Laporan Epm Kel. 16.rtf

  • Uploaded by: Wini Triana
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Epm Kel. 16.rtf as PDF for free.

More details

  • Words: 5,340
  • Pages: 37
LAPORAN EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR “EVALUASI PROGRAM PENYAKIT MENULAR INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT DI PUSKESMAS MARTAPURA BARAT ”

Oleh: KELOMPOK 16

Muhammad Ichsan Basir

I1A115251

Nur Kiki Azelia

I1A115233

Wini Triana

I1A115021

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU 2017

KATA PENGANTAR Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah, karena berkat kemurahan-Nya laporan ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam laporan ini kami membahas “Evaluasi Program Penyakit Menular Infeksi Saluran Pernapasan Akut Di Puskesmas Martapura Barat”. Dalam proses pembuatan laporan ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran. Demikian laporan ini kami buat semoga memberikan manfaat baik untuk pembaca maupun penulis sendiri. Hormat Kami,

Penulis

1

DAFTAR ISI Judul.........................................................................................................................i Kata Pengantar......................................................................................................ii Daftar Isi.................................................................................................................ii Daftar Grafik.........................................................................................................iv Daftar Lampiran....................................................................................................v BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah......................................................................................1 B. Tujuan Umum dan Tujuan Khusus......................................................................3 BAB II ANALISIS SITUASI.................................................................................4 A. Identifikasi Kasus/Penyakit Menular..................................................................4 B. Identifikasi Faktor Risiko....................................................................................6 C. Manifestasi Klinis..............................................................................................10 D. Diagnosa............................................................................................................13 E. Program Penanggulangan Oleh Puskesmas.......................................................13 BAB III PENUTUP..............................................................................................18 A. Kesimpulan........................................................................................................18 B. Saran..................................................................................................................18 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

2

DAFTAR GRAFIK Grafik 2.1 Frekuensi penyakit ISPA di Puskesmas Martapura Barat berdasarkan umur Grafik 2.2 Frekuensi penyakit ISPA di Puskesmas Martapura Barat berdasarkan jenis kelamin

3

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Surat Tugas KESBANGPOL Kabupaten Banjar Lampiran 2. Nota Kesepahaman Lampiran 3. Transkrip Wawancara Lampiran 4. Dokumentasi

4

5

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit yang sangat sering dijumpai dengan manifestasi ringan sampai berat. Penyakit ini menyerang semua usia dari bayi sampai lansia, dan tersebar luas di manamana. Infeksi saluran pernafasan akut disebabkan antara lain oleh bakteri, virus, dan jamur, sedangkan kondisi cuaca, status gizi, status imun, sanitasi, dan polusi udara merupakan faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA. Infeksi yang mengenai jaringan paru-paru dapat menjadi pneumonia. Pneumonia merupakan penyakit infeksi penyebab kematian utama terutama pada balita (Elyana, 2013). Penyakit infeksi saluran pernapasan adalah proses infeksi yang mencangkup saluran pernapasan atas atau bawah atau keduanya. Infeksi ini dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi, atau protozoa dan bersifat ringan, sembuh sendiri, atau menurunkan fungsi individu (Mahendara dkk, 2014). Kasus ISPA merupakan 50% dari seluruh penyakit pada anak berusia di bawah 5 tahun, dan 30% pada anak berusia 5-12 tahun. Anak berusia 1-6 tahun dapat mengalami episode ISPA sebanyak 7-9 kali per tahun, tetapi biasanya ringan. Puncak insiden biasanya terjadi pada usia 2-3 tahun. Insiden ISPA (pneumonia) di negara berkembang ialah 2-10 kali lebih banyak dari pada negara maju. Perbedaan tersebut berhubungan dengan etiologi dan faktor resiko. Di negara maju, ISPA sering disebabkan oleh virus, sedangkan di negara berkembang ISPA disebabkan oleh bakteri, seperti S. pneumonia dan H. influenza, serta di negara berkembang ISPA dapat menyebabkan 10-25% kematian, dan bertanggung jawab terhadap 1/3-1/2 kematian pada balita. Pada bayi, angka kematiannya dapat mencapai 45 per 1000 kelahiran hidup (Mahendara dkk, 2014). Berdasarkan epidemiologinya, penyakit itu dapat disebabkan adanya 1 hubungan antara agen, penjamu/faktor intrinsic, dan lingkungan atau faktor ekstrinsik. Faktor-faktor yang bisa menjadi penyebab penyakit ISPA yaitu

