BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Berdasarkan hasil penelitian yang didapat dari Perhimpunan Nefrologi
Indonesia (Pernefri) 2013, angka kejadian batu ginjal di Indonesia adalah 37.636 kasus baru dengan jumlah kunjungan 58.959 orang. Sebanyak 10% masyarakat di negara Indonesia memiliki risiko untuk menderita batu ginjal dan 50% pada mereka yang pernah menderita, batu ginjal akan timbul kembali di kemudian hari. Di Indonesia sendiri dicurigai adanya fenomena gunung es dimana jumlah kasus yang tidak terdeteksi jauh lebih banyak dari pada yang terdeteksi akibat kurangnya pengetahuan masyarakat dan jangkauan pelayanan kesehatan yang masih rendah (Kemenkes, 2013). Di Amerika Serikat 5-10% penduduk menderita BSK setiap tahunnya. Angka kejadian batu ginjal di Indonesia tahun 2002 berdasarkan data yang dikumpulkan dari rumah sakit di seluruh Indonesia adalah sebesar 37.636 kasus baru, dengan jumlah kunjungan sebesar 58.959 orang. Sedangkan jumlah pasien yang dirawat adalah sebesar 19.018 orang, dengan jumlah kematian adalah sebesar 378 orang. Urolithiasis adalah suatu kondisi dimana dalam saluran kemih individu terbentuk batu berupa kristal yang mengendap dari urin (Mehmed & Ender, 2015). Pembentukan batu dapat terjadi ketika tingginya konsentrasi kristal urin yang membentuk batu seperti zat kalsium, oksalat, asam urat dan/atau zat yang menghambat pembentukan batu (sitrat) yang rendah (Moe, 2006; Pearle, 2005). Urolithiasis merupakan obstruksi benda padat pada saluran kencing yang terbentuk karena faktor presipitasi endapan dan senyawa tertentu (Grace & Borley, 2006).Urolithiasis merupakan kumpulan batu saluran kemih, namun secara rinci ada beberapa penyebutannya. Berikut ini adalah istilah penyakit batu bedasarkan letak batu antara lain: (Prabawa & Pranata, 2014), Nefrolithiasis disebut sebagai batu pada ginjal, Ureterolithiasis disebut batu pada ureter,Vesikolithiasis disebut sebagai batu pada vesika urinaria/ batu buli dan Uretrolithisai disebut sebagai batu pada ureter.
1
Penyebab terjadinya urolithiasis secara teoritis dapat terjadi atau terbentuk diseluruh salurah kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin (statis urin) antara lain yaitu sistem kalises ginjal atau bulibuli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalis (stenosis uretro-pelvis), divertikel, obstruksi intravesiko kronik, seperti Benign Prostate Hyperplasia (BPH), striktur dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu (Prabowo & Pranata, 2014) 1.2 Rumusan Masalah 5
Apa saja faktor risiko dan faktor penyebab terjadinyaUrolithiasis?
5
Bagaimanatatalaksana yang didapat oleh pasien Urolithiasis?
5
Apa saja kemungkinan komplikasi yang terjadi pada pasien Urolithiasis?
1.3 Tujuan Tugas Pengenalan Profesi 1.3.1 TujuanUmum 1. Untuk mengetahui faktor risiko dan penyebab, tatalaksana serta komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan Urothialitis. 2. Memenuhi kewajiban tugas pengenalan profesi serta mendapatkan pengetahuandan pemahaman tentang Urothialitis. 1.3.2 Tujuan Khusus Mahasiswa mampu: 1. Mengetahui apa saja faktor risiko dan faktor penyebab Urothialitis pada pasien. 2. Mengetahui pengobatan dan tatalaksana yang didapat oleh pasien Urothialitis. 3. Mengetahui kemungkinan komplikasi yang terjadi pada pasien Urothialitis. 1.4 Manfaat Tugas Pengenalan Profesi Hasil dari Tugas pengenalan profesi (TPP) diharapkan akan bermanfaat yaitu untuk: 1. Menambah pengalaman dan pengetahuan tentang Urothialitis.
2
2. Menambah pengetahuan tentang faktor resiko dan pengobatan Urothialitis.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi, Histologi dan Fisiologi Ginjal 2.1.1 Anatomi Ginjal Saluran kemih terdiri dari ginjal yang terus menerus menghasilkan urin, dan berbagai saluran reservoir yang dibutuhkan untuk membawa urin keluar tubuh. Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi columna vertebralis (Price dan Wilson, 2006). Kedua ginjal terletak retroperitoneal pada dinding abdomen, masing– masing di sisi kanan dan sisi kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12 sampai vertebra L3 . Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri karena besarnya lobus hepatis dekstra. Masing– masing ginjal memiliki facies anterior dan facies posterior, margo medialis dan margo lateralis, ekstremitas superior dan ekstremitas inferior (Moore dan Agur,2002). Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 cm sampai 13 cm, lebarnya 6 cm, tebalnya 2,5 cm dan beratnya sekitar 150 g. Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh. Perbedaan panjang dari kutub ke kutub kedua ginjal yang lebih dari 1,5 cm atau perubahan bentuk merupakan tanda yang penting, karena sebagian besar manifestasi penyakit ginjal adalah perubahan struktur dari ginjal tersebut (Price dan Wilson, 2006). Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrosa tipis dan mengkilat yang disebut kapsula fibrosa ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak perineal. Di sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula adrenal/suprarenal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal bersama ginjal dan jaringan lemak perineal dibungkus oleh fascia gerota. Di luar fascia gerota terdapat jaringan lemak retroperitoneal atau disebut jaringan lemak pararenal. Di bagian posterior, ginjal dilindungi oleh otot–otot punggung yang tebal serta costae ke XI dan XII, sedangkan di bagian anterior dilindungi oleh organ–organ intraperitoneal (Purnomo,2003).
4
Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian korteks dan medula ginjal (Junquiera dan Carneiro, 2008). Di dalam korteks terdapat berjuta–juta nefron sedangkan di dalam medula banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas tubulus kontortus proksimal, tubulus kontortus distal, dan tubulus kolegentes (Purnomo,2012). Setiap ginjal memiliki sisi medial cekung, yaitu hilus tempat masuknya syaraf, masuk dan keluarnya pembuluh darah dan pembuluh limfe, serta keluarnya ureter dan memiliki permukaan lateral yang cembung (Junquiera dan Carneiro, 2008). Sistem pelvikalises ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum, kaliks major, dan pielum/pelvis renalis (Junquiera dan Carneiro, 2008). Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena renalis yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang–cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan salah satu cabang arteri ini, berakibat timbulnya iskemia/nekrosis pada daerah yang dilayaninya (Purnomo,2012).
