Laporan Kasus.docx

  • Uploaded by: SelviaaviaaAlfrida
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Kasus.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,101
  • Pages: 25
Laporan Kasus

Disusun oleh : Selvi Alfrida Keenandyta Pasha 1102013266

Pembimbing : dr. Joko Nafianto, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK SYARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA Tk. I R.S. SUKANTO

0

LAPORAN KASUS

I.

Identitas Pasien Nama

: Ny. S

Jenis kelamin

: Perempuan

Usia

: 53 tahun

Agama

: Islam

Status pernikahan

: Menikah

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Alamat

: Condet

Tanggal masuk RS

: 25 Juni 2018

Tanggal pemeriksaan : 13 Juli 2018 Ruang perawatan

II.

: Teratai 2

Anamnesis Secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 13 Juli 2018

Keluhan utama: Pasien datang dengan keluhan Kelemahan kaki sebelah kanan 1 minggu Sebelum masuk Rumah Sakit. Keluhan tambahan: -

Nyeri pinggang

-

Kebas pada kaki sebelah kanan

-

Mual

-

Muntah

-

Sesak nafas

-

Susah buang air kecil

Riwayat penyakit sekarang Pasien datang ke IGD RS. Bhayangkara TK.1 R. Said Sukanto dengan keluhan Kelemahan kaki sebelah kanan 1 minggu Sebelum masuk Rumah Sakit. Kelemahan pada kaki sebelah kanan didahului dengan rasa kebas dan kesemutan. Kelemahan pada kaki sebelah kanan & nyeri pinggang dirasakan sangat mengganggu aktivitas, pasien 1

kesulitan untuk berjalan. Pasien juga mengeluhkan adanya gejala tambahan seperti, sulit buang air kecil, nyeri pinggang, pusing, mual, muntah & nyeri ulu hati. Keluhan dirasakan sepulang pasien melakukan perjalanan jauh selama 18 jam menggunakan mobil. Nyeri pinggang menjalar ke kaki disangkal. Riwayat penyakit dahulu: 

Riwayat hipertensi

: (-)



Riwayat diabetes

: (-)



Riwayat jantung

: (-)



Riwayat trauma

: (-)



Riwayat epilepsi

: (-)



Riwayat kejang demam

: (-)



Riwayat gastritis

: (+)

Riwayat Kebiasaan 

Alkohol

: disangkal



Narkoba

: disangkal



Merokok

: disangkal

Riwayat penyakit keluarga: Keluarga pasien tidak ada yang memiliki penyakit dengan keluhan yang sama.

III.

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 13 Juli 2018 Kesadaran umum

: tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Tanda-tanda vital

:

Tekanan darah

: 100/70 mmHg

Pernafasan

: 21x/menit

Nadi

: 88x/menit

Suhu

: 36,2 oC 2

Status Generalis 1. Kepala

: Normochepal,

2. Mata

: Sklera ikterik -/-, Konjugtiva Anemis -/-, pupil isokor

3mm/3mm 3. Hidung

: Bentuk normal, tidak ada deviasi, tidak ada sekret

4. Mulut

: Bibir normal, lidah normal, uvula berada ditengah

5. Telinga

: Bentuk simetris, tidak ada massa, tidak ada nyeri tekan, tidak

hiperemis. 6. Leher

: Letak trakea di tengah, pembesaran kelenjar getah bening -

/-, massa (-), tidak ada nyeri tekan. 7. Thoraks: Inspeksi

: simetris pada keadaan statis dan dinamis

Palpasi

: nyeri tekan (-)

Perkusi

: sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi

: Cor : bunyi jantung I/II regular,murmur(-), gallop (-)

Pulmo: suara napas vesikular,ronki(-),wheezing (-)

8. Abdomen: Inspeksi

: perut datar, sikatrik (-)

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)

Perkusi

: timpani

Auskultasi

: bising usus normal

9. Ekstremitas

: Akral hangat, edema pada kaki sebelah kanan.