faktor lingkungan, faktor individu anak dan faktor perilaku. Faktor lingkungan terdiri dari pencemaran udara dalam rumah, ventilasi, kepadatan hunian dan status sosial ekonomi. Faktor individu anak terdiri dari umur, jenis kelamin, berat badan lahir, status gizi, vitamin A dan imunisasi. Faktor perilaku yang dilakukan oleh ibu dan anggota keluarga lain misalnya perilaku merokok. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hanifah faktor umur, berat badan dan ventilasi rumah mempengaruhi kejadian ISPA sedangkan jenis kelamin dan kepadatan hunian tidak mempengaruhi ISPA pada balita di Desa Pengadegan (Trisnawati, 2013). ISPA merupakan penyakit yang berbasis lingkungan. Lingkungan yang tidak sehat akan memudahkan terjadinya penyakit ISPA. Lingkungan yang paling kecil lingkupnya adalah rumah. Kondisi rumah yang tidak sehat akan mempengaruhi terjadinya ISPA. Selain faktor lingkungan, status gizi juga mempengaruhi terjadinya ISPA. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Perilaku keluarga yang merokok juga berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita (Trisnawati, 2013). Gejala umum pada ISPA adalah batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, dan demam. ISPA diklasifikasikan menjadi pneumonia berat, pneumonia, dan bukan pneumonia. Penularan penyakit ISPA melalui udara yang terkontaminasi dan masuk ke dalam tubuh melalui jalur pernapasan (Trisnawati, 2013). Pengobatan ISPA untuk balita disesuaikan dengan jenis ISPA, yaitu bukan pneumonia tidak diberikan antibiotik, cukup dengan obat tradisional, pneumonia diberikan antibiotik kotrimoksazol atau amoksicillin dan pneumonia berat dilakukan pengobatan dan perawatan di rumah sakit. ISPA dapat dicegah dengan menjaga keadaan gizi agar tetap baik, imunisasi, menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan dan mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA (Trisnawati, 2 2013).

B. Tujuan 1.

Tujuan Umum

Menjelaskan evaluasi program penyakit menular infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di puskesmas Martapura Barat. 2.

Tujuan Khusus a.

Mengidentifikasi kasus penyakit menular ISPA.

b.

Mengidentifikasi faktor resiko penyakit menular ISPA.

c.

Mengetahui manifestasi klinis penyakit menular ISPA.

d.

Mengetahui diagnosa penyakit menular ISPA.

e.

Mengidentifikasi program penanggulangan penyakit menular ISPA

3

BAB II ANALISIS SITUASI A. Identifikasi Kasus Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) menyebabkan 4 dari 15 juta kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun pada setiap tahunnya. Dari hasil SDKI tahun 2007 diestimasikan Angka kematian balita (AKABA) untuk periode 5 tahun, sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup, yang mana nilai normatifnya AKABA (angka kematian balita) 71 sampai 140 per 1000 kelahiran hidup. Diketahui bahwa 80% sampai 90% dari seluruh kasus kematian ISPA disebabkan oleh pneumonia (Azizah dkk, 2014).

