Laporan Peptic Ulcer Disease_kelompok A4

  • Uploaded by: okaz agung propertindo
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Peptic Ulcer Disease_kelompok A4 as PDF for free.

More details

  • Words: 3,491
  • Pages: 15
LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI SISTEM PERNAFASAN DAN PENCERNAAN (DEA62040) SEMESTER GENAP

DISUSUN OLEH KELOMPOK A4 ANGGOTA: Hendike Yuniar Purnama (175070507111003) Herdin Erliana (175070500111033) Istiqomah Fiddini (175070507111011) Natalie Dhera Dwi Krisdanti (175070501111007) Ni Putu Sima Noviantika (175070507111009) Oktaviani Lestyaning Ratri (175070500111019) Sonya Yunita (175070507111007) Viena Cynthia Alvionita (175070507111015) Vira Triyanisha (175070501111001) M. Ihza Iswahyudi (175070500111009)

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA TA 2018/2019

PEPTIC ULCER DISEASE (GASTRITIS) 1. DEFINISI 2. EPIDEMIOLOGI 3. ETIOLOGI 4. PATOFISIOLOGI 5. TERAPI NON-FARMAKOLOGI 6. TERAPI FARMAKOLOGI 7. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI 8. PEMBAHASAN KASUS 8.1 SUBJEKTIF 8.2 OBJEKTIF 8.3 ASSESMENT 8.4 PLAN 9. DAFTAR PUSTAKA

1. DEFINISI Tukak peptik (peptic ulcer disease) adalah lesi pada lambung atau duodenum yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor agresif (sekresi asam lambung, pepsin, dan infeksi bakteri Helicobacter pylori) dengan faktor defensif/ faktor pelindung mukosa (produksi prostagladin, gastric mucus, bikarbonat, dan aliran darah mukosa) (Berardy dan Lynda, 2005). Tukak peptik merupakan keadaan kontinuitas mukosa lambung terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi. Walaupun seringkali dianggap juga sebagai tukak (misalnya tukak karena stres) (Wilson dan Lindseth, 2005). Helicobacter pylori adalah suatu hasil gram-negatif, spiral dengan flagela multipel lebih menyukai lingkungan mikroaerofilik. Helicobacter pylori tidak menyerang jaringan. Organisme menghuni dalam gel lendir yang melapisi sel epitelial, dengan bagian kecil dari Helicobacter pylori melekat langsung pada sel epitelial. Kebanyakan orang yang terinfeksi Helicobacter pylori mempunyai neutrofil-neutrofil dalam lamina propia dan kelenjar epitel dan suatu peningkatan dalam sel radang kronik pada lamina propia. Kolonisasi Helicobacter pylori dalam duodenum terbatas pada daerah metaplasia lambung dan ditemukan dalam epitelium pasien dengan ulkus duodeni (Mc.Guigan, 2001). Kuman Helicobacter pylori bersifat mikroaerofilik dan hidup di lingkungan yang unik, di bawah mukus dinding lambung yang bersuasana asam. Kuman ini mempunyai enzim urease yang dapat memecah ureum menjadi amonia yang bersifat basa, sehingga tercipta lingkungan memungkinkan kuman ini bertahan hidup. Terdapat hubungan timbal balik antara infeksi Helicobacter pylori, gastritis dengan asam lambung. Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan sekresi asam lambung dengan konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi pada antrum akan menstimulasi sekresi gastrin, yang selanjutnya akan merangsang sel pariental untuk meningkatkan sekresi asam lambung (Fauzi dan Rani, 2001).

2. EPIDEMIOLOGI Sekitar 10 % orang Amerika mengalami tukak peptik kronis seumur hidup mereka . Hal ini terjadi dengan variasi antar individu dengan jenis ulkus, ras, pekerjaan, kecenderungan genetik, dan sosial usia, jenis kelamin, dan lokasi geografis yang