Status Neurologis GCS: E4 M6 V5 (Saat Pemeriksaan) Tanda Rangsang Meningeal: Kanan

Kiri

Kaku kuduk

-

-

Brudzinky 1

-

-

Tidak dapat dilakukan

-

Laseque

3

Kernig

Tidak dapat dilakukan

-

Brudzinsky 2

Tidak dapat dilakukan

-

Saraf Kranial Kanan

Kiri

Normal

Normal

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Lapang pandang

Normal

Normal

Warna

Normal

Normal

+

+

M.rectus medius

Normal

Normal

M.rectus superior

Normal

Normal

M.rectus inferior

Normal

Normal

M.Obliqus inferior

Normal

Normal

M.levator palpebral

Normal

Normal

+

+

V1

Normal

Normal

V2

Normal

Normal

V3

Normal

Normal

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Normal

Normal

N.I N.II Visus

Refleks cahaya langsung

N.III, IV, VI

Refleks cahaya tak langsung N.V Sensorik

Refleks Kornea Motorik Mengigit

4

Membuka rahang

Normal

Normal

N.VII Sensorik (pengecapan 2/3 anterior lidah)

Tidak dilakukan

Motorik Mengerutkan dahi

Simetris

Simetris

Mengangkat alis

Normal

Normal

Memejamkan mata

Normal

Normal

Meringis/senyum

Simetris

Simetris

Menggembungkan pipi

Normal

Normal

N.VIII Gesekan jari

Normal

Garpu tala

Normal Tidak dilakukan

Rhinne Weber Swabach N.IX Refleks Menelan

Baik

Pengecapan 1/3 posterior lidah

Tidak dilakukan

N.X Refleks muntah

Tidak dilakukan

Letak uvula

Berada ditengah

Disfoni

(-)

Disfagi

(-)

N.XI Mengangkat bahu

Baik

Baik

Memalingkan kepala

Baik

Baik

N.XII 5

Deviasi lidah (menjulur)

Tidak ada deviasi

Atrofi

-

Fasikulasi

-

Tremor

-

Pemeriksaan Motorik Kanan

Kiri

Ekstremitas atas

555

555

Ekstremitas bawah

111

555

Ekstermitas atas

Normotonus

Normotonus

Ekstremitas bawah

Normotonus

Normotonus

Patella

Tidak dilakukan

-

Achiles

Tidak dilakukan

-

Brachioradialis

++

++

Biceps

++

++

Triceps

++

++

Patella

-

++

-

++

Hoffmann

-

-

Tromner

-

-

Babinski

-

-

Chaddock

-

-

Schaefer

-

-

Kekuatan

Tonus

Klonus

Refleks Fisiologis

Achilles Refleks Patologis

6

Gordon

-

-

Oppenheim

-

-

Sensorik Kanan

Kiri

+

+

Raba halus Ekstremitas atas Ekstremitas bawah

+

Nyeri Ekstremitas atas

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Ekstremitas bawah

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Suhu Ekstremitas atas

Tidak dilakukan

Ekstremitas bawah

Tidak dilakukan

Getar Ekstremitas atas

Tidak dilakukan

Ekstremitas bawah

Tidak dilakukan

Proprioseptif Ekstremitas atas

Normal

Normal

Ekstremitas bawah

Normal

Normal

7

Otonom BAB

Konstipasi

BAK

BAK Sulit

Koordinasi Romberg

Tidak dilakukan

Disdiadokokinesis

Normal

Tes jari- hidung

Normal

Tes tumit- lutut

Tidak dilakukan

Rebound phenomenon

Normal

IV. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan Laboratorium 25 Juni 2018 (saat masuk ke IGD) Pemeriksaan

Hasil

Nilai rujukan

satuan

Hematologi Hemoglobin

11,6

12-14

g/dl

Leukosit

8000

5000-10.000

u/l

37-43

%

150.000-400.000

/ul

109

<200

Mg/dl

33

10-50

Mg/dl

Creatinin

0,6

0,5-1,3

Mg/dl

Estimasi GFR

104

>90

ml/min/1,73m2

Hematokrit

37

Trombosit

365.000

Kimia Klinik Glukosa Sewaktu Ureum

Darah

8



Pemeriksaan laboratorium 11 Juli 2018 Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Satuan