Grafik 2.1 Frekuensi penyakit ISPA di Puskesmas Martapura Barat berdasarkan umur tahun 2016

4

Grafik 2.2 Frekuensi penyakit ISPA di Puskesmas Martapura Barat berdasarkan jenis kelamin tahun 2016

Berdasarkan data kesakitan di puskesmas martapura barat penyakit ISPA di tahun 2016 ada 95 kasus. Dengan kasus terbanyak di alami oleh umur 5-<6 tahun sebanyak 28 kasus, di urutan kedua 1-4 tahun 22 dan di urutan ketiga 29 hari- <1 tahun sebanyak 18 kasus. Untuk kasus ISPA pada laki-laki sebanyak 47 kasus, sedangkan untuk wanita 48 kasus. Hasil wawancara kami dengan pemegang program ISPA dan pneumonia di Martapura Barat tentang dampak yang di timbulkan ISPA : a. pewawancara

: Seberapa besar dampak yang timbul akibat penyakit ISPA ?

b. pemegang program : Untuk dampak di Puskesmas Martapura Barat ada tetapi tidak terlalu berarti. Karena masih dapat di tangani karena setelah diberi obat sembuh kecuali terjadi pneumonia maka harus dilakukan rujuk ke rumah sakit. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme `dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Bidaya dkk, 2013). B. Identifikasi Faktor Risiko ISPA di Puskesmas Martapura Barat Berdasarkan teori faktor risiko ISPA yakni, meliputi faktor instrinsik (umur, jenis kelamin, status imunisasi, status gizi, pemberian vitamin A, dan pemberian ASI) dan faktor ekstrinsik yaitu (sosial ekonomi, tingkat 5

pengetahuan ibu, kepadatan hunian rumah, musim dan kondisi lingkungan). Penelitian lain yang dilaksanakan di Indonesia oleh Soedjajadi Kaman tentang

kesehatan perumahan dan pemukiman pada tahun 2005 menyebutkan bahwa kesehatan rumah yang meliputi keadaan fisik rumah, sarana sanitasi dan perilaku penghuni rumah berkaitan erat dengan kesehatan penghuni rumah, terutama balita (Lestari, 2014). Berat bayi lahir rendah (BBLR), status gizi buruk, imunisasi yang tidak lengkap, kepadatan tempat tinggal, dan lingkungan fisik merupakan faktor yang dapat menyebabkan ISPA pada balita (Depkes, 2002). Keadaan lingkungan yang tercemar seperti akibat asap karena kebakaran hutan, gas buangan yang berasal dari sarana transportasi, polusi udara dalam rumah tangga seperti asap dapur, asap rokok dan asap obat nyamuk bakar, juga merupakan ancaman kesehatan lingkungan yang merupakan penyebab terjadinya ISPA (Munaya, 2015). Faktor yang mempengaruhi penyakit ISPA (Israfil, 2013): a. Agent Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa secara akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis, tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal sebagai selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit virus yang

paling

sering

terjadi

pada

manusia.

Penyebabnya

adalah

virus Myxovirus, Coxsackie, dan Echo.

b. Manusia 1. Umur Berdasarkan hasil penelitian Daulay (1999) di Medan, anak berusia dibawah 2 tahun mempunyai risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi karena anak di bawah usia 2 tahun imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran nafasnya masih sempit. 2. Jenis Kelamin

6

Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. 3. Status Gizi Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan tetapi anak-anak yang meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya didahului oleh keadaan gizi yang kurang memuaskan. Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh. 4. Berat Badan Lahir Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir <2.500 gram. Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR mempunyai angka kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat ≥2500 gram saat lahir selama tahun pertama kehidupannya. Pneumonia adalah penyebab kematian terbesar akibat infeksi pada bayi baru lahir. 5. Status ASI Eksklusif Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama selama minggu pertama (4-6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan (Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi. 6. Status Imunisasi Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan

penyakit

merupakan

pemeliharaan kesehatan anak. c. Lingkungan 1. Kelembaban Ruangan

upaya 7

terpenting

dalam

Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan (2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita. Berdasarkan hasil uji regresi, diperoleh bahwa faktor kelembaban ruangan mempunyai exp (B) 28,097, yang artinya kelembaban ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 28 kali. 2. Suhu Ruangan Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18- 300C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah 180C atau diatas 300C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali. 3.Ventilasi Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. 4. Kepadatan Hunian Rumah Menurut Gani dalam penelitiannya di Sumatera Selatan (2004) menemukan proses kejadian pneumonia pada anak balita lebih besar pada anak yang tinggal di rumah yang padat dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang tidak padat. Berdasarkan hasil penelitian Chahaya tahun 2004, kepadatan hunian rumah dapat memberikan risiko terjadinya ISPA sebesar 9 kali. 5. Penggunaan Anti Nyamuk Penggunaan Anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap. 8Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.

