Laporan-kasus-dermatitis-kontak-iritan.docx

  • Uploaded by: put zul
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan-kasus-dermatitis-kontak-iritan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,516
  • Pages: 12
BAB I PENDAHULUAN

Dermatitis Kontak Dermatitis kontak adalah kondisi peradangan pada kulit yang disebabkan oleh faktor eksternal, substansi-substansi partikel yang berinteraksi dengan kulit (National Occupational Health and Safety Commision, 2006). Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun kronis (Djuanda, 2003). Dermatitis Kontak iritan Definisi Dermatitis kontak iritan adalah efek sitotosik lokal langsung dari bahan iritan baik fisika maupun kimia, yang bersifat tidak spesifik, pada sel-sel epidermis dengan respon peradangan pada dermis dalam waktu dan konsentrasi yang cukup (Health and Safety Executive, 2004). Epidemiologi Dermatitis kontak iritan (DKI) dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun dikatakan angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyaknya penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh (Djuanda, 2003). Pekerjaan yang berisiko tinggi meliputi pembatu rumah tangga, pelayan rumah sakit, tukang masak, dan penata rambut. Prevalensi dermatitis tangan karena pekerjaan ditemukan sebesar 55,6% di intensive care unit dan 69,7% pada pekerja yang sering terpapar (dilaporkan dengan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap pergantian). Penelitian menyebutkan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap pergantian memiliki hubungan kuat dengan dermatitis tangan karena 1

pekerjaan (odds ratio 4,13) (Hogan, 2009). Berdasarkan jenis kelamin, DKI secara signifikan lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi ekzem tangan pada wanita dibanding pria karena faktor lingkungan, bukan genetik (Hogan, 2009). Etiologi Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif, enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan kimia higroskopik. Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa faktor, meliputi faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu penderita (Strait, 2001; Djuanda, 2003). Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap orang jika terpapar pada kulit dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang sufisien dengan frekuensi yang sufisien. Masing-masing individu memiliki predisposisi yang berbeda terhadap berbagai iritan, tetapi jumlah yang rendah dari iritan menurunkan dan secara bertahap mencegah kecenderungan untuk menginduksi dermatitis. Fungsi pertahanan dari kulit akan rusak baik dengan peningkatan hidrasi dari stratum korneum (suhu dan kelembaban tinggi, bilasan air yang sering dan lama) dan penurunan hidrasi (suhu dan kelembaban rendah). Efek dari iritan merupakan concentration-dependent, sehingga hanya mengenai tempat primer kontak (Safeguards, 2000). Pada orang dewasa, DKI sering terjadi akibat paparan terhadap bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi, vehikulum, serta suhu bahan iritan tersebut, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama kontak, kekerapan (terus-menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga berperan (Fregert, 1998). Faktor lingkungan juga berpengaruh pada dermatitis kontak iritan, misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia (anak dibawah umur 8 tahun lebih muda teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih), jenis kelamin (insidensi dermatitis kontak alergi lebih tinggi pada wanita), penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan turun), misalnya dermatitis atopik 2

(Beltrani et al., 2006).

Sistem imun tubuh juga berpengaruh pada terjadinya

dermatitis ini. Pada orang-orang yang immunocompromised, baik yang diakibatkan oleh penyakit yang sedang diderita, penggunaan obat-obatan, maupun karena kemoterapi, akan lebih mudah untuk mengalami dermatitis kontak (Hogan, 2009). Patogenesis Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit. Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komplemen inti (Streit, 2001). Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet, dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemotraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mast melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskuler (Beltrani et al., 2006; Djuanda, 2003). DAG dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2 yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga mengakibatkan molekul permukaan HLA- DR dan adesi intrasel (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF-α, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin (Beltrani et al., 2006). Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit tergantung pada bahan iritannya. Ada dua jenis bahan iritan, yaitu: iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang dan menimbulkan gejala berupa eritema, edema, panas, dan nyeri. Sedangkan

iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau

mengalami kontak berulang-ulang, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh 3

karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawar, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan, dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut (Djuanda, 2003). Gejala Klinis Gejala klinis dermatitis iritan dibedakan atas dermatitis kontak iritan akut dan dermatitis iritan kronik. Dermatitis kontak iritan akut Reaksi ini bisa beraneka ragam dari nekrosis (korosi) hingga keadaan yang tidak lebih daripada sedikit dehidrasi (kering) dan kemerahan. Kekuatan reaksi tergantung dari kerentanan individunya dan pada konsentrasi serta ciri kimiawi kontaktan, adanya oklusi dan lamanya serta frekuensi kontak (Fregret, 1998). Satu kali kontak yang pendek dengan suatu bahan kimiawi kadang-kadang sudah cukup untuk mencetuskan reaksi iritan. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh zat alkali atau asam, ataupun oleh detergen. Uap dan debu alkali dapat menimbulkan rekasi iritan pada wajah. Jika lemah maka reaksinya akan menghilang secara spontan dalam waktu singkat. Luka bakar kimia merupakan reaksi iritan yang terutama terjadi ketika bekerja dengan zat-zat kimia yang bersifat iritan dalam konsentrasi yang cukup tinggi (Fregret, 1998). Kontak yang berulang-ulang dengan zat iritan sepanjang hari akan menimbulkan fissura pada kulit (chapping reaction), yaitu berupa kekeringan dan kemerahan pada kulit, akan menghilang dalam beberapa hari setelah pengobatan dengan suatu pelembab. Rasa gatal dapat pula menyertai keadaan ini, tetapi yang lebih sering dikeluhkan pasien adalah rasa nyeri pada bagian yang mengalami fissura. Meskipun efek kumulatif diperlukan untuk menimbulkan reaksi iritan, namun hilnganya dapat terjadi spontan kalau penyebabnya ditiadakan (Fregret, 1998). Dermatitis kontak iritan kronis DKI kronis disebabkan oleh kontak dengan iritan lemah yang berulang- ulang, dan mungkin bisa terjadi oleh karena kerjasama berbagai 4

