Laporan Kasus Massa Tonsil Ibnu Wp.docx

  • Uploaded by: Ibnu wp
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Kasus Massa Tonsil Ibnu Wp.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,364
  • Pages: 37
BAB I PENDAHULUAN I.1

Latar Belakang Tumor tonsil merupakan salah satu jenis tumor yang terdapat di rongga

mulut, karena tonsil merupakan bagian rongga mulut yang terdapat di palatum durum. Tumor tonsil dapat bersifat jinak maupun ganas, biasanya hanya mengenai satu tonsil saja. Penyebab tumor ini belum diketahui dengan pasti, tapi diduga sering berhubungan dengan erat dengan merokok, penyalahgunaan alkohol, memamah sirih dan tembakau. Tumor jinak tonsil jarang ditemui, karena penderita tidak mengalami gangguan yang berarti sehingga mereka jarang berobat ke dokter. Biasanya tumor ganas ini terlambat ditangani karena gejalanya yang kurang khas. Gejala awal dari tumor tonsil biasanya diawali dengan pembesaran tonsil yang hanya sebelah. Adanya rasa seperti banda asing di tenggorok, rasa nyeri yang menjalar ke leher serta pembengkakan leher. Pada stadium lanjut maka akan didapatkan gejala perdarahan di rongga mulut, sukar membuka mulut dan sukar menelan. Dari gejala klinik perlu juga dilakukan pemerikasaan laboratorium (tes fungsi hati, radiologi (CT-Scan) dan biopsi lesi untuk membantu diagnosa pasti Tumor tonsil. Penatalaksanaan dan prognosis tumor tonsil tergantung pada stadium tumor.

1

BAB II STATUS PASIEN

II.1 IDENTITAS PASIEN Nama

: Ny. N

Jenis kelamin

: Perempuan

Tanggal Lahir / Usia

: 21-Mei-1969 / 49 thn

Alamat

: Rawamangun, Jakarta Timur

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Tanggal Berobat

: 15-03-2019

II.2 ANAMNESIS (SUBJEKTIF) Anamnesis telah dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 16 Maret 2019 di Ruang Melati Atas RSUP Persahabatan pukul 07.00 WB II.2.1 Keluhan Utama : Rasa mengganjal ditenggorokan II.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke poli THT RS Persahabatan dengan keluhan perasaan mengganjal di tenggorokan sejak 1 tahun terakhir. Keluhan dirasakan memberat sejak 1 minggu terakhir, perasaan mengganjal dirasakan terus menerus, tidak ada faktor yang memperingan dan memperberat keluhan pasien. Pasien mengeluhkan nafsu makannya menurun dan berat badannya sudah turun 3 Kg sejak 2 minggu terakhir. Keluhan nyeri menelan (-), mual (-), muntah (-), demam (-), sesak nafas (-), benjolan pada leher (-). Pasien mengaku sering pilek dan batuk berulang sejak 2 tahun terakhir. Pasien juga mengaku sering mengalami radang tenggorokan. Namun pasien menyangkal bersin - bersin yang hebat di pagi hari serta menyangkal adanya alergi dingin, alergi debu dan alergi makanan. Pasien juga menyangkal adanya lendir yang tertelan dari hidung, nyeri di daerah tulang pipi, maupun di daerah 2

kening serta tidak ada rasa berat atau nyeri saat menunduk. Merokok, penggunaan obat – obatan, alkohol dan sering makan - makanan dengan bahan pengawet disangkal. II.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu : - Riwayat batuk pilek berulang (+) - Riwayat radang tenggorokan berulang (+) - Riwayat Alergi disangkal - Riwayat Asma disangkal - Riwayat penyakit jantung disangkal II.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga : - Tidak ada keluhan serupa pada keluarga II.2.5 Riwayat Pengobatan : - Selama 2 tahun terakhir pasien hanya berobat di klinik ketika merasakan nyeri saat menelan dan biasanya hanya meminum obat tablet anti radang. II.3 PEMERIKSAAN FISIK (OBJEKTIF) Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan darah

: 130/80 mmHg

Nadi

: 86 x/menit

Suhu

: 36.8 C

Pernapasan

: 20 x/menit

Berat Badan

: 61 kg

Tinggi Badan

: 162 cm

BMI

: Normal

II.3.1 Status Generalis : Kepala

: Normocephal

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+) pupil bulat isokor 3

Telinga

: Lihat status lokalis

Hidung

: Lihat status lokalis

Mulut

: Mukosa bibir lembab, gusi berdarah (-), gigi ada karies (-)

Tenggorok

: Lihat status lokalis

Leher

: Lihat status lokalis

Ekstremitas

: Akral hangat, udem (-/-), CRT < 2 detik

II.3.2 Status Lokalis THT : 1. Telinga AD Normotia, hiperemis (-),

AS Aurikula

Normotia, hiperemis (-),

edema (-), helix sign (-),

edema (-), helix sign (-),

tragus sign (-)

tragus sign (-)

Tanda radang (-), pus (-),

Preaurikula

nyeri tekan (-), fistula (-)

edema (-), hiperemis (-),

Tanda radang (-), pus (-), nyeri tekan(-), fistula (-)

Retroaurikula

edema (-), hiperemis (-),

nyeri tekan (-), fistula (-),

nyeri tekan (-), fistula (-),

tumor (-), sikatriks (-)

tumor (-), sikatriks (-)

Hiperemis (-), edema (-),

MAE

Hiperemis (-), edema(-),

sekret (-), serumen (-),

sekret(-), serumen (-),

massa (-)

massa (-)

