Laporan Pbl Susun.docx

  • Uploaded by: rahmawaty putri
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Pbl Susun.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 13,737
  • Pages: 76
LAPORAN PBL SISTEM NEUROPSIKIATRI MODUL 1 “LEMAH SEPARUH BADAN”

OLEH : KELOMPOK 7 PEMBIMBING : dr. Arina F. Arifin, M.Kes ANGGOTA : Haerul Ikhsan Haermiansyah

11020150047

Asyima Batari Putri Utami

11020150150

Chelsea Putri Ningsih

11020160001

Rahmadani Ali Umer

11020160014

Zulfikar Anand Pratama

11020160034

Rani Meiriska Nur Indah S

11020160047

Andi Nashira Iswalaily

11020160078

Rahmawaty Kurnia Putri

11020160111

Andi Suryanti Tenri Rawe

11020160124

Aulia Pratiwi Nurul Suci

11020160132

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA 2018

SKENARIO Seorang laki-laki usia 60 tahun masuk ke IGD RS dengan kesadaran menurun. Saat penderita akan pergi ke kamar mandi, penderita tersebut jatuh dan kepalanya terbentur dinding. Selama ini penderita mengalami tekanan darah tinggi.

KATA SULIT -

KATA KUNCI 1. Laki-laki usia 60 tahun 2. Masuk IGD RS dengan kesadaran menurun 3. Jatuh dan kepalanya terbentur dinding 4. Penderita mengalami tekanan darh tinggi

PERTANYAAN 1. Bagaimana korelasi antara kepala terbentur dengan kesadaran menurun ? 2. Bagaimanakah korelasi tekanan darah tinggi dengan kesadaran menurun ? 3. Jelaskan etiologi kesadaran menurun 4. Gambarkan sistem yang terlibat dalam keadaan kesadaran menurun 5. Bagaimana patomekanisme kesadaran menurun dan jelaskan klasifikasinya 6. Bagaimana penanganan awal berdasarkan skenario ? 7. Jelaskan langkah-langkah untuk mendiagnosis penderita berdasarkan skenario 8. Jelaskan diagnosis banding berdasarkan skenario 9. Bagaimana perspektif Islam berdasarkan skenario ?

JAWABAN PERTANYAAN 1. Korelasi antara kepala terbentur dengan kesadaran menurun : Patofisiologi Kesadaran Menurun Patofisiologi menerangkan terjadinya kesadaran menurun sebagai akibat dari berbagai macam gangguan atau penyakit yang masing-masing

pada akhirnya mengacaukan fungsi reticular activating system secara langsung maupun tidak langsung. Dari studi kasus-kasus koma yang kemudian meninggal dapat dibuat kesimpulan, bahwa ada tiga tipe lesi /mekanisme yang masing-masing merusak fungsi reticular activating system, baik secara langsung maupun tidak langsung. Etiologi Gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi, baik yang bersifat intrakranial maupun ekstrakranial / sistemik. Salah satu penyebabnya adalah Trauma kepala - Trauma kepala paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas. Morfologi Cedera/ Trauma Secara morfologi, kejadian Cedera/ Trauma kepala dibagi menjadi: 

Fraktur Kranium



Lesi Intrakranial



Perdarahan Epidural



Perdarahan Subdural



Kontusio dan Perdarahan Intraserebral



Cedera Difus



Cedera

PERDARAHAN EPIDURAL DEFINISI Hematom epidural atau lebih dikenal dengan istilah Epidural hematoma (EDH) adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura,ketika pembuluh darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural hematom.

Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria.Umumnya terjadi pada regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media. Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral yang diikuti oleh timbulnya gejala neurologi yang secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dangejala herniasi transcentorial. Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervus kranialis.

PATOFISIOLOGI Cedera disebabkan oleh laserasi arteri meningea media atau sinus dura, dengan atau tanpa disertai fraktur tengkorak. Perdarahan dari EDH dapat menyebabkan kompresi, pergeseran, dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan duramater. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital. Arteri meningea media masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum melalui durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan EDH, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar. Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.

Tekanan dari herniasi pada sirkulasi arteria yang mengatur formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intrakranial antara lain gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan. Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang progresif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut lucid interval. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada EDH. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.

Referensi : 1. Yudy Goysal Bagian/ SMF Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin RS Wahidin Sudirohusodo Makassar. 2016. 2. Cherie Mininger. Epidural Hematoma. Dalam: Michael I. Greennberg, MD, MPH. Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan. Jilid 1. Edisi: 1. Jakarta: Erlangga; 2008. h. 51. 2. Korelasi antara tekanan darah tinggi dengan kesadaran menurun : Tekanan darah tinggi (hipertensi) merupakan suatu keadaan meningkatnya ekanan darah sistolik lebih dari sama dengan 140 mmHg dan diastolik lebih dari sama dengan 90 mmHg setelah dua kali pengukuran terpisah. Pada otak sering terjadi stroke dimana terjadi perdarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroaneurima yang dapat mengakibatkan kematian.

Stroke merupakan kerusakan target organ pada otak yang diakibatkan oleh hipertensi. Stroke timbul karena perdarahan, tekanan intrakranial yang meninggi,atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang mendarahi otak mengalami hipertrofi atau penebalan, sehingga aliran darah ke daerah- daerah yang diperdarahi akan berkurang. Arteri-arteri di otak yang mengalami arterosklerosis melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuk nya aneurisma. Aneurisma adalah kelainan kardiovaskuler berupa kelemahan dinding arteri atau vena cerebri yang menyebabkan dilatasi lokal atau balooning pembuluh darah. Etiologi trauma kepala,atherosklerosis atau hipertensi,emboli (atrial myxoma),

infeksi,kongenital.

Jika

terjadi

ruptur

aneurima

akan

menyebabkan terjadinya SAH. SAH adalah perdarahan di rongga subarachnoid.

Referensi : 1. Nuraini, B. (2015). Risk factors of hypertension. 2. Modul Vaskular,(2016). Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah Saraf Univeristas Airlangga. Surabaya 3. Etiologi dari kesadaran menurun : Gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi, baik yang bersifat intrakranial maupun ekstrakranial / sistemik.

Penjelasan

singkat tentang faktor etiologi gangguan kesadaran adalah sebagai berikut: a. Gangguan sirkulasi darah di otak (serebrum, serebellum, atau batang otak) - Perdarahan, trombosis maupun emboli - Mengingat insidensi stroke cukup tinggi maka kecurigaan terhadap stroke pada setiap kejadian gangguan kesadaran perlu digaris bawahi. b. Infeksi: ensefalomeningitis (meningitis, ensefalitis, serebritis/abses otak)

- Mengingat infeksi (bakteri, virus, jamur) merupakan penyakit yang sering dijumpai di Indonesia maka pada setiap gangguan kesadaran yang disertai suhu tubuh meninggi perlu dicurigai adanya ensefalomeningitis. c. Gangguan metabolisme - Di Indonesia, penyakit hepar, gagal ginjal, dan diabetes melitus sering dijumpai. d. Neoplasma - Neoplasma otak, baik primer maupun metastatik, sering di jumpai di Indonesia. - Neoplasma lebih sering dijumpai pada golongan usia dewasa dan lanjut. - Kesadaran menurun umumnya timbul berangsur-angsur namun progresif/ tidak akut. e. Trauma kepala - Trauma kepala paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas. f. Epilepsi - Gangguan kesadaran terjadi pada kasus epilepsi umum dan status epileptikus g. Intoksikasi - Intoksikasi dapat disebabkan oleh obat, racun (percobaan bunuh diri), makanan tertentu dan bahan kimia lainnya. h. Gangguan elektrolit dan endokrin - Gangguan ini sering kali tidak menunjukkan “identitas”nya secara jelas; dengan demikian memerlukan perhatian yang khusus agar tidak terlupakan dalam setiap pencarian penyebab gangguan kesadaran.

Referensi : 1. Bahan ajar kesadaran menurun, neuropsikiatri, 2016, Universitas Hasanuddin 2. Brust, J.C.M., 2007, Current Diagnosis & Treatment NEUROLOGY, International ed, Mc GrawHill, New York 3. Harsono 2007 Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua Cet.ke-6; Gadjah Mada University Press Yogyakarta

4. Gambaran sistem yang terlibat dalam keadaan kesadaran menurun : Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan dura mater disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis dan pia mater kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks serebri. Sulkus dan fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih kecil yang disebut lobus. Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1.

Serebrum (Otak Besar)

Gambar 1. Serebrum Dikutip dari Werner Spalteholz, Hand-Atlas of Human Anatomy, Philadelphia

Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer. Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kanan. Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulkus. Keempat lobus tersebut masing-

masing adalah lobus frontal, lobus parietal, lobus oksipital dan lobus temporal. a.

Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum. Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus parieto-oksipital ke ujung posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini berfungsi untuk menerima impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatic.

b.

Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral dari Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik untuk mengontrol gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca sebagai pusat bicara; dan area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual.

c.

Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting dalam kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.

d.

Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal. Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata.

2.

Serebelum (Otak Kecil)

Gambar 2. Serebellum Dikutip dari Werner Spalteholz, Hand-Atlas of Human Anatomy, Philadelphia

Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak. Serebelum terletak di bagian bawah belakang kepala, berada di belakang batang otak dan di bawah lobus oksipital, dekat dengan ujung leher bagian atas. Serebelum adalah pusat tubuh dalam mengontrol kualitas gerakan. Serebelum juga mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Selain itu, serebelum berfungsi menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya. 3.

Batang Otak

Gambar 3. Batang otak Dikutip dari Werner Spalteholz, Hand-Atlas of Human Anatomy, Philadelphia

Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila terdapat massa pada batang otak maka gejala yang sering timbul berupa muntah, kelemahan otat wajah baik satu maupun dua sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun. Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu: a.

Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum. Saraf kranial III dan IV diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.

b.

Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain dan medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf Kranial (CN) V diasosiasikan dengan pons.

c.

Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak juga di fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan medulla, sedangkan CN VI dan VIII berada pada perhubungan dari pons dan medulla.

Vaskularisasi Darah mengangkut zat asam, makanan dan substansi lainnya yang diperlukan bagi fungsi jaringan hidup yang baik. Kebutuhan otak sangat mendesak dan vital, sehingga aliran darah yang konstan harus terus dipertahankan. Suplai darah arteri ke otak merupakan suatu jalinan pembuluh pembuluh darah yang bercabang-cabang, berhubungan erat satu dengan yang lain sehingga dapat menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel.

1. Peredaran Darah Arteri

Gambar 4. Perdarahan arteri Dikutip dari Werner Spalteholz, Hand-Atlas of Human Anatomy, Philadelphia

Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis

dan

arteri

karotis

interna,

yang

bercabang

dan

beranastosmosis membentuk circulus willisi. Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteri karotis komunis yang berakhir pada arteri serebri anterior dan arteri serebri medial. Di dekat akhir arteri karotis interna, dari pembuluh darah ini keluar arteri communicans posterior yang bersatu kearah kaudal dengan arteri serebri posterior. Arteri serebri anterior saling berhubungan melalui arteri communicans anterior. Arteri vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria subklavia sisi yang sama. Arteri subklavia kanan merupakan cabang dari arteria inominata,sedangkan arteri subklavia kiri merupakan cabang langsung dari aorta. Arteri vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen magnum, setinggi perbatasan pons dan medula oblongata. Kedua arteri ini bersatu membentuk arteri basilaris.