berbeda. Faktor – faktor ini lebih kecil prevalensinya jika dibandingan adanya infeksi Helicobacter Pylori dan penggunaan NSAID. Sejak tahun 1960 , kunjungan dokter terkait ulkus, pada unit rawat inap, operasi, dan kematian telah menurun di Amerika Serikat oleh lebih dari 50 % , terutama karena tingkat penurunan pasien tukak peptik. Penurunan rawat inap di rumah sakit dapat dilihat dari penurunan penerimaan pasien tukak duodenum. Namun, untuk rawat inap orang dewasa untuk penyakit komplikasi terkait tukak (perdarahan dan perforasi ) mengalami peningkatan. Meskipun angka kematian secara keseluruhan dari tukak peptik menurun, angka kematian pada pasien yang lebih tua dari 75 tahun mengalami peningkatan, yang kemungkinan besar diakibatkan dari peningkatan konsumsi NSAID. Tukak peptik tetap menjadi salah satu penyakit yang paling umum gastrointestinal, yang mengakibatkan gangguan kualitas hidup, kehilangan pekerjaan, dan tingginya biaya perawatan medis. Sampai saat ini, antagonis reseptor H2 (H2RAs), proton pump inhibitor (PPI), dan obat penyakit mukosa tidak merubah tingkat komplikasi tukak peptik (Berardy dan Lynda, 2005).

3. ETIOLOGI a.

Sekresi Asam Lambung Sel pariental mengeluarkan asam lambung (HCl) sedangkan sel peptik

mengeluarkan pepsinogen oleh HCl diubah menjadi pepsin, dimana pepsin dan HCl adalah faktor agresif, terutama pepsin mileu pH< 4 sangat agresif terhadap mukosa lambung, keduanya merupakan produk utama yang dapat menimbulkan kerusakan mukosa lambung sehingga disebut sebagai penyebab endogen (Aru W. Sudoyo, 2006). Bahan iritan seperti rokok, alkohol, dan aspirin akan menimbulkan efek mukosa barrier dan terjadi difusi balik ion histamin (H+), histamin (H+ ) terangsang untuk lebih banyak mengeluarkan asam lambung, timbul dilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh kapiler, kerusakan mukosa lambung, dan gastritis (Slamet Suyono, 2001). b.

Infeksi Helicobacter pylori Helicobacter pylori adalah bakteri gram negatif yang berbentuk spiral atau

batang bengkok dengan ukuran 2,5-5µ, lebar 0,5-1µ dan memiliki 4-6 flagela yang berselaput pada satu kutupnya. Helicobacter pylori bersifat mikroaerofilik yaitu tumbuh baik pada lingkungan dengan kandung CO2 10%, O2 tidak lebih dari 5%,

suhu antara 33-400 C, kelembaban 100%, pH 5,5-8,5, mati dalam suasana anaerobik, kadar O2 normal, dan suhu dibawah 280 C. Helicobacter pylori hidup pada bagian gastrum antrum, lapisan mukus lambung yang menutupi mukosa lambung dan dapat melekat pada permukaan epitel mukosa lambung (Sudaryat Sutaatmaja, 2007). Helicobacter pylori menghasilkan enzim urease yang akan mengubah urea dalam mukus lambung yang kuat (Slamet Suyono, 2001:133). Selain urease kuman itu juga menghasilkan enzim protease dan fosfoliase diduga merusak gliko protein dan fosfolipid yang menutup mukosa lambung, katalase yang melindungi kuman dari radikal reaktif yang dikeluarkan netrofil. Disamping enzim kuman itu juga menghasilkan toksik (VaCa/ Vaculating sitotoxin) dan ( CagA sitotoksin/ Cytotoxine gen) yang berperan dalam timbulnya radang dan reaksi imun lokal. Cara penularan Helicobacter pylori yaitu pada keadaan alamiah reservoir kuman Helicobacter pylori adalah lambung penderita infeksi Helicobacter pylori. Tidak terbukti adanya reservoir pada binatang ataupun lingkungan. Sampai sekarang cara penularan infeksi Helicobacter pylori yang belum dapat dipastikan. Satu-satunya jalan infeksi melalui mulut, tetapi bagaimana infeksi dari lambung seorang penderita masuk ke dalam mulut dan kemudian ke lambung orang lain masih belum jelas. Teori yang dianut untuk memindahkan infeksi ke orang lain adalah kontak fekal-oral atau oral-oral. Hal ini didukung penelitian Kelly yang berhasil melakukan kultur feses terhadap 12 (48%) dari 25 orang yang serologis positif menderita infeksi Helicobacter pylori (Sudaryat Sutaatmaja, 2007). Pada umumnya infeksi Helicobacter pylori lebih banyak terjadi di negara berkembang dibanding di negara maju (Sudaryat Sutaatmaja, 2007:273). Prevalensi infeksi Helicobacter pylori meningkat dengan meningkatnya umur (di negara maju 50% penderita terkena infeksi Helicobacter pylori setelah usia 50 tahun). Di negara berkembang, terjadi infeksi Helicobacter pylori pada 80% penduduk setelah usia 30 tahun (Boedhi Darmojo, 2006). c.

