Laporan Patgul Konten 1 Dan Terakhir.docx

  • Uploaded by: RAHAYU Lestari
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Patgul Konten 1 Dan Terakhir.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,711
  • Pages: 18
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil [Terlampir] Pembahasan Karakteristik Beras Beras adalah hasil utama yang diperoleh dari proses penggilingan gabah hasil tanaman padi (Oryza sativa L.) yang seluruh lapisan sekamnya terkelupas dan seluruh atau sebagian lembaga danlapisan bekatulnya telah dipisahkan baik berupa butir beras utuh, beras kepala, beras patah, maupun menir (BSN 2015). Pada umumnya bentuk beras adalah lonjong, akan tetapi terdapat pula yang berbentuk agak bulat. Sedangkan berdasarkan bentuknya (perbandingan antara panjang dan lebar), beras dapat dibagi menjadi empat tipe, yaitu: lonjong (lebih dari 3), sedang (4,0-3,0), agak bulat (2,0-2,39) dan bulat (kurang dari 2). Dalam standarisasi mutu, dikenal empat tipe ukuran beras, yaitu sangat panjang (lebih dari 7 mm), panjang (6-7 mm), sedang (5.0-5.9 mm), dan pendek (kurang dari 5 mm). Menurut Potter (1973), panjang beras antara 5-10 mm, lebar beras antara 1,5-5 mm, berat beras 27 mg/biji, dan densitas kamba 575-600 kg/m3. Tinggi rendahnya mutu beras tergantung kepada beberapa faktor, yaitu spesies dan varietas, kondisi lingkungan, waktu pertumbuhan, waktu dan cara pemanenan, metode pengeringan, dan cara penyimpanan (Muchtadi 1992). Faktor genetik padi merupakan faktor utama penentu karakter gabah dan beras. Ukuran dan bentuk, warna, pengapuran (chalky), kandungan amilosa-amilopektin, konsistensi gel, suhu gelatinisasi, dan aroma beras merupakan karakter yang diturunkan secara genetik. Faktor lingkungan yang mempengaruhi karakter varietas antara lain adalah butir kuning rusak, butir hijau mengapur, butir retak, dan kadar air beras. Menurut Suherman (1999), karakteristik umum yang banyak mempengaruhimutu berasdi pasaran adalah ukuran dan bentuk, derajat sosoh, keterawangan, kebersihan dan kemurnian, kepulenan dan aroma. Kualitas beras dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti mutu fisik, mutu tanak (cooking quality), dan mutu rasa (eating quality) (Darmadjati 1995). Mutu tanak dan mutu rasa dipengaruhi oleh kandongan amilosa, suhu gelatinisasi dan konsistensi gel. Mutu rasa berbeda dengan aspek mutu lainnya. Mutu fisik dan mutu tanak dinilai secara objektif menggunakan instrument, sedangkan mutu rasa ditentukan secara objektif dan subjektif. Penilaian subjektif dilakukan melalui evaluasi sensori menggunakan sistem penginderaan oleh panelis, sedangkan penilaian objektif melalui instrumen. Berdasarkan pengamatan karakteristik beras pada berbagai jenis varietas beras yang berbeda yaitu beras pera, beras pulen, beras KW rendah, beras ketan putih, beras ketan hitam, dan beras merah. Tinggi rendahnya mutu beras bergantung pada beberapa faktor, yaitu spesies dan varietas, kondisi lingkungan, waktu dan cara pemanenan, metode pengeringan, dan cara penyimpanan (Astawan 2004). Pengamatan karakteristik beras yang diuji dalam praktikum ini adalah jumlah biji per kilogram, dimensi beras, chalkiness (derajat keputihan), %beras kepala, dan densitas kamba. Penentuan mutu fisik beras dilakukan dengan cara manual. Ukuran beras adalah panjang butiran beras

yang diukur antara dua ujung butiran beras utuh, menggunakan alat mikrometer sekrup, penentuan ukuran (panjang) beras, dihitung dari ratarata panjang 20 butir beras utuh (satuan panjang mm). Panjang diukur dari butir beras menggunakan jangka sorong. Bentuk beras diketahui dari rasio panjang dan lebar beras. Menurut Rahmat et al (2006), klasifikasi ukuran beras dibagi menjadi 4 yaitu sangat panjang dengan ukuran >7.50 mm, panjang dengan ukuran 6.61-7.50 mm, medium 5.51-6.60 mm, dan pendek 5.50 mm. Sedangkan Bentuk (shape) beras ditentukan oleh nilai rasio Panjang (P) dan Lebar (L) (Rasio P/L) butiran beras, untuk lebar butiran beras diukur antara punggung dan perut beras utuh, menggunakan alat Mikrometer. Klasifikasi rasio P/L beras dibagi menjadi ramping (slender) dengan rasio >3.30, medium 2.1-3.0, dan bulat (bold) < 2. Beras pera memiliki dimensi yang dimensi yang lebih kecil dibandingkan jenis beras lain sehingga jumlah beras per kilogramnya lebih banyak. Sedangkan untuk beras merah, beras ketan hitam, dan beras ketan putih memiliki dimensi yang beragam dan hampir sama. Beras pulen memiliki dimensi beras yang panjang, sedangkan untuk beras ketan putih, ketan hitam, dan beras merah memiliki dimensi beras medium. Beras kw rendah dan beras pera memiliki dimensi beras yang pendek. Dimensi pada beras juga menentukan jumlah biji per kilogram dalam beras, semakin banyak jumlah biji yang terdapat dalam satu kilogram beras, maka dimensi beras akan semakin kecil atau pendek. Menurut Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST), beras pulen mengandung kira-kira 20% takaran amilopektin agar beras menjadi lengket waktu menjadi nasi. Sedangkan beras pera punyai takaran lebih berasal dari 25% takaran amilosa agar nasi akan lebih keras saat dimasak. Selain itu perbedaan jenis varietas padi juga menentukan dimensi beras yang dihasilkan. Beras KW rendah memiliki dimensi yang lebih kecil dari beras pera dan ketan hitam, selain itu memiliki jumlah biji per kilogram paling sedikit diantara jenis beras lainnya. Hal ini disebabkan kualitas beras KW rendah yang dibawah mutu dan banyak mengandung beras menir dan beras patah. Beras ketan hitam (Oryza sativa glutinosa L.) merupakan salah satu jenis beras yang berwarna ungu pekat mendekati hitam dan mengandung senyawa fenolik yang tinggi terutama antosianin. Beras ketan hitam merupakan varietas beras yang patinya mengandung amilopektin sebesar 92-98%. Hal ini mengakibatkan beras ketan hitam memiliki karakteristik lekat atau lengket setelah dikukus. Beras ketan putih (Oryza sativa glutinosa) merupakan salah satu varietas padi yang termasuk dalam famili Graminae. Butir beras sebagian besar terdiri dari zat pati (sekitar 80-85%) yang terdapat dalam endosperma yang tersusun oleh granula-granula pati yang berukuran 310 milimikron. Beras ketan juga mengandung vitamin (terutama pada bagian aleuron), mineral dan air. Padi ketan hitam atau putih memiliki kadar amilosa di bawah 1% pada pati berasnya. Patinya didominasi oleh amilopektin, sehingga jika ditanak sangat lekat. Beras merah dikategorikan sebagai beras pecah kulit karena gabah dari tanaman padi hanya diberi perlakuan pengupasan pada bagian kulit luar (hull), namun tidak dilakukan penyosohan dan penggilingan lebih lanjut. Keunggulan beras merah dibanding beras putih terdapat pada komposisi nutrisinya. Beberapa komponen nutrien seperti serat kasar, asam lemak esensial, vitamin B kompleks serta mineral banyak terdapat pada bagian kulit ari (Santika dan Rozakurniati 2010). Serat kasar berguna bagi kesehatan pencernaan, membantu menurunkan konsentrasi LDL dalam darah,

