individu yang rentan, patogen yang masuk ke dalam tubuh memperbanyak diri, melepaskan toksin yang bersifat merusak dan menstimulasi respon inflamasi dan respon imun, yang keduanya mempunyai efek samping merusak. Reaksi antigen-antibodi
dan
endotoksin
mikroorganisme
merusak
membran
yang
dilepaskan
mukosa
oleh
bronkhial
beberapa
danmembran
alveolokapilar. Inflamasi dan edema menyebabkan sel-sel aini dan bronkhioles terminalis terisi oleh debris infeksiusdan eksudat, yang menyebabkan abnormalitas ventilasi perfusi. Jika pneumonia disebabkan oleh Staphylococcus atau bakteri gram negatif dapat terjadi juga nekrosis parenkim paru (Misnadiarly, 2008).
5. TERAPI NON FARMAKOLOGI Selain terapi farmakologi juga dapat dilakukan terapi non farmakologi untuk menunjang penyembuhan pada pneumonia. Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan, antara lain : o Istirahat yang cukup di tempat tidur o Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi o Pemberian terapi oksigen untuk mengatasi hipoksia (kurangnya kadar O2 dalam darah) o Resusitasi cairan untuk mengatasi kurangnya cairan dalam tubuh o Pemasangan infus untuk rehidrasi sehingga dapat mengencerkan sekresi o Koreksi kalori dan elektrolit dalam tubuh (PDPI, 2003)
6. TERAPI FARMAKOLOGI
Antibiotik golongan ß-laktam Antibiotik golongan ß-laktam merupakan golongan obat yang memiliki struktur cincin beta-laktam, yaitu penisillin, sefalosporin,
monobaktam, karbapenem dan inhibitor beta-laktamase. Golongan obat ini umunya bersifat bakterisid dan sebagian besar efektif terhadap organisme gram positif dan negatif. Antibiotik golongan ini mengganggu sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat sintesis peptidoglikan yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri (Kemenkes, 2011). Menurut (PDPI 2003), antibiotik golongan beta-laktam dapat digunakan sebagai terapi pneumonia rawat jalan (outpatient) dan rawat inap (inpatient). a. Penisilin Penisilin merupakan antibiotik beta-laktam yang bekerja dengan menghambat
dinding sel
bakteri,
spektrum
aktivitas
antibakteri yang luas dengan toksisitas rendah dan merupakan antibiotik yang efektif untuk berbagai jenis bakteri gram positif. Salah satu contoh obat antibiotik golongan penisilin yang dapat diberikan pada pasien pneumonia adalah amoksisilin (Kemenkes, 2011) b. Sefalosporin Sefalosporin adalah antibiotik beta laktam yang mempunyai mekanisme kerja sama dengan penisilin dan dipengaruhi oleh mekanisme resistensi yang sama, tetapi obat-obat tersebut lebih cenderung menjadi lebih resisten dibandingkan penisilin terhadap beta laktam (Mycek, 2001). Golongan sefalosporin diklasifikasikan berdasarkan generasinya yaitu generasi I, generasi II, generasi III, dan generasi IV sebagai berikut :
c. Monobaktam (beta-laktam monosiklik) Salah satu contoh obat golongan ini adalah aztreonam. Antibiotik golongan ini resisten terhadap beta-laktamase yang ada pada bakteri gram negatif. Sehingga antibiotik golongan ini aktif terutama terhadap bakteri gram negatif (Kemenkes, 2011) d. Karbapenem Karbapenem merupakan antibiotik lini ketiga yang memiliki aktivitas antibiotik lebih luas dari antibiotik beta laktam lainnya. Golongan obat karbapenem ini bekerja dengan menghambat sebagian besar gram positif, gram negatif dan anaerob. Salah satu contoh golongan karbapenem ini adalah meropenem (Kemenkes, 2011). e. Inhibitor beta-laktamase Inhibitor beta-laktamase melindungi antibiotik beta-laktam dengan cara mengaktivasi beta-laktamase. Salah satu contoh obat golongan ini adalah asam klavulanat. Asam klavunalat merupakan suicide inhibitor yang mengikat beta-laktamase dari bakteri gram positif dan gram negatif secara irreversibel. Obat ini dapat dikombinasi dengan amoksisilin untuk pemberian oral dan dengan tikarsilin untuk pemberian parenteral (Kemenkes, 2011).