NSAID NSAID adalah penyebab paling umum dari penyakit ulkus peptik pada pasien

tanpa infeksi H. pylori. Efek topikal NSAID menyebabkan erosi submukosa. Selain itu, oleh menghambat cyclooxygenase, NSAID menghambat pembentukan prostaglandin dan efek pelindung mereka seperti siklooksigenase2 (yaitu, meningkatkan perlindungan mukosa lambung dengan merangsang lendir dan sekresi bikarbonat dan proliferasi sel epitel dan meningkatkan aliran darah mukosa).

Coexisting infeksi H. pylori meningkatkan kemungkinan dan intensitas kerusakan yang disebabkan oleh NSAID. (Kang, 2002). Risiko tahunan komplikasi terkait maag yang mengancam jiwa adalah 1 hingga 4 persen pada pasien yang menggunakan NSAID jangka panjang, dengan pasien yang lebih tua pada risiko tertinggi. Penggunaan NSAID bertanggung jawab untuk sekitar satu setengah ulkus perforasi, yang paling sering terjadi pada pasien yang lebih tua yang mengonsumsi aspirin atau NSAID lain untuk penyakit kardiovaskular atau artropati. (Kurata,1997).

4. PATOFISIOLOGI Tukak terjadi karena gangguan keseimbangan antara faktor agresif (asam, pepsin atau faktor-faktor iritan lainnya) dengan faktor defensif (mukus, bikarbonat, aliran darah) (Sanusi, 2011). Sel parietal mengeluarkan asam lambung HCl, sel peptik atau zimogen mengeluarkan pepsinogen yang oleh HCl dirubah menjadi pepsin dimana HCl dan pepsin adalah faktor agresif terutama pepsin 4 dengan pH < 4 (sangat agresif terhadap mukosa lambung). Bahan iritan dapat menimbulkan defek barier mukosa dan terjadi difusi balik ion H+ . Histamin terangsang untuk lebih banyak mengeluarkan asam lambung, kemudian menimbulkan dilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler, kerusakan mukosa lambung, gastritis akut atau kronik, dan tukak peptik (Tarigan, 2006). Helicobacter pylori dapat bertahan dalam suasana asam di lambung, kemudian terjadi penetrasi terhadap mukosa lambung, dan pada akhirnya H. pylori berkolonisasi di lambung. Kemudian kuman tersebut berpoliferasi dan dapat mengabaikan sistem mekanisme pertahanan tubuh. Pada keadaan tersebut beberapa faktor dari H. pylori memainkan peranan penting diantaranya urase memecah urea menjadi amoniak yang bersifat basa lemah yang melindungi kuman tersebut terhadap asam HCl (Rani & Fauzi, 2006). Obat NSAID yang dapat menyebabkan tukak antara lain: indometasin, piroksikam, ibuprofen, naproksen, sulindak, ketoprofen, ketorolac, flurbiprofen dan aspirin (Berardi & Welage, 2008). Obat-obat tersebut menyebabkan kerusakan mukosa secara lokal dengan mekanisme difusi non ionik pada sel mukosa (pH cairan lambung << pKa NSAID). Stres yang amat berat dapat menyebabkan terjadinya tukak, seperti pasca bedah dan luka bakar luas, hal ini terjadi karena adanya gangguan aliran darah mukosa yang berkaitan dengan peningkatan kadar kortisol plasma. Stres emosional yang berlebihan dapat meningkatkan kadar kortisol yang

kemudian diikuti peningkatan sekresi asam lambung dan pepsinogen, sama halnya dengan gaya hidup yang tidak sehat, seperti merokok, konsumsi alkohol dan pemakaian NSAID yang berlebihan (Sanusi, 2011).

5. TERAPI NON-FARMAKOLOGI Untuk penanganan secara non farmakologis, Pasien dengan tukak harus mengurangi stress, merokok dan menggunakan NSAID (termasuk aspirin). Jika NSAID tidak dapat dihentikan penggunaannya maka harus dipertimbangkan pemberian dosis yang rendah atau diganti dengan asetaminofen, COX2 inhibitor relatif sedikit (Nabumeton dan etodolak), COX2 inhibitor selektif kuat (Celecoxib dan rofecoxib). Walaupun tidak ada kebutuhan untuk diet khusus, pasien harus menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan dispesia atau yang dapat menyebabkan tukak seperti : Makanan pedas, kafein, dan alkohol (Elin yulinah, dkk. 2013).