serta mengurangi resiko penyakit-penyakit kronis seperti diabetes, obesitas, jantung koroner, dan divertikulitis (Fahey 2005). Vitamin B kompleks berperan dalam mencegah terjadinya penyakit beri-beri, neuropati perifer, keluhan mudah capai, anoreksia, anemia, cheilosis, glossitis, seborrhea, pelagra, edema hingga degenerasi sistem kardiovaskuler, neurologis serta muskuler. Chalky pada padi merupakan bagian dari biji yang berwarna lebih putih karena ada pati yang tidak berkembang secara sempurna. Chalky ini merupakan titik kelemahan yang menyebabkan biji mudah hancur ketika di giling, sehingga dapat menurunkan perolehan beras kepala. Chalky padi juga memiliki penampilan dan kualitas yang tidak diinginkan konsumen. Penentuan persen chalkiness dalam praktikum dilakukan manual dengan menggunakan organoleptik, yaitu dengan menghitung berapa banyak presentase berat yang memiliki derajat keputihan sehingga penilaian chalkiness pada setiap beras berbeda-beda. Semakin besar presentase chalkiness bulir beras akan lebih sulit menyerap air sehingga nasi yang dihasilkan menjadi tidak pulen (Wibowo dan Indrasari 2007). Beras ketan putih memiliki presentase chalkiness tertinggi 93,618% dan beras ketan hitam memiliki chalkiness paling rendah diantara jenis beras lainnya 15,77%. Hal ini karena adanya perbedaan varietas pada beras ketan hitam dan ketan putih sehingga memiliki warna yang berbeda. Chalkiness tidak mempengaruhi adanya kepulenan pada nasi. Beras yang mengandung amilosa tinggi menghasilkan nasi yang pera dan kering, sebaliknya beras yang mengandung amilosa rendah menghasilkan nasi yang lengket dan lunak. Selain dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan amilopektin, tingkat kepulenan nasi dipengaruhi oleh rasio air yang ditambahkan pada proses penanakan (Priyanto 2015). Beras utuh adalah butir beras baik sehat maupun cacat, yang utuh (ukuran 8/8) atau tidak ada yang patah sama sekali (BSN 2015). Beras kepala adalah butir beras baik sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran lebih besar atau sama dengan 0,75 bagian dari butir beras utuh. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2015) penentuan mutu beras berdasarkan golongan mutu I sampai mutu V. Berdasarkan tabel mutu golongan beras dalam pengamatan beras kepala. Beras pera, beras kw rendah dan beras pulen yang digunakan dalam praktikum merupakan mutu V, sedangkan untuk beras ketan hitam dan ketan putih termasuk dalam golongan mutu IV dan untuk beras merah termasuk dalam golongan mutu II. Menurut Setiawati et al (2014), besarnya densitas kamba suatu bahan berpengaruh terhadap tempat yang dibutuhkan untuk bahan tersebut. Semakin besar densitas kamba (partikel), maka semakin kecil tempat yang dibutuhkan, begitupun sebaliknya. Densitas kamba terkecil dimiliki oleh beras merah yaitu 0,75 dan densitas kamba terbesar pada ketan putih. No. Komponen Mutu Satuan Mutu Mutu Mutu Mutu Mutu I II II IV V (%) 100 100 95 95 85 1. Derajat sosoh (min) (%) 14 14 14 14 15 2. Kadar air (maks) Butir kepala (min) (%) 95 89 78 73 60 3. (%) 5 10 20 25 35 4. Butir patah (maks) (%) 0 1 2 2 5 5. Butir menir (maks) (%) 0 1 2 3 3 6. Butir merah (maks) (%) 0 1 2 3 5 7. Butir kuning/rusak (maks)

8. 9. 10.

Butir mengapur (maks) Benda asing (maks) Butir gabah (maks)

(%) (%) (%)

0 0 0

1 0,02 1

2 0,02 1

3 0,05 2

5 0,20 3

Karakteristik Biji Biji-bijian dapat diartikan sebagai kelompok padi-padian atau serealia. Dalam pengertian ini biji-bijian dihasilkan oleh famili rerumputan yang kaya karbohidrat sehingga dapat dikonsumsi sebagai makanan pokok. Serealia merupakan tumbuhan yang termasuk keluarga rumput-rumputan (gramineae) yang menghasilkan bulir-bulir berisi biji-bijian dan memiliki jenis yang beragam tergantung tempat tumbuhan ini tumbuh. Berdasarkan pengamatan uji dalam praktikum, biji-bijian yang dilakukan pengamatan adalah kedelai, kacang hijau, kacang tolo, kacang merah, dan millet. Biji kedelai umumnya berbentuk bulat atau bulat pipih sampai bulat lonjong. Warna kulit biji bervariasi antara lain kuning, hijau, coklat, atau hitam. Ukuran biji berkisar antara 6–30 gram/100 biji. Di Indonesia, ukuran biji kedelai diklasifikasikan menjadi 3 kelas, yaitu biji kecil (6–10 gram/100 biji), sedang (11–12 gram/100 biji) dan besar (13 gram atau lebih/100 biji). Biji kacang hijau lebih kecil dibanding biji kacang-kacangan lain. Biji kacang hijau terdiri atas tiga bagian utama, yaitu kulit biji (10%), kotiledon (88%) dan lembaga (2%). Pada bagian kulit biji kacang hijau mengandung mineral antara lain fosfor (P), kalsium (Ca), dan besi (Fe). Kotiledon banyak mengandung pati dan serat, sedangkan lembaga merupakan sumber protein dan lemak. Panjang polong sekitar 516 cm, setiap polong berisi 10-15 biji. Polong berbentuk bulat silindris atau pipih dengan ujung agak runcing atau tumpul. Polong muda berwarna hijau, setelah tua berubah menjadi kecokelatan atau kehitaman. Bijinya berbentuk bulat dengan bobot (berat) sebesar 0,5-0,8 mg, berwarna hijau sampai hijau mengkilap (Purwono dan Hartono 2005). Kacang merah (Phaseolus vulgaris L.) termasuk dalam Famili Leguminoseae alias polong-polongan. Satu keluarga dengan kacang hijau, kacang kedelai dan kacang tolo. Kacang merah merupakan tanaman semak yang tegak dan ada yang merambat. Tinggi tanaman kacang merah sekitar 3,5 – 4,5 meter, warna biji bertotol-totol merah tua dan buahnya berbentuk polong memanjang, sedikit lebih panjang dibandingkan buncis. Jumlah biji kacang merah sekitar 2-3 biji dalam satu polongnya (Zebua 2009). Kacang tolo adalah salah satu jenis kacang-kacangan yang sudah dikenal oleh masyarakat. Kandungan protein kacang tolo berkisar antara 18,3 – 25,53% yang berpotensi sebagai bahan pangan protein nabati, energi 342 (kkal), lemak 1,4 g, karbohidrat 61,6 g, kalsium 77 mg, dan fosfor 449 mg. Keunggulan kacang tolo adalah kadar lemaknya lebih rendah sehingga dapat meminimalisasi efek penggunaan produk pangan berlemak (Rosida 2013). Millet adalah sejenis sereal berbiji kecil yang pernah menjadi makanan pokok masyarakat Asia Timur dan Tenggara sebelum mereka bercocok tanam padi. Millet termasuk tanaman ekonomi minor namun memiliki nilai kandungan gizi yang mirip dengan tanaman pangan lainnya seperti padi, jagung, gandum, dan tanaman biji-bijian yang lain karena tanaman millet sendiri adalah tergolong ke dalam jenis tanaman biji-bijian. Biji jagung yang telah matang terdiri atas empat bagian utama, yaitu perikarp, lembaga, endosperm, dan tip kap. Perikarp merupakan lapisan pembungkus biji yang berubah cepat selama proses pembentukan

