BAGIAN ILMU BEDAH
LAPORAN KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN
MARET 2019
UNIVERSITAS HALU OLEO
ABSES HEPAR
Oleh : Amalia Nur Azizah K1A1 13 005 Pembimbing : dr. Irzal Junaid, Sp.B
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2019
BAB I LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN
B.
Nama
: Tn. Asir
Umur
: 42 tahun
Jenis kelamin
: Laki-Laki
Alamat
: Dusun III, Lamooso
No. RM
: 1-06-01-54
Tanggal masuk
: 31 Januari 2019
ANAMNESIS Keluhan Utama
: Nyeri perut kanan atas
Anamnesis terpimpin : Pasien rujukan dari RS Dewi Sartika dengan keluhan nyeri pada perut kanan atas yang dirasakan sejak ± 1 minggu yang lalu. Nyeri dirasakan terus-menerus. Keluhan berkurang ketika pasien duduk dan berjalan sambil membungkuk. Keluhan nyeri disertai benjolan pada perut kanan atas yang dirasakan semakin membesar. Keluhan lain: demam (+) hilang timbul, hilang dengan pengobatan, nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun (-). Buang air besar dan buang air kecil dalam batas normal. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak ada. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama tidak ada. Riwayat konsusmsi alkohol sejak 20 tahun yang lalu. Riwayat pengobatan sebelumnya pasien dirujuk dari RS Dewi Sartika dan diberikan pengobatan IVFD, analgesic, antibiotic, antipiretik dan H2RA. 2
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Composmentis, tampak sakit sedang, gizi baik Tanda Vital : Tekanan Darah
: 100/70 mmHg
Nadi
: 82x/menit
Pernapasan
: 20x/ menit
Suhu
: 36,5°C
Kepala
Bentuk normocephal, tidak terdapat deformitas
Wajah
Deformitas (-), luka (-)
Mata
Konjunctiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor (+/+)
Telinga
Perdarahan (-), sekret (-)
Hidung
Perdarahan (-), sekret (-)
Mulut
Perdarahan (-), Bibir kering (-), pucat (-)
Leher
Eritem (-) , udem (-), emfisema subkutis (-) Inspeksi : Pergerakan dinding dada spontan, simetris kiri dengan kanan
Thorax
Palpasi : Nyeri tekan (-) Perkusi : Sonor kiri dan kanan Auskultasi : Vesikuler Inspeksi : tampak benjolan pada regio hipocondrium kanan, ikut gerak napas Auskultasi : Peristaltik kesan normal
Abdomen
Palpasi : Nyeri tekan (+), massa soliter, pada regio hypocondrium dextra, hepatomegaly (+) 3 jari di bawah arcus costa Ludwig sign (+) Perkusi : pekak (+) pada regio hypocondrium dextra
3
Punggung
Dalam batas normal Superior : Dalam batas normal
Ekstremitas
Inferior : Dalam batas normal
D. FOTO KLINIS
4
E.
PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Darah Rutin (31/01/19) Parameter
Hasil
Nilai Rujukan
WBC
25,1 [103/uL]
4.00-10.00
RBC
4,3 [106/uL]
4.00 – 6.00
HGB
11,6 [g/dl]
12.0 – 16.0
HCT
32,0 [%]
37.0 – 48.0
PLT
480 [103/uL]
150 – 400
2. Kimia Darah (31/01/19) Parameter
Hasil
Nilai Rujukan
GDS
I50 [mg/dl]
< 140
GOT
58 [u/l]
< 32
GPT
76 [u/l]
< 37
3. USG Abdomen (30/01/19)
5
Kesan :
F.
-
Suspek abses hepar DD Hematoma
-
Hepatomegaly
RESUME Laki-laki, 42 tahun datang dengan keluhan nyeri pada perut kanan sejak ± 1 minggu yang lalu. Nyeri dirasakan terus-menerus, berkurang saat pasien duduk dan berjalan sambil membungkuk. Keluhan lain: benjolan perut kanan atas yang dirasakan semakin membesar dan demam. Riwayat konsumsi alkohol (+). Riwayat pengobatan sebelumnya (+). Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum composmentis, sakit sedang, gizi baik. Tanda-tanda vital dalam batas normal. Pemeriksaan abdomen tampak benjolan pada regio hypocondrium dextra, nyeri tekan (+), massa soliter, hepatomegaly (+) 3 jari di bawah arcus costa, Ludwig sign (+), pekak (+).
6
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis, penurunan hemoglobin, kadar GOT dan GPT meningkat. USG abdomen memberikan kesan suspek abses hepar DD Hematoma dan hepatomegaly.