6. TERAPI FARMAKOLOGI Terapi farmakologi yang dapat digunakan untuk mengatasi peptic ulcer adalah : a.

Antasida Pada saat ini antasida digunakan untuk menghilangkan keluhan nyeri dan obat dispepsia. Mekanisme kerjanya menetralkan asam lambung secara lokal. Preparat yang mengandung magnesium akan menyebabkan diare sedangkan aluminium menyebabkan konstipasi. Kombinasi keduanya saling menghilangkan pengaruh sehingga tidak terjadi diare dan konstipasi. Dosis: 3 x 1 tablet, 4 x 30 cc (3 kali sehari malam dan sebelum tidur). Efek samping diare, berinteraksi dengan obat digitalis, barbiturat, salisilat, dan kinidin (Tarigan, 2001).

b. Antagonis Reseptor H2 Antagonis Reseptor H2 mengurangi sekresi asam lambung dengan cara berkompetisi dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H lambung. Bila histamin berikatan dengan H2 pada sel pariental maka akan dihasilkan asam. Dengan diblokirnya tempat ikatan antara histamin dan reseptor digantikan dengan obat-obat ini, maka asam tidak akan dihasilkan. Efek samping obat golongan ini yaitu diare, sakit kepala, kantuk, lesu, sakit pada otot dan konstipasi (Berardy and Lynda, 2005). Obat-obat Antagonis Reseptor H2

c. PPI (Proton Pump Inhibitor) Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim KH ATPase yang akan memecah KH ATP akan menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam dari kanalikuli serta pariental ke dalam lumen lambung. Pada manusia belum terbukti gangguan keamanannya pada pemakaian jangka panjang (Tarigan, 2001). Inhibitor pompa proton memiliki efek yang sangat besar terhadap produksi asam. Omeprazol juga secara selektif menghambat karbonat anhidrase mukosa lambung, yang kemungkinan turut berkontribusi terhadap sifat suspensi asamnya (Parischa dan Hoogerwefh, 2008). Penghambat pompa proton dimetabolisme dihati dan dieliminasi di ginjal. Dengan pengecualian penderita disfungsi hati berat, tanpa penyesuaian dosis pada penyakit liver dan penyakit ginjal. Dosis Omeprazol 20-40 mg/hr, Lansoprazol 1530 mg/hr, Rabeprazol 20 mg/hr, Pantoprazol 40 mg/hr dan Esomeprazol 20-40 mg/hr. Efek samping obat golongan ini jarang, meliputi sakit kepala, diare, konstipasi, muntah, dan ruam merah pada kulit. Ibu hamil dan menyusui sebaiknya menghindari penggunaan PPI (Lacy dkk, 2008). d.

Pelindung Mukus  Koloid Bismuth Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan bersama protein pada dasar tukak dan melindungi terhadap rangsangan pepsin dan asam. Dosis obat 2 x 2 tablet sehari. Efek samping, berwarna kehitaman sehingga timbul keraguan dengan pendarahan (Tarigan, 2001).

 Sucralfat Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan oleh asam, hidrolisis protein mukosa yang diperantarai oleh pepsin turut berkontribusi terhadap terjadinya erosi dan ulserasi mukosa. Protein ini dapat dihambat oleh polisakarida bersulfat. Selain menghambat hidrolisis protein mukosa oleh pepsin, sulkrafat juga memiliki efek sitoprotektif tambahan, yakni stimulasi produksi lokal prostagladin dan faktor pertumbuhan epidermal (Parischa dan Hoogerwefh, 2008). Dosis sulkrafat 1gram 4x sehari atau 2gram 2x sehari. Efek samping yang sering dilaporkan adalah konstipasi, mual dan mulut kering (Berardy dan Lynda, 2005). e. Analog Prostaglandin : Misoprostol Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung menambah sekresi mukus, sekresi bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa. Biasanya digunakan sebagai penangkal terjadinya tukak gaster pada pasien yang menggunakan OAINS. Dosis 4 x 200 mg atau 2 x 400 mg pagi dan malam hari. Efek samping diare, mual, muntah, dan menimbulkan kontraksi otot uterus sehingga tidak dianjurkan pada wanita yang bakal hamil (Tarigan, 2001). Misoprostol dapat menyebabkan eksaserbasi klinis (kondisi penyakit bertambah parah) pada pasien yang menderita penyakit radang usus, sehingga pemakaiannya harus dihindari pada pasien ini. Misoprostol dikontaindikasikan selama kehamilan, karena dapat menyebabkan aborsi akibat terjadinya peningkatan kontaktilitas uterus. Sekarang ini misoprostol telah disetujui penggunaannya oleh United States Food and Drug Administration (FDA) untuk pencegahan luka mukosa akibat NSAID (Parischa dan Hoogerwefh, 2008).

