Laporan Pendahuluan Pada Typus Abdominalis.docx

  • Uploaded by: virda
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Pendahuluan Pada Typus Abdominalis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,487
  • Pages: 18
LAPORAN PENDAHULUAN PADA TYPUS ABDOMINALIS

A. Pengertian Typus Abdominalis Typus Abdominalis (deman tifoid) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna, dengan gejala demam kurang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran. Penyakit infeksi yang disebabkan dari salmonella typhosa ( salmonellosis) ialah segolongan penyakit infeksi yang disebabkan oleh sejumlah besar spesies yang tergolong dalam genus salmonella, biasanya mengenai saluran pencernaan. ( Sodikin,2011)

B. Anatomi Fisiologi Usus Halus 1. Usus Halus Usus halus (intestinum minor) merupakan bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada pylorus dan berakhir pada sekum (Syaifuddin. 2011). Panjangnya kira-kira 6 meter, merupakan saluran pencernaan yang paling panjang dari tempat proses pencernaan dan absorpsi pencernaan. Bentuk dan susunannya berupa lipatan-lipatan melingkar. Makanan dalam intestinum minor dapat masuk karena adanya gerakan dan memberikan permukaan yang lebih halus. Banyak jonjot-jonjot tempat absorpsi dan memperluas permukaannya. Pada ujung dan pangkalnya terdapat katup. Usus halus terletak dalam rongga abdomen dan dikelilingi oleh usus besar. Lapisan usus halus dari dalam keluar : a. Tunika mukosa : banyak terdapat lipatan-lipatan membentuk flika sirkularis dan vili kinnin. Vili ini banyak mengandung pembuluh darah dan limfe. Pada bagian ini terjadi penyerapan lemak yang telah di emulsi. b. Tunika propia : bagian dalam dari tunika mukosa terdapat jaringan limfoid noduli limpatisi dalam bentuk sendiri-sendiri dan berkelompok. Tipe kelompok lebih kurang 20 noduli limpatisi. Kumpulan ini disebut plak peyeri, tanda khas dari ileum. Pada penyakit tifus abdominalis plak peyeri ini sering meradang karena invasi kuman salmonella typhosa.

c. Tunika submukosa : terdapat anyaman pembuluh darah dan saraf merupakan anyaman saraf simpatis. d. Tunika muskularis : terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan otot sirkuler dan otot longitudinal. e. Tunika serosa : meliputi seluruh jejunum dan ileum.

2. Bagian dari Usus Halus Usus halus terdiri dari bagian-bagian berikut ini : a. Duodenum Bentuknya melengkung seperti kuku kuda, pada lengkungan ini terdapat pancreas. Bagian kanan dari duodenum terdapat bagian tempat bermuaranya saluran empedu dan saluran pancreas yang dinamakan papilla vateri. Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar Brunner yang memproduksi getah intestinum. b. Jejunum Panjangnya 2-3 meter berkelok-kelok terdapat sebelah kiri atas dari intestinum minor dengan perantaraan lipatan peritoneum, berbentuk kipas (mesenterium). Akar mesenterium memungkinkan keluar masuk arteri dan vena mesenterika superior. Pembuluh limfe dan saraf ke ruang antara lapisan peritoniumyang membentuk mesenterium penampang jejunum lebih lebar, dindingnya lebih tebal dan banyak mengandung pembuluh darah. c. Ileum Ujung batas antara jejunum dan ileum tidak jelas, panjangnya kira-kira 4-5 meter. Ileum merupakan usus halus yang terletak sebelah kanan bawah berhubungan dengan sekum. Tempat perantaraan dengan sekum terdapat lubang yang disebut orifisium ileosekalis. Ileum diperkuat oleh sfingter dan dilengkapi oleh sebuah katup valvula sekalis yang berfungsi untuk mencegah cairan dalam kolon asendens masuk kembali ke dalam ileum.