4

Refleks cahaya (+),

Membran timpani

Refleks cahaya (+),

perforasi (-), sekret (-),

perforasi (-),

serumen (-)

sekret (-), serumen (-)

+

Uji Rinne

+

Tidak ada lateralisasi

Uji Weber

Tidak ada lateralisasi

Normal

Schwabach

Normal

2. Hidung Rhinoskopi anterior Kanan

Kiri

Lapang

Kavum Nasi

Lapang

(-)

Sekret

(-)

Deviasi (-)

Septum

Deviasi (-)

Hipertrofi (-)

Konka inferior

Hipertrofi (-)

Hiperemis (-)

Mukosa

Hiperemis (-)

(-)

Massa

(-)

Sinus Paranasal (-)

Pembengkakan Wajah

(-)

(-)

Nyeri Tekan Dahi

(-)

Nyeri Tekan (-)

Media Orbita Nyeri Tekan Pipi

(-)

(-) (-)

3. Tenggorokan Nasofaring (Rhinoskopi posterior) Sulit dinilai

Konka superior

Sulit dinilai

Hiperemis (-)

Muara tuba

Hiperemis (-)

5

Hiperemis (-)

Torus tubarius

Hiperemis (-)

Hiperemis (-)

Fossa Rossenmuller

Hiperemis (-)

Hipertrofi (-)

Adenoid

Hipertrofi (-)

Pemeriksaan Orofaring Kanan

Kiri Mulut

Hiperemis (-) Hiperemis (-) Karies (-) Simetris Hiperemis (-) T2 (Tampak Massa) melebar + Tenang -

Mukosa mulut Palatum molle Gigi geligi Uvula Tonsil Mukosa

Hiperemis (-) Hiperemis (-) Karies (-) Simetris Hiperemis (-)

Besar tonsil T2 Kripta Detritus Perlengketan Faring Mukosa Granula Post nasal drip

Melebar + Tenang -

Laringofaring (Laringoskopi indirect) Epiglotis Plika ariepiglotika Plika ventrikularis

Tidak Dilakukan

Plika vokalis Rima glotis

6

4. Leher Pemeriksaan Kelenjar Tiroid dan KGB Kanan

II.4

Kiri

Pembesaran (-)

Tiroid

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar submental

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar submandibula

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar jugularis superior

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar jugularis media

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar jugularis inferior

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar suprasternal

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar supraklavikularis

Pembesaran (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

II.4.1 Pemeriksaan Laboratorium (27 Februari 2019) NAMA TES

HASIL

UNIT

NILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI Hemoglobin

12

g/dl

12.5 – 16.0

Hematokrit

33.5 (L)

%

36 - 47

Eritrosit

3.93 (L)

10^6/µL

4.00 – 5.50

Leukosit

6.31

10^3/µL

5.00 – 10.00

Trombosit

360

10^3/µL

150 - 400

Masa Perdarahan IVY

4’

menit

1.00 – 6.00

Masa Pembekuan Lee & White

10’

menit

10-15

PT Pasien

10.3

detik

9.8 – 11.2

Kontrol

11.3

detik

HEMOSTASIS

PT + INR Masa Protrombin (PT)

7

INR

0.92

APTT APTT Pasien

31.0 – 47.0

29.5 (L)

detik

33.2

detik

SGOT (AST)

15

U/L

5-34

SGPT (ALT)

16

U/L

0-55

Ureum

15

mg/dL

15 - 40

Kreatinin

0.6

mg/dL

0.6 - 1.2

GDS

75

mg/dL

70-200

Kontrol KIMIA KLINIK

II.4.2 Pemeriksaan Radiologi (27 Februari 2019)

- Thorax : Dalam Batas Normal II.5 DIAGNOSIS KERJA - Tumor Tonsil II.6 TATALAKSANA II.6.1 Medikamentosa - IVFD RL 500 ml / 8 jam - Ceftriaxon 1 x 2 gr IV

8

II.6.2 Non Medikamentosa - Menjaga higiene mulut II.6.3 Operatif - Tonsilektomi Ekstirpasi II.7

PROGNOSIS - ad vitam

: ad bonam

- ad functionam

: ad bonam

- ad sanationam

: ad bonam

9

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ANATOMI Faring Faring terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan laring. Bentuknya mirip corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai eosophagus setinggi vertebra cervicalis enam. Dinding faring terdiri atas tiga lapis yaitu mukosa, fibrosa, dan muskular.

Berdasarkan letak, faring dibagi atas tiga bagian yaitu : nasofaring, orofaring, dan laringofaring. 1. Nasofaring Nasofaring terletak dibelakang rongga hidung, di atas palatum molle. Nasopharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars

10

basilaris ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila pharyngeal, yang terdapat didalam submucosa. Bagian dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang miring. Dinding anterior dibentuk oleh aperture nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir posterior septum nasi. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis. Dinding lateral pada tiap-tipa sisi mempunyai muara tuba auditiva ke faring. Kumpulan jaringan limfoid di dalam submukosa di belakang muara tuba auditiva disebut tonsila tubaria.

11

2. Orofaring Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, kedepan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Orofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan isthmus pharygeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam submukosa permukaa bawah palatum molle. Bagian dasar dibentuk oleh sepertiga posterior lidah dan celah antara lidah dan permukaan anterior epiglotis. Membrana mukosa yang meliputi sepertig posterior lidah berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid dibawahnya, yang disebut tonsil linguae. Membrana mukosa melipat dari lidah menuju ke epiglotis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut plica glosso epiglotica mediana, dan dua plica glosso epiglotica lateralis. Lekukan kanan dan kiri plica glosso epiglotica mediana disebut vallecula. Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus oropharynx (isthmus faucium). Dibawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus linguae. Dinding posterior disokong oleh corpos vertebra cervicalis kedua dan bagian atas corpus vertebra cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palate glossus dengan tonsila palatina diantaranya.