Antibiotik sefalosporin generasi II dan III Pada kasus pneumonia, digunakan salah satu antibiotik beta laktam yaitu sefalosporin generasi II dan generasi III. Salah satu contoh antibiotik sefalosporin generasi II adalah sefaklor dan generasi III seftriakson. Sefaklor merupakan obat antibiotik sefalosporin generasi II yang memiliki aktivitas antibiotik gram negatif yang lebih aktif dari generasi I. Sedangkan Seftriakson merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yang memiliki spektrum antibakteri yang lebih luas dari generasi sebelumnya dan aktif terhadap bakteri gram negatif yang telah resisten, lebih tahan terhadap Beta-laktamase, namun kurang aktif terhadap bakteri
gram
positif. Seftriaksone bekerja
dengan menghentikan
pertumbuhan bakteri dan diberikan melalui intravena atau intramuskular.
Obat ini diindikasikan pada pasien dengan infeksi serius disebabkan bakteri yang sensitif termasuk pneumonia. Namun, obat ini kontraindikasi terhadap pasien dengan hipersensitif terhadap sefalosporin, porfiria, neonatus dengan ikterus, hipoalbunimenia, asidosis atau gangguan pengikatan bilirubun. Dosis obat seftriakson untuk dewasa adalah 1 g satu kali sehari yang disuntikan melalui intravena atau intramuskular selama 24 menit. Dosis dapat ditingkatkan menjadi 2 g-4 g per hari (Kemenkes, 2011). Menurut (PDPI, 2003), antibiotik golongan sefalosporin generasi II dan generasi III dapat digunakan untuk terapi pneumonia pasien rawat inap (inpatient) dan pasien ruang rawat intensif (inpatient).
Antibiotik golongan fluoroquinolon Antibiotik golongan fluoroquinolon adalah bersifat bakterisida yang bekerja dengan menghambat topoisomerase II dan IV pada kuman. Enzim topoisomerase II berfungsi menimbulkan relaksasi pada DNA yang mengalami possitive supercoiling atau pilinan positif yang berlebihan pada waktu transkripsi dalam proses replikasi DNA. Sedangkan topoisomerase IV berfungsi dalam pemisahan DNA baru yang terbentuk setelah proses replikasi DNA kuman selesai. Salah satu contoh obat golongan ini adalah Levoksasin yang bekerja aktif terhadap organisme gram positif dan negatif. Obat ini diindikasikan untuk community acquired pneumonia namun sebagai terapi lini kedua. Dosis yang diberikan untuk pneumonia komuniti (CAP) adalah 500 mg sekali sehari atau dua kali sehari selama 714 hari (Kemenkes, 2011). Menurut (PDPI, 2003) obat golongan fluoroquinolon dapat digunakan sebagai terapi pneumonia pasien rawat jalan (outpatient) dan pasien rawat inap (inpatient).
Antibiotik makrolida Makrolida aktif terhadap bakteri gram positif, tetapi dapat juga menghambat beberapa Enterococcus dan basil gram positif. Makrolida mempengaruhi sintesis protein bakteri dengan cara berikatan dengan subunit 50s ribosom bakteri, sehingga menghambat translokasi peptida.
Salah satu contoh obat golongan ini adalah roksitromisin yang merupakan antibiotik makrolida semisintesik. Obat ini memiliki komposisi, struktur kimia dan mekanisme kerja yang sangat mirip dengan eritromisin, azitromisin atau klaritromisin. Roksitromisin memiliki spektrum antibiotik yang mirip dengan eritromisin namun lebih efektif melawan bakteri gram negatif tertentu seperti Legionella Pneumophila. Namun, obat ini memiliki efek samping yang sering terjadi pada saluran cerna seperti diare, mual, muntah dan nyeri abdomen (Kemenkes, 2011). Menurut (PDPI, 2003), obat golongan makrolida dapat digunakan sebagai terapi pneumonia pasien rawat jalan (outpatient), rawat inap (inpatient) dan ruang rawat intensif (inpatient).
7. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI Tn. CP (65 tahun, 165 cm, 82 kg) dibawa ke Unit Gawat Darurat RS X pada jam 11 malam dengan kondisi batuk produktif selama 3 hari yang lalu, sesak nafas dan merasa nyeri pada dada. Pemeriksaan radiografi awal menunjukkan adanya bercak pada bagian kanan bawah lobus paru sehingga disarankan untuk rawat inap. Tn.CP mempunyai riwayat perokok aktif sejak muda. Tiga tahun yang lalu, Tn. CP didagnosa miokard infark dan menjalani pelebaran arteri.
Riwayat pengobatan: aspirin 75 mg qd simvastatin 40 mg qd atenolol 25 mgqd Ramipril 5 mg qd
Furosemide 20 mg qd Amlodipine 10 mg qd ISMN SR 60 mg qd Glyceryl trinitrat sublingual spray prn
Data klinis: Nadi bpm
110 Suhu 38.2°C
RR x/min
26 BP mmHg
140/92 Saturas ioksigen 89% jika menggunakan oksigen 2 L/min.
Rencana pemeriksaan laboratorium: Kultur darah & sputum BUN dan elektrolit dan CBC
Liver Function Test EKG
Dari hasil pemeriksaan pasien didiagnosa pneumonia dan diberikan terapi: Oxygen 2 L/min ceftriaxone i.v. 1 g qd erythromycin i.v. 500 mg q.d
salbutamol nebulised 2.5 mg q.d.s paracetamolp.o./p.r. 1 g q.d enoxaparin s.c. 40 mg qd
Pertanyaan 1. Uraikan tipe pneumonia apa yang dialami oleh Tn. CP serta dasar pertimbangan Tn CP harus rawat inap. 2. Lakukan kajian terhadap manajemen yang diberikan saat pasien masuk RS ! 3. Jelaskan target terapi yang harus dicapai pada terapi pasien ini. 4. Jelaskan monitoring yang perlu dilakukan pada pasien ini. 8. PEMBAHASAN KASUS 8.1 Subjektif Tn. CP (65 tahun, 165 cm, 82 kg) dibawa ke Unit Gawat Darurat RS X pada jam 11 malam dengan kondisi batuk produktif selama 3 hari yang lalu, sesak nafas dan merasa nyeri pada dada. Pasien memiliki riwayat perokok aktif sejak muda dan tiga tahun yang lalu didiagnosa miokard infark. Batuk yang dialami Tn. CP dapat terjadi karena pasien memiliki riwayat merokok sejak muda. Sesak nafas dan nyeri dada yang dialami pasien dapat dimungkinkan karena kekambuhan dari miokard infark yang telah dialami pasien. 8.2 Obyektif Data klinis
Saturas Nadi 110 bpm
ioksigen 89% Suhu
RR 26
BP 140/92
jika
38.2°C
x/min
mmHg
menggunakan oksigen 2 L/min.