3. Mukosa Usus Halus Mukosa usus halus merupakan permukaan epitel yang sangat halus melalui lipatan mukosa dan mikrovili memudahkan pencernaan dan absorpsi. Lipatan ini dibentuk oleh mukosa dan submukosa yang dapat memperbesar permukaan usus halus.

4. Absorpsi Usus Halus Absorpsi makanan yang sudah dicerna berlangsung dalam usus halus melalui dua saluran pembuluh kapiler darah dan saluran limfe sebelah dalam permukaan vili. a. Karbohidrat : hidrat arang (karbohidrat) merupakan hasil akhir pencernaan karbohidrat berupa monosakarida, galaktosa, dan fruktosa. b. Protein : hasil akhir pencernaan protein berupa asam amino, absorpsi asam amino aktif lebih cepat dari asam amino pasif. c. Lemak : hasil akhir pencernaan lemak (asam lemak, gliserol, monogliserida) garam empedu membantu pencernaan dan absorpsi lemak. d. Air dan elektrolit : air dalam usus halus berasal dari makanan/minuman (kira-kira 2000 ml sehari) dan air liur pencernaan (kira-kira 7000 ml sehari). 95% dari cairan ini diserap sehingga yang hilang bersama feses hanya 200 ml. Gerakan air di lambung sangat terbatas. Pada usus halus dan usus besar dapat bergerak melalui mukosa gradient osmotik.

5. Fungsi Usus Halus a. Menyekresi cairan usus : untuk menyempurnakan pengolahan zat makanan di usus halus. b. Menerima cairan empedu dan pancreas melalui duktus kholedukus dan duktus pankreatikus. c. Mencerna makanan : getah usus dan pankreas mengandung enzim pengubah protein menjadi asam amino, karbohidrat menjadi glukosa, lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Dengan bantuan garam empedu nutrisi masuk ke duodenum. Oleh kontraksi kelenjar empedu pencernaan makanan disempurnakan. Zat makanan dipecah menjadi bentuk-bentuk yang lebih sederhana yang dapat diserap melalui dinding usus halus ke dalam aliran darah dan limfe.

d. Mengabsorpsi air garam dan vitamin, protein dalam bentuk asam amino, karbohidrat dalam bentuk monoksida. Makanan yang telah diserap tersebut akan dikumpulkan di dalam vena-vena halus kemudian berkumpul dalam vena yang besar bermuara ke dalam vena porta langsung dibawa ke hati. Di samping itu melalui sistem saluran limfe, dari seluruh limfe masing-masing akan bermuara ke dalam saluran limfe yang besar masuk ke dalam vena jugularis. e. Menggerakan kandungan usus : sepanjang usus halus oleh kontraksi segmental pendek dan gelombang cepat yang menggerakan kandungan usus sepanjang usus menjadi lebih cepat.

C. Etiologi Demam typhoid timbul akibat dari infeksi oleh bakteri golongan salmonella yang memasuki tubuh penderita melalui saluran pencernaan. 1. Salmonella thyposa, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak bersepora mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu : 

Antigen O (sematik, terdiri dari zat komplek liopolisakarida).



Antigen H (flagella).



Antigen VI dan protein membrane hialin.

2. Salmonella parathypi A. 3. Salmonella parathypi B. 4. Salmonella parathypi C. 5. Faces dan urin dari penderita thypus. (Haryono, Rudi. 2012)

D. Tanda dan Gejala 1. Sakit kepala yang luar biasa 2. Penurunan nafsu makan. 3. Nyeri pada seluruh tubuh. 4. Demam sampai dengan 40oC. 5. Lemah. 6. Diare.

7. Beberapa pasien dapat mengalami sesak nafas nyeri pada perut dan ketidaknyamanan lainnya. (Iqbal Mubarak, Wahid, dkk. 2015)

E. Patofisiologi Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5 F yaitu Food (makanan), Finger (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat) dan Feses. Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap di makanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan diri seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembangbiak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman kedalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu. Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh endotoksemia.