biji. Pada waktu kariopsis masih muda, sel-selnya kecil dan tipis, tetapi sel-sel itu berkembang seiring dengan bertambahnya umur biji. Pada taraf tertentu lapisan ini membentuk membran yang dikenal sebagai kulit biji atau testa/aleuron yang secara morfologi adalah bagian endosperm. Bobot lapisan aleuron sekitar 3% dari keseluruhan biji (Inglett 1987). Berdasarkan pengamatan dimensi pada beberapa jenis serealia biji-bijian yang berbeda diapatkan dimensi biji-bijian yang paling besar adalah kacang merah dengan dimensi panjang 14.44 mm, lebar 7.49 mm, dan tebal 4.92 mm, sedangkan serelia terkecil oleh millet dengan panjang Penentuan dimensi ini panjang 3 mm, lebar 2.3 mm, dan tebal 1.7 mm. Penentuan dimensi ini digunakan untuk menentukan densitas kamba untuk serealia, agar menentukan tempat atau luas gudang yang diperlukan untuk penyimpanan serealia. Jumlah biji per kilogram juga dipengaruhi dimensi dari serealia, semakin besar dimensi serealia maka semakin sedikit jumlah biji per kilogramnya. Jumlah biji per kilogram paling banyak menurut pengamatan praktikum adalah millet sedangkan jumlah biji per kilogram paling sedikit adalah kacang merah karena memiliki dimensi yang besar. Besarnya densitas kamba suatu bahan berpengaruh terhadap tempat yang dibutuhkan untuk bahan tersebut. Semakin besar densitas kamba (partikel), maka semakin kecil tempat yang dibutuhkan, begitupun sebaliknya. Densitas kamba terbesar adalah kacang tolo yaitu 0.88 g/ml dan densitas kamba terkecil adalah kedelai yaitu 0.69 g/ml. Menurut Hidayat et al (2013) densitas kamba berbanding lurus dengan besar kemasan yang digunakan, artinya semakin besar densitas kamba suatu komoditas, maka ukuran kemasan yang diperlukan juga semakin besar. Karakteristik Umbi/Buah Umbi – umbian adalah bahan nabati yang diperoleh daridalam tanah dengan jumlah produksi yang besar, misalnya ubi kayu, ubi jalar,kentang, garut, kunyit, gadung, bawang, jahe , kencur, kimpul, talas, gembili, ganyong, bengkuang, dan lain lain. Pada umumnya umbi – umbian mengandung sumber karbohidrat terutama pati yang cukup baik untuk menggantikan berassebagai bahan makanan pokok dan sebagai sumber cita rasa dan aroma karena mengandung oleoresin. Selain itu umbi kaya akan kandungan prebiotik, serat danantioksidan. Umbi – umbian dapat dibedakan berdasarkan asalnya yaitu umbi akar dan umbi batang. Umbi akar atau umbi batang sebenarnya merupakan bagian akar atau batang yang dijadikan sebagai tempat menyimpan cadangan makanan. Pada praktikum ini, umbi-umbian yang diamati antara lain talas, kentang, kimpul, singkong, ubi, dan pisang. Talas (Colocasia esculenta (L) Schot), termasuk genus Colocasia monokotiledon dengan famili Araceae. Umbi talas terdiri atas tiga bagian yaitu kulit luar, korteks atau kulit dalam, dan daging. Daging umbi talas mempunyai warna yang bervariasi seperti, kuning muda, kuning tua, orange, merah muda sampai ungu, atau merupakan kombinasi antara putih dengan ungu. Umbi dapat mencapai 4 kg atau lebih, berbentuk silinder atau bulat, berukuran 30 cm x 15 cm, berwarna coklat. Daunnya berbentuk perisai atau hati, lembaran daunnya 20-50 cm panjangnya, dengan tangkai mencapai 1 meter panjangnya, warna pelepah bermacam-macam. Perbungaannya terdiri atas tongkol, seludang dan tangkai.

Kimpul (Xanthosoma sagittifolium) adalah jenis umbi talas-talasan. Kimpul juga disebut sebagai talas Belitung atau Blue Taro dalam bahasa Inggris. Kimpul termasuk famili Areacea dan merupakan tumbuhan menahun yang mempunyai umbi batang maupun batang palsu yang sebenarnya adalah tangkai daun. Pada agroindustri, umbi kimpul dibuat tepung yang selanjutnya diproses menjadi makanan bayi, kue, dan roti, sementara di Indonesia dibuat menjadi makanan enyek-enyek, dodol kimpul, chese stick kimpul, dan pakan ternak (termasuk daun dan batangnya). Kimpul dapat dibuat Colagen dalam industri kosmetik, daun kimpul dapat dibuat buntil, dan batangnya dapat disayur (Widowati et al 1997). Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) atau dikenal juga dengan istilah ketela rambat merupakan tanaman yang termasuk ke dalam jenis tanaman palawija, dapat berfungsi sebagai pengganti bahan makanan pokok (beras) karena merupakan sumber karbohidrat. Umbi tanaman ubi jalar ada yang berwarna ungu, oranye, kuning, dan putih. Daging ubi jalar putih dan ungu biasanya lebih padat dan kering, sedangkan daging ubi jalar oranye dan kuning lebih lunak dan mengandung kadar air tinggi. Semakin pekat warna merah ubi jalar, semakin tinggi kadar betakarotinnya. Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu umbiumbian yang banyak digunakan sebagai sumber karbohidrat atau makanan pokok bagi masyarakat dunia setelah gandum, jagung dan beras. Kentang mengandung serat makanan (sampai 3,3%), asam askorbat (sampai 42 mg/100 g), kalium (sampai 693,8 mg/100 g), karotenoid total (sampai dengan 2700 mcg/100 g), dan fenol antioksidan seperti asam klorogenat (hingga 1570 mcg/100 g) dan polimer, dan anti-nutrisi seperti α-solanin (0,001- 47,2 mg/100 g), dan jumlah protein yang lebih rendah (0,85-4,2%), asam amino, mineral dan vitamin lain, dan komponen bioaktif. Singkong (Manihot Utilissima) merupakan tanaman berumur panjang yang tumbuh di daerah tropika dengan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, tetapi sensitif terhadap suhu rendah. Singkong merupakan umbi atau akar pohon yang membesar, dengan fisik rata-rata bergaris tengah 2 – 3 cm dan panjang 50 – 80 cm tergantung dari jenis singkong yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin. Singkong merupakan sumber karbohidrat yang paling penting setelah beras, tetapi sesuai dengan kemajuan teknologi pengolahan singkong tidak hanya terbatas pada produksi pangan, tetapi merambah sebagai bahan baku industri pellet atau pakan ternak, tepung tapioka pembuatan etanol, tepung gaplek, ampas tapioka yang digunakan dalam industri kue, roti, kerupuk dan lain-lain. Pisang merupakan tanaman yang memiliki banyak kegunaan, mulai dari buah, batang, daun, kulit hingga bonggolnya. Tanaman pisang yang merupakan suku Musaceae termasuk tanaman yang besar memanjang. Berdasarkan pengamatan terhadap beberapa umbi-umbian yang berbeda, terlihat setiap umbi memiliki karakteristik sendiri dalam perbedaan bobot yang dihasilkan. Bobot yang paling besar adalah singkong yaitu sebanyak 200 gram per buah dan bobot paling kecil yaitu kimpul 74,21 gram per buah. Bobot per buah setiap umbi berbeda-beda tergantung jenis dan varietasnya. Selain itu bobot per buah pada umbiumbian juga tergantung pada cadangan makanan yang disimpan dalam umbi tersebut Pengamatan volume pada umbi-umbian kentang, talas, singkong, pisang, dan kimpul diperoleh dengan menghitung volume air yang terdapat dalam gelas erlenmeyer saat