2. Peredaran Darah Vena

Gambar 5. Peredaran darah vena Dikutip dari Werner Spalteholz, Hand-Atlas of Human Anatomy, Philadelphia

Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus duramater, suatu saluran pembuluh darah yang terdapat di dalam struktur duramater. Sinus-sinus duramater tidak mempunyai katup dan sebagian besar berbentuk triangular. Sebagian besar vena cortex superfisial mengalir ke dalam sinus longitudinalis superior yang berada di medial. Dua buah vena cortex yang utama adalah vena anastomotica magna yang mengalir ke dalam sinus longitudinalis superior dan vena anastomotica parva yang mengalir ke dalam sinus transversus. Venavena serebri profunda memperoleh aliran darah dari basal ganglia Meninges

Gambar 6. Meninx Dikutip dari Werner Spalteholz, Hand-Atlas of Human Anatomy, Philadelphia

Merupakan serabut atau membrane yang terdiri dari connective tissue yang melapisi dan melindungi otak, terdiri atas tiga bagian, yaitu: 1. Duramater Duramater atau pacymeninx dibentuk dari jaringan ikat fibrous. Secara konvensional duramater ini terdiri dari dua lapis, yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Kedua lapisan ini melekat dengan rapat, kecuali sepanjang tempat-tempat tertentu, terpisah dan membentuk sinus-sinus venosus Lapisan endosteal sebenarnya merupakan lapisan periosteum yang menutupi permukaan dalam tulang cranium. Lapisan meningeal merupakan lapisan duramater yang sebenarnya, sering disebut cranial duramater. Terdiri dari jaringan fibrous yang padat dan kuat yang membungkus otak dan melanjutkan diri menjadi duramater spinalis setelah melewati foramen magnum yang berakhir sampai segmen kedua os. Sacrum. Lapisan meningeal membentuk empat septum ke dalam, membagi rongga cranium menjadi ruang-ruang yang saling berhubungan dengan bebas dan menampung bagian-bagian otak. Fungsi septum ini adalah untuk menahan pergeseran otak.

a. Falx cerebri adalah lipatan duramater berbentuk bulan sabit yang terletak pada garis tengah diantara kedua hemisfer cerebri. Ujung bagian anterior melekat pada crista galli. Bagian posterior melebar, menyatu dengan permukaan atas tentorium cerebelli.

b. Tentorium cerebelli adalah lipatan duramater berbentuk bulan sabit yang menutupi fossa cranii posterior. Septum ini menutupi permukaan atas cerebellum dan menopang lobus occipitalis cerebri.

c. Falx cerebelli adalah lipatan duramater kecil yang melekat pada protuberantia occipitalis interna.

d. Diaphragma sellae adalah lipatan sirkular kecil dari duramater, yang menutupi sella turcica dan fossa pituitary gland dari hipotalamus dan chiasma optikum. Pada bagian tengah terdapat lubang yang dilalui oleh hipofisis. Pada pemisahan dua lapisan duramater ini, diantaranya terdapat sinus duramatris yang berisi darah vena. Sinus venosus/duramatris ini menerima darah dari drainase vena pada otak dan mengalir menuju vena jugularis interna. Dinding dari sinus-sinus ini dibatasi oleh endothelium. Sinus pada calvaria yaitu sinus sagitalis superior. Sinus sagitalis inferior, sinus transverse dan sinus sigmoidea. Sinus pada basis cranii antara lain: sinus occipitalis, sinus sphenoparietal, sinus cavernosus, sinus petrosus. Pada lapisan duramater ini terdapat banyak cabang-cabang pembuluh darah yang berasal dari arteri carotis interna, A. maxillaris, A. pharyngeus ascendant, A. occipital dan A. Vertebralis. Dari sudut klinis, yang terpenting adalah A. Meningea media (cabang A. maxillaris) karena arteri ini umumnya sering pecah pada keadaan trauma capitis. Pada duramater terdapat banyak ujung-ujung saraf sensorik, dan peka terhadap regangan sehingga jika terjadi stimulasi pada ujung saraf ini akan menimbulkan sakit kepala yang hebat. 2. Arachnoid Lapisan ini merupakan suatu membrane yang impermeabel halus, yang menutupi otak dan terletak diantara piamater dan duramater. Membran ini dipisahkan dari duramatare dari ruang potensial yaitu spatium subdurale, dan dari piamater oleh cavum subarachnoid yang berisi cerebrospinal fluid. Cavum

subarachnoid

(subarachnoid

space)

merupakan

suatu

rongga/ruangan yang dibatasi oleh arachnoid di bagian luar dan piamater pada bagian dalam. Dinding subarachnoid space ini ditutupi oleh mesothelial cell yag pipih. Pada daerah tertentu arachnoid menonjol ke dalam sinus venosus membentuk vili arachnoidales. Agregasi vili arachnoid disebut sebagai granulation arachnoidales. Vili arachnoidales ini berfungsi sebagai tempat perembesan cerebrospinal fluid ke dalam aliran darah. Arachnoid berhubungan dengan piamater melalui untaian jaringan fibrosa halus yang melintasi cairan dalam cavum subarachnoid. Struktur yang berjalan dari dan ke otak menuju cranium atau foraminanya harus melalui cavum subarachnoid.

3. Piamater Piamater berhubungan erat dengan otak dan sum-sum tulang belakang, mengikuti tiap sulcus dan gyrus. Piameter ini merupakan lapisan dengan banyak pembuluh darah dan terdiri dari jaringan penyambung yang halus serta dilalui pembuluh darah yang memberi nutrisi pada jaringan saraf. Astrosit susunan saraf pusat mempunyai ujung-ujung yang berakhir dengan end feet dalam piamater untuk membentuk selaput pia-glia. Selaput ini berfungsi untuk mencegah masuknya bahan-bahan yang merugikan masuk kedalam susunan saraf pusat. Piamater membentuk tela-choroidea, atap ventriculus tertius dan quartus, dan menyatu dengan ependyma, membentuk plexus choroideus dalam ventriculus lateralis, tertius dan quartus.

Referensi: 1. Barr, Murray. L, The Human Nervous System, Harper & Row, Philadelphia. 2014. 2. Werner Spalteholz, Hand-Atlas of Human Anatomy, Philadelphia. 2014. 3. Snell Richard.S, Anatomi Klinik bagian 3. 2011. Jakarta:EGC

5. Patofisiologi kesadaran menurun : Patofisiologi menerangkan terjadinya kesadaran menurun sebagai akibat dari berbagai macam gangguan atau penyakit yang masing-masing pada akhirnya mengacaukan fungsi reticular activating system secara langsung maupun tidak langsung. Dari studi kasus-kasus koma yang kemudian meninggal dapat dibuat kesimpulan, bahwa ada tiga tipe lesi / mekanisme yang masing-masing merusak fungsi reticular activating system, baik secara langsung maupun tidak langsung. a. Disfungsi otak difus 1.

Proses metabolik atau submikroskopik yang menekan aktivitas neuronal.

2.

Lesi yang disebabkan oleh abnormalitas metabolik atau toksik atau oleh pelepasan general electric (kejang) diduga bersifat subseluler atau molekuler, atau lesi-lesi mikroskopik yang tersebar.

3.

Cedera korteks dan subkorteks bilateral yang luas atau ada kerusakan thalamus yang berat yang mengakibatkan terputusnya impuls talamokortikal atau destruksi neuron-neuron korteks bisa karena trauma (kontusio, cedera aksonal difus), stroke (infark atau perdarahan otak bilateral).

4.

Sejumlah penyakit mempunyai pengaruh langsung pada aktivitas metabolik sel- sel neuron korteks serebri dan nuclei sentral otak seperti meningitis, viral ensefalitis, hipoksia atau iskemia yang bisa terjadi pada kasus henti jantung.

5.

Pada umumnya, kehilangan kesadaran pada kondisi ini setara dengan penurunan aliran darah otak atau metabolisme otak.

b. Efek langsung pada batang otak 1.

Lesi di batang otak dan diensefalon bagian bawah yang merusak/menghambat reticular activating system.

2.

Lesi anatomik atau lesi destruktif terletak di talamus atau midbrain di mana neuron-neuron ARAS terlibat langsung.

3.

Lebih jarang terjadi.

4.

Pola patoanatomik ini merupakan tanda khas stroke batang otak akibat oklusi arteri basilaris, perdarahan talamus dan batang otak atas, dan traumatic injury.

c. Efek kompresi pada batang otak 1.

Kausa kompresi primer atau sekunder

2.

Lesi masa yang bisa dilihat dengan mudah.

3.

Massa tumor, abses, infark dengan edema yang masif atau perdarahan intraserebral, subdural maupun epidural. Biasanya lesi ini hanya mengenai sebagian dari korteks serebri dan substansia alba dan sebagian besar serebrum tetap utuh. Tetapi lesi ini mendistorsi struktur yang lebih dalam dan menyebabkan koma karena efek pendesakan (kompresi) ke lateral dari struktur tengah bagian dalam dan terjadi herniasi tentorial lobus temporal yang berakibat kompresi mesensefalon dan area subthalamik reticular activating system, atau adanya perubahan-perubahan yang lebih meluas di seluruh hemisfer.

4.

Lesi serebelar sebagai penyebab sekunder juga dapat menekan area retikular batang otak atas dan menggesernya maju ke depan dan ke atas.

5.

Pada kasus prolonged coma, dijumpai perubahan patologik yang terkait lesi seluruh bagian sistim saraf korteks dan diensefalon.

Klasifikasi kesadaran menurun : Tingkat kesadaran secara kualitatif dapat dibagi menjadi kompos mentis, apatis, somnolen, stupor, dan koma. Kompos mentis berarti keadaan seseorang sadar penuh dan dapat menjawab pertanyaan tentang dirinya dan lingkungannya. Apatis berarti keadaan seseorang tidak peduli,

acuh tak acuh dan segan berhubungan dengan orang lain dan lingkungannya. Somnolen berarti seseorang dalam keadaan mengantuk dan cenderung tertidur, masih dapat dibangunkan dengan rangsangan dan mampu memberikan jawaban secara verbal, namun mudah tertidur kembali. Sopor/stupor berarti kesadaran hilang, hanya berbaring dengan mata tertutup, tidak menunjukkan reaksi bila dibangunkan, kecuali dengan rangsang nyeri. Koma berarti kesadaran hilang, tidak memberikan reaksi walaupun dengan semua rangsangan (verbal, taktil, dan nyeri) dari luar. Karakteristik koma adalah tidak adanya arousal dan awareness terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Pada pasien koma terlihat mata tertutup, tidak berbicara, dan tidak ada pergerakan sebagai respons terhadap rangsangan auditori, taktil, dan nyeri. Referensi: 1. Bahan Ajar Neuropsikiatri Fakultas Kedokteran UNHAS (2016) 2. Brust, J.C.M., 2007, Current Diagnosis & Treatment NEUROLOGY, International ed, Mc GrawHill, New York 3. Singhal NS, Josephson SA. A practical approach to neurologic evaluation in the intensive care unit. J Crit Care 2014; 29(4): 627-33. 6. Penatalaksanaan awal berdasarkan skenario : 1. Pernapasan a. Harus diusahakan agar jalan napas tetap bebeas dari obstruksi b. Posisi yang baik adalah miring dengan kepala lebih rendah dari badan supaya darah atau cairan yang dimuntahkan dapat mengalir keluar 2. Tekanan darah Harus diusahakan agar tekanan darah cukup tinggi untuk memompa darah ke otak

3. Otak a. Periksalah kemungkinan adanya edema otak b. Hentikan kejang yang ada

4. Vesika urinaria a. Periksalah apakah ada retensio atau inkontinensia urin b. Pemasangan kateter merupakan suatu keharusan

5. Gastro-intestinal a.Perhatikan kecukupan kalori, vitamin dan elektrolit b.Pemasangan nasogastric tube berperan ganda: untuk memasukkan makanan dan obat- obatan serta untuk memudahkan pemeriksaan apakah ada perdarahan lambung (stress ulcer) c.Periksalah apakah ada tumpukan skibala

Referensi : 1. Bahan Ajar Neuropsikiatri Fakultas Kedokteran UNHAS (2016) 2. Brust, J.C.M., 2017, Current Diagnosis & Treatment NEUROLOGY, International 2nd ed, Mc GrawHill, New York 7. Langkah-langkah diagnosis : 1. Anamnesis Dalam melakukan anamnesis perlu dicantumkan dari siapa anamnesa tersebut didapat. Diperlukan riwayat perjalanan penyakit, riwayat trauma, riwayat penyakit, riwayat penggunaan oabt-obatan, dan riwayat kelainan kejiwaan. 2. Pemeriksaan fisik umum Dalam melakukan pemeriksaan fisik umum harus diamati : a.

Tanda vital Perhatikan jalan nafas, tipe pernafasannya dan perhatikan

sirkulasi yang meliputi tekanan darah, denyut nadi, dan ada tidaknya aritmia. b.

Bau nafas Kita harus dapat mengidentifikasi foetor breath hepatic yang

disebabkan penyakit hati, urino smell yang disebabkan karena penyakit ginjal, atau fruity smell yang disebabkan karena ketoasidosis.

c.

Pemeriksaan kulit Perlu diamati tanda-tanda trauma, stigmata kelainan hati, dan

stigmata lainnya termasuk krepitasi dan jejas suntikan. d.

Kepala dan Leher Pada pasien trauma kepala, pemeriksaan kepala dan leher harus

dilakukan hati-hati jika ada kecurigaan fraktur servikal. Jika kemungkinan itu tidak ada, maka lakukan pemeriksaan kaku kuduk dan lakukan auskultasi karotis untuk mencari ada tidaknya bruit. 3. Pemeriksaan fisik neurologis Berupa : a.

Tentukan derajat kesadaran Menentukan derajat kesadaran dapat dilakukan secara kualitatif

maupun kuantitatif. Secara kualitatif umumnya kita menilai kesadaran yang menurun seperti apatis, somnolen, sopor, dan soporocomateus. Secara kuantitatif kesadaran dapat kita nilai dengan menggunakan Glascow Coma Scale. Pemeriksaan ini memiliki nilai terendah 3 dan nilai tertinggi 15. b.