Gambar 1 Anatomi dan vaskularisasi ginjal
5
2.1.2 Histologi Ginjal Ginjal dibagi dua dari atas ke bawah, dua daerah utama yang dapat digambarkan yaitu korteks dibagian luar dan medulla dibagian dalam (Guyton &Hall, 2014). Masing-masing ginjal terdiri dari 1–4 juta nefron yang merupakan satuan fungsional ginjal, nefron terdiri atas korpuskulum renal, tubulus kontortus proksimal, ansa henle dan tubulus kontortus distal (Junqueira & Carneriro, 2008). Setiap korpuskulum renal terdiri atas seberkas kapiler berupa glomelurus yang dikelilingi oleh kapsula epitel berdinding ganda yang disebut kapsula bowman. Lapisan viseralis atau lapisan dalam kapsula ini meliputi glomerulus, sedangkan lapisan luar yang membentuk batas korpuskulum renal disebut lapisan parietal. Di antara kedua lapisan kapsula bowman terdapat ruang urinarius yang menampung cairan yang disaring melalui dinding kapiler dan lapisan viseral (Junqueira & Carneriro, 2008).
Gambar 2 : Histologi ginjal Berikut karakteristik masing-masing bagian ginjal: a. Korpuskulum renal Korpuskulum renal bergaris tengah kira-kira 200 μm, terdiri atas seberkas kapiler yaitu glomerulus, dan dikelilingi oleh kapsula epitel berdinding ganda yang disebut kapsula bowman (Junqueira & Carneriro, 2008).
6
b. Tubulus kontortus proksimal Tubulus kontortus proksimal dilapisi oleh sel-sel selapis kuboid atau silindris. Sel-sel ini memiliki sitoplasma asidofilik yang disebabkan oleh adanya mitokondria panjang dalam jumlah besar, apeks sel memiliki banyak mikrovili dengan panjang kira-kira satu μm yang membentuk suatu brush border (Junqueira & Carneriro, 2008). c. Lengkung henle Lengkung henle merupakan struktur yang berbentuk lengkungan yang terdiri atas ruas tebal desenden, ruas tipis desenden, ruas tipis asenden dan ruas tebal asenden. Lumen ruas nefron ini lebar karena dindingnya terdiri atas sel epitel gepeng yang intinya hanya sedikit menonjol ke dalam lumen (Junqueira & Carneriro, 2008). d. Tubulus kontortus distal Tubulus kontortus distal merupakan bagian terakhir dari nefron yang dilapisi oleh sel epitel selapis kuboid. Sel-sel tubulus distal lebih gepeng dan lebih kecil dibandingkan dengan tubulus proksimal, maka tampak lebih banyak sel dan inti pada tubulus distal (Junqueira & Carneriro, 2008). e. Tubulus koligentes Tubulus koligentes dilapisi epitel sel kuboid dan bergaris tengah lebih kurang 40 μm, sewaktu tubulus masuk lebih dalam ke dalam medula, sel-selnya meninggi sampai menjadi sel silindris (Junqueira & Carneriro, 2008). 2.1.3 Fisiologi Ginjal Ginjal memiliki berbagai fungsi antara lain, ekskresi produk sisa metabolisme dan bahan kimia asing, pengaturan keseimbangan air dan elektrolit, pengaturan osmolaritas cairan tubuh, pengaturan keseimbangan asam dan basa, sekresi dan ekskresi hormon dan glukoneogenesis (Guyton & Hall, 2008). Fungsi ekskresinya antara lain untuk mempertahankan osmolaritas plasma sekitar 285 mili Osmol dengan mengubah ekskresi air, mempertahankan volume ECF (Extra Cellular Fluid) dan tekanan darah dengan mengubah ekskresi natrium, untuk mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam rentang normal. Serta untuk mempertahankan derajat keasaman/pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan hidrogen dan membentuk kembali karbonat. Fungsi ekskresi ginjal juga meliputi ekskresi produk akhir nitrogen dari
7
metabolisme protein (terutama urea, asam urat dan kreatinin) dan sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat.Fungsi non-ekskresinya meliputi sintesis dan aktifasi hormon, mensekresi renin yang memilliki peran penting dalam pengaturan tekanan darah, menghasilkan eritropoetin untuk merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum tulang, serta mensekresi prostaglandin, yang berperan sebagai vasodilator dan bekerja secara lokal serta melindungi dari kerusakan iskemik ginjal. Sebagai fungsinya sebagai organ non-ekskresi, ginjal juga mendegradasi hormon polipeptida, insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH (antidiuretik hormon) dan hormon gastrointestinal. Sistem ekskresi terdiri atas dua buah ginjal dan saluran keluar urin (Price & Wilson, 2006). Ginjal adalah organ utama untuk membuang produk sisa metabolisme yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Produk-produk ini meliputi urea (dari sisa metabolisme asam amino), kreatin asam urat (dari asam nukleat), dan produk akhir dari pemecahan hemoglobin (bilirubin). Ginjal tersusun dari beberapa juta unit fungsional (nefron) yang akan melakukan ultrafiltrasi terkait dengan ekskresi (pembentukan urin) dan reabsorpsi (Guyton & Hall, 2014). 2.2. Definisi Batu Saluran Kemih Batu saluran kemih atau BSK adalah terbentuknya batu di saluran kemih yang disebabkan oleh pengendapan substansi yang terdapat dalam air kemih yang jumlahnya berlebihan atau karena faktor lain yang mempengaruhi daya larut substansi (Lina, 2008). Berdasarkan tempat pembentukannya, batu urin ini dapat dibagi 2 menjadi batu ginjal (dengan ukuran bervariasi mulai dari partikel kecil sampai batu staghorn yang besar dimana dapat mengisi seluruh pelvis renal) dan batu kandung kemih. Batu ginjal ini berbeda dengan batu kandung kemih baik dari susunan kimia, epidemiologi dan gambaran kliniknya. Batu ginjal terutama terdapat pada dewasa dengan golongan sosial ekonomi menengah atas, sedangkan batu kandung kemih banyak terdapat pada anak dengan sosial ekonomi yang jelek dan biasanya berhubungan dengan malnutrisi. Berdasarkan lokasi, batu urin dapat dibagi menjadi batu urin bagian atas dimana batu berada dalam atau ginjal atau ureter, dan batu urin bagian bawah
8
dimana batu berada dalam kandung kemih dan uretra. Pada umumnya batu urin bagian atas ini merupakan batu ginjal (Bahdarsyam, 2003). 2.3. Epidemiologi Batu saluran kemih merupakan penyakit endemik di seluruh dunia pada abad ke-19. Sejak tahun1920, angka kejadian penyakit ini di Eropa dan Amerika berangsur menurun, namun masih bersifat endemik di negara-negara Asia Selatan, Timur Tengah dan Eropa Selatan. Angka kejadian batu saluran kemih pada anak sangat bervariasi dari satu negara ke negara lain, dan dari masa ke masa.Dari penelitian yang dilakukan di Amerika didapatkan penyakit batu saluran kemih menyumbang pada 1 dari setiap 685 kasus yang memerlukan rawat inap. Manakala suatu penelitian yang dilakukan di Sumatera Barat mendapatkan batu buli-buli sebesar 8,3/100.000 populasi dan penelitian di RSCM Jakarta, antara tahun 19821986, didapatkan 196 penderita batu saluran kemih (BSK) pada anak (Trihono, 2009).