Tetapi

berdasarkan

penelitian

eksperimental

disimpulkan

bahwa

endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada pathogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi local pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. (Haryono, Rudi. 2012)

F. Komplikasi 1. Pada usus halus. Umumnya jarang terjadi tetapi bila terjadi sering fatal. a. Pendarahan usus. Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Jika pendarahan terjadi melena, dapat disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan. b. Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu kertiga atau setelahnya dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritotonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rongen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak. c. Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegak (defence muskulair). 2. Komplikasi di luar usus Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu meningitis, kolesistitis, ensefalopati, dan lain-lain. Terjadi karena infeksi sekunder, yaitu bronkopneumonia.

G. Pathway

Air dan makanan yang mengandung kuman salmonella typhosa mulut Saluran pencernaan Limfoid plague payeri Di ileum terminalis

usus

Pendarahan dan perforasi instentinal

Proses infeksi Merangsang peristaltik usus Perasaan tidak enak diperut, mual, muntah, anoreksia

Lamina propia

Diare

Kuman masuk aliran limfe mesentrial

Diet rendah serat

Menuju limfe dan hati

Intake tidak adekuat Penurunan absorbsi pada usus Perubahan nutrisis kurang dari kebutuhan Keterbatasan aktivitas Tirah baring lama Intoleransi aktifitas

Kuman berkembangbiak

konstipasi Kelemahan fisik

Peradangan usus

Jaringan tubuh

Nyeri tekan

peradangan Pelepasan zat pytogen Proses termoregulasi tubuh demam Peningkatan suhu tubuh

hipermetabolisme Output berlebihan Defisit volume cairan

Gangguan rasa nyaman nyeri

H. Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan Medis Pasien yang dirawat dengan diagnosis observasi typhus abdominalis harus dianggap dan diperlakukan langsung sebagai paseien typhus abdominalis dan diberikan pengobatan sebagai berikut : a. Isolasi pasien, disinfeksi pakaian dan eskreta. b. Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi, mengingatkan sakit yang lama, lemah, anoreksia, dan lain0lain c. Istirahat selama demam sampai dengan dua minggu sampai dengan suhu normal kembali (istirahat total), kemudian boleh duduk ; jika tidak panas lagi boleh berdiri kemudian berjalan diruangan d. Diet. Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein. Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan gas. Susu dua gelas sekali. Bila kesadaran pasien menurun diberikan makanan cair, melalui sonde lambung. Jika kesadaran dan nafsu makan anak baik dapat juga diberikan makanan lunak. e. Obat pilihan ialah kloramfenikol, kecuali jika pasien tidak cocok dapat dibeerikan obat lainnya seperti kontrimoksazol. Pemberian kloramfenikol dengan dosis tinggi yaitu 100 mg/kilogram bb perhari (maksimum 2 gr perhari), diberikan 4-kali sehari per oral atau intravena. Pemberian kloramfenikol dengan dosis tinggi tersebut mempersingkat waktu perawatan dan mencegah relaps. Efek negatifnya adalah mungkin pembentukan zat anti kurang karena basil terlalu cepat dimusnahkan. f. Bila terdapat komplikasi, terapi disesuaikan dengan penyakitnya. Bila terjadi dehidrasi dan asidosis diberikan cairan secara intravena dan sebagainya.