G. DIAGNOSA
Abses Hepar
H. TERAPI
1. Terapi Non Farmakologi
Bed Rest
Konsul Bedah
2. Terapi Farmakologis
Ceftriaxone 1gr/12jm/iv Metronidazole 500mg/8j/iv Ketorolac 30 mg/8 jm/iv Ranitidine 50/8jm/iv
I. FOTO OPERASI (31/01/19)
Diagnosis pre operasi
:Abses Hepar
Diagnosis post operasi
: Post operasi laparotomy Abses Hepar
Nama/Macam operasi
: Laparotomy drainase Abses Hepar
Jam operasi
: 21.00 – 21.30 WITA
7
J. FOLLOW UP
Hari/Tanggal
Perjalanan Penyakit S : Nyeri pada perut kanan atas, benjolan pada perut kanan atas O: TD : 100/70 mmHg
31 Jan 2019
N : 80 x/m, regular kuat angkat P : 18 x/m S : 36,5° C A : Abses hepar
Planning IVFD RL 20 TPM Inj. Ceftriaxone 1 gr/IV/12 jam Inj. Metronidazole 500mg/IV/8jam Inj. Ketorolac 30 mg/IV/8 jam Inj. Ranitidine 50 mg/IV/8jm Pasien dipuasakan Rencana Operasi Laparotomy jam 21.00 Wita
S : Nyeri bekas operasi
IVFD RL 20 TPM
O:
Inj. Ceftriaxone 1 gr/IV/12 jam
1 Feb 2019
TD : 100/70 mmHg
Inj. Metronidazole
N : 80 x/m, regular kuat
500mg/IV/8jam
angkat
Inj. Ketorolac 30 mg/IV/8 jam
P : 18 x/m
Inj. Ranitidine 50 mg/IV/8jm
S : 36,5° C
Aff kateter
A : post op laparotomy H-1 abses hepar
2 Feb 2019
S : Nyeri bekas operasi
IVFD RL 20 TPM
berkurang
Inj. Ceftriaxone 1 gr/IV/12 jam
O:
Inj. Metronidazole TD : 110/70 mmHg
500mg/IV/8jam
N : 82 x/m, regular kuat
Inj. Ketorolac 30 mg/IV/8 jam
angkat
Inj. Ranitidine 50 mg/IV/8jm
P : 18 x/m
Aff drain
S : 36,7° C A : post op laparotomy H-2 abses hepar
3 Feb 2019
S : Nyeri bekas operasi
IVFD RL 20 TPM
berkurang
Inj. Ceftriaxone 1 gr/IV/12 jam
8
Inj. Metronidazole
O: TD : 110/70 mmHg
500mg/IV/8jam
N : 82 x/m, regular kuat
Inj. Ketorolac 30 mg/IV/8 jam
angkat
Inj. Ranitidine 50 mg/IV/8jm
P : 18 x/m S : 36,7° C A : post op laparotomy H-3 abses hepar
4 Feb 2019
S :-
Aff infuse
O:
Cefixime 200 mg tab/PO/12 TD : 110/70 mmHg
Jam
N : 82 x/m, regular kuat
Pasien boleh pulang
angkat P : 18 x/m S : 36,7° C A : post op laparotomy H-4 abses hepar
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. PENDAHULUAN Abses hepar adalah infeksi pada hati yang dapat disebabkan oleh karena infeksi bakteri, parasit, maupun jamur.Abses hepar merupakan penyakit serius yang membutuhkan diagnosis dan tata laksana cepat.Secara umum abses hepar terbagi menjadi dua yaitu, abses hepar amebic (AHA) dan abses hepar pyogenic (AHP). Kedua kelompok tersebut memberikan gambaran klinis yang hamper sama sehingga 40 tahun terakhir telah banyak perkembangan dalam menegakkan diagnosis dan pengobatan abses hepar. 1,2,3 Abses hepar banyak ditemukan di negara berkembang, terutama yang tinggal di daerah beriklim tropis dan subtropics.Angka mortalitas dinegara tersebut masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 10 – 40 %.Di negara-negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara endemic dan jauh lebih sering dibadingkan AHP. Penyakit AHA masih menjadi masalah kesehatan terutama didaerah dengan strain virulen Entamoeba hystilotica yang tinggi.1,4 Mortalitas AHP yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bacterial penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis yang buruk dapat terjadi apabila terjadi keterlambatan diagnosis dan pengobatan. Komplikasi berupa rupture abses hepar yang disertai dengan peritonitis dapat memperburuk prognosis pada pasien dengan abses hepar. Sehingga, dibutuhkan kecepatan dan ketepatan dalam mendiagnosis dan pengobatan.1
10
B. ANATOMI Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rat-rata sekitar 1.500 gr. 2 % berat badan orang dewasa normal.Hati merupakan organ lunak yang lentur dan tercetak oleh struktur sekitar.Hati memiliki permukaan superior yang cembung dan terletak di bawah kubah merupakan atap dari ginjal, lambung, pankreas dan usus.Hati memiliki dua lobus yaitu kiri dan kanan.Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut lobulus, yang merupakan unit mikroskopi dan fungsional organ.
Gambar 1. Permukaan Anterior Hati Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fissura segmentalis yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiforme yang dapat dilihat dari luar. Ligamentum falsiforme berjalan dari hati ke diafragma dan dinding depan
11
abdomen. Permukaan hati diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil
pada
permukaan
diafragma.Beberapa membantu
posterior
ligamentum
menyokong
hati.
yang
melekat
yang merupakan
Dibawah
peritoneum
langsung
lipatan
pada
peritoneum
terdapat
jaringan
penyambung padat yang dinamakan kapsula Glisson, yang meliputi seluruh permukaan organ; kapsula ini melapisi mulai dari hilus atau porta hepatis di permukaan inferior, melanjutkan diri ke dalam massa hati, membentuk rangka untuk cabang-cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran empedu.
Gambar 2. Permukaan Posterior Hati Hati memiliki maksimal 100.000 lobulus.Di antara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang disebut sebagai sinusoid.Sinusoid dibatasi oleh sel fagostik dan sel kupffer. Sel kupffer fungsinya adalah menelan bakteri dan benda asing lain dalam darah.
12
Hati memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatica, dan dari aorta melalui arteri hepatica.Sekitar sepertiga darah yang masuk adalah darah arteri dan dua pertiganya adalah darah vena porta.Saat mencapai hati, vena porta bercabang-cabang yang menempel
melingkari
lobulus
hati.Cabang-cabang
ini
kemudian
mempercabangkan vena interlobularis yang berjalan di antara lobuluslobulus.Vena-vena ini selanjutnya membentuk sinusoid yang berjalan diantara lempengan hepatosit dan bermuara dalam vena sentralis. Vena sentralis dari beberapa lobulus membentuk vena sublobularis yang selanjutnya kembali menyatu dan membentuk vena hepatika.Cabangcabang terhalus dari arteria hepatika juga mengalirkan darahnya ke dalam sinusoid, sehingga terjadi campuran darah arteria dari arteria hepatika dan darah vena dari vena porta.Peningkatan tekanan dalam sistem ini sering menjadi manifestasi gangguan hati dengan akibat serius yang melibatkan pembuluh-pembuluh
darimana
darah
portal
berasal.Beberapa
lokasi
anastomosis portakaval memiliki arti klinis yang penting.Pada obstruksi aliran ke hati, darah porta dapat dipirau ke sistem vena sistemik. Volume total darah yang melewati hati setiap menitnya adalah 1.500 ml dialirkan melalui vena hepatika dekstra dan sinistra, yang selanjutnya bermuara pada vena kava inferior.