Regimen Terapi Obat Untuk Penyembuhan Tukak Peptik

7. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI Ny. D (40 tahun) MRS akibat nyeri epigastrik, feses berwarna hitam, dan lemas. Riwayat penyakit yang diderita antara lain hipertensi, hipotiroid, nyeri punggung, dan DM tipe 2. Hasil laboratorium menunjukkan adanya anemia (kadar Hb, HCT, MCV, & serum besi rendah), hasil endoskopi menunjukkan adanya perforasi gastrik. Pertanyaan (Klasifikasikan terlebih dahulu untuk soal-soal di bawah ini mana saja yang termasuk SOAP!): 1. Apa sajakah problem list pada pasien ini? 2. Informasi apa sajakah yang mendukung dugaan terjadinya ulkus peptik pada pasien ini? 3. Apakah target terapi untuk pasien ini? 4. Terapi non-farmakologi apakah yang dapat direkomendasikan sebagai alternatif tambahan terapi untuk mengobati ulkus peptik pasien ini? 5. Buatlah desain regimen farmakoterapi untuk ulkus peptik & anemia pada pasien ini! 6. Parameter klinis & laboratoris apakah yang harus dievaluasi pada pasien ini untuk mengetahui keberhasilan terapi & untuk mendeteksi ESO? 7. Informasi apakah yang harus disampaikan kepada pasien ini untuk menjamin keberhasilan terapi, meningkatkan kenyamanan pasien, serta meminimalisasi ESO?

8. PEMBAHASAN KASUS 8.1 SUBJEKTIF a. Nyeri pada epigastric (nyeri di bagian ulu hati karena adanya luka terbuka pada mukosa lambung)

b. Feses berwarna hitam (karena perforasi menyebabkan pendarahan di lambung, sehingga darah yag keluar bercampur dengan asam lambung dan menyebabkan feses berwarna hitam)

c. Lemas (karena terjadi pendarahan pada mukosa lambung sehingga menyebabkan kekurangan darah dan intake makan menurun)

8.2 OBJEKTIF Dari hasil laboratorium pasien, pasien mengalami anemia dilihat dari kadar Hb, HCT, MCV, & serum besi, dan hasil endoskopinya menunjukan adanya perforasi gastrik. Kadar MCV, Hb, HCT dan serum rendah menunjukan adanya anemia defiensi besi. Dimana pada anemia defiensi besi membutuhkan obat untuk meningkatkan kadar zat besi dalam tubuh. Obat yang sering digunakan adalah sulfakrat, dimana salah satu efek sulfakrat sendiri mengakibatkan hasil feses hitam sehingga susah untuk dibedakan antar akibat gastritis ataupun efek samping obat. Jika pasien mengalami anemia maka akan meperburuk kondisi gastritis sendiri mengakibatkan pendarahan pada lambung. Pada pemeriksaan endoskopi menunjukan adanya perforasi gastrik yaitu adanya lubang pada mukosa lambung. Pemeriksaan endoskopi ini penting untuk menentukan tepat tempat asal terjadinya pendarahan. Nyeri pada ulu hati secara tidak langsung dapat menyebabkan tekanan darah naik, karena jika pasien merasa nyeri maka stress akan meningkat sehingga tekanan darah juga ikut naik Selain itu gastritis banyak ditemukan pada pasien yang menderita DM tipe 2.