12

Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior pharynx, tonsil palatina, fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan posterior, uvula, tonsila lingual dan foramen sekum. 

Fossa Tonsilaris Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada dinding lateral oropharynx diantara arcus palatoglossus di depan dan arcus palatopharyngeus dibelakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina. Batas lateralnya adalah m.konstriktor pharynx superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supra tonsila. Fossa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah keluar bila terjadi abses. Fossa tonsila diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukopharynx.



Tonsil Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsila lingual yang ketigatiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak didalam fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong pharynx yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral rongga mulut. Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia pharynx yang sering juga disebut kapsul tonsil.

13

Kapsul ini tidak melekat erat pada otot pharynx, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.

Tonsil mendapat darah dari arteri palatina minor, arteri palatine asendens, cabang tonsil arteri maksila eksterna, arteri pharynx asendens dan arteri lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkum valata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan kista duktus tiroglosus. Vena-vena menembus m.constrictor pharyngeus superior dan bergabung dengan vena palatine eksterna, vena pharyngealis, atau vena facialis. Aliran limfe pembuluh-pembuluh limfe bergabung dengan nodi lymphoidei profundi. Nodus yang terpenting dari kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae. 3. Laryngofaring Laryngofaring terletak di belakang aditus larynges dan permukaan posterior larynx, dan terbentang dari pinggir atas epiglotis sampai dengan pinggir bawah cartilage cricoidea. Laryngofaring mempunyai dinding anterior, posterior dan lateral. Dinding anterior dibentuk oleh aditus laryngis dan membrane mukosa yang meliputi permukaan posterior laring. Dinding 14

posterior disokong oleh corpus vertebra cervicalis ketiga, keempat, kelima, dan keenam. Dinding lateral disokong oleh cartilage thyroidea dan membrane thyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada membrana, disebut fossa piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus laryngis. 3.2 FISIOLOGI TONSIL Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris di kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta. Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan antigen makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear pertama-tama akan mengenal dan mengeliminasi antigen. Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap

15

bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk membantu melawan infeksi. Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Secara mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid). Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun. 3.3 HISTOLOGI TONSIL Secara umum bila dilihat secara mikroskopis tonsil memiliki tiga komponen yaitu jaringan ikat, jaringan interfolikuler, jaringan germinativum. Jaringan ikat berupa trabekula yang berfungsi sebagai penyokong tonsil. Trabekula merupakan perluasan kapsul tonsil ke parenkim tonsil. Jaringan ini mengandung pembuluh darah, syaraf, saluran limfatik efferent. Permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel statified squamous. Jaringan germinativum terletak dibagian tengah jaringan tonsil, merupakan sel induk pembentukan sel-sel limfoid.

16

Tonsil terbagi menjadi 3, dengan histologis yang berbeda pula tergantung letak tonsil. 1. Palatine Tonsil Tonsil

palatine

terletak

didalam

jaringan

ikat

mukosa

dan

permukaannya dilapisi oleh epitel berlapis pipih tak menanduk yang menyatu dengan epitel yang melapisi mulut dan faring. Epitel ini terletak di lamina basal, dan di bawahnya terdapat lapisan tipis jaringan ikat fibrosa. Tonsil ini memiliki cekungan-cekungan dalam, sebanyak 10-12 buah yang sering kali terdapat debris. Debris inilah yang terkadang menyebabkan bau pada rongga mulut. Cekungan ini disebut kriptus. Tonsil iniMempunyai nodulus limfatikus primer dan nodulus limfatikus sekunder (dengan sentrum germinativum). Kriptus dipisahkan dengan struktur yang berdekatan oleh kapsula jaringan ikat. 2. Faringea Tonsil Tonsila faringea berjumlah tunggal dan terletak pada pangkal lidah dibelakang papila sirkumvalata. Tonsil ini dibungkus oleh epitel berlapis semu. Sebagai penggantinya kriptus, tonsil ini mempunyai lipatanlipatan memanjang. Namun cekukakannya dangkal, yang dinamakan pleat.

Tonsil ini juga mempunyai nodulus limfatikus primer dan

nodulus limfatikus sekunder. 3. Lingualis Tonsil Tonsil lingualis ini berukuran kecil dan mempunyai beberapa nodul limfoid di dorsal lidah. Setiap satu kripte memiliki nodul. Permukaannya dibungkus oleh epitel berlapis pipih tak menanduk. Tonsil ini juga mempunyai kriptus yang dalam, yang sering mengandung debris sel. Duktus kelenjar mukosa lidah posterior sering terbuka ke dasar kriptus ini.

17

3.4 VASKULARISASI TONSIL Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal. 3.5 ALIRAN GETAH BENING Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada. 3.6 PERSARAFAN Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.

