Nama Peserta
: dr. Immanuel Michael Hadinata
Nama Wahana
: RS PTPN X Jember Klinik
TOPIK
: Gullian Barre Syndrome
Tanggal (kasus)
: 28/06/18
No. RM: 233907
Nama Pasien
: Sdra. L
Nama Pendamping: dr. Anita Fadhillah MMRS
Nama Pendamping II
: dr. Rizky Imansari
Nama Pembimbing: dr. Usman Sp.S
Objektif Presentasi o Keilmuan
o Keterampilan
o Penyegaran
o Tinjauan Pustaka
o Diagnostik
o Manajemen
o Masalah
o Istimewa
o Neonatus
o Bayi
o Anak
o Remaja
o Dewasa
o Lansia
o Bumil
o Deskripsi :
o Tujuan: 1. Menegakkan diagnosis Gullian Barre Syndrome 2. Manajemen dan tatalaksana awal Gullian Barre Syndrome Bahan Bahasan:
Tinjauan Pustaka
Riset
Cara Membahas:
Diskusi
Presentasi
Kasus dan E-mail
Audit 244
Diskusi Data Pasien
Nama : Sdra. L
No Registrasi : 233907
1
Nama fasilitas kesehatan: RS PTPN X Jember Klinik
Telp : 0852xx
Terdaftar sejak : 28/06/18
Data utama untuk bahan diskusi: 1. Diagnosis/Gambaran Klinis : Keluhan Utama : Lemas dan lesu di ker dua kaki 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSJK dengan keluhan lemes dan lesu di ke 2 kaki sejak 1 minggu ini lemes dan lesu bertambah berat,keluhan awalnya di sertai diare sejak 2 minggu yang lalu,diare berlangsung selama 4 hari,diare encer tanpa ampas disertai demam selama 4 hari naik turun sudah minum obat. 3. Riwayat Pengobatan: Obat demam tablet dan obat diare Riwayat Kesehatan/Penyakit Dahulu: Tidak ada 4. Riwayat Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang punya keluhan sama seperti pasien 5. Riwayat Imunisasi : Imunisasi lengkap 6. Riwayat Tumbuh Kembang : Pasien berkembang sesuai dengan usianya 7. Riwayat Psikososial : Pasien merupakan anak yang aktif dan berinteraksi baik dengan lingkungan sekitarnya 8. Pemeriksaan Fisik (dilakukan tanggal 28/06/2018 di IGD) Status Generalis
vital sign GCS CM, napas 30x/menit, nadi 134x/menit, suhu 39,4C,berat badan 57 kg
kepala anemis - / icterus - / cyanosis - / dyspneu -, mata cowong +
thorax simetris, retraksi - , vesikuler/vesikuler, ronkhi -, wheezing -, S1S2 tunggal, murmur -, gallop -
2
abdomen soepel, hepar-lien tidak teraba. nyeri -, bising usus + meningkat
extremitas akral hangat kering pucat, capillary refill time<2, edema -,
9. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium (28/06/18) Darah lengkap Hb 16.9 g/dl WBC 9.600 PLT 390.000 PCV 47,2% Diff Segmen 57 Monosit 5 Lymfosit 38 FAAL HATI SGPT (ALT) 15 U/L SEROLOGI Tubex TF =2: Negatif
3
ELEKTROLIT KALIUM
3.65 MEq/l
NATRIUM 139.1 MEq/l CLORIDE
103.9 mol/l
CALSIUM
9.6 mg/dl
DAFTAR PUSTAKA 1. Evil Science. 2008. Available from : http://www.guillainbarresyndrome.net 2. Erasmus MC. Gullain-Barre Syndrome. Professor Marianne de vissers, Editor. University Medical Center Rotterdam. Netherlands; 2004 3. Evidence Center. 2011. Available from: http://bestprice.bmj.com/bestpractice/monograph/176/basics/epidemiology.html 4. Dr Iskandar J, Guillain Barre Syndrome. Universitas Sumatera Utara ; 2005 5. Seneviratne U MD(SL), MRCP. Guillain-Barre Syndrome: Clinicopathological Types and Electrophysiological Diagnosis. Departement of Neurology, National Neuroscience Institute, SGH Campus; 2003. 6. Andary T M, 2011 [26/08/2011]. Available from :http://emedicine.medscape.com/article/315632-treatment 7. Ropper H A, Brown H R. Adam’s and Victor, Principles of Neurological 8th edition. United States of America; 2005. p.1117-27 8. Mayo
Clinic
staff.