umbi dimasukkan. Penentuan volume pada umbi ini berfungsi untuk menghitung densitas kamba untuk penyimpanan umbi-umbian yang diperlukan untuk menghitung tempat penyimpanan umbi-umbian. Semakin besar nilai densitas kamba, maka akan semakin besar tempat yang digunakan untuk penyimpanan umbi-umbian. Berdasarkan hasil praktikum kentang memiliki densitas kamba yang paling besar yaitu 2,55 g/ml diantara umbi-umbian lainnya. Sedangkan yang memiliki densitas kamba paling kecil adalah ubi dengan nilai densitas kamba 1,11 g/ml. Penampakan, bau, tekstur, dan nilai gizi adalah empat parameter yang dinilai oleh konsumen dalam memilih makanan. Penampakan dipengaruhi oleh warna, dan merupakan parameter pertama yang dinilai untuk mengevaluasi makanan. Warna dapat dipengaruhi oleh beberapa komponen, yaitu pembentukan pigmen, klorofil, karotenoid, antosianin, dan lain-lain, atau pembentukan warna melalui reaksi enzimatis dan nonenzimatis. Salah satu reaksi warna yang penting adalah terbentuknya browning pada buah-buahan, sayur-sayuran, dan seafood khususnya krustasea (Kim et al 2000). Pengamatan reaksi enzimatis pada umbi-umbian dilakukan dengan melihat adanya perubahan warna setelah umbi dikupas kulitnya. Reaksi enzimatis pada buah dan umbiumbian bisa berlangsung secara spontan. Hal ini terlihat dari warna komoditas yang berubah, walaupun tidak terjadi perubahan yang nyata. Reaksi enzimatis ini terjadi karena bahan mengalami kontak langsung dengan gas oksigen dari udara. Oksigen akan bereaksi dengan enzim polifenol oksidasi sehingga terjadi reaksi browning. Reaksi browning inilah yang menjadikan buah dan umbi-umbian menjadi berwarna kecokatan setelah didiamkan di ruangan terbuka. Reaksi enzimatis pada umbi-umbian menandakan adanya enzim yang bekerja pada kandungan umbi setelah dikupas dari kulitnya biasanya daging umbi akan berwarna kecoklatan (browning). Browning atau pencoklatan merupakan proses perubahan warna yang terjadi pada bahan pangan yang ditandai dengan adanya warna coklat pada daging buah. Browning banyak terjadi pada buah dan sayuran. Browning banyak menginfeksi buah yang telah dikupas dari kulitnya. Reaksi pencoklatan enzimatis adalah proses kimia yang terjadi pada sayuran dan buah-buahan oleh enzim polifenol oksidase yang menghasilkan pigmen warna. Reaksi pencoklatan (browning) dapat dibedakan menjadi reaksi pencoklatan enzimatis dan reaksi pencoklatan non-enzimatis. Pencoklatan enzimatik yang melibatkan enzim polifenol oksidase ini membentuk melanin sehingga menyebabkan warna coklat. Proses pencoklatan enzimatis memerlukan enzim polifenol oksidase dan oksigen untuk berhubungan dengan substrat tersebut. Enzim-enzim yang dikenal yaitu fenol oksidase, polifenol oksidase, fenolase atau polifenolase, enzim-enzim ini bekerja secara spesifik untuk substrat tertentu. Reaksi ini banyak terjadi pada buah-buahan atau sayuran yang banyak mengandung substrat senyawa fenolik seperti catechin dan turunannya yaitu tirosin, asam kafeat, asam klorogenat, serta leukoantosiani (Richardson 1991). Berdasarkan hasil pengamatan praktikum hanya kimpul dan singkong yang tidak mengalami reaksi enzimatis. Pengamatan pengaruh panas terhadap umbi-umbian diamati menggunakan beberapa parameter yaitu tekstur, warna, dan rasa. Pengaruh pemasakan ini untuk mengamati pengaruh suhu yang tinggi saat pemasakan pada parameter tekstur, warna, dan rasa sebelum dan sesudah pemasakan. Pengolahan pangan dengan menggunakan

pemanasan dikenal dengan proses pemasakan yaitu proses pemanasan bahan pangan dengan suhu 100⁰C atau lebih dengan tujuan utama adalah memperoleh rasa yang lebih enak, aroma yang lebih baik, tekstur yang lebih lunak, untuk membunuh mikrobia dan menginaktifkan semua enzim (Sundari et al 2015). Penggunaan panas dalam proses pemasakan bahan pangan sangat berpengaruh pada nilai gizi bahan pangan. Proses perebusan dapat menurunkan nilai gizi karena bahan pangan yang langsung terkena air rebusan akan menurunkan zat gizi terutama vitamin-vitamin larut air (seperti vitamin B kompleks dan vitamin C) dan juga protein. Berdasarkan hasil praktikum terhadap pengamatan pengaruh pemanasan pada umbi-umbian terjadi perubahan tekstur setelah pemasakan menjadi agak lunak atau lembut. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh suhu yang tinggi terhadap enzim yang ada didalam kandungan umbi-umbian sehingga terjadi proses pelunakan daging, sedangkan pada warna setelah pemasakan menjadi kuning kecoklatan mendandakan adanya reaksi browning pada umbi dan rasa yang berubah menjadi sedikit manis, suhu tinggi pada saat pemasakan dapat mengurai kandungan umbi menjadi glukosa sehingga menjadi sangat manis. Proses pemasakan berpengaruh nyata pada sebagian komoditas umbiumbian dan buah. Karakteristik yang berubah selama proses pemasakan antara lain tekstur, warna, dan rasa. Beberapa bahan seperti ubi, singkong, pisang dan kentang, talas, menjadi manis ketika sudah dimasak. Sedangkan pada pisang tidak berubah menjadi manis. Tekstur umbi dan buah juga menjadi lebih lembut dari yang sebelum dimasak keras dan warnanya menjadi memudar setelah dimasak. Saat proses pemasakan gula dalam bentuk sukrosa pada umbi-umbian dan buah-buahan akan terhidrolisis menjadi fruktosa dan glukosa karna adanya panas. Fruktosa dan glukosa memiliki tingkat kemanisan yang lebih tinggi dari sukrosa sehingga umbiumbian atau buah-buahan yang mengalami proses pemasakan akan menjadi lebih manis. Selain itu terjadi juga reaksi yang menghidrolisis pigmen umbi atau buah sehingga warnanya menjadi sedikit pudar (Husna et al 2013) Pengamatan Warna pada Gula Semut dan Gula Merah Cetak Warna memegang peranan penting dalam penilaian konsumen terhadap makanan dan memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan seperti pencoklatan dan pengkaramelan. Sistem yang secara luas dipakai untuk kolorimetri makanan adalah sistem L, a, b Hunter (deMan 1997). Pada sistem ini, penilaian terdiri atas 3 parameter yaitu L, a dan b. Menurut Suyatma (2009) notasi L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu dan hitam sehingga notasi ini berhubungan dengan kecerahan warna suatu produk pangan. Semakin gelap produk maka nilai dari notasi L semakin berkurang begitupun sebaliknya. Nilai a adalah koordinat kromatis yang menunjukkan kemerahan atau kehijauan pada sampel. Nilai a positif menunjukkan kemerahan sampel sedangkan nilai a negatif menunjukkan kehijauan sampel. Nilai b menyatakan warna kromatis campuran biru-kuning. Nilai b positif menunjukkan kekuningan sampel sedangkan nilai b negatif menunjukkan kebiruan sampel. Notasi a dan b kemudian diubah ke dalam notasi chroma dan oHue. Nilai chroma menyatakan intensitas warna suatu bahan sedangkan oHue menyatakan daerah warna bahan. Berdasarkan hasil pengamatan pada jenis gula semut dengan bahan dasar yang berbeda yaitu gula aren dan gula kelapa. Gula kelapa memiliki rata-rata nilai L yang