2. Penatalaksanaan Keperawatan Penyakit tifus abdominalis adalah penyakit menular yang sumber infeksinya berasal dari feses dan urine, sedangkan lalat sebagai pembawa atau penyebar dari kuman tersebut. Pasien tifoid harus dirawat di kamar isolasi yang dilengkapi dengan peralatan untuk merawat pasien yang menderita penyakit menular, seperti desinfektan

untuk mencuci tangan, merendam pakaian kotor dan pot atau urinal bekas pakai pasien. Yang merawat atau sedang menolong pasien agar memakai celemek. Masalah pasien tifus abdominalis yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan nutrisi/cairan dan elektrolit, gangguan suhu tubuh, gangguan rasa aman dan nyaman, risiko terjadi komplikasi, kurang pengetahuan orang tua mengenai penyakit. a. Kebutuhan nutrisi/cairan dan elektrolit. Pasien tifus abdominalis umumnya menderita gangguan kesadaran dari apatik sampai soporo-koma, delirium disamping anoreksia dan demam lama. Keadaan ini menyebabkan kurangnya masukan nutrisi/cairan sehingga kebutuhan nutrisi yang penting untuk masa penyembuhan berkurang pula dan memudahkan timbulnya komplikasi. Diet yang diberikan ialah makanan yang mengandung cukup cairan, rendah serat, tinggi protein dan tidak menimbulkan gas. Pemberiannya melihat keadaan pasien. 1. Jika kesadaran pasien masih baik, diberikan makanan lunak demngan lauk pauk dicincang (hati,daging), sayuran labu siam/wortel yang dimasak lunak sekali. Boleh juga diberi tahu, telur setengah matang/matang direbus. Susu diberikan 2x1 gelas/ lebih, jika makanan tidak habis diberikan ekstra susu. 2. Pasien yang kesadarannya menurun sekali diberikan makanan cair per sonde, kalori sesuai dengan kebutuhannya. Pemberiannya diatur setiap 3 jam termasuk makanan ekstra seperti sari buah, bubur kacang hijau yang dihaluskan. Jika kesadaran membaik makanan beralih secara bertahap ke lunak. 3. Jika pasien payah, seperti menderita delirium, dipasang infuse dengan cairan glukosa dan NaCl. Jika keadaan sudah tenang berikan makanan per sonde disamping infuse masih diteruskan. Makanan per sonde biasanya merupakan setengah dari jumlah kalori, setengahnya masih per infus. Secara bertahap dengan melihat kemajuan pasien, beralih kemakanan biasa. b. Gangguan suhu tubuh Pasien tifus abdominalis menderita demam lama, pada kasus yang khas demam dapat sampai 3 minggu. Keadaan tersebut dapat menyebabkan kondisi tubuh lemah, dan mengakibatkan kekurangan cairan, karena perspirasi, yang meningkat.

Pasien dapat menjadi gelisah, selaput lendir mulut dan bibir menjadi kering dan pecah-pecah. Penyebab deman karena adanya infeksi basil salmonella typhosa, maka untuk menurunkan suhu tersebut hanya dengan memberikan obatnya secara adekuat, istirahat mutlak sampai suhu turun diteruskan 2 minggu lagi, kemudian mobilisasi bertahap. c. Gangguan rasa aman dan nyaman Gangguan rasa nyaman pasien tifus abdominalis sama dengan pasien lain , yaitu karena penyakitnya serta keharusan istirahat di tempat tidur , jika ya sudah dalam penyembuhan. Khusus pada pasien tifus, karena lidah kotor, bibir kering, dan pecah – pecah menambah rasa tak nyaman disamping juga menyebabkan tak nafsu makan. Untuk itu pasien perlu dilakukan perawatan mulut 2 kali sehari, oleskan boraks gliserin (cream) dengan sering dan sering berikan minuman. Karena pasien apatis harus lebih diperhatikan dan diajak berkomunikasi. Jika pasien dipasang sonde perawatan mulut tetap dilakukan dan sekali-kali juga diberikan minum agar selaput lender mulut dan tenggorokan tidak kering. Selain itu sebagai akibat lama berbaring setelah mulai berjalan, mula – mula akan terasa seperti kesemutan. Oleh karena itu, sebelum mulai berjalan harus mulai dengan menggoyang goyangkan kakinya dahulu sambil duduk di pinggir tempat tidur, kemudian berjalan di sekitar tempat tidur sambil berpegangan. d. Resiko komlikasi Penyakit tifus abdominalis menyebabkan kelainan berupa tukak pada mukosa halus dan dapat menjadi penyebab timbulnya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus jika tidak mendapatkan pengobatan, diet, dan perawatan yang adekuat.Yang perlu diperhatikan untuk mencegah komplikasi adalah : 1. Obat 2. Istirahat 3. Pengawasan komplikasi 