Hematologi Hemoglobin Leukosit

10,2 15.800*

Hematokrit

31

Trombosit

308.000

12-14

g/dl

5000-10.000

u/l

37-43

%

150.000-400.000

/ul

D dimer

6.08

<0,55

Mg/l

Kolesterol total

211

<200

Mg/dl



Radiologi

9

Rontgen Thorax

Resume Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat RS Bhayangkara TK.1 R. Said Sukanto dengan keluhan utama kelemahan kaki sebelah kanan 1 minggu sebelum masuk Rumah Sakit. Kelemahan kaki muncul didahului dengan rasa kebas pada kaki sebelah kanan, lalu disertai dengan nyeri pinggang. Nyeri pinggang menjalar ke kaki disangkal. Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri pinggang, kesulitan untuk buang air kecil, mual, muntah & nyeri ulu hati. Pasien merasakan keluhan ini muncul beberapa minggu setelah pulang dari perjalanan jauh selama 18 jam menggunakan mobil. Riwayat jatuh sebelumnya disangkal. Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang dengan GCS E4M6V5, Tekanan darah pasien 100/70 mmHg, frekuensi pernafasan 21x/menit, denyut nadi 88x/menit dan suhu tubuh 36, 2℃. Pada pemeriksaan sensorik pada eksremitas kaki kanan pasien menurun, lalu pada pemeriksaan motorik didapati adanya kelemahan motoric pada ekstremitas bawah kanan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin (10,2 g/dl) Leukosit (15.800 u/l), D Dimer (6.08 mg/l) dan Kolesterol total (211 mg/dl)

10

Diagnosis Kerja: Diagnosis klinik Diagnosis topis Diagnosis etiologis

: monoparesis pada ekstremitas bawah dextra, hemihipestesi eksremitas dextra : spondylosis thoraco lumbal : Multiple sclerosis

Diagnosis Banding: Lower Back Pain Tatalaksana:  Non medikamentosa - Tirah baring - fisioterapi  Medikamentosa : IVFD RL 500cc/12 jam Betahistin 3x1 Inj metcobalt 3x1 Simvastatin 1x10

Neurodial 3x1 Sucralfat 4x2 cth Inj Ondancentron 3x4

Prognosis Ad vitam Ad functionam Ad sanationam

: ad bonam : dubia ad malam : dubia ad malam

11

1. DEFINISI

Multipel Sklerosis (MS) merupakan keadaan inflamasi, demielinisasi dan pembentukan jaringan parut pada selubung myelin yang tidak dapat diduga dalam otak, medulla spinalis dan saraf cranial sehingga terjadi disfungsi neurologi. Multiple sklerosis adalah suatu peradangan yang terjadi di otak dan sumsum tulang belakang yang menyerang daerah substansia alba dan merupakan penyebab utama kecacatan pada dewasa muda. Penyebabnya dapat disebabkan oleh banyak faktor, terutama proses autoimun. Focal lymphocytic infiltration atau sel T bermigrasi keluar dari lymph node ke dalam sirkulasi menembus sawar darah otak (blood brain barrier) secara terus-menerus menuju lokasi dan melakukan penyerangan pada antigen myelin pada sistem saraf pusat seperti yang umum terjadi pada setiap infeksi. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya inflamasi, kerusakan pada myelin (demyelinisasi), neuroaxonal injury, astrogliosis, dan proses degenerative. Akibat demyelinasi neuron menjadi kurang efisien dalam potensial aksi. Transmisi impuls yang disampaikan oleh neuron yang terdemyelinisasi akan menjadi buruk. Akibat 'kebocoran' impuls tersebut, terjadi kelemahan dan kesulitan dalam mengendalikan otot atau kegiatan sensorik tertentu di berbagai bagian tubuh. Bila otak penderita MS dipotong, akan terlihat bercak-bercak induratif yang multipel di substansia alba yang membuatnya dinamai multipel sklerosis. Lesi tersebut umumnya berlokasi di periventrikel, korpus kalosum, nervus optikus, dan medula spinalis. Selain itu dapat ditemukan di batang otak dan serebelum. Secara mikroskopis, lesi tersebut menunjukkan destruksi myelin parsial/total. Juga ditemukan infiltrasi perivaskuler dari monosit, limfosit serta makrofag, sedangkan astrosit dan oligodendrosit pada fase lanjut. Pada lesi yang relatif aseluler umumnya aksonnya masih utuh dan terjadi remyelinisasi, sedangkan pada lesi yang infiltratif terjadi degenerasi aksonal.

