Laporan Praktikum Evaluasi Nilai Biologis Pangan
PENGARUH PROTEIN RANSUM DAN PEMBERIAN TEH HIJAU TERHADAP KADAR MALONDIALDEHIDA (MDA) ORGAN HATI TIKUS PERCOBAAN PJP : Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si Asisten : Desty Gita Pratiwi, STP. Golongan/Kelompok : P4/3 Hurry Zamhoor P. (F24052173), Kamalita Pertiwi (F24052300), Riska Rudianti Dewi (F24051879), Galih Nugroho (F24052308)
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malondialdehida (MDA) merupakan produk hasil peroksidasi lipid dalam tubuh dan terdapat dalam bentuk bebas atau terkompleks dengan jaringan di dalam tubuh. Reaksi ionisasi senyawa senyawa radikal bebas juga dapat membentuk MDA dan MDA juga merupakan produk samping biosintesis prostaglandin (Bird dan Drapper, 1984). Senyawa senyawa aldehida dan keton seperti hidroksialkenal dan tentunya MDA terbentuk dari bereaksinya molekul lemak dengan asam lemak tak jenuh yang karbon metilennya telah teroksidasi, selanjutnya senyawa senyawa ini telah diketahui bersifat toksik terhadap sel. Konsentrasi MDA dalam material biologi telah digunakan secara luas sebagai indikator dan kerusakan oksidatif pada lemak tak jenuh sekaligus merupakan indikator keberadaan radikal bebas (Zakaria, 1996). Rantai asam lemak tak jenuh jamak pada lapisan fosfolipid membran diserang oleh radikal hidroksil menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Proses peroksidasi dimulai dengan terbentuknya carbon centered radical pada lapisan fosfolipid dan selanjutnya bereaksi dengan oksigen membentuk radikal bebas baru yaitu radikal bebas peroksil. Radikal peroksil cukup reaktif untuk menyerang asam lemak di sekitarnya sehingga dapat terbentuk lipid hidroperoksida dan carbon centered radikal yang baru. Cukup satu radikal hidroksil untuk merusak ratusan asam lemak tak jenuh jamak. Penimbunan hidroperoksida lipid pada membran akan menyebabkan gangguan pada fungsi sel dan sel menjadi runtuh. Hidroperoksida lipid kemudian dapat berubah
menjadi senyawa toksik yaitu aldehid, MDA, dan hidroksi nonenal. Senyawa-senyawa antioksidan dapat mencegah teroksidasinya asam lemak jenuh agar tidak membentuk lipid peroksida dan mencegah berlangsungnya reaksi berantai senyawa radikal. Daun teh memiliki senyawa antioksidan alami polifenol dengan monomernya dikenal sebagai katekin. Polifenol pada daun teh yang diproses menjadi teh hitam akan mengalami oksidasi dan polimerisasi menjadi senyawa flavanol dimer dan polimer seperti theaflavin dan thearubigin. Kedelai juga mangandung senyawa antioksidan alami yaitu isoflavon. Berbagai jenis isoflavon terkandung dalam kedelai namun jenis yang paling banyak adalah genistein dan daidzein. Analisis MDA merupakan analisis radikal bebas secara tidak langsung dan mudah dalam menentukan jumlah radikal bebas yang terbentuk. Analisis radikal bebas secara langsung sangat sulit dilakukan karena senyawa radikal sangat tidak stabil dan bersifat elektrofil dan reaksinya pun berlangsung sangat cepat (Gutteridge, 1996). Pengukuran MDA dapat dilakukan dengan pereaksi thiobarbituric acid (TBA) dengan mekanisme reaksi penambahan nukleofilik membentuk senyawa MDA-TBA (Conti et. al., 1991). Senyawa ini berwarna merah jambu yang dapat diukur intensitasnya dengan menggunakan spektrofotometer. B. Tujuan Praktikum bertujuan mengetahui pengaruh pemberian ransum protein dan pemberian air minum teh hijau terhadap kadar MDA pada organ hati tikus percobaan.