lebih kecil dibandingkan dengan gula aren. Nilai L pada gula aren paling besar adalah 47,34 sedangkan nilai L produk gula semut berbahan dasar gula kelapa paling kecil adalah 34,15. Perbedaan nilai L ini disebabkan karena gula kelapa memiliki warna nira yang lebih gelap dibandingkan gula aren sehingga menyebabkan produk turunannya terhadap gula semut memiliki tingkat warna yang lebih cerah (Somaatmadja 1980). Parameter warna gula semut yang diukur selain nilai L adalah Chroma. Chroma didefinisikan sebagai gradasi kemurnian dari warna atau derajat pembeda adanya perubahan warna dari kelabu atau putih netral ke warna lainnya (Priandana et al 2014). Nilai chroma didapat dengan mengubah notasi a* dan b*. Nilai b yang semakin positif menunjukkan produk semakin berwarna kekuningan, sebaliknya, nilai b yang mengalami penurunan menandakan intensitas warna kuning semakin menurun. Menurut Hasbullah dan Umiyati (2017) korelasi antara b* dan chroma memberikan nilai koefisien mendekati 1 (positif) sehingga apabila nilai b* meningkat maka nilai chroma akan semakin meningkat dan sebaliknya. Nilai oHue merupakan sudut warna dengan rentang dari 0o hingga 360o yang menyatakan warna sebenarnya seperti hijau, merah, kuning atau biru. Nilai hue digunakan untuk membedakan warna-warna dan menentukan kemerahan (redness), kekuningan (yellowness) dan sebagainya dari cahaya yang berasosiasi dengan panjang gelombang cahaya (Hariyanto 2009). Pengamatan nilai oHue pada gula semut dilakukan dengan menngunakan colorimeter. Nilai oHue paling tinggi terdapat pada gula semut kelapa yaitu 68,28 sedangkan nilai oHue paling kecil adalah gula semut aren. Nilai oHue sebanding dengan nilai b, yang menunjukkan warna yang positif semakin kuning pada bahan. Hal ini berarti gula kelapa menghasilkan gula semut yang berwarna semakin kuning dibandingkan gula aren. Perbedaan nilai oHue selain perbedaan bahan dasar adalah waktu dan suhu pemasakan. Perubahan warna pada produk gula semut baik itu kecerahan, chroma maupun oHue menunjukkan adanya perubahan reaksi warna berupa reaksi pencoklatan. Reaksi pencoklatan yang terjadi pada gula semut aren merupakan reaksi pencoklatan non enzimatis yaitu reaksi maillard. Reaksi maillard merupakan reaksi yang diawali dengan kondensasi grup karbonil dengan grup amino bebas dari asam amino, peptide atau protein dengan menghasilkan produk akhir pigmen cokelat yang dinamakan melanoidin. Reaksi pencoklatan non enzimatis dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Penelitian yang dilakukan oleh Adawiyah (2006) menunjukkan peningkatan suhu menyebabkan peningkatan laju pembentukan warna coklat. Hal ini sesuai dengan Eskin (1990) yang menyebutkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap reaksi pencoklatan non-enzimatis meliputi suhu, kadar air, pH, dan senyawa kimia. Pengamatan warna dengan colorimeter dilakukan juga pada produk gula merah cetak dengan membandingkan produk gula merah cetak dari bagian atas, bawah, dan campuran tebu. Berdasarkan hasil pengamatan bagian bawah pada tebu menghasilkan nilai L yang paling besar, semakin gelap produk maka nilai dari notasi L semakin berkurang begitupun sebaliknya. Warna yang semakin gelap atau coklat mengindikasikan banyaknya kandungan gula pada bagian bawah batang tebu. Warna yang dihasilkan pada pengolahan gula merah berasal dari reaksi maillard dan karamelisasi. Reaksi karamelisasi pada gula merah dapat terjadi apabila pemasakan nira telah mencapai suhu yang tinggi (≥120oC) yang umumnya dicapai diakhir proses

pemasakan (Safitri 2017). Reaksi Maillard merupakan reaksi pencoklatan nonenzimatik yang terjadi melalui reaksi antara gugus karbonil dari gula pereduksi dengan gugus amino primer dari asam amino, peptida, dan protein (Manzocco et al. 2011). Warna yang dihasilkan gula kelapa umumnya yaitu cokelat muda hingga cokelat tua. Sementara warna yang dihasilkan gula tebu umunya lebih gelap, yaitu coklat tua hingga hitam. Hal ini disebabkan karena kandungan gula pereduksi nira tebu lebih besar dibandingkan nira kelapa. Nira tebu mengandung 0.54 - 1.59% gula pereduksi (Erwinda dan Susanto 2014) dan nira kelapa mengandung 0.16 - 0.99% gula pereduksi. Nilai oHue paling tinggi pada gula merah cetak terdapat pada gula merah cetak dengan bahan tebu bagian bawah yaitu 54,70 dan 47,61. Sedangkan nilai oHue paling rendah terdapat pada bagian campuran yaitu 48,61. Nilai oHue ini sebanding dengan nilai b* yang menunjukkan warna yang semakin kuning atau coklat. Proses pemasakan nira mempengaruhi pembentukan warna gula merah yang dihasilkan, di mana semakin tinggi suhu pemasakan, semakin tinggi intensitas warna merah pada gula merah (Dewi et al 2014). Warna kecoklatan pada gula merah disebabkan adanya reaksi browning Maillard dan karamelisasi yang menghasilkan pigmen melanoidin (pigmen warna coklat). Suhu pemasakan mempengaruhi reaksi karamelisasi yang terjadi selama pemasakan gula merah. Reaksi karamelisasi terjadi karena gula (glukosa, fruktosa, sukrosa, dll) dipanaskan hingga mencapai titik lelehnya, sehingga semakin tinggi suhu pemasakan, semakin tinggi intensitas warna gula yang dihasilkan. Akan tetapi untuk mendapatkan warna yang baik harus dilakukan pemasakan dengan suhu yang tepat. Apabila suhunya terlalu rendah, reaksi karamelisasi kurang maksimal, sebaliknya apabila suhunya terlalu tinggi, reaksi karamelisasi yang berlebihan dapat menyebabkan warna coklat tua yang kurang menarik. Sementara, kecepatan pengadukan hanya mempengaruhi proses evaporasi, bukan reaksi karamelisasi. Bagian Tak Larut Air pada Gula Semut Bahan tidak larut (ketidak larutan) merupakan kandungan padatan yang tidak bisa larut (kotoran) yang terdapat dalam gula, dimana jika kadarnya tinggi akan mempengaruhi kandungan bahan lain dalam gula. Adanya bahan-bahan lain non gula seperti potongan tebu atau serat tebu yang ikut masuk pada saat pengambilan nira maupun pada saat pemasakan dan juga kotoran dari sisa pembakaran yang ikut masuk pada saat pemasakan. Prinsip uji ini dilakukan untuk mengetahui bagian yang terlarut dan tidak terlarut pada proses pembuatan gula, khususnya untuk menentukan bagian tidak terlarut pada gula semut. Umumnya data bagian yang tidak larut atau larut hasilnya bisa lebih tinggi ataupun lebih rendah. Banyaknya kandungan bahan yang tidak terlarut ini dipengaruhi oleh banyak sedikitnya kandungan sukrosa. Seperti yang diketahui, bahwa sukrosa merupakan oligosakarida yang sukar larut dalam air. Maka partikel yang tertinggal dalam kertas saring adalah partikel sukrosa yang disebut bagian tidak larut pada gula. Berdasarkan hasil praktikum menunjukkan bahwa presentase tak larut air pada gula semut aren cukup tinggi yaitu rata-rata 5.6% sedangkan presentase tak larut air pada gula semut kelapa lebih rendah yaitu 1%. Hasil tersebut masih diatas kadar maksimum presentase tak larut air sesuai standar SNI yakni maksimum 0,2%. Tingginya kadar padatan tak larut diduga karena ada bahan tambahan lain seperti