2.4. Patogenesis Ada 5 teori patogenesis pembentukan batu saluran kemih pada umumnya: 1. Teori supersaturasi Urin mempunyai kemampuan melarutkan lebih banyak zat yang terlarut bila dibandingkan dengan air biasa. Campuran beberapa ion aktif dalam urin menimbulkan interaksi sehingga mempengaruhi kelarutan elemen-elemen urin. Bila konsentrasi zatzat yang relatif tidak larut dalam urin seperti kalsium, aksalat, fosfat, dan sebagainya makin meningkat dalam urin, maka akan terbentuk kristalisasi zat-zat tersebut(Trihono, 2009). 2. Teori nukleasi/ adanya nidus Nidus atau nukleus yang terbentuk, akan menjadi inti presipitasi yang kemudian terjadi. Zat/keadaan yang dapat bersifat sebagai nidus adalah ulserasi mukosa, gumpalan darah, tumpukan sel epitel atau pus, bahkan juga bakteri, jaringan nekrotik iskemi yang berasal dari neoplasma atau infeksi, dan benda asing (Trihono, 2009).
9
3. Teori tidak adanya inhibitor Supersaturasi kalsium, oksalat dan asam urat dalam urin dipengaruhi oleh adanya inhibitor kristalisasi. Pada penderita BSK, biasanya tidak didapatkan zat yang bersifat sebagai penghambat dalam pembentukan batu. Magnesium, sitrat, dan pirofosfat dapat menghambat nukleasi spontan kristal kalsium. Zat lain mempunyai peranan inhibitor, antara lain : asam amino, terutama alanin, sulfat, fluoride, dan seng (Trihono, 2009). 4. Teori epitaksi Epitaksi adalah peristiwa pengendapan suatu kristal di atas di atas permukaan kristal lain. Misalnya, bila supersaturasi urin oleh asam urat telah terjadi oleh suatu sebab, misalnya masukan purin yang meningkat, maka konsentrasi asam urat meninggi sehingga terjadi pembentukan kristal asam urat. Bila pada penderita ini kemudian terjadi peningkatan masukan kalsium dan oksalat, maka akan terbentuk kristal kalsium oksalat. Kristal kalsium oksalat ini kemudian akan menempel di permukaan kristal asam urat yang telah terbentuk sebelumnya, sehingga ditemukan batu saluran kemih yang intinya terjadi atas asam urat yang dilapisi oleh kalsium oksalat di bagian luarnya (Trihono, 2009). 5. Teori kombinasi Pertama, fungsi ginjal harus cukup baik untuk dapat mengekskresi zat yang dapat membentuk kristal secara berlebihan. Kedua, ginjal harus dapat menghasilkan urin dengan pH yang sesuai untuk kristalisasi. Dari kedua hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ginjal harus mampu melakukan ekskresi suatu zat secara berlebihan dengan pH urin yang sesuai sehingga terjadi presipitasi zat-zat tersebut. Ketiga, urin harus tidak mengandung sebagian atau seluruh inhibitor kristalisasi. Keempat, kristal yang telah terbentuk harus berada cukup lama dalam urin, untuk dapat saling beragregasi membentuk nukleus, yang selanjutnya akan menganggu aliran urin. Stasis urin yang terjadi memegang peranan penting dalam pembentukan batu saluran kemih, sehingga nukleus yang telah terbentuk dapat tumbuh (Trihono, 2009; Hulton 2000). 2.5. Klasifikasi dan komposisi batu
10
Komposisi batu oksalat adalah kalsium oksalat monohidrat dan kalsium oksalat dihidrat. Komposisi batu asam urat terdiri dari asam urat dan asam urat hidrat. Magnesium ammonium fosfat hexahidrat, karbonat apatite, dan calcium hydrogenphosphate dihydrate merupakan komposisi batu fosfat. Untuk batu yang didapat secara genetik pula, komposisinya adalah sistin, xantine, dan 2,8Dihydroxyadenine (Hesse, 2009). 2.5.1. Jenis-jenis batu 1. Batu Struvit Batu infeksi yang sering didiagnosa pada anak laki-laki di bawah 5 tahun. Lebih dari 90% di antaranya telah mengalami infeksi urin pada saat diagnosa. Fragmen batu lembut dan mudah keluar melalui urin. Batu sering terletak pada saluran kemih bagian atas, biasanya pelvis ginjal, dan disebut 'staghorn' sebagai akibat dari bentuknya. Batu yang terbentuk biasanya disebabkan infeksi saluran kemih oleh Proteus spp, Klebsiella spp, Escherichia coli, Pseudomonas spp dan lain-lain yang mengakibatkan alkalinisasi urin dan produksi ammonia secara berlebihan. Keadaan ini akan akan menyebabkan presipitasi magnesium ammonium phosphate (struvit) (Hulton, 2000; Kliegman, 2007). 2. Batu Kalsium Batu yang mengandung kalsium sering dikaitkan dengan kelainan metabolik yang mendasarinya, terutama jika disertai nefrokalsinosis. Pada masa kanak-kanak, tiga penyebab paling umum dari nefrokalsinosis adalah kondisi hypercalciuric, asidosis tubulus distal ginjal, dan hyperoxalurias. Hiperkalsiuria idiopatik belum mempunyai penjelasan yang jelas, tetapi pada hiperkalsiuria absorptif, terjadi peningkatan dalam absorpsi kalsium di usus (Hulton, 2000). 3. Batu Sistin Sistiuria adalah defek pada transportasi sistin, lisin, ornitin, dan arginin ke intestinal dan membrane sel renal tubular yang diturunkan. Batu sistin terjadi pada anak dari semua golongan usia. 25% pasien mendapat 11
batu pertama mereka selama masa kanak-kanak. Pada anak-anak yang sangat muda, batu kandung kemih mungkin terbentuk, manakala pada anak yang lebih dewasa, batu ginjal lebih sering terbentuk. Semua batu sistin bersifat radio-opak, and kadang-kadang tidak kelihatan pada plain abdominal film (Hulton, 2000). 4. Batu Asam Urat Asam urat berasal dari sumber endogen, serta dari konsumsi makanan yang mengandung purin. Berkurangnya volume urin disertai dengan dehidrasi, hyperuricemia dan pH urin yang terus-menerus kurang daripada 6 merupakan faktor penting yang mempengaruhi pembentukan batu asam urat(Hulton, 2000). 2.6. Faktor risiko 1. Usia dan Jenis kelamin Risiko laki-laki untuk mendapat batu saluran adalah tiga kali lebih tinggi berbanding perempuan. Perempuan biasanya mengekskresikan kadar sitrat yang lebih dan kalsium yang kurang berbanding laki-laki, ini menjelaskan insiden BSK yang lebih tinggi pada pria. 2. Diet/ Konstitusi gizi Diet yang kaya protein hewani dan karbohidrat, akan menyebabkan kadar kalsium urin yang lebih tinggi, sehingga kemungkinan terbentuknya batu meningkat; sedangkan diet yang kaya sayur-sayuran, menunjukkan penurunan pH urin, sehingga memudahkan terbentuknya batu asam urat atau sistin. 3. Ras/ etnis Batu jarang terjadi pada masyarakat etnik asli Amerika, orang Afrika, orang kulit hitam Amerika dan Israel. Golongan Negro dan Meksiko (Amerika Latin) tampaknya mempunyai kekebalan terhadap penyakit batu. 4. Iklim
