Laporan Kelompok Pbl 7 Modul Kuning

  • Uploaded by: Masitha
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Kelompok Pbl 7 Modul Kuning as PDF for free.

More details

  • Words: 3,723
  • Pages: 21
LAPORAN KELOMPOK PBL “MODUL KUNING” BLOK MEKANISME DASAR PENYAKIT

Pembimbing : dr. Rasfayanah Disusun oleh :          

Masitha Rizkiana Husnia Andi Anita Nur Fadhilah R Nur Afiyah Moh. Yusril Miftahul Jannah Nadya Nur Aqilah Muh. Fatur Rahman Nurul Fatimah Azimar Khatimah Z

110 2017 0002 110 2017 0016 110 2017 0027 110 2017 0043 110 2017 0052 110 2017 0071 110 2017 0080 110 2017 0109 110 2017 0132 110 2017 0170

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2018

SISTEM MEKANISME DASAR PENYAKIT (BMD) Subsistem Mekanisme Dasar Penyakit Metabolisme dan Obstruksi

Kasus Skenario 2 : Seorang wanita berusia 45 tahun datang ke rs dengan keluhan nyeri perut dan kulitnya berwarna kuning sejak 5 minggu lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri perut kanan atas tetapi tidak disertai distensi abdomen. Hasil pemeriksaan CT scan menunjukkan penebalan dinding kantung empedu. ( Cholelitihiasis) I.

Kata sulit 1. Nyeri perut : rasa sakit 2. CT scan : prosedur medis untuk menggambarkan bagian tubuh tertentu dengan bantuan sinar X khusus, 3. Distensi abdomen : adanya pembengkakan / penumpukan perut, 4. Cholelotihiasis : kondisi dimana adanya endapan yang mengeras di dalam kantung empedu

II.

Kata kunci 1. Wanita berusia 45 tahun 2. Kulit berwarna kuning sejak 5 minggu 3. Nyeri perut pada kanan atas 4. Pemeriksaan fisik 5. Penebalan dinding empedu 6. Tidak disertai distensi abdomen

III.

Pertanyaan – pertanyaan 1. Bagaimana gambaran anatomi, histologi, fisiologi, dan biokimia dari organ hepatobilier? 2. Jelaskan berbagai jenis ikterus : a. Etiologi ikterus b. Petogenesis over produksi bilirubin c. Patogenesis menurunnya konjugasi bilirubin d. Patogenesis menurunnya uptake hepatik konjugasi bilirubin e. Patogenesis menurunnya transpor bilirubin intraseluler

f. Patogenesis rusaknya saluran empedu intrakanalikuler 3. Gangguan apa saja yang terjadi pada empedu maupun salurannya! a. Etiologi b. Patogenesis c. Akibat 4. Bagaimana patomekanisme dari gejala yang ada pada skenario a. Nyeri perut b. Ikterus c. Penebalan empedu 5. Apa faktor usia mempengaruhi penyakit tersebut?

IV.

Jawaban Pertanyaan 1. Adapun anatomi, hisologi, dan biokimia: A. ANATOMI Hati adalah organ intestinal dengan berat antara 1,2-1,8 kg yang menempati sebagian besar kuadran atas abdomen. Batas atas hati, berada sejajar dengan ruang intekistal V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari system porta hepatis. Omentum minor terdapat mulai dari system porta yang mengandung arteri hepatica. Vena porta dan ductus koledokus. System porta terletak di depan vena cava dan dibalik kandung empedu berukuran kira-kira 2 kali lobus kiri. Pada daerah antara ligamentum falsiform dengan andung empedu di lobus kanan kadang-kadang dapat ditemukan lobus kuadratus dan sebuah daerah yang disebut sebagai lobus kaudatus yang biasanya tertutup oleh vena cava inferior dan ligamentum venosum pada permukaan posterior. Saluran empedu intrahepatic secara perlahan menyatu membentuk saluran yang kebih besar yang bisa menyalurkan empedu ke delapan segmen hati. Di dalam segmen hati kanan, gabungan cabang-cabang ini membentuk sebuah saluran di anterior dan posterior yang kemudian bergabung membentuk ductus hepaticus kanan