Gambar 2.1 Perbedaan Neuron yang Sehat dan yang Mengalami Demyelinisasi 1

15

2. ETIOLOGI Etiologi dari kelainan tersebut masih belum jelas. Ada beberapa mekanisme penting yang menjadi penyebab timbulnya bercak MS yaitu autoimun, infeksi, dan herediter. Meskipun bukti yang meyakinkan kurang, faktor makanan dan paparan toksin telah dilaporkan ikut berkontribusi juga. Mekanisme ini tidak saling berdiri sendiri melainkan merupakan gabungan dari berbagai faktor. a. Virus : infeksi retrovirus akanmenyebabkan kerusakan oligodendroglia b. Bakteri : reaksi silang sebagai respon perangsangan heat shock protein sehingga menyebabkan pelepasan sitokin c. Defek pada oligodendroglia d. Genetika : penurunan kontrol respon immun e. Lain-lain : toksin, endokrin, stress 3. PATOFISIOLOGI Mekanisme autoimun diduga terjadi melalui penurunan aktifitas limfosit T-supresor pada sirkulasi pasien penderita MS serta adanya molecular mimicry antara antigen dan MBP (myelin basic protein) yang mengaktifkan klon sel T yang spesifik terhadap MBP (MBP specific T-cell clone). Limfosit T4 menjadi autoreaktif pada paparan antigen asing yang strukturalnya mirip dengan MBP. Tidak hanya beberapa virus dan peptida bakteri saja yang memiliki kesamaan struktural dengan MBP, tetapi beberapa dari mikroorganisme tersebut dapat mengaktifkan MBP-spesifik T-sel klon pada pasien MS. Beberapa infeksi virus diketahui menyebabkan demyelinasi pada manusia diantaranya progressive multifocal leukoencephalopathy yang disebabkan oleh papilloma virus JC, subakut sclerosing panencephalitis oleh virus campak. Pada MS studi serologis awal sulit ditafsirkan. Namun, banyak pasien MS terdapat elevasi titer CSF terhadap virus campak dan herpes simpleks (HSV), tetapi ini juga tidak spesifik. 4. KLASIFIKASI MULTIPLE SCLEROSIS Berdasarkan perbedaan klinis dan gejala, terdapat beberapa tipe MS: 1. Relapsing-remitting MS. Banyak kasus umumnya berawal dari bentuk MS yang gejalanya bersifat hilang timbul terutama pada dewasa muda. Merupakan perjalanan klinis yang klasik dari multipel sklerosis dimana terdapat fase relaps dan remisi. Gejala hanya memburuk ketika adanya serangan meskipun dapat berkembang menjadi secondary progressive multiple sclerosis.

2

2. Chronic progressive MS. Gejala secara bertahap memburuk setelah episode serangan pertama dan terus terjadi peningkatan kecacatan tanpa diselingi fase remisi sama sekali. Sering melibatkan penurunan gerakan motorik tubuh, atau kinerja sensorik ( terutama penglihatan). 3. Benign MS. Gejala yang relatif kecil, perkembangan sangat lambat sehingga hampir tak terlihat secara klinis, atau ada sedikit serangan selama masa waktu yang panjang biasanya 15 tahun setelah diagnosis. Ada bukti yang menyebutkan bahwa perjalanan MS mungkin awalnya jinak. Namun, bukti dari penelitian jangka panjang menyebutkan kasus benign MS akhirnya mengakibatkan gejala dan kecacatan yang signifikan, meskipun ini mungkin tidak terjadi selama 20 atau 30 tahun setelah diagnosis. 4. Secondary progressive MS. Relapsing-remitting MS dapat berubah menjadi bentuk secondary progressive MS dimana mulai terjadi penurunan yang relatif stabil namun frekuensi remisi cukup jarang. 5 . MANIFESTASI KLINIS Gambaran klinis yang muncul sesuai dengan daerah lesi yang terkena. Terdapat beberapa gejala dan tanda yang timbul pada MS: • • • • • •

Disfungsi usus dan saluran kencing Menurunnya persepsi nyeri, getaran, dan posisi Kelelahan, kelemahan dan gangguan mobilitas Depresi dan gangguan kognitif atau memori Masalah penglihatan dan pendengaran Tremor, hiperefleksia, spastisitas.



Nistagmus, gangguan koordinasi dan keseimbangan Gejala neurologis yang sering timbul pertama kali pada multipel sklerosis adalah neuritis

optika pada 14-23 % pasien dan lebih dari 50% pasien pernah mengalaminya. Gejala yang dialami adalah penglihatan kabur, pada orang kulit putih biasanya mengenai satu mata, sedangkan pada orang asia lebih sering pada kedua mata. Pada pemeriksaan fisik ditemukan refleks pupil yang menurun, penurunan visus, gangguan persepsi warna dan skotoma sentral. Funduskopi pada fase akut menunjukkan papil yang hiperemis tetapi dapat normal pada neuritis optika posterior/retrobulbar. Sedangkan pada fase kronis dapat terlihat atrofi papil. Selain itu pada neuritis optika umumnya pasien mengeluh nyeri pada orbita yang dapat timbul spontan terus-menerus atau pada pergerakan bola mata. Selain itu terdapat suatu fenomena yang unik yang disebut fenomena Uhthofff dimana gejala penurunan visus ( bersifat temporal)