2011
[28/05/2011].
Available
from
:
http://www.mayoclinic.com/health/guillain-barre
syndrome/DS00413/DSECTION=treatments-and-drugs 9. AIDP ( Guillain Barre Syndrome ). Available from : http://www.netterimages.com/image/63612.htm 10. PDSSI, Editor : Harsono, Buku Ajar Neurologi Klinis, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 2005
4
11. Mack, KJ, Sindrom Guillain-Barre, http://www.emedicine.com, 2013 12. Howard, L. Werner, Lowrence P. Levitt, Buku Saku Neurologi, Edisi ke V, EGC, Jakarta, 2001 13. Asnawi C. Margono, Neuropati, Kapita Selekta, Edisi TI, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1996 14. Mardjono M, Sidharta P, Neurologi Klinis Dasar, Edisi VIII, Dian Rakyat, Jakarta, 2000 15. Newswanger Dana L., Warren Charles R., Guillain-Barre Syndrome, http://www.americanfamilyphysician.com, May 2004 HASIL PEMBELAJARAN: 1. Pengetahuan tentang penegakan diagnosis dari Gullian Barre Syndrome (GBS) 2. Patogenesis Gullian Barre Syndrome (GBS) 3. Pengetahuan tentang tatalaksana awal Gullian Barre Syndrome (GBS) 4. Edukasi tentang epidemiologi,komplikasi dan prognosa Gullian Barre Syndrome (GBS)
5
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pendahuluan Gullian Barre Syndrome ialah polyneuropathy yang dapat berlangsung akut maupun sub-akut, dapat terjadi spontan atau sesudah terjadi infeksi. Pada pemeriksaan patologis, belum pernah ditemukan di dalam penderita mikroorganisme penyebab. Gullian
Barre
Syndrome
(GBS)
merupakan
penyebab
kelumpuhan yang cukup sering terjadi pada usia dewasa muda. GBS sering mencemaskan penderita dan keluarga karena terjadi pada usia produktif, terkadang dalam beberapa kasus dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik. Gullian Barre Syndrome (GBS) mulanya mempengaruhi sistem saraf perifer. Biasanya penyakit ini adalah bentuk kelumpuhan akut di daerah tubuh bagian bawah yang bergerak kearah ekstremitas atas dan wajah. Secara bertahap pasien kehilangan semua reflex lalu mengalami kelumpuhan tubuh lengkap.
2. Epidemiologi Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah decade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki - laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki – laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata – rata 23,5 tahun. Insiden Tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
3. Definisi Sindroma Guillain Barre, adalah sekumpulan gejala yang merupakan suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karakteristik berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif. 6
4. Etiologi Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain:
Infeksi: o Chlamydia o Campylobacter jejuni o Hepatitis B o Micoplasma pneumoniae o Cytomegalovirus o Epstein – barr virus o Human immunodeficiency virus (HIV)
Vaksinasi: o Group A streptococci o Rabies o Influenza
Penyakit sistemik: o Keganasan o Systemic lupus erythematosus o Tiroiditis o Penyakit Addison
Kehamilan atau dalam masa nifas
Gullian Barre Syndrome (GBS) sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.
7
5. Patogenesa Kebanyakan pasien Gullian Barre Syndrome (GBS) menunjukkan ketidakadaan atau dalam kondisi perlambatan aksi serat saraf. Konduksi ini merupakan hasil dari demyelinisasi akson. Saraf perifer dan radiks saraf merupakan bagian terbesar yang mengalami demyelinisasi, namun saraf cranial juga dapat terserang.
Gullian Barre Syndrome (GBS) diyakini merupakan respon autoimun yang dicetuskan oleh antecedent illness oleh kondisi kesehatan dalam rangka jangka waktu lama. Respon autoimun terjadi pada sistem imun humoral dan cell mediated components. Pada kebanyakan pasien GBS, kerusakan akson terjadi akibat serangan langsung akson itu sendiri.
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mewakili terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
Didapatkan antibody atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi
Adanya auto antibody terhadap sistem saraf tepi
Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibody dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi. Seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.