B. HISTOLOGI Bagian hepar yang disebut lobulus dipisahkan oleh jaringan ikat dan pembuluh darah. Pembuluh darah pada hepar terdapat pada sudut-sudut lobulus, yang akhirnya membentuk bangunan yang disebut trigonum Kiernan atau area portal. Pada area portal dapat ditemukan cabang arteri hepatica, cabang vena porta, dan duktus biliaris. Struktur dari lobulus hepar pada potongan melintang akan terlihat sebagai struktur yang berderet dan radier, dengan pusatnya vena sentralis, dipisahkan oleh sebuah celah atau sinusoid hepar. Pada gambaran mikroskopik, di sinusoid hepar terdapat sel Kupffer. Sel ini memiliki fungsi untuk memfagosit eritrosit tua, hemoglobin dan mensekresi sitokin. Dapat ditemukan

juga sel-sel hepar atau yang biasa disebut hepatosit. Hepatosit berbentuk polyhedral dengan 6 permukaan atau lebih, memiliki batas yang jelas, dan memiliki inti yang bulat di tengah. Sitoplasma pada hepatosit berwarna eosinofilik, hal ini disebabkan karena hepatosit memiliki banyak mitokondria dan reticulum endoplasma halus. Pada sitoplasma hepatosit terdapat lisosom, peroksisom, butir glikogen dan dapat pula ditemukan tetesan lemak yang akan muncul setelah puasa atau setelah makan makanan berlemak. Bagian fungsional dari hepar disebut sebagai lobulus portal, yang terdiri dari 3 lobulus klasik (unit terkecil hepar atau lobulus hepar) dan ditengahnya terdapat duktus interlobularis. Pada hepar terdapat unit fungsional terkecil yang disebut asinus hepar. Asinus hepar adalah bagian dari hepar yang terletak diantara vena sentralis. Asinus hepar memiliki cabang terminal arteri hepatica, vena porta dan system duktuli biliaris.

B. FISIOLOGI Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Sirkulasi vena porta yang menyuplai 75% dari suplai asinus memegang peranan penting dalam fisiologi hati terutama dalam hal metabolism karbohidrat , protein dan asam lemak. Fungsi utama hati adalah pembentukan dan ekskresi empedu. Hati mengekresikan empedu sebanyak satu liter per hari ke dalam usus halus. Walaupun bilirubin merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak mempunyai peran aktif, tapi penting sebagai indicator penyakit hati dan saluran

empedu, karena bilirubin dapat member warna pada jaringan dan cairan yang berhubungan dengannya. C. BIOKIMIA Pengukuran kadar bilirubin serum, aminotransferase, alkali fosfatase, dan albumin sering disebut sebagai tes fungsi hati. Pada banyak kasus, tes-tes ini dapat mendeteksi penyakit hati dn empedu asimtomatik sebelm munculnya manifestasi klinis. Beberapa bentuk tertentu hepatitis dapat menimbulkan berbagai derajat kolestasis dan sebagai konsekuennya terjadi peningkatan alkali fosfatase dan ɣGT. Oleh karena itu, klinis harus bekerja berdasarkan pada pola yang ada, dan memilih peningkatan enzim mana yang nampaknya paling dominan Petanda Bilirubin

SGOT SGPT

Fosfatase Alkali ɣ-GT

LDH

Nilai normal Interpretasi 5-18 umol/l Tidak spesifik untuk penyakit hati, meningkat juga dapat hemolisis dan obstruksi bilier. Jika berdiri sendiri, pertimbangkan 5-40 IU/I hiperbilirubinemia herediter 5-35 IU/I Meningkat sesuai inflamasi dan nekrosis hepatosit. Biasanya tidak diperlukan untuk mengukur 30-130 IU/I keduanya, namun rasio AST, ALT > 2 merujuk 5-50 IU/I ke penyakit hepatitis alkoholik. Biasanya meningkat bersamaan pada kolestasis, obstruksi bilier atau infiltrasi 240-524 hepatic. Fosfatase alkali juga diproduksi oleh IU/I tulang, usus, dan plasenta. Sensivitas dan spesifitasnya rendah pada penyakit hati. Mungkin meningkat pada hepatitis iskemik. Kadarnya juga meningkat setelah kerusakan tulang atau hemolisis.