3

dieksaserbasi oleh suhu panas atau latihan fisik. Diplopia juga dapat muncul pada MS meskipun lebih jarang dibandingkan neuritis optika. Gangguan sensorik merupakan manifestasi klinis awal yang juga sering dialami oleh 21-55 % pasien MS. Umumnya gejala yang timbul berupa rasa baal (hipestesi), kesemutan ( parestesi), rasa terbakar (disestesi) maupun hiperestesi. Kelainan tersebut dapat timbul pada satu ekstremitas atau lebih, dan pada tubuh atau wajah. Selain itu proprioseptif, rasa vibrasi, dan diskriminasi dua titik juga dapat terganggu sehingga menimbulkan kesulitan menulis, mengetik atau mengancing baju. Gejala proprioseptif ini umumnya timbul bilateral dan bila terdapat lesi di daerah lemniskus gangguan proprioseptif tersebut hanya mengenai lengan yang dinamakan useless hand syndrome. Gejala tersebut umumnya mengalami remisi dalam beberapa bulan. Tanda yang sering terjadi pada penderita MS meskipun tidak karakteristik adalah tanda Lhermitte; bila kepala difleksikan secara pasif, timbul parestesi sepanjang bahu, punggung dan lengan. Hal ini mungkin disebabkan akson yang mengalami demyelinisasi sensitivitasnya meningkat terhadap tekanan ke spinal yang diakibatkan fleksi kepala. Gangguan serebelum juga sering terjadi pada MS meskipun jarang menjadi gejala utama. Manifestasi klinisnya ataksia serebelaris, baik yang mengenai gerakan motorik halus (dismetria, disdiadokokinesia, intention tremor), gait, maupun artikulasi (scanning speech, disartria). Selain itu dapat timbul pula nistagmus, terutama yang horizontal bidireksional dan vertikal. Hemiparesis yang diakibatkan lesi kortikospinal dapat terjadi pada MS meski frekuensinya lebih kecil. Demikian juga lesi di medula spinalis dapat menyebabkan sindroma Brown-Sequard atau mielitis transversa yang mengakibatkan paraplegi (umumnya tidak simetris), level sensorik dan gangguan miksi-defekasi. Refleks patologis dan/atau hiperrefleksia bilateral dengan atau tanpa kelemahan motorik merupakan manifestasi yang lebih sering dan merupakan tanda lesi kortikospinal bilateral. Yang karakteristik, meskipun kelemahan hanya pada satu sisi, refleks patologis selalu bilateral. Spastisitas dapat menyebabkan gejala kram otot pada pasien MS. Kelelahan/fatigue merupakan gejala non spesifik pada MS dan terjadi pada hampir 90% pasien MS. Kelelahan dapat merupakan kelelahan fisik pada waktu exercise berlebihan ataupun pada temperatur panas maupun kelelahan/kelambatan mental. Gangguan memori dapat terjadi pada pasien MS. Menurut penelitian Thornton dkk memori jangka pendek, working memori dan memori jangka panjang umumnya terganggu

4

pada pasien MS

(13)

. Selain itu juga didapatkan gangguan atensi. Gangguan emosi berupa

iritabilitas dan afek pseudobulbar berupa forced laughing atau forced crying umum terjadi pada pasien MS disebabkan lesi hemisfer bilateral. Gejala lainnya yang lebih jarang meliputi neuralgia trigeminal (bilateral), gangguan lain pada batang otak berupa paresis n. facialis perifer (bilateral), gangguan pendengaran, tinitus, vértigo, dan sangat jarang penurunan kesadaran (stupor dan koma). 6 . DIAGNOSIS MULTIPLE SCLEROSIS Kriteria diagnostik yang umum dipakai adalah kriteria McDonald yang merupakan kriteria MS dengan konsep asli tahun 2001 dan revisi terakhir tahun 2010. Kriteria McDonald menekankan adanya pemisahan menurut waktu/disseminated in time ( dua serangan atau lebih) dan pemisahan oleh ruang/disseminated in space (dua atau lebih diagnosa topis yang berbeda). Seseorang dinyatakan definite menderita MS bila terjadi pemisahan waktu dan ruang yang dibuktikan secara klinis atau bila bukti secara klinis tidak lengkap tetapi didukung oleh pemeriksaan penunjang (MRI, LCS atau VEP). Tabel 2.1. Kriteria McDonald14

5

Pemisahan secara waktu maksudnya adalah terjadinya dua serangan atau lebih dimana jarak antara dua serangan minimal 30 hari dan satu episode serangan minimal berlangsung 24 jam. Sedangkan pemisahan oleh ruang adalah terdapatnya dua atau lebih gejala neurologis obyektif yang mencerminkan dua lesi yang diagnosis topisnya berbeda. Kriteria definite (disseminated in space) MRI harus meliputi 3 dari 4 kriteria: 1. 2. 3.