Berdasarkan data klinis yang didapatkan, nilai nadi yaitu 110 bpm, akan tetapi nilai normalnya yaitu 60 – 100 bpm. Nilai RR nya yang didapat yaitu RR 26 x/menit, akan tetapi nilai normalnya yaitu 1220 x/menit. Serta juga nilai tekanan darahnya 140/92 mmHg, akan tetapi nilai normalnya yaitu 120/80 mmHg. Ketidaksesuaian ini, dapat terjadi karena pasien dimungkinkan terkena pneumonia. Selain itu, hal ini didukung juga dengan riwayat pasien yang sebagai perokok aktif pada saat muda. Nilai suhu yang tidak sesuai ini yaitu suhu normalnya yaitu 38,2°C dan dengan nilai suhu normalnya yaitu 36,5°C – 37,5°C, dapat mengindikasikan telah terjadinya infeksi pada pasien yang dimungkinkan oleh bakteri pneumonia. Secara teori, penentuan pada pasien yang terkena suatu penyakit adalah dengan minimal adanya 2 tanda SIRS. Penyebab SIRS mungkin infeksi ataupun tidak terdapat infeksi. Jika penyebabnya adalah infeksi atau ditemukan adanya suatu infeksi bakteri, maka pasien menderita penyakit yang dinamakan sepsis. Ketika sepsis berhubungan dengan kerusakan organ yang jauh dari tempat infeksi, maka dinamakan severe sepsis. Keadaan yang menggambarkan SIRS jika ada 2 atau lebih dari ketidaksesuaian kondisi : suhu, nadi, RR, WBC, hiperglikemia, hipoksemia dan masih banyak lainnya. Contohnya tanda SIRS yang dapat di temukan pada pasien ini yaitu pada nilai suhu, nadi dan RR. Akibat dari ketiga ketidaksesuaian kondisi tersebut, dapat dikatakan bahwa pasien tersebut mengalami SIRS. Berdasarkan SIRS dimana merupakan respon sistemik yang dialami pasien ini, oleh karena itu dapat dimungkinkan bahwa pasien ini mengalami infeksi bakteri penumonia. Selain itu, analisis mengapa
pasien harus dirawat inap ini yaitu dapat didasarkan pada PORT. Berdasarkan PORT (Pneumonia Patient Outcome Research Team) menunjukkan bahwa point total pasien pada risk class III yaitu 71-90. Hal tersebut didasarkan pada perhitungan poin yaitu : umur pasien (65 tahun) + riwayat penyakit miokard infark (10) + saturasi oksigen pasien yang menunjukan nilai 89% ketika menggunakan oksigen sehingga apabila tidak menggunakan oksigen saturasi oksigen pasien < 89% / < 90% (kadar normal) (10) = 85 ( Judith et al, 2012).
8.3 ASSESSMENT Kajian terhadap manajemen yang diberikan saat pasien masuk rumah sakit adalah sebagai berikut:
Kultur darah & sputum (5-7 hari) diperlukan untuk mengetahui bakteri jenis apa yang menginfeksi pasien untuk selanjutnya dilakukan terapi antibiotik yang sesuai sehingga tidak terjadi resistensi dan index terapi efektif. Namun, pada kondisi pasien dilakukan hasil segera, maka digunakan pendekatan tanda tanda SIRS dengan pengobatan antibiotik empiris. BUN dan elektrolit dan CBC tidak perlu dilakukan dikarenakan tidak ditemukan riwayat penyakit ginjal maupun keluhan yang mengarah pada kelainan ginjal Liver function test tidak perlu dilakukan karena tidak ada riwayat kelainan pada hati EKG diperlukan agar dapat diketahui penyebab sesak apakah kelainan pada paru paru akibat infeksi atau terjadi kekambuhan penyumbatan pembuluh darah jantung pada pasien yang menyebabkan suplai suplai oksigen ditubuh berkurang.