13
C. FISIOLOGI Hati sangat penting untuk mempertahankan hidup dan berperanan pada hampir setiap fungsi metabolik tubuh, dan khususnya bertanggung jawab atas lebih dari 500 aktivitas berbeda.Untunglah hati memiliki kapasitas cadangan yang besar, dan hanya dengan 10-20% jaringan yang berfungsi, hati mampu mempertahankan
kehidupan.
Destruksi
total
atau
pembuangan
hati
mengakibatkn kematian dalam 10 jam. Hati memiliki kemampuan regenerasi yang tinggi. Pada sebagian besar kasus, pengangkatan sebagian hati, baik karena sel sudah mati atau sakit, akan diganti dengan jaringan hati yang baru. Tabel 1. Fungsi Utama Hati Fungsi
Keterangan
Pembentukan dan ekskresi Garam empedu penting untuk pencernaan dan empedu
absorpsi lemak dan vitamin yang larut dalam lemak
Metabolisme garam di usus. empedu
Metabolisme
Bilirubin, pigmen empedu utama, merupakan hasil
pigmen empedu
akhir metabolisme pemecahan sel darah merah yang sudah tua; proses konjugasinya.
Metabolisme karbohidrat
Hati
memegang
peranan
penting
dalam
Glikogenesis
mempertahankan kadar glukosa darah normal dan
Glikogenolisis
menyediakan energi untuk tubuh. Karbohidrat
Glukoneogenesis
disimpan dalam hati sebagai glikogen.
Metabolisme protein
Sintesis protein
Protein serum yang disintesis oleh hati termasuk albumin serta α dan β globulin (γ globulin tidak). Faktor pembekuan darah yang disintesis oleh hati adalah fibrinogen (I), protrombin (II), dan faktor V, VII, VIII, IX, dan X. Vitamin K diperlukan sebagai
14
kofaktor pada sintesis semua faktor ini kecuali faktor V.
Pembentukan urea
Urea dibentuk semata-mata dalam hati dari NH3,
Penyimpanan
yang kemudian diekskresi dalam kemih dan feses.
protein
(asam NH3 dibentuk dari deaminsasi asam amino dan kerja bakteri usus terhadap asam amino.
amino) Metabolisme lemak
Hidrolisis trigliserida, kolesterol, fosfolipid, dan lipoprotein (diabsorbsi dari usus) menjadi asam lemak dan gliserol.
Ketogenesis
Sintesis kolesterol
Hati memegang peranan utama pada sintesis kolesterol, sebagian besar diekskresi dalam empedu sebagai kolesterol atau asam kolat.
Penyimpanan lemak
Penyimpanan vitamin dan Vitamin yang larut lemak (A, D, E, K) disimpan mineral
dalam hati; juga vitamin B12, tembaga dan besi.
Metabolisme steroid
Hati menginaktifkan dan mensekresi aldosteron, glukokortikoid, estrogen, dan testosteron.
Detoksifikasi
Hati bertanggung jawab atas biotransformasi zat-zat berbahaya menjadi zat-zat tidak berbahaya yang kemudian dieksresi oleh ginjal (misalnya obatobatan)
Ruang
penampung
fungsi penyaring
dan Sinusoid hati merupakan depot darah yang mengalir kembali dari vena kava (payah jantung kanan); kerja fagositik sel Kupffer membuang bakteri dan debris dari darah.
15
Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utama hati; saluran empedu hanya mengangkut empedu sedangkan kandung empedu menyimpan dan mengeluarkan empedu ke usus halus sesuai kebutuhan.Hati mensekresi sekitar 1 liter empedu kuning setiap hari.Unsur utama empedu adalah air (97%), elektrolit, garam empedu, fosfolipid (terutama lesitin) kolesterol, dan pigmen empedu (terutama bilirubin terkonjugasi).Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorbsi lemak dalam usus halus. Setelah diolah oleh bakteri usus halus, maka sebagian besar garam empedu akan direabsorbsi di ileum, mengalami resirkulasi ke hati, serta kembali dikonjugasi dan disekresi. Bilirubin (pigmen empedu) merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak penting, namun merupakan petunjuk penyakit hati dan saluran empedu yang penting, karena bilirubin cenderung mewarnai jaringan dan cairan yang berkontak dengannya. Hati memegang peranan penting pada metabolisme tiga bahan makanan yang dikirimkan oleh vena porta pasca absorbsi di usus.Bahan makanan tersebut adalah karbohidrat, protein, dan lemak.Monosakarida dari usus
halus
diubah
menjadi
glikogen
dan
disimpan
dalam
hati
(glikogenesis).Dari depot glikogen ini, glukosa dilepaskan secara konstan ke dalam darah (glikogenolisis) untuk memenuhi kebutuhan tubuh.Sebagian glukosa dimetabolisme dalam jaringan untuk menghasilkan panas dan energi, dan sisanya diubah menjadi glikogen dan disimpan dalam jaringan subkutan.Hati mampu mensintesis glukosa dari protein dan lemak (glukoneogenesis).Peranan hati pada metabolisme sangat penting untuk
16
kelangsungan hidup.Semua protein plasma, kecuali gamma globulin, disintesis oleh
hati.
Protein
ini
termasuk
albumin
yang
diperlukan
untuk
mempertahankan tekanan osmotik koloid, dan protrombin, fibrinogen, dan faktor-faktor pembekuan lain. Selain itu, sebagian besar degradasi asam amino dimulai dalam hati melalui proses deaminasi atau pembuangan gugus amonia (NH3). Amonia yang dilepaskan kemudian disintesis menjadi urea dan disekresi oleh ginjal dan usus.Amonia yang terbentuk dalam usus oleh kerja bakteri pada protein juga diubah menjadi urea dalam hati. Fungsi metabolisme hati yang lain adalah metabolisme lemak, penyimpanan vitamin, besi, dan tembaga; konjugasi dan ekskresi steroid adrenal dan gonad, serta detoksifikasi sejumlah besar zat endogen dan eksogen. Fungsi detoksifikasi sangat penting dan dilakukan oleh enzim-enzim hati melalui oksidasi, reduksi, hidrolisis, atau konjugasi zat-zat yang dapat berbahaya, dan mengubahnya menjadi zat yang secara fisiologis tidak aktif. Zat-zat seperti indol, skatol, dan fenol yang dihasilkan oleh kerja bakteri pada asam amino dalam usus besar dan zat-zat eksogen seperti morfin, fenobarbital, dan obat-obat lain, didetoksifikasi dengan cara demikian. Akhirnya, fungsi hati adalah sebagai ruang penampung atau saringan karena letaknya yang strategis antara usus dan sirkulasi umum. Sel kupffer pada sinusoid menyaring bakteri darah portal dan bahan-bahan yang membahayakan dengan cara fagositosis.