18

3.7 IMUNOLOGI TONSIL Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. a. TUMOR TONSIL Definisi Tumor tonsil merupakan salah satu jenis tumor yang terdapat di rongga mulut, karena tonsil merupakan bagian rongga mulut yang terdapat di palatum durum. Tumor tonsil dapat bersifat jinak maupun ganas, biasanya hanya mengenai satu tonsil saja. Penyebab tumor ini belum diketahui dengan pasti, tapi diduga sering berhubungan dengan erat dengan merokok, penyalahgunaan alkohol, memamah sirih dan tembakau. Tumor jinak tonsil jarang ditemui, karena penderita tidak mengalami gangguan yang berarti sehingga mereka jarang berobat ke dokter. Biasanya tumor ganas ini terlambat ditangani karena gejalanya yang kurang khas. Epidemiologi Keganasan tonsil merupakan keganasan di Amerika Serikat dengan angka lebih dari 0,5% dari semua jenis keganasan setiap tahunnya. Lebih dari 8000 karsinoma orofaringeal didiagnosis di Amerika Serikat setiap tahunnya. Sebuah badan patologi di Amerika mempunyai data dari tahun 1945 – 1976 ada sekitar 70% lebih dari keganasan di wilayah ini adalah karsinoma sel skuamosa. 19

Karsinoma sel skuamosa menyerang 3 – 4 kali lebih sering pada laki – laki dibandingkan wanita dan sebagian besar berkembang dalam dekade kelima kehidupan. Limfoma tonsil adalah keganasan yang paling sering terjadi nomer dua.2 Etiologi Menurut National Cancer Institute, faktor risiko karsinoma sel skuamosa termasuk merokok dan penyalahgunaan etanol. Baru – baru ini ada indikasi bahwa etiologi virus juga harus dipertimbangkan. Meskipun virus Epstein – Barr ( EBV ) merupakan pertimbangan utama pada karsinoma nasofaring, Human Papilloma Virus ( HPV ) telah terbukti sebagai ancaman. Beberapa studi telah mengidentifikasi indikasi kehadiran HPV pada sekitar 60% dari karsinoma tonsil. Bila tonsil termasuk dalam studi wilayah orofaring, maka faktor risiko meliputi : - Diet rendah buah dan sayuran - Infeksi HPV - Merokok - Alkohol 2 HPV adalah virus DNA rantai ganda yang menginfeksi sel – sel basal epitel dan dapat ditemukan sampai dengan 36% dari karsinoma sel skuamosa orofaring. Meskipun lebih dari 100 strain yang telah diisolasi, HPV tipe 16 dan 18 paling sering dikaitkan dengan kanker. Kode genom virus untuk oncoproteins E6 dan E7, yang telah meningkatkan aktivitas di strain yang bersifat onkogenik. Oncoprotein E6 menyebabkan degradasi tumor suppressor p53. Oncoprotein E7 merupakan tumor suppressor retinoblastoma ( Rb ). Hilangnya pRB menyebakan akumulasi p16, yang biasanya akan menghambat perkembangan siklus sel melalui siklin D1 dan CDK4 / CDK6. Karena akumulasi ini, p16 dapat digunakan sebagai penanda aktivitas HPV.6

20

Patofisiologi Karsinoma sel skuamosa tonsil mungkin terbatas pada fosa tonsil, tetapi perluasan pada ke struktur yang berdekatan sering terjadi. Karsinoma umumnya menyebar sepanjang sulkus glosotonsilar melibatkan dasar lidah. Selain itu, penyebaran sering melibatkan palatum mole atau nasofaring. Fosa tonsil dibatasi oleh otot superior konstriktor yang mungkin berisi penyebaran karsinoma. Namun ketika otot konstriktor dilampaui, ini menjadi keuntungan tumor untuk mengakses ke ruang parafaring. Ini melibatkan otot – otot pterigoid atau mandibular. Penyebaran ke arah superior dari ruang parafaring bisa melibatkan dasar tengkorak dan penyebaran ke arah inferior bisa melibatkan leher bagian lateral. Akhirnya keterlibatan yang luas dalam ruang parafaring mungkin melibatkan arteri karotis. Metastase ke daerah limfatik sering terjadi. Metastase ke leher sebanyak kurang lebih 65%. Karsinoma sel skuamosa tonsil juga dapat bermetastase ke kelenjar getah bening retrofaring. Metastase jauh dari karsinoma sel skuamosa tonsil terjadi sekitar 15 – 30%. Lokasi yang paling umum adalah paru – paru, diikuti oleh hati dan kemudian tulang.7 Klasifikasi a. Tumor Tonsil Jinak 1) Kista Tonsil Kista epitel tonsil merupakan jenis yang cukup sering. Permukaannya berkilau, halus, dan berwarna putih atau kekuningan. Kista ini tidak memberikan gejala apapun, akan tetapi kista yang lebih besar akan menyebabkan suatu benjolan di tenggorokan dan mungkin perlu di operasi.

21

Gambar 8. Kista Tonsil 2) Papiloma Tonsil Papilloma skuamosa biasanya terlihat menggantung dari pedicle uvula, tonsil atau pilar. Tampak massa bergranular yang timbul dari pilar anterior pada bagian posteriornya.

Gambar 9. Papiloma Tonsil

22

3) Polip Tonsil Massa tonsil tersebut menunjukkan gambaran polip pada pemeriksaan histologi.8

Gambar 10. Polip Tonsil

b. Tumor Tonsil Ganas 1) Karsinoma Sel Skuamosa Tonsil Karsinoma sel skuamosa tonsil menunjukkan pembesaran dan ulserasi dari tonsil, tapi bisa juga tidak selalu disertai dengan ulserasi. Tampilannya hampir sama dengan limfoma dan hanya dapat dibedakan dengan pemeriksaan histologis. Sekitar 90% kanker tonsil adalah karsinoma sel skuamosa. Tumor ini relatif sering terjadi terutama pada usia 50 dan 70. Perbandingan laki – laki dan perempuan adalah 3 – 4 : 1 dan sering dikaitkan dengan perokok dan peminum alcohol. 60% pasien datang dengan metastase ke serviks bilateral sebanyak 15%, sedangkan metastase jauh ditemukan sekitar 7%.2