2. Jenis- jenis ikterus a. Etiologi Penyebab ikterus dapat dibagi kepada tiga fase yaitu: 1. Ikterus Prahepatik Produksi bilirubin yang meningkat yang terjadi pada hemolisis sel darah merah. Peningkatan pembentukan bilirubin dapat disebabkan oleh: - Kelainan sel darah merah - Infeksi seperti malaria, sepsis. - Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat – obatan, maupun yang berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfuse dan eritroblastosis fetalis. 2. Ikterus Pascahepatik Bendungan pada saluran empedu akan menyebabkan peninggian bilirubin konjugasi yang larut dalam air. Akibatnya bilirubin mengalami akan mengalami regurgitasi kembali kedalam sel hati dan terus memasuki peredaran darah, masuk ke ginjal dan di eksresikan oleh ginjal sehingga ditemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena ada bendungan pengeluaran bilirubin kedalam saluran pencernaan berkurang sehingga tinja akan berwarna dempul karena tidak mengandung sterkobilin. 3. Ikterus Hepatoseluler Kerusakan sel hati menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu sehingga bilirubin direk akan meningkat dan juga menyebabkan bendungan di dalam hati sehingga bilirubin darah akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam aliran darah. Kerusakan sel hati terjadi pada keadaan: hepatitis, sirosis hepatic, tumor, bahan kimia, dll.

b. Hiperbilirubin

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemu- kan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebab- kan oleh keadaan ini. Bayi dengan hiper- bilirubinemia tampak kuning akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna kuning pada sklera dan kulit. Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Pada langkah pertama oksidasi, biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja heme oksigenase, dan terjadi pelepasan besi dan karbon monoksida. Besi dapat digunakan kembali, sedang- kan karbon monoksida diekskresikan melalui paru-paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi bilirubin yang hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena ikatan hidro- gen intramolekul). Bilirubin tak terkonjuga- si yang hidrofobik diangkut dalam plasma, terikat erat pada albumin. Bila terjadi gangguan pada ikatan bilirubin tak ter- konjugasi

dengan albumin baik oleh faktor endogen maupun eksogen (misalnya obat- obatan), bilirubin yang bebas dapat melewati membran yang mengandung lemak (double lipid layer), termasuk penghalang darah otak, yang dapat mengarah ke neuro- toksisitas. c. Patogenesis menurunnya konjugasi bilirubin Proses metabolisme pemecahan heme sangatlah kompleks. Setelah kurang lebih 120 hari, eritrosit diambil dan didegradasi oleh sistem RES terutama di hati dan limpa. Sekitar 85% heme yang didegradasi berasal dari eritrosit dan 15% berasal dari jaringan ekstraeritroid. Bilirubin terbentuk akibat terbukannya cincin karbon- dari heme yang berasal dari eritrosit maupun ekstraeritroid. Tahap awal proses degradasi heme dikatalisis oleh enzim heme oksigenase mikrosom di dalam sel RE. Dengan adanya NADPH dan O2, enzim ini akan menambahkan gugus hidroksil ke jembatan metenil diantara dua cincin pirol, bersamaan dengan oksidasi ion ferro (Fe ) menjadi Fe pemecahan cincin porfirin. Ion ferri dan dan CO di lepaskan, sehingga menyebabkan pembentukan biliverdin yang berpigmen hijau. Biliverdin kemudian direduksi sehingga membentuk bilirubin yang bewarna merah jingga. Bilirubin dan turunannya bersama-sama disebut pigmen empedu. Bilirubin hanya sedikit larut dalam plasma, sehingga diangkut ke hati dengan berikatan dengan protein albumin secara nonkovalen. Bilirubin teruarai dari molekul pembawa albumin dan masuk ke dalam hepatosit, tempat bilirubin akan berikatan dengan protein intrasel, terutamaprotein liganin. Di dalam hepatosit, kelarutan bilirubin meningkat karena penambahan dua molekul asam glukoronat. Reaksi ini dikatalisis oleh bilirubin glukoniltransferase dengan menggunakan asam glukoronat UDP sebagai donor glukoronat. Bilirubin diglukoronid ditransport secara aktif dengan melawan gradien konsentrasi ke dalam kanalikuli biliaris dan kemudian ke dalam empedu. Proses ini memerlukan energi, merupakan tahapan yang membatasi laju dan rentan mengalami gangguan pada penyakit hepar. Bilirubin yang tidak terkonjugasi normalnya diekskresikan. Bilirubin diglukoronid dihidrolisis dan direduksi oleh bakteri di