Perdarahan usus



Perforasi usus



Komplikasi lain

e. Kurang pengetahuan orang tua mengenai penyakit Dewasa ini pasien tifus abdominalis yang ringan serta orang tua sanggup dan mengerti dapat dirawat dirumah. Untuk pemeriksaan darah pasien dibawa ke laboratorium tetapi tidak boleh berjalan. Perwatannya seperti yang dilakukan dirumah sakit , ialah : 1. Pasien tidak boleh tidur dengan anak – anak lain. 2. Pasien juga harus istirahat mutlak sampai demam turun masih dilanjutkan selama 2 minggu . 3. Pemberian obat, pengukuran suhu dilakukan seperti dirumah sakit. 4. Pembuangan feses dan urine harus dibuang kedalam lubang wc dan disiram air sebanyak-banyaknya. Selain penjelasan mengenai perawatan pasien dirumah, penyluhan yang perlu diberikan kepada orang tua pasien adalah penjelasan mengenai : 

Penyebab dan cara penularan penyakit tifus abdominalis serta bahaya yang dapat terjadi.



Pentingnya menjaga kesehatan dengan memelihara kebersihan lingkungan sewerta minum air yang bersih dan dimasak mendidih.



Anak agar dibiasakan buang air besar di wc.



Anak yang sudah sekolah supaya dinasehatkan jangan membeli makanan yang tidak ditutup atau tidak bersih.

I. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Fokus Pengkajian a. Identitas Didalam identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, no. registrasi, status perkawinan, agama, pekerjaan, tinggi badan, berat badan, tanggal MR. b. Keluhan Utama Pada pasien thypoid biasanya mengeluh perut merasa mual dan kembung, nafsu makan menurun, panas dan demam.

c. Riwayat Penyakit Dahulu Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit thypoid, dan apakah menderita penyakit lainnya d. Riwayat Penyakit Sekarang Pada umumnya pasien thypoid mengalami demam, anoreksia, mual, muntah, diare, perasaan tidak enak di perut, pucat (anemi), nyeri kepala/pusing, nyeri otot, lidah kotor, gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma. e. Riwayat Kesehat Keluarga Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah menderita thypoid atau sakit yang lainnya. f. Riwayat Psikososial Psikososial sangat berpengaruh sekali terhadap psikologis pasien, dengan timbul gejala-gejala yang dialami, apakah pasien dapat menerima pada apa yang dideritanya. g. Pola-Pola Fungsi Kesehatan 1. Pola nutrisi dan metabolisme Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit, lidah kotor, dan rasa pahit waktu makan sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi berubah. 2. Pola aktifitas dan latihan Pasien akan terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik serta pasien akan mengalami keterbatasan gerak akibat penyakitnya,

3. Pola tidur dan aktifitas Kebiasaan tidur pasien akan terganggu dikarenakan suhu badan yang meningkat, sehingga pasien merasa gelisah pada waktu tidur. 4. Pola eliminasi Kebiasaan dalam BAK akan terjadi retensi bila dehidrasi karena panas yang meninggi, konsumsi cairan yang tidak sesuai dengan kebutuhan. 5. Pola reproduksi dan seksual Pada pola reproduksi dan seksual pada pasien yang telah atau sudah menikah akan terjadi perubahan. 6. Pola persepsi dan pengetahuan Bagaimanakah persepsi terhadap status kesehatan saat ini dan sampai sejauh mana pasien mengalami penyakit dan perawatannya. 7. Pola konsep diri Adakah gangguan konsep diri. 8. Pola penanggulangan stress Kaji apakah yang biasa dilakukan pasien dalam menghadapi setiap stressor. 9. Pola hubungan interpersonal Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan interpersonal dan mengalami hambatan dalam menjalankan perannya selama sakit. 10. Pola tata nilai dan kepercayaan Adakah gangguan dalam pelaksanaan ibadah sehari-hari.

h. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum Biasanya pada pasien thypoid mengalami badan lemah, panas, pucat, mual, perut tidak enak, anoreksia. 2. Kepala Konjungtiva anemia, mata cowong, muka pucat/bibir kering, lidah kotor. 3. Dada dan abdomen Di daerah abdomen ditemukan nyeri tekan.

4. System integument Turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, akral hangat. 5. Sistem eliminasi Pada pasien thypoid kadang-kadang diare atau konstipasi, produksi kemih pasien bisa mengalami penurunan (kurang dari normal).

2. Diagnosa Keperawatan yang Muncul 1. Diagnosis I Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan adanya zat pirogen dalam thermostat sekunder terhadap proses infeksi salmonella typhosa. 2. Diagnosis II Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi (defisit) berhubungan dengan gangguan fungsi digestif absorbsi nutrisi. 3. Diagnosis III Gangguan eliminasi alvi (diare/konstipasi) berhubungan dengan proses inflamasi. Iritasi dan malabsorbsi usus gangguan eliminasi alvi (konstipasi) yang berhubungan dengan proses peradangan usus halus. 4. Diagnosis IV Gangguan pemenuhan istirahat tidur berhubungan dengan faktor hospitalisasi, diare dan konstipasi.

3. Intervensi dan Rasionalisasi 1. Diagnosis I a. Jelaskan pada keluarga tentang penyebab dari peningkatan suhu tubuh. Rasionalisasi : pengetahuan yang memadai meningkatkan kooperasi keluarga. b. Pertahankan ventilasi yang cukup dalam ruangan. Rasionalisasi : dengan ventilasi yang cukup pertukaran udara lebih baik. c. Beri kompres dingin. Rasionalisasi : dengan pemberian kompres dingin terjadi proses konduksi.

d. Anjurkan untuk menggunakan pakaian tipis dan menyerap keringat. Rasionalisasi : evaporasi adalah perubahan cairan menjadi uap sehingga keringat yang keluar dapat dengan mudah menguap atau diserap oleh kain tipis. e. Observasi gejala kardinal. Rasionalisasi : mendeteksi secara dini perkembangan klien. f. Lakukan kolaborasi pemberian obat-obatan golongan antipiretik bila dengan intervensi perawatan suhu tidak turun. Rasionalisasi : antipiretik berpengaruh terhadap pusat pengatur suhu sehingga dapat menurunkan suhu tubuh.

2. Diagnosis II a. Diskusikan dengan keluarga tentang diet yang harus diberikan pada anak (mudah cerna). Rasionalisasi : penjelasan yang adekuat pada keluarga meningkatkan kooperasi dalam tindakan keperawatan. b. Dorong tirah baring atau pembatasan aktivitas selama fase akut. Rasionalisasi : menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah penurunan kalori dan simpanan energi. c. Berikan makanan dengan porsi kecil dan frekuensi sering (6x24 jam). Rasionalisasi : porsi kecil menyebabkan pengurangan tegangan lambung. d. Berikan diet sesuai dengan kondisi klien. Rasionalisasi : meminimalkan fungsi usus selama proses akut serta diet TKTP rendah serat yang protein perlu untuk penyembuhan integritas jaringan, serta rendah serat menurunkan respons peristaltik terhadap makanan. e. Catat masukan dan pengeluaran. Rasionalisasi : memberikan rasa kontrol pada klien dan kesempatan untuk memilih makanan yang diinginkan sesuai dengan kondisi klien dapat meningkatkan masukan. f. Lakukan kolaborasi dengan pemberian nutrisi parental bila nutrisi peroral sulit dicapai. Rasionalisasi : program ini mengistirahatkan saluran gastrointestinal sementara memberikan nutrisi penting.