23

Gambar 11. Karsinoma Sel Skuamosa

a) Etiologi Menurut National Cancer Institute, faktor risiko karsinoma sel skuamosa termasuk merokok dan penyalahgunaan etanol. Baru – baru

ini

ada

indikasi

bahwa

etiologi

virus

juga

harus

dipertimbangkan. Meskipun virus Epstein – Barr ( EBV ) merupakan pertimbangan utama pada karsinoma nasofaring, Human Papilloma Virus ( HPV ) telah terbukti sebagai ancaman.2 HPV adalah virus DNA rantai ganda yang menginfeksi sel – sel basal epitel dan dapat ditemukan sampai dengan 36% dari karsinoma sel skuamosa orofaring.9 b) Gambaran histologis Karsinoma sel skuamosa tonsil palatina adalah sel dengan diferensiasi buruk. Varian berikut meskipun pada dasarnya adalah karsinoma sel skuamosa, di daerah ini telah dijelaskan yaitu carcinoma basosquamos Nonkeratinizing carcinoma ( sel transisional

24

atau tipe sinonasal ), dan yang lainnya yaitu undifferentiated atau lymphoepithelioma type. 2) Limfoma Tonsil Limfoma sulit dibedakan dengan “ undifferentiated “ karsinoma dan limfoma marker diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Studi tersebut memerlukan sejumlah besar jaringan yang dikirim dalam keadaan segar ( dalam normal saline, bukan dalam larutan formaldehida ) kepada ahli patologi. Ini merupakan alasan mengapa setelah tonsilektomi lebih baik di periksa jaringannya. Limfoma merupakan jenis yang paling umum kedua pada keganasan tonsil. Limfoma tonsil biasanya ditandai dengan massa submukosa dan pembesaran asimetris pada salah satu tonsil. Bila terdapat limfadenopati , maka pembesaran kelenjar getah bening diamati pada sisi yang sama. a) Definisi Limfoma maligna adalah kelompok neoplasma maligna / ganas yang muncul dalam kelenjar limfe atau jaringan limfoid ekstra nodal yang ditandai dengan proliferasi atau akumulasi sel-sel asli jaringan limfoid (limfosit, histiosit dengan pra-sel dan derivatnya). b) Epidemiologi Di negara maju, limfoma relatif jarang, yaitu kira-kira 2% dari jumlah kanker yang ada. Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di Indonesia, tumor ini merupakan terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara, dan kulit. Limfoma hodgkin sering pada Usia 20-40 tahun dan sesudah 50 tahun sedangkan limfoma non-hodgin sering pada usia tua dengan puncak di atas 60 tahun. c) Etiologi Limfoma

merupakan

golongan

gangguan

limfoproliferatif.

Penyebabnya tidak diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr yang ditemukan pada limfoma Burkitt. Adanya peningkatan insidens penderita limfoma Hodgkin dan non-

25

Hodgkin

pada

kelompok

penderita

AIDS

(Acquired

Immunodeficiency Syndrome) pengidap virus HIV. d) Klasifikasi Dua kategori besar limfoma dilakukan atas dasar histopatologi mikroskopik dari kelenjar limfe yang terlibat. Kategori tersebut adalah limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin. e) Gejala Klinis (1) Pembengkakan kelenjar getah bening Pada limfoma Hodgkin, 80% terdapat pada kelenjar getah bening leher, kelenjar ini multiple, tidak nyeri dan bebas. Pada limfoma non-Hodgkin, dapat tumbuh pada kelompok kelenjar getah bening lain misalnya pada traktus digestivus atau pada organ-organ parenkim. (2) Demam (3) Gatal-gatal (4) Keringat malam (5) Berat badan menurun lebih dari 10% tanpa diketahui penyebabnya. (6) Nafsu makan menurun. (7) Daya kerja menurun (8) Terkadang disertai sesak nafas (9) Nyeri setelah mendapat intake alkohol (15-20%) (10) Pola perluasan limfoma Hodgkin sistematis secara sentripetal dan relatif lebih lambat, sedangkan pola perluasan pada limfoma nonHodgkin tidak sistematis dan relatif lebih cepat bermetastasis ke tempat yang jauh. f) Diagnosis Palpasi

pembesaran

kelenjar

getah

bening

di

leher

terutama

supraklavikuler, aksila dan inguinal. Mungkin lien dan hati teraba membesar. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan darah

yaitu

hemogram dan trombosit. LED sering meninggi dan kemungkinan ada

26

kaitannya dengan prognosis. Keterlibatan hati dapat diketahui dari meningkatnya alkali fosfatase, SGOT, dan SGPT.

Gambar 12. Sel Reed Sternberg

Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH/ FNAB), Ciri khas sitologi biopsi aspirasi limfoma Hodgkin yaitu populasi limfosit, pleomorfik dan adanya sel Reed-Sternberg. Apabila sel Reed-Sternberg sulit ditemukan adanya sel Hodgkin berinti satu atau dua yang berukuran besar dapat dipertimbangkan sebagai parameter sitologi Limfoma Hodgkin. Penyulit diagnosis sitologi biopsi aspirasi pada Limfoma non-Hodgkin adalah kurang sensitif dalam membedakan Limfoma non-Hodgkin folikel dan difus. Pada Limfoma non-Hodgkin yang hanya mempunyai subtipe difus, sitologi, biopsi aspirasi dapat dipergunakan sebagai diagnosis definitif. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi. Histopatologi biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtipe histopatologi walaupun sitologi biopsi aspirasi jelas limfoma Hodgkin ataupun limfoma non-Hodgkin. (1) Limfoma Hodgkin (a) Limfositik, berdifrensiasi baik (b) Limfositik, berdiferensiasi buruk 27