II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Sampel yang diukur kadar malondialdehidanya adalah sampel organ hati tikus percobaan yang telah diberi perlakuan ransum kasein (standar), ISP, air minum teh hitam (sariwangi celup), dan ransum nonprotein (kontrol). Setiap kelompok tikus terdiri dari 5 ekor tikus yang diberi perlakuan selama 10 hari. Reagen yang digunakan adalah larutan PBS dingin, larutan TCA 15%, TBA 0.37% dalam HCl 0.25 N, dan TEP. Alat yang digunakan yaitu tabung reaksi, cawan petri steril, penggerus steril, sentrifuse, mikropipet, pipet Mohr 5 ml dan 10 ml, waterbath, vortex, kuvet dan spektrofotometer UV-Vis. B. Metode Metode yang digunakan yaitu TBARS (Thiobarbituric Acid Reactive Substance) dengan florofotometri dan dilakukan terhadap sampel organ hati tikus. Prinsip analisis ini yaitu pemanasan akan menghidrolisis peroksida lipid sehingga MDA yang terikat akan dibebaskan dan akan bereaksi dengan TBA dalam suasana asam membentuk kompleks MDA-TBA yang berwarna merah dan diukur pada panjang gelombang 532 nm.
III. HASIL PENGAMATAN Tabel 1. Hasil pengukuran absorbansi untuk kurva standar Konsentrasi (µl/ml) Absorbansi 0,01 0,054 0,02 0,106 0,03 0,158 0,04 0,217 0,05 0,273
Gambar 1. Kurva standar Contoh perhitungan :
Prosedur Ditimbang organ hati 1 gram Ditambah larutan PBS dingin 9 ml Digerus Disentrifuse 3000 rpm, 15 menit Diambil supernatan 4 ml
Kadar MDA kelompok tikus SOY ulangan 2 : Persamaan kurva: y = 5,49x – 0,003 0,103 = 5,49x – 0,003 x = 0,0193 kadar MDA =0,0193 µl/ml Tabel 2. Hasil pengukuran kadar MDA sampel Perlakuan
Ditambah larutan TCA 15%, 1ml Ditambah 1 ml TBA 0,37% dalam HCl 0,25 N
SOY
Dipanaskan dengan waterbath, 80˚C, 15 menit Didinginkan pada suhu ruang Disentrifuse 3000 rpm 15 menit Diukur absorbansi supernatan pada 532 nm
CAS
Ulangan
Absorbansi
1 2 3 4 5 Rerata 1 2 3 4 5 6 Rerata
0,088 0,103 0,047 0,037 0,049 0,238 0,028 0,135 0,316 0,040 0,098
Kadar MDA (µL/ml) 0,0166 0,0193 0,0091 0,0073 0,0095 0,0124 0,0439 0,0056 0,0252 0,0581 0,0079 0,0184 0,0265
NON
STD
TEH
1 2 3 4 5 Rerata
0,133 0,024 0,088 0,061 0,103
0,0248 0,0049 0,0166 0,0117 0,0193 0,0155
1 2 3 4 5 Rerata 1 2 3 4 5 Rerata
0,074 0,079 0,109 0,154 0,137
0,0140 0,0150 0,0204 0,0286 0,0255 0,0207 0,0286 0,0155 0,0330 0,0166 0,0193 0,0226
0,154 0,082 0,178 0,088 0,103
IV. PEMBAHASAN Analisa kadar radikal bebas dalam praktikum ini dilakukan dengan mengukur kadar MDA organ hati tikus percobaan dengan metode spektrofotometri menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Metode ini merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk mengukur keberadaan radikal bebas dan peroksidasi lipid, mempunyai kepekaan yang cukup tinggi, mudah diaplikasikan untuk berbagai sampel pada berbagai tahap oksidasi lipid dan biayanya (Nawar, 1985). Metode ini didasarkan pada reaksi antara kompleks MDA dengan TBA dalam suasana asam yang membentuk kompleks MDA-TBA yang berwarna merah jambu yang kemudian diukur intensitasnya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 532 nm. Senyawa 1,1,3,3-tetraetoksipropana (TEP) digunakan dalam pembuatan kurva standar karena TEP dapat dioksidasi dalam suasana asam menjadi senyawa aldehid yang dapat bereaksi dengan TBA (Conti et. al., 1991). Metode ini memiliki kekurangan: banyak senyawa yang terdapat pada sampel biologis seperti karbohidrat, pirimidin, hemoglobin dan bilirubin dapat bereaksi dengan TBA membentuk senyawa yang dapat menghasilkan warna dan juga diabsorbsi pada 530 nm (Wade dan Van Ru, 1989 dalam Conti et. al. 1991). Beberapa senyawa tersebut larut dalam asam dan akhirnya