17
D. EPIDEMIOLOGI Abses hepar secara umum terbagi menjadi dua yaitu, abses hati amebic dan abses hati piogenik. Di negara maju 80 % abses hepar adalah abses hepar piogenik, 10 % abses hepar amuba dan kurang dari 10 % berupa abses hepar akibat jamur. Abses hepar amebic (AHA) merupakan suatu komplikasi amebiasis ekstra intestinal yang paling sering dijumpai pada daerah yang beriklim tropis maupun subtropics termasuk di Indonesia.2 Di negara-negara yang sedang berkembang, angka kejadian AHA lebih banyak dibandingkan AHP.Infeksi amuba disebabkan oleh Entamoeba histolytica yang mencakup 10 % dari seluruh populasi dunia dan 95% diantaranya adalah karier yang asimptomatis.Dari 5% pasien simptomatis, 10% terdiagnosis abses hepar.Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Insidens amubiasis hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17% sedangkan di berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15 pasien/tahun. Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat. Kebanyakan yang menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3-4-8,5 kali lebih sering dari wanita. Faktor terjadinya AHA juga dapat dipengaruhi oleh keadaan nutrisi, hygine individu yang buruk dan kepadatan penduduk.1,2,5 AHP tersebar diseluruh dunia dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygine dan sanitasi yang buruk.Secara epidemiologi didapatkan 8-15 per 100.000 kasus AHP yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit. AHP
18
lebih sering terjadi pada laki-laki dengan rentan usia sekitar lebih dari 40 tahun dengan insidensi puncak pada decade ke 6. 2,5
E. DEFINISI Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hepar yang disebabkan oleh bakteri (piogenik), parasit (amuba), jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus di dalam parenkim hati. Di Negara barat, 80 % abses hati berupa abses hepar piogenik, 10 % berupa abses hepar amuba, dan < 10 % disebabkan oleh jamur.1
F. ETIOLOGI 1. Abses Hepar Piogenik AHP pada umumnya disebakan oleh bakteri aerob gram negative dan anaerob, yang tersering adalah bakteri yang berasal dari flora normal usus seperti E. coli, Anaerobic streptococci, Klebsiella pneumoniae, Bacteriodes, Fusobacterium, Staphilococcus aereus, Staphilococcus milleri, Candida albicans, Aspergillus, Eikenella corrodens, Yersinis enterolitica, Salmonella thypii, Brucella melitensis dan fungal.4,5,6 2. Abses Hepar Amuba Abses hepar amuba disebabkan oleh Entamoeba histolytica yang mempunyai dua bentuk, yakni bentuk kista yang inaktif dan bentuk trofozoit yang dapat bergerak aktif.Bentuk trofozoit bergerak secara
19
amuboid, membentuk koloni dalam kripta usus besar dan mampu menginfltrasi mukosa dan lapisan otot. Trofozoit ini membentuk kista yang akan keluar bersama tinja. Bentuk kista inilah yang menimbulkan infeksi. Kista ini berdinding tebal dan bila termakan dapat bertahan terhadap asam lambung tetapi jika masih terdapat dalam makanan atau minuman dapat dimatikan dengan pemanasan sampai suhu 55 derajat celcius.2 Bentuk kista merupakan sumber penularan dan masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau minuman.Di dalam usus, bentuk kista ini berubah menjadi bentuk trofozoit.Trofozit kemudian berkembang , bila menembus mukosa trofozoit akan menyebabkan tukak pada mukosa kolon. Abses hepar amuba dapat terjadi karena trofozoit E. histolytica dari dinding usus terbawa aliran vena porta ke hepar.Tetapi tidak semua amuba yang masuk ke hepar dapat menyebabkan abses. Hal tersebut dipengaruhi oleh factor pendukung berupa riwayat infeksi amuba sebelumnya, tingginya kadar kolesterol, riwayat trauma hepar, dan konsumsi alcohol. 2
G. FAKTOR RISIKO Berikut dibawah ini merupakan faktor risiko yang menyebabkan perkembangan dan peningkatan mortalitas abses hati, antara lain:
20
Tabel 2. Faktor Risiko Abses Hati Faktor Risiko yang Menyebabkan Faktor Risiko yang Menyebabkan Perkembangan Abses Hati Peningkatan Mortalitas Abses Hati 1. Diabetes Mellitus* Keganasan 2. Sirosis hepatis* Diabetes Mellitus* 3. Status imuno Sirosis Hepatis* compromised Jenis kelamin laki-laki* 4. Penggunaan PPI Infeksi mikroorganisme 5. Usia campuran 6. Jenis kelamin laki-laki* Abses hati yang ruptur Abses ukuran > 5 cm Distress pernapasan Jaundice Hipotensi Keterlibatan ekstra-hepatik
H. PATOFISIOLOGI 1. Abses Hati Amuba Abses hati amuba terjadi karena trofozoit E. hystolytica dari dinding usus terbawa aliran vena porta ke hati, tetapi tidak semua amuba yang masuk ke hati dapat menimbulkan abses.Hal tersebut dipengaruhi oleh factor pendukung berupa riwayat infeksi amuba sebelumnya, tingginya kadar kolesterol, riwayat trauma hepar, dan konsumsi alcohol. 2 Setelah amuba masuk ke dalam hati akan terjadi reaksi radang yang akhirnya diikuti oleh terjadinya nekrosis jaringan. Proses pencairan jaringan nekrosis multiple yang semakin lama semakin besar ini kemudian bergabung membentuk abses yang berisi cairan merah coklat (anchovy sauce) tak berbaau, karena merupakan produk lisis jaringan nekrosis dan perdarahan.Cairan terbungkus oleh hyperplasia jaringan ikat yang disebut
21
dengan simpai walaupun bukan simpai sejati.Jaringan ikat ini membatasi kerusakan lebih jauh, kecuali jika ada infeksi tambahan. 2 Sel hati yang jauh dari focus infeksi jugamengalami sedikit perubahan meskipun tidak ditemukan amuba. Perubahan ini diduga akibat toksin yang dikeluarkan oleh amuba.2 Kebanyakan abses hati bersifat soliter, steril dan terletak di lobus kanan dekat kubah diafragma. Jarang ditemukan amuba pada cairan abses, bila ada amuba biasanya terdapat di daerah dekat dengan simpainya.2 2.