tepung atau proses produksi yang masih kurang memperhatikan kebersihan alat. Keragaman bahan tidak larut pada gula semut ditentukan oleh bahan-bahan lain non gula (impurities) seperti kotoran yang ada pada gula kelapa atau gula merah cetak atau yang ikut masuk pada saat proses pengolahan gula semut. Bahan lain non gula (impurities) akan mempengaruhi kelarutan, dimana bahan tersebut tidak akan ikut larut, sehingga kelarutan gula tersebut menjadi berkurang. Bagian gula yang tidak larut air menentukan mutu gula disebabkan pada dasarnya gula murni memiliki karakteristik larut dalam air. Seberapa besar bagian yang tidak larut air dapat menjadi penduga tingkat kemurnian gula, di mana semakin tinggi tingkat kemurnian gula maka bagian tidak larut airnya semakin kecil, begitu pula sebaliknya. Berdasarkan SNI 01-37431995, bagian tidak larut air pada gula palma (aren, kelapa, atau siwalan) yang berbentuk gula cetak maksimum sebesar 1% dan gula semut sebesar 0,2%. SNI 2043-78 gula semut (palma) No. Jenis Uji Persyaratan Penampakan 1 -Bentuk Serbuk -Warna Kuning kecoklatan Air (%) Maks. 3% 2 Abu (%) Maks. 2% 3 Gula pereduksi Maksi. 6% 4 Jumlah gula dihitung sebagai sukrosa Min. 80% 5 Padatan yang tidak larut dalam air Min. 0,2% 6 Pati Tidak nyata 7 Belerang dioksida (SO2) Tidak nyata 8 Cemaran logam 9 -Timbal (Pb) Maks. 1 mg/kg -Seng (Zn) Maks. 25 mg/kg -Air raksa (Hg) Maks. 0,025 mg/kg Maks. 1 mg/kg 10 Arsen (As) Maks. 20 mg/kg 11 Tembaga (Cu) Standar Nasional Indonesia 2043-78. Pengamatan Gula Pereduksi dan Sukrosa pada Gula Invert Gula invert merupakan hasil hidrolisis dari sukrosa yaitu α-D-glukosa dan β-Dfruktosa. Hidrolisis terjadi pada larutan dengan suasana asam atau dengan enzim invertase (Junk dan Pancoast 1980). Pendidihan larutan sukrosa dengan adanya asam mengakibatkan terjadinya proses hidrolisis yang menghasilkan gula pereduksi (glukosa dan fruktosa). Sukrosa diubah menjadi gula pereduksi dan hasilnya dikenal sebagai gula invert. Kecepatan inversi (perubahan sukrosa menjadi gula invert) dipengaruhi oleh suhu, waktu pemanasan, konversi asam yang digunakan, dan nilai pH dari larutan (Desrosier 1988). Beberapa asam yang dapat digunakan untuk menginversi sukrosa adalah HCl, H2SO4, H3PO4, asam tartarat, asam sitrat dan asam laktat. Masing-masing asam memiliki kekuatan inversi yang berbeda tergantung dari kekuatan ionisasinya. Secara komersial, asam klorida banyak digunakan untuk menghidrolisa sukrosa karena

asam klorida mempunyai daya inversi yang tinggi (Palungkun 1993). Menurut Junk dan Pancoast (1980), sirup gula invert dapat diproduksi melalui tiga cara. Pertama adalah dengan menggunakan enzim invertase, cara yang kedua dengan hidrolisis asam sedangkan cara yang ketiga dengan menggunakan resin penukar ion. Gula invert tidak dapat berbentuk kristal karena kelarutan fruktosa dan glukosa sangat besar. Menurut Winarno (1997), ada tidaknya sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan dari ada tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor satu (anomerik), sedangkan pada fruktosa (ketosa) hidroksil reaktifnya terdapat pada karbon nomor dua. Kadar gula pereduksi gula invert ditentukan oleh kesempurnaan proses hidrolisis. Berdasarkan hasil pengamatan praktikum pada gula invert dengan menghitung gula pereduksi, total gula, sukrosa, dan % sesudah inversi yang dilakukan. Produk gula invert dengan menggunakan metode asam menghasilkan gula pereduksi, total gula dan sukrosa yang cukup tinggi (Tabel 12) gula pereduksi yang paling tinggi dihasilkan oleh produk gula invert gula kelapa dengan menggunakan metode asam HCl yaitu gula pereduksi 55,35% dan total gula 52,60%. Sedangkan pada total gula yang paling tinggi adalah produk gula invert dari gula pasir dengan metode asam yaitu 58,14% kadar sukrosa paling tinggi didapatkan oleh produk gula invert dari gula pasir dan tartarat yaitu 38,82%. Pada penelitian lain yang dilakukan Junk dan Pancoast (1980) menunjukkan bahwa persentase gula invert yang dihasilkan dengan menggunakan HCl lebih tinggi bila dibandingkan dengan menggunakan asam tartarat. Hal itu karena HCl merupakan asam kuat dan pada konsentrasi yang sama dengan asam tartarat yang merupakan asam lemah, persentase gula invert yang dihasilkan dengan menggunakan HCl akan lebih banyak. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa gula invert terbesar dihasilkan dari pembuatan dengan menggunakan HCl. Berbeda dengan persentase gula invert yang dihasilkan, kadar sukrosa yang terkandung pada gula invert dengan menggunakan HCl harus lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan asam tartarat, karena asam kuat menghidrolisis sukrosa lebih cepat daripada asam lemah. Hal ini dikarenakan sifat asam yang kuat akan jauh lebih cepat memecah ikatan yang ada pada sukrosa (Hall 1973). Presentase sesudah inversi yang dihasilkan oleh data pengamatan praktikum seragam dengan rata-rata 105,26% hal ini disebabkan karena adanya produk gula invert yang diinversi menjadi sukrosa dan glukosa. Pengamatan Hidrolisat Pati (DNS dan Total Fenol) Hidrolisis adalah pemecahan kimiawi suatu molekul karena pengikatan air sehingga menghasilkan molekul-molekul yang lebih kecil Reaksi hidrolisis dapat dipercepat dengan penambahan asam ataupun enzim sebagai katalis. Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan katalis asam maupun enzim. Jika pati dipanaskan dengan asam akan terurai menjadi molekul yang lebih kecil secara berurutan dengan menghasilkan glukosa. Asam akan menghidrolisis semua jenis polisakarida yang mampu terhidrolisis. Asam lebih cepat mengkatalis hidrolisis komponen pati dibandingkan dengan polisakarida non-pati lainnya. Ikatan α-1,4-glikosidik pada pati bersifat lebih fleksibel sedangkan ikatan β-1,4-glikosidik pada selulosa berbentuk lurus dan lebih

keras. Asam akan merusak dan memutus ikatan polimer terutama bagian amorf terlebih dahulu dan reaksi akan lebih cepat pada suhu tinggi (Setiawan 2006). Pembuatan dekstrin (pati teroksidasi) selama ini menggunakan proses konversi kering dan konversi basah menggunakan asam. Tetapi dalam perkembangannya penggunaan enzim sebagai biokatalis lebih banyak digunakan karena berbagai pertimbangan, menurut adalah tidak membutuhkan alat pemroses dengan konstruksi khusus, dapat dilakukan pada pH dan suhu yang tidak ekstrim, konversi tinggi, dan pengendalian prosesnya mudah. Hidrolisis secara enzimatis lebih menguntungkan dibandingkan hidrolisis asam, karena prosesnya lebih spesifik, kondisi prosesnya dapat dikontrol, biaya pemurnian lebih murah, dan kerusakan warna dapat diminimalkan. Umumnya pembuatan dekstrin menggunakan enzim α-amilase dengan memotong rantai panjang pati menjadi unitunit rantai glukosa, molekul pati yang lebih pendek yang disebut maltodekstrin, dengan Dextrose Equivalent (DE) < 20. Sedangkan pada penelitian ini molekul pati akan dipecah secara enzimatis menggunakan enzim βamilase dengan konsentrasi (0.06%, 0.08% dan 0.10%) dan lama inkubasi (5 jam, 10 jam dan 15 jam). Enzim β-amilase sama seperti α-amilase memotong ikatan α-1,4 glikosidik, tetapi proses pemotongannya sangat lambat dan hanya memotong 2 gugus glukosa setiap potongannya. Dan proses pemotongannya satu-persatu dari ujung terluar amilosa atau amilopektin dimulai dari gugus non-reduksi. Produk akhir berupa maltosa dan dekstrin dengan DE < 5 dan lebih dari 2 (Ni’maturohmah dan Yunianta 2015). Maltodekstrin adalah produk modifikasi pati yang dihasilkan dari hidrolisis pati oleh enzim α-amilase secara parsial. Maltodekstrin sebagai produk modifikasi pati memiliki rumus kimia (C6H10O5)n.H2O. Maltodekstrin mengandung unit α-Dglukosa yang saling berikatan oleh ikatan glikosidik. Kualitas maltodekstrin dipresentasikan ke dalam nilai DE (Dextrose Equivalent) sesuai dengan spesifitas Pharmacopeial standar USPNF XVII untuk produk maltodekstrin yang memiliki nilai kisaran DE 5-20. Kelebihan produk ini dapat bercampur dengan air membentuk koloid bila dipanaskan dan mempunyai kemampuan sebagai perekat, dan tidak bersifat toksik sehingga dapat digunakan dalam pembuatan tablet obat (Husniati 2009). Sirup glukosa merupakan nama dagang dari hidrolisat pati. Sirup glukosa sebagai hasil industri mempunyai banyak manfaat diantaranya bahan dasar industri kimia, farmasi dan agroindustri lain. Selama ini sirup glukosa sebagai bahan baku industri di Indonesia masih diimpor dari luar negeri. Bisnis industri sirup glukosa ini menjadi salah satu peluang positif (Albaasith et al 2014). Uji total gula pereduksi merupakan pengujian kandungan gula pereduksi dengan menggunakan larutan Luff Schoorl. Gula reduksi adalah gula yang mempunyai kemampuan untuk mereduksi, karena mempunyai gugus aldehid atau keton bebas. Contoh gula yang termasuk gula reduksi adalah glukosa, manosa, fruktosa, laktosa dan maltose (Astuti dan Rustanti 2014) Pati dihidrolisis sehingga menghasilkan gula. Hasil hidrolisat pati ini salah satunya adalah sirup glukosa. Sirup glukosa merupakan cairan kental dan jernih dengan komponen utama glukosa, yang diperoleh dari hidrolisis pati dengan cara kimia atau enzimatik (BSNI 1992). Proses hidrolisis asam lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan hidrolisis enzim karena peralatan yang digunakan tidak terlalu rumit. Namun, pembuatan sirup glukosa dengan hidrolisis asam menimbulkan beberapa masalah, karena peralatan yang diperlukan harus tahan korosi, sirup yang dihasilkan mempunyai