8.3 ASSESMENT Tn D 40 thn masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri epigastrik dimana disebabkan karena terjadinya perlukaan yang mengganggu pada dinding lambung yang biasanya dipicu oleh kenaikan asam lambung sehingga mengiritasi secara kronis dinding lambung. Selain itu pasien juga mengeluh feses berwarna hitam hal tersebut terjadi karena adanya perlukaan sehingga terdapat darah di lambung, yang bila bercampur dengan hematin akan menjadi gelap atau kehitaman pada feses (kotoran) seseorang saat buang air besar. Pasien juga mengalami riwayat penyakit

seperti hipertensi, hipotiroid, nyeri punggung, dan DM tipe 2. Berdasarkan hasil lab juga menunjukkan bahwa pasien anemia yang menyebabkan pasien dalam keadaan lemas serta hasil endoskopi menunjukkan adanya perforasi gastrik Sebaiknya pasien bisa melakukan uji kultur terlebih dahulu untuk mengecek apakah ada bakteri pada ulkusnya atau tidak agar bisa diberi terapi yang tepat. Bila hasil kultur negative regimen terapi yang dapat diberikan untuk mengatasi gejala yang dialami pasien yaitu PPI-Omeprazole 20-40mg 1x1 hari sebelum makan dimana obat ini digunakan untuk menekan asam lambung serta mencegah kekambuhan sehingga saat intake makanan bisa masuk, kemudian diberikan juga Sucralfate PO 1 gram sehari 4 kali sebelum makan untuk mengobati ulkus peptik pasien sehingga tidak terjadi pendaharan/luka dan untuk mengatasi anemia pasien dapat diberikan Ferrosulfat 250 mg 2-3x 1 hari 1 tablet obat ini memiliki efek samping menyebabkan feses berwarna hitam namun tidak sehitam feses yang disebabkan bercampurya darah dengan asam lambung sehingga untuk melihat perbaikan kondisi pasien setelah minum obat tidak bisa hanya dipantau dari warna fesesnya saja melainkan dapat dilihat dari gejala-gejala yang dialami pasien sebelumnya seperti menurnya nyeri di lambung dan pasien sudah tidak lemas untuk penggunaan obat lain seperti NSAID yang kemungkinan digunakan pasien untuk mengatasi nyeri punggung sebaiknya tidak digunakan secara rutin atau prn(bila perlu) saja dan tidak dalam jangka panjang karena penggunaan obat-obat NSAID dapat memicu dan memperparah kondisi pasien, alternatif yang bisa diberikan untuk mengganti NSAID pada pasien ulkus berat yaitu paracetamol. Pemberian obat terapi ulkus disease lain seperti antasida tidak direkomendasikan karena antasida hanya mempunyai efek lokal dan apabila diberikan bersamaan dengan obat lain absorbsinya dihambat sedangkan pada kasus ini pasien memiliki gejala yang kompleks sehingga obat yang diberikan tidak hanya satu. Selain itu H2Bloker walau sama-sama digunakan untuk menekan seksresi asam lambung namun durasi dari obat ini lebih lama dibandingkan PPI (omeprazole) sehingga lebih direkomendasikan menggunakan PPI dan dilihat dari kondisi pasien yang masih bisa beraktifitas sehingga tidak dikhawatirkan terjadi aspirasi akibat penggunaan PPI jangka panjang. Namun bila pada pasien koma/berada di ICU yang megharuskan pasien untuk terus berbaring sehingga kurang bergerak dan diberikan PPI secara terus menerus yang akan menekan produksi asam lambung pasien. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya

aspirasi bakteri dimana bakteri/flora normal pada saluran cerna berpindah ke paru yang akan menjadi pathogen di paru.

8.4 PLAN Terdapat beberapa target terapi yang diharapkan dapat tercapai setelah pasien mendapat terapi. Secara umum targetnya adalah keadaan pasien membaik, yang ditandai dengan tidak lagi mengalami nyeri epigastrik, dengan tidak adanya nyeri epigastrik diharapkan nafsu makan pasien membaik dan pasien mendapat pasokan energi yang cukup. Selain itu juga pasien tidak lagi mengalami anemia defisiensi besi dan warna tinja kembali normal. Parameter yang harus dievaluasi untuk menilai keberhasilan terapi adalah efikasi obat dan efek samping obat, akan tetapi apabila efek sampingnya tidak mengkhawatirkan atau membahayakan dan efikasi dari obat tersebut masih lebih tinggi daripada efek sampingnya, maka efek samping tersebut dapat diabaikan. Parameter efikasi yang dapat dievaluasi antara lain apakah pasien masih mengalami nyeri epigastrik atau tidak untuk menilai keberhasilan obat omeprazole, serta nilai Hb, HCT, MCV dan serum besi pasien sudah memasuki nilai normal atau tidak untuk menilai keberhasilan pemberian ferrosulfat. Selain terapi farmakologi berupa obat-obatan, pasien juga dapat diedukasi mengenai terapi non-farmakologi dan kebiasaan sehari-hari pasien yang dapat membantu proses penyembuhan antara.lain: 1. Menghindari konsumsi makan asam, pedas, bersantan berlemak seperti masakan padang, sayur asam dan sayur lodeh. 2. Menghindari konsumsi minuman beralkohol dan rokok. 3. Tidak menggunakan obat-obatan golongan NSAID non-selektif seperti ibuprofen, asam mefenamat, aspirin dan diklofenak karena NSAID bekerja dengan menghambat sekresi enzim siklooksigenase sehingga produksi prostaglandin