Abses Hati Pyogenik Hati mendapatkan darah dari sirkulasi sitemik dan sirkulasi portal. Sehingga hati sangat rentan terhadap infeksi.Namun sel kupffer yang berada pada sinusoid hepatica bertugas untuk membersihkan bakteri sehingga infeksi jarang terjadi.7 Dulu dicurigai bahwa appendicitis merupakan penyebab utama abses hepar. Namun, saat ini diketahui bahwa traktus bilier merupakan sumber utama abses hepar piogenik. Obstruksi saluran bilier dapat menyebabkan proliferasi bacterial. Penyakit batu bilier, keganasan, striktur, dan penyakit kongenital dapat memicu terjadinya obstruksi pada traktus
bilier.
Infeksi
pada
jaringan
portal
dapat
menimbulkan
thrombophlebitis septik local yang mengakibatkan abses hepar. Emboli yang terlepas ke sirkulasi portal dapat terjebak di sinusoid hepatica dan menjadi nodus untuk pembentukan mikroabses. Seringkali pada awalnya mikroabses ini terpisah-pisah lalu menyatu dan membentuk satu lesi
22
soliter. Pembentukan mikroabses juga bias berasal dari desimenasi organisme hematogenik yang berhubungan dengan bakterimia sistemik, seperti endocarditis dan pielonefritis. 7 Trauma tajam dan tumpul dapat mengaibatkan laserasi, perdarahan dan nekrosis hati serta ekstravasasi cairan empedu yang mudah terinfeksi. Hematoma subskapuler dapat juga menghasilkan lingkungan yang memudahkan pertumbuhan bakteri dan terjadi infeksi sehingga dapat membentuk abses hepar piogenik yang soliter dan terlokalisasi.2,7
I. MANIFESTASI KLINIS Abses adalah tahap terakhir dari suatu infeksi jaringan yang diawali dengan
proses
yang
disebut
peradangan.
Awalnya,
seperti
bakteri
mengaktifkan sistem kekebalan tubuh, beberapa kejadian terjadi: a. Darah mengalir ke daerah hepar dengan abses meningkat. b. Suhu daerah hepar dengan abses meningkat karena meningkatnya pasokan darah. c. Wilayah membengkak akibat akumulasi air, darah, dan cairan lainnya. d. Kemerahan setempat daerah hepar dengan abses. e. Rasanya sakit, karena iritasi dari pembengkakan dan aktivitas kimia. f. Tanda peradangan : panas, bengkak, kemerahan, dan sakit Manifestasi sistemik abses hati pyogenik biasanya lebih berat daripada abses hati amubik. Sindrom klinis abses hati pyogenik berupa:
23
a. Nyeri spontan perut kanan atas, ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dengan kedua tangan ditaruh diatasnya, b. Demam tinggi disertai keadaan syok Sedangkan pada abses hati amubik berupa: a. Malaise b. Demam tidak terlalu tinggi c. Nyeri tumpul pada abdomen memberat jika terdapat pergerakan. d. Iritasi diafragma muncul gejala seperti nyeri bahu kanan, batuk, ataupun atelektasis e. Gejala sitemik lainnya seperti mual, muntah, anoreksia, berat badan yang turun untentional, badan lemah, ikterus, BAB seperti kapur, dan urine berwarna gelap
J. DIAGNOSIS Penegakan
diagnosis
dapat
ditegakkan
melalui
anamnesis,
pemeriksaan fisik, laboratorium, serta pemeriksaan penunjang.Terkadang diagnosis abses hepar sulit ditegakkan karena gejalanya yang kurang spesifik.Diagnosis dini memberikan arti yang sangat penting dalam pengelolaannya karena penyakit ini sebenarnya dapat disembuhkan.Diagnosis yang terlambat akan meningkatkan morbiditas dan mortalitasnya.
24
a.
Anamnesis Abses Hati Keluhan awal abses hati dapat berupa: 1. Demam/menggigil T > 38oC, 2. Nyeri abdomen seperti tertusuk dan ditekan kadang didapatkan penjalaran ke bahu dan lengan kanan, 3. Anokresia/malaise, 4. Batuk disertai rasa sakit pada diafragma, 5. Mual/muntah, 6. Penurunan berat badan, 7. Keringat malam, 8. Diare maupun riwayat disentri beberapa bulan sebelumnya. Dicurigai adanya abses hati pyogenik apabila ditemukan sindrom klinis klisik berupa nyeri spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakan di atasnya. Demam/panas tinggi merupakan keluhan yang paling utama, keluhan lain yaitu nyeri pada kuadran kanan atas abdomen, dan disertai dengan keadaan syok. Apabila abses hati pyogenik letaknya dekat digfragma, maka akan terjadi iritasi diagfragma sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektesis, rasa mual dan muntah, berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan. Hal lainnya yang perlu dinilai dalam anamnesis abses hati adalah riwayat hepatitis sebelumnya dan riwayat keluarnya proglottid (lembaran putih di pakaian dalam) dengan tujuan menyingkirkan diagnosa banding.
25
b. Pemeriksaan Fisik Abses Hati Tabel 5. Pemeriksan Fisik pada Abses Hati Inspeksi
Pada beberapa pasien mungkin ditemukan abses yang telah menembus kulit.