12
Iklim panas menyebabkan banyak kehilangan cairan melalui kulit dan pernapasan, sehingga meskipun masukan cairan cukup banyak, seseorang akan mengeluarkan urin yang pekat (biasanya bersifat asam) sehingga memudahkan pembentukan batu. 5. Jumlah air yang diminum Dua faktor yang berhubungan dengan kejadian BSK adalah jumlah air yang diminum dan kandungan mineral yang berada di dalam air minum tersebut. Pembentukan batu juga dipengaruhi oleh faktor hidrasi. Pada orang dengan dehidrasi kronik dan asupan cairan kurang memiliki risiko tinggi terkena BSK. Dehidrasi kronik menaikkan gravitasi air kemih dan saturasi asam urat sehingga terjadi penurunan pH air kemih. Pengenceran air kemih dengan banyak minum menyebabkan peningkatan koefisien ion aktif setara dengan proses kristalisasi air kemih. Banyaknya air yang diminum akan mengurangi rata-rata umur kristal pembentuk batu saluran kemih dan mengeluarkan komponen tersebut dalam air kemih. Kandungan mineral dalam air salah satu penyebab BSK. Air yang mengandung sodium karbonat seperti pada soft drink penyebab terbesar timbulnya batu saluran kemih. Air sangat penting dalam proses pembentukan BSK. Apabila seseorang kekurangan air minum maka dapat terjadi supersaturasi bahan pembentuk BSK. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya BSK. Pada penderita dehidrasi kronik pH air kemih cenderung turun, berat jenis air kemih naik, saturasi asam urat naik dan menyebabkan penempelan kristal asam urat (Parivar, 2003). Alkohol banyak mengandung kalsium oksalat dan guanosin yang pada metabolisme diubah menjadi asam urat. Peminum alkohol kronis biasanya menderita hiperkalsiuria dan hiperurikosuria akan meningkatkan kemungkinan terkena batu kalsium oksalat.hal ini disebabkan karena seseorang yang mengkonsumsi alkohol secara berlebih akan banyak kehilangan cairan dalam tubuh dan dapat memicu terjadinya peningkatan sitrat dalam urin, asam urat dalam urin dan renahnya pH urin (Purnomo, 2012)
13
6. Faktor heriditer Pasien dengan riwayat keluarga penyakit batu dapat menghasilkan jumlah mukoprotein yang lebih di ginjal atau kandung kemih, yang memungkinkan kristal untuk terakumulasi dan membentuk batu. 25% dari penderita batu memiliki riwayat keluarga urolitiasis. (Hesse, 2009; Colella, 2005; Trihono, 2009, Bahdarsyam, 2003) 7. Jenis pekerjaan
Kejadian BSK lebih banyak terjadi pada pegawai administrasi dan orang- orang yang banyak duduk dalam melakukan pekerjaannya karena mengganggu proses metabolisme tubuh.
8. Olah raga Secara khusus penelitian untuk mengetahui hubungan antara olah raga dan kemungkinan timbul batu belum ada, tetapi memang telah terbukti BSK jarang terjadi pada orang yang bekerja secara fisik dibanding orang yang bekerja di kantor dengan banyak duduk(Parivar, 2003).
9. Kebiasaan menahan buang air kemih
Kebiasaan menahan buang air kemih akan menimbulkan stasis air kemih yang dapat berakibat timbulnya Infeksi Saluran Kemih (ISK). ISK yang disebabkan kuman pemecah urea sangat mudah menimbulkan jenis batu struvit. Selain itu dengan adanya stasis air kemih maka dapat terjadi pengendapan Kristal (Menon, M, 2002).
2.7. Manifestasi Klinis Gejala dapat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan ukuran batu. Anakanak dengan urolitiasis biasanya mengalami hematuria. Jika kalkulus berada dalam pelvis ginjal, kaliks, atau ureter dan menyebabkan ostruction, maka nyeri perut atau
14
panggul yang parah (kolik ginjal) akan terjadi. Biasanya rasa sakit menjalar ke skrotum atau labia. Seringkali rasa sakit terjadi secara intermitten, sesuai dengan periode obstruksi aliran urin. Jika kalkulus dalam ureter distal, anak mungkin mengalami gejala iritasi seperti disuria, urgensi, dan frekuensi. Apabila batu masuk ke dalam kandung kemih, anak biasanya asimtomatik. Jika batu di saluran kencing, disuria dan kesulitan berkemih dapat terjadi.Batu kecil yang tidak menimbulkan gangguan atau ‘silent stones’ yang terletak di kaliks ginjal kadang-kadang ditemukan secara kebetulan pada x-ray atau mungkin adanya hematuria tanpa gejala. Batu- batu seperti ini sering keluar tanpa menimbulkan rasa nyeri atau ketidaknyamanan (Purnomo, 2012). 1) Gejala batu ginjal Batu pada ginjal dapat tertahan di persimpangan ureteropelvic, sehingga terjadi obstuksi ureter akut dengan kolik intermitten yang berat di pinggang. Nyeri bisa berlokalisasi di sudut costovertoral. Hematuria dapat terjadi, hilang timbul atau terus-menerus, dan secara mikroskopis atau secara gross (Purnomo, 2012). 2) Gejala batu ureteral Batu yang masuk ke ureter dapat menghasilkan kolik ureter, yang akut, tajam di panggul. Hematuria dapat menyertai. Batu yang bergerak turun dari ureter ke tepi panggul dan pembuluh iliaka akan menghasilkan kejang yang intermitten, tajam dan nyeri kolik yang menjalar ke sisi lateral dan sekitar daerah pusar. Apabila batu melewati ureter distal, kandung kemih, nyeri tetap tajam tapi dengan qualitas nyerinya memudar. Mual, muntah, diaphoresis, takikardia mungkin menyertai dan pasien biasanya tidak nyaman (Purnomo, 2012). 3) Gejala batu kandung kemih Apabila batu masuk kedalam kandung kemih, disuria, urgensi, dan frekuensi dapat berupa satu-satunya gejala yang dialami (Purnomo, 2012). 2.8. Diagnosis
15
2.8.1. Anamnesis Batu diklasifikasikan berdasarkan komposisi. Pengetahuan tentang komposisi dapat membantu untuk merancang terapi, tetapi komposisi kimia dari batu biasanya tidak berpengaruh terhadap manifestasi klinis. Manifestasi klinis lebih dipengaruhi oleh kriteria berikut :
Ukuran batu ( batu yang lebih besar cenderung menyebabkan gejala yang lebih, walaupun beberapa batu yang besar tidak menunjukkan gejala)