6. Bahan Bakar Untuk Memasak Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat menyebabkan kualitas udara menjadi rusak. Kualitas udara di 74% wilayah pedesaan di China tidak memenuhi standar nasional pada tahun 2002, hal ini menimbulkan terjadinya peningkatan penyakit paru dan penyakit paru ini telah menyebabkan 1,3 juta kematian. 7. Keberadaan Perokok Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun

antara

lain Carbon

Monoksida (CO), Polycyclic

Aromatic

Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti (2003), secara keseluruhan prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia adalah sebesar 48,9% atau 97.560.002 penduduk. 8. Status Ekonomi dan Pendidikan Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001), didapatkan bahwa bila rasio pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total perbulan bertambah besar, maka jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke dukun ketika sakit lebih banyak. Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa ibu dengan status ekonomi tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi berobat ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan ibu yang status ekonominya rendah (Ceria, 2016). Berdasarkan hasil wawancara dengan pemegang program ISPA Pnemonia di Puskesmas Martapura Barat, diketahui faktor risiko yang terdapat di sekitar wilayah kerja puskesmas tersebut yakni kondisi lingkungan yaitu musim kemarau. Disaat musim kemarau datang frekuensi penyakit ISPA meningkat lebih tinggi. Disamping itu faktor risiko lain keadaan fisik rumah dan kebersihan rumah, karena kurangnya kebersihan rumah bisa menyebabkan banyak debu yang bisa memperbesar terjadi 9risiko ISPA pneumonia pada balita. Selain itu orang itu orang tua yang merokok juga merupakan faktor

risiko yang paling berpengaruh karena asap yang terhirup oleh balita dan keluarga lainnya memperbesar risiko terkena ISPA Pneumonia. Pewawancara : Kira-kira faktor risiko apa saja yang dapat menyebabkan terjdinya ISPA di wilayah kerja Puskesmas Martapura Barat ini? Narasumber

: Sebenarnya untuk faktor risiko ISPA sendiri banyak ya dek. Tetapi sejauh ini yang terjadi di lapangan paling besar yaitu faktor risiko yang berasal dari lingkungan, biasanya karena musim kemarau yang berkepajangan. Selain itu dari kunjungan ke rumah-rumah juga terlihat keadaan rumah yang ventilasinya tidak sesuai, serta kelembaban rumah yang kurang serta orang tua yang merokok. Untuk kejadian kemarau kita masih bisa melakukan pencegahan dengan penyuluhan dan pembagian masker, tapi untuk masalah rumah sulit di jelaskan kepada penduduk kalau kita tidak benar-benar mengenal terlebih dahulu. Nanti masyarakat

akan

menjawab

“memang

kalian

mau

membiayai perbaikan rumah saya” hahah. Ya begitulah. Harus pelan-pelan. Tapi kalau kedapatan orang tua yang merokok pasti langsung saya tegur.

Jika faktor risiko hasil wawancara dibandingkan dengan teori hanya dua faktor risiko yang sesuai teori, hal ini karena kejadian dilapangan yakni kemarau yang menyebabkan kabut asap dan bentuk fisik rumah serta kebersihannya dan orang tua yang merokok. C. Manifestasi Klinis ISPA Saluran pernafasan selama hidup selalu 10terpapar dengan dunia luar sehingga dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efisien dari sistem saluran pernafasan ini. Ketahanan saluran pernafasan terhadap infeksi