Periksa mata Perhatikan posisi bola mata : simetris atau tidak, adakah deviasi

konjugee, bagaimana dengan pupil, adakah miosis atau midriasis atau anisokor, perhatikan pergerakan bola mata dengan melakukan doll maneuver atau tes kalori, jika memungkinkan lakukan funduskopi untuk melihat adakah papil edema, fundus hipertensi dan perdarahan. c.

Periksa motorik Perhatikan apakah adanya hemiparesis/kelumpuhan sesisi,

refleks fisiologis, patologis, pergerakan spontan kejang/mioklonik, dan reflex movement seperti deserebrasi/dekortikasi. 4. Pemeriksaan penunjang Berupa : a. Pemeriksaan gas darah Berguna untuk melihat oksigenasi di dalam darah, juga untuk melihat gangguan keseimbangan asam basa.

b. Pemeriksaan darah lengkap Meliputi DPL (darah perifer lengkap), keton, faal hati, faal ginjal, dan elektrolit. c. Pemeriksaan toksikologi Dari bahan urin darah dan bilasan lambung. d. Pemeriksaan khusus Punksi lumbal, CT scan kepala, EEG, EKG, foto toraks, dan foto kepala. Referensi : 1. Bahan Ajar Neuropsikiatri Fakultas Kedokteran UNHAS (2016) 2. Brust, J.C.M., 2017, Current Diagnosis & Treatment NEUROLOGY, International 2nd ed, Mc GrawHill, New York

8. Diagnosis banding : STROKE HEMORAGIK A. Definisi Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak.

B. Epidemiologi Insidens kejadian stroke di Amerika Serikat yaitu 500.000 pertahunnya dimana 10-15% merupakan stroke hemoragik kuhusnya perdarahan intraserebral. Mortalitas dan morbiditas pada stroke hemoragik lebih berat dari pada stroke iskemik. Dilaporkan hanya sekitar 20% saja pasien yang mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya. Selain itu, ada sekitar 40-80% yang akhirnya meninggal pada 30 hari pertama setelah serangan dan sekitar 50% meninggal pada 48 jam pertama. Penelitian menunjukkan dari 251 penderita stroke, ada 47% wanita dan 53% kali-laki dengan rata-rata umur 69 tahun (78% berumur lebih dari 60 tahun. Pasien dengan umur lebih dari 75 tahun dan berjenis kelamin laki-laki menunjukkan outcome yang lebih buruk.

C. Etiologi Penyebab stroke hemoragik sangat beragam, yaitu: a. Perdarahan intraserebral primer (hipertensif) b. Ruptur kantung aneurisma c. Ruptur malformasi arteri dan vena d. Trauma (termasuk apopleksi tertunda paska trauma) e. Kelainan perdarahan seperti leukemia, anemia aplastik, ITP, gangguan fungsi hati, komplikasi obat trombolitik atau anti koagulan, hipofibrinogenemia, dan hemofilia. f. Perdarahan primer atau sekunder dari tumor otak. g. Septik embolisme, myotik aneurisma h. Penyakit inflamasi pada arteri dan vena i. Amiloidosis arteri j. Obat vasopressor, kokain, herpes simpleks ensefalitis, diseksi arteri vertebral, dan acute necrotizing haemorrhagic encephalitis.

D. Faktor Resiko Faktor-faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko terjadinya stroke hemoragik dijelaskan dalam tabel berikut. 1. Umur Umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke. Sekitar 30% dari stroke terjadi sebelum usia 65; 70% terjadi pada mereka yang 65 ke atas. Risiko stroke adalah dua kali ganda untuk setiap 10 tahun di atas 55 tahun.

2. Hipertensi Risiko stroke berkaitan dengan tingkat sistolik hipertensi. Hal ini berlaku untuk kedua jenis kelamin, semua umur, dan untuk resiko perdarahan, atherothrombotik, dan stroke lakunar,

menariknya, risiko stroke pada tingkat hipertensi sistolik kurang dengan meningkatnya umur, sehingga ia menjadi kurang kuat, meskipun masih penting dan bisa diobati, faktor risiko ini pada orang tua.

3. Seks Infark otak dan stroke terjadi sekitar 30% lebih sering pada laki-laki berbanding perempuan, perbedaan seks bahkan lebih tinggi sebelum usia 65.

4. Riwayat keluarga Terdapat lima kali lipat peningkatan prevalensi stroke antara kembar monozigotik dibandingkan dengan pasangan kembar laki-laki dizigotik yang menunjukkan kecenderungan genetik untuk stroke. Pada 1913 penelitian kohort kelahiran Swedia menunjukkan tiga kali lipat peningkatan kejadian stroke pada laki-laki yang ibu kandungnya meninggal akibat stroke, dibandingkan dengan laki-laki tanpa riwayat ibu yang mengalami stroke. Riwayat keluarga juga tampaknya berperan dalam kematian stroke antara populasi Kaukasia kelas menengah atas di California.

5. Diabetes mellitus Setelah faktor risiko stroke yang lain telah dikendalikan, diabetes meningkatkan risiko stroke tromboemboli sekitar dua kali lipat hingga tiga kali lipat berbanding orang-orang tanpa diabetes. Diabetes dapat mempengaruhi individu untuk mendapat iskemia serebral melalui percepatan aterosklerosis pembuluh darah yang besar, seperti arteri koronari, arteri karotid atau dengan, efek lokal pada mikrosirkulasi serebral.

6. Penyakit jantung Individu dengan penyakit jantung dari jenis apa pun memiliki lebih dari dua kali lipat risiko stroke dibandingkan dengan mereka yang fungsi jantungnya normal. a. Penyakit Arteri koroner : Indikator kuat kedua dari keberadaan penyakit difus vaskular aterosklerotik dan potensi sumber emboli dari thrombi mural karena miocard infarction. b. Gagal Jantung kongestif, penyakit jantung hipertensi : Berhubungan dengan meningkatnya kejadian stroke c. Fibrilasi atrial : Sangat terkait dengan stroke emboli dan fibrilasi atrial karena penyakit jantung rematik; meningkatkan risiko stroke sebesar 17 kali. d. Lainnya : Berbagai lesi jantung lainnya telah dikaitkan dengan stroke, seperti prolaps katup mitral, patent foramen ovale, defek septum atrium, aneurisma septum atrium, dan lesi aterosklerotik dan trombotik dari ascending aorta.

7. Karotis bruits Karotis bruits menunjukkan peningkatan risiko kejadian stroke, meskipun risiko untuk stroke secara umum, dan tidak untuk stroke khusus dalam distribusi arteri dengan bruit.

8. Merokok Beberapa laporan, termasuk meta-analisis angka studi, menunjukkan bahwa merokok jelas menyebabkan peningkatan risiko

stroke

untuk

segala

usia

dan

kedua jenis kelamin, tingkat risiko berhubungan dengan jumlah

batang rokok

yang dihisap, dan penghentian

merokok

mengurangi risiko, dengan resiko kembali seperti bukan perokok dalam masa lima tahun setelah penghentian.

9. Peningkatan hematokrit Penigkatan viskositas menyebabkan gejala stroke ketika hematokrit melebihi 55%. Penentu utama viskositas darah keseluruhan

adalah

dari

isi

sel

darah

merah;

plasma protein, terutamanya fibrinogen, memainkan peranan penting. Ketika meningkat viskositas hasil dari polisitemia, hyperfibrinogenemia,

atau

paraproteinemia,

biasanya

menyebabkan gejala umum, seperti sakit kepala, kelesuan, tinnitus, dan penglihatan kabur. Infark otak fokal dan oklusi vena retina jauh kurang umum, dan dapat mengikuti disfungsi trombosit akibat trombositosis. Perdarahan Intraserebral dan subarachnoid kadang-kadang dapat terjadi.

10.

Peningkatan tingkat fibrinogen dan kelainan system

pembekuan Tingkat fibrinogen tinggi merupakan faktor risiko untuk stroke trombotik. Kelainan sistem pembekuan darah juga telah dicatat, seperti antitrombin III dan kekurangan protein C serta protein S dan berhubungan dengan vena thrombotic.

11. Hemoglobinopathy a. Sickle-cell disease : Dapat menyebabkan infark iskemik atau hemoragik, intraserebral dan perdarahan subaraknoid, vena sinus dan trombosis vena kortikal. Keseluruhan kejadian stroke dalam Sickle-cell disease adalah 6-15%. b. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria :

Dapat mengakibatkan trombosis vena serebral 12. Penyalahgunaan obat Obat yang telah berhubungan dengan stroke termasuk methamphetamines, norepinefrin, LSD, heroin, dan kokain. Amfetamin menyebabkan sebuah vaskulitis nekrosis yang dapat mengakibatkan pendarahan petechial menyebar, atau fokus bidang iskemia dan infark. Heroin dapat timbulkan sebuah hipersensitivitas vaskular menyebabkan alergi . Perdarahan subarachnoid dan difarction otak telah dilaporkan setelah penggunaan kokain.

13. Hiperlipidemia Meskipun tingkat kolesterol tinggi telah jelas berhubungan dengan penyakit jantung koroner, mereka sehubungan dengan stroke kurang jelas. Peningkatan kolesterol tidak muncul untuk menjadi faktor risiko untuk aterosklerosis karotis, khususnya pada laki-laki di bawah 55 tahun. Kejadian hiperkolesterolemia menurun dengan bertambahnya usia. Kolesterol berkaitan dengan perdarahan intraserebral atau perdarahan subarachnoid. Tidak ada hubungan yang jelas antara tingkat kolesterol dan infark lakunar.

14. Kontrasepsi oral Pil KB, estrogen tinggi yang dilaporkan meningkatkan risiko stroke pada wanita muda. Penurunan kandungan estrogen menurunkan masalah ini, tetapi tidak dihilangkan sama sekali. Ini adalah faktor risiko paling kuat pada wanita yang lebih dari 35 tahun . Mekanisme diduga meningkat koagulasi, karena stimulasi estrogen tentang produksi protein liver, atau jarang penyebab autoimun.

15. Diet a. Konsumsi alkohol

:

Ada peningkatan risiko infark otak, dan perdarahan subarakhnoid dikaitkan dengan penyalahgunaan alkohol pada orang dewasa muda. Mekanisme dimana etanol dapat menghasilkan stroke termasuk efek pada darah tekanan, platelet, osmolalitas plasma, hematokrit, dan sel-sel darah merah. Selain itu, alkohol bisa menyebabkan miokardiopati, aritmia, dan perubahan di darah aliran otak dan autoregulasi. b. Kegemukan

:

Diukur dengan berat tubuh relatif atau body mass indexs, obesitas telah secara konsisten meramalkan berikutnya stroke. Asosiasi dengan stroke dapat dijelaskan sebagian oleh adanya hipertensi dan diabetes. Sebuah berat relatif lebih dari 30%

di

atas

rata-rata

kontributor

independen

ke-

atherosklerotik infark otak berikutnya.

16. Penyakit pembuluh darah perifer Karena bisa menyebabkan robeknya pembuluh darah.

17. Infeksi Infeksi meningeal dapat mengakibatkan infark serebral melalui pengembangan perubahan inflamasi dalam dinding pembuluh darah. Sifilis meningovaskular dan mucormycosis dapat menyebabkan arteritis otak dan infark.

18. Homosistinemia atau homosistinuria Predisposisi trombosis arteri atau vena di otak. Estimasi risiko stroke di usia muda adalah 10-16%.

19. Migrain Sering pasien mengalami stroke sewaktu serangan migrain.

20. Suku bangsa Kejadian stroke di Afrika-Amerika lebih tinggi secara tidak proporsional dari kelompok lain.

21. Lokasi geografis Di Amerika Serikat dan kebanyakan negara Eropa, stroke merupakan penyebab kematian ketiga paling sering, setelah penyakit jantung dan kanker. Paling sering, stroke disebabkan oleh

perubahan

aterosklerotik

bukan

oleh

perdarahan.

Kekecualian adalah pada setengah perempuan berkulit hitam, di puncak pendarahan yang daftar. Di Jepang, stroke hemorragik adalah penyebab utama kematian pada orang dewasa, dan perdarahan lebih umum dari aterosklerosis.