Palpasi
Anemis dan ikterus (jarang) 25% kasus
Ludwig sign (+)
Nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
Nyeri tekan regio epigastrium bila abses di lobus kiri, hati-hati efusi perikardium
Nyeri tekan menjalar ke lumbal kanan abses di postoinferior lobus kanan hati
Nyeri pada bahu sebelah kanan
Hepatomegali teraba sebesar 3 jari sampai 6 jari di bawah arcus-costa, permukaan hepar licin dan tidak jarang teraba fluktuasi
Perkusi
Peningkatan batas paru-hati relatif/absolut tanpa peranjakan
Auskultasi
Friction rub bila ruptur abses ke perikardium
Bising usus menghilang kemungkinan perforasi ke peritoneum
c. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang seperti foto toraks dan foto polos abdomen digunakan untuk mendeteksi kelainan atau komplikasi yang ditimbulkan oleh amebiasis hati. Diagnosa pasti adalah melalui USG dan CT Scan yang sensitivitasnya sekitar 85-95%.
26
1. Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium yang diperiksa adalah darah rutin yaitu kadar Hb darah, jumlah leukosit darah, kecepatan endap darah dan percobaan fungsi hati, termasuk kadar bilirubin total, total protein dan kadar albumin dan glubulin dalam darah. Banyak penderita abses hepar tidak mengalami perubahan bermakna pada tes laboratoriumnya.Pada penderita akut anemia tidak terlalu tampak tetapi menunjukkan leukositosis yang bermakna sementara penderita abses hepar kronis justru sebaliknya. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, peningkatan alkalin fosfatase, peningkatan enzim transaminase dan serum bilirubin, berkurangnya kadar albumin serum dan waktu protrombin yang memanjang menunjukan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati yang disebabkan abses hati. 2. Pemeriksaan Fungsi Hati Abnormalitas tes fungsi hati lebih jarang terjadi dan lebih ringan
pada
abses
hati
amebik
dibanding
abses
hati
piogenik.Hiperbilirubinemia didapatkan hanya pada 10 % penderita abses hepar. Karena pada abses hepar amebik terjadi proses destruksi parenkim hati, maka PPT (plasma protrombin time) meningkat.
27
3. Pemeriksaan serologis Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan meliputi IHA (Indirect Hemagglutination), GDP (Gel Diffusion Precipitin), ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay), counterimmunelectrophoresis, indirect immunofluorescence, dan complement fixation.IHA dan GDP merupakan prosedur yang paling sering digunakan. a. IHA dianggap positif jika pengenceran melampaui 1 : 128. Sensitivitasnya mencapai 95%. Bila tes tersebut diulang, sensitivitasnya dapat mencapai 100%. IHA sangat spesifik untuk amubiasis invasif. Tetapi, hasil yang positif bisa didapatkan sampai 20 tahun setelah infeksi mereda. b. GDP meskipun dapat mendeteksi 95% abses hepar karena amuba. Juga mendeteksi colitis karena amuba yang non-invasif. Jadi, tes ini sensitif, tetapi tidak spesifik untuk abses amuba hepar. Namun demikian, GDP mudah dilaksanakan, dan jarang sekali tetap positif sampai 6 bulan setelah sembuhnya abses. Karena itu, bila pada pemeriksaan radiologi ditemukan lesi "space occupying" di hepar, GDP sangat membantu untuk memastikan apakah kelainan tersebut disebabkan amuba. 4. Pemeriksaan radiologis Pada foto rontgen terlihat kubah difragma kanan meninggi, efusi pleura, dan atelectasis paru kanan.USG memiliki sensitivitas yang sama dengan CT scan dalam mengidentifikasi abses hepar. Rendahnya biaya dan sifat non-radiasi membuat USG menjadi pilihan
28
untuk mendiagnosis abses hepar.Abses hepar amebik biasanya besar dan multipel. Menurut Middlemiss (I964) gambaran radiologis dari abses hati adalah sebagai berikut :
Peninggian dome dari diafragma kanan.
Berkurangnya gerak dari dome diafragma kanan.
Pleural efusion.
Kolaps paru.
Abses paru
a. CT scan:
Gambar 11. Hasil CT Scan pasien dengan Abses Hati
Hipoekoik
Massa oval dengan batas tegas
Non-homogen
b. USG
Gambar 12. Hasil USG pasien dengan Abses Hati
Bentuk bulat atau oval
Tidak ada gema dinding yang berarti
Ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal.
29
Bersentuhan dengan kapsul hati
Peninggian sonik distal (distal enhancement)
c. MRI Terdapat gambaran hiperintens pada bagian abses
Gambar 13. Hasil MRI Pasien dengan Abses Hati
K. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan secara konvensional adalah dengan drainase terbuka secara operasi dan antibiotika spektrum luas oleh karena bakteri penyebab abses terdapat di dalam cairan abses yang sulit dicapai dengan antibiotika tunggal tanpa aspirasi cairan abses.Penatalaksanaan saat ini adalah dengan drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntutan abdomen ultrasound atau tomografi komputer, komplikasi yang bisa terjadi adalah perdarahan, perforasi organ intra abdominal dan infeksi, atau malah terjadi kesalahan dalam penempatan kateter drainase.Kadang pada abses hati piogenik multipel diperlukan reseksi hati.
30
Gambar 14. Algoritma Penatalaksanaan Abses Hati 1. Terapi Non-Farmakologi
Makan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
Karbohidrat 40-50 kkal/kgBB
Protein 1-1,5 g/kgBB
Makanan dalam bentuk lunak
Bed rest
Menghindari faktor risiko yang dapat memperberat, misalnya konsumsi alkohol.