Adanya 1 lesi yang besar atau minimal 9 lesi yang kecil Minimal 1 lesi infratentorial Minimal 1 lesi juxtakortikal

4.

Minimal 3 lesi periventrikel.

Selain itu pada MRI dapat terlihat gambaran atrofi korteks yang didahului oleh pembesaran ventrikel.

6

Gambar 2.2. MRI Otak Wanita 25 Tahun dengan Relapsing-Remitting MS Pemeriksaan oligoclonal band dari cairan serebrospinalis/LCS sangat membantu diagnosis MS. Sensitifitas pemeriksaan ini dikatakan dapat mencapai 95% dan bila terdapat peningkatan oligoclonal band pada LCS maka hanya dibutuhkan 2 lesi pada MRI untuk memenuhi kriteria disseminated in space. Pemeriksaan VEP (visual evoked potential) merupakan pemeriksaan penunjang yang cukup sensitif (dibandingkan pemeriksaan evoked potential lain) untuk MS dimana terjadi pemanjangan latensi VEP yang disebabkan adanya demyelinisasi pada nervus optikus. VEP secara dini dapat mendeteksi kelainan meskipun pada pasien MS yang secara klinis belum terdapat gejala klinis neuritis optika. 7 . PENATALAKSANAAN MULTIPLE SCLEROSIS Managemen dan tatalaksana multiple sklerosis mengikuti Clinical Guideline 8 Multiple Sclerosis National Institute for Clinical Excellence tahun 2003. Pola klasifikasi menggunakan tingkatan rekomendasi (A, B, C, D, DS, HSC). Tabel 2.2. Tingkatan rekomendasi Grade A B C D DS HSC

Keterangan Kategori I Kategori II atau dengan penambahan kategori I Kategori III atau dengan penambahan kategori I atau II Kategori IV atau dengan penambahan kategori I, II atau III Berdasarkan bukti diagnostic Berdasarkan pelayanan kesehatan 2002/2004 7

8

Terapi simptomatik Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan diantaranya adalah : 1.

Spasticity, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan program exercise seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya. Medikasi diberikan ketika ada kekakuan, spasme, atau klonus saat beraktivitas atau kondisi tidur. Baclofen, tizanidine, gabapentin, dan benzodiazepine efektif sebagai agen antispastik.

2.

Paroxysmal disorder. Pada berbagai kasus, penggunaan carbamazepin memberikan respon yang baik pada spasme distonik. Nyeri paroxysmal dapat diberikan antikonvulsan atau amitriptilin.

3.

Bladder dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan pemberian terapi infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan ada mendeteksi problem apakah kegagalan dalam mengosongkan bladder atau menyimpan urin. Obat antikolinergik Oxybutinin dan Tolterodine efektif untuk kegagalan dalam menyimpan urin diluar adanya infeksi.

4.

Bowel symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada pasien MS dan harus diterapi sesegera mungkin untuk menghindari komplikasi. Inkontinensia fekal cukup jarang. Namun bila ada, penambahan serat dapat memperkeras tinja sehingga dapat membantu spingter yang inkompeten dalam menahan pergerakan usus. Penggunaan antikolinergik atau antidiare cukup efektif pada inkontinensia dan diare yang terjadi bersamaan.

5.

Sexual symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan libido, gangguan disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan spastisitas, rasa sensasi panas dapat terjadi. Pada beberapa pasien MS, gangguan disfungsi ereksi dapat diatasi dengan sildenafil.

6.

Neurobehavior manifestation. Depresi terjadi lebih dari separuh dari pasien dengan MS. Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat dilakukan terapi suportif. Pasien dengan depresi berat sebaiknya diberikan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) yang memiliki efek sedative yang lebih kecil disbanding antidepresan lain. Amitriptilin dapat digunakan bagi pasien yang memiliki kesulitan tidur atau memiliki sakit kepala.

7.

Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau penggunaan medikasi. Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup efektif. Modafinil, obat narcolepsy yang bekerja sebagai stimulant SSP telah ditemukan memiliki efek yang bagus pada pasien MS. Obat diberikan dengan dosis 200 mg satu kali sehari pada pagi hari. SSRIs juga dapat menghilangkan kelelahan pada pasien MS. Amantadine memiliki efek anti influenza A dan baik diberikan pada Oktober hingga Maret.