22. Sirkadian dan faktor musim Variasi sirkadian dari stroke iskemik, puncaknya antara pagi dan siang hari. Hal ini telah menimbulkan hipotesis bahwa perubahan diurnal fungsi platelet dan fibrinosis mungkin relevan untuk stroke. Hubungan antara variasi iklim musiman dan stroke iskemik telah didalihkan. Peningkatan dalam arahan untuk infark otak diamati di Iowa. Suhu lingkungan rata-rata menunjukkan korelasi negatif dengan kejadian cerebral infark di Jepang. Variasi suhu musiman telah berhubungan dengan resiko lebih tinggi cerebral infark dalam usia 40-64 tahun pada penderita yang nonhipertensif, dan pada orang dengan kolesterol serum bawah 160mg/dL.

E. Patogenesis 1. Perdarahan Intraserebral Perdarahan intraserebral paling sering terjadi ketika tekanan darah tinggi kronis melemahkan arteri kecil, menyebabkannya robek. Penggunakan kokain atau amfetamin dapat menyebabkan tekanan darah dan perdarahan sementara tapi sangat tinggi. Pada beberapa orang tua, sebuah protein abnormal yang disebut amiloid terakumulasi di arteri otak. Akumulasi ini (disebut angiopati amiloid) melemahkan arteri dan dapat menyebabkan perdarahan. Penyebab umum yang kurang termasuk kelainan pembuluh darah saat lahir, luka, tumor, peradangan pembuluh darah (vaskulitis), gangguan perdarahan, dan penggunaan antikoagulan dalam dosis yang terlalu tinggi.

Pendarahan gangguan dan

penggunaan antikoagulan meningkatkan resiko kematian dari perdarahan intraserebral. 2. Perdarahan subaraknoid Perdarahan subaraknoid biasanya hasil dari cedera kepala. Namun, perdarahan karena cedera kepala menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak dianggap sebagai stroke. Perdarahan subaraknoid dianggap stroke hanya jika terjadi secara spontan yaitu, ketika perdarahan tidak hasil dari kekuatankekuatan eksternal, seperti kecelakaan atau jatuh.

Sebuah

perdarahan spontan biasanya hasil dari pecahnya aneurisma mendadak di sebuah arteri otak, yaitu pada bagian aneurisma yang menonjol di daerah yang lemah dari dinding arteri itu. Aneurisma biasanya terjadi di percabangan arteri. Aneurisma dapat muncul pada saat kelahiran (bawaan), atau dapat berkembang kemudian, yaitu setelah bertahun-tahun dimana

tekanan darah tinggi melemahkan dinding arteri. Kebanyakan perdarahan subaraknoid adalah hasil dari aneurisma kongenital. Mekanisme lain yang kurang umum adalah perdarahan subaraknoid dari pecahnya koneksi abnormal antara arteri dan vena (malformasi arteri) di dalam atau di sekitar otak. Sebuah malformasi arteri dapat muncul pada saat kelahiran, tetapi biasanya hanya diidentifikasi jika gejala berkembang. Jarang sekali suatu bentuk bekuan darah pada katup jantung yang terinfeksi, perjalanan (menjadi emboli) ke arteri yang memasok otak, dan menyebabkan arteri menjadi meradang.

arteri

kemudian dapat melemah dan pecah.

F. Patofisiologis Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu 15-20 detik dan kerusakan otak yang irreversibel terjadi setelah tujuh hingga sepuluh menit. Penyumbatan pada satu arteri menyebabkan gangguan di area otak yang terbatas (stroke). Mekanisme dasar kerusakan ini adalah selalu defisiensi energi yang disebabkan oleh iskemia. Perdarahan juga menyebabkan iskemia dengan menekan pembuluh darah di sekitarnya. Dengan

menambah

Na+/K+-ATPase,

defisiensi

energi

menyebabkan penimbunan Na+ dan Ca2+ di dalam sel, serta meningkatkan konsentrasi K+ ekstrasel sehingga menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi menyebabkan penimbunan Cl- di dalam sel, pembengkakan sel, dan kematian sel. Depolarisasi juga meningkatkan pelepasan glutamat, yang mempercepat kematian sel melalui masuknya Na+ dan Ca2+. Pembengkakan sel, pelepasan mediator vasokonstriktor, dan penyumbatan lumen pembuluh darah oleh granulosit kadang-kadang mencegah reperfusi, meskipun pada kenyataannya penyebab primernya telah dihilangkan. Kematian sel menyebabkan inflamasi,

yang juga merusak sel di tepi area iskemik (penumbra). Gejala ditentukan oleh tempat perfusi yang terganggu, yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut. Penyumbatan pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan kelemahan otot dan spastisitas kontralateral, serta defisit sensorik (hemianestesia) akibat kerusakan girus lateral presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya adalah deviasi okular, hemianopsia, gangguan bicara motorik dan sensorik, gangguan persepsi spasial, apraksia, dan hemineglect. Penyumbatan arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan defisit sensorik kontralateral, kesulitan berbicara serta apraksia pada lengan kiri jika korpus kalosum anterior dan hubungan dari hemisfer dominan ke korteks motorik kanan terganggu. Penyumbatan bilateral pada arteri serebri anterior menyebabkan apatis karena kerusakan dari sistem limbik. Penyumbatan arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia kontralateral parsial dan kebutaan pada penyumbatan bilateral. Selain itu, akan terjadi kehilangan memori. Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit di daerah yang disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid anterior tersumbat, ganglia basalis (hipokinesia), kapsula interna (hemiparesis), dan traktus optikus (hemianopsia) akan terkena. Penyumbatan pada cabang arteri komunikans posterior di talamus terutama akan menyebabkan defisit sensorik. Penyumbatan total arteri basilaris menyebabkan paralisis semua eksteremitas dan otot-otot mata serta koma. Penyumbatan pada cabang arteri basilaris dapat menyebabkan infark pada serebelum, mesensefalon, pons, dan medula oblongata. Efek yang ditimbulkan tergantung dari lokasi kerusakan: 1. Pusing, nistagmus, hemiataksia (serebelum dan jaras aferennya, saraf vestibular).

2. Penyakit Parkinson (substansia nigra), hemiplegia kontralateral dan tetraplegia (traktus piramidal). 3. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu (hipestesia atau anastesia) di bagian wajah ipsilateral dan ekstremitas kontralateral (saraf trigeminus [V] dan traktus spinotalamikus). 4. Hipakusis (hipestesia auditorik; saraf koklearis), ageusis (saraf traktus salivarus), singultus (formasio retikularis). 5. Ptosis, miosis, dan anhidrosis fasial ipsilateral (sindrom Horner, pada kehilangan persarafan simpatis). 6. Paralisis palatum molle dan takikardia (saraf vagus [X]). Paralisis otot lidah (saraf hipoglosus [XII]), mulut yang jatuh (saraf fasial [VII]), strabismus (saraf okulomotorik [III], saraf abdusens [V]). 7. Paralisis pseudobulbar dengan paralisis otot secara menyeluruh (namun kesadaran tetap dipertahankan). G. Gejala Klinis 1. Perdarahan Intraserebral Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar setengah dari jumlah penderita, serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama aktivitas. Namun, pada orang tua, sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada. Gejala disfungsi otak menggambarkan perkembangan yang terus memburuk sebagai perdarahan. Beberapa gejala, seperti kelemahan, kelumpuhan, hilangnya sensasi, dan mati rasa, sering hanya mempengaruhi satu sisi tubuh.

Orang mungkin tidak dapat berbicara atau

menjadi bingung. Visi dapat terganggu atau hilang. Mata dapat menunjukkan arah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Mual, muntah, kejang, dan hilangnya kesadaran yang umum dan dapat terjadi dalam beberapa detik untuk menit. 2. Perdarahan Subaraknoid a. Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah (kadang-kadang disebut sakit kepala halilintar)

b.

Sakit pada mata atau daerah fasial

c.

Penglihatan ganda

d.

Kehilangan penglihatan tepi

Sekitar 25% dari orang yang mengalami gejala-gejala yang mengindikasikan kerusakan pada bagian tertentu dari otak, seperti berikut: a. Kelemahan atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh (paling umum) b.

Kehilangan sensasi pada satu sisi tubuh

c.

Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa

Gangguan berat dapat berkembang dan menjadi permanen dalam beberapa menit atau jam. Demam adalah gejala umum selama 5 sampai 10 hari pertama. Sebuah perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan beberapa masalah serius lainnya, seperti: a. Hydrocephalus: Dalam waktu 24 jam, darah dari perdarahan subaraknoid dapat membeku. Darah beku dapat mencegah cairan di sekitar otak (cairan serebrospinal) dari pengeringan seperti biasanya tidak. Akibatnya, darah terakumulasi dalam otak, peningkatan tekanan dalam tengkorak. menyebabkan

gejala

Hydrocephalus mungkin akan

seperti

sakit

kepala,

mengantuk,

kebingungan, mual, dan muntah-muntah dan dapat meningkatkan risiko koma dan kematian. b. Vasospasme: Sekitar 3 sampai 10 hari setelah pendarahan itu, arteri di otak dapat kontrak (kejang), membatasi aliran darah ke otak. Kemudian, jaringan otak tidak mendapatkan oksigen yang cukup dan dapat mati, seperti pada stroke iskemik. Vasospasm dapat menyebabkan gejala mirip dengan stroke iskemik, seperti kelemahan atau hilangnya sensasi pada satu sisi tubuh, kesulitan

menggunakan atau memahami bahasa, vertigo, dan koordinasi terganggu. c. Pecah kedua: Kadang-kadang pecah kedua terjadi, biasanya dalam seminggu. H. Diagnosis Pada manifestasi perdarahan intraserebral, terdapat pembagian berdasarkan Luessenhop et al. Pembagian ini juga berguna dalam menentukan prognosis pada pasien stroke dengan perdarahan intraserebral.

Tabel 1. Derajat stroke hemoragik berdasarkan Luessenhop et al Dikutip dari Iqbal H Hidayat, Stroke Hemoragik, 2011

Khusus untuk manifestasi perdarahan subaraknoid, pada banyak studi mengenai perdarahan subaraknoid ini dipakai sistem skoring untuk menentukan berat tidaknya keadaan perdarahan subaraknoid ini dan dihubungkan dengan keluaran pasien.

Sistem grading yang dipakai antara lain : 1. Hunt & Hess Grading of Sub-Arachnoid Hemorrhage

Tabel 2. Sistem grading Hunt & Hess Grading of Sub-Arachnoid Hemorrhage Dikutip dari Iqbal H Hidayat, Stroke Hemoragik, 2011

2. WFNS SAH grade WFNS GRADE

GCS score

Major facal deficit

0 1

15

-

2

13-14

-

3

13-14

+

4

7-12

+ or -

5

3-6

+ or -

Tabel 3. WFNS SAH grade Dikutip dari Iqbal H Hidayat, Stroke Hemoragik, 2011

3. Modified Hijdra score 4. Fisher grade

Tabel 4. Modified Hijdra Score Dikutip dari Iqbal H Hidayat, Stroke Hemoragik, 2011

4.Fisher grade

Tabel 5. Fisher Grade Dikutip dari Iqbal H Hidayat, Stroke Hemoragik, 2011

I. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis stroke dan menyingkirkan diagnosis bandingnya. Laboratorium yang dapat dilakukan pada penderita stroke diantaranya adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan darah, kadar elektrolit, dan kadar serum glukosa. Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan otak adalah langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan dalam basis kedaruratan. Pencitraan otak membantu dalam diagnosis adanya perdarahan, serta dapat menidentifikasi komplikasi seperti perdarahan intraventrikular, edem otak, dan hidrosefalus. Baik CT non kontras ataupun MRI otak merupakan pilihan yang dapat digunakan. CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dari stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke dari patologi intrakranial lainnya. CT non kontras

dapat mengidentifikasi secara virtual hematoma yang berdiameter lebih dari 1 cm. MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih bisa diandalkan daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat mengidentifikasi malformasi vaskular yang mendasari atau lesi yang menyebabkan perdarahan. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah elektrokardiogram (EKG) untuk memulai memonitor aktivitas hantung. Disritmia jantung dan iskemia miokard memiliki kejadian signifikan dengan stroke. Stroke dapat didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit lain seperti:

ensefalitis,

meningitis,

migrain,

neoplasma

otak,

hipernatremia, stroke iskemik, perdarahan subaraknoid, hematoma subdural, kedaruratan hipertensif, hipoglikemia, labirinitis, dan Transient Ischemic Attack (TIA). J. Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat A. Evaluasi cepat dan diagnosis B. Terapi umum (suportif)  stabilisasi jalan napas dan pernapasan  stabilisasi hemodinamik/sirkulasi  pemeriksaan awal fisik umum  pengendalian peninggian TIK  penanganan transformasi hemoragik  pengendalian kejang  pengendalian suhu tubuh  pemeriksaan penunjang

2. Penatalaksanaan Stroke Perdarahan Intra Serebral (PIS) Terapi medik pada PIS akut: a. Terapi hemostatik

 Eptacog alfa (recombinant activated factor VII [rF VIIa]) adalah obat haemostasis yang dianjurkan untuk pasien hemofilia yang resisten terhadap pengobatan faktor VIII replacement dan juga bermanfaat untuk penderita dengan fungsi koagulasi yang normal.  Aminocaproic acid terbuktitidak mempunyai efek menguntungkan.  Pemberian rF VIIa pada PIS pada onset 3 jam hasilnya adalah highly-significant, tapi tidak ada perbedaan bila pemberian dilakukan setelah lebih dari 3 jam. b. Reversal of anticoagulation  Pasien PIS akibat dari pemakaian warfarin harus secepatnya diberikan fresh frozen plasma atau prothrombic complex concentrate dan vitamin K.  Prothrombic-complex concentrates suatu konsentrat dari vitamin K dependent coagulation factor II, VII, IX, dan X, menormalkan INR lebih cepat dibandingkan FFP dan dengan jumlah volume lebih rendah sehingga aman untuk jantung dan ginjal.  Dosis tunggal intravena rFVIIa 10-90µg/kg pada pasien PIS yang memakai warfarin dapat menormalkan INR dalam beberapa menit. Pemberian obat ini harus tetap diikuti dengan coagulation-factor replacement dan vitamin K karena efeknya hanya beberapa jam.  Pasien PIS akibat penggunaan unfractionated atau low moleculer weight heparin diberikan Protamine Sulfat, dan pasien dengan trombositopenia atau adanya gangguan fungsi platelet dapat diberikan dosis tunggal Desmopressin, transfusi platelet, atau keduanya.

 Pada pasien yang memang harus menggunakan antikoagulan maka pemberian obat dapat dimulai pada hari ke-7-14 setelah erjadinya perdarahan.

c. Tindakan bedah pada PIS berdasarkan EBM  Keputusan mengenai apakah dioperasi dan kapan dioperasi masih tetap kontroversial.  Tidak dioperasi bila:  Pasien dengan perdarahan kecil (<10cm3) atau defisit neurologis minimal.  Pasien dengan GCS <4. Meskipun pasien GCS <4 dengan perdarahan intraserebral disertai kompresi batang otak masih mungkin untuk life saving.  Dioperasi bila:  Pasien dengan perdarahan serebelar >3cm dengan perburukan klinis atau kompresi batang otak dan hidrosefalus dari obstruksi ventrikel harus secepatnya dibedah.  PIS dengan lesi struktural seperti aneurisma malformasi AV atau angioma cavernosa dibedah jika mempunyai harapan outcome yang baik dan lesi strukturnya terjangkau.  Pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang s/d besar yang memburuk.  Pembedahan untuk mengevakuasi hematoma terhadap pasien usia muda dengan perdarahan lobar yang luas (>50cm3) masih menguntungkan.

3. Penatalaksanaan Perdarahan Sub Arakhnoid a. Pedoman Tatalaksana  Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA):

 Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk untuk upaya menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.  Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30 dalam ruangan dengan lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan O2 2-3 L/menit.  Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.  Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-kelainan neurologi yang timbul.  Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih intensif:  Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di ruang gawat darurat.  Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalang nafas yang adekuat.  Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.  Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan menyulitkan penilaian status neurologi. b. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA  Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan antihipertensi saja tidak direkomendasikan untuk mencegah perdarahan ulang setelah terjadi PSA, namun kedua hal tersebut sering dipakai dalam pengobatan pasien dengan PSA.  Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan pada keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien dengan resiko rendah untuk terjadinya vasospasme atau memberikan efek yang bermanfaat pada operasi yang ditunda.

 Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan ulang.  Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba.

c. Operasi pada aneurisma yang rupture  Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan ulang setelah rupture aneurisma pada PSA.  Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan ulang setelah PSA, banyak penelitian memperlihatkan bahwa secara keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi yang ditunda. Operasi yang segera dianjurkan pada pasien dengan grade yang lebih baik serta lokasi aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi yang segera atau ditunda direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus.  Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang tinggi untuk perdarahan ulang.

d. Tatalaksana pencegahan vasospasme  Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke-3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin oral terbukti memperbaiki deficit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme. Calcium antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau intravena tidak bermakna.  Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan

triple

H

yaitu

hypervolemic-hypertensive-

hemodilution, dengan tujuan mempertahankan “cerebral perfusion pressure” sehingga dapat mengurangi terjadinya iskemia serebral akibat vasospasme. Hati-hati terhadap

kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping.  Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu bermakna.  Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada pasien-pasien yang gagal dengan terapi konvensional.  Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut:  Pencegahan vasospasme: 1. Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari. 2. 3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari. 3. Jaga keseimbangan cairan.  Delayed vasospasm: 1. Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika. 2. Berikan 5% Albumin 250 mL IV. 3. Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge pressure 12-14 mmHg. 4. Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2. 5. Berikan Dobutamine 2-15 µg/kg/menit.

e. Antifibrinolitik Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat yang sering dipakai adalah epsilon aminocaproic acid dengan dosis 36 g/hari atau tranexamid acid dengan dosis 6-12 g/hari.

f. Antihipertensi  Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah sistolik (TDS) tidak lebih dari 160 dan

tekanan darah diastolic (TDD) 90 mmHg (sebelum tindakan operasi aneurisma clipping).  Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan TDD lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg.  Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2 mg/menit sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infuse dosisnya 50-200 mcg/kg/menit. Pemakaian

nitroprussid

tidak

danjurkan

karena

menyebabkan vasodilatasi dan memberikan efek takikardi.  Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat diberikan vasopressors, dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra yang mungkin terjadi akibat vasospasme.

g. Hiponatremi Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari. Bila perlu diberikan NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari. Diharapkan dapat terkoreksi 0,5-1 mEq/L/jam dan tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama. Ada yang menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau 0,4 mg dalam 200 mL glukosa 5% IV 2 kali sehari.

Cairan

menyebabkan

hipotonis hiponatremi.

sebaiknya

dihindari

Pembatasan

cairan

karena tidak

dianjurkan untuk pengobatan hiponatremi.

h. Kejang Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan tidak direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien yang mungkin timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas,

aneurisma arteri serebri media, kesadaran yang tidak membaik. Akan tetapi untuk menghindari risiko perdarahan ulang yang disebabkan kejang, diberikan anti konvulsan sebagai profilaksis. Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV. Initial dosis 100 mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis maintenance 300-400 mg/oral/hari dengan dosis terbagi. Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk menghentikan kejang. Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada penderita yang tidak kejang dan harus dipertimbangkan hanya diberikan pada penderita yang mempunyai faktor-faktor risiko seperti kejang sebelumnya, hematom, infark, atau aneurisma pada arteri serebri media.

i. Hidrosefalus  Akut (obstruksi) Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari pertama. Kejadiannya kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi (atau drainase eksternal ventrikuler), walaupun kemungkinan risikonya dapat terjadi perdarahan ulang dan infeksi.  Kronik (komunikan) Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara temporer atau permanen seperti ventriculo-peritoneal shunt.

j. Terapi Tambahan  Laksansia (pencahar) iperlukan untuk melembekkan feses secara regular. Mencegah trombosis vena dalam, dengan memakai stocking atau pneumatic compression devices.

 Analgesik:  Asetaminofen ½-1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.  Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.  Tylanol dengan kodein.  Hindari asetosal.  Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan: 1. Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam. 2. Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6 jam. 3. Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam. 4. Propofol 3-10 mg/kg/jam.  Cegah terjadinya “stress ulcer” dengan memberikan: 1. Antagonis H2 2. Antasida 3. Inhibitor pompa proton selama beberapa hari. 4. Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali sehari. 5. Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.

K. Komplikasi Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi adalah komplikasi yang paling ditakutkan pada perdarahan intraserebral. Perburukan edem serebri sering mengakibatkan deteoriasi pada 24-48 jam pertama. Perdarahan awal juga berhubungan dengan deteorisasi neurologis, dan perluasan dari hematoma tersebut adalah penyebab paling sering deteorisasi neurologis dalam 3 jam pertama. Pada pasien yang dalam keadaan waspada, 25% akan mengalami penurunan kesadaran dalam 24 jam pertama. Kejang setelah stroke dapat muncul. Selain dari hal-hal yang telah disebutkan diatas, stroke sendiri adalah penyebab utama dari disabilitas permanen.

L. Prognosis Prognosis bervariasi bergantung pada tingkap keparahan stroke dan lokasi serta ukuran dari perdarahan. Skor dari Skala Koma Glasgow yang rendah berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih tinggi. Apabila terdapat volume darah yang besar dan pertumbuhan dari volume hematoma, prognosis biasanya buruk dan outcome fungsionalnya juga sangat buruk dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Adanya darah dalam ventrikel bisa meningkatkan resiko kematian dua kali lipat. Pasien yang menggunakan

antikoagulasi

oral

yang

berhubungan

dengan

perdarahan intraserebral juga memiliki outcome fungsional yang buruk dan tingkat mortilitas yang tinggi.

M. Pencegahan Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya hidup dan mengatasi berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat maupun kelompok risiko tinggi yang berlum pernah terserang stroke. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan adalah:  Mengatur pola makan yang sehat  Melakukan olah raga yang teratur  Menghentikan rokok  Menhindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat  Memelihara berat badan yang layak  Perhatikan pemakaian kontrasepsi oral bagi yang beresiko tinggi  Penanganan stres dan beristirahat yang cukup  Pemeriksaan kesehatan teratur dan taat advis dokter dalam hal diet dan obat  Pemakaian antiplatelet Pada pencehagan sekunder stroke, yang harus dilakukan adalah pengendalian faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, dan

pengendalian faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti hipertensi, diabetes mellitus, riwayat TIA, dislipidemia, dan sebagainya.

Referensi Iqbal H Hidayat. Stroke Hemoragik. 2011. Medan : Departemen Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rsup H. Adam Malik. Hal. 40-62. STROKE NON HEMORAGIK A. Definisi Stroke Iskemik atau Non-Hemoragik merupakan stroke yang disebabkan oleh suatu gangguan peredaran darah otak berupa obstruksi atau sumbatan yang menyebabkan hipoksia pada otak dan tidak terjadi perdarahan. Stroke Iskemik atau non-hemoragik merupakan stroke yang disebabkan karena terdapat sumbatan yang disebabkan oleh trombus (bekuan) yang terbentuk di dalam pembuluh otak atau pembuluh organ selain otak.

B. Epidemiologi Stroke merupakan penyebab kematian ketiga tersering di negara maju, setelah penyakit jantung dan kanker. Insidensi tahunan adalan 2 per 1000 populasi. Di Amerika Serikat Stroke menduduki peringkat ke-3 penyebab kematian setelah penyakit jantung dan kanker. Setiap tahunnya 500.000 orang Amerika terserang stroke di antaranya 400.000 orang terkena stroke iskemik dan 100.000 orang menderita stroke hemoragik (termasuk perdarahan intraserebral dan subarakhnoid) dengan 175.000 orang mengalami kematian. Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi stroke di Indonesia ditemukan sebesar 8,3 per 1000 penduduk, dan yang telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 6 per 1000 penduduk. Hal ini menunjukkan sekitar 72,3% kasus stroke pada masyarakat telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan. Data nasional yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa stroke menempati urutan pertama sebagai penyebab

kematian untuk semua umur, dimana stroke menjadi penyebab kematian terbanyak.

C. Etiologi Menurut Smeltzer, 2002 penyebab stroke non hemoragik yaitu: 1. Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher) Stroke terjadi saat trombus menutup pembuluh darah, menghentikan aliran darah ke jaringan otak yang disediakan oleh pembuluh dan menyebabkan kongesti dan radang. Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya. Trombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemia serebral. Tanda dan gejala neurologis seringkali memburuk pada 48 jam setelah trombosis. 2. Embolisme cerebral Emboli serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh yang lain) merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik 3. Iskemia Suplai darah ke jaringan tubuh berkurang karena penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah.

D. Faktor Resiko Faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada penyakit stroke diantaranya adalah riwayat stroke, hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, penyakit

karotis

asimptomatis,

transient

ischemic

attack,

hiperkolesterolemia, penggunaan kontrasepsi oral, obesitas, merokok, alkoholik,

penggunaan

narkotik,

hiperhomosisteinemia,

antibodi

antifosfolipid, hiperurisemia, peninggian hematokrit, dan peningkatan kadar fibrinogen, sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu umur, jenis kelamin, herediter, dan ras/etnis. Berbagai penelitian telah berhasil mengidentifikasi faktor-faktor risiko stroke antara lain herediter, usia, jenis kelamin, sosioekonomi, letak geografi, makanan tinggi lemak dan kalori, kurang makan sayur buah, merokok, alkohol, aktifitas fisik kurang, hipertensi, obesitas, diabetes melitus, aterosklerosis, penyakit arteri perifer, penyakit jantung (heart failure), dan dislipidemia. Faktor risiko terjadinya stroke secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu, faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi. 1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi Faktor-faktor tersebut terdiri atas faktor genetik dan ras, usia, jenis kelamin, dan riwayat stroke sebelumnya (AHA, 2015). a. Faktor genetik seseorang berpengaruh karena individu yang memiliki riwayat keluarga dengan stroke akan memiliki risikotinggi mengalami stroke, ras kulit hitam lebih sering mengalami hipertensi dari pada ras kulit putih sehingga ras kulit hitam memiliki risiko lebih tinggi terkena stroke. b. Faktor usia, stroke dapat terjadi pada semua rentang usia namun semakin bertambahnya usia semakin tinggi pula resiko terkena stroke. Usia diatas 50 tahun risiko stroke menjadi berlipat ganda pada setiap pertambahan usia. c. Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko stroke, lakilaki memiliki resiko lebih tinggi terkena stroke dibandingkan perempuan, hal ini terkait kebiasaan merokok, risiko terhadap hipertensi, hiperurisemia, dan hipertrigliserida lebih tinggi pada laki-laki.

d. Seseorang yang pernah mengalami serangan stroke yang dikenal dengan Transient Ischemic Attack (TIA) juga berisiko tinggi mengalami stroke, AHA (2015) menyebutkan bahwa 15% kejadian stroke ditandai oleh serangan TIA terlebih dahulu. 2. Faktor risiko yang dapat diubah Faktor risiko yang dapat diubah adalah obesitas (kegemukan), hipertensi, hiperlipidemia, kebiasaan merokok, penyalahgunaan alkohol dan obat, dan pola hidup tidak sehat (AHA, 2015). a. Secara tidak langsung obesitas memicu terjadinya stroke yang

diperantarai

oleh

sekelompok

penyakit

yangditimbulkan akibat obesitas, selain itu obesitas juga salah satu pemicu utama dalam peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler. b. Hipertensi merupakan penyebab utama terjadinya stroke, beberapa studi menunjukkan bahwa manajemen penurunan tekanan darah dapat menurunkan resiko stroke sebesar 41%. c. Hiperlipidemia atau kondisi yang ditandai dengan tingginya kadar lemak di dalam darah dapat memicu terjadinya sumbatan pada aliran darah. d. Individu yang merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol memiliki resiko lebih tinggi terkena stroke karena dapat memicu terbentuknya plak dalam pembuluh darah.

E. Klasifikasi Klasifikasi Stroke Non Haemoragik menurut Padila, (2012) adalah : a. Transient Ischemic Attack (TIA) TIA adalah defisit neurologik fokal akut yang timbul karena iskemia otak sepintas dan menghilang lagi tanpa sisa dengan cepat dalam waktu tidak lebih dari 24 jam. b. Reversible Iscemic Neurological Deficit (RIND)

RIND adalah defisit neurologik fokal akut yang timbul karena iskemia otak berlangsung lebih dari 24 jam dan menghilang tanpa sisa dalam waktu 1-3 minggu c. Stroke in Evolution (Progressing Stroke) Stroke in evolution adalah deficit neurologik fokal akut karena gangguan peredaran darah otak yang berlangsung progresif dan mencapai maksimal dalam beberapa jam sampe bbrpa hari d. Stroke in Resolution Stroke in resolution adalah deficit neurologik fokal akut karena gangguan peredaran darah otak yang memperlihatkan perbaikan dan mencapai maksimal dalam beberapa jam sampai bbrapa hari e. Completed Stroke (infark serebri) Completed stroke adalah defisit neurologi fokal akut karena oklusi atau gangguan peredaran darah otak yang secara cepat menjadi stabil tanpa memburuk lagi. Sedangkan secara patogenitas Stroke iskemik (Stroke Non Hemoragik) dapat dibagi menjadi : 1. Stroke trombotik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh karena trombosis di arteri karotis interna secara langsung masuk ke arteri serebri media. Permulaan gejala sering terjadi pada waktu tidur,atau sedang istrirahat kemudian berkembang dengan cepat,lambat laun atau secara bertahap sampai mencapai gejala maksimal dalam beberapa jam, kadang-kadang dalam beberapa hari (2-3 hari), kesadaran biasanya tidak terganggu dan ada kecendrungan untuk membaik dalam beberapa hari,minggu atau bulan. 2. Stroke embolik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh karena emboli yang pada umunya berasal dari jantung. Permulaan gejala terlihat sangat mendadak berkembang sangat cepat, kesadaran biasanya tidak terganggu, kemungkinan juga disertai emboli pada organ dan ada kecendrungan untuk membaik dalam beberapa hari, minggu atau bulan.

F. Tanda dan Gejala klinis Tanda dan gejala yang timbul dapat berbagai macam tergantung dari berat ringannya lesi dan juga topisnya. Tanda dan gejala stroke non hemoragik secara umum yaitu: 1. Gangguan Motorik 2. Gangguan Sensorik 3. Gangguan Kognitif, Memori dan Atensi a. Gangguan cara menyelesaikan suatu masalah 4. Gangguan Kemampuan Fungsional Gangguan dalam beraktifitas sehari-hari seperti mandi, makan, ke toilet dan berpakaian. Kesadaran seseorang dapat di nilai dengan menggunakan skala koma Glasgow yaitu:

Buka mata (E) 1.

Respon motorik (M)

Respon verbal (V)

1. Tidak ada respons 1.

Tidak ada gerakan

1. Tidak ada suara

2. Respons dengan 2.

Ekstensi abnormal

2. Mengerang

rangsangan nyeri 3. Buka mata dengan

4. Fleksi abnormal 3.

Bicara kacau

5. Menghindari nyeri4.

Disorientasi tempat dan

perintah 5. Buka mata spontan

waktu 6. Melokalisir nyeri 5.

Orientasi baik dan sesuai

7. Mengikuti perintah

Tabel 6. Skala koma Glasgow Dikutip dari Indun Candra Kirana, Stroke Non Hemoragik. 2017. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Penilaian skor skala koma Glasgow : a.

Koma (GCS = 3-8)

b.

Konfusi, lateragi atau stupor (GCS = 9-14)

c.

Sadar penuh, atentif dan orientatif (GCS = 15)

Gangguan yang biasanya terjadi yaitu gangguan mototik (hemiparese), sensorik (anestesia, hiperestesia, parastesia/geringgingan, gerakan yang canggung serta simpang siur, gangguan nervus kranial, saraf otonom (gangguan miksi, defeksi, salvias), fungsi luhur (bahasa, orientasi, memori, emosi) yang merupakan sifat khas manusia, dan gangguan koordinasi (sidrom serebelar): 1. Disekuilibrium yaitu keseimbangan tubuh yang terganggu yang terlihat seseorang akan jatuh ke depan, samping atau belakang sewaktu berdiri 2. Diskoordinasi muskular yang diantaranya, asinergia, dismetria dan seterusnya. Asinergia ialah kesimpangsiuran kontraksi otot-otot dalam mewujudkan suatu corak gerakan. Dekomposisi gerakan atau gangguan lokomotorik dimana dalam suatu gerakan urutan kontraksi otot-otot baik secara volunter atau reflektorik tidak dilaksanakan lagi. Disdiadokokinesis tidak biasa gerak cepat yang arahnya berlawanan contohnya pronasi dan supinasi. Dismetria, terganggunya memulai dan menghentikan gerakan. 3. Tremor (gemetar), bisa diawal gerakan dan bisa juga di akhir gerakan 4. Ataksia berjalan dimana kedua tungkai melangkah secara simpangsiur dan kedua kaki ditelapakkanya secara acak-acakan. Ataksia seluruh badan dalam hal ini badan yang tidak bersandar tidak dapat memelihara sikap yang mantap sehingga bergoyanggoyang.

Nervus kranial

Fungsi

Penemuan klinis dengan lesi

I: Olfaktorius

Penciuman

Anosmia (hilangnya daya penghidu)

II: Optikus

Penglihatan

Amaurosis

III:

Gerak mata; kontriksi Diplopia (penglihatan

Okulomotorius

pupil; akomodasi

kembar), ptosis; midriasis; hilangnya akomodasi

IV: Troklearis

Gerak mata

Diplopia

V: Trigeminus

Sensasi umum wajah, ”mati rasa” pada wajah; kulit kepala, dan gigi; kelemahan otot rahang gerak mengunyah

VI: Abdusen

Gerak mata

Diplopia

VII: Fasialis

Pengecapan; sensasi

Hilangnya kemampuan

umum pada platum

mengecap pada dua

dan telinga luar;

pertiga anterior lidah;

sekresi kelenjar

mulut kering; hilangnya

lakrimalis,

lakrimasi; paralisis otot

submandibula dan

wajah

sublingual; ekspresi wajah VIII:

Pendengaran;

Tuli; tinitus(berdenging

Vestibulokoklearis keseimbangan

terus menerus); vertigo; nitagmus

IX:

Pengecapan; sensasi

Hilangnya daya

Glosofaringeus

umum pada faring

pengecapan pada

dan telinga;

sepertiga posterior lidah;

mengangkat palatum;

anestesi pada farings; mulut kering sebagian

sekresi kelenjar parotis X: Vagus

Pengecapan; sensasi

Disfagia (gangguan

umum pada farings,

menelan) suara parau;

laring dan telinga;

paralisis palatum

menelan; fonasi; parasimpatis untuk jantung dan visera abdomen XI: Asesorius

Fonasi; gerakan

Suara parau; kelemahan

Spinal

kepala; leher dan

otot kepala, leher dan

bahu

bahu

Gerak lidah

Kelemahan dan pelayuan

XII: Hipoglosus

lidah Tabel 7. Gangguan nervus kranial. Indun Candra Kirana, Stroke Non Hemoragik. 2017. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Gejala klinis tersering yang terjadi yaitu hemiparese yang dimana Pendeita stroke non hemoragik yang mengalami infrak bagian hemisfer otak kiri akan mengakibatkan terjadinya kelumpuhan pada sebalah kanan, dan begitu pula sebaliknya dan sebagian juga terjadi Hemiparese dupleks, pendeita stroke non hemoragik yang mengalami hemiparesesi dupleks akan mengakibatkan terjadinya kelemahan pada kedua bagian tubuh sekaligus bahkan dapat sampai mengakibatkan kelumpuhan. Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak mungkin berkaitan dengan pengelompokan gejala dan tanda berikut yang tercantum dan disebut sindrom neurovaskular : 1. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior : gejala biasanya unilateral) a. Dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria karotis yang terkena, akibat insufisiensi arteri retinalis b. Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena insufisiensi arteria serebri media

c. Lesi dapat terjadi di daerah antara arteria serebri anterior dan media atau arteria serebri media. Gejala mula-mula timbul di ekstremitas atas dan mungkin mengenai wajah. Apabila lesi di hemisfer dominan, maka terjadi afasia ekspresif karena keterlibatan daerah bicara motorik Broca.

2. Arteri serebri media (tersering) a. Hemiparese atau monoparese kontralateral (biasanya mengenai lengan) b. Kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral c. Afasia global (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan semua fungsi yang berkaitan dengan bicara dan komunikasi d. Disfasi

3. Arteri serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama) a. Kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai b. Defisit sensorik kontralateral c. Demensia, gerakan menggenggam, reflek patologis

4. Sistem vertebrobasilaris (sirkulasi posterior: manifestasi biasanya bilateral) a. Kelumpuhan di satu atau empat ekstremitas b. Meningkatnya reflek tendon c. Ataksia d. Tanda Babinski bilateral e. Gejala-gejala serebelum, seperti tremor intention, vertigo f. Disfagia g. Disartria h. Rasa baal di wajah, mulut, atau lidah i. Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi

j. Gangguan penglihatan dan pendengaran

5. Arteri serebri posterior a. Koma b. Hemiparese kontralateral c. Afasia visual atau buta kata (aleksia) d. Kelumpuhan

saraf

kranialis

ketiga:

hemianopsia,

koreoatetosis.

G. Patofisiologi Adanya stenosis arteri dapatmenyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah. Energi yang diperlukan untuk menjalankankegiatan neuronal berasal dari metabolisme glukosa dan disimpan di otak dalam bentukglukosa atau glikogen untuk persediaan pemakaian selama 1 menit. Bila tidak ada alirandarah lebih dari 30 detik gambaran EEG akan mendatar, bila lebih dari 2 menit aktifitasjaringan otak berhenti, bila lebih dari 5 menit maka kerusakan jaringan otak dimulai, dan bilalebih dari 9 menit manusia dapat meninggal. Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa yang diperlukanuntuk pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi penurunan Na+ K+ ATP-ase, sehinggamembran potensial akan menurun.13 K+ berpindah ke ruang ekstraselular, sementara ion Nadan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini menyebabkan permukaan sel menjadi lebih negatif7sehingga terjadi membran depolarisasi.7 Saat awal depolarisasi membran sel masih reversibel,tetapi bila menetap terjadi perubahan struktural ruang menyebabkan kematian jaringan otak.Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi menurun dibawah ambang batas kematian jaringan,yaitu bila aliran darah berkurang hingga dibawah 10 ml / 100 gram / menit. Pengurangan aliran darah yang disebabkan oleh sumbatan akan menyebabkan iskemia disuatu daerah otak. Terdapatnya kolateral di

sekitarnya disertai mekanisme kompensasi fokalberupa vasodilatasi, memungkinkan terjadinya beberapa keadaan berikut ini : 1.

Pada sumbatan kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam waktu singkat dikompensasidengan mekanisme kolateral dan vasodilatasi lokal. Secara klinis gejala yang timbuladalah transient ischemic attack (TIA) yang timbul dapat berupa hemiparesis yangmenghilang sebelum 24 jam atau amnesia umum sepintas.

2.

Bila sumbatan agak besar, daerah iskemia lebih luas. Penurunan CBF regional lebihbesar, tetapi dengan mekanisme kompensasi masih mampu memulihkan fungsineurologik dalam waktu beberapa hari sampai dengan 2 minggu. Mungkin padapemeriksaan klinik ada sedikit gangguan. Keadaan ini secara klinis disebut RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit).

3.

Sumbatan yang cukup besar menyebabkan daerah iskemia yang luas sehinggamekanisme

kolateral

dan

kompensasi

tak

dapat

mengatasinya. Dalam keadaan ini timbuldefisit neurologi yang berlanjut.

Emboli cerebral

Trombosis cerebral

Sumbatan pembuluh darah otak

Suplai darah dan O2 ke otak menurun

Menurun 25-30 ml/100 gr otak/menit

Gangguan perfusi jaringan

Infark serebri

Iskemik otak

< 24 jam

Menurun > = 18 ml/100 gr otak/menit

24 jam - 21 hari STROKE KOMPLIT

Transient Ischemic Attack

Kelainan neurologik sementara

Sembuh total < 24 jam

Stroke in Evolution

Gejala neurologik bertambah

Sembuh total beberapa hari

Cerebrum

Batang otak

Pengobatan & perawatan tidak akurat

Bagan 1. Pathway Stroke Non-Hemoragik Indun Candra Kirana, Stroke Non Hemoragik. 2017. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Cerebellum mm

H. Diagnosis 1. Hambatan mobilitas fisik b.d. gangguan neuromuskular (stroke) Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan koordinasi gerakan meningkat dengan kriteria hasil: a. Kekuatan kontraksi otot meningkat b. Kontrol gerakan meningkat c. Ketegangan otot menurun Intervensi: Terapi latihan: kontrol otot a. Berkolaborasi dengan terapis fisik, pekerjaan, dan rekreasi dalam mengembangkan dan melaksanakan program latihan b. Konsultasikan terapi fisik untuk mengetahui posisi optimal pasien selama latihan dan jumlah pengulangan untuk setiap pola gerakan c. Instruksikan pasien untuk melancarkankan setiap gerakan

2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d. ketidakmampuan makan karena kelemahan otot akibat stroke Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan status nutrisi meningkat dengan kriteria hasil: a. Asupan nutrisi meningkat b. Asupan makanan meningkat c. Asupan cairan meningkat d. Energi meningkat Intervensi: Manajemen nutrisi a. Berikan lingkungan optimal untuk konsumsi makanan b. Bantu perawatan mulut pasien sebelum makan c. Bantu pasien dengan membuka bungkus, potong makanan, dan makan

3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d. disfungsi neuromuskular Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kepatenan jalan napas meningkat dengan kriteria hasil: a. Tingkat pernapasan normal b. Kemampuan membersihkan sekret meningkat Intervensi: Peningkatan batuk a. Bantulah pasien pada posisi duduk dengan kepala sedikit tertekuk, bahu relaks, dan lutut ditekuk b. Dorong pasien untuk menarik beberapa napas dalam c. Dorong pasien untuk menarik napas dalam, tahan 2 detik, dan batuk dua atau tiga kali berturut-turut d. Instruksikan pasien untuk tarik mapas dalam beberapa kali, menghembuskan napas perlahan, dan membatukannya

4. Hambatan komunikasi verbal b.d. melemahnya fungsi otot Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan komunikasi membaik/meningkat dengan kriteria hasil: a. Bahasa tulis meningkat b. Bahasa lisan meningkat c. Bertukar pesan secara akurat dengan orang lain Intervensi: Peninangkatan komunikasi a. Sesuaikan gaya komunikasi untuk memenuhi kebutuhan klien b. Memberikan penguatan positif c. Berikan rujukan ke ahli patologi atau ahli terapi bicara d. Mengkoordinasikan kegiatan tim rehabilitasi

I. Pemeriksaan Penunjang Menurut Muttaqin, (2008) dalam Firdayanti (2014), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu sebagai berikut :

a. Angiografi serebral

Gambar 7. Angiografi cerebral Dikutip dari Stroke Non Hemoragik. 2017. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskular. Angiografi otak adalah penyuntikan suatu bahan yang tampak dalam citra sinar-X kedalam arteri-arteri otak. Pemotretan dengan sinar-X kemudian dapat memperlihatkan pembuluh-pembuluh darah di kepala dan leher. Angiografi otak menghasilkan gambar paling akurat mengenai arteri dan vena dan digunakan untuk mencari penyempitan atau perubahan patologis lain, misalnya aneurisma. Namun, tindakan ini memiliki resiko kematian pada satu dari setiap

200 orang yang diperiksa. Proses dari angiografi serebral yaitu pasien akan diinfus pada bagian lengan sehingga dokter dapat memberikan obat atau cairan kepada bila diperlukan. Alat yang disebut pulse oximeter, yang berfungsi mengukur tingkat oksigen dalam darah, akan diselipkan pada jari atau telinga Anda. Cakram kecil (elektorda) ditempatkan pada lengan, dada, atau kaki Anda untuk merekam denyut serta irama jantung. Pasien akan berbaring telentang pada meja sinar-X. Sebuah tali, perban, atau kantong pasir mungkin akan digunakan untuk membuat pasien tetap diam tidak bergerak. Bagian selangkangan pasien akan disterilkan dan akan dimasukkan katerer melalui pembuluh darah dan menuju ke dalam arteri karotis, yang berada di leher. Pewarna kontras akan mengalir melalui kateter ke dalam arteri, di mana kemudian akan bergerak ke pembuluh darah di otak. Ketika pewarna kontras mengalir dalam tubuh pasien maka pasien akan merasa hangat. Kemudian beberapa pencitraan sinar-X pada kepala dan leher akan diambil. Setelahnya, katerer akan diangkat dan penjahitan akan dilakukan pada bagian terinjeksi tersebut. Seluruh prosedur membutuhkan waktu antara satu hingga tiga jam.

b. Lumbal Pungsi Lumbal pungsi adalah tindakan memasukkan jarum pungsi ke dalam ruang sub arachnoid meninges medula spinalis pada daerah cauda equina melalui daerah segmen lumbalis columna vertebralis dengan teknik yang ketat dan aseptik. Posisi pasien yaitu posisi tidur miring dengan fleksi maksimal dari lutut, paha, dan kepala semua mengarah ke perut, kepala dapat diberi bantal tipis. Hasil dari pemeriksaan lumbal pungsi yaitu tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal menunjukkan adanya hemoragi pada subaraknoid atau perdarahan pada intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya

proses inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal (xantokrom) sewaktu hari-hari pertama. c. CT Scan (Computerized Tomography Scanning)

Gambar 8. CT scan Dikutip dari Stroke Non Hemoragik. 2017. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang pemadatan terlihat di ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak. Pada CT, pasien diberi sinar X dalam dosis sangat rendah yang digunakan menembus kepala. Sinar X yang digunakan serupa dengan pada pemeriksaan dada, tetapi dengan panjang ke radiasi yang jauh lebih rendah. Pemeriksaan memerlukan waktu 15 – 20 menit, tidak nyeri, dan menimbulkan resiko radiasi minimal keculi pada wanita hamil. CT sangat handal mendeteksi perdarahan intrakranium, tetapi kurang peka untuk

mendeteksi stroke iskemik ringan, terutama pada tahap paling awal. CT dapat memberi hasil negatif - semu (yaitu, tidak memperlihatkan adanya kerusakan) hingga separuh dari semua kasus stroke iskemik.

d. MRI

Gambar 9. MRI Dikutip dari Stroke Non Hemoragik. 2017. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

MRI (Magnetic Resonance Imaging) menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi dan besar / luas terjadinya perdarahan otak. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik. Mesin MRI menggunakan medan magnetik kuat untuk menghasilkan dan mengukur interaksi antara gelombang-gelombang magnet dan nukleus di atom yang bersangkutan (misalnya nukleus Hidrogen) di dalam jaringan kepala. Pemindaian dengan MRI biasanya berlangsung sekitar 30 menit. Alat ini tidak dapat digunakan jika terdapat alat pacu jantung atau alat logam lainnya di dalam tubuh. Selain itu, orang bertubuh besar mungkin tidak dapat masuk ke dalam mesin MRI, sementara sebagian lagi merasakan ketakutan dalam ruangan tertutup dan tidak tahan menjalani prosedur meski sudah mendapat obat penenang. Pemeriksaan MRI aman, tidak

invasif, dan tidak menimbulkan nyeri. MRI lebih sensitif dibandingkan CT dalam mendeteksi stroke iskemik, bahkan pada stadium dini. Alat ini kurang peka dibandingkan CT dalam mendeteksi perdarahan intrakranium ringan.

e. USG Doppler Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem karotis).

f. EEG Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.

g. EKG EKG digunakan untuk mencari tanda-tanda kelainan irama jantung atau penyakit jantung sebagai kemungkinan penyebab stroke. Prosedur EKG biasanya membutuhkan waktu hanya beberapa menit serta aman dan tidak menimbulkan nyeri.

h. Pemeriksaan darah dan urine Pemeriksaan ini dilakukan secara rutin untuk mendeteksi penyebab stroke dan untuk menyingkirkan penyakit lain yang mirip stroke. Pemeriksaan yang direkomendasikan: 1) Hitung darah lengkap Merupakan tes rutin untuk menentukan jumlah sel darah merah, sel darah putih, trombosit dalam darah. Hematokrit dan hemoglobin adalah ukuran jumlah sel darah merah. Hitung darah lengkap dapat digunakan untuk mendiagnosis anemia atau infeksi. Hitung darah lengkap digunakan untuk melihat

penyebab

stroke

seperti

trombositosis,

trombositopenia, polisitemia, anemia (termasuk sikle cell disease). 2) Tes koagulasi Tes ini mengukur seberapa cepat bekuan darah. Tes yang paling penting dan evaluasi darurat stroke adalah glukosa (atau gula darah), karena tingkat glukosa darah yang tinggi atau terlalu rendah dapat menyebabkan gejala yang ungkin keliru untuk stroke. Sebuah glukosa darah puasa digunakan untuk membantu dalam diagnosis diabetes yang merupakan faktor risiko untuk stroke. Tes kimia darah lainnya untuk mengukur serum elektrolit, ion – ion dalam darah (natrium, kalium, kalsium) atau memeriksa fungsi hati atau ginjal. 3) Serologi untuk sifilis. 4) Glukosa darah untuk melihat DM, hipoglikemia, atau hiperglikemia. 5) Lipid serum untuk melihat faktor risiko stroke. Analisis urine mencakup penghitungan sel dan kimia urine untuk mengidentifikasi infeksi dan penyakit ginjal.

J. Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan medis Terapi pada penderita stroke non hemoragik menurut Esther (2010) dalam Setyadi (2014) bertujuan untuk meningkatkan perfusi darah ke otak, membantu lisis bekuan darah dan mencegah trombosis lanjutan, melindungi jaringan otak yang masih aktif dan mencegah cedera sekunder lain, beberapa terapinya adalah : a. Terapi trombolitik : menggunakan recombinant tissue plasminogen

activator (rTPA) yang berfungsi memperbaiki aliran darah dengan menguraikan bekuan darah, tetapi terapi ini harus dimulai dalam waktu 3 jam sejak manifestasi klinis stroke timbul dan hanya

dilakukan setelah kemungkinan perdarahan atau penyebab lain disingkirkan b. Terapi antikoagulan : terapi ini diberikan bila penderita terdapat

resiko tinggi kekambuhan emboli, infark miokard yang baru terjadi, atau fibrilasi atrial c. Terapi antitrombosit : seperti aspirin, dipiridamol, atau klopidogrel

dapat diberikan untuk mengurangi pembentukan trombus dan memperpanjang waktu pembekuan d. Terapi suportif : yang berfungsi untuk mencegah perluasan stroke

dengan tindakannya meliputi penatalaksanaan jalan nafas dan oksigenasi, pemantauan dan pengendalian tekanan darah untuk 13 mencegah perdarahan lebih lanjut, pengendalian hiperglikemi pada pasien diabetes sangat penting karena kadar glukosa yang menyimpang akan memperluas daerah infark. 2. Penalaksanaan Keperawatan a.

Terapi Non Farmakologi 1) Perubahan Gaya Hidup Terapeutik Modifikasi diet, pengendalian berat badan, dan peningkatan aktivitas fisik merupakan perubahan gaya hidup terapeutik yang penting untuk semua pasien yang berisiko aterotrombosis. Pada pasien yang membutuhkan terapi obat untuk hipertensi atau dislipidemia, obat tersebut harus diberikan, bukannya digantikan oleh modifikasi diet dan perubahan gaya hidup lainnya. Diet tinggi buah-buahan sitrus dan sayuran hijau berbunga terbukti memberikan perlindungan

terhadap

stroke

iskemik

pada

studi

Framingham (JAMA 1995;273:1113) dalam Agustian (2014) dan studi Nurses Health (JAMA 1999;282:1233) dalam Agustina (2014), setiap peningkatan konsumsi per kali per hari mengurangi risiko stroke iskemik sebesar 6%. Diet rendah lemak trans dan jenuh serta tinggi lemak

omega-3 juga direkomendasikan. Konsumsi alkohol ringan-sedang (1 kali per minggu hingga 1 kali per hari) dapat mengurangi risiko stroke iskemik pada laki-laki hingga 20% dalam 12 tahun, namun konsumsi alkohol berat (> 5 kali/ hari) meningkatkan risiko stroke. 2) Aktivitas fisik Inaktivasi fisik meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke setara dengan merokok, dan lebih dari 70% orang dewasa hanya melakukan sedikit latihan fisik atau bahkan tidak sama sekali, semua pasien harus diberitahu untuk melakukan aktivitas aerobik sekitar 30- 45 menit setiap hari. Latihan fisik rutin seperti olahraga dapat meningkatkan

metabolisme

karbohidrat,

sensitivitas

insulin dan fungsi kardiovaskular (jantung). Latihan juga merupakan

komponen

memaksimalkan

program

yang

berguna

penurunan

berat

dalam badan,

meskipun pengaturan pola makan lebih efektif dalam menurunkan berat badan dan pengendalian metabolisme. b.

Rehabilitasi Pemberian Stimulasi Dua Dimensi 1) Pengertian rehabilitasi Rehabilitasi merupakan dasar dari program pemulihan penderita stroke. Rehabilitasi stroke merupakan sebuah program komprehensif yang terkoordinasi antara medis dan rehabilitasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan dan memodifikasi keampuan fungsional yang ada. Rehabilitasi dini diunit 21 penanganan stroke dapat berpengaruh kepada keselamatan hidup penderita stroke. 2) Tujuan rehabilitasi Tujuan Rehabilitasi medis menurut Stein (2009) dalam Fitriani (2016) yaitu: a. Mengoptimalkan dan memodifikasi keampuan fungsional b. Memperbaiki fungsi motorik, wicara, kognitif dan fungsi lain yang terganggu c.

Membantu melakukan kegiatan aktivitas sehari – hari d. Readaptasi sosial dan mental untuk memulihkan hubungan interpersonal dan aktivitas sosial 3) Kegiatan rehabilitasi pemberian stimulasi dua dimensi Menurut (Lingga, 2013) program rehabilitasi mencakup berbagai macam kegiatan untuk melatih kembali fungsi tubuh pasien yang lemah akibat stroke yang dialami. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam rehabilitasi medik pasien stroke meliputi: a) Latihan rentang gerak aktif dengan cylindrical grip Pengertian latihan rentang gerak aktif asistif dengan cylindrical grip adalah latihan rentang gerak aktif merupakan

latihan

yang

dilakukan

untuk

mempertahankan atau memperbaiki pergerakkan sendi untuk meningkatkan masa otot dan kekuatan otot. Latihan cylindrical grip merupakan suatu bentuk latihan fungsional tangan dengan cara menggenggam sebuah benda berbentuk silindris 22 seperti tisu gulung pada telapak tangan, yang bertujuan untuk menunjang pemulihan kemampuan gerak dan fungsi tangan, dengan melakukan latihan dengan menggunakan cylindrical grip akan membantu proses perkembangan motorik tangan. Cylindrical grip merupakan salah satu dari power grip yang menggunakan benda berbentuk silindris berfungsi untuk menggerakkan jari-jari tangan dan membantu menggenggam dengan sempurna. Macammacam latihan dengan power grip dengan menggunakan pola menggenggam dan memegang terdiri atas cylindrical grip, spherical grip, hook grip, dan lateral prehension. Lama latihan rentang gerak Menurut (Potter & Perry, 2005 dalam Fitriani, 2016) frekuensi latihan

yang baik dalam sehari adalah dua sampai tiga kali sehari dan lama latihan minimal tiga menit setiap sendi dan 15-20 menit dalam satu kali sesi latihan. Penelitian yang dilakukan oleh Garber et al (2011) dalam jurnal yang berjudul “ Quantity and Quality of Exercise for Developing and 25 Maintaining Cardiorespiratoy, Musculoskeletal, and Neuromotor Fitness in Apparently Healthy Adults : Guidance for Prescribing Exercise” rekomendasi dasar untuk melakukan latihan neuromotor yang melibatkan ketrampilan motorik meliputi latihan keseimbangan, latihan gerak, koordinasi, dan gaya berjalan untuk meningkatkan fungsi fisik dengan frekuensi dua sampai tiga kali perminggu, tiap sesi lebih dari 20-30 menit total lebih dari 60 menit latihan per minggu. b) Terapi musik Pengertian

terapi

musik

adalah

terapi

yang

menggunakan musik secara terapeutik terhadap fungsi fisik, fisiologis, kognitif dan fungsi sosial. Musik merupakan seni mengatur suara dalam waktu yang berkelanjutan, terpadu dan menggugah komposisi melalui melodi, harmoni, ritme, dan timbre atau warna nada . Tujuan dan manfaat terapi musik Tujuan dan manfaat dari terapi musik yaitu untuk mengembalikan fungsi individu sehingga dapat mencapai kualitas hidup yang lebih baik, melakukan pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi dengan pemberian terapi karena musik dianggap mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan. Jenis musik yang diberikan untuk pasien stroke Jenis musik yang diberikan untuk pasien stroke adalah musik

yang lembut dan getaran yang lambat. Pengolahan irama yang tepat dapat membantu proses motorik melalui sinkronisasi sensorimotorik dengan musik. Salah satu jenis musik yang lembut dan nada yang lambat adalah musik instrumental. Lama pemberian terapi musik Terapis dapat melakukan terapi musik selama kurang lebih 30 menit hingga satu jam tiap hari, namun waktu 10 menit dapat diberikan karena selama waktu 10 menit telah membantu pikiran klien beristirahat. Posisi pasien harus nyaman saat mendengarkan musik, tempo sedikit lebih lambat 60-80 ketukan per menit dengan irama yang tenang. Salah satu contoh musik instrumental yang memiliki tempo lambat 60-80 ketukan per menit yaitu musik ethnic bali seperti gus teja. Pola sensori musik diorganisir dalam pola irama, tidak hanya membantu pasien untuk berlatih mensinkronkan waktu gerak sesuai ketukan,

tetapi

juga

membantu

terapis

dalam

perencanaan program yang disesuaikan dengan pola gerak pasien. K. Komplikasi Komplikasi pada stroke non hemoragik adalah: 1. Berhubungan dengan imobilisasi: infeksi pernafasan, nyeri pada daerah tertekan, konstipasi. 2. Berhubungan dengan paralise: nyeri punggung, dislokasi sendi, deformitas, terjatuh. 3. Berhubungan dengan kerusakan otak: epilepsy, sakit kepala. 4. Hidrosefalus Sedangkan komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke non hemoragik meliputi edema serebral, transformasi hemoragik, dan kejang.

2. Edema serebral yang signifikan setelah stroke non hemoragi kini terjadi meskipun agak jarang (10-20%). 3. Indikator awal stroke non hemoragik yang tampak pada CT scan tanpa kontras adalah intrakranin dependen untuk potensi pembengkakan dan kerusakan. Manitol dan terapi lain untuk mengurangi tekanan intracranial dapat dimanfaatkan dalam situasi darurat, meskipun kegunaannya dalam pembengkakan sekunder stroke non hemoragik lebih lanjut belum diketahui. Beberapa pasien mengalami transformasi hemoragik pada infark mereka. Hal ini diperkirakan terjadi pada 5% dari stroke non hemoragik yang tidak rumit, tanpa adanya trombolitik. Transformasi hemoragik tidak selalu dikaitkan dengan penurunan neurologis dan berkisar dari peteki kecil sampai perdarahan hematoma yang memerlukan evakuasi. 4. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan. Post-stroke non hemoragik biasanya bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang mengalami serangan stroke berkembang menjadi chronic seizure disorders. Kejang sekunder dari stroke stroke non hemoragik harus dikelola dengan cara yang sama seperti gangguan kejang lain yang timbul sebagai akibat neurologis injury.

L. Prognosis Prognosis stroke dipengaruhi oleh sifat dan tingkat keparahan defisit neurologis yang dihasilkan. usia pasien, penyebab stroke, gangguan medis yang terjadi bersamaan juga mempengaruhi prognosis. Secara keseluruhan, kurang dari 80% pasien dengan stroke bertahan selama paling sedikit 1 bulan, dan didapatkan tingkat kelangsungan hidup dalam 10 tahun sekitar 35%. pasien yang selamat dari periode akut, sekitar satu setengah samapai dua pertiga kembali fungsi independen, sementara sekitar 15% memerlukan perawatan institusional. Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke, dan sekitar 25% atau 125.000 orang meninggal dan sisanya mengalami cacat ringan atau berat. Sebanyak

28,5% penderita stroke meninggal dunia, sisanya menderita kelumpuhan sebagian maupun total. Hanya 15% saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke dan kecacatan.

M. Pencegahan Pencegahan untuk stroke non-hemoragik ada dua yaitu : 1. Pencegahan primer Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara menghindari rokok, stres mental, alkohol, kegemukan (obesitas), konsumsi garam berlebih, obat-obat golongan amfetamin, kokain dan sejenisnya. Mengurangi kolesterol dan lemak dalam makanan, mengendalikan hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit vaskular aterosklerotik lainnya serta perbanyak konsumsi gizi seimbang dan olahraga teratur. 2. Pencegahan sekunder Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara memodifikasi gaya hidup yang berisiko seperti hipertensi dengan diet dan obat antihipertensi, diabetes melitus dengan diet dan obat hipoglikemik oral atau insulin, penyakit jantung dengan antikoagulan oral, dislipidemia dengan diet rendah lemak dan obat anti dislipidemia, dan berhenti merokok, serta hindari kegemukan dan kurang gerak.

Referensi: Indun Candra Kirana. Stroke Non Hemoragik. 2017. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Hal. 1-23 8. Perspektif Islam

“Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang

Maha Penyayang di antara semua Penyayang”. Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah”. (QS al-Anbiyâ’, 21: 83-84) Ayat di atas mengisahkan bahwa Nabi Ayyub a.s. yang ditimpa penyakit, kehilangan harta dan anak-anaknya. Dari seluruh tubuhnya hanya hati dan lidahnya yang tidak tertimpa penyakit, karena dua organ inilah yang dibiarkan Allah tetap baik dan digunakan oleh Nabi Ayyub a.s. untuk berdzikir dan memohon keridhaan Allah, dan Allah pun mengabulkan doanya, hingga akhirnya Nabi Ayyub a.s. sembuh dan dikembalikan harta dan keluarganya. Dari sini dapat diambil pelajaran agar manusia tidak berprasangka buruk kepada Allah, tidak berputus asa akan rahmat Allah serta bersabar dalam menerima takdir Allah. Karena kita sebagai manusia perlu meyakini bahwa apabila Allah menakdirkan sakit maka kita akan sakit, begitu pula apabila Allah menakdirkan kesembuhan, tiada daya upaya kecuali dengan izin-Nya kita sembuh.

Related Documents


More Documents from "Rheniey Double'Leekim"