3. Diagnosis III a.

Observasi dan catat frekuensi defekasi, karakteristik, jumlah dan faktor pencetus. Rasionalisasi : membantu membedakan penyakit individu dan mengkaji besarnya episode.

b. Tingkatkan tirah baring. Rasionalisasi : istirahat menurunkan motilitas usus juga menurunkan metabolisme bila infeksi atau perdarahan sebagai komplikasi. c. Buang feses dengan cepat dan berikan pengharum ruangan. Rasionalisasi : menurunkan bau tidak sedap untuk menghindari rasa mual pasien. d. Indentifikasi makanan dan cairan yang mencetuskan diare. Rasionalisasi : iritasi dapat meningkatkan istirahat usus. e. Mulai lagi pemasukan cairan per oral secara bertahap. Rasionalisasi : memberikan istirahat kolon dengan menghilangkan rangsangan makanan. Makan kembali secara bertahap cairan mencegah diare berulang. f. Lakukan kolaborasi dengan medik untuk pemberian antikolinergik, antibiotik, dan antasida.

Rasionalisasi

:

antikolinergik

berguna

menurunkan

motilitas

gastrointestinal dan menurunkan sekresi digestif untuk menghilangkan kram dan diare. Antasida berguna untuk menurunkan iritasi gaster mencegah inflamasi dan menurunkan risiko infeksi. Antibiotik berguna untuk mengobati infeksi supuratif lokal.

4. Diagnosis IV a. Identifikasi faktor-faktor penyebab dan penunjang. Rasionalisasi : menentukan tindakan selanjutnya. b. Ciptakan lingkungan yang nyaman dengan cara mengurangi kebisingan membatasi kunjungan. Rasionalisasi : kebisingan dan kunjungan merupakan stimulasi eksterna yang berpengaruh pada pola istirahat/tidur bagi klien. c. Tingkatkan tidur dengan menguatkan bantuan sesuai kebiasaan di rumah. Rasionalisasi : adaptasi terhadap lingkungan yang baru memerlukan perhatian dan dukungan dari keluarga dengan modifikasi kebiasaan anak sebelum tidur seperti dirumah.

d. Jelaskan waktu malam pada anak. Rasionalisasi : waktu malam merupakan waktu untuk beristirahat atau tidur. e. Berikan anak lampu malam atau senter. Rasionalisasi : lampu malam digunakan agar anak dapat mengontrol kegelapan. 4. Evaluasi Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Adapun tipe-tipe evaluasi yang harus perawat lakukan dalam asuhan keperawatan kepada klien meliputi : evaluasi masalah kolaboratif yaitu mengumpulkan data yang telah dipilih, membandingkan data untuk mencapai data normal. Menilai data yang di dapat dengan nilai normal. Evaluasi diagnosis keperawatan dan peningkatan pencapaian tujuan dan evaluasi dari status perencanaan keperawatan dan hasil yang di dapat.

Daftar Pustaka : Haryono, Rudi. 2012. Keperawatan Medikal Bedah Sistem Pencernaan. Yogyakarta : Gosyen Publishing. Syaifuddin. 2011. Anatomi Fisiologi Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk Keperawatan dan Kebidanan. Jakarta : EGC. Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta : EGC. Sodikin. 2011. Asuhan Keperawatan Anak Gangguan Sistem Gastrointestinal dan Hepatobilier. Jakarta : Salemba Medika. Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. 2015. Standar Asuhan Keperawatan dan Prosedur Tetap dalam Praktik Keperawatan Konsep dan Aplikasi dalam Praktik Klinik. Jakarta : Salemba Medika.

Related Documents


More Documents from "Muharruddin"