maupun partikel dan gas yang ada di udara sangat tergantung pada 3 unsur alamiah yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu: utuhnya epitel mukosa dan gerak mukosilia, makrofag alveoli, dan antibodi setempat. Infeksi saluran pernafasan akut dapat terjadi menjadi jalan masuk bagi virus. Hal ini dapat terjadi pada kondisi yang penuh sesak. Setelah itu kuman mengilfitrasi lapisan epitel, jika epitel terkikis maka jaringan inofoid superficial bereaksisehingga terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimor fonuklear. Jadi yang terjadi kerusakan adalah lapisan epitel dari saluran nafas sebagai akibat dari radang (Libianingsih, 2014). Penyakit ini biasanya dimanifestasikan dalam bentuk adanya demam, adanya obstruksi hidung dengan sekret yang encer sampai dengan membuntu saluran pernafasan, bayi menjadi gelisah dan susah atau bahkan sama sekali tidak mau minum. Seseorang yang menderita ISPA bisa menunjukkan bermacam-macam tanda dan gejala seperti batuk, serak, sakit tenggorokan, sakit telinga, keluar cairan dari telinga, sesak nafas, suhu tubuh anak meningkat 38,5 0C, pernapasan yang cepat, nafas yang berbunyi, bisa mual, muntah, tidak mau makan dan badan lemah (Labianingsih, 2014). 1.

Batuk, pilek dengan nafas cepat atau sesak nafas Pada umur kurang dari 2 bulan, nafas cepat lebih dari 60 x / mnt.

Penyakit ini biasanya dimanifestasikan dalam bentuk adanya demam, adanya obstruksi hidung dengan sekret yang encer sampai dengan membuntu saluran pernafasan, bayi menjadi gelisah dan susah atau bahkan sama sekali tidak mau minum. 2.

Demam. Pada neonatus mungkin jarang terjadi tetapi gejala demam muncul jika

anak sudah mencaapai usia 6 bulan sampai dengan 3 tahun. Seringkali demam muncul sebagai tanda pertama terjadinya infeksi. Suhu tubuh bisa mencapai 39,5OC-40,5OC. 3.

Meningismus.

11

Adalah tanda meningeal tanpa adanya infeksi pada meningens, biasanya terjadi selama periodik bayi mengalami panas, gejalanya adalah

nyeri kepala, kaku dan nyeri pada punggung serta kuduk, terdapatnya tanda kernig dan brudzinski. 4.

Anorexia. Biasa terjadi pada semua bayi yang mengalami sakit. Bayi akan

menjadi susah minum dan bhkan tidak mau minum. 5.

Vomiting, biasanya muncul dalam periode sesaat tetapi juga bisa

selama bayi tersebut mengalami sakit. 6.

Diare (mild transient diare), seringkali terjadi mengiringi infeksi

saluran pernafasan akibat infeksi virus. 7.

Abdominal pain, nyeri pada abdomen mungkin disebabkan karena

adanya lymphadenitis mesenteric. 8.

Sumbatan pada jalan nafas/ Nasal, pada saluran nafas yang sempit

akan lebih mudah tersumbat oleh karena banyaknya sekret. 9.

Batuk, merupakan tanda umum dari tejadinya infeksi saluran

pernafasan, mungkin tanda ini merupakan tanda akut dari terjadinya infeksi saluran pernafasan. 10.

Suara nafas, biasa terdapat wheezing, stridor, crackless, dan tidak

terdapatnya suara pernafasan (Whaley and Wong; 1991; 1419).

D. Diagnosa ISPA Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang dilakukan adalah (Mariza, 2013): 1. Biakan virus 2. Serologis 3. Diagnostik virus secara langsung. Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena12 bakteri dilakukan dengan pemeriksaan sputum, biakan darah, biakan cairan pleura. Fokus utama pada