macam faktor.

Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat

menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain baru mampu. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari, berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor paling penting (Djuanda, 2003). Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal dan terjadi likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung maka dapat menimbulkan retak kulit yang disebut fisura. Adakalanya kelainan hanya berupa kulit kering dan skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian (Djuanda, 2003). Histopatologis Gambaran histopatologis DKI tidak mempunyai karakteristik. Pada DKI akut (oleh iritan primer), dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis bagian atas. Eksositosis di epidermis diikuti spongiosis dan edema intrasel dan akhirnya menjadi nekrosis epidermal. Pada keadaan berat, kerusakan epidermis dapat menimbulkan vesikel atau bula. Di dalam vesikel atau bula ditemukan limfosit atau neutrofil. Pada DKI kronis dijumpai hiperkeratosis dengan area parakeratosis, akantosis dan perpanjangan rete ridges (Hogan, 2009). Diagnosis Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya DKI kronis timbul lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA. Untuk ini diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai (Djuanda, 2003). Pengobatan Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta menyingkirkan faktor 5

yang memperberat. Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering (Djuanda, 2003). Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal. Pemakaian alat perlindungan yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan (Djuanda, 2003; Kampf, 2007). Komplikasi Adapun komplikasi DKI adalah sebagai berikut: a. DKI meningkatkan risiko sensitisasi pengobatan topikal b. lesi kulit bisa mengalami infeksi sekunder, khususnya oleh Stafilokokus aureus c. neurodermatitis sekunder (liken simpleks kronis) bisa terjadi terutapa pada pekerja yang terpapar iritan di tempat kerjanya atau dengan stres psikologik d. hiperpigmentasi atau hipopigmentasi post inflamasi pada area terkena DKI

e. jaringan parut muncul pada paparan bahan korosif atau

ekskoriasi. Prognosis Prognosis baik pada individu non atopi dimana DKI didiagnosis dan diobati dengan baik. Individu dengan dermatitis atopi rentan terhadap DKI (Hogan, 2009). Bila bahan iritan tidak dapat disingkirkan sempurna, prognosisnya kurang baik, dimana kondisi ini sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya multifaktor (Djuanda, 2003).

6

BAB II LAPORAN KASUS

Seorang perempuan berusia 26 tahun datang ke RSUD Sekarwangi dengan keluhan gatal diseluruh telapak tangan yang sudah dirasakan sekitar 3 bulan yang lalu. Gatal dirasakan hilang timbul. Pasien mengaku sudah pernah diobati dengan cefadroxil, dextem dan betametason. Namun, gatal tetap muncul lagi saat tidak minum obat. Keluhan demam, pegal-pegal dan pusing disangkal. Pasien sehari hari bekerja di lab sebuah perusahaan dan pasien mencuci pakain menggunakan sabun colek yang kerap menimbulkan rasa gatal setelahnya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien compos mentis, keadaan umum pasien tampak sakit sedang, tanda vital dalam batas normal, tekanan darah 100/70 mmHg dan nadi 86x/menit. Pada pemeriksaan dermatologi tampak erosi, skuama, eritema dan ekskoriasi pada daerah telapak tangan. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis apabila dari gambaran klinis masih meragukan. Diagnosis dermatitis kontak iritan pada pasien ini didapatkan berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan. Pada anamesis didapatkan keluhan mulai timbul sejak 3 bulan yang lalu, yang mana pasien mencuci pakain menggunakan sabun colek yang kerap menimbulkan rasa gatal setelahnya. Pada pemeriksaan dermatologi tampak erosi, skuama, eritema dan ekskoriasi pada daerah telapak tangan. Terapi yang diberikan pada pasien ini berupa obat loratadine 10 mg tab 1x1, kloderma 10 g cream, carmed 10% cream.