8
Gambar 1 : Patogenesis dan fase klinikal dari GBS
9
4 stadium pada kerusakan saraf perifer pada GBS, yaitu
:
Limphosit bermigrasi & bertransformasi ke dlm serabut saraf, myelin & axon belum rusak. Sel limphosit & sel makrofag >>, mulai terjadi segmental demyelinisasi, axon belum rusak.
Patologi
kerusakan selubung myelin & axon, Terjadi kromatolisis sentral inti sel saraf atropi & denervasi.
Kerusakan axon >> proximal, kerusakan irreversible regenerasi sel saraf (-)
1 2
Gambar 2 : Stadium pada kerusakan saraf perifer pada SGB a. Peran imunitas seluler Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen. 10
6. Patofisiologi Terjadi reaksi inflamasi (infiltrat) dan edema pada saraf yang terganggu. Infiltrat terdiri dari atas sel mononuclear. Pada permulaan penyakit, sel-sel infiltrate didominasi oleh sel limfosit, makrofag dan selsel PMN.setelah perkembangan penyakit infiltrate di dominasi oleh sel plasma dan sel mast. Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal.
Gambar 3: Sistem imunopathologi saraf pada SGB
11
7. Klasifikasi Sindroma Guillain Barre diklasifikasikan sebagai berikut:
Gambar 4: Skema klasifikasi SGB 1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) dengan patologi klinis demielinisasi perifer multifaktoral yang dapat dipengaruhi baik oleh mekanisme humoral ataupun imun seluler. Gejalanya bersifat progresif dengan kelemahan tubuh yang simetris dan terdapat hiporefleksia atau arefleksia.
2. Acute Motor Axonal Neuropathy Acute motor axonal neuropathy (AMAN) disebabkan oleh adanya antibody yang terbentuk dalam tubuh yang melawan ganglioside GM1, GD1a, Ga1NAc-GD1a, dan GD1b pada akson saraf motoric perifer tanpa disertai adanya proses demielinisasi.Berhubungan dengan infeksi Campylobacter jejuni yang biasanya terjadi pada musim panas pada pasien muda.
3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) memiliki mekanisme yang sama dengan AMAN tetapi terdapat proses 12
degenerasi aksonal sensoris, sehingga pada kasus ini sering ditemukan gangguan pada sensoris.
4. Miller Fisher Syndrome Miller Fisher Syndrome terjadi proses demielinisasi, dimana antibody immunoglobulin G merusak ganglioside GQ1b, GD3, dan GT1a. Miller Fisher syndrome merupakan kasus yang jarang terjadi, yang memiliki gejala yang khas berupa oftalmoplegi bilateral, ataksia, dan arefleksia. Selain itu juga terdapat kelemahan pada wajah, bulbar, badan, dan ekstremitas yang terjadi pada 50% kasus.
5. Acute Autonomic Neuropathy Acute Autonomic Neuropathy, mekanisme terjadinya belum jelas dimana kasus ini sangat jarang terjadi. Gejalanya berupa gejala otonom khususnya pada kardiovaskuler dan visual, kehilangan sensoris juga terjadi pada kasus ini.
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya mielin, material yang mengbungkus saraf. Hilangnya mielin ini disebut dengan demielinisasi. Demielinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. Guillain-Barre syndrome menyebabkan inflamasi dan destruksi dari mielin dan menyerang beberapa saraf. Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun. Mekanisme GBS diyakini merupakan suatu neuropati inflamasi yang disebabkan oleh reaktivitas silang antara antigen dan antibody saraf yang disebabkan oleh infeksi tertentu yaitu organisme menular, seperti C jejuni, yang memiliki struktur dinding bakteri yang mirip dengan ganglioside. Molekular mimikri ini akan menciptakan antibody anti-gangliosida yang akan menyerang saraf.
13
8. Gambaran Klinis
Kelemahan o Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris secara natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari
kelemahan
ringan
sampai
tetraplegia
dengan
kegagalan ventilasi.
Keterlibatan Syaraf Kranialis o Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan GBS. Saraf kranial III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopia, Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. o Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena.Varian MillerFisher dari GBS adalah unik karena subtipe ini dimulai dengan defisit saraf kranial.
Perubahan sensoris o Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau perubahan
sensorik
serupa. Gejala
sensorik
sering
mendahului kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir. 14
Nyeri o Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan GBS, 89% pasien melaporkan nyeri yang disebabkan GBS pada
beberapa
waktu
selama
perjalanannya.
Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut. o Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas
bawah
daripada
di
ekstremitas
atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10% pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan SGB adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus).
Perubahan Otonom o Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom dapat mencakup sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi paroksimal, Hipotensi ortostatik, Anhidrosis dan / atau diaphoresis o Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung
dan
dismotilitas
ditemukan. Disautonomia
lebih
sering
usus pada
dapat pasien
dengan kelemahan dan kegagalan pernafasan yang parah.
15
Pernafasan o Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan pernafasan atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut; Dispnea saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel o Kegagalan
ventilasi
yang
memerlukan
dukungan
pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.
Gambar 5 Gelaja klinis
16
Gambar 6 Gejala Klinis Klasifikasi GBS
17
9.
PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan laju endap darah (LED) hasil umumnya normal atau sedikit meningkat, leukosit umumnya dalam batas normal, haemoglobin dalam batas normal, pada darah tepi didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur , limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis, eosinophilia jarang ditemui. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibody tipe lambat,dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demielinisasi saraf pada kultur jaringan. 2. Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) Pada pemeriksaan cairan serebrospinal paling khas ditemukan adanya kenaikan kadar protein (1 – 1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi sitoalbumin. Disosiasi sitoalbumin, yakni meningkatnya jumlah protein tanpa disertai adanya pleositosis. Pada kebanyakan kasus, pada hari pertama jumlah total protein CSS normal, setelah beberapa hari, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4 – 6 minggu setelah mulainya gejala klinis. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm. 3. Pemeriksaan kecepatan hantaran saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG) Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada minggu pertama serangan gejala, didapatkan perpanjangan respon (88%), perpanjangan distal latensi (75%), konduksi blok (58%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (50%). Pada minggu kedua, potensi penurunan tindakan berbagai otot (CAMP,100%), perpanjangan distal latensi (92%)
dan penurunan 18
kecepatan konduksi motor (84%). Manifestasi elektrofisiologis yang khas tersebut, yakni, prolongasi atau absennya respon gelombang F yang menandakan keterlibatan bagian proksimal saraf, blok hantar saraf motoric, serta berkurangnya KHS. Degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi yang dapat dijumpai 2 – 4 minggu setelah awitan gejala telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG. 3. Pemeriksaan patologi anatomi Umumnya didapati pola dan bentuk yang relative konsisten, yakni adanya infiltrate limfosit mononuclear perivaskuler serta demielinisasi multifocal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demielinisasi ini akan
muncul
Bersama
dengan
demielinisasi
segemental
dan
degenerasi Wallerian dalam berbagai derajat. Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motoric intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel limfosit dan sel mononuclear lain juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya. 4. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala MRI lumbosacral akan memperlihatkan
penebalan
para
radiks
kauda
equina
dengan
peningkatan pada gadolinium. Adanya penebalan radiks kauda equina mengindikasikan kerusakan pada barrier darah-saraf. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS dan hasil sensitive sampai 83% untuk GBS akut. Akan tetapi, pasien dengan tanda dan gejala yang sangat sugestif mengarah ke GBS sebenarnya tidak perlu pemeriksaan MRI lumbosacral. MRI lumbosacral dapat digunakan sebagai modalitas 19
diagnostic tambahan, terutama bila temuan klinis dan elektrodiagnostik memberikan hasil yang sama.
5. Pemerikasaan lain Beberapa pemeriksaan lain yang boleh dilakukan adalah elektrokardiografi (EKG) yang iasanya memperlihatkan hasil normal atau kebanyakan kelainan yang ditemukan tidak diakibatkan oleh GBS sendiri. Pemeriksaan serum kreatinin kinase biasanya normal atau meningkat sedikit. Tes fungsi respirasi atau pengukuran kapasitas vital paru biasanya menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending). Intubasi dan mekanisme ventilasi harus dipertimbangkan ketika kapasitas vital berada di bawah 15 mL/kgBB atau tekanan oksigen pada arteri berada di bawah 70 mmHg. Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.
20
10. Diagnosa Diagnosis GBS terutama ditegakkan dari temuan klinis dan pemeriksaan penunjang. Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase, yakni :
Fase Progresif Pada umumnya, fase progresif berlangsung selama dia sampai 3 minggu sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap yang dikenal sebagai “titik nadir”. Pada fase ini timbul nyeri, kelemahan bersifat progresif dan gangguan sensorik. Derajat keparahan gejala bervariasi dan tergantung seberapa berat serangan yang muncul pada penderita. Penatalaksaan secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen.