pengkajian pernafasan ini adalah pola, kedalaman, usaha serta irama dari pernafasan (Maulana, 2016): 1. Pola, cepat (tachynea) atau normal. 2. Kedalaman, nafas normal, dangkal atau terlalu dalam yang biasanya dapat kita amati melalui pergerakan rongga dada dan pergerakan abdomen. 3. Usaha, kontinyu, terputus-putus, atau tiba-tiba berhenti disertai dengan adanya bersin. 4. Irama pernafasan, bervariasi tergantung pada pola dan kedalaman pernafasan. 5. Observasi lainya adalah terjadinya infeksi yang biasanya ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, adanya batuk, suara nafas wheezing. Bisa juga didapati adanya cyanosis, nyeri pada rongga dada dan peningkatan produksi dari sputum. E. Program Penanggulangan oleh Puskesmas Program penanggulangan penyakit ISPA yang dilakukan oleh Puskesmas Martapura Barat terdiri dari 2 tahap yaitu pencegahan dan pengobatan. Program pencegahannya terdiri dari 2 kegiatan yaitu pembagian masker dan juga penyuluhan. Program pengobatan yang dilakukan oleh pihak puskesmas terhadap pasien yang terkena ISPA yaitu dengan memberikan obat antibiotik seperti amoksisilin. Program tersebut dilakukan berdasarkan buku pedoman dari Dinas Kesehatan. Kegiatan yang dititik beratkan oleh puskesmas Martapura Barat adalah penyuluhan. Penyuluhan yang dilakukan berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan, dengan alur petugas kesehatan melakukan kunjungan setahun 2-3 kali, lalu pihak Dinkes memberikan arahan kepada puskesmas untuk melakukan kegiatan penyuluhan. Kegiatan penyuluhan dilakukakn dengan sarana dan pra-saranan berupa: spanduk, masker (diberikan kepada peserta), alat pengukur napas (respiratory timer), dan saturasi oksigen untuk anak diatas usia 5 tahun. Program tahun 13 2015-2016 memiliki beberapa inovasi dari program sebelumnya seperti pemberian masker, dan tidak hanya sekedar pencacatan kasus yang dilakukan beberapa tahun yang lalu.

Program puskesmas dilakukan oleh petugs MTBS (dokter, perawat, bidan), dan berkoordinasi dengan kader masyrakat dan pembakal desa. Tugasnya adalah untuk memberitahukan alamat warga berisiko terkena ISPA, dan juga mengantar para pasien ke puskesmas. Alokasi dana untuk program ISPA sendiri belum ada, maka dari itu kegiatan penyuluhan yang berskala besar dilakukan secara bersama-sama Dinkes dalam suatu rangkaian kegiatan lain. Teori Depkes (2002) yang dimuat dalam jurnal Harapan Bangsa oleh Amalia, menyatakan bahwa penyuluhan kesehatan adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui tehnik praktek belajar atau instruksi dengan tujuan mengubah atau mempengaruhi perilaku manusia secara individu, kelompok maupun masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai tujuan hidup sehat, yang bertujuan sebagai berikut: tercapainya masyarakat dalam membina dan memelihara perilaku sehat dan lingkungan sehat, serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, terbentuknya perilaku sehat pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik fisik, mental, dan sosial sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian, untuk merubah perilaku perseorangan dan atau masyarakat dalam bidang kesehatan (Amalia, 2013). Tujuan Pengendalian ISPA menurut KEMENKES terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusu yaitu (Kemenkes, 2012): 1. Tujuan Umum Menurunkan angka kesakitan dan kematian karena pneumonia 2. Tujuan Khusus a. Pengendalian Pneumonia Balita. 1. Tercapainya cakupan penemuan pneumonia Balita sebagai berikut (tahun 2010: 60%, tahun 2011: 70%, tahun 2012: 80%, tahun 2013: 90%, tahun 2014: 100%) 2. Menurunkan angka kematian pneumonia Balita sebagai kontribusi 14 penurunan angka kematian Bayi dan Balita, sesuai dengan tujuan MDGs (44 menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup) dan Indikator

Nasional Angka Kematian Bayi (34 menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup). b. Kesiapsiagaan dan Respon terhadap Pandemi Influenza serta penyakit saluran pernapasan lain yang berpotensi wabah. 1. Tersusunnya dokumen Rencana Kontijensi Kesiapsiagaan dan Respon terhadap Pandemi Influenza di 33 provinsi pada akhir tahun 2014. 2. Tersusunnya Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Pandemi Influenza pada akhir tahun 2014. 3.

Tersosialisasinya

pedoman-pedoman

yang

terkait

dengan

Kesiapsiagaan dan Respon Pandemi Influenza pada akhir tahun 2014.

