LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN KARSINOMA NASOFARING (KNF)
FAISAL ALI 161030
LAPORAN PENDAHULUAN KARSINOMA NASOFARING
DEVINISI Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel ephitalial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis (Mangan, 2009). Nasofaring adalah suatu rongga dengan dinding kuku di atas, belakang dan lateral yang anatomi termasuk bagian faring (Pearce, 2009). Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh pada ephitalial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan belakang langit-langit rongga mulut dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas daerah kepala dan leher merupakan kanker nasofaring., kemudian diikuti tumor ganas hidung dan paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah (Huda Nurarif & Kusuma, 2013). Karsinoma Nasofaring sebagian besar adalah tipe epidermoid dengan potensi invasi ke dasar tulang tengkorang yang menyebabkan neuropati kranial (Lucente, 2011). Pada banyak klien, karsinoma nasofaring banyak terdapat pada ras monggoloid yaitu penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Thailand, Malaysia, dan Indonesia juga di daerah India. Ras kulit putih jarang ditemui terkena kanker jenis ini. Selain itu kanker nasofaring juga merupakan jenis kanker yang ditemukan secara genetik (Mangan, 2009).
2.2 Etiologi karsinoma nasofaring Kanker ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3-1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubugannya dengan faktor genetic, kebebasan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yang bervariasi. Pada daerah dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun setelahnya (Ernawati, Kadrianti, & Basri, 2004).
Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya kanker nasofaring adalah (Mangan, 2009): 1.
Kerentanan Genetik
Walaupun Ca Nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap Ca Nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki fenomena agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA ( Human luekocyte antigen ) dan gen pengode enzim sitokrom p4502E ( CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap Ca Nasofaring, mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar Ca Nasofaring . Penelitian menunjukkan bahwa kromosom pasien Ca Nasofaring menunjukkan ketidakstabilan, sehingga lebih rentan terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari lingkungan dan timbul penyakit. 2.
Virus Epstein Barr
Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik seperti antigen kapsid virus (VCA), antigen membran (MA), antigen dini (EA), antigen nuklir (EBNA), dll. Virus EB memiliki kaitan erat dengan Ca Nasofaring , menurut (Zulkarnain Haq, 2011) alasannya adalah: a. Di dalam serum pasien Ca Nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB ( termasuk VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll ) , dengan frekuensi positif maupun rata-rata titer geometriknya jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan penderita jenis kanker lain, dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor . Selain itu titer antibodi dapat menurun secara bertahap sesuai pulihnya kondisi pasien dan kembali meningkat bila penyakitnya rekuren atau memburuk. b. Di dalam sel Ca Nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB seperti DNA virus dan EBNA. c. Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung virus EB, ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat , gambaran pembelahan inti juga banyak. d. Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring fetus manusia. Virus Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus ini dapat masuk dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus
menerus mulai dari masa kanak-kanak. Mediator yang berpengaruh untuk timbulnya Ca Nasofaring : 1.
Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine.
2.
Keadaan social ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan Zat karsinogen ( benzopyrenen, benzoantrance, gas kimia, asap industri, asap kayu, beberapa ekstrak tumbuhan). 4.
Ras dan keturunan (Malaysia, Indonesia)
5.
Radang kronis nasofaring
6.
Profil HLA
(Huda Nurarif & Kusuma, 2013) 3.
Faktor Lingkungan (Zulkarnain Haq, 2011)
Faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat berikut berkaitan dengan timbulnya Ca Nasofaring : 1. Hidrokarbon aromatik, pada keluarga di area insiden tinggi kanker nasofaring , kandungan 3,4- benzpiren dalam tiap gram debu asap mencapai 16,83 ug, jelas lebih tinggi dari keluarga di area insiden rendah. 2. Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinognesis pada proses timbulnya kanker nasofaring. 3. Golongan nitrosamin : banyak terdapat pada pengawet ikan asin. Terkait dengan kebiasaan makan ikan asin waktu kecil, di dalam air seninya terdeteksi nitrosamin volatil yang berefek mutagenik.
Pembagian Karsinoma Nasofaring (Huda Nurarif & Kusuma, 2013) -
Menurut Histopatologi :
1.