2. Terapi Farmakologi Pada abses hati amuba, pemberian antibiotic Metronidazole merupakan obat pilihan dengan dosis 3 kali 750 mg tiap hainya pada orang dewasa dan 35-50 mg/kgBB pada anak-anak diberikan selama 10 hari. Jika tidak dapat diberikan peroral, obat dapat diberikan melalui parenteral intravena sebanyak 500 mg tiap 8-12 jam.Sekitar 94 % penderita
31
menunjukkan respon yang baik dalam waktu 72 jam. Dapat juga duberikan klorokuin fosfatase yang merupakan antiamuba ekstraintestinal dan diberikan dalam dosis 1 gram tiap hari selama 3 hari, dilanjutkan dengan 500 mg tiap hari selama 2-3 minggu. Pada abses hati pyogenic pemberian antibiotic disesuaikan dengan hasil tes kepekaan kuman.Bila hasil tes belum ada, dapat diberikan kombinasi gentamisin, metronidazole atau klindamisin.Pengobatan perlu dilanjutkan selama 2 bulan, kecuali bilaabse telah diatasi dengan terapi pembedahan. 3. Aspirasi Aspirasi dilkukan dengan indikasi abses dikhawatirkan akan pecah (bila diameter > 5 cm untuk abses tunggal, dan > 3 cm untuk abses multipel), respon terhadap medikamentosa setelah 7 hari tidak ada, abses di lobus kiri, warning pecah dan menyebar ke rongga perikardium maupun peritoneum. Aspirasi berguna untuk mengurangi gejala-gejala penekanan dan menyingkirkan adanya infeksi bakteri sekunder.Aspirasi juga mengurangi risiko ruptur pada abses yang volumenya lebih dari 250 ml, atau lesi yang disertai rasa nyeri hebat dan elevasi diafragma.Aspirasi juga bermanfaat bila terapi dengan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan.Aspirasi bisa dilakukan secara buta, tetapi sebaiknya dilakukan dengan tuntunan ultrasonografi sehingga dapat mencapai ssaran yang tepat.Aspirasi dapat dilakukan secara berulang-ulang secara tertutup atau
32
dilanjutkan dengan pemasangan kateter penyalir.Pada semua tindakan harus diperhatikan prosedur aseptik dan antiseptik untuk mencegah infeksi sekunder. 4. Drainase Perkutan Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan perikardial. 5. Drainase pembedahan Pembedahan dapat dilakukan secara open laparatomi atau laparaskopi. Pembedahan dilakukan jika terdapat indikasi berupa :
Abses disertai komplikasi infeksi sekunder
Abses yang jelas menonjol ke dinding abdomen atau ruang interkostal
Bila terapi medikamentosa dan aspirasi tidak berhasil
Ruptur abses ke dalam rongga intra peritoneal/pleural/pericardial
6. Hepatektomi Dewasa ini dilakukan hepatektomi yaitu pengangkatan lobus hati yang terkena abses.Hepatektomi dapat dilakukan pada abses tunggal atau multipel, lobus kanan atau kiri, juga pada pasien dengan penyakit saluran empedu.Tipe reseksi hepatektomi tergantung dari luas daerah hati yang terkena abses juga disesuaikan dengan perdarahan lobus.
33
L. KOMPLIKASI Komplikasi yang paling sering adalah berupa rupture abses sebesar 515,6%, perforasi abses ke berbagai organ tubuh seperti ke pleura, paru, pericardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase. Dapat juga komplikasi seperti: 1. Infeksi sekunder Merupakan komplikasi paling sering, terjadi pada 10-20% kasus.Kuman penyebab terserung staphylococcus dan streptococcus. 2. Ruptur akut dengan penjalaran langsung Rongga atau organ yang terkena tergantung pada letak abses. Perforasi
paling
sering
ke
pleuropulmonal,
kemudian
kerongga
intraperitoneum (terutama amubiasis hati di lobus kiri), selanjutnya pericardium dan amubiasis kutis maupun organ-organ lain. 3. Komplikasi vaskuler Ruptur ke dalam v. porta (trombosis vena porta), saluran empedu (trombosis vena hepatica) atau traktus gastrointestinal jarang terjadi. 4. Parasitemia, amoebiasis serebral E. histolytica bisa masuk aliran darah sistemik dan menyangkut di organ lain misalnya otak yang akan memberikan gambaran klinik dari lesi fokal intrakranial. 5. Ileus obstruktif 6. Koma hepatikum.
34
M. PROGNOSIS Prognosis dari abses hepar tergantung: 1. Virulensi parasit 2. Status imunitas dan keadaan nutrisi penderita 3. Usia penderita, lebih buruk pada usia tua 4. Cara timbulnya penyakit, tipe akut mempunyai prognosa lebih buruk letak dan jumlah abses, prognosis lebih buruk bila abses di lobus kiri atau multiple. Sejak digunakan pemberian obat seperti emetine, metronidazole, dan kloroquin, mortalitas menurun secara tajam.Sebab kematian biasanya karena sepsis atau sindrom hepatorenal. Prognosis yang buruk, apabila terjadi keterlambatan diagnosis dan pengobatan, jika hasil kultur darah yang memperlihatkan penyebab bakterial organisme multipel, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleura atau adanya penyakit lain.