Fase Plateau Fase progresif akan diikuti oleh fase yang stabil dimana tidak didapati baik perburuan ataupun perbaikan gejala serangan telah berhenti namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase berikutnya, yaitu fase penyembuhan. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat peradangan saraf serta kekakuan otot dan sendi. Keadaan umum penderita sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Terapi ditujukan terutama
dalam
memperbaiki
fungsi
yang
hilang
atau
mempertahankan fungsi yang masih ada. Pengawasan terhadap 21
tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis perlu dilakukan dengan nutrisi, imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Lama fase ini tidak dapat di prediksikan;
beberapa
pasien
langsung
mencapai
fase
penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
Fase penyembuhan Fase yang terakhir adalah fase penyembuhan dimana terjadi perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan mielin dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal dan optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan sampai waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
Selain daripada manifestasi klinis dan diagnosis berdasarkan fase, kriteria diagnostic GBS menurut the national institute of neurological and communicative disorders and stroke (NINCDS) menjadi patokan untuk diagnosis GBS, meliputi gejala utama, gejala tambahan, pemeriksaan CSS, pemeriksaan elektrodiagnostik, dan gejala yang menyingkirkan diagnosis. o Gejala Utama
Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataksia
Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general 22
o Gejala Tambahan
Progresivitas : gejala kelemahan motoric berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, 90% dalam 4 minggu
Biasanya simetris
Adanya gejala sensoris yang ringan
Gejala saraf kranial, 50% terjadi parese N.VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot bulbar, Kadang <5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain.
Disfungsi saraf otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan gejala vasomotor
Tidak disertai demam saat onset gejala neurologis
Pemulihan dimulai antara minggu ke 2 sampai minggu ke 4 setelah progresivitas berhenti, penyembuhan umumnya fungsional dapat kembali
o Pemeriksaan CSS
Peningkatan protein
Sel MN <10/µl
o Pemeriksaan elektrodiagnostik
Terlihat adanya perlambatan atau blok konduksi impuls saraf
o Gejala yang menyingkirkan diagnosis
Kelemahan yang bersifat asimetri
Disfungsi vesika urinaria yang sifatnya persisten
Sel PMN atau MN di dalam CSS >50/µl
Gejala sensoris yang nyata
23
11.
Diagnosa Banding Diagnosis banding yang sering mirip GBS, dapat dibedakan dengan:
Miastenia Gravis akut: Tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun terdapat ptosis dan kelemahan oculomotor. Otot mandibula penderita GBS tetap kuat, sedangkan pada miastenia, otot mandibula akan melemah setelah beraktivitas serta tidak didapati deficit sensorik ataupun arefleksia.
Thrombosis arteri basilaris: Dapat dibedakan dari GBS dimana pada GBS, pupil masih reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas gelombang F, sedangkan pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta reflex patologis Babinski.
Paralisis periodic: Ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa keterlibatan otot pernafasan dan hipo atau hyperkalemia. Pada GBS, terdapat paralisis umum yang mendadak dan boleh menyebabakan paralisis otot respirasi
Botulisme: didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan kaleng yang terinfeksi, dimana gejala dimulai dengan diplopia, disertai dengan pupil yang non-reaktif pada fase awal, serta adanya bradikardia, yang jarang terjadi pada pasien GBS
Tick paralysis: Terjadi paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan, umumnya terjadi pada anak-anak dengan didapatinya kutu yang menempel pada kulit.
Porfiria intermiten akut: terdapat paralitik respiratorik akut dan mendadak, namun pada pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan peningkatan serum asam aminolevulinik delta. Pada GBS, terdapat
keterlibatan
paralisis
otot
respirasi,
namun
hasil
pemeriksaan urin dalam batas normal.
Neuropati akibat logam berat: Umumnya terjadi pada pekerja industry dengan riwayat kontak dengan logam berat. Onset gejala lebih lambat dari pada GBS.
Cedera medulla spinalis: Ditandai oleh paralisis sensorimotor dibawah tingkat lesi dan paralisis sfingter. Gejala hamper sama yakni pada fase syok spinal, dimana reflex tendon akan menghilang. 24
Poliomielitis: Didapati demam pada fase awal, myalgia hebat, gejala meningeal, yang di ikuti oleh paralisis flasid asimetrik.