usus untuk menghasilkan urobilinogen, senyawa yang tidak bernyawa. Sebagian besar urobilinogen dioksidasi oleh bakteri usus menjadi sterkobilin, memberi warna coklat pada feses. Namun, beberapa urobilinogen direabsorbsi oleh usus dan masuk ke dalam sirkulasi portal. Sebagian urobilinogen ini berperan dalam siklus urobilinogen intrahepatik yang akan di uptake oleh hepar kemudian diekskresikan kembali ke dalam empedu. Sisa urobilinogen diangkut oleh darah ke dalam ginjal, tempat urobilinigen diubah menjadi urobilin yang berwarna kuning dan diekskresikan sehingga memberikan warna kuning yang khas pada urin.

d. Patogenesis menurunnya uptek hepatik konjugasi bilirubin Liver uptake. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin. • Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek 1. Over produksi Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi bilirubin. Penghancuran eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling sering akibat hemolisis intravaskular (kelainan autoimun, mikroangiopati atau hemoglobinopati) atau akibat resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi/indirek melampaui kemampuan sel hati. Akibatnya bilirubin indirek meningkat dalam darah. Karena bilirubin indirek tidak larut dalam air maka tidak dapat diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Tetapi pembentukkan urobilinogen meningkat yang mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam urine feces (warna gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik : hemoglobin abnormal (cickle sel anemia), kelainan eritrosit (sferositosis heriditer), antibodi serum (Rh. Inkompatibilitas transfusi), dan malaria tropika berat. 2. Penurunan ambilan hepatik Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan berikatan dengan protein penerima. Beberapa obat-obatan seperti asam flavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini. 3. Penurunan konjugasi hepatik Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil transferase. Terjadi pada : Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler Najjar I, Sindroma Crigler Najjar II.

e. Patogenesis menurunnya transpor bilirubin intraseluler Sebagian besar produksi bilirubin merupakan akibat degradasi hemoglobin pada sistem retikuloendotelial. Tingkat penghancuran hemoglobin pada neonatus lebih tinggi daripada bayi yang lebih tua. Sekitar 1 g hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek, yaitu bilirubin yang larut dalam lemak tetapi tidak larut dalam air. Transportasi bilirubin indirek melalui ikatan dengan albumin. Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit, sedangkan albumin tidak. Di dalam sel, bilirubin akan terikat pada ligandin, serta sebagian kecil pada glutation Stransferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses dua arah, tergantung dari konsentra- si dan afinitas albumin plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit dikonjugasi dan diekskresi ke dalam empedu. Di dalam sitosol hepatosit, ligandin mengikat biliru- bin sedangkan albumin tidak. Di dalam hepatosit terjadi konjugasi lanjut dari bilirubin menjadi bilirubin diglukoronid. Sebagian kecil bilirubin terdapat dalam bentuk monoglukoronid, yang akan diubah oleh glukoronil-transferase menjadi diglukorinid. Enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin diglukorinid, yaitu uridin difosfat-glukoronid transferase (UDPG-T), yang mengatalisis pembentuk- an bilirubin monoglukoronid. Sintesis dan ekskresi diglukoronid terjadi di kanalikuli empedu. Isomer bilirubin yang dapat mem- bentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresi langsung ke dalam