35
BAB III DISKUSI KASUS Laki-laki umur 42 tahun dating dengan keluhan nyeri pada perut kanan atas yang dirasakan sejak ± 1 minggu yang lalu. Nyeri dirasakan terus-menerus. Keluhan berkurang ketika pasien duduk dan berjalan sambil membungkuk. Keluhan nyeri disertai benjolan pada perut kanan atas yang dirasakan semakin membesar. Keluhan lain: demam (+) hilang timbul, hilang dengan pengobatan, nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun (-). Buang air besar dan buang air kecil dalam batas normal. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak ada. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama tidak ada. Riwayat konsusmsi alkohol sejak 20 tahun yang lalu. Riwayat pengobatan sebelumnya pasien dirujuk dari RS Dewi Sartika dan diberikan pengobatan IVFD, analgesic, antibiotic, antipiretik dan H2RA. Keadaan umum : kompos mentis, sakit sedang, tanda vital TD : 100/70, Nadi 82 x/m, Pernapasan 20 x/m, dan suhu 36,5oC. Pemeriksaan fisik status lokalis abdomen didapatkan pada inspeksi : tampak benjolan pada regio hipocondrium kanan, ikut gerak napas, pada auskultasi : peristaltik (+), pada palpasi : nyeri tekan (+), massa massa soliter, pada regio hypocondrium dextra, hepatomegaly (+) 3 jari di bawah arcus costa, ludwig sign (+), pada perkusi : pekak (+) regio hypocondrium dextra. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis, penurunan hemoglobin, kadar GOT dan GPT meningkat. USG abdomen memberikan kesan suspek abses hepar DD Hematoma dan hepatomegaly. Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hepar yang disebabkan oleh bakteri (piogenik), parasit (amuba), jamur maupun nekrosis steril yang bersumber
36
dari gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus di dalam parenkim hati. Di negara barat, 80 % abses hati berupa abses hepar piogenik, 10 % berupa abses hepar amuba, dan < 10 % disebabkan oleh jamur. Insidens amubiasis hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17% sedangkan di berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15 pasien/tahun. Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat.Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E. Hystolitica memiliki prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk. Manifestasi sistemik abses hati pyogenik biasanya lebih berat daripada abses hati amubik. Sindrom klinis abses hati pyogenik berupa nyeri spontan perut kanan atas, ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dengan kedua tangan ditaruh diatasnya, demam tinggi disertai keadaan syok. Sedangkan pada abses hati amubik berupa malaise, demam tidak terlalu tinggi, nyeri tumpul pada abdomen memberat jika terdapat pergerakan, iritasi diafragma muncul gejala seperti nyeri bahu kanan, batuk, ataupun atelectasis.Gejala sitemik lainnya seperti mual, muntah, anoreksia, berat badan yang turun untentional, badan lemah, ikterus, BAB seperti kapur, dan urine berwarna gelap. Penegakan diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, serta pemeriksaan penunjang.Terkadang diagnosis abses hepar sulit ditegakkan karena gejalanya yang kurang spesifik. Dicurigai adanya abses
37
hati pyogenik apabila ditemukan sindrom klinis klisik berupa nyeri spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakan di atasnya dan Demam merupakan keluhan yang paling utama. Pada pemeriksaan fisis didapatkan perut terlihat cembung, terdapat nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen dan dapat teraba pembesaran hepar. Pada pemeriksaan penunjang, diagnosa pasti adalah melalui USG dan CT Scan yang sensitivitasnya sekitar 85-95%. Pemeriksaan USG memiliki sensitivitas yang sama dengan CT scan dalam mengidentifikasi abses hepar. Rendahnya biaya dan sifat non-radiasi membuat USG menjadi pilihan untuk mendiagnosis abses hepar. Tatalaksana pada abses hepar dapar berupa pemberian antibiotic, aspirasi, drainase perkutaneus, laparatomi atau laparaskopi, dan hepatoktomi. Pemberian antibiotic diawali dengan antibiotik spectrum luas jika tidak terdapat antibiotic yang sesuai dengan hasil tes kepekaan kuman.Aspirasi dengan kombinasi pemberian antibiotic melalui tindakan aspirasi dinilai cukup efektif pada banyak penderita. Aspirasi berguna untuk mengurangi gejala-gejala penekanan dan menyingkirkan adanya infeksi bakteri sekunder.Aspirasi juga mengurangi risiko ruptur pada abses yang volumenya lebih dari 250 ml, atau lesi yang disertai rasa nyeri hebat dan elevasi diafragma. Drainase perkutan berguna pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan perikardial. Tingginya viskositas cairan abses amuba memerlukan kateter dengan diameter yang besar untuk drainase yang adekuat.Pembedahan berupa laparatomi ataupun laparaskopi dilakukan pada penderita yang tidak menunjukkan hasil baik dengan pengobatan non bedah ataupun drainase perkutaneus. Drainase pembedahan dilakukan dengan indikasi
38
abses disertai komplikasi infeksi sekunder, abses yang jelas menonjol ke dinding abdomen atau ruang intercostal, bila terapi medikamentosa dan aspirasi tidak berhasil, ruptur abses ke dalam rongga intra-peritoneal/pleural/pericardial. Pemilihan tindakan
laparatomi dapat dipertimbangkan jika terdapat
kegagalan drainase perkutaneus atau untuk pasien yang memiliki penyakit primer seperti PLA bilier, ruptur abses, dan sebagainya. Tindakan laparoskopi lebih baik daripada tindakan laparatomi dalam waktu operasi, kehilangan darah dan lama tinggal di rumah sakit, dan tindakan laparoskopi aman dan layak pada pasien yang tidak memiliki respons terhadap pengobatan konservatif. Bedah laparoskopi memiliki keuntungan dalam pemulihan fungsi pencernaan pasca operasi dan lama rawat inap di rumah sakit. Hepatektomi dapat dilakukan pada abses tunggal atau multipel, lobus kanan atau kiri, juga pada pasien dengan penyakit saluran empedu.Tipe reseksi hepatektomi tergantung dari luas daerah hati yang terkena abses juga disesuaikan dengan perdarahan lobus.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Nelly, T et al. 2009. Abses Hati Piogenik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta : Balai Penerbitan FK-UI. 2. Sjamsuhidaja, R., De Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC 3. Adha, HE. 2013. Gambaran Ultrasonografi pada Abses Hepar. Yogyakarta : Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada 4. Ferrelly, SR., et al. 2013. Pyogenic Liver Abscess In Children : Two Case Report and Literature Review. Revista HCPA 5. Yuridah, et al. 2005. Abses Hati Pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 7, No. 1 6. Ahsan, T., et al. 2012. Amoebic Versus Pyogenic Liver Abscess. JPMA. 7. Peralta,
R.
2014.
Liver
Abscess.
http://emedicine.medscape.com/article/188802-overview#showall 8. Sylvia a. Price. (2006). Gangguan System Gastro Intestinal, dalam buku Patofiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteranm EGC. Halaman 472-515. 9. Sherwood, Lauralee. Sistem Pencernaan. Dalam: Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2012. Hal 641-698. 10. Putz R & Pabs R. 2001. Atlas of Human Anatomy Sobotta 13th Edition. Urban and Fischer : Germany 11. Tu, J., et al. 2011. Comparison Of Laparoscopic And Open Surgery For Pyogenic Liver Abscess With Biliary Pathology. WJG, Vol. 14
40