9

Terapi relaps 1.

Adrenal Kortikosteroid. Kortikosteroid merupakan terapi andalan dalam mengurangi gejala-gejala MS relaps akut. Agen ini bekerja melalui efek imunomodulator dan antiinflamasi, pemulihan blood brain barier, dan pengurangi edema. kortikosteroid juga dapat meningkatkan konduksi aksonal. Terapi kortikosteroid memperpendek durasi relaps akut dan mempercepat pemulihan. Namun, kortikosteroid belum bisa meningkatkan pemulihan secara keseluruhan MS. Jika seorang pasien menjadi cacat setalah mendapat serangan akut, dokter harus mempertimbangkan pengobatan dengan intravena metilprednisolon selama tiga hingga lima hari (atau kortikosteroid yang setara) dalam dosis 1 g diberikan secara intravena dalam 100 mL normal salin selama 60 menit sekali sehari di pagi hari.

2.

Perawatan lainnya. Pada pasien dengan MS, fisoterapi harus selalu dilakukan untuk meningkatkan fungsi dan kualitas hidup dari ketergantungan obat therapy. Perawatan pendukung berupa konseling, terapi okupasi, saran dari sosial, masukan dari perawat, dan partisipasi dalam patient support group merupakan bagian dari perawatan kesehatan dengan pendekatan tim dalam pengelolaan MS. Pasien dengan MS sering tergoda untuk mencoba terapi alternatif seperti diet khusus, vitamin, sengatan lebah, atau akupunktur. Meskipun bukti definitif efektivitas perawatan ini kurang.

Disease-Modifying Therapies Terapi yang diberikan hanya meminimalkan timbulnya serangan, mengurangi efek serangan, dan memperpanjang masa remisi. Disease-modifying therapies untuk pengelolaan awal MS saat ini yang tersedia di Amerika Serikat: intramuskular interferon beta-1a (Avonex), subkutan interferon beta-1a (Rebif), interferon beta-1b (Betaseron), dan glatiramer asetat (Copaxone). Agen kelima, mitoxantrone (Novantrone), telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan relapsing–remitting MS dan sekunder progresif MS yang memburuk. 1.

Interferon beta. Interferon beta merupakan sitokin alami yang berfungsi sebagai imunomodulasi dan memiliki aktivitas antivirus. Tiga interferon beta disetujui FDA yang digunakan untuk MS telah terbukti mengurangi kekambuhan sekitar sepertiga dan direkomendasikan sebagai terapi lini pertama atau untuk pasien yang intoleran dengan glatiramer pada relapsing-remitting MS. Pada studi randomized double blind placebo control trial, penggunaan interferon beta dapat mengurangi 50 sampai 80 persen lesi

10

inflamasi yang divisualisasikan pada MRI otak. Ada juga bukti bahwa obat ini meningkatkan kualitas hidup dan fungsi kognitif. Influenza-like symptom seperti demam, menggigil, malaise, nyeri otot, dan kelelahan, terjadi pada sekitar 60 persen pasien yang diobati dengan interferon beta-1a atau interferon beta-1b. Gejala ini biasanya menghilang dengan terapi lanjutan dan premedikasi dengan obat anti-inflamasi non-steroid. Untuk mengurangi gejala dapat dilakukan dengan pengaturan dosis titrasi pada waktu inisial terapi interferon beta. Efek samping lain dari interferon beta termasuk reaksi alergi pada tempat injeksi, depresi, anemia ringan, trombositopenia, dan meningkatnya kadar transaminase. Efek samping ini biasanya tidak berat dan jarang menyebabkan penghentian pengobatan. 2.

Glatiramer. Obat ini merupakan campuran polipeptida yang pada awalnya dirancang untuk meyerupai dan bersaing dengan protein dasar myelin. Glatiramer dalam dosis 20 mg subkutan sekali sehari telah terbukti mengurangi frekuensi kambuh MS sekitar sepertiga. Obat ini juga direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama pada pasien dengan Relapsing-Remitting MS dan bagi pasien yang tidak dapat mentolerir interferon beta. Hasil terapi glatiramer mampu mengurangi sepertiga proses inflamasi yang terlihat pada MRI. Glatiramer umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan tidak menimbulkan influenzalike symptoms. Reaksi post injeksi termasuk peradangan lokal dan reaksi yang tidak umum seperti flushing, sesak dada dengan jantung berdebar, gelisah, atau dispnea dapat sembuh spontan tanpa gejala sisa. Pemantauan rutin laboratorium tidak diperlukan pada pasien yang diobati dengan glatiramer, dan kempuan antibodi dalam mengikat antigen juga tidak terganggu.