Kajian terhadap terapi yang diberikan saat pasien masuk rumah sakit adalah sebagai berikut
Oxygen 2 L/min mencegah dan memperbaiki hipoksia jaringan. Terapi ini sesuai karena digunakan untuk mengobati sesak nafas pada pasien Salbutamol nebulized 2.5 mg q.d. adalah golongan Agonis Reseptor Beta-2 Adrenergik dengan mekanisme kerja sebagai bronkodilator yang merangsang pelebaran saluran udara oleh reseptor beta-adrenergik. Penggunaan salbutamol memiliki efek
takikardi namun efek minimum jadi penggunaannya masih bisa dilanjutkan. Ceftriaxone i.v. 1 g q.d. antibiotik golongan cephalosporin. Obat ini bekerja dengan menghentikan pertumbuhan bakteri. Paracetamol p.o./p.r.n 1 g q.d. obat analgesik dan antipiretik. Penggunaan obat ini sudah tepat karena digunakan untuk menurunkan demam pada pasien. Efek samping dari obat ini adalah hepatotoksik jika penggunaannya jangka panjang. Erythromycin i.v. 500 mg q.d. obat antibiotik golongan makrolida. Enoxaparin s.c. 40 mg q.d. obat anticoagulant (pengencer darah) yang mencegah pembentukan gumpalan darah. Obat ini tetap digunakan karena pasien memiliki riwayat miokard infark
Target terapi yang harus dicapai adalah menurunkan suhu tubuh pasien agar kembali normal, menghilangkan sesak nafas dan batuk produktif karena pasien didiagnosa mikoard infark yang menyebabkan adanya penggumpalan pada otot jantung, meningkatkan kualitas hidup pasien. 8.4 PLAN a. Hasil kultur px kemungkinan positif sehingga diberikan terapi dengan antibiotik Ceftriaxon i.v. 1 g q.d b. Sesak nafas pasien diterapi dengan Salbutamol nebulised 2.5 mg q.d.s c. Pasien tidak perlu di rawat inap karena tergolong risk I dan diberikan KIE d. Demam tinggi pada pasien diterapi dengan paracetamol sebagai antipiretik e. Pasien diberi terapi Oksigen agar O2 semakin banyak yang diikat oleh HB. f. Pasien diterapi dengan amoxicilin sebagai antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi saluran pernafasan. g. Diberikan antikoagulan enoxaparin karena pasien miokard infark untuk menghindari serangan jantung yang bisa menyebabkan stroke. 8.4.1 MONITORING a. Monitoring efek samping obat yang digunakan b. Monitoring keluhan pasien seperti batuk produktif pasien, demam, dan sesak nafasnya.
c. Monitoring saturasi oksigen pasien (kadar normal 95%-100%) d. Monitoring RR pasien, normalnya dibawah 20 kali e. Monitoring kepatuhan pasien minum obat f. Monitoring bercak yang terdapat pada lobus paru, sudah hilang atau masih ada 8.4.2 KONSELING a. Mengedukasi pasien bahwa merokok tidak baik untuk kesehatan sehingga harus dihentikan, selain itu pasien juga sedang hamil sehingga sangat berisiko pada bayi dalam kandungannya. b. Memberikan informasi terkait efek samping obat c. Mengedukasi tentang penggunaan antibiotic yang tepat yaitu setiap 8 jam 3 kali sehari d. Memberi informasi tentang pentingnya hidup sehat
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2013. Profil Kesehatan Profinsi Jawa Timur Tahun 2012. Surabaya. Faisal F., Burhan E., Aniwidyaningsih W., dan Kekalih A. 2014. Penilaian Respons Pengobatan Empiris pada Pasien Rawat Inap dengan Pneumonia Komunitas. Jurnal Respirasi Indonesia, 34, 61-67. Judith A. Guzman-Cottrill, Beth Cheesebrough, Simon Nadel, and Brahm Goldstein. 2012. The Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Sepsis, and Septic Shock. Elsevier.Ltd.Inc BV (97-103). Kemenkes. 2011. Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI. Kristjana H., Jenifer A., Noel S., Dorothy, Elizabeth, Dalton W., dan Grace J. 2014. Breastfeeding is associated with decreased pneumonia incidence among HIV-exposed, uninfected Kenyan infants. NIH Public Access Author Manuscript. 27(17): 2809–2815. Maryunani, Anik. 2010. Ilmu Kesehatan Anaka. Jakarta : CV. Trans Info Media. Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak, Orang Dewasa, Usia Lanjut, Pneumonia Atipik & Pneumonia Atypik Mycobacterium. 1st edition. Jakarta: Pustaka Obor Populer : 15-44. Mycek, M.J, Harvey, R.A. Champe, P.C. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar ed 2. Jakarta : Widya Medika. PDPI-Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003.
Pneumonia Komuniti
“Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia”. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia di Indonesia. Jakarta: PDPI. Rahajoe, Nastiti., dkk. 2008. Respirologi Anak. Jakarta. IDAI