nilai kemanisan yang rendah karena nilai ekuivalen dekstrosanya rendah. Selain itu, peningkatan ekuivalen dekstrosa di samping terjadi degradasi karbohidrat, juga terjadi rekombinasi produk degradasi yang dapat mempengaruhi warna dan rasa (Berghmans 1981). Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan, yaitu prosesnya lebih spesifik dan produk yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan. Kondisi proses yang dapat dikontrol, biaya pemurnian yang lebih murah, produk samping dan abu yang dihasilkan lebih sedikit, dan kerusakan warna yang dapat diminimalkan (Norman 1981). Pembuatan sirup glukosa dengan hidrolisis enzim terdiri atas tiga tahapan dalam mengonversi pati, yaitu gelatinisasi, likuifikasi, dan sakarifikasi. Gelatinisasi merupakan pembentukan suspensi kental granula pati. Likuifikasi merupakan proses hidrolisis pati parsial yang ditandai dengan menurunnya viskositas (Chaplin dan Buckle 1990). Likuifikasi menghasilkan oligosakarida. Sakarifikasi merupakan proses dimana oligosakarida sebagai hasil dari tahap likuifikasi dihidrolisis lebih lanjut oleh enzim tunggal atau enzim campuran menjadi glukosa. DNS merupakan reagen yang dapat digunakan untuk melakukan uji kuantitatif glukosa. Pereaksi ini umum digunakan untuk mengukur gula reduksi yang diproduksi oleh mikroba karena tingkat ketelitiannya yang tinggi sehingga bisa diaplikasikan pada gula dengan kadar kecil sekalipun. Jumlah gula pereduksi (glukosa) yang terbentuk menunjukkan besarnya aktivitas selulase, dan banyaknya glukosa dapat ditentukan dengan menggunakan metode DNS (Dinitrosalicylik acid) berdasarkan kurva standar glukosa. Prinsip dari metode ini adalah glukosa yang memiliki gugus aldehid akan mengalami oksidasi dan 3,5- Dinitrosalicylik acid (DNS) akan mengalami reduksi menjadi 3-amino-5 nitrosalicylik acid (Isramidan Aminin 2014). Menurut Apriyantono et al (1989), dalam suasana alkali gula pereduksi akan mereduksi asam 3,5– dinitrosalisilat (DNS) membentuk senyawa yang dapat diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540–550 nm. Glukosa memiliki gugus aldehida, sehingga dapat dioksidasi menjadi gugus karboksil. Gugus aldehida yang dimiliki oleh glukosa akan dioksidasi oleh asam 3,5-dinitrosalisilat menjadi gugus karboksil dan menghasilkan asam 3-amino-5-salisilat pada kondisi basa dengan suhu 90-100 o C. Senyawa ini dapat dideteksi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Glukosa memiliki gugus aldehida, sehingga dapat dioksidasi menjadi gugus karboksil. Gugus aldehida yang dimiliki oleh glukosa akan dioksidasi oleh asam 3,5-dinitrosalisilat menjadi gugus karboksil dan menghasilkan asam 3amino-5-salisilat pada kondisi basa dengan suhu 90°C - 100°C. Senyawa ini dapat dideteksi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Berdasarkan hasil praktikum dengan pengamatan nilai DE dan DP pada produk hidrolisat pati nilai DE paling besar dihasilkan oleh produk sirup glukosa dengan katalis enzim yaitu 57,44 sedangkan untuk nilai DP sirup glukosa dengan katalis enzim memiliki nilai yang paling kecil yaitu 1,741. Hal ini membuktikan nilai DE dan DP berbanding terbalik. Nilai DE yang besar dihasilkan dengan menggunakan katalis enzim sedangkan nilai DP yang besar dihasilkan oleh katalis asam, karena asam memutus ikatan glukosa pada sembarang tempat sedangkan enzim memutus ikatan glukosa pada tempat yang sesuai. Penghitungan total gula pada hidrolisat pati didapatkan nilai yang paling besar pada produk maltodekstrin dengan katalis asam, sedangkan untuk nilai gula pereduksi yang paling besar oleh sirup glukosa dengan

katalis enzim. Perhitungan kurva standar DNS menghasilkan persamaan 𝑦 = 0.0048𝑥 − 0.1279 dengan nilai 𝑅 2 = 0.9349 sedangkan untuk kurva standar total fenol menghasilkan persamaan 𝑦 = 0.0189𝑥 − 0.1037 dengan nilai 𝑅 2 = 0.9104. Kriteria 𝑅 2 yang dihasilkan dari kurva standar DNS dan total fenol menunjukan model persamaan yang kuat karena berada > 0,75 − 1. Penggunaan persamaan total fenol dan DNS yang didapat digunakan untuk menghitung total gula dan gula pereduksi pada absorbansi yang berbeda dengan panjang gelombang (λ) adalah 550nm. Nilai gula pereduksi paling besar dihasilkan dari kurva standar pada absorbansi 0.409, hal ini menunjukan semakin tingkat tingkat absorbansi yang digunakan akan semakin besar nilai gula pereduksi karena terjadi data yang fluktuaktif antara absorbansi dengan nilai gula pereduksi. Perhitungan total gula paling besar dihasilkan oleh absorbansi 2,221 dengan nilai 123,000 hal ini menunjukan yang sama dengaan gula pereduksi karena data yang diperoleh fluktuaktif antara absorbansi dan total gula.

PENUTUP Simpulan Saran

DAFTAR PUSTAKA Adawiyah. 2006. Pengaruh Kadar Air dan Suhu Transisi Gelas Terhadap Laju Pencoklatan Non-Enzimatis Pada Model Pangan [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Apriyatono A, Dedi F, Ni Luh PS, Slamet B. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisa Pangan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Astawan, M. 2004. Diet Sehat dengan Makanan Berserat. Solos (ID): Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Astuti I, Rustanti N. 2014. Kadar protein, gula total, total padatan, viskositas, dan nilai pH es krim yang disubstitusi inulin umbi gembili (Dioscorea esculenta). Jurnal of Nutrition College. 3(3): 331-336. Badan Standarisasi Nasional. 2015. Standar Nasional Indonesia Beras. SNI 6128:2015. Badan Standardisasi Nasional Indonesia. 2000. Spesifikasi Persyaratan Mutu Gula Merah Tebu. SNI 01-6237-2000. Jakarta (ID): BSNI. Berghmans E. 1981. Carbohydrate Symposium in Indonesia “Starch Hydrolisates, Improved Sweeteners Obtained by The Use of Enzyme”. Denmark (DK): Novo Industry A/S, Novo Alle. Chaplin MF, Buckle C. 1990. Enzyme Technology. New York (US): Cambridge University Press.