tereliminasi oleh pencucian selama proses presipitasi tetapi beberapa tidak, sehingga menyebabkan interferensi. Kemudian, selama dekomposisi termal lipoperoksida plasma menjadi MDA, asam lemak yang tidak terperoksidasi akan terperoksidasi. Inilah yang menjelaskan mengapa hasil penetapan MDA plasma tidak pernah maksimum bahkan setelah perlakuan pemanasan selama beberapa jam (Hackett et. al., 1988 dalam Conti et. al., 1991). Terakhir, dekatnya panjang gelombang eksitasi dan emisi (536 dan 549 nm) menghasilkan interferensi pada pengukuran florometri akibat difusi Rayleigh (Caraway, 1986 dalam Conti et. al., 1991). Untuk mencegahnya, bisa mengeksitasi senyawa florosens pada 515 nm tetapi akan menurunkan sensitifitas dan spesifitasnya. Kurva standar dibuat setelah pengukuran absorbansi sampel untuk mengetahui range absorbansi sampel sehingga dapat ditentukan seri konsentrasi yang digunakan, yang nilai absorbansinya dapat mencakup nilai absorbansi sampel. Kurva standar yang diperoleh adalah y=5,49x – 0,003 dengan R2=0,999. Terdapat 5 kelompok tikus yaitu kelompok tikus yang diberi ransum kasein (CAS dan STD), ransum protein (SOY), ransum tanpa protein (NON) dan ransum STD dengan air minum teh hijau (TEH). Kelima kelompok tikus tersebut ternyata menghasilkan kadar MDA yang bervariasi antar kelompok maupun sesama kelompok. Perbandingan dilakukan terhadap 2 kelompok yaitu kelompok protein (CAS, SOY, NON) dan kelompok teh (STD, TEH). Pengamatan dan perbandingan dilakukan terhadap nilai rerata kadar MDA hati tiap kelompok tikus. Organ hati menjadi sampel penentuan kadar MDA karena hati memiliki fungsi detoksifikasi. Bahan toksik yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami proses biotransformasi di hati. Proses ini akan mengubah toksikan yang larut lemak menjadi larut air sehingga mudah dikeluarkan tubuh dan berlangsung dalam dua fase. Pada fase I, toksikan akan mengalami reaksi oksidasi reduksi dan hidrolisis (Sari, 2008). Kemungkinan terbentuknya radikal bebas sangat besar, terlebih bila toksikan sulit untuk dinetralkan. Senyawa radikal yang mungkin terbentuk bisa menyerang lipid dan akhirnya berujung pada pembentukan MDA. Pemberian teh hijau dan ransum protein kedelai diharapkan mampu mengurangi kadar MDA hati sebagai bukti adanya peranan antioksidan. Berdasarkan nilai reratanya,
kelompok SOY menunjukkan kadar MDA paling rendah yaitu 0,0124 µl/ml, lebih rendah dari kelompok NON (0,0155 µl/ml) tetapi kelompok CAS memiliki kadar MDA yang paling tinggi (0,0265 µl/ml). Kelompok tikus SOY mendapatkan ransum dengan sumber protein adalah isolat protein kedelai. Di lain pihak, kelompok TEH memiliki kadar MDA rerata sebesar 0,0226 µl/ml, lebih tinggi dari kelompok STD (0,0207 µl/ml). Menurut hasil yang telah disebutkan, hanya kelompok SOY yang sesuai dengan harapan dan bisa menjadi bukti adanya peranan antioksidan kedelai yaitu isoflavon terhadap rendahnya kadar MDA hati sedangkan hal yang sebaliknya terjadi pada kelompok TEH. Tidak bisa dibilang sepenuhnya bahwa pemberian teh hijau tidak memberikan efek antioksidan sama sekali. Kemungkinan antioksidan teh bekerja di sistem dan dengan mekanisme lain yang tidak mempengaruhi kadar MDA hati tikus. Selain itu, tidak bisa dijelaskan mengapa tikus kelompok CAS memiliki kadar MDA yang tinggi. Selanjutnya, kelemahan-kelemahan metode yang digunakan pada pengukuran kadar MDA ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dapat menjadi penyebab kurang sesuainya hasil yang diperoleh. Kandungan MDA yang terdapat pada plasma darah, jaringan dan organ semisal hati biasa dijadikan biomarker terjadinya stres oksidatif in vivo dan sebagai index terjadinya peroksidasi lipid. Conti et. al. (1991) telah mengembangkan suatu teknik analisa kadar MDA yang lebih baik daripada teknik sebelumnya. Teknik ini analog dengan teknik HPLC yang dikembangkan oleh Therasse dan Lemonnier, tetapi dikembangkan metode yang lebih cepat dan sederhana sehingga bisa digunakan untuk sampel yang berjumlah banyak. Malondialdehid (MDA) direaksikan dengan diethylthiobarbituric acid (DETBA) dalam suasana asam, kemudian senyawa yang berwarna diekstrak dengan butanol dan diukur menggunakan spektroskopi florosens sinkronos yang akan meningkatkan sensitifitas dan spesifitas. Tahapan presipitasi dan pencucian tidak dilakukan karena rumit dan hanya sedikit meningkatkan spesifitas. Penetapan dengan florosens sinkronous lebih cepat dari HPLC. Sehingga teknik ini sangat cepat dan sensitif daripada metode Yagi tetapi hasilnya benar-benar berkorelasi dengan HPLC.