Lokasi batu
Obstruksi aliran pengeluaran urin
Pergerakan batu (dari renal pelvis ke kandung kemih)
Adanya infeksi saluran kemih Manifestasi bergantung pada usia. Simptom seperti nyeri panggul
dan hematuria lebih cenderung pada anak yang lebih dewasa. Simptom yang tidak spesifik seperti muntah, iritabilitas lebbih cenderung pada anak yang lebih muda. Anamnesis harus melingkupi pertanyaan mengenai kekeraban infeksi saluran kemih, kekeraban nyeri abdomen, hematuria (mikroskopik atau gross), asupan makanan (oksalat, purin, kalsium, fosfat, fruktosa, protein hewani), konsumsi obat-obatan (obat anti-kanker, glukokortikoid, allopurinol, loop diuretic), asupan vitamin (A, D), asupan cairan. Anamnesis juga harus merangkumi pertanyaan berkenaan penyakit kronik (renal tubular acidosis, penyakit radang usus, short-gut syndrome, cystic fibrosis) dan riwayat bedah urologi (transplantasi ginjal). Disebabkan beberapa batu
ginjal
dapat diwariskan, riwayat keluarga untuk
mengidentifikasi anggota keluarga lain dengan riwayat batu adalah penting. Dalam beberapa laporan dinyatakan bahwa, sebanyak 70% dari anak-anak dengan hiperkalsiuria idiopatik memiliki riwayat keluarga dengan batu(Fathallah- Shaykh, 2014).
16
2.8.2. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik pada anak dengan urolithiasis dipengaruhi oleh beberapa faktor. Yang paling penting termasuk usia, nyeri, infeksi, dan proses yang mendasari pembentukan batu. Kebanyakan anak dengan batu saluran kemih mempunyai hasil pemeriksaan fisik yang normal. Pengecualian untuk temuan normal pada pemeriksaan fisik meliputi berikut ini:
Hipertensi ( dapat menyertai obstruksi urin atau nyeri)
Takikardi pada anak dengan nyeri
Rickets, batu sebagai bagian dari penyakit Dent (Fathallah-Shaykh, 2014).
2.8.3. Pemeriksaan penunjang 1. Urinalisis Urinalisis dengan kultur urin dan tes sensitivitas adalah wajib. Laporan dapat mengungkapkan hematuria mikroskopik atau gross dan piuria dengan atau tanpa infeksi. Tinggi atau rendahnya pH urine dan adanya kristal dapat memberikan petunjuk apakah batu bersifat basa atau asam. Pengumpulan urin 24 jam harus dilakukan untuk mengevaluasi kalsium, natrium, phospharus, magnesium, oksalat, asam urat, sitrat, sulfat, kreatinin, pH, dan volume total. Urin 24 jam yang pertama harus menjadi spesimen acak. Urin 24 jam yang kedua harus diperoleh setelah pasiendietsodium, oksalat, dan kalsium (Trihino, 2009). 2. Penilaian serum Hitung darah lengkap dapat mengungkapkan peningkatan jumlah darah putih yang menunjukkan infeksi sistemik kemih, atauberkurangnya jumlah sel darah merah yang menunjukkan keadaan penyakit kronis atau keadaan hematuria yang parah. Serum elektrolit, BUN, kreatinin, kalsium, asam urat, dan fosfor menilai
17
fungsi ginjal, dehidrasi, dan risiko metabolik pembentukan batu di masa depan. Peningkatan nilai PTH akan mengkonfirmasi diagnosis hiperparatiroidisme (Trihino, 2009). 3. Penilaian radiologik Intravenous Pyelography (IVP) memberikan informasi mengenai anatomi dan fungsional, mengidentifikasi ukuran yang tepat dan lokasi batu, adanya dan tingkat keparahan obstruksi, dan kelainan ginjal atau ureter. Computed
Tomography
(CT)
Scan
dipercayai
menjadi
pemeriksaan radiografi yang terbaik untuk kolik ginjal akut karena menunjukkan gambaran dari saluran kemih dan menunjukkan penetrasi kontras intravena yang tertunda pada ginjal yang mengalami obstruksi. Penetrasi kontras yang tertunda adalah tanda terjadinya obstruksi urin yang akut. Disebabkan berbagai alasan, CT scan dianggap melebihi kemampuan IVP dalam mendeteksi kalkuli ginjal dan ureter, dan secara rutin dilakukan pada kebanyakan pasien yang dicurigai menderita urolitiasis. Ultrasonografi ginjal merupakan pencitraan yang lebih peka untuk mendeteksi batu ginjal dan batu radiolusen daripada foto polos perut. Cara terbaik untuk mendeteksi BSK ialah dengan kombinasi USG dan foto polos perut (Trihino, 2009). Plain adominal X-Ray yang melibatkan radiografi ginjal, ureter, dan kandung kemih akan mengidentifikasi batu ginjal yang radiopak. Xray abdomen sangat membantu dalam mendokumentasikan jumlah, ukuran, dan lokasi batu dalam saluran kemih dan radiopacity dapat memberikan informasi mengenai jenis batu (Trihino, 2009). 2.9 Tatalaksana Tindakan yang dapat dilakukan dengan pengaturan diet makanan, cairan dan aktivitas serta perawatan pasca operasi untuk mencegah terjadinya komplikasi pasca operasi. Beberapa tindakan gaya hidup yang
18
dapat dimodifikasi dalam upaya pencegahan kekambuhan urolithiasis adalah: 1) Cairan Strategi pengobatan yang umum digunakan pada urolithiasis yang bukan disebabkan karena infeksi bakteri adalah dengan meningkatkan konsumsi air. Peningkatan konsumsi air setiap hari dapat mengencerkan urin dan membuat konsentrasi pembentuk urolithiasis berkurang. Selain itu, saat mengkonsumsi makanan yang cenderung kering hendaknya mengkonsumsi air yang banyak. Konsumsi air sebanyak-banyaknya dalam satu hari minimal 8 gelas atau setara dengan 2-3 liter per hari (Lotan, et al., 2013) Mengkonsumsi air jeruk nipis atau jeruk lemon yang berfungsi sebagai penghambat pembentukan batu ginjal jenis kalsium dengan mekanisme utamanya yaitu menghambat pembentukan batu kalsium melalui reaksi pemutusan ikatan antara kalsium oksalat maupun kalsium posfat oleh sitrat, sehingga pada akhir reaksi akan terbentuk senyawa garam yang larut air, endapan kalsium tidak terbentuk dan tidak tidak terbentuk batu saluran kemih jenis batu kalsium (Anggraini 2015). Penelitian ini didukung oleh Colella, et al., (2005) dan Purnomo, (2012) yang menyatakan bahwa asupan jeruk nipis yang
rendah
dapat
menyebabkan
hipositraturia
dimana
kemungkinan dapat meningkatkan resiko terbentuknya batu. 2) Makanan a. Konsumsi makanan seperti ikan dan kurangi konsumsi oksalat (seperti daging) untuk menurunkan oksalat dalam urin dan resiko pembentukan batu oksalat (Maalouf, et al., 2010).