Mielopati servikalis: Pada GBS, terdapat keterlibatan otot wajah dan pernafasan jika muncul paralisis, deficit sensorik pada tangan atau kaki jarang muncul pada awal penyakit, serta reflex tendon akan hilang dalam 24 jam pada anggota gerak yang sangat lemah dalam melawan gaya gravitasi.
Gambar 6 Differential Diagnosis 12.
Komplikasi 1. Paralisis menetap 2. Gagal nafas 3. Hipotensi 4. Tromboembolisme 5. Pneumonia 6. Aritmia Jantung 7. Ileus 8. Aspirasi 9. Retensi urin 10. Problem psikiatrik 25
GBS dapat berdampak pada kinerja dan kehidupan pribadi pasien dalam jangka waktu yang lama, dapat sampai 3 sampai 6 tahun setelah onset penyakit. Kesembuhan biasanya berlangsung perlahan dan dapat berlangsung bertahun-tahun. Baik pasien maupun keluarga pasien harus diberitahu tentang keadaan pasien yang sebenarnya untuk mencegah ekspektasi yang berlebihan atau pesimistik. Kesembuhan pasien berlangsung selama tahun – tahun pertama, terutama enam bulan pertama, tetapi pada sebagian besar pasien dapat sembuh sempurna pada tahun kedua atau setelahnya. Kecacatan yang permanen terlihat pada 20% - 30% pasien dewasa tetapi lebih sedikit pada anak-anak. Disabilitas yang lama pada dewasa lebih umum pada axonal GBS dan GBS yang berbahaya, misalnya pada pasien dengan ventilator. Gangguan fungsi otonomik yang serius dan fatal termasuk aritmia dan hipertensi ekstrim atau hipotensi terjadi kurang lebih 20% dari pasien dengan GBS gangguan lain yang signifikan adalah ileus dinamik, hiponatremia, dan defisiensi dari fungsi mukosa bronchial.
13. Terapi non-farmakologis Belum ada drug of choice yan tepat untuk GBS. Yang diperlukan adalah kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi sebagai akibat perjalanan klinik yang memberat sehingga mengancam otot-otot pernafasan. Penggunaan ventilator mekanik menjadi suatu keharusan apabila diduga telah terjadi paralysis otot-otot respirasi. Diperlukan rawatan intensif apabila didapati keadaan seperti ini. Apabila terjadi kelumpuhan otot-otot wajah dan menelan, maka perlu dipasang pipa hidung-lambung (NGT) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan dan cairan. Latihan dan fisioterapi sangat diperlukan untuk mempercepat proses pemulihan.
26
Gambar 7 Indikasi Ventilator Terapi farmakologis Kortikosteroid Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengatakan bahwa preparat steroid tidak memberikan manfaat sebagai monoterapi. Pemberian kortikosteroid sebagai
monoterapi tidak
mempercepat penyembuhan secara signifikan. Selain itu, pemberian methylprednisolone secara intravena yang berkombinasi dengan imunoterapi juga tidak memberikan manfaat secara signifikan dalam waktu jangka Panjang. Sebuah studi awal mengemukakan pasien yang diberikan kortikosteroid oral menunjukkan hasil yang lebih buruk dari pada kelompok control. Selain itu, sebuah studi randomisasi di Inggris dengan 124 pasien GBS menerima methylprednisolone 500 mg setiap hari selama 15 hari dan 118 pasien mendapatkan placebo. Dalam studi ini tidak didapatkan perbedaan antara kedua kelompok dalam derajat perbaikan maupun outcome yang lainnya.