Well differentiated epidermoid carconoma
·
Keratinizing
·
Non Keratinizing
2.
Undiffentiated epidermoid carcinoma = anaplastic carcinoma
3.
Adenocystic carcinoma
‐
1.
Ulseratif
2.
Eksofilik : Tumbuh keluar seperti polip
3.
Endofilik : Tumbuh di bawah mukosa, agar sedikit lebih tinggi dari jaringan sekitar
‐
Menurut bentuk dan cara tumbuh
Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982)
Tipe WHO 1 ·
Karsinoma sel skuamosa (KSS)
·
Deferensiasi baik sampai sedang
·
Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan)
Tipe WHO 2 ·
Karsinoma non keratinisasi (KNK)
·
Paling banyak pariasinya
·
Menyerupai karsinoma transisional
Tipe WHO 3 ·
Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD)
· Seperti antara lain limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, “Clear Cell Carsinoma”, varian sel epitel ·
Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik
2.3 Anatomi fisiologi nasofaring Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral, terletak di bawah dasar tengkorak, belakang naris posterior, dan di atas palatum mole (Pearce, 2009). 4 batas nasofaring (Gibson, 2002) : ·
Superior : Basis krani, diliputi oleh mukosa dan fascia
· Inferior : Bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum
·
Anterior : Choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri
· Posterior : vertebra servicalis I dan II, Fascia space rongga yang berisi jaring longgar, Mukosa lanjutan dari mukosa atas · Lateral : Mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang, Muara tuba eustachii, Fossa rosenmulleri Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarus dan dibelakannya terdapat suatu lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah (Anas, 2008). Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial (Pratiwi, 2012). Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Nasofaring akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu (Pratiwi, 2012). Struktur penting yang ada di Nasofaring (Gunardi & Saputra, 2012) 1.
Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena cartilago tuba auditiva 3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum yang disebabkan karena musculus levator veli palatini 4.
Plica salpingopalatina. Lipatan di depan torus tubarius
5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari musculus salpingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan 6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi Karsinoma Nasofaring
7. Tonsila Pharingea, dibentuk oleh jaringan limfoid yang terbenam di dinding posterior nasopharing. Disebut adenoid jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflamasi disebut adenoiditis 8.
Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus
9. Isthmus pharinggeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan oropharing karena musculus sphincterpalatopharing 10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei
Fungsi nasofaring § Sebagai jalan udara pada respirasi § Jalan udara ke tuba eustachii § Resonator § Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung
2.4 Tanda dan gejala karsinoma nasofaring Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari nasofaring termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke dalam ataupun keluar nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau posterosuperior dari dasar tulang tengkorok atau palatum, rongga hidung atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening servikal. Metastase jauh dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati (jarang). Gejala yang akan timbul tergantung pada daerah yang terkena. Sekitar separuh pasien memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar 10% asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar getah bening leher atas yang nyeri merupakan gejala yang paling sering dijumpai. Gejala dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip dengan saluran nafas atas (Lucente, 2011). Pada Karsinoma nasofaring, paresis fasialis jarang menjadi manifestasi awal. Karena lokasinya, karsinoma nasofaring menimbulkan sindrom penyumbatan tuba dengan tuli konduktif sebagai keluhan. Perluasan infiltratif karsinoma nasofaring berikutnya membangkitkan perdarahan dan penyumbatan jalan lintasan napas melalui hidung. Setelah itu, pada tahap berikutnya dapat timbul gangguan menelan dan kelumpuhan otot mata luar (paralisis okular) (Muttaqin, 2008). Gejala nasofaring yang pokok adalah (Huda Nurarif & Kusuma, 2013) :
1. ·
Gejala Hidung Epiktasis : rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi perdarahan
· Sumbatan Hidung : sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam rongga nasofaring dan menutupi koana, gejalanya adalah pilek kronis, ingus kental, gangguan penciuman 2.
Gejala Telinga
· Kataralis/Oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula pada fossa rosenmuler, pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba (berdengung, rasa penuh, kadang gangguan pendengaran) ·
Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran
· Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran menurun, dan dengan tes rinne dan webber, biasanya akan ditemukan tuli konduktif 3.
Gejala Mata
· Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan 4.
Gejala Lanjut
· Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapt mencapai kelenjar limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar ini sel tumbuh dan berkembang biak hingga kelenjar membesar dan tampak benjola di leher bagian samping, lamakelamaan karena tidak dirasakan kelenjar akan berkembang dan melekat pada otot sehingga sulit digerakkan 5.
Gejala Kranial
Gejala Kranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf kranialis. Gelajanya antara lain : · Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara hematogen ·
Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang
·
Kerusakan pada waktu menelan
·
Afoni
· Sindrom Jugular Jackson atau sindrom reptroparotidean mengenai N. IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada Lidah, palatum, Faring atau laring, M. Sternocleidomastoideus, dan M. trapezeus
2.5 Patofisiologi karsinoma nasofaring Sel-sel epitel ganas nasofaring adalah sel poligonal besar dengan komposisi syncytial. Sel-sel tidak menunjukkan parakeratosis atau kornifikasi dan sering bercampur dengan sel-sel limfoid di nasofaring, sehingga dikenal sebagai lymphoepithelioma. Sudah hampir dipastikan ca nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada penderita ca. nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protin tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1 adalah protein nuclear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut mampu aktif dikarenakan konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen yang menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten(EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller (Wei & Sham, 2005). Penggolongan Ca Nasofaring (Huda Nurarif & Kusuma, 2013) : Tumor Size (T) 1.
T : Tumor primer
2.
T0 : Tidak tampak tumor
3.
T1 : Kanker terbatas di rongga nasofaring
4. T2 : Kanker menginfiltrasi kavum nasal, orofaring atau di celah parafaring di anterior dari garis SO ( garis penghubung prosesus stiloideus dan margo posterior garis tengah foramen magnum os oksipital ). 5. T3 : Kanker di celah parafaring di posterior garis SO atau mengenai basis kranial, fosa pterigopalatinum atau terdapat rudapaksa tunggal syaraf kranial kelompok anterior atau posterior. 6. T4 : Saraf kranial kelompok anterior dan posterior terkena serentak, atau kanker mengenai sinus paranasal, sinus spongiosus, orbita, fosa infra-temporal.
Regional Limfe Nodes (N) 7.
N0 : Belum teraba pembesaran kelenjar limfe .
8.
N1 : Kelenjar limfe koli superior berdiameter < 4 cm.
9.
N2 : Kelenjar koli inferior membesar atau berdiameter 4-7 cm.
10. N3 : Kelenjar limfe supraklavikular membesar atau berdiameter > 7 cm Metastase Jauh (M) 11. M0 : Tak ada metastasis jauh. 12. M1 : Ada metastasis jauh. Penggolongan stadium klinis, antara lain : 1.
Stadium I
: T1N0M0
2.
Stadium II
: T2N0 – 1M0, T0 – 2N1M0
3.
Stadium III
: T3N0 - 2M0, T0 – 3N2M0
4.
Stadium Iva
: T4N0 – 3M0, T0 – 4N3M0
5.
Stadium Ivb
: T apapun, N Apapun, M1
2.6 Pencegahan Karsinoma nasofaring 1. Ciptakan lingkungan hidup dari lingkungan kerja yang sehat, serta usahakan agar pergantian udara lancar. 2. Hindari polusi udara, seperti kontak dengan gas hasil kimia, asap industri, asap kayu, asap rokok, asap minyak tanah, dan polusi lain yang mengaktifkan virus Epstein Bar. 3. Hindari mengkonsumsi makanan yang diawetkan, makanan yang panas, atau makanan yang merangsang selaput ledir. (Mangan, 2009)
Pemeriksaan Penunjang Untuk mencapai diagnosis dini harus melaksanakan hal berikut (Lucente, 2011) : 1.
Tindakan kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien.
Pasien dengan epiktasis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli unilateral, limfadenopati leher tak nyeri, sefalgia, rudapaksa saraf kranial dengan kausa yang tak jelas, dan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga nasofaringya dengan nasofaringoskop indirek atau elektrik. 2.
Pemeriksaan kelenjar limfe leher.
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai vena jugularis interna, rantai nervus aksesorius dan arteri vena transvesalis koli apakah terdapat pembesaran. 3.
Pemeriksaan saraf kranial
Terhadap saraf kranial tidak hanya memerlukan pemeriksaan cermat sesuai prosedur rutin satu persatu , tapi pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah dan lidah kadang perlu diperiksa berulang kali, barulah ditemukan hasil yang positif 4.
Pemeriksaan serologi virus EB
Dewasa ini, parameter rutin yang diperiksa untuk penapisan kanker nasofaring adalah VCA-IgA, EA-IgA, EBV-DNAseAb. Hasil positif pada kanker nasofaring berkaitan dengan kadar dan perubahan antibodi tersebut. Bagi yang termasuk salah satu kondisi berikut ini dapat dianggap memilki resiko tinggi kanker nasofaring : i.
Titer antibodi VCA-IgA >= 1:80
ii. Dari pemeriksaan VCA-IgA, EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga indikator tersebut positif. iii. Dua dari tiha dari indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer yang tinggi kontinyu atau terus meningkat. Bagi pasien yang memenuhi patokan tersebut , harus diperiksa teliti dengan nasofaringoskop elektrik , bila perlu dilakukan biopsi. Yang perlu ditekankan adalah perubahan serologi virus Eb dapat menunjukkan reaksi positif 4 – 46 bulan sebelum diagnosis kanker nasofaring ditegakkan.
Diagnosis pencitraan (Lucente, 2011). 1. Pemeriksaan CT Scan : makna klinis aplikasinya adalah membantu menggambarkan invasi baik ke bidang fasial paranasofaringeal dan invasi tulang tengkorak tanpa kelumpuhan nervus kranialis, memastikan luas lesi, penetapan stadium secara adekuat, secara tepat menetapkan zona target terapi, merancang medan radiasi, memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaan tingkat lanjut (Schwartz, 2000). 2. Pemeriksaan MRI : MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat serentak membuat potongan melintang, sagital, koronal, sehingga lebih baik dari pada CT. MRI selai dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi tumor , MRI juga lebih bermanfaat . a. Pencitraan tulang seluruh tubuh : berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan rongtsen biasa atau CT, umumnya lebih dini 4-6 bulan dibandingkan rongsen. Setelah dilakukan bone-scan, lesi umumnya tampak sebagai akumulasi radioaktivitas, sebagian kecil tampak sebagai area defek radioaktivitas. Bone-scan sangat sensitif untuk metastasis tulang, namun tidak spesifik . maka dalam menilai lesi tunggal akumulasi radioaktivitas , harus memperhatikan riwayat penyakit, menyingkirkan rudapaksa operasi, fruktur, deformitas degeneratif tulang, pengaruh radio terapi, kemoterapi, dll. b. PET (Positron Emission Tomography) : disebut juga pencitraan biokimia molukelar metabolik in vivo. Menggunakan pencitraan biologismetabolisme glukosa dari zat kontras 18-FDG dan pencitraan anatomis dari CT yang dipadukan hingga mendapat gambar PET-CT . itu memberikan informasi gambaran biologis bagi dokter klinisi, membantu penentuan area target biologis kanker nasofaring , meningkatka akurasi radioterapi, sehingga efektifitas meningkat dan rudapaksa radiasi terhadap jaringan normal berkurang. Diagnosis histologi (Zulkarnain Haq, 2011) Pada pasien kanker nasofaring sedapat mungkin diperoleh jaringan dari lesi primer nasofaring untuk pemeriksaan patologik. Sebelum terapi dimulai harus diperoleh diagnosis histologi yang jelas. Hanya jika lesi primer tidak dapat memeberikan diagnosis patologik pasti barulah dipertimbangkan biopsi kelenjar limfe leher. Pemeriksaan adanya kanker nasofaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan nasofaringoskopi, Rinoskopi anterior dan posterior menujukkan tumor pada nasofaring. Selanjutnya untuk menentukan jenis tumor perlu diadakan biopsi dan pemeriksaan
patologi. Foto rontgen kepala dan CT-scan jika perlu dibuat untuk melihat metastasis ke intrakranial (Herawati & Rukmini, 2000).