empedu tanpa konjugasi, misalnya isomer yang terjadi sesudah terapi sinar. Setelah konjugasi bilirubin menjadi bilirubin direk yang larut dalam air, terjadi ekskresi segera ke sistem empedu kemu- dian ke usus. Di dalam usus, bilirubin direk ini tidak di absorbsi; sebagian bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorbsi, siklus ini disebut siklus enterohepatik.

f. Patogenesis rusaknya saluran empedu intrakanalikuler Batu empedu merupakan deposit kristal padat yang terbentuk dikandung empedu dimana batu empedu dapat bermigrasi ke saluran empedu sehingga dapat menimbulkan komplikasi dan dapat mengancam jiwa (Sjamsuhidayat,

2010; Stinton, 2012). Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mukus (Erpecum, 2011).Sekresi kolesterol berhubungan dengan terjadinya pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol yaitu terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garamgaram empedu. Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus (Sjamsuhidayat, 2010).

3. A. Etiologi 1) Obstruksi Biliaris Obstruksi biliaris adalah sumbatan pada duktus(saluran) yang dilalui empedu dari hati meuju kandungempedu, atau dari kan dung empedu menuju usus kecil.Sumbatan dapat terjadi dalam ber bagai level sepanjangsistem biliaris. Tanda dan gejala klinis utama

yang terjadi adalah sebagai akibat langsung dari kegagalanempedu diekskresikan ke tempat seharusnya ia berada. 2) Kelainan Metabolik Ada beberapa jenis kelainan metabolic yang dapatmenyebabkan gangguan pada kandung empedu, yai tu : 1. Kelainan metabolisme asam amino (tirosinemia) 2. Kelainan metabolisme lemak (penyakit Gaucher, penyakit Nie mann-Pick, Sindrom Wolman) 3. Kelainan metabolisme karbohidrat (galaktosemia, intoleransi f ruktosa herediter, glycogenstoragedisease) 4. Kelainan metabolisme asam empedu 5. Kelainan metabolik bilirubin (Dubin-Johnsonsyndrome, Rotor syndrome) 6. Kelainan mitokondria 7. Defisiensi alfa-1 antitripsin 8. Trisomi 18,21 3) Infeksi Ada beberapa infeksi yang mempengaruhi kandung empedu, yaitu : 1. Hepatitis virus 2. Sifilis 3. Infeksi TORCH 4. Varicela 5. Leptospirosis 6. Infeksi HIV 7. Sepsis 8. Tuberkulosis 9. Infeksi saluran kemih 10. Cytomegalo virus (CMV)

4) Kolestasis Ekstrahepatik Beberapa factor penyebab kolestasis ekstrahepatikyaitu: 1. Atresia bilier ekstrahepatik 2. Kista duktus koledokus 3. Perforasi spontan duktus biliaris komunis 4. Inspissated bile syndrome