pun

terhambat.

Terhambatnya

produksi

prostaglandin

menyebabkan produksi asam lambung meningkat yang lama kelamaan akan mengikis mukosa lambung. Obat-obatan tersebut dapat diganti dengan NSAID COX-2 selektif seperti celecoxib atau anti nyeri selain NSAID seperti parasetamol.

4. Pasien disarankan untuk makan dengan porsi sedikit tetapi sering, karena mengonsumsi makanan dalam jumlah banyak sekaligus merupakan pekerjaan berat bagi lambung sedangkan lambung pasien mengalami luka (ulkus). 5. Pasien disarankan untuk istirahat yang cukup, akan tetapi juga tetap harus bergerak selama masih mampu seperti ke kamar mandi sendiri. Karena apabila pasien istirahat total dan tidak bergerak sama sekali dikhawatirkan akan terjadi aspirasi atau perpindahan bakteri flora normal dalam tubuh menuju ke tempat yang tidak seharusnya yang menyebabkan bakteri tersebut menjadi pathogen dan menimbulkan penyakit lain.

9 DAFTAR PUSTAKA Aru W. Sudoyo. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FK. UI Berardy, R., & Lynda, S., 2005, Peptic Ulcer Disease, dalam Dipiro, J.T. et al., Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach, Sixth Edition, 629–648, McGraw-Hill, Medical Publishing Division by The McGraw-Hill Companies. Boedhi Darmojo. 2006. Geriatri Edisi ke-3 cetakan ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Elin yulinah, dkk. 2013. ISO farmakologi edisi ke 3. ISFI penerbit. Jakarta Fauzi A, Rani A,. 2001 Infeksi Helicobacter Pylori dan Penyakit Gastro-Duodenal. Guidelines for Referral, MedLine,; 1-20. 15. Fauzi A, Rani A A, 2006, Infeksi Helicobacter Pylori dan Penyakit Gastro-Duodenal Dalam: Sudoyo AW (ed). Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I edisi IV. BP FK UI. Jakarta. 329-334 Kang JY, Tinto A, Higham J, Majeed A. Peptic ulceration in general practice in England and Wales 1994-98: period prevalence and drug management. Aliment Pharmacol Ther 2002;16:1067-74. Kurata JH, Nogawa AN. Meta-analysis of risk factors for peptic ulcer. Nonsteroidal antiinflammatory drugs, Helicobacter pylori, and smoking. J Clin Gastroenterol 1997;24:2-17. Lacy, C. F., Armstrong, L., Golgman, M. P., Lance, L. L., 2008, Drug Information Handbook, 17th ed., Lexi Copm Inc.,New York. Pasricha, P.J. & Hoogerwerf, W.A. 2006. Pharmacotherapy of gastric acidity, peptic ulcers, and gastroesophageal reflux disease. In: Brunton, L.L., Lazo, J.S., Parker, K.L. (Eds.)

Slamet Suyono. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid Dua Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Sudaryat Suraatmaja. 2007. Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta: CV. Sagung Seto. Tarigan, P. 2001. Buku Ajar Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Tarigan, P. 2006. Tukak Gaster. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. S. K., & S. Setiati (Eds.), Ilmu Penyakit Dalam Jilid I (IV, 338–341). Jakarta: FKUI. Wilson, L.M dan Lindseth,G.M.2005. Pathophysiologi: Konsep Klinis Prosesproses Penyakit, Volome 1 Edisi 6, EGC, Jakarta.

Related Documents

Peptic Ulcer
June 2020 5
Peptic Ulcer
December 2019 30
Peptic Ulcer
December 2019 21
Peptic Ulcer Disease
July 2020 5

More Documents from "api-19916399"