3.

Mitoxantrone. Sebuah studi klinis menemukan bahwa mitoxantrone, sebuah agen antineoplastik anthracenedione, dapat mengurangi jumlah relaps MS sebesar 67 persen dan memperlambat perkembangan. Mitoxantrone dianjurkan untuk digunakan pada pasien dengan bentuk Progressive MS. Efek samping akut mitoxantrone termasuk mual dan alopecia. Karena juga adanya cardiotoxicity kumulatif, obat dapat digunakan hanya untuk dua sampai tiga tahun (atau untuk dosis kumulatif 120-140 mg per m2). Mitoxantrone adalah agen kemoterapi yang harus diresepkan dan dikelola oleh para perawat kesehatan profesional yang berpengalaman.

8.

KOMPLIKASI 1. Depresi 2.

Kesulitan dalam menelan 11

9.

3.

Kesulitan berppikir dan berkonsentrasi

4.

Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri

5.

Membutuhkan kateter

6.

Osteoporosis

7.

Infeksi saluran kemih

PROGNOSIS Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan memiliki cacat fisik yang

signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah onset. Kurang dari 5-10% dari pasien memiliki fenotipe MS klinis ringan, di mana tidak ada cacat fisik yang signifikan terakumulasi meskipun berlalu beberapa dekade setelah onset (kadang-kadang terlepas dari lesi baru yang terlihat pada MRI). Pemeriksaan rinci dalam banyak kasus, mengungkapkan beberapa tingkat kerusakan kognitif. Pasien laki-laki dengan MS progresif primer memiliki prognosis terburuk, dengan respon yang kurang menguntungkan untuk pengobatan dan cepat menimbulkan kecacatan. Insiden yang lebih tinggi dari lesi sumsum tulang belakang di MS progresif primer juga merupakan faktor dalam perkembangan pesat dari kecacatan. Harapan hidup dipersingkat hanya sedikit pada orang dengan MS, dan tingkat kelangsungan hidup terkait dengan kecacatan. Kematian biasanya terjadi akibat komplikasi sekunder (50-66%), seperti penyebab paru atau ginjal, tetapi juga dapat disebabkan oleh komplikasi utama, bunuh diri, dan menyebabkan tidak berhubungan dengan MS. Marburg varian dari MS adalah bentuk akut dan klinis fulminan penyakit yang dapat menyebabkan koma atau kematian dalam beberapa hari.

12

DAFTAR PUSTAKA 1. Fisher, Naomi D. L., Williams, Gordon H. Hypertensive Vascular Disease. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th Edition. McGraw Hill. USA. 2005. 2. Munger.K, Levin L, Holis B, Howard M, Ascherio A. Serum 25Hidroksivitamin D Levels and Risk of Multiple Sclerosis. Report: JAMA 2006:296:2832-2838 3. Simon R. Motor Deficit. Clinical Neurology.7 th. McGraw Hill. USA. 2009. 4. Malan LK, Stump SE. Krause’s. Food, Nutrition, and Diet Theraphy. 11

th

Edition. Saunders. USA. 2004:1109-1111 5. Kira. J, Tobimatsu S, Gotto I. Vitamin B 12 Metabolisme and Massive Dose Methyl Vitamin B12 Therapy in Japanese Patients ith Multiple Sclerosis. Report :Internal Medicine 1994:33:82-86 6. About MS. 2012. Bayer HealthCare Pharmaceuticals. Available from: http://www.multiplesclerosis.com/global/about_ms.php

was

accessed

on

October 19th, 2012 7. Multiple sclerosis. 2012. Medscape References. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1146199-overview was accessed on October 19th, 2012 8. McDonald

Criteria.

2011.

Wikipedia.

Available

from:

http://en.wikipedia.org/wiki/McDonald_criteria was accessed on October 19th, 2012 9. Multiple

Sclerosis.

Pubmed

Health

Medicine.

Available

from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001747/ was accessed on October 19th, 2012

13

Related Documents

Laporan
August 2019 120
Laporan !
June 2020 62
Laporan
June 2020 64
Laporan
April 2020 84
Laporan
December 2019 84
Laporan
October 2019 101

More Documents from "Maura Maurizka"