19
b. Mengurangi diet protein hewani dan purin lainnya untuk menurunkan kadar asam urat dalam urin dan resiko pembentukan batu asam urat (Maalouf, et al., 2010). c. Mengurangi makanan yang mengandung tinggi kadar garam karena dapat meningkatkan rasa haus, selain itu garam akan mengambil banyak air dari dalam tubuh sehingga tubuh akan mengalami dehidrasi tanpa disadari. Disarankan jika terlalu banyak mengkonsumsi garam hendaknya anda imbangi dengan mengkonsumsi banyak air yang berfungsi untuk melarutkan garam yang ada di dalam tubuh (Maalouf, et al., 2010). d. Meningkatkan diet kalsium untuk mengikat oksalat di usus dan dengan demikian akan menurunkan kadar oksalat dalam urin 3) Aktivitas Aktivitas fisik sangat dianjurkan untuk mencegah terjadinya urolithiasis. Tingginya aktivitas yang dilakukan dengan diimbangi asupan cairan yang seimbang maka ada kemungkinan akan memperkecil resiko terjadinya pembentukan batu, latihan fisik seperti treadmill atau aerobic ini dapat dilakukan selama 1 jam/ hari selama 5 hari atau anda dapat melakukan olahraga lari selama 20 meter/ menit selama 5 hari (Shamsuddeen, et al., 2013). Aktivitas fisik dapat menyebabkan kehilangan banyak cairan sehingga memungkinkan untuk berada dalam kondisi dehidrasi tanpa disadari maka dari itu disarankan untuk mempertahankan hidrasi (cairan) dalam tubuh sebanyak-banyaknya selama melakukan aktivitas, khususnya aktivitas berat seperti latihan fisik (treadmill) untuk mengganti ciaran tubuh yang hilang saat melakukan aktivitas (Purnomo, 2012). 4) Dukungan sosial
20
Rahman, et al., (2013) dalam penelitiannya tentang hubungan antara adekuasi hemodialisa terhadap kualitas hidup pasien menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu indikator yang dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Dukungan sosial dapat diberikan dari keluarga dan lingkungan sekitar dapat meningkatkan keoptimisan pada diri sendiri untuk sembuh dari penyakit dan memiliki kehidupan yang lebih baik. Dukungan yang dapat diberikan berupa memberikan dukungan kepada orang lain untuk beradaptasi dengan kondisinya saat ini (Guundgard,2006). 2.10Komplikasi Batu mungkin dapat memenuhi seluruh pelvis renalis sehingga dapat menyebabkan obstruksi total pada ginjal, pasien yang berada pada tahap ini dapat mengalami retensi urin sehingga pada fase lanjut ini dapat menyebabkan hidronefrosis dan akhirnya jika terus berlanjut maka dapat menyebabkan gagal ginjal yang akan menunjukkan gejala-gejala gagal ginjal seperti sesak, hipertensi, dan anemia (Colella, et al., 2005; Purnomo, 2012). Selain itu stagnansi batu pada saluran kemih juga dapat menyebabkan infeksi ginjal yang akan berlanjut menjadi urosepsis dan merupakan kedaruratan urologi, keseimbangan asam basa, bahkan mempengaruhi beban kerja jantung dalam memompa darah ke seluruh tubuh (Colella, et al., 2005; Portis & Sundaram, 2001; Prabowo & Pranata, 2014).
BAB III METODE PELAKSANAAN 3.1 Tempat Pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi Observasi Pasien dengan Batu pada Saluran Kemih di Masyarakat, Jl. Juaro IV No. 25, Sialang, Sako, Palembang.
21
3.2 Waktu Pelaksanaan Waktu pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi yaitu pada hari kamis, 1 November 2018 3.3 Subjek Tugas Mandiri Subjek tugas mandiri pada pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi blok XV ini adalah pasien dengan Batu pada Saluran kemih di Masyarakat 3.4 Alat dan Bahan 1. Alat Tulis 2. Checklist 3. Kamera 3.5 Langkah-Langkah Kerja 1. Membuat proposal 2. Melakukan konsultasi kepada pembimbing Tugas Pengenalan Profesi 3. Meminta surat jalan dari kampus untuk melaksanakan TPP 4. Mengidektifikasi kasus urolithiasis 5. Mengumpulkan hasil kerja lapangan untuk mendapatkan suatu kesimpulan 6. Membuat laporan hasil Tugas Pengenalan Profesi dari data yang sudah didapatkan.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
22
Dari hasil tugas pengenalan profesi yang kami lakukan tentang Observasi Batu Saluran Kemihyang dilaksanakan di masyarakat pada hari Kamis tanggal 1 November 2018 didapatkan seorang penderita batu saluran kemih. Identitas pasien Nama Pasien
: Bapak I
TTL
: 02 April 1979
Umur
: 39 Tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Celentang
Pekerjaan
: Supir
Dari hasil anamnesis terhadap Bapak I, didapati gejala adanya rasa nyeri di pinggang belakang dan menjalar sampai ke perut depan kanan hingga daerah pubis. Pasien mengaku pernah mengalami demam tinggi disertai dengan menggigil dan ada riwayat kencing batu berukuran kecil disertai darah sebanyak 3x. Namun tidak dirasakan nyeri saat buang air kecil. Bapak I, 39 tahun, mengatakan memiliki kebiasaan merokok sejak remaja hingga sekarang, dan sering mengkonsumsi alhokol sejak 15 tahun yang lalu serta riwayat pekerjaannya sebagai sopir antarkota menyebabkan ia sering menahan kencing hingga berjam-jam dan jarang sekali minum saat bekerja, mungkin hanya 600ml/hari. Pasien mengaku sangat jarang berolahraga. Pola makan biasa, tidak sering mengonsumsi makanan tinggi purin. Bapak I menyatakan bahwa terdapat satu saudara kandung laki-lakinya yang juga menderita batu pada ginjal sebelah kanan dan sudah dioperasi. Tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan seperti ephedrin, guifenesin, thiazid, indinavir dan allopurinol serta tidak dijumpai mual dan muntah. Bapak I menderita DM yang baru diketahui saat berobat untuk masalah batu ginjal. Bapak I memeriksakan keluhan nyeri pada pinggang belakang ke rumah sakit pada bulan Desember 2017 yang lalu. Hasil pemeriksaan radiologi dan