5. Caroli syndrome B. Patogenesis 2.1.5 Patogenesis a. Kolestasis intrahepatik diakibat oleh gangguan sintesis dan atau sekresi asam empedu akibat kelainan sel hati, saluran biliaris intrahepatik serta mekanisme transportasinya di dalam hati. Patogenesis kolestasis intrahepatik tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut: a. Gangguan transporter (Na+ K+ATP-ase dan Na+ bile acid co-transporting protein NCTP) b. Berkurangnya transport intraseluler yang diakibatkan oleh perubahan keseimbangan kalsium atau kelainan mikrotubulus akibat toksin atau pengguanaan obat. c. Sekresi asam empedu primer yang berkurang atau terbentuknya asam empedu atipik di kanalikulus yang berpotensi untuk mengakibatkan kolestasis dan kerusakan sel hati. d. Meningkatnya permeabilitas jalur paraselular sehingga terjadi regurgitasi bahan empedu akibat lesi pada tight junction. e. Gangguan pada saluran biliaris intrahepatik. b. Kolestasis ekstrahepatik terdapat penyumbatan atau obstruksi saluran empedu ekstrahepatik. Penyebab utama kolestasis tipe ini adalah proses imunologis, infeksi virus terutama Cytomegalo virus, Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik, iskemia dan kelainan genetik. Akibat dari penyebab tersebut maka akan terbentuk kelainan berupa nekroinflamasi, yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan dan pembuntuan saluran empedu ekstrahepatik. Obstruksi tersebut menghambat aliran keluar cairan empedu yang mengandung bilirubin, menyebabkan lemak terakumulasi di dalam darah dan tidak terekskresi secara normal. Atresia bilier merupakan salah satu contoh kolestasis ekstrahepatik dan merupakan penyebab yang paling sering ditemukan. Deteksi dini kolestasis ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia bilier merupakan langkah yang sangat penting, karena metode pengobatan untuk atresia biler adalah dengan pembedahan hepatic portoenterostomi yang biasa dikenal dengan nama operasi Kasai, operasi ini kurang efektif apabila umur pasien sudah lebih dari 2 bulan (Lee dkk., 2010).

Atresia bilier dapat terjadi pada semua bagian saluran empedu ekstra hepatik. Secara umum kelainan ini disebabkan oleh lesi kongenital atau didapat, dan merupakan kelainan nekrosis inflamatorik yang mengakibatkan kerusakan dan akhirnya obliterasi saluran empedu ekstrahepatik. Penyebab utama yang pernah dilaporkan adalah proses imunologik, infeksi virus, terutama Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik, dan kelainan genetik.

C. . Akibat  Kolesistitis Kolesistis akut adalah reaksi inflamasi akut dinding empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam. Hingga kini pathogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas. Walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, insidens kolesistisis dan batu empedu(kolelitiasis) di Negara kita relative lebih rendah dibandingkan Negara-negara barat. Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu. Diperkirakan banyak kasus yang berpengaruh, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh inflamasi dan supurasi.  Penyakit Batu Empedu Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di Negara Barat sedangkan di Indonesia baru mendapat perhatian klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas. Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak mempunyai keluhan. Risiko penyandang batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi relative kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka risiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat.

Batu empedu umumnya di temukan di dalam kandung empedu, tetapi batu tersebut dapat berimigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder. 4. A. Nyeri perut Festi D et al dalam penelitiannya di Italia pada tahun 2008 menyebutkan bahwa nyeri perut kuadran kanan atas dan nyeri epigastrium merupakan satu-satunya gejala yang secara signifikan berhubungan dengan penyakit batu empedu. Sementara gejala biliaris yang tidak spesifik seperti dispepsia menunjukkan frekuensi yang sama pada subjek tanpa batu empedu dan dengan batu empedu. Nyeri perut kuadran kanan atas pada 55,6% pasien karena sesuai dengan letak anatomi kandung empedu. Secara anatomi kandung empedu terletak pada permukaan inferior lobus hati. Nyeri yang spesifik dan khas pada penyakit batu empedu ini disebut nyeri kolik biliaris. Nyeri yang merupakan nyeri viseral ini disebabkan oleh penekanan batu dalam duktus sistikus atau ampulla Vater sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intralumen dan distensi kandung empedu dan/atau saluran empedu dan mengaktivasi neuron sensori. Kolik biliaris yang terasa menekan dan perih ini merupakan nyeri yang stabil dan dapat menjalar ke punggung, daerah interskapula, dan bahu kanan. Nyeri dapat berhubungan dengan mual dan muntah dan biasanya dipicu oleh makanan berlemak atau timbul secara spontan. Nyeri yang berhubungan dengan makanan terdapat hanya pada 50% pasien dan pada pasien ini nyeri timbul lebih dari satu jam setelah makan. Nyeri kolik timbul perlahan atau pun tiba- tiba dengan intensitas waktu 15-30 menit hingga 24 jam dan bertambah berat secara bertahap atau berlangsung cepat. Nyeri kolik yang berlangsung lebih dari 24 jam dapat dicurigai kolesistitis akut.