7

8

BAB III DISKUSI

Dermatitis kontak iritan adalah efek sitotosik lokal langsung dari bahan iritan baik fisika maupun kimia, yang bersifat tidak spesifik, pada sel-sel epidermis dengan respon peradangan pada dermis dalam waktu dan konsentrasi yang cukup. Pada pasien ini tampak adanya erosi, skuama, eritema dan ekskoriasi pada daerah telapak tangan. Semakin lama paparan iritan terhadap telapak tangan pasien bisa dilihat dari tingkat keparahan jejas yang timbul di daerah yang terpapar (telapak tangan), baik pada daerah epidermis maupun dermis sesuai dengan definisi dermatitis kontak iritan. Dermatitis kontak iritan (DKI) dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Namun, berdasarkan jenis kelamin, DKI secara signifikan lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi pada wanita dibanding pria karena faktor lingkungan, bukan genetik. Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif, enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan kimia higroskopik. Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa faktor, meliputi faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu penderita. Hal ini sesuai dengan keadaan pasien, dimana pasien bekerja di lab sebuah pabrik yang memungkin paparan bahan kimia secara terus menerus. Selain itu pasien juga rutin mencuci pakain menggunakan sabun yang di akui sendiri oleh pasien hal ini sering kali menyebabkan terjadinya gatal di telapak tangan pasien. Pada pemeriksaan dermatologi tampak erosi, skuama, eritema dan ekskoriasi pada daerah telapak tangan. Hal ini sesuai dengan gejala klinis dari dermatitis kontak iritan berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal dan terjadi likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung maka dapat menimbulkan retak kulit yang disebut fisura. Adakalanya kelainan hanya berupa kulit kering dan skuama tanpa eritema. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang karena berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah cukup untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak iritan. Meskipun begitu, pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis apabila gejala klinis yang tampak tidak khas dan meragukan untuk menentukan diagnosis suatu penyakit. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk 9

menegakkan diagnosis dermatitis kontak iritan adalah uji tempel dengan bahan yang dicurigai. Terapi yang diberikan pada pasien ini berupa obat loratadine 10 mg tab 1x1, kloderma 10 g cream, carmed 10% cream. Menurut teori upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal. Dapat pula diberikan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering. Kesimpulan pada kasus ini adalah pasien sudah dapat didiagnosis dermatitis kontak iritan yang ditegakkan melalui hasil anamnesis dan gejala klinis yang tampak saat dilakukan pemeriksaan fisik. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Terapi yang diberikan kurang lebih hampir sama dengan teori. Prognosis baik (bonam).

DAFTAR PUSTAKA

10

1.

Beltrani, V. S., et al., 2006. Contact Dermatitis: A Practice Parameter. Ann Alergi Asthma Immunol 97 (1): 1-38.

2.

Bock, M., et al., 2003. Contact Dermatitis and Allergy, Occupational Skin Disease in The Construction Industry. Br Journal Dermatol 149 (2) : 1165-1171.

3.

Crowe, M. A., 2009. Contact Dermatitis. Diperoleh dari:

http://www.Contact

Dermatitis_eMedicinePediatricsGeneralMedicine.mht 4.

Djuanda, S., dan Sri A. S., 2003. Dermatitis. Dalam: Djuanda, A. et al., ed. 3 Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 126-131.

5.

Fregret, S., 1998. Kontak Dermatitis. Jakarta: Yayasan Essentia Medica.

6.

-related_skin_disease–Contact dermatitis.mht.hsebooks.co.uk.

7.

_________________________, 2009. Managing Skin Exposure Risks at Work. Diperoleh

dari:

http://www.Managing_skin_exposure_risk_at_work.mht.hsebooks.co.uk. 8.

Hogan, D. J., 2009. Contact Dermatitis, Allergic. Diperoleh dari: http://www.Contact Dermatitis, Dermatitis,

Allergic_eMedicineDermatology.mht Irritant.

Diperoleh

dari:

__________,

2009.

http://www.Contact

Contact

Dermatitis,

Irritant_eMedicineDermatology.mht. 9.

Kampf, G., dan Harald L., 2007. Prevention of Irritant Contact Dermatitis Among Health Care Workers by Using Evidence-Based Hand Higiene Practice: A Revew. Industrial Health 45 (1) : 645-652.

10. Lestari, F., dan Hari S. U., 2007. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja di PT Inti Pantja Press Industry. Makara Kesehatan 11 (2): 6168. 11. Lestari, F., Wisnu N., Meily K., 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja yang Terpajan dengan Bahan Kimia di Perusahaan Industri Otomotif Kawasan Industri Cibitung Jawa Barat. Makara Kesehatan 12 (2): 63-70. 12. National Institute of Occupational Safety Hazards (NIOSH), 2006. Occupational and Environmental

Exposure

of

Skin

to

Chemic.

Diperoleh

dari:

http://www.mines.edu/outreach/oeesc. [Diakses 10 Maret 2010] 13. Sastroasmoro, S. dan Sofyan I., 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis Ed.3. Jakarta: Sagung Seto.

11

14. Situmeang, S. M. F., 2008. Analisa Dermatitis Kontak pada Pekerja Pencuci Botol di Pt. X Medan Tahun 2008. Makara Kesehatan 12 (1): 12-18. 15. Streit, M., dan Lasse R. B., 2001. Contact Dermatitis: Clinics and Pathology. Acta Odontol Scand 59: 309-314.

12

More Documents from "put zul"