23
IVP (Intra Venous Pyelography) menunjukkan bahwa terdapat batu staghorn pada ginjal kanan bagian calyx bawah berukuran 2x0,5cm. Dokter menyarankan untuk dilakukan operasi, namun Bapak A menolak saran dokter pada awalnya. Pada bulan Januari 2018, nyeri yang dirasakan Bapak A semakin parah dan akhirnya Bapak A memutuskan untuk melakukan operasi. Dikarenakan fungsi ginjal yang sudah menurun, ginjal kanan Bapak A ikut diangkat bersamaan dengan pengangkatan batu. Setelah dilakukan operasi, pasien diberikan obat asam mefenamat dan obat untuk diabetes. Tatalaksana nonfarmakologi pasien diminta untuk mulai mengatur diet rendah purin dan memperbanyak konsumsi air putih untuk mencegah pembentukan ulang batu. 4.2 Pembahasan Dari hasil tugas pengenalan profesi yang kami lakukan tentang Observasi Batu Saluran Kemih, Bapak I, 39 Tahun mengalami BSK. Batu saluran kemih atau BSK adalah terbentuknya batu di saluran kemih yang disebabkan oleh pengendapan substansi yang terdapat dalam air kemih yang jumlahnya berlebihan atau karena faktor lain yang mempengaruhi daya larut substansi (Lina, 2008). Didapati gejala adanya rasa nyeri di pinggang belakang dan menjalar sampai ke perut depan kanan hingga daerah pubis. Jika kalkulus berada dalam pelvis ginjal, kaliks, atau ureter dan menyebabkan obstruksi, maka nyeri perut atau panggul yang parah (kolik ginjal) akan terjadi (Purnomo, 2012).Batu pada ginjal dapat tertahan di persimpangan ureteropelvic, sehingga terjadi obstuksi ureter akut dengan kolik intermitten yang berat di pinggang. Nyeri bisa berlokalisasi di sudut costovertoral. Biasanya rasa sakit menjalar ke skrotum atau labia. Seringkali rasa sakit terjadi secara intermitten, sesuai dengan periode obstruksi aliran urin. Hematuria dapat terjadi, hilang timbul atau terusmenerus, dan secara mikroskopis atau secara gross (Purnomo, 2012). Terdapat riwayat kencing batu berukuran kecil disertai darah sebanyak 3x. Menurut Purnomo (2012) batu kecil yang tidak menimbulkan gangguan atau ‘silent stones’ yang terletak di kaliks ginjal kadang-kadang ditemukan
24
secara kebetulan pada x-ray atau mungkin adanya hematuria tanpa gejala. Batu-batu seperti ini sering keluar tanpa menimbulkan rasa nyeri atau ketidaknyamanan. Faktor risiko yang terdapat pada bapak I antara lain jenis kelamin, dimana risiko laki-laki untuk mendapat batu saluran adalah tiga kali lebih tinggi berbanding perempuan. Perempuan biasanya mengekskresikan kadar sitrat yang lebih dan kalsium yang kurang berbanding laki-laki, ini menjelaskan insiden BSK yang lebih tinggi pada pria (Hesse, 2009). Faktor riwayat pekerjaan Bapak I sebagai supir juga bisa berpengaruh karena iklim panas dan lebih
banyak
duduk
dalam
melakukan
pekerjaannya
menyebabkan
terganggunya proses metabolisme tubuh dan banyak kehilangan cairan melalui kulit dan pernapasan, sehingga meskipun masukan cairan cukup banyak, seseorang akan mengeluarkan urin yang pekat (biasanya bersifat asam) sehingga memudahkan pembentukan batu (Hesse, 2009). Faktor risiko lainnya yaitu Bapak Imemiliki kebiasaan merokok sejak remaja hingga sekarang, dan sering mengkonsumsi alhokol sejak 15 tahun yang lalu. Hal tersebut sesuai dengan teori Purnomo (2012) yaitu Alkohol banyak mengandung kalsium oksalat dan guanosin yang pada metabolisme diubah menjadi asam urat dan juga peminum alcohol akan kehilangan cairan dalam tubuh dan dapat memicu terjadinya peningkatan sitrat dalam urin, asam urat dalam urin dan renahnya pH urin. serta riwayat pekerjaannya sebagai sopir antarkota menyebabkan ia sering menahan kencing hingga berjam-jam dan jarang sekali minum saat bekerja, mungkin hanya 600ml/hari, hal tersebut menjadi salah satu faktor pembentuk batu pada saluran kemih, sesuai dengan teori yang dikemukkan oleh Parivar (2003) yaitu, pada orang dengan dehidrasi dan asupan cairan kurang memiliki risiko tinggi terkena BSK (Batu saluran kemih). Dehidrasi menaikkan gravitasi air kemih dan saturasi asam urat sehingga terjadi penurunan pH air kemih, berat jenis air kemih naik, saturasi asam urat naik dan menyebabkan penempelan kristal asam urat. Sedangkan menurut Menon tahun (2002) sering menahan buang air kecil akan menimbulkan stasis air kemih yang dapatterjadi pengendapan Kristal.
25
Pasien mengaku sangat jarang berolahraga, hal ini sesuai dengan teori bahwa BSK (batu saluran kemih) jarang terjadi pada orang yang bekerja secara fisik dibanding orang yang bekerja di kantor dengan banyak duduk(Parivar, 2003).