Banyak penelitian dengan hewan percobaan yang menggunakan metode TBARS menunjukkan bahwa pemberian teh dapat menurunkan peroksida lipid pada plasma dan jaringan. Namun pengukuran MDA dengan metode TBARS dipertanyakan karena kelemahannya terhadap spesifitas MDA pada sampel biologis dengan MDA yang terbentuk akibat osidasi ex vivo (Janero, 1990 dalam Frei dan Higdon, 2003). Telah diketahui adanya marker lain yang lebih baik sebagai marker terjadinya proses peroksidasi lipid yaitu isoprostane. Isoprostane plasma dan urin, produk non enzimatik dari asam arachidonat menjadi marker peroksidasi lipid in vivo yang sensitif dan spesifik pada hewan dan manusia (Frei dan Higdon, 2003). V. KESIMPULAN Pemberian air minum teh tidak cukup efektif menurunkan kadar MDA hati tikus percobaan. Ransum dengan protein kedelai ternyata efektif menurunkan kadar MDA hati tikus percobaan. DAFTAR PUSTAKA Bird RP dan Draper HH. 1984. Comparative Studies on Different Methods of Malonaldehyde Determination di dalam Methods in Enzymology 105: 299-304 pp Caraway, WT. 1986. Analytical Procedures and Instrumentation, section one. In: Tietz NW, ad. Textbook of Clinical Chemistry. Philadelphia: Saunders Co.,:55 :p 7 Conti, M et. al.1991. Improved Fluorometric Determination of Malonaldehyde. Clin. Chem. 37/7, 1273-1275 pp Frei, B dan Higdon, JV. 2003. Antioxidant Activity of Tea Polyphenols In Vivo: Evidence from Animal Studies. Proceedings of the Third International Scientific Symposium on Tea and Human Health: Role of Flavonoids in the Diet Gutteridge JMC, Halliwell B. 1996. Antioxidant in Nutritions Health and Disease. Oxford University Press. New York Hackett, C et. al. 1988. Plasma Malondialdehyde: A Poor Measure of in vivo Lipid Peroxidation [Letter]. Clin. Chem.;34:p 208 Janero, DR. 1990. Malondialdehyde and Thiobarbituric Acid-Reactivity as
Diagnostic Indices of Lipid Peroxidation and Peroxidative Tissue Injury. Free Radic. Biol. Med. 9: 515–540 pp Nawar, W. 1985. Lipids. di dalam Sugiman, 2000. Pengaruh Sari Jahe dalam Menghambat Oksidasi LDL Plasma Darah pada Manusia. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor Sari, Eka K. 2008. Mempelajari Khasiat Buah Merah (Pandanus conoideus Lam) Terhadap Kualitas Pertumbuhan dan Fungsi Hati Secara in vivo. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor Wade, CR. dan Van Ru, AM. 1989. Plasma Malondialdehyde, Lipid Peroxides and The Thiobarbituric Acid Reaction [Letter]. Clin. Chem.;35:p 336 Zakaria FR. 1996. Peranan Zat Gizi dalam Sistem Kekebalan Tubuh. Bul. Tek dan Ind. Pangan 7:75-81 pp