B. Ikterus Jika bilirubin dibemtuk terlalu cepat daripada laju ekskresinya, bahan ini menumpuk di tubuh dan menyebabkan Ikterus. Pasien dengan penyakit ini tampak kekuningan, dengan warna ini paling mudah terlihat di bagian putih mata. Ikterus dapat ditimbulkan oleh tiga cara : 1. Ikterus prahepatik (masalah terjadi “sebelum hati”), atau hemolitik, disebabkan oleh pemecahan (hemolisis) berlebihan sel darah merah, yang menyebabkan hati mendapat lebih banyak bilirubin daripada kemampuan mengekskresikannya. 2. Ikterus hepatic (masalah terletak di “hati”) terjadi ketika hati mengalami penyakit dan tidak dapat menangani bilirubin bahkan dalam jumlah normal. 3. Ikterus pascahepatij (masalah terjadi “setelah hati”), atau obstruktif, terjadi ketika saluran empedu tersumbat misalnya oleh batu empedu sehingga bilirubin tidak dapat dieliminasi di tinja.

Bilirubin adalah pigmen kuning yang menyebabkan empedu berwarna kuning. Di dalam saluran cerna, pigmen ini dimodifikasi oleh enzim-enzim bakteri, menghasilkan warna tinja yang coklat khas. Jika tidak terjadi sekresi bilirubin, seperti ketika ductus biliaris tersumbat total oleh batu empedu, tinja berwarna putih keabuan. Dalam keadaan normal, sejumlah kecil bilirubin direabsorbsi oleh usus kembali ke darah, dan ketika akhirnya diekskresikan di urine, bilirubin ini berperan besar menyebabkan warna urine menjadi kuning. Ginjal tidak dapat mengekskresikan bilirubin hingga bahan ini telah dimodifikasi ketika mengalir

C. Penebalan dinding empedu Perubahan mukosa kandung empedu sehubungan dengan adanya batu dalam kandung empedu berupa peradangan akut atau kronik, hiperplasia mukosa, displasia,dan neoplasia.12 Batu kandung empedu sendiri mencederai epitel mukosa kandung empedu yang menyebabkan perubahan seperti metaplasia, displasia, dan neoplasia.Kandung empedu yang mengandung batu berkembang menjadi kanker sebagai hasil dari iritasi terus-menerus, trauma, danperadangan kronik. Oleh karenanya, peneli-tian mengenai perubahan displasia dan keganasan yang

berhubungan dengan penyakit batu kandung empedu sangat penting untuk mendapatkan pemahamanyang lebih detil dari penyakit batu kandung empedu.Faktor usia 5. Semakin meningkat usia seseorang, semakin besar risikonya untuk mengidap batu empedu. Batu empedu jarang ditemukan pada seseorang dengan usia kurang dari 20 tahun. Di inggris, pada kelompok usia 30 tahun angkat kejadian batu empedu tidak sampai 5%. Seiring dengan peningkatan umur, pada kelompok usia 70 tahun angka kejadiannya mencapai 30%.

REFERENSI : Buyton dan Hall 2011, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed.13 Jakarta EGC Radiology, Lecture notis penerbit EMS (Erlangga Medical Series) Ed.2 Jurnal Biomedik, Volume 5, Nomor 1, Suplemen, Maret 2013. hlm. s4-10 Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC Sherwood, Lauralee, Fisiologi dari sel ke sistem EGC Ed.29 Jakarta 2014 Robbins, Buku Ajar Patologi EGC Ed.23 Jakarta 2011 Irwana Olva. 2009. Ikterus. Faculty of Medicine: University of Riau Pekanbaru, Riau

Related Documents


More Documents from "elsera"

Modul Bengkak
August 2019 24