Tersusunnya

Pedoman

Latihan

(Exercise)

dalam

Kesiapsiagaan dan Respon Pandemi Influenza pada akhir tahun 2014. c. Pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun Terlaksananya kegiatan Surveilans Sentinel Pneumonia di Rumah Sakit dan Puskesmas dari 10 provinsi pada tahun 2007 menjadi 33 provinsi pada akhir tahun 2014. d. Faktor risiko ISPA Untuk mencapai tujuan pengendalian pneumonia dan influenza maka ditetapkan kebijakan operasional sebagai berikut (Kemenkes, 2012): 1. untuk

Advokasi kepada pemangku kepentingan di semua tingkat membangun

komitmen

dalam

pencapaian

tujuan

pengendalian ISPA. 2.

Pengendalian ISPA dilaksanakan sesuai dengan peraturan

perundangan yang berlaku. 3.

Peningkatan penemuan kasus dan tatalaksana pneumonia

Balita sesuai dengan standar di15 semua fasilitas pelayanan kesehatan.

4.

KIE pengendalian ISPA melalui berbagai media sesuai

dengan kondisi sosial dan budaya setempat. 5.

Ketersediaan logistik pengendalian ISPA menjadi tanggung

jawab pusat dan daerah. 6.

Pengendalian ISPA dilaksanakan melalui kerjasama dan

jejaring dengan lintas program, lintas sektor, swasta, perguruan tinggi dan organisasi non pemerintah baik nasional maupun internasional. 7.

Meningkatkan kualitas pelayanan melalui peningkatan

kemampuan pemantauan

sumber dan

daya,

evaluasi

pembinaan/supervisi,

program

serta

sosialisasi

sistem dan

pemberdayaan masyarakat. 8.

Autopsi verbal dilakukan dalam rangka menentukan

penyebab kematian Balita. 9.

Penyusunan rencana kontinjensi kesiapsiagaan dan respon

pandemi influenza di semua tingkat. 10.

Rencana pengendalian pneumonia disusun berbasis bukti

(evidence based) Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan pengendalian ISPA. Penyediaan logistik dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah maka pusat akan menyediakan prototipe atau contoh logistik yang sesuai standard (spesifikasi) untuk pelayanan kesehatan. Selanjutnya pemerintah daerah berkewajiban memenuhi kebutuhan logistik sesuai kebutuhan. Logistik yang dibutuhkan antara lain (Kemenkes, 2012): 1. Obat Tablet Kotrimoksazol 480 mg Sirup Kotrimoksazol 240 mg/5 ml Sirup kering Amoksisilin 125 mg/5 ml Tablet Parasetamol 500 mg

16

Sirup Parasetamol 120 mg/5 ml. 2. Alat a. Acute Respiratory Infection Soundtimer (ARI Soundtimer) Digunakan untuk menghitung frekuensi napas dalam 1 menit. Alat ini memiliki masa pakai maksimal 2 tahun (10.000 kali pemakaian). b. Oksigen konsentrator Untuk memproduksi oksigen dari udara bebas. Alat ini diperuntukkan khususnya bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan rawat inap dan unit gawat darurat yang mempunyai sumber daya energi (listrik/ generator). c. Oksimeter denyut (Pulseoxymetry) Sebagai alat pengukur saturasi oksigen dalam darah diperuntukan bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki oksigen konsentrator.

17

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dapat disimpulkan dari pemamparan materi diatas bahwa kasus penyakit menular ISPA di puskesmas Martapura Barat masih cukup besar yaitu 95 kasus pada tahun 2016 yang menyerang kebanyakan anak berusia 5-6 tahun. Faktor menular risiko penyakit ISPA di area puskesmas Martapura Barat yang terbesar adalah musim kemarau yang menyebabkan kabut asap dan bentuk fisik rumah serta kebersihannya dan orang tua yang merokok. Bentuk manifestasi klinis penyakit ISPA diantaranya demam, obstruksi hidung dengan sekret yang encer sampai dengan membuntu saluran pernafasