BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Saat ini bidang ilmu geologi mulai memiliki peranan sangat penting dikalangan
masyarakat, khususnya inFormasi mengenai kondisi geologi yang berkembang dan bekerja di daerah tersebut. Dari perkembangan dan kemajuan ilmu ini akan mendorong para ahli untuk melakukan penelitian secara regional, namun masih diperlukan suatu penelitian yang lebih detail guna melengkapi data geologi yang telah ada mencakup kondisi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi serta aspek geologi teraplikasi lainnya. Dengan mengetahui kondisi geologi, suatu wilayah dapat dikembangkan dan ditata secara bijaksana, sehingga secara optimal dapat memberikan kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan kepada para penghuninya, baik manusia maupun makhluk hidup yang lain secara berkesinambungan. Untuk dapat mengetahui kondisi geologi di suatu daerah, ahli geologi harus memiliki dasar geologi yang kuat, menyeluruh dan terintegrasi, serta mampu memanfaatkan pengetahuan dasar tersebut untuk melakukan pemetaan geologi. Pemetaan juga merupakan hal yang sangat dasar tetapi sangat krusial untuk seorang geologist. Karena pada dasarnya, peta merupakan nyawa dari ilmu geologi. Tanpa peta, baik peta dasar maupun peta geologi, seorang geologist tidak akan dapat melaksanakan tugasnya seperti eksplorasi atau lain sebagainya. Pemetaan itu sendiri berarti memetakan suatu daerah menjadi peta yang berisi berbagai inFormasi geologi yang dibutuhkan seperti satuan batuan yang berada di bawah permukaan atau sumber daya energi yang terkandung didalamnya. Berdasarkan hal diatas, maka dilakukan pemetaan geologi untuk mengetahui kondisi geologi khususnya pada daerah Berambai Tingkat 17 dan sekitarnya, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, provinsi Kalimantan Timur.
1.2
Maksud dan Tujuan
1
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengaplikasikan teori dan materi yang didapatkan dibangku perkuliahan pada aplikasi dilapangan maupun di dunia kerja. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi, geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi serta sejarah geologi pada daerah penelitian.
1.3
Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian Secara Administratif daerah penelitian pemetaan geologi ini dilaksanakan di
daerah Berambai dan Sekitarnya, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur. Secara geografis daerah penelitian berada di dua wilayah Kota/Kabupaten antara Kota Samarinda yang berada pada wilayah selatan daerah penelitian dan Kabupaten Kutai Kartanegara berada pada wilayah utara daerah penelitian. Sedangkan secara geografis lokasi penelitian ini terletak pada koordinat dalam zona UTM WGS 84 50 S adalah 9960200 mN – 9964200 Mn dan 515200 mN – 519200 mN. Luas daerah penelitian adalah kurang lebih 16 km2 persegi, lebar dari Utara ke Selatan 4 km dan panjang dari Timur ke Barat 4 km. (Gambar 1.1). Untuk menuju lokasi daerah penelitian dapat diakses melalui jalur darat melewati jalan KH. Wahid Hasyim II menuju jalan Batu Besaung dan terus menuju jalan poros Samarinda-Muara Badak, yang ditempuh dengan jarak ±16 Km atau dalam waktu kurang lebih 40 menit dengan kondisi jalan yang sedikit rusak menggunakan kendaraan roda 2 (dua) pada titik start berada di kampus Teknik Universitas Mulawarman.
2
Lokasi Penelitian
Indeks Peta
N a
b
Gambar 1.1 Lokasi penelitian Berambai. a. Citra b. Geologi regional daerah penelitian (tanpa skala).
1.4
Rumusan Masalah Sesuai dengan judul yang diajukan sebagai topik penelitian yaitu “Geologi Daerah
Berambai Tingkat 17 dan Sekitarnya, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur”, maka akan timbul beberapa permasalahan yang akan terkait dengan pembahasan sehingga perlu dibuat suatu batasan terhadap rumusan masalah yaitu:
Bagaimana geomorfologi di daerah penelitian?
Bagaimana stratigrafi di daerah penelitian?
Apa struktur geologi yang terbentuk di daerah penelitian?
Bagaimana sejarah geologi di daerah penelitian 3
1.5
Apa saja potensi geologi di daerah penelitian?
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi tinjauan masalah tatanan geologi baik
kondisi geomorfologi struktur geologi. Permasalahan umum pada daerah penelitian, dibatasi pada tiga hal utama, yaitu:
Geomorfologi, terdiri dari: pembagian satuan geomorfologi berdasarkan tipe genetik dan faktor penyebab bentukan morfologinya, proses-proses endogen dan eksogen, tahapan erosi, dan tahapan geomorfik.
Stratigrafi, meliputi urut-urutan stratigrafi, ciri litologi tiap satuan batuan, umur tiap satuan batuan, lingkungan pengendapan, dan hubungan antar satuan batuan.
Struktur geologi, meliputi jenis rezim gaya yang bekerja, arah tegasan maksimum dan minimum yang bekerja, struktur geologi yang terbentuk, serta penentuan umur relatif pembentukan struktur geologi.
Sejarah geologi, meliputi urutan kejadian geologi dari awal mula pembentukan hingga menjadi seperti saat ini.
Potensi geologi, meliputi manfaat dari sumberdaya yang dapat dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat sekitar maupun yang dapat memberikan tambahan pendapatan dan juga bahaya geologi yang dapat terjadi di daerah penelitian.
1.6
Metode Penelitian Pemetaan geologi yang dilakukan bersifat pemetaan permukaan melalui observasi
lapangan yang menggunakan jalur lintasan tertentu. Sebelumnya terlebih dahulu dilakukan analisis data sekunder yang didapat dari pustaka dan sumber lain yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan sebelum melakukan observasi lapangan secara detail. Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, terdapat empat tahapan dalam pekerjaan geologi lapangan: 1. Tahap pendahuluan, merupakan tahap recognize, persiapan kelengkapan lapangan dan studi pustaka.
4
2. Tahap pelaksanaan, merupakan tahap pengumpulan data di lapangan. Meliputi orientasi medan, pengamatan morfologi, pengamatan singkapan dan litologi serta penyebarannya, pengukuran ketebalan, pengamatan struktur geologi yang ada serta pengambilan sampel batuan. 3. Penyusunan laporan, hasil analisa yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk draft laporan, peta lintasan, peta geologi, peta geomorfologi dan penampang yang kemudian untuk dipresentasikan dan diuji.
1.7
Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan pada pemetaan geologi yang berjudul “Geologi Daerah
Berambai Tingkat 17 dan Sekitarnya, Kecamatan Samarinda Utara, Provinsi Kalimantan Timur” adalah sebagai berikut:
BAB 1: Pendahuluan merupakan pembahasan mengenai latar belakang, maksud dan tujuan, lokasi, luas, dan kesampaian daerah penelitian, metode penelitian, penelitian terdahulu, dan sistematika pembahasan.
BAB 2: Geologi Regional membahas mengenai fisiografi regional, stratigrafi regional struktur geologi regional dan peneliti terdahulu.
BAB 3: Geomorfologi yang membahas tentang geomorfologi regional untuk mengetahui gambaran umum kondisi morfologi secara luas dan geomorfologi daerah penelitian mengenai satuan bentuklahan, pola aliran sungai, tipe genetik .sungai, stadia sungai, dan stadia daerah penelitian. Stratigrafi yang membahas susunan urutan litologi berdasarkan Formasi secara regional dan stratigrafi daerah penelitian yang menggambarkan satuan batuan yang mempunyai hubungan dengan lapisan batuan di sekitarnya. Struktur geologi yang memberikan gambaran tentang proses tektonik yang berkembang secara regional dan struktur geologi yang terbentuk serta gayagaya yang bekerja di daerah penelitian.
BAB 4: Sejarah geologi yang memberikan gambaran urut-urutan proses geologi yang 5
terjadi secara regional dan yang terjadi didaerah penelitian.
BAB 5: Kesimpulan dari hasil penelitian geologi di daerah Berambai Tingkat 17 dan sekitarnya, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur.
6
BAB 2 GEOLOGI REGIONAL
2.1
Fisiografi Regional Geologi Cekungan Kutai telah banyak dipelajari, sejalan dengan kegiatan
eksplorasi sumberdaya buminya, terutama minyak dan gas bumi. Gambaran menyeluruh tentang cekungan ini diuraikan cukup lengkap dalam beberapa tulisan mutakhir, diantaranya oleh Van de Weerd dan Armin (1992), Pertamina BPPKA (1997), dan Moss dan Chambers (1999). Posisi tektonik Cekungan Kutai berada pada daerah pertemuan tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng India-Australia (Gambar 2.1). Interaksi ketiga lempeng tersebut mempengaruhi proses-proses pembentukan, pengisian, dan modifikasi cekungan. Secara fisiografi, Cekungan Kutai terletak di bagian timur dari Kalimantan, dibatasi oleh Tinggian Kuching di bagian barat, Tinggian Mangkalihat di utara, Selat Makassar di timur, dan Pegunungan Meratus dan Paparan Pasternoster di selatan (Gambar 2.2). Cekungan Kutai dibatasi dari Cekungan Tarakan di utaranya oleh Tinggian Mangkalihat, dan dibatasi dari Cekungan Barito di selatan oleh Pegunungan Meratus. Di bagian barat, Cekungan Melawi dan Ketungau berbatasan langsung dengan Cekungan Kutai melalui bagian dari Tinggian Kuching. Luas Cekungan Kutai secara keseluruhan ±160.000 kilometer persegi (Pertamina BPPKA, 1997), sedangkan bagian hilirnya menempati 2/3 dari keseluruhan luas cekungan. Van de Weerd dan Armin (1992) dan Pertamina BPPKA (1997) menyatakan bahwa Cekungan Kutai terbentuk pada Kala Eosen Tengah sebagai cekungan regangan, yang terisi oleh endapan genang laut berumur Eosen sampai Oligosen, diikuti oleh pengisian endapan susut-laut Miosen. Progradasi delta secara besar-besaran dimulai pada kala Miosen Tengah yang berlanjut sampai Resen menghasilkan Delta Mahakam Modern.
7
Gambar 2.1 Kerangka tektonik lempeng Cekungan Kutai (Bachtiar, 2004).
Gambar 2.2 Peta elemen tektonik yang memperlihatkan posisi Cekungan Kutai.
Daerah Samarinda terletak dalam struktur-struktur sinklin Separi, antiklin Separi dan sinklin Prangat. Lapisan-lapisan pada inti antiklin menunjukkan endapan-endapan laut dalam. Batuan sedimen yang tersingkap di Samarinda berumur mulai dari Miosen 8
Bawah hingga Miosen Tengah (N8 - N10) (Siemers, 1993), yang disusun oleh batuan sedimen middle-shelf hingga delta plain (Bachtiar, dkk.,2003). Secara geografis Kota Samarinda terletak pada posisi antara 116º 15' 36" - 117º 24' 16" BT dan 0º 21' 18" - 1º 09' 16" LS. Dimana beberapa wilayah geologi telah mengalami perubahan yang ditandai dengan adanya patahan yang menghasilkan struktur sinklin dan antiklin mengarah dari selatan ke utara dengan luas 10.917 ha atau 17,14 % dari luas wilayah secara keseluruhan. Ditinjau dari segi fisiografinya Kota Samarinda dapat dikelompokkan menjadi beberapa satuan fisiografi, yaitu: 1. Daerah dataran alluvial 2. Daerah dataran (plain) 3. Daerah Berombak 4. Daerah bergelombang 5. Daerah patahan 6. Daerah berbukit (hill) 7. Daerah rawa 8. Daerah sungai Tabel 1.1 Luas wilayah fisiografi di Kota Samarinda. No
Satuan Fisiografi
Luas (Ha)
(%)
1.
Lembah Alluvial
9.479
13.20
2.
Daerah Dataran
10.524
14.66
3.
Daerah Bergelombang
1.527
2.13
4.
Daerah Berombak
9.363
13.42
5.
Daerah Patahan
29.526
41.12
6.
Daerah Berbukit
634
0.88
7.
Daerah Rawa
218
0.30
8.
Daerah Sungai
5.379
7.49
9.
Belum Terdata
6.401
8.92
Jumlah
71.800
100
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Samarinda, Kota Samarinda dalam angka 2010.
9
Menurut S. Supriatna dan E. Rustandi (1995), Cekungan Kutai dicirikan oleh tiga satuan morfologi. Di bagian tengah bentang alam berbukit yang sebagian bergelombang, delta Mahakam di bagian timur dan bagian barat adalah dataran berawa. Daerah perbukitan di bagian tengah dalam menempati lebih dari setengah lembar samarinda. Daerah penyelidikan termasuk ke dalam morfologi daerah perbukitan. Delta Mahakam menjorok ke laut. Delta Mahakam merupakan contoh khas delta yang membentuk kaki burung. Pada perkembangannya timbul sejumlah alur bagi seperti Muara Kaeli, Muara Pantunan, Sungai Terusan Pamanaran dan Muara Nujit. Medan delta yang rendah tertutup rawa dengan vegetasi khas yaitu bakau dan rumbia. Dataran berawa di bagian barat laut terisolir oleh Sungai Mahakam, karena pengangkatan terjadi di perbukitan di sebelah timur maka pengalirannya terhambat dan mengakibatkan pembentukan rawa dan danau di pedalaman.
2.2
Stratigrafi Regional Stratigrafi daerah Cekungan Kutai merupakan endapan-endapan sedimen Tersier
sebagai hasil dari siklus transgresi dan regresi laut dan memiliki kesebandingan dengan cekungan Barito serta Cekungan Tarakan (Satyana et al., 1999). Urutan transgresif dapat ditemukan dengan baik di sepanjang daerah pinggiran cekungan tanpa endapan klastik yang berbutir kasar dan serpih yang diendapkan pada lingkungan paralis hingga laut dangkal. Urutan regresif Cekungan Kutai mengandung endapan klastik delta hingga paralis yang banyak mengandung lapisan batubara dan lignit. Sistem delta yang berumur Miosen Tengah berkembang secara cepat ke arah timur dan ke arah tenggara. Progradasi ke arah timur dan tumbuhnya delta yang terus menerus sepanjang waktu diselang-selingi oleh fasa transgresif secara lokal (Koesoemadinata, 1978 op cit Satyana et al., 1999) Batupasir yang terbentuk di delta plain dan delta front yang regresif berumur Miosen Tengah merupakan reservoir di sejumlah lapangan minyak dan gas bumi di Cekungan Kutai. Batuan tertua yang ada di Cekungan Kutai berupa batuan metamorf yang menjadi pembentuk batuan dasar dan berumur Paleozoikum dan Mesozoikum (Satyana et al., 1999). Di atas batuan dasar ini secara tidak selaras diendapkan Formasi Kiham Haloq berupa alluvial berumur Paleosen yang terletak dekat dengan batas cekungan bagian barat (Moss dan Chambers, 2000). Pada kala Eosen cekungan terus mengalami pendalaman 10
akibat pemekaran batuan dasar, sehingga terjadi peristiwa transgresi yang mengendapkan Formasi Mangkupa berupa serpih yang diendapkan pada lingkungan laut terbuka hingga marginal marine (Satyana et al., 1999). Dalam Petroleum of Indonesian Basins, Vol. XI, tentang Cekungan Kutai yang disusun oleh Pertamina BPPKA (1997), basemen Cekungan Kutai terdiri atas 3 jenis batuan yang merepresentasikan proses masing-masing, yaitu: 1. Asosiasi batuan sedimen yang telah terubah dan memperlihatkan variasi derajat metamorfisme. 2. Basemen batuan beku yang tersingkap di area bagian hulu sungai Mahakam, merupakan hasil dari proses vulkanik yang terjadi pada sepanjang kala Eosen Awal - Eosen Tengah. 3. Basemen vulkanik Pra Tersier ditembus oleh Sumur Gendring (bagian tenggara Kutai). Berdasarkan penanggalan, batuan ini terbentuk pada kala Kapur Awal. Litostratigrafi Cekungan Kutai telah ditulis oleh Satyana dkk., (1999) dalam kolom stratigrafi regional Cekungan Kutai (Gambar 2.3). Berikut penjelasan litostratigrafi Cekungan Kutai dari masa Paleogen, Neogen dan Kuarter. 2.2.1 Endapan Paleogen Cekungan Kutai memiliki batuan dasar yang tersusun atas asosiasi batuan mafik dan sedimen dengan tingkat metamorfisme yang berbeda. Batuan dasar volkanik yang dilaporkan tersingkap di Sungai Mahakam merupakan hasil aktivitas volkanik pada Eosen Awal-Tengah. Batuan ini berbeda dengan batuan dasar volkanik yang terdapat pada sumur Gendring-1 yang berumur Kapur Awal Batuan sedimen Tersier tertua pada stratigrafi Cekungan Kutai adalah Formasi Boh, yang terdiri dari batu serpih, lanau, dan batupasir sangat halus. Batuan-batuan tersebut mengandung foraminifera planktonik yang berumur Eosen Tengah. Pada beberapa lokasi, Formasi ini berasosiasi dengan batuan volkaniklastik (daerah Mangkalihat) dan aliran Lava (ketebalan 1.400 meter). Ketebalan total dari Formasi Boh diperkirakan sekitar 300 meter, tanpa lapisan lava. Distribusi dari perlapisan batupasir pada Formasi ini tidak diketahui.
11
Pada batas Eosen Tengah-Akhir, fasa regresi ditunjukan oleh terjadinya pembajian lapisan sedimen klastik yang diikuti oleh endapan laut berumur Eosen Akhir hingga Oligosen Awal. Lapisan sedimen klastik ini diberi nama Keham Halo Beds, suksesi lapisan batuserpih-batulumpur dikenal sebagai Atan Beds. Di Sungai Muru (Cekungan Kutai bagian selatan) dan Sungai Atan (bagian barat Kutai Tengah), endapan ini onlap terhadap batuan dasar dan secara tidak selaras menutupi Formasi Boh. Ketidakselarasan ini secara progresif menghilang ke arah bagian dalam dari cekungan, seperti yang terlihat pada sumur Kariorang dan Sambang yang berlokasi di bagian utara dari cekungan. Keham Halo Beds terdiri dari batupasir dan konglomerat dengan ketebalan antara 1.400 - 2.000 meter. Batupasir pada lapisan ini merupakan suatu batupasir sangat halus dengan ketebalan 400 - 600 meter. Horison tufa ditemukan pada lapisan Keham Halo Beds pada bagian utara dari Cekungan Kutai. Lapisan ini memiliki potensi yang baik sebagai reservoar, khususnya pada bagian-bagian dangkal dari cekungan. Atan Beds terdiri dari batuserpih dan batulumpur dan terkadang bersifat karbonatan. Ketebalan dari lapisan ini sangat sulit ditentukan karena kuat nya deformasi pada lapisan tersebut, namun dapat diperkirakan bahwa ketebalan lapisan ini berkisar antara 200-400 meter. Interkalasi batugamping hadir pada lapisan Atan Beds, dengan ketebalan sekitar 70 meter. Selain itu interkalasi tipis batupasir juga hadir pada lapisan ini. Pengendapan dari Atan Beds diakhiri oleh fasa regresi yang diindikasikan oleh kehadiran klastik kasar (Marah Beds). 2.2.2 Endapan Oligosen Akhir-Miosen Tengah Pengendapan sedimen pada Oligosen Akhir-Miosen Tengah terdiri dari sikuen tunggal dan beberapa terdiri dari dua siklus transgresi dan regresi yang terpisahkan oleh Klinjau Beds. Marah Beds secara tidak selaras menutupi endapan yang lebih tua. Ketidakselarasan ini diakibatkan oleh fasa tektonik yang secara intensif mempengaruhi struktur batuan di daerah dan membentuk keadaan Cekungan Kutai saat ini. Pengendapan dimulai pada Oligosen Akhir yang ditandai dengan pengendapan klastik dari Marah Beds yang berubah secara berangsur menjadi serpih dan batulumpur dari Formasi Pamaluan, yang diikuti oleh pengendapan batuan karbonat dari Formasi
12
Bebulu dan pada akhir pengendapannya diendapkan serpih napal dan batulanau dari Formasi Pulau Balang yang berumur Miosen Awal-Tengah. Marah Beds hanya terdapat di bagian barat, dan mencapai ketebalan maksimum hingga 120 meter. Lapisan ini terdiri dari konglomerat dan batupasir dan sedikit kandungan volkaniklastik. Perlapisan batuserpih dan batubara sering hadir pada lapisan ini. Klastik Marah Beds secara selaras ditutupi oleh Formasi Pamaluan yang tersusun atas sikuen serpih-batulanau dengan ketebalan mencapai 1000 meter. Kandungan Foraminifera pada lapisan ini mengindikasikan zona N3 - N5. Formasi Pamaluan berubah secara berangsur menjadi batugamping dari Formasi Bebulu, yang membentuk suatu paparan di Cekungan Kutai bagian dalam dengan ketebalan 100 - 200 m. Umur dari Formasi ini adalah pada interval N6 - N7. Formasi Bebulu secara selaras tersuksesi oleh Formasi Pulau Balang yang terdiri dari batulumpur-serpih dengan perlapisan batugamping dan batupasir dengan ketebalan berkisar 1.500 meter. Foraminifera planktonik pada lapisan ini mengindikasikan zona N8 - N9. 2.2.3 Endapan Miosen Tengah-Miosen Akhir. Kelompok batuan pada umur ini pada umumnya tersusun sangat kompleks dan masih membingungkan. Dalam stratigrafi regional, kelompok batuan ini dinamai Grup Balikpapan (Marks dkk., 1982). Bagian bawah dari kelompok batuan ini tersusun atas batuan klastik Formasi Mentawir dan dapat dibedakan dari bagian atasnya yang tersusun atas serpih-karbonat Formasi Mentawir. Batupasir Formasi Mentawir memiliki ciri litologi masif, berbutir halus-sedang, berlapis dengan serpih, lanau, dan batubara. Ketebalan unit batuan ini kurang lebih 450 meter, Secara selaras Grup Balikpapan ini ditutupi oleh Formasi Klandasan, yang tersusun atas serpih, napal dan karbonat. Ke arah barat, Formasi Klandasan semakin intensif tererosi. Batupasir basal dengan ketebalan 1000 meter berubah secara berangsur menjadi lanau dan serpih. Formasi Klandasan dengan interval karbonat dikenal dengan Formasi Meruat, yang berangsur ke arah basinward menjadi napal. Formasi Sepinggan menutupi Formasi Klandasan secara selaras. Formasi Sepinggan disusun oleh sikuen serpih-batulumpur dengan ketebalan kurang lebih 1.000 meter. Di bagian barat laut dari Cekungan Kutai, unit sikuen pengendapan ini menyatu menjadi sikuen serpih-napal (Birah-1) yang membentuk unit batuan Bongas Beds. Di daerah Runtu-Agar dan Sangatta, interkalasi batupasir sangat halus dan batubara 13
mencirikan endapan delta bagian distal dari bagian timur kompleks delta prograding yang menyatu dengan klastik anggota Grup Balikpapan. Sikuen ini dikenal dengan Formasi Sangatta (batubaraan) dengan ketebalan mencapai 2.200 meter. Pada Miosen Tengah hingga Miosen Akhir, siklus sedimentasi ditutup oleh regresi pada Miosen Akhir, yang diindikasikan oleh pembajian klastik yang membentuk bagian dari Formasi Kampung Baru. 2.2.4 Endapan Pliosen dan Kuarter Formasi Kampung Baru dapat dikenali dengan baik pada area tepi pantai di daerah tenggara dari Cekungan Kutai (daerah Balikpapan), yang secara tidak selaras menutupi Formasi Balikpapan. Formasi ini tersusun atas batupasir, batulanau dan serpih yang kaya akan batubara. Klastik yang lebih kasar umumnya lebih banyak terdapat pada bagian bawah dari Formasi ini dengan ketebalan 30 - 120 meter. Batupasir ini membaji ke arah timur menjadi unit serpih seluruhnya. Unit klastik pada bagian atas lapisan ini merupakan sebuah bukti transgresi pada pliosen awal. Ke arah basinward unit ini bergradasi menjadi fasies karbonat (Batugamping Sepinggan). Rentang Kala Pleistosen – Resen ditandai dengan pengendapan fasies deltaic yang dikenal dengan Formasi Handil Dua. Formasi ini diendapkan bersamaan dengan unit fasies laut yang berkembang ke arah lepas pantai yang dikenal dengan Formasi Attaka. Bagian atas dari kedua Formasi ini mencerminkan proses pengendapan system Delta Mahakam saat ini. Delta Mahakam yang terbentuk pada muara Sungai Mahakam bagian Timur Kalimantan memisahkan Pulau Kalimantan dengan Pulau Sulawesi. Delta Mahakam ini merupakan daerah yang memiliki kandungan hidrokarbon yang sangat besar mencapai lebih dari 5 milliar barrel (Moss et al., 1997) yang merupakan akumulasi batupasir dari fasies deltaic bar dan channel. Delta Mahakam modern merupakan delta aktif yang terbentuk pada kondisi tropik yang dipengaruhi oleh pasang surut yang sangat besar dan pengaruh fluvial (Allen & Thouvenin, 1976) dan adanya progradasi sejak akhir transgresi Holosen sekitar 5000 – 6000 tahun yang lalu. Secara umum Delta Mahakam terbentuk akibat pengaruh energi arus rendah (low wave energy) serta campuran antara endapan sungai (fluvial) dan arus pasang surut (tidal dan fluvial dominated).
14
Gambar 2.3 Stratigrafi Regional dan Tatanan Tektonik Cekungan Kutai (Satyana dkk., 1999).
Urutan batuan yang terdapat diwilayah Kota Samarinda berdasarkan umur yang termuda sampai yang tertua adalah sebagai berikut: 1. Endapan Aluvium (Qa)
15
Terdiri dari kerikil, pasir dan lumpur terendapakan dalam lingkungan sungai, rawa, delta dan pantai. 2. Formasi Kampung Baru (Tpkb) Formasi ini terdiri dari Batupasir kuarsa dengan sisipan lempung, serpih, lanau dan lignit, berumur Miosen Akhir – Plio Plistosen terendapkan pada lingkungan pengendapan delta – laut dangkal. dengan ketebalan lebih dari 500 m. 3. Formasi Balikpapan (Tmbp) Formasi ini terdiri dari perselingan batupasir dan lempung dengan sisipan lanau, serpih, batugamping dan batubara, berumur Miosen Akhir – Miosen Tengah terendapkan pada lingkungan pengendapan delta – dataran delta dengan ketebalan 1000 – 1500 m. 4. Formasi Pulau Balang (Tmpb) Formasi ini terdiri dari perselingan antara greywacke dan batupasir kuarsa dengan sisipan batugamping, batulempung, batubara dan tuf dasit, berumur Miosen tengah terendapkan pada lingkungan pengendapan laut dangkal. 5. Formasi Pamaluan (Tomp) Formasi ini terdiri dari btaupasir kuarsa dengan sisipan batulempung, serpih batugamping dan batulanau terendapkan pada lingkungan pengendapan laut dangkal dengan ketebalan ± 2000 m. Luas Formasi Geologi di Kota Samarinda dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 1.2 Luas Formasi geologi Kota Samarinda. No.
Nama Formasi
Luas (Ha)
Persentase (%)
1
Aluvium
23.396
32.58
2
Kampungbaru
11.385
15.86
3
Balikpapan
15.077
21
4
Pulau Balang
10.917
15.2
5
Pamaluan
2.950
4.11
6
Belum Terdata
8.075
11.25
Jumlah
71.800
100
Sumber: Geologi Map of East and Northeast Borneo, RW. Van Bemmelen, Skala 1:1.000.000/Samarinda dalam angka 1998. 16
Gambar 2.4 Stratigrafi umum Cekungan Kutai (Leopold dan Van der Vlerk) serta kesebandingan dengan stratigrafi daerah Samarinda yang diusulkan oleh Land dan Jones (1987) dan di revisi oleh Chambers, dkk. (1992) dan Supriatna, dkk. (1995).
17
Gambar 2.5 Kolom Stratigrafi khusus untuk daerah Samarinda (Chambers dan Daley, 1995).
18
Gambar 2.6 Peta zonasi plankton daerah penelitian Cekungan Kutai yang memperlihatkan pembagian satuan berdasarkan zonasi umur biostratigrafi (Bachtiar, 2004). N810, N850 dan N8A adalah marker-marker seismic dalam interval umur N8.
2.3
Struktur Geologi Regional Pembentukan struktur geologi di Cekungan Kutai sangat dipengaruhi oleh
adanya spreading di sepanjang Selat Makassar yang menimbulkan sesar-sesar mendatar 19
dengan arah pergerakan baratlaut-tenggara serta memisahkan Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi. Pola struktur Cekungan Kutai dipengaruhi oleh pengangkatan Tinggian Kuching yang tegasannya berasal dari arah baratlaut. Pengangkatan ini terus berlangsung hingga mengakibatkan berkurangnya kestabilan. Akibat ketidakstabilan ini maka terjadi pelengseran batuan ke arah timur. (Gambar 2.4) menunjukkan gambaran struktur geologi regional yang mempengaruhi pembentukan Cekungan Kutai, struktur yang ada adalah Antiklinorium Samarinda yang berarah baratlaut-tenggara, Sesar Bengalon, Sesar Sangkulirang dan Sesar Adang. Struktur geologi yang berkembang di dalam Cekungan Kutai adalah lipatan dan sesar. Batuan tua seperti Formasi Pamaluan, Formasi Bebuluh dan Formasi Pulau Balang umumnya terlipat kuat dengan kemiringan sekitar 400, tetapi ada juga yang mencapai 750, sedangkan batuan yang berumur lebih muda seperti Formasi Balikpapan dan Formasi Kampungbaru pada umumnya terlipat lemah, namun di beberapa tempat dekat zona sesar ada yang terlipat kuat. Di daerah ini terdapat 3 (tiga) jenis sesar, yaitu sesar naik, sesar normal dan sesar mendatar. Sesar naik diduga terjadi pada Miosen Akhir yang kemudian dipotong oleh sesar mendatar yang terjadi kemudian, sedangkan sesar turun terjadi pada Kala Pliosen (Supriatna dan Rustandi, 1995; op.cit. Resmawan, 2007). Proses pembentukan lipatan di Cekungan Kutai terdapat dua pendapat, yaitu: 1. Menurut Ott, 1987; op.cit. Resmawan, 2007, menyatakan bahwa pola struktur pada Cekungan Kutai disebabkan oleh adanya proses gelinciran akibat gaya gravitasi (gravity sliding) pada batuan dasar yang mempunyai plastisitas tinggi akibat adanya pengangkatan Tinggian Kuching selama Zaman Tersier. 2. Menurut McClay dkk., 2000; op.cit. Resmawan, 2007, menyatakan bahwa struktur di daerah dataran Cekungan Kutai merupakan hasil dari tektonik delta, yaitu gabungan dari sedimentasi yang cepat dan gaya tektonik. Akibat penumpukan terjadi pelengseran lateral yang mengakibatkan pelengseran lateral yang mengakibatkan lipatan dan sesar-sesar turun, kemudian mengalami reaktivasi menjadi sesar naik akibat gaya kompresi (gambar 2.8). Struktur tektonik yang berkembang pada Cekungan Kutai berarah timur lautbarat daya (NE-SW) yang dibentuk oleh Antiklinorium Samarinda, yang berada di 20
bagian timur – tenggara cekungan (Supriatna dkk., 1995). Antiklinorium Samarinda tersebut memiliki karakteristik terlipat kuat, antiklin asimetris dan dibatasi oleh sinklinsinklin yang terisi oleh sedimen silisiklastik Miosen. (Satyana dkk., 1999). Pengangkatan tinggian Kuching pada kala Oligosen Akhir telah mengubah arah umum sedimentasi di Cekungan Kutai dengan dimulainya fasa regresi utama dari barat ke timur. Sedimentasi delta mencapai puncak perkembangannya pada kala Miosen Akhir hingga Pliosen. Pengendapan delta yang cepat pada Miosen Tengah mulai membebani endapan lempung tebal dan mengakibatkan masa lempung yang belum mampat (kompak) itu menjadi labil. Akibatnya masa lempung mencuat, berdiapirik menerobos sedimen regresif diatasnya, membentuk struktur antiklin yang sempit, memanjang dan sejajar dengan garis pantai. Antiklin-antiklin sempit ini dipisahkan oleh sinklin-sinklin yang lebar, berlangsung setahap demi setahap, beruntun bersama dengan propagradasi delta. (Samuel dan Muchsin, 1976, dalam van de Weerd dan Amin, 1992). Beberapa peneliti seperti Ott (1987), Biantoro dkk., (1992)., Satyana dkk., (1999) mengemukakan bahwa pembentukan antiklinorium Samarinda berkaitan dengan proses pengangkatan tinggi Kuching, landslide, diapirisme.
Gambar 2.7 Struktur geologi Cekungan Kutai (Allen dan Chambers, 1998).
21
Gambar 2.8 Struktur geologi regional Cekungan Kutai (Ken Mc Clay , Tim Dooley, Angus Ferguson and Joseph Poblet, AAPG Bulletin, 2000).
Pulau Kalimantan merupakan tempat terjadinya kolisi dengan mikrokontinen, busur kepulauan, penjebakan lempeng oseanik dan intrusi granit, membentuk batuan menjadi dasar Cekungan Kutai selama Kapur Tengah sampai Eosen Awal (Moss, 1998 op.cit Chambers & Moss, 2000). Pada Eosen Tengah, Cekungan Kutai terbentuk oleh proses pemekaran yang melibatkan pemekaran selat Makasar bagian utara dan Laut Sulawesi (Chambers & Moss, 2000). Pada Eosen Akhir, sejumlah half graben terbentuk sebagai respon dari terjadinya fasa ekstensi regional. Fasa ini terlihat juga di tempat lain, yaitu berupa pembentukan laut dan Selat Makasar. Half graben ini terisi dengan cepat oleh endapan syn-rift pada Eosen Tengah-Eosen Akhir dengan variasi dari beberapa fasies litologi. Tektonik inversi terjadi pada Miosen Awal, menyebabkan pengangkatan pada pusat cekungan yang terbentuk selama Eosen dan Oligosen, sehingga cekungan mengalami pendangkalan (Allen dan Chambers, 1998). Inversi berlanjut dan mempengaruhi cekungan selama Miosen Tengah dan Pliosen. Inversi tersebut 22
mempengaruhi daerah yang terletak di bagian timur Cekungan Kutai, sehingga mempercepat proses progradasi delta (Allen dan Chambers, 1998).
2.4
Peneliti Terdahulu Peneliti terdahulu yang telah melakukan penelitian geologi regional di daerah
penelitian adalah:
Marks, dkk (1982) Membahas mengenai stratigrafi regional wilayah Cekungan Kutai dalam papernya yang berjudul “Cenozoic Stratigraphic Nomencalture in East Kutai Basin, Kalimantan” dalam publikasi IPA ke 11. Marks menyatakan bahwa Formasi Pulau Balang terbentuk pada wilayah neritik dalam dengan pengaruh delta dan paralik.
Supriatna, Rustandi dan Sukardi (1995) Melakukan pemetaan geologi regional pada wilayah Samarinda dan sekitarnya yang menghasilkan Peta Geologi Lembar Samarinda dengan skala 1: 250.000. Menjelaskan tentang geologi regional daerah Samarinda yang terdiri dari stratigrafi regional yang terdiri 6 Formasi, yaitu salah satunya Formasi Balikpapan yang menjari terhadap
Formasi Pulaubalang
dibawahnya dan selaras dengan Formasi Kampung baru di atasnya. Supriatna dkk (1995), menyebutkan bahwa Formasi Balikpapan berumur Miosen Tengah dan diendapkan pada lingkungan perengan “Paras Delta – Dataran Dellta.
Bachtiar, dkk (1997) Dalam tim penelitian Pertamina BPPKA melakukan riset mengenai petroleum geology wilayah Cekungan Kutai secara umum mulai dari tektonik regional, struktur regional, stratigrafi regional, petroleum system, hingga play concepts yang mungkin bisa diterapkan. Dari penelitian ini didapatkan bahwa Formasi Pulau Balang dapat berperan sebagai batuan sumber, reservoir, maupun batuan tudung.
Allen dan Chambers (1998) Karya Ilmiah dengan judul “Sedimentation in the modern and Miocene Mahakam Delta”. Penelitian melakukan kajian mengenai proses sedimentasi 23
yang terjadi di Delta Mahakam pada saat ini. Selain itu, juga dilakukan pengkajian terhadap endapan Miosen yang tersingkap di Antiklinorium Samarinda untuk mengetahui proses-proses sedimentasi yang berkembang yang di interpretasikan sebagai hasil endapan delta. Melakukan penelitian mengenai sedimentasi Delta Mahakam modern dan lampau (pada kala Miosen). Pada penelitian ini Allen dan Chambers membandingkan karakteristik 3 periode delta yaitu Delta Mahakam modern, Delta Mahakam pada kala Miosen Bawah dengan singkapan di wilayah Samarinda, dan Delta Mahakam pada kala Miosen Tengah dengan data inti batuan. Dari penelitian ini Allen dan Chambers mendapat kesimpulan bahwa pembentukan delta di muara Sungai Mahakam dari kala Miosen Bawah hingga saat ini memiliki kondisi lingkungan yang sama dan produk delta yang nyaris serupa pula.
Moss dan Chamber (1999) Melakukan ilustrasi tektonik pembentukan Cekungan Kutai yang diawali dari proses pemekaran cekungan hingga proses inversi cekungan.
Satyana, dkk (1999) Melakukan penelitian mengenai tektonik dan stratigrafi wilayah Cekungan Kutai Bawah dengan membandingkan kondisi tektonik Cekungan Kutai, Cekungan Barito, dan Cekungan Tarakan.
Ery Arifullah (2005) Melakukan penelitian mengenai keragaman ichnofauna di delta Mahakam modern dan ichnofosil pada endapan delta Miosen, Cekungan Kutai, pengetahuan mengenai kompleksnya kondisi lingkungan sistem delta, metode integrasi iknologi dan sedimentologi dalam identifikasi lingkungan pengendapan sistem delta, dan model iknologi sistem delta.
Bachtiar (2013) Membahas mengenai paleogeografi Cekungan Kutai yang disertai dengan proses pembentukan cekungan, melengkapi penelitian yang dilakukan Moss dan Chambers (1999). Selain itu, Bachtiar juga membahas mengenai beberapa potensi hidrokarbon play di wilayah Cekungan Kutai yang belum tereksplorasi.
Marshall, dkk (2015) 24
Penelitian berjudul “Dating Borneo’s Deltaic Deluge: Middle Miocene Progradation of The Mahakam Delta”. Membahas mengenai progradasi delta Mahakam pada miosen tengah. Membuat model pengendapan berdasarkan data singkapan permukaan yang berada di area Samarinda dan sekitarnya. Menentukan umur batuan dengan metode magnetic mineralogy, magnetostratigraphy, biostratigraphy. Melakukan perbandingan dengan paleoclimate.
Ery Arifullah (2017) Penelitian disertasi berjudul “Perkembangan Iknofosil Sebagai Parameter Dasar Rekonstruksi Model Lingkungan Pengendapan Pada Kala Miosen, DI Bagian Tengah Cekungan Kutai Hilir, Samarinda dan Sekitarnya Kalimantan Timur”. Melakukan penelitian mengenai identifikasi karakter iknofosil, interpretasi kondisi-kondisi lingkungan paling mempengaruhi karakteristik iknofosil, rekonstruksi model lingkungan pengendapan dengan parameter iknofosil, pengaruh pasang surut terhadap iknofabrik, membahas pola iknofabrik terhadap sistem pengendapan dan implikasi terhadap model iknologi yang sudah ada.
25
BAB 3 GEOLOGI DAERAH BERAMBAI TINGKAT 17
Hasil penelitian pada daerah Berambai ini disajikan dalam beberapa aspek, yaitu geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi.
3.1
Geomorfologi Daerah Berambai Tingkat 17 Pengertian geomorfologi adalah studi yang menguraikan bentuklahan dan proses
yang mempengaruhi pembentukannya serta menyelidiki hubungan timbal balik antara bentuklahan dengan proses dalam tatanan keruangan (Van Zuidam, 1979). Dalam pembahasan geomorfologi ini dimaksudkan untuk menerangkan bentuk-bentuk roman muka bumi berserta proses-proses penyebab daerah penelitian. Terjadinya relief perkembangan relief bumi sangat dipengaruhi oleh struktur, proses, dan tahapan erosi. Proses yang berjalan tersebut menghasilkan morfologi daerah penelitian seperti yang tampak sekarang. Bentuk-bentuk muka bumi yang ada sekarang seperti benua, dasar samudera, palung, pegunungan, lembah, bukit, dataran dan seterusnya merupakan hasil dari proses geologi berupa proses eksogen dan endogen. Proses eksogen bersifat destruktif antara lain berupa erosi, pelapukan dan lain sebagainya yang terjadi di permukaan. Proses endogen cenderung bersifat konstruktif berupa struktur geologi seperti pengangkatan, perlipatan, pematahan, peretakan dan sebagainya. Dengan demikian, kajian geomorfologi bertujuan untuk meneliti dan menelusuri proses-proses geologi yang menyangkut geomorfis daerah penelitian dengan melihat bentuk-bentuk morfologi yang ada sekarang. Metode yang digunakan dalam kajian geomorfologi berupa analisis peta topografi dan pengamatan lapangan yang mencakup pola kontur, kisaran sudut lereng, sifat batuan penyusun, pengamatan bentuk-bentuk bentang alam, sifat aliran sungai, tingkat erosi, da n bentuk lembah sungai Daerah penelitian ini terdiri dari perbukitan yang terbentuk oleh gaya endogen yang berjalan secara lambat dan terus-menerus. Kisaran ketinggian daerah yang terbentang di daerah penelitian adalah ± 25 - 225 mdpl. Sedangkan kemiringan lereng ± 15 - 70% (lampiran B1), dengan daerah yang terjal terbagi di seluruh lokasi penelitian. 26
Titik tertinggi di daerah penelitian ini berada di Gunung Batubiru di selatan daerah penelitian dengan ketinggian 225 mdpl. Pembahasan pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian mengacu pada klasifikasi morfologi menurut Verstappen (1985), dengan memperhatikan aspek-aspek penunjang seperti morfografi (meliputi sungai, dataran, perbukitan, dan pegunungan, dll). Berdasarkan aspek aspek geomorfologi yang disebutkan oleh Verstappen (1985), maka bentuklahan yang terdapat di daerah penelitian dapat dibagi menjadi 2 (dua) satuan bentuklahan, yaitu perbukitan antiklin (S1), dan perbukitan homoklin (S2).
Gambar 3.1 Peta Geomorfologi Berambai Tingkat 17 (tanpa skala).
27
Tabel 3.1 Aspek geomorfologi Berambai Tingkat 17.
3.1.1 Dasar Pembagian Bentuklahan Dalam membagi bentuk lahan penulis juga memperhatikan faktor–faktor yang mempengaruhi proses pembentukan bentang alam suatu daerah yang terdiri dari 2 faktor, yaitu: 1. Proses endogen, yaitu proses–proses yang terkait dengan pelepasan gaya yang berasal dari dalam bumi. 2. Proses eksogen, yaitu proses–proses yang terkait dengan hal - hal yang terjadi di permukaan bumi, seperti: degradasi, pelapukan, gerakan massa tanah dan batuan serta erosi. Kedua proses diatas mengontrol pembentukan (morfogenesa) dan perkembangan bentuk lahan (morfologi) yang meliputi morfografi (bentuk) dan morfometri (dimensi dan ukuran). Dari ketiganya akan menghasilkan suatu susunan atau tatanan (morfoarrangement). 3.1.1.1 Morfografi Secara umum, morfografi mempelajari: 1. Morfografi, yakni aspek-aspek yang bersifat pemerian (descriptive), antara lain teras sungai, beting pantai, kipas aluvial, plato, dataran, perbukitan, pegunungan dsb. 2. Morfometri, yakni aspek-aspek kuantitatif, seperti kemiringan lereng, bentuk lereng. ketinggian, beda tinggi, bentuk lembah, tingkat pengikisan, dan pengaliran sungai dsb. 28
Daerah penelitian dibentuk oleh satuan perbukitan homoklin yang terdiri dari: 1. Perbukitan dan bukit yang memperlihatkan pola kelurusan. Pada daerah telitian hampir 70% berupa daerah perbukitan, pada bagian barat daerah penelitian berupa perbukitan yang mempunyai kontur yang tinggi jika dibandingkan pada daerah timur daerah penelitian. 2. Pola umum perbukitan pada daerah telitian relatif berarah utara-selatan yang memanjang dari utara hingga ke selatan dan menempati hampir diseluruh daerah telitian. 3. Elevasi dan kelerengan pada daerah telitian dibagi menjadi lima yaitu: daerah dengan kelerengan hampir datar (0 – 2%), daerah dengan kelerengan landai (2 - 7 %), daerah dengan kelerengan miring (7 – 15%), daerah dengan kelerengan agak curam (15 - 30%), dan daerah dengan curam (30 – 70%). 4. Perbedaan relief ditunjukkan dengan perbedaan elevasi yang cukup besar, ditandai oleh perbukitan dengan kemiringan lereng yang curam dan dataran yang hampir datar dan landai, sedangkan beda relief yang kecil menempati bentuk bukit yang agak curam dengan perbukitan yang miring. Tabel 3.2 Klasifikasi kemiringan lereng (Van Zuidam, 1985) No.
Kemiringan Lereng
% Lereng
1.
Rata/hampir rata
0-2
2.
Landai
2-7
3.
Miring
7 - 15
4.
Agak curam
15 - 30
5.
Curam
30 - 70
6.
Sangat curam
70 - 140
7.
Curam ekstrem/tegak
> 140
3.1.1.2 Morfogenesa Morfogenesa meliputi: 29
1. Morfostruktur pasif berupa batuan dan tanah. 2. Morfostruktur aktif meliputi pola struktur-struktur geologi (lipatan, sesar, kekar), volkanisme dan gempa bumi berupa konfigurasi dari gayagaya endogen/tektonik. 3. Morfodinamik meliputi pelapukan, erosi gerak massa tanah dan batuan, serta kaitan fisik dengan aktifitas biotik termasuk manusia, merupakan konfigurasi dari gaya-gaya eksogen. Proses dan material penyusun litologi tersebut saling terkait dan menghasilkan bentuklahan yang komplek. Dari hasil analisis kelurusan punggungan yang ada pada daerah telitian, ternyata memperlihatkan adanya suatu keterkaitan dan hubungan antara kelurusan punggungan, perbukitan maupun dataran dengan jurus dan kemiringan perlapisan batuan serta litologi penyusunnya yang mengindikasikan adanya gejala serta kontrol struktur geologi. Hubungan tersebut berupa: 1. Punggungan yang terdapat di bagian barat daerah penelitian yang memanjang dengan arah relatif utara timurlaut – selatan baratdaya menunjukkan kemiringan lapisan batuan yang mempunyai pola tegasan utama berarah tenggara - baratlaut. 2. Litologi penyusun daerah telitian didominasi oleh material sedimen klastik dengan ukuran butir yang relatif halus sampai dengan kasar. Jadi secara morfogenesa, bentuklahan yang ada pada daerah telitian dikontrol oleh morfostruktur aktif berupa lipatan. Morfostruktur pasif berupa litologi penyusun yaitu material sedimen klastik. 3.1.2 Satuan Bentuklahan Berdasarkan pembagian diatas, daerah telitian dikelompokkan menjadi dua satuan bentuklahan, yaitu: 1. Satuan bentuklahan perbukitan antiklin (S1) 2. Satuan bentuklahan perbukitan homoklin (S2) 3.1.2.1 Satuan Bentuklahan Perbukitan Antiklin (S1) Bentuklahan ini terbentuk karena adanya proses endogen atau proses tektonik, yang berupa pengangkatan, perlipatan, dan pensesaran. Gaya (tektonik)
30
ini bersifat konstruktif (membangun), dan pada awalnya hampir semua bentuk lahan muka bumi ini dibentuk oleh kontrol struktural.
Gambar 3.2 Perbukitan antiklin pada lokasi pengamatan 23 (arah foto N 25o E).
Satuan bentuklahan ini berada pada bagian timur daerah penelitian yang menempati 32% dari daerah penelitian. Morfografi yang miring dengan morfometri yang berkisar antara 15% - 30% (lampiran B1). Satuan bentuklahan ini dipengaruhi oleh terdapatnya struktur geologi yang berkembang berupa lipatan. Serta terdiri dari litologi batuan berupa batuan sedimen seperti batupasir dan batulempung. 3.1.2.2 Satuan Bentuk Lahan Perbukitan Homoklin (S2) Bentuklahan ini terbentuk karena adanya proses endogen atau proses tektonik, yang berupa pengangkatan, perlipatan, dan pensesaran. Gaya (tektonik) ini bersifat konstruktif (membangun), dan pada awalnya hampir semua bentuk lahan muka bumi ini dibertuk oleh kontrol struktural.
31
Gambar 3.3 Perbukitan homoklin pada lokasi pengamatan 16 (arah foto N 256o E).
Satuan bentuklahan ini berada pada bagian timur daerah penelitian yang menempati 68% dari daerah penelitian. Morfografi yang miring dengan morfometri yang berkisar antara 15% - 30% (lampiran B1). Satuan bentuklahan ini dipengaruhi oleh terdapatnya struktur geologi yang berkembang berupa lipatan. Serta terdiri dari litologi batuan berupa batuan sedimen seperti batupasir, batulempung, batulanau, shalycoal, coalyshale, dan batubara. 3.1.3 Pola Aliran Sungai Sungai sebagai salah satu agen proses proses geomorfik dapat membantu menentukan keadaan morfologi suatu daerah dan sebagai indikator proses geologi yang bekerja di wilayah tersebut. Pola aliran daerah penelitian merupakan kumpulan dari suatu jaringan pengaliran di suatu daerah yang dipengaruhi atau tidak dipengaruhi oleh curah hujan. Berdasarkan hasil penelaahan, dengan membandingkan pola pengaliran daerah penelitian dengan pola pengaliran modifikasi (Howard, 1967), maka pola aliran daerah penelitian dtibagi menjadi dua (2) buah pola aliran, yaitu: 1. Sub-dendritik 2. Trellis
32
Gambar 3.4 Pola aliran Berambai Tingkat 17 (tanpa skala).
3.1.3.1 Pola Aliran Sub-dendritik Pola pengaliran ini mempunyai luas penyebaran sekitar 60% dari daerah penelitian dan berkembang di seluruh bagian timur daerah penelitian. Sistem pengaliran sub-dendritik modifikasi dari pola aliran dendritik memperlihatkan pengaliran relatif menyerupai cabang pohon. Ada sungai utama dan anak-anak sungai yang bermuara ke sungai utama. Pola aliran sub-dendritik terjadi karena pengaruh dari topografi yang sudah miring dan peran struktur geologi tetapi kecil. Karena perbedaan jenis batuan pada daerah telitian sangat kecil dan memiliki resistensi batuan yang hampir sama maka hal tersebut ikut mengontrol pola aliran ini. 3.1.3.2 Pola Aliran Trellis Pola aliran sungai yang selanjutnya adalah pola trellis. Pada pola ini, aliran sungai akan membentuk seperti pagar yang dikontrol oleh struktur-struktur geologi berupa lipatan antiklin dan sinklin. Karakteristik atau ciri-ciri dari pola aliran trellis 33
adalah terdapat kumpulan saluran air yang berbentuk sejajar dan mengalir mengikuti kemiringan permukaan bumi namun bentuknya tegak lurus terhadap sumber utama alirannya. Pada umumnya pola aliran sungai trellis searah dengan sumbu lipatan. Berbeda dengan pola aliran sungai dendritik, pola trellis menjadi perpaduan dari sungai subsekuen dan sungai konsekuen. Pola aliran sungai ini juga dapat terbentuk di sepanjang lembah pararel. Pada daerah tersebut, aliran sungai akan melewati lembah-lembah dan akhirnya bergabung dengan saluran utamanya. 3.1.4 Tipe Genetik Sungai Tipe genetik sungai menurut klasifikasi Thornbury (1969) dibagi berdasarkan arah aliran sungai terhadap kemiringan lapisan batuan. Daerah penelitian memiliki tipe genetik sungai yaitu konsekuen dan obsekuen. Tipe genetik konsekuen merupakan sungai yang mengalir searah dengan kemiringan perlapisan batuan. Sedangkan tipe obsekuen sungai yang mengalir berlawanan terhadap arah kemiringan lapisan batuan. (Thornbury,1969). 3.1.5 Stadia Sungai Tingkat perkembangan suatu sungai, dapat diketahui dengan melihat bentukbentuk lembah sebagai hasil kerjaan gaya-gaya eksogen. Di daerah penelitian, aktivitas aliran sungai nya mengerosi ke arah vertikal sehingga membentuk huruf “V”. Hal ini menunjukkan bahwa erosi vertikal lebih dominan daripada erosi lateral, morfologi sungai juga tidak membentuk meander, air terjun dan aliran yang deras juga mendominasi. Berdasarkan kenampakan tersebut menunjukkan bahwa sungai yang ada di daerah Berambai tingkat 17 merupakan sungai yang berstadia muda. 3.1.6 Stadia Daerah Penelitian Penentuan stadia daerah penelitian didasarkan pada tingkat erosi dan pelapukan, yaitu pada berbagai proses lanjutan yang dialami oleh daerah ini mulai pada saat terangkatnya sampai terjadinya proses perataan (Thornbury,1969). Kenampakan-kenampakan morfologi yang dapat teramati di lapangan yaitu bentuk perbukitan yang relatif tumpul dan membulat dengan lereng yang relatif miring, dapat dilihat pada bentang alam yang dikontrol oleh proses struktural serta sungai yang
34
menunjukkan erosi vertikal lebih dominan daripada erosi lateral, tidak terbentuk meander dan juga tidak terbentuk dataran banjir. Berdasarkan kenampakan-kenampakan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa daerah penelitian merupakan daerah yang pertumbuhannya pada stadia muda dimana Umumnya profil lembahnya membentuk seperti huruf V. Arus yang cepat sangat mendominasi pada tahapan ini.
3.2
Stratigrafi Daerah Berambai Tingkat 17 Dalam pembahasan stratigrafi daerah penelitian, digunakan istilah satuan batuan
berdasarkan ciri fisik batuan yang diamati di lapangan, meliputi jenis batuan, keseragaman litologi serta posisi stratigrafi antar satuan batuan tersebut. Pembagian satuan batuan ini dilakukan untuk setiap jenis batuan yang seragam, sedangkan penamaan batuannya didasarkan pada jenis batuan yang dominan. Penemuan satuan tersebut berdasarkan pada ciri-ciri (karakter) litologi meliputi tekstur, struktur sedimen, dan lingkungan pengendapan. Hubungan stratigrafi antar satuan batuan ditentukan berdasarkan pada posisi dan gejala-gejala stratigrafi yang dijumpai selama dilapangan. Kandungan fosil digunakan untuk menentukan umur relatif dari tiap-tiap litologi. Sedangkan dalam penentuan lingkungan pengendapan berdasarkan pada ciri fisik (struktur dan tekstur), kimiawi (komposisi litologi), dan biologi (kandungan fosil). Berdasarkan litostratigrafi tidak resmi, tatanan stratigrafi pengamatan di daerah penelitian dapat dibagi menjadi dua (2) satuan batuan, berurutan dari muda ke tua sebagai berikut: 1. Satuan batupasir tidal 2. Satuan batupasir shoreface
35
Gambar 3.5 Kolom stratigrafi Berambai Tingkat 17.
3.2.1 Satuan Batupasir Tidal 3.2.1.1 Sebaran dan Ketebalan Satuan ini terdapat dalam Formasi Pulau Balang dan Formasi Balikpapan di daerah penelitian, tersebar di bagian timur daerah penelitian. Satuan ini menempati 54% penyebarannya di daerah penelitian. Singkapan dapat ditemukan dengan baik didekat jalan setapak dan lereng bukit. Satuan batupasir tidal ini menempati bentuklahan perbukitan homoklin. Ketebalan satuan batuan ini dapat ditentukan dengan penampang geologi. Berdasarkan sayatan penampang A – A’ tebalnya 915 m dan pada penampang geologi B – B’ Tebalnya 1792.5 m. 3.2.1.2 Ciri Litologi Ciri litologi satuan batupasir tidal yang mendominasi adalah batupasir berselingan batulempung (Heterolithic sandstone(Hs)) dengan batuan penyerta yang dijumpai berupa batulempung, batulanau, batubara, shalycoal, dan coalyshale. Batupasir dicirikan berwarna putih dan kecoklatan dan berselingan dengan batulempung (Hs), ukuran butir pasir halus - pasir kasar, membundar, terpilah baik, kemas terbuka, komposisi kuarsa (matriks), silika (semen), struktur berupa masif, flaser, lentikuler, paralel laminasi, wavy laminasi, graded bedding dan silang silur. Pengamatan petrografis yang ditunjukkan oleh sayatan 8/RF.14/Lp.14 (lampiran) yang diambil dari contoh batuan pada lokasi pengamatan 14, dalam
36
sayatan tipis memperlihatkan warna abu-abu kecoklatan, tekstur klastik, ukuran butir ukuran butir 0,05-0,35mm (coarse silt - medium sand), bentuk butir menyudut tanggung-membulat tanggung, pemilahan sedang, kemas terbuka. nampak butiran terdiri dari kuarsa, feldspar, litik, dan mineral opak. Komposisi mineral berupa kuarsa (65%), feldspar (15%), mineral opak (5%), litihic (15%). Berdasarkan klasifikasi gilbert, 1954; klasifikasi pettijohn, 1972; dan klasifikasi dott 1964 vide geilbert, 1982, didapatkan nama batuan Quartz Arenit.
Gambar 3.6 Batupasir perselingan batulempung (Heterolithic sandstone (Hs)) dengan struktur flaser pada lokasi pengamatan 10.
37
Gambar 3.7 Batupasir dengan struktur paralel laminasi, flaser dan silang silur pada lokasi pengamatan 2 (arah foto N 165°E).
Gambar 3.8 Batupasir dengan struktur perlapisan pada lokasi pengamatan 9 (arah foto N330°E).
38
Gambar 3.9 Batupasir dengan struktur graded bedding pada lokasi pengamatan 13 (arah foto N122°E).
3.2.1.3 Umur Penentuan umur satuan batupasir tidal tidak bisa dilakukan dengan analisa mikropaleontologi. Hal ini dikarenakan pada contoh lokasi pengamatan 9 dan 46 tidak dijumpai fosil penunjuk (barren). Meskipun demikian penentuan umur satuan batupasir ini memiliki kesamaan atau kesebandingan dengan daerah sekitarnya secara regional dengan peta zonasi plankton Cekungan Kutai yang memperlihatkan pembagian satuan berdasarkan zonasi umur biostratigrafi (Bachtiar, 2004) (gambar 2.6). Sehingga berdasarkan hasil kesebandingan, maka satuan batupasir tidal ini berumur Miosen N8. 3.2.1.4 Lingkungan Pengendapan Penentuan lingkungan pengendapan satuan batupasir tidal dilakukan dengan menginterpretasikan hasil pengukuran MS (Measuring Section) dan analisis sedimentologi dengan memperhatikan pola struktur sedimen, ukuran butir dan kriteria fisik batuan lainnya. Singkapan yang ditemukan pada daerah penelitian sebanding dengan model lingkungan pengendapan menurut Arifullah (2005) bahwa 39
satuan ini diendapkan pada lingkungan pengendapan tidal lower delta plain dengan 5 fasies, karena menunjukkan pola pengendapan batuan yang berselingan antara batupasir dan batulempung sebagai salah satu penciri lingkungan transisi (delta) yang mengalami perubahan muka air (pasang-surut) yang berubah-ubah secara dinamis yang sebanding dengan peneliti terdahulu (Fauzi, R., dkk. 2017, dan Arifullah, 2017) (gambar 3.13). Lingkungan pengendapan didaerah telitian terdapat 5 fasies yakni: 1. Marsh 2. Tidal channel 3. Tidal bar 4. Mud flat 5. Sand flat Untuk penentuan lingkungan pengendapan berdasarkan fosil foraminifera bentonik yang dikandung oleh batuannya, tidak dapat dilakukan (barren) karena tidak ada ditemukan fosil foraminifera bentonik. 3.2.2 Satuan Batupasir Shoreface 3.2.2.1 Sebaran dan Ketebalan Satuan ini terdapat dalam Formasi Bebuluh dan tersebar di bagian tengah daerah penelitian. Satuan ini juga menempati 18,6% atau kurang lebih sekitar 2,976 km2 di daerah penelitian. Singkapan dapat ditemukan dengan baik didekat alur sungai atau parit dan bekas galian bukaan tambang maupun bangunan rumah dan ditanah lapang. Satuan batu lempung tanah merah ini menempati bentuklahan perbukitan antiklin dan perbukitan homoklin. Ketebalan satuan batuan ini dapat ditentukan dengan penampang geologi. Berdasarkan sayatan penampang A – A’ tebalnya 755 m dan pada penampang geologi B – B’ Tebalnya 460 m. 3.2.2.2 Ciri Litologi Ciri litologi satuan batupasir shoreface yang mendominasi adalah batupasir. dengan batuan penyerta yang dijumpai berupa batulempung, dan batulanau. Batupasir dicirikan berwarna putih dan kecoklatan, ukuran butir pasir sangat halus - pasir kasar, membundar, terpilah baik, kemas terbuka, komposisi kuarsa (matriks), 40
karbonat (semen), struktur berupa masif, flaser, lentikuler, paralel laminasi, wavy laminasi, hummocky cross stratification, silang silur dan silang silur mangkok. Pengamatan petrografis yang ditunjukkan oleh sayatan 10/RF.14/Lp.17 (lampiran) yang diambil dari contoh batuan pada lokasi pengamatan 17, dalam sayatan tipis memperlihatkan warna abu-abu kecoklatan, tekstur klastik, semen karbonat, ukuran butir ukuran butir 0,05-1.25 mm (coarse silt – very coarse sand), bentuk butir menyudut tanggung-membulat tanggung, pemilahan sedang, kemas terbuka. nampak butiran terdiri dari kuarsa, feldspar, litik, dan mineral opak. Komposisi mineral berupa kuarsa (45%), feldspar (10%), mineral opak (3%), litihic (15%), fosil (7%), semen karbonat (20%). Berdasarkan klasifikasi gilbert, 1954; klasifikasi pettijohn, 1972; dan klasifikasi dott 1964 vide geilbert, 1982, didapatkan nama batuan Calcareous Quartz Arenit.
Gambar 3.10 Batupasir dengan struktur silang silur mangkok pada lokasi pengamatan 24 (arah foto N104°E).
41
Gambar 3.11 Batupasir dengan struktur hummocky cross stratification pada lokasi pengamatan 47 (arah foto N295°E).
Gambar 3.12 Batupasir dengan struktur paralel laminasi pada lokasi pengamatan 45 (arah foto N140°E). 42
3.2.2.3 Umur Penentuan umur satuan ini didasarkan pada posisi stratigrafi dan fosil yang ditemukan pada batuannya. Yang digunakan sebagai acuan adalah penarikan umur berdasarkan kandungan fosil foraminifera planktonik yang ada. Fosil-fosil foraminifera yang ditemukan antara lain: 1. Globigerinoides trilobus 2. Globigerinoides immaturus 3. Globoquadrina altispira 4. Globoquadrina dehiscens 5. Orbulina universa Berdasarkan fosil-fosil foraminifera planktonik di lokasi pengamatan 47, dapat ditentukan bahwa kisaran umur satuan batupasir shoreface ini diendapkan adalah dari Miosen awal sampai Miosen tengah (N8 – N16) (berwarna kuning pada tabel 3.3). Tabel 3.3 Umur satuan batupasir shoreface berdasarkan fosil foraminífera planktonik (klasifikasi Bolli, 1985).
L
N23
N19
N18
N17
N16
N15
N14
N13
N12
N11
N10
N9
N8
N7
N6
N5
N4
M
Holosen
E
N22
L
N21
M
N20
E
Pliosen
Pleistosen
Miosen
FORAMINIFER A PLANKTONIK Globigerinoides trilobus Globigerinoides immaturus Globigerinoides altispira Globoquadrina dehiscens Orbulina universa
3.2.2.4 Lingkungan Pengendapan Penentuan lingkungan pengendapan satuan batupasir shoreface dilakukan dengan menginterpretasikan hasil pengukuran MS (Measuring Section) dan analisis sedimentologi dengan memperhatikan pola struktur sedimen, ukuran butir dan kriteria fisik batuan lainnya. Singkapan yang ditemukan pada daerah penelitian yang sebanding dengan model lingkungan pengendapan menurut Arifullah (2005) 43
bahwa satuan ini diendapkan pada lingkungan pengendapan laut dangkal dengan 3 fasies. Penentuan lingkungan pengendapan ini berdasarkan adanya semen karbonat pada batuan dan di beberapa lokasi pengamatan 18, lokasi pengamatan 45, dan lokasi pengamatan 47 terdapat batupasir dengan struktur sedimen hummocky cross stratification (Hcs) sebagai salah satu penunjuk lingkungan laut dangkal (lower shoreface). Hcs mengungkapkan bahwa struktur ini terjadi dan terbentuk oleh gelombang kuat dari arah yang bervariasi (Oscillatory Flow) yang dihasilkan oleh gelombang dari laut. Lingkungan pengendapan ini sebanding dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Arifullah (2017) dalam disertasinya (gambar 3.13). Lingkungan pengendapan didaerah telitian terdapat 3 fasies yakni: 1. Foreshore 2. Upper shoreface 3. Lower shoreface Untuk menentukan lingkungan pengendapan dari satuan batupasir shoreface ini, didasarkan pada penemuan fosil foraminifera bentonik yang dikandung oleh batuannya, yaitu: 1. Robulus sp 2. Cibides sp Melihat kandungan fosil bentonik yang ditemukan pada satuan, maka penulis menarik kesimpulan bahwa satuan batupasir shoreface diendapkan pada lingkungan laut dangkal, dengan zona batimetri litoral atau pantai pada kedalaman 0 - 20 m (Robertson, 1985). Tabel 3.4 Lingkungan pengendapan satuan batupasir shoreface berdasarkan fosil foraminífera bentonik (klasifikasi Robertson, 1985). LINGKUNGA N FORAMINIFERA BENTONIK
LITORA L Kedalaman (Meter) 0
NERITIK
50
100
BATHYAL
200
ABYSSAL
2000
Robulus sp Cibides sp
3.2.3 Kesebandingan Lingkungan Pengendapan
44
Berdasarkan hasil analisis sedimentologi didapatkan 2 lingkungan pengendapan utama yaitu tidal dan shoreface. Dari kedua lingkungan pengendapan dapat di interpretasikan bahwa terdapat 2 proses yang mempengaruhi tiap pola pengendapan ialah pasang-surut dan gelombang. Dari hasil interpretasi tersebut didapat sebuah kesebandingan lingkungan pengendapan dan proses yang mempengaruhi pengendapan dengan peneliti terdahulu dalam disertasi Arifullah (2017) pada peta paleogeografi Cekungan Kutai Hilir.
Gambar 3.13 Peta paleogeografi kala miosen, dibagian tengah Cekungan Kutai Hilir (Arifullah, 2017). Kotak merah adalah lokasi penelitian dan kesebandingan lingkungan pengendapan dengan peneliti terdahulu.
3.2.4 Hubungan Stratigrafi Satuan batupasir shoreface merupakan satuan batuan paling bawah dan paling tua di daerah penelitian, sedangkan satuan batupasir tidal merupakan satuan batuan yang terendapkan pada bagian paling atas dari daerah penelitian, sehingga merupakan satuan batuan termuda di daerah penelitian. Tidak ditemukan kontak secara tegas dan jelas di daerah penelitian, tetapi berdasarkan kesebandingan dengan geologi regional lembar Samarinda oleh Supriatna, dkk., (1995), hubungan stratigrafi antara satuan batupasir tidal dan batupasir shoreface adalah tidak selaras. 45
3.3
Struktur Geologi Struktur geologi pada daerah telitian didapat berdasarkan data-data pengamatan
dilapangan dan interpretasi peta bahwa struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian dibagi menjadi dua fasa deformasi yaitu deformasi ductile dimana elastic limit batuan dilampaui dan perubahan bentuk dan volume pada batuan tidak kembali ke keadaan semula sehingga akan menghasilkan struktur berupa lipatan (fold) pada batuan, serta deformasi brittle yang terjadi apabila batas atau limit deformasi elastik dan ductile dilampaui dimana batuan akan patah dan hancur, sehingga menghasilkan struktur berupa kekar (joints). Kemiringan lapisan yang variatif pada daerah penelitian juga merupakan hasil dari arah gaya yang bekerja pada daerah ini dan sebanding dengan arah gaya regional yang berarah tenggara – baratlaut. Disamping penentuan struktur geologi pada daerah telitian pada tanda-tanda kelurusan sungai, analisis melalui peta topografi, dan literatur-literatur yang berhubungan dengan struktur regional. 3.3.1 Struktur Kekar Struktur kekar di daerah penelitian berdasarkan pengamatan di lapangan berkembang dimana memiliki orientasi arah relatif tenggara – barat laut dan timur laut - barat daya. dari hasil analisa kekar menggunakan diagaram rose didapatkan arah umum kekar N305ºE – N325ºE dimana tegasan relatif barat laut.
T1 T3
Gambar 3.14 Diagram roset arah umum kekar pada daerah penelitian (Rickard, 1972). 46
3.3.2 Struktur Lipatan Lipatan terbentuk dengan arah utara timurlaut – selatan baratdaya dan kenampakan dilapangan dengan kemiringan antara 230 – 560. Lipatan berupa antiklin dengan bentuk asimetris. Berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964) didapatkan penamaan lipatan ialah, moderate close inclined fold. Dengan besaran sudut antar sayap lipatan 52° dan deskripsi lipatan close. Tabel 3.5 Klasifikasi berdasarkan sudut antar sayap (Fleuty, 1964). Sudut antar sayap
Diskripsi lipatan
180 – 120
Gentle (landai)
120 – 70
Open (terbuka)
70 – 30
Close (tertutup)
30 – 0
Tight (ketat)
0
Isoklinal (Isoklin) Tabel 3.6 Klasifikasai Fleuty, 1964.
Sudut
Istilah
Dip bidang sumbu
Plunge garis sumbu
0
Horizontal
Recumbent fold
Horizontal fold
1 – 10
Subhorizontal
Recumbent fold
Subhorizontal fold
10 – 30
Gentle
Gently inclined fold
Gentle plunging fold
30 – 60
Moderate
Moderately inclined fold
Moderate plunging fold
60 – 80
Steep
Steeply inclined fold
Steeply inclined fold
80 – 89
Subvertical
Upright fold
Vertical fold
90
Vertical
Upright fold
Vertical fold
3.3.3 Mekanisme Pembentukan Struktur Secara regional, arah tegasan utama di daerah telitian yaitu relatif berarah tenggara-baratlaut yang disebabkan deformasi oleh gaya tektonik. Sehingga menyebabkan adanya struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian 47
diantaranya kekar dan lipatan. Di daerah penelitian, pada kala miosen tengah (McClay, 2000) setelah batuan terbentuk dan kemudian mendapat deformasi tekanan/kompresi dari arah baratdaya – tenggara sehingga terbentuk struktur geologi berupa lipatan, dengan arah sumbu lipatan utara timurlaut - selatan baratlaut yang relatif tegak lurus terhadap arah tegasan. Lipatan di daerah telitian adalah antiklin Separi yang merupakan lipatan pertama di Mahakam fold belt yang terbentuk bersama-an dengan antiklin Sebulu/Mentawir pada kala miosen tengah N8 (McClay, 2000).
48
BAB 4 SEJARAH GEOLOGI DAERAH BERAMBAI TINGKAT 17
4.1
Sejarah Geologi Daerah Penelitian Berdasarkan data-data geologi primer yang meliputi data lapangan, data sekunder yang terdiri dari ciri litologi, umur dan lingkungan pengendapan, serta
pola struktur dan mekanisme pembentukannya, serta ditambah dengan hasil interpretasi dan penafsiran, pada akhirnya dapat dibuat suatu sintesis geologi daerah penelitian yang menggambarkan sejarah geologi pada suatu kerangka ruang dan waktu. Penentuan sejarah geologi daerah penelitian juga mengacu pada sejarah geologi regional penelitipeneliti terdahulu. Sejarah geologi di daerah penelitian di mulai sejak akhir Miosen Awal, yaitu sejak batuan tertua di daerah penelitian pertama kali diendapkan, hingga saat ini (Resen). Fasa Pertama Pada kala akhir Miosen Awal N8. di daerah penelitian mulai diendapkan satuan batupasir shoreface (Gambar 4.1) yang terdiri dari batupasir, dengan sisipan batulempung, dan batulanau. Satuan batupasir shoreface diendapkan pada litoral (pantai) atau pada kedalaman 20 - 100 m. Saat pengendapan satuan batupasir shoreface, di daerah penelitian mengalami fasa transgresi. Fasa Kedua dan Ketiga Pada awal Miosen N8 (berdasarkan zonasi biostratigrafi Bachtiar, 2004), diendapkan satuan batupasir tidal (gambar 4.2 dan gambar 4.3) yang terdiri dari batupasir, dengan batulempung, batulanau, shalycoal, coalyshale dan batubara. Satuan batupasir tidal diendapkan pada zona litoral (pantai) berdasarkan hasil analisis sedimentologi karena tidak ditemukannya fosil penunjuk (barren). Saat pengendapan satuan ini mengalami fasa transgresi yang kemudian mengalami fasa regresi, fasa regresi dimulai saat kala miosen tengah (Samuel dan Muchsin, 1976, dalam van de Weerd dan Amin, 1992). dimana perubahan fasa dari transgresi menjadi regresi ini dapat diketahui melalui
49
pengamatan profil lintasan di lokasi pengamatan 35, 40 dan 48 yang ditemukan litologi batuan berupa batubara sebagai salah satu produk puncak dari fasa transgresi. Fasa ke-empat Daerah penelitian yang telah terangkat karena proses regresi kemudian mulai mengalami pengaruh gaya eksogen yang bersifat destruktif. Mengalami deformasi berupa lipatan, berdasarkan hasil analisis kekar dapat diketahui bahwa pembentukan lipatan ini karena mendapat tegasan relatif arah baratlaut - tenggara (gambar 4.4). Proses erosi aktif mengakibatkan bentang alam berubah menjadi seperti saat ini.
Gambar 4.1 Fasa 1, pengendapan satuan batupasir shoreface pada kala Miosen N8 dengan lingkungan litoral selama fasa transgresi.
50
Gambar 4.2 Fasa 2, pengendapan satuan batupasir tidal selama masa transgresi menuju transgresi maksimum.
Gambar 4.3 Fasa 3, pengendapan satuan batupasir tidal selama perubahan masa transgresi ke regresi dengan ditandai dengan adanya litologi batubara sebagai puncak transgresi (lampiran C, lokasi pengamatan 35, 40, dan 48).
Gambar 4.4 Fasa 4, daerah penelitian mengalami deformasi sehingga daerah telitian terlipat.
4.2
Potensi Geologi
51
Potensi geologi ialah kemampuan alam untuk dapat menghasilkan suatu produk hasil proses-proses geologi yang bekerja, baik produk yang dapat menimbulkan dampak manfaat maupun juga produk yang dapat menimbulkan kerugian bagi umat manusia. Berdasarkan pengamatan di lapangan, terdapat potensi geologi pada daerah penelitian yang dapat di kembangkan, yaitu mud volcano sebagai objek geowisata. Mud Volcano didefinisikan sebagai endapan lumpur yang mempunyai densitas lebih ringan dari batuan sekitarnya, mobilitas tinggi, naik kepermukaan melalui bidang lemah sebagai konduit, berupa sesar (mendatar atau tegak) serta rekahan-rekahan. Mud volcano yang berada di kawasan Berambai ini merupakan tipe mud volcano yang tidak ada kaitannya dengan aktivitas gunung api. Munculnya mud volcano ini dipicu adanya lumpur yang bercampur dengan kantong-kantong gas (metan) yang mengalami kelebihan tekanan dibawah permukaan bumi dan keluar melalui bidang sesar yang ada di jalur antiklinorium Samarinda, memiliki jalur sama dengan mud volcano yang ada di Kawasan Batu Putih. Terdapat dua lokasi munculnya semburan lumpur dan salah satunya sudah tidak aktif lagi. Mud volcano ini memiliki panjang ±3.5 meter, lebar ±2 meter dan tinggi ±2.44 meter. Mengeluarkan lumpur 18 sampai 20 kali semburan dalam satu (1) menit.