Selain itu ditemukan riwayat keluarga dengan keluhan yang sama, yaitu kakak kandung Bapak I, sehingga kemungkinan besar terdapat faktor keluarga yang berperan sebagai faktor risiko. Pasien dengan riwayat keluarga penyakit batu dapat menghasilkan jumlah mukoprotein yang lebih di ginjal atau kandung kemih, yang memungkinkan kristal untuk terakumulasi dan membentuk batu, 25% dari penderita batu memiliki riwayat keluarga urolitiasis (Hesse, 2009). Saat pemeriksaan radiologi dan IVP didapati batu staghorn pada ginjal dextra sesuai dengan teori, berdasarkan tempat pembentukannya, batu urin ini dapat dibagi 2 menjadi batu ginjal (dengan ukuran bervariasi mulai dari partikel kecil sampai batu staghorn yang besar dimana dapat mengisi seluruh pelvis renal) dan batu kandung kemih (Bahdarsyam, 2003). Tatalaksana nonfarmakologi pasien diminta untuk mulai mengatur diet rendah purin dan memperbanyak konsumsi air putih untuk mencegah pembentukan ulang batu.Mengurangi diet protein hewani dan purin lainnya berguna untuk menurunkan kadar asam urat dalam urin sehingga menurunkan resiko pembentukan batu asam urat (Maalouf, et al., 2010) sedangkan peningkatan konsumsi air setiap hari dapat mengencerkan urin dan membuat konsentrasi pembentuk urolithiasis berkurang(Lotan, et al., 2013). Untuk kemungkinan komplikasinya dilihat dari hasil pemeriksaan radiologi dan IVP (Intra Venous Pyelography) sudah menunjukkan bahwa terdapat batu staghorn pada ginjal kanan bagian calyx bawah berukuran 2x0,5cm batu mungkin dapat memenuhi seluruh pelvis renalis sehingga dapat menyebabkan obstruksi total pada ginjal dapat menyebabkan hidronefrosis dan akhirnya jika terus berlanjut maka dapat menyebabkan gagal ginjal yang akan menunjukkan gejala-gejala gagal ginjal seperti sesak, hipertensi, dan anemia (Colella, et al., 2005; Purnomo, 2012). Selain itu stagnansi batu pada saluran kemih juga dapat menyebabkan infeksi ginjal yang akan berlanjut menjadi 26
urosepsis dan merupakan kedaruratan urologi, keseimbangan asam basa, bahkan mempengaruhi beban kerja jantung dalam memompa darah ke seluruh tubuh (Colella, et al., 2005; Portis & Sundaram, 2001; Prabowo & Pranata, 2014).
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dari kegiatan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa : 1. Faktor resiko dari terjadinya urothiliasis pada responden adalah jenis kelamin yaitu laki-laki, perokok berat , konsumsi alcohol, sering menahan kencing, jarang minum, jarang berolahraga serta adanya riwayat penyakit diabetes mellitus. 2. Tatalaksana yang diberikan pada respoden adalah operasi pengangkatan ginjal kanan. Untuk tatalaksana post operasi, diberikan asam mefenamat dan obat untuk diabetes serta dianjurkan untuk diet rendah purin dan memperbanyak konsumsi air putih. 27
3. Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita urothiliasis adalah gagal ginjal, stagnansi batu ginja dan dapat terjadi infeksi yang berlanjut menjadi urosepsis.
5.2 Saran Saran dari observer kepada pembaca, khususnya mahasiswa / mahasiswa Fakultas Kedokteran adalah : 1. Usahakan waktu melaksanaan TPP tidak terburu-buru dan dilakukan lebih mendalam sehingga tidak ada masalah saat mencari alamat. 2. Ada baiknya jika mahasiswa mendapatkan lebih dari satu responden agar dapat lebih memahami tentang penyakit urothiliasis
DAFTAR PUSTAKA Bahdarsyam. 2001. Spektrum Bakteriologik Pada Berbagai Jenis Batu Saluran Kemih Bagian Atas. Bagian Patologi Klinik FK USU, Medan. Hesse, A., Siener. R., Tiselius. H., Hoppe. B., 2009.Urinary Stones, Diagnosis, Treatment, and Prevention of Recurrence. 3th ed. S. Karger AG, Basel, 1144. Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta : EGC. Hulton, SA., 2001. Evaluation of urinary tract calculi in children. National 28
Institute for Health Research, 84(4): 1-6. Junqueira L.C., J.Carneiro, R.O. Kelley. 2008. Histologi Dasar. Edisi ke-5. Tambayang J., penerjemah. Terjemahan dari Basic Histology. EGC. Jakarta. Kemenkes RI, 2013. Riset kesehatan Dasar (RISKESDAS 2013). Kementerian Kesehatan RI: Jakarta Lotan, Y., Jimenez, I.B., Wijnkoop, I.L., Daudon, M., Molinier, L., Tack, I., &Nuijten, M.J.C. (2013). Increased Water Intake as a Prevention Strategy of Recurrent Urolithiasis: Major Impact of Compliance on Cost-Effectiveness. Jurology. Volume 189 Parivar, F. 2003.The Influence of Diet on Urinary Stone Disease. J. Urol, Vol 169, Issue 2, page 470-474 Menon M. 2002. Urinary Lithiasis: Etiologi and Endourologi, in: Chambell’s Urology, 8th ed, Vol 14, W.B. Philadelphia: Saunder Company.
Moore KL., Agur AMR. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta. Maalouf, M., Rho. J.M., & Mattson, M.P. (2010). The neuroprotective properties of calories restriction, the katogenic diet, and ketone bodies. Brain Res. 59. Price, Sylvia A. & Lorraine. M. Wilson. 2006. PatofisiologiKonsepKlinis ProsesProses Penyakit. Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC. Purnomo, B.B. (2012). Dasar-Dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta: Sagung Seto. Portis A.J., & Sundaram, C.P. (2001). Diagnosis and initial management of kidney stone. American Family Physician. Vol. 63. No. 7: 1329-1338 Shaykh, S.F., 2014. Pediatric Urolithiasis. Medscape reference. Diunduh dari:
29
http://emedicine.medscappe.com/article/983884-overview. [Diakses pada 11 Oktober 2018]. Trihono, P. 2009. Batu Saluran Kemih pada Anak. In: Buku Ajar Nefrologi Anak. Balai Penerbit FK UI Jakarta, 212-230.
KUISIONER Nama : Umur : Pekerjaan : Alamat :
Pertanyaan
Jawaban
Bagaimana pola makan? (Apakah sering mengonsumsi makanan tinggi protein / purin)
30
Bagaimana pola minum sebelum menderita keluhan ini? (Berapa banyak per hari)
Apakah pasien memiliki kebiasaan menahan BAK?
Apakah pasien sebelumnya sering berolahraga?
Apakah sebelumnya pasien perokok/mengonsumsi alkohol?
Apakah sering mengonsumsi obat-obatan ephedrin, guifenesin, thiazid, indinavir dan allopurinol?
Apakah pasien memiliki keluarga yang memiliki keluhan serupa?
Apakah pasien menderita nyeri atau pegal-pegal pada pinggang atau flank yang dapat menjalar ke perut bagian depan, dan lipatan paha hingga sampai ke kemaluan?
Apakah pasien mengalami mual dan muntah?
Apakah pasien mengalami demam?
Apakah pasien pernah mengalami hematuria?
Apakah merasakan nyeri saat BAK?
31
Tatalaksana
Apa saja terapi farmakologi dan nonfarmakologi yang diberikan?
LAMPIRAN
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41