27
Plasmaparesis Plasmaparesis secara langsung mengeluarkan faktor-faktor humoral, seperti autoantibody, kompleks imun, complement, sitokin,dan mediator inflamasi non-spesifik lainnya. Plasmaparesis merupakan terapi pertama pada GBS yang menunjukkan efektifitasnya, berupa adanya perbaikan klinis yang lebih cepat minimal penggunaan alat bantu napas, dan lama perawatan yang lebih singkat. Dalam studi tersebut, plasmaparesis yang diberikan dalam dua minggu pada pasien GBS menunjukkan penurunan waktu penggunaan ventilator (alat bantu napas). Terapi ini melibatkan penghilangan plasma dari darah dan menggunakan centrifugal blood separators untuk menghilangkan kompleks imun dan autoantibody yang mungkin ada. Plasma kemudian dimasukan kembali ke tubuh pasien dengan larutan yang berisi 5% albumin untuk kompensasi protein yang hilang. Terapi ini dilakukan dengan menghilangkan 200-250 ml plasma/kgBB dalam 7 – 14 hari. Dikatakan terapi plasmaparesis ini lebih memberikan manfaat bila dilakukan pada awal onset gejala (minggu pertama GBS). Keterbatasan plasmaparesis yaitu akses intravena memerlukan kateter double-lumen besar melalui vena femoral atau vena subklavia internal. Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain pneumothoraks, hipotensi, sepsis, trombositopenia, hypokalemia, dan anemia. Selama plasmaparesis penting untuk memonitoring tekanan darah, nadi, dan jumlah cairan masuk dan keluar. Selain itu, perlu juga dilakukan monitoring CBC, elektrolit, PT, APTT, dan INR satu atau dua hari bila ditemukan parameter koagulasi abnormal. Imunoglobulin Intravena Pengobatan dengan immunoglobulin intravena (IVIg) lebih menguntungkan dibandingkan dengan terapi plasmaparesis karna efek samping dan komplikasi yang sifatnya lebih ringan. Penggunaan IVIg dapat memodulasi respon humoral dalam menghambat autoantibody dan menekan produksi autoantibody dalam tubuh, sehingga kerusakan yang dimediasi oleh komplemen dalam diredam IVIg juga memblok 28
ikatan reseptor Fc dan mencegah kerusakan fagositik oleh makrofag. Studi awal untuk menunjukkan respon IVIg pada GBS pertama kali dilakukan oleh Ducth Guillain-Barre syndrome group dua decade silam. Dalam
studi
ini,
mereka
membandingkan
efikasi
IVIg
dana
plasmaparesis dalam 147 pasien dan tidak ada kelompok control. Hasil studi ini menunjukkan bahwa IVIg tidak hanya efektif dalam GBS tetapi juga jauh lebih efektif dibandingkan plasmaparesis. Pada penelitian tentang terapi IVIg pada kasus GBS pada anak yang dilakukan oleh Korinthenberg et al ditemukan bahwa pengobatan dengan IVIg pada kasus GBS ringan tidak mengubah tingkat keparahan penyakit tetapi dapat mempercepat perbaikan klinis penderita. Dosis optimal yang dapat diberikan pada penderita GBS adalah 400 mg/kg yang diberikan selama 6 hari. Efek samping yang muncul dalam penggunaan IVIg dikatakan ringan dan jarang terjadi. Meskipun efek samping dikatakan ringan dan jarang terjadi, pemberian pertama biasanya dimulai dengan kecepatan rendah yaitu 25 – 50 cc/jam selama 30 menit dan ditingkatkan secara progresif 50cc/jam setiap 15-20 menit hingga 150-200cc/jam. Efek samping ringan berupa nyeri kepala, mual, menggigil, rasa tidak nyaman pada dada, dan nyeri punggung muncul pada 10% kasus dan mengalami perbaikan dan penurunan kecepatan infus serta dapat dicegah dengan premedikasi berupa acetaminophen, Benadryl dan bila perlu methylprednisone intravena. Reaksi moderate yang jarang terjadi meliputi meningitis neutropenia. Macular hiperemis pada telapak tangan, telapak kaki, dan badan dengan adanya deskuaminasi. Sementara itu, reaksi berat dan jarang sekali muncul berupa anafilaksis, stroke, infark miokardial akibat sindrom hiperviskositas.
14. PROGNOSIS Pada umumnya, sekitar 3% sampai 5% pasien tidak dapat bertahan dengan penyakitnya, tetapi pada sebagian kecil penderita dapat bertahan dengan gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal, mendapat terapi plasmaparesis 29
dalam 4 minggu mulai saat onset, progresifitas penyakit lambat dan pendek, dan terjadi pada penderita berusia 30-60 tahun. Faktor yang mempengaruhi buruknya prognosis : 1. Penurunan hebat amplitudo potensial aksi berbagai otot 2. Umur tua 3. Kebutuhan dukungan ventilator 4. Perjalanan penyakit progresif & berat Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain: a. pada pemeriksaan NCV- EMG relatif normal b. mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset c. progresifitas penyakit lambat dan pendek d. pada penderita berusia 30-60 tahun
30
31