52
a
b Gambar 4.1 a. Foto mud volcano, b. Foto kepundan mud volcano.
53
BAB 5 PENUTUP
5.1
Kesimpulan Pemetaan geologi di daerah Tanah Merah dan sekitarnya berdasarkan pengamatan
lapangan, analisa data dan interpretasi peta, dapat disimpulkan: 1. Geomorfologi daerah penelitian terdiri dari 1 bentuk asal yaitu bentuk asal struktural dengan 2 bentuk lahan yaitu, bentuk lahan perbukitan antiklin dan perbukitan homoklin. Pola aliran sungai yang berkembang adalah subdendritik dan trellis serta stadia daerah termasuk muda. 2. Stratigrafi daerah penelitian terbagi menjadi 2 (dua) satuan batuan yaitu satuan batupasir shoreface yang beranggotakan batulempung dan batulanau. Satuan
54
batupasir tidal beranggotakan batulempung, batulanau, shalycoal, coalyshale, dan batubara. 3. Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari struktur perlipatan, dan struktur kekar. Struktur lipatan yang berkembang adalah antiklin Separi yang terbentuk pada kala Miosen Tengah N8 (McClay, 2000). 4. Potensi geologi Mud volcano yang berada di kawasan Berambai ini merupakan tipe mud volcano yang tidak ada kaitannya dengan aktivitas gunung api. Munculnya mud volcano ini dipicu adanya lumpur yang bercampur dengan kantong-kantong gas (metan) yang mengalami kelebihan tekanan dibawah permukaan bumi dan keluar melalui bidang sesar yang ada di jalur antiklinorium Samarinda, memiliki jalur sama dengan mud volcano yang ada di Kawasan Batu Putih. Terdapat dua lokasi munculnya semburan lumpur dan salah satunya sudah tidak aktif lagi. Mud volcano disini dapat dikembangkan menjadi objek geowisata yang menarik.
5.2
Saran Saran yang dapat diberikan adalah sebaiknya dalam melakukan pemetaan geologi
lebih memperhatikan keselamatan maupun kesehatan diri pada saat pengambilan data lapangan, sebab akan sangat berpengaruh terhadap konsentrasi dilapangan dimana harus dapat menyeimbangkan antara tenaga dan pikiran yang amat sangat diperlukan. Ditambah lagi apabila faktor cuaca tidak mendukung juga akan sangat mempengaruhi pada saat pengambilan data lapangan.
55
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G.P., Chambers, John L.C., 1998. Sedimentation of The Modern and Miocene Mahakam Delta, Indonesian Petroleum Association, 27st Annual Convention Proceeding. Jakarta. Arifullah, E., 2005. Karakteristik Ichnologi dan Sistem Pengendapan Delta, Studi Kasus: Delta Mahakam Modern dan Miosen Cekungan Kutai Kalimantan Timur, Tesis Program Magister, Institut Teknologi Bandung. Bandung. Arifullah, E., 2017. Perkembangan Iknofosil Sebagai Parameter Dasar Rekonstruksi Model Lingkungan Pengendapan Pada Kala Miosen, Di Bagian Tengah Cekungan Kutai Hilir Samarinda Dan Sekitarnya, Kalimantan Timur, Studi: Sistem Pengendapan Kala Miosen Di Daerah Samarinda, 56
Kalimantan Timur Berdasarkan Data Iknofabrik. Disertasi Program Doktor, Institut Teknologi Bandung. Bachtiar, A., 2004. Kerangka Stratigrafi Sekuen dan Karakter Batuan Induk Miosen Awal di Cekungan Kutai Hilir, Kalimantan Timur, Disertasi Program Doktor, Institut Teknologi Bandung. Bachtiar, A., Kurniawan, E., dan Widodo, K.S., 2003. Regional Kutai Basin and Mahakam Delta Field Trip, Guide Book, PT. GDA Daya Ayfedha. Badan Pusat Statistik Kota Samarinda. 1998. Samarinda Dalam Angka. Samarinda: BAPPEDA Kota Samarinda, BPS Kota Samarinda. Badan Pusat Statistik Kota Samarinda. 2010. Samarinda Dalam Angka. Samarinda: BAPPEDA Kota Samarinda, BPS Kota Samarinda. Bemmelen, van, R.W., 1949. The Geology of Indonesia., Maritimus Nyhoff, The Haque, Netherland. Biantoro, E., Muritno, B.p., dan Mamuaya, J.M.B., 1992. Inversion Faults as Major Structural Control in the Northern Part of the Kutai Basin, Indonesian Petroleum Association, 21st Annual Convention Proceeding. Jakarta. Halaman 45 - 68. Bolly, H.M., Saunders, J.B., Nielsen, K.P., 1985. Plankton Stratygraphy. Cambridge University Press. Chambers, J.L.C., Allen, G.P., Suprapto, A., dan Atkinson, C., 1992. East Kalimantan Guide Book. Indonesian Petroleum Association Post Convention Field Trip, 1992. Chambers, J.L.C., dan Daley, T.E., 1995. A Tectonic Model for The Onshore Kutai Basin, East Kalimantan, Based on An Integrated Geological and Geophysical Interpretation.
Indonesian
Petroleum
Association,
24th.
Annual
Convention Proceeding. Jakarta. Halaman 111 - 128. Chambers, Jhon, L.C., Moss, Steve J., 2000. Depositional Modeling and Facies Architecture of Rift and Inversion Episodes in The Kutai Basin, Kalimantan Indonesia. Indonesian Petroleum Association, 29th Annual Convention Proceeding. Jakarta. Halaman 87 – 101. Courtney, S., Cockcroft, P. Lorentz, R. A. Miller, R. Ott, H. L. Prijosoesilo, P. Suhendan, A. R. & Wight, A. W. R., 1991. Indonesia-Oil and Gas Field Atlas. 57
Volume 2 Central Sumatra. Indonesian Petroleum Association, 20th Annual Convention Proceeding. Jakarta. Dalrymple, R.W., 1992. Tidal Depositional System, Halaman 195 – 218 dalam Walker, R.G., dan James , N.P., ed., Facies Models 2: A Response to Sea-Level Changes, 409 hal., Geological Association of Canada. Dott, R. H., 1964. Wacke, Greywacke and Matrix-What Approach to Immature Sandstone Classification. Journal of Sedimentary Petrology, v-34. Halaman 625 – 632. Fauzi, Rizky, dkk., 2017. Determination Of Facies Depositional Environment and Hydrocarbon Potential Based On Outcrop Observation. Indonesian Petroleum Association, 40th Annual Convention Proceeding. Jakarta. Fauzi, Rizky, dkk., 2017. Studi Lingkungan Pengendapan Formasi Balikpapan Daerah Batu Besaung. Seminar Nasional Teknik 4, 9 November 2017. Samarinda Land, D.H., and C.M. Jones., 1987. Coal geology and exploration part of the Tertiary Kutai Basin in East Kalimantan, Indonesia dalam Coal and coal bearing strata: Recent advances, Scott, A. (ed.):, Geological Society Special Publication no. 32, Halaman 235 - 255. Leupold, W, and van der Vlerk, I.M., 1931. The Tertiary. Leische Geologische Mededelingen, 5. Halaman 611 - 648. Marks, E.L., Sujatmiko, L. samuel, H. Dhanutirto, T. Ismoyati, dan B.B. Sidik., 1982. Cenozoic stratigraphic nomenclature in East Kutei Basin, Kalimantan. Indonesian Petroleum Association, 11th Annual Convention Proceeding. Jakarta. McClay, K., Dooley, T., Ferguson, A., Poblet, J., 2000. Tetctonic Evolution of Sangasanga Block, Mahakam Delta, Kalimantan Indonesia. American Association of Petroleum Geologist Bulletin. V.84, Halaman 765 – 786. Moss, S.J., and Chambers, J.L.C., 1999. Tertiary facies architecture in the Kutei Basin, Kalimantan, Indonesia. Presented at the Conference on Tectonics, Stratigraphy & Petroleum Systems of Borneo Conference, 22-25, June, 1997, University Brunei Darussalam.
58
Muchsin, S., Samuel, L., 1975. Stratigraphy and Sedimentation in The Kutai Basin, Kalimantan. Indonesian Petroleum Association, 4th Annual Convention Proceeding. Jakarta. Halaman 87 – 101. Ott, H., 1987. Kutei Basin – A Unique Structure History. Indonesian Petroleum Association, 16th Annual Convention Proceeding. Jakarta. PERTAMINA dan BPPKA., 1997. Petroleum Geology of Indonesian Basins: Principles, Methods and Application, Vol XI: Kutai Basins. Pettihjohn, F.J., 1957. Sedimentary Rock, Harper and Brother, New York. Ragan, Donald.M., 1973. Structural Geology, An Introduction To Geometrical Techniques, Second Edition, Departement of Geology State University. Resmawan, R.A., 2007. Analisis Variasi Kandungan Sulfur pada Batubara Seam S di Daerah Palaran, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Tesis Magister Rekayasa Pertambangan. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Rickard, M.K., 1972. Fault Classification – Discussion:Geological Society of America Buletin, v. 83. Halaman 2545- 2546. Robertson Research, 1985. Benthonic Foraminiferal Age Zonation and Environtment of Deposition. Lecture 3. Geneva. Satyana, A.H., Nugroho, D., Surantoko, I., 1998. Tectonic controls on the hydrocarbon habitats of the Barito, Kutei, and Tarakan Basins, Eastern Kalimantan, Indonesia: major dissimilarities in adjoining basins, Journal of Asian Earth Sciences. Siemers, C.T., 1993. Mahakam Delta / East Kalimantan Outcrops / Core Workshop, Clastic Sedimentology Seminar, VICO Indonesia. Halaman 107. Supriatna, Sukardi dan E. Rustandi., 1995. Pemetaan dan Laporan Geologi Lembar Samarinda, Kalimantan Timur, dengan skala 1: 250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Thornbury, W.D., 1969. Principle of Geomorphology, John Willey and Sons Inc, New York. Van de Weerd, A. A. and R.A. Armin, 1992. Origin and evolution of the tertiary hydrocarbon-bearing basins in Kalimantan (Borneo), Indonesia. AAPG bulletin vol. 76 no. 11, Halaman 1778 - 1803.
59
Verstappen, 1985. Geomorphological Surveys for Environmental Development, Elsevier Science Publishing Company Inc, Amsterdam. Williams, H., Turner, F.J., Gilbert, C,M., 1954. Petrography, An Introduction to The Study of Rock in Thin Section, W.H. Freeman and Company, New York. Zuidam, R. A van, and Zuidam Cancelado. FI, 1979. Terrain Analysis an Classification Using Aerial Photographs A Geomorphological, Approach ITC, Textbook. Zuidam, R. A van, 1985. Aerial Phot – Interpretation in Terrain Analysis and Geomorphologic Mapping. Smith Publisher, The Hague ITC.
60