(c) Sternberg Reed cell (d) Limfositik histiositik (e) Mixed cell (2) Limfoma Non Hodgkin (a) Limfositik predominan (b) Mixed cell (c) Limphositic deplecion (d) Nodular sklerotik g. Stadium (1) Stadium I Bila tumor terdapat pada satu kelompok KGB atau pada organ ekstralimfatik selama masih soliter (2) Stadium II Bila tumor didapat pada 2/> kelompok KGB pada pihak yang sama dari pihak diagfragma/ bila terdapat pada 1 / lebih kelompok KGB disertai tumor soliter ekstralimfatik, namun masih dalam suatu pihak diagfragma (3) Stadium III Bila terkena KGB pada 2 pihak diagfragma, dan apabila ada organ ekstra imfatik terkena, masih soliter (4) Stadium IV Bila penyakit ditemukan difuse pada 1 organ atau > dengan/tanpa terserangnya KGB h. Radiologi 1) Foto thoraks 2) Limfangiografi 3) USG 4) CT scan i. Terapi Akhir-akhir ini angka harapan hidup 5 tahun meningkat dan bahkan sembuh berkat manajemen tumor yang tepat dan tersedianya kemoterapi

28

dan radioterapi. Peranan pembedahan pada penatalaksanaan limfoma maligna terutama hanya untuk diagnosis biopsi dan laparotomi splenektomi bila ada indikasi.10, 11 1) Radiasi a) Untuk stadium I dan II secara mantel radikal b) Untuk stadium III A/B secara total nodal radioterapi c) Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation d) Untuk stadium IV secara total body irradiation 2) Kemoterapi untuk stadium III dan IV Untuk stadium I dan II dapat pula diberi kemoterapi pre radiasi atau pasca radiasi. Kemoterapi yang sering dipakai adalah kombinasi. (1) COP (Untuk limfoma non Hodgkin) (a) C : Cyclophosphamide 800 mg/m2 hari I (b) O : Oncovin 1,4 mg/m2 IV hari I (c) P : Prednison 60 mg/m2 hari I s/d VII lalu tappering off (2) MOPP (untuk Limfoma Hodgkin) (a) M : Nitrogen Mustrad 6 mg/m2 hari 1 dan 8 (b) O : Oncovin 1,4 mg/m2 hari I dan VIII (c) P : Prednison 60 mg/m2 hari I s/d XIV (d) P : Procarbazin 100 mg/m2 hari I s/d XIV.10,11 Manifestasi Klinis Pasien dengan karsinoma tonsil mungkin tampak dengan massa pada leher. Hal ini karena karsinoma muncul jauh di dalam kriptus. Sebuah karsinoma sel skuamosa mungkin berasal dari 1 atau lebih lokasi dari tonsil itu sendiri. Selain itu tonsil juga dapat membesar dan menonjol ke dalam rongga mulut yang menjadikan tanda pada penderita. Tonsil kaya akan kelenjar limfoid berlimpah yang membantu akses neoplasma dan bermetastase ke kelenjar leher. Semua faktor itu menjelaskan mengapa pasien datang dengan massa leher. Pembesaran kelenjar getah bening dengan tumor primer yang tersembunyi harus segera diperiksa lebih lanjut pada tonsilnya. Karsinoma sel skuamosa primer

29

tersembunyi yang bermanifestasi sebagai limfadenopati leher adalah masalah umum yang dihadapi oleh ahli THT. Sakit tenggorokan, sakit telinga, sensasi benda asing di tenggorokan dan perdarahan semuanya mungkin terjadi. trismus adalah sebuah tanda yang mengindikasikan keterlibatan parafaring. Jika massa leher tidak jelas pada pemeriksaan biasa, palpasi mungkin diarahkan ke bagian belakang yang dapat menunjukkan adanya limfadenopati servikal. Jika tumor telah melibatkan dasar lidah, kelenjar kontra lateral mungkin sudah terlibat. Tumor tonsil primer dapat tumbuh sepenuhnya di bawah permukaan. Oleh karena itu, dokter harus dapat melihat apapun yang mencurigakan atau mungkin hanya melihat sedikit peningkatan ukuran tonsil . Tanda dan gejala berupa penurunan berat badan dan kelelahan bukan merupakan hal yang umum pada tumor ini.2 Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium Tes fungsi hati, diperlukan pengetahuan tentang fungsi hati karena untuk mengetahui riwayat diet pasien dan penyalahgunaan etanol yang sering menyebabkan fungsi hati. Selain itu untuk mengetahui metabolisme hepar terhadap pemakaian agen kemoterapi atau obat lain sebelumnya dan terakhir metastase ke hati yang selalu mungkin terjadi. Tes fungsi paru diperlukan pada setiap bedah kepala dan leher yang dapat membawa risiko tambahan komplikasi pernapasan perioperative dan pasca operatif. Tes fungsi ginjal ketika akan memulai kemoterapi, tes fungsi ginjal diperlukan untuk memastikan apakah pasien dapat menghilangkan agen yang ditangani oleh ginjal. Pembekuan dan koagulasi ( termasuk jumlah trombosit dan lain – lain ). Kepala dan leher adalah salah satu daerah yang paling kaya akan vaskularisasi dalam tubuh manusia.

Perdarahan adalah salah satu

masalah besar dalam operasi tonsil.

30

b. Radiologi CT scan leher dengan atau tanpa kontras diperlukan untuk mengevaluasi metastasis dan untuk menilai sejauh mana perkembangan tumor. Hal ini penting dalam staging tumor tonsil. MRI juga sangat berguna untuk menilai ukuran tumor dan invasi jaringan lunak. CT scan dada adalah yang paling sensitive untuk mengungkapkan metastasi ke paru – paru dan karenanya harus menjadi modalitas pilihan, setidaknya pada pasien berisiko tinggi ( stadium 4, T4, N2 atau N3 ataupun tumor yang timbul dari orofaring, laring, hipofaring, atau supraglotis.12 Prosedur Diagnostik Biopsi adalah satu – satunya alat untuk mendiagnosis keganasan tonsil berupa limfoma, karena itu hali patologi dan timnya harus segera siap untuk menangani jaringan dengan tapat. Beberapa jaringan segar mungkin diperlukan untuk studi, yang tergantung waktu dan memerlukan penanganan segera. Beberapa jaringan harus dibekukan dalam nitrogen cair. Pertimbangan lain yang sangat penting adalah kenyataan bahwa karsinoma sel skuamosa biasanya timbul jauh di dalam kripta. Hal ini memerlukan ahli bedah untuk mengambil biopsy yang mendalam sehingga neoplasma tidak meleset. Mengingat kecenderungan lesi ini bisa menimbulkan perdarahan yang merupakan prosedur yang rumit maka ahli bedah harus siap untuk yang hal yang tak terduga. Panendoskopi, endoskopi operatif memungkinkan ahli bedah untuk menilai sepenuhnya tentang tumor. Hal ini sangat membantu ketika memilih antara pendekatan bedah terbuka dan endoskopi. Bronkoskopi dan esofagoskopi digunakan untuk menilai tumor primer yang mungkin hadir pada saat diagnosis. Tes HPV merupakan rekomendasi National Comprehensive Cancer Network ( NCCN ) sebagai faktor prognosis. Quantitative reverse transcriptase pcr ( QRT – PCR ) memungkinkan perhitungan jumlah relatif dari mRNA yang ada pada sampel. HPV – 16 ini paling sering digunakan untuk memeriksa

31

karsinoma orofaring. Hal ini bersifar sensitif dan spesifik. P-16 dapat diuji sebagai biomarker untuk aktivitas HPV E7.2 Staging Klasifikasi tumor ganas leher dan kepala pertama kali disampaikan oleh pierre denoy dari prancis tahun 1953, terdapat kesepakatan pertama kalinya pada Internatinal Congress of Radiology tetang perluasan tumor, dalam sistim TNM dan disetujui sebagai sistim dari Union International Centre le Cancer (UICC). Sehingga pada tahun 1954, terbentuklah TNM Commite untuk pertama kalinya. Disamping itu di Amerika sendiri diterima suatu sistim TNM lain yang disebut The Amarican Joint Committee On Cancer (AJCC) yang dikeluarkan pertama kali tahun 1959. Sistem TNM ini digunakan untuk menentukan stadium tumor ganas sebelum dilakukan terapi. Sistim TNM ini ditujukan untuk mengetahui perluasan tumor secara anatomi dengan pengertian : T : Perluasan untuk tumor primer N : Status terdapatnya kelenjar limfe regional M : Ada atau tidak adanya metastasis jauh Klasifikasi UICC dan AJCC ini pada umumnya bersifat sama untuk seluruh keganasan, kecuali untuk tumor ganas kelenjar liur dan tiroid. Klasifikasi stadium terdapat sedikit kelemahan bagi tumor ganas asalnya, misalnya perluasan tumor ganas dari rongga mulut ke orofaring atau sebaliknya, juga tumor ganas laring yang meluas ke hipofaring atau sebaliknya.1

Tabel 4. Klasifikasi klinis TNM (1992) T (tumor primer) Tx

Tumor primer tidak dapat ditemukan

To

Tidak ada tumor primer

Tis

Karsinoma in situ

T1,T2,T3,T4

Besarnya tumor primer

N (kelenjar limfa regional)

32

Nx

Tidak menemukan kelenjar limfe regional

No

Tidak ada metastasis kelenjar lemfe regional

N1,N2,N3

Besarnya kelenjarlimfe regional

M (metastasi jauh) Mx

Tidak ditemukan metastasis jauh

Mo

Tidak ada metastasis jauh

M1

Terdapat metastasis jauh Tabel 5. Klasifikasi kelenjar limfe regional (UICC)

Nx

Kelenjar limfe regional tidak ditemukan

No

Tidak ada metastasis kelenjar limfe regional

N1

Metastasis pada satu sisi, tunggal, ukuran < 3 cm

N2

Metastasis pada satu sisi, tunggal, ukran >3cm - < 6cm, multipel, pada satu sisi dan tidak >6cm atau bilateral /kontralateral juga tidak lebih dari 6cm.

N2a

Metastasis pada satu sisi, tunggal, >3cm - <6cm

N2b

Metastasis pada satu sisi, multipel tidak lebih dari 6 cm

N2c

Metastasis bilateral/kontralateral, tidak lebih dari 6cm

N3

Metastasis ukuran lebih dari 6cm

Tabel 6. Stadium tumor ganas leher dan kepala (UICC & AJCC) kecuali tumor kelenjar liur dan tiroid. Stadium I

T1 N0 M0

Stadium II

T2 N0 M0

Stadium III

T3 N0 M0 T1 atau T2 atau T3 N1 M0

Stadium IV

T4 N0 atau N1 M0 Tiap T N2 atau N3 M0 Tiap T tiap N M1

33

Terapi Karsinoma biasanya mengenai daerah tonsil. Daerah ini meluas dari trigonum retromolar termasuk arkus tonsila posterior dan anterior demikian juga dengan fosa tonsilanya sendiri. Tumor yang meluas ke daerah inferior ke dasar lidah dan ke superior pada palatum mole. Jika tumor kecil ( T1, T2, N0 ) mungkin diatasi dengan penyinaran, sedangkan tumor yang besar ( T3 T4 ) memerlukan reseksi pembedahan, seringkali disertai terapi radiasi sebelum dan pasca operasi. Lesi – lesi yang kecil dengan metastasis yang dapat dipalpasi biasanya diatasi dengan reseksi pembedahan dan penutupan primer. Reseksi ini dianggap sebagai tindakan gabungan. Flap lidah lateral, dahi, otot kulit, atau servikal dapat menutup cacat yang besar.

Gambar 13. Lokasi radioterapi Karsinoma tonsil seringkali bermetastasis ke segitiga digastrik atau kelenjar getah bening jugular bagian atas yang dikenal sebagai kelenjar getah bening tonsil. Karena metastasis dini dari lesi yang berukuran sedang, pembedahan leher biasanya termasuk dalam tindakan bedah.5

34

Tabel 7. Penatalaksanaan

Komplikasi Komplikasi dari berbagai bentuk terapi saat ini yaitu nyeri, xerostomia, infeksi, penyembuhan luka yang lama, disfagia, fistula, trismus, insufisiensi velofaringeal, kelelahan. Keluarga dan pasien harus memahami semua komplikasinya sebelum melakukan terapi apapun.2 Prognosis Stage I 80%, stage II 70%, stage III 40%, dan stage IV 30%.2 Kelangsungan hidup dari karsinoma tonsil secara historis dianggap buruk, terutama untuk stage III dan IV. Namun, literatur yang lebih baru telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dengan terapi bedah karsinoma tonsil bahkan untuk stadium yang lanjut. Moore dkk melaporkan sebanyak 94% bertahan hidup pada stadium III dan IV karsinoma tonsil yang diobati dengan reseksi transoral dan terapi adjuvan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasien yang diobati dengan tepat dapat memiliki kelangsungan hidup yang baik, meskipun secara historis hasilnya buruk.13

35

DAFTAR PUSTAKA

Adams G. L. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam: Highler B. A. Boeis Buku Ajar Penyakit THT-KL. Edisi 6. Jakarta. EGC 327-40. American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Tonsils and Adenoids. 2015. Available from: http://www.entnet.org/content/tonsilsand-adenoids American College of Physicians and for the Centers for Disease Control and Prevention. Appropriate Antibiotic Use for Acute Respiratory Tract Infection in Adults: Advice for High-Value Care. Ann Intern Med. 2016;164(6):425 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar. Riskesdas 2013.Kementerian Kesehatan RI. 2013:65-6. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In: Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. 2006. Baugh RF, Archer SM, Mitchell RB, Rosenfeld RM, Amin R, Burns JJ, et al. Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children. Otolaryngology– Head and Neck Surgery. 2011;144:S1-30. Blackshaw H, Zhang LY, Venekamp RP, Wang B, Chandrasekharan D, Schilder AGM. Tonsillectomy versus tonsillotomy for sleep-disordered breathing in children. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2014, Issue 11.[DOI: 10.1002/14651858.CD011365] Burton MJ, Glasziou PP, Chong LY, Venekamp RP. Tonsillectomy or adenotonsillectomy versus non-surgical treatment for chronic/recurrent acute tonsillitis. Cochrane Database Syst Rev. 2014;(11):CD001802 Choby BA. Diagnosis and treatment of streptococcal pharyngitis. Am Fam Physician. 2009;79(5):383-90 Clegg HW, Ryan AG, Dallas SD, et al. Treatment of streptococcal pharyngitis with once-daily compared with twice-daily amoxicillin: a noninferiority trial. Pediatr Infect Dis J 2006; 25:761–7. Erickson BK, Larson DR, St Sauver JL, Meverden M, Orvidas LJ. Changes in incidence and indicaton of tonsillectomy ad adenotonsillectomy, 19702005. Otolaryngol Head and Neck Surg. 2009;140(6):894-901.

36

Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 2. Jakarta :FKUI, 2007.p930-33. Hermani B, Fachrudin D, Hutauruk S, al e. Tonsilektomi Pada Anak dan Dewasa. HTA Indonesia. 2004:1-25. Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi Rahardjo. Laporan Penelitian : Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum Dan SetelahTonsilektomi. Kaplan EL, Chhatwal GS, Rohde M. Reduced ability of penicillin to eradicate ingested group A streptococci from epithelial cells: clinical and pathogenetic implications. Clin Infect Dis. 2006;43(11):1398-406. [Medline] Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4 Randel A. AAO–HNS Guidelines for Tonsillectomy in Children and Adolescents. Otolaryngology–Head and Neck Surgery. 2011:566-73. Rusmarjono, Soepardi EA. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala & leher. Edisi ke‐6. Editor: Hendra U. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of sore throat and indications for tonsilectomy. A national clinical guideline. 117, editor. Edinburgh: SIGN Publication; 2010. Shulman ST, et al. Clinical practice guideline for the diagnosis and management of group A streptococcal pharyngitis: 2012 Update by the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 2012;55(10):e86-e102 Spinks A, Glaziou PP, Del Mar CB. Antibiotics for sore throat. Cochrane Database Syst Rev. 2013;(11):CD000023. Stelter K. Tonsillitis and sore throat in children. GMS Current Topics in Otorhinolaryngology - Head and Neck Surgery. 2014;13:3-15.

37

Related Documents

Laporan Kasus
June 2020 61
Laporan Kasus
June 2020 56
Laporan Kasus
June 2020 53
Laporan Kasus
June 2020 47
Laporan Kasus
July 2020 55

More Documents from "Himmah Binafsiha"