Damardjati, D.S. and M. Oka. 1989. Evaluation of consumer preference for rice quality characteristics at urban area in Indonesia. Paper presented at the 12th ASEAN Seminar on Grain Postharvest Technology. Surabaya (ID): Seminar on Grain Postharvest Technology. DeMan J M. 1997. Kimia Makanan. Patmawinata K, penerjemah. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung. Desrosier NW. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan: Muchji Muljodiharjo. Jakarta (ID): UI-Press Dewi RS, Izza N, Agustiningrum DA, Indriani W, Yusron S, Maharani DM, Yulianingsih R. 2014. Pengaruh suhu pemasakan nira dan kecepatan pengadukan terhadap kualitas gula merah tebu. Jurnal Teknologi Pertanian. 15(3):149-158. Eskin N A M. 1990. Biochemistry of food Ed ke-2. Di dalam: Adhiyaksa H. 2013. Pengeringan Gula Semut Kelapa Menggunakan Prototype Pengering Tipe Rak (Tray Dryer) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Fahey, J.W. 2005. Moringa oleifera: A Review of the Medical Evidence for ItsNutritional, Therapeutic, and Prophylactic Properties. Hall MNA. 1973. The Small Scale Manufacture of High and Low Boiled Sweet and Toffes. London (UK): Tropical Product Institu. Hasbullah dan Umiyati. 2017. Perbandingan Warna Tepung Suweg Fase Dorman dan Vegetatif Secara Instrumental dan Sensoris. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian. 1(1): 64-69. Hidayat T, Nurjanah, Suptijah P. 2013. Karakterisasi tepung buah lindur (Brugeira gymnorrhiza) sebagai beras analog dengan penambahan sagu dan kitosan. JPHPI. 16 (3): 268- 277. Howeler, R.H. & C.H. Hershey. 2002. Cassava in Asia: Research and development to increase its potential use in food, feed and industry – A Thai example. In: Research and Development of Cassava Production to Increase its Potential for Processing, Animal Feed and Ethanol. Husna NE, Novita M, Rohaya S. 2013. Kandungan antosianin dan aktivitas antioksidan ubi jalar ungu segar dan produk olahannya. Agritech. 33 (3): 296 – 302. Husniati. 2009. Studi karakterisasi sifat fungsi maltodekstrin dari pati singkong. Jurnal Riset Industri. 3(2): 133-138. Inglett, G. E. 1987. Kernel, Structure, Composition and Quality. Ed. Corn: Culture. Processing and Products. Westport (USA): Avi Publishing Company. Isrami F, Aminin ALN. 2014. Aktivitas Selulase dan Xilanase dari Komplek Enzim LignoselulolitikTermostabil Hasil Penguraian Batang Pisang. Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi. 17 (2) : 17 – 22. Junk WR, Pancoast HM. 1980. Handbook of Sugars. Westport (IE): Avi Publishing Company Inc. Kerk, R.E, Othmer, D.F. 1969. Encyclopedika of Chemical Tehnology. New York (US): The Interscience Encyclopedia Inc. Kim J, MR Marshall, and C.Wei. 2000. Polyphenoloxidase. Dalam: Haard N.F. and B.K. Simpson (eds.). Seafood enzymes: utilization and influence on postharvest seafood quality. New York (USA): Marcel Dekker, Inc.

Manzocco L, Calligaris S, Mastrocola D, Nicoli M, Lerici C. 2011. Review of nonenzymatic browning and antioxidant capacity in processed food. Trends Food Science and Technology. 11(2): 340-346. Muchtadi, Tien R. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor (ID): IPB Press. Bogor. Ni’maturohmah E, Yunianta. 2015. Hidrolisis pati sagu (Metroxylon sagu Rottb.) oleh enzim β-amilase untuk pembuatan dekstrin. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(1): 292-302. Norman BE. 1981. New Development in Starch Syrup Technology. Di dalam. Birch GG, Blakebrough N, Parker KJ (ed.). 1981. Enzymes and Food Processing. London (UK): Applied Science Publ. Ltd. Palungkun R. 1993. Aneka Produk Olaan Kelapa. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Potter, N.N. 1973. Food Science. Westport (USA): The AVI Publishing Westport Connenticut USA. Priandana K, Zulfikar A. dan Sukarman. Mobile Munsell Soil Color Chart Berbasis Android Menggunakan Histogram Ruang Citra HVC dengan Klasifikasi KNN. Jurnal Agri Komputer. 3(2): 93-101 Priyanto AA. 2015. Evaluasi Mutu Nasi Hasil Pemasakan Beras Varietas Ciherang dan IRR-66 dengan Rasio Beras dan Air yang Berbeda. [Skripsi]. Jember (ID): Universitas Jember. Purwono dan R. Hartono. 2005. Kacang Hijau. Depok (ID): Penebar Swadaya. Rahmat, R., R. Thahir, and M. Gummert. 2006. The empirical relationship between price and quality of rice market level in West Java. Indonesian Journal of Agricultural Science. 7:27-33. Richardson T. 1991. Enzymes O.R.Ed Food Chemistry Principles on Food Science Part 1. New York (USA): Marcel Dekker Inc. Rosida. 2013. Kajian Dampak Substitusi Kacang Tunggak Pada Kualitas Fisik Dan Kimia Tahu. Jurnal UPN Veteran. 12(7):89-93. Safitri DW. 2017. Karakteristik sifat reologi gula merah aren cair pada berbegai pH dan konsentrasi. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Santika A, Rozakurniati. 2010. Teknik evaluasi mutu beras hitam dan beras merah pada beberapa galur padi gogo. Buletin Teknik Pertanian. 15(1):1-5. Setiawan W. 2006. Produksi hidrolisat pati dan serat pangan dari singkong melalui hidrolisis dengan α-amilase dan asam klorida. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Setiawati, N.P., J. Santoso, dan S. Purwaningsih. 2014. Karakteristik Beras Tiruan dengan Penambahan Rumput Laut Eucheuma cottonii Sebagai Sumber Serat Pangan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 6 (1): 197-208. Somaatmadja D. 1980. Ketela sebagai Bahan Pembuatan Gula. Di dalam: Baharuddin, Muin M, Bandaso H. Pemanfaatan Nira Aren (Arenga pinnata Merr) Sebagai Bahan Pembuatan Gula Putih Kristal. Jurnal Perennial. 3(2): 40-43 Suherman, D. 1999. Peningkatan nilai tambah pada prosesing produk tanaman pangan (beras). Makalah Seminar Strategi Peningkatan Nilai Tambah Komoditi Tanaman Pangan dan Hortikultura dalam Antisipasi Pasar Global Era Milenium III. Jakarta (ID): Ditjen Tanaman Pangan dan Hortikultura.

Sundari D, Almasyhuri, Lamid A. 2015. Pengaruh proses pemasakan terhadap komposisi zat gizi bahan pangan sumber protein. Jurnal Medialitbangkes. 25(4):235-242. Suyatma. 2009. Analisis Pangan. Bogor (ID): IPB Press. Wibowo P, Indrasari S. 2007. Preferensi konsumen terhadap karakteristik beras dan kesesuaian dengan standard mutu beras di Jawa Tengah. Apresiasi Hasil Penelitian Padi. 1(2): 821-833. Widowati, S., M.G. Waha dan BAS. Santosa. 1997. Ekstrasi dan karakterisasi sifat fisiko-kimia dan fungsional pari beberapa varietas kimpul (Colocasia esculenta (L) Schott). Prosiding Seminar Teknologi Pangan Winarno F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Zebua, A.M. 2009. Pemanfaatan Nata Pati Kacang Merah (Vignea sinensis) Hasil Isolasi Sebagai Matriks Teofilin. [Skripsi] Medan (ID): Program Sarjana Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara.

Related Documents

Patgul Laporan.docx
June 2020 4
Konten 1.pptx
November 2019 22
Isi Konten 1 Khandaq.pdf
December 2019 27
Konten Latihan
October 2019 25
Konten Ozon.docx
June 2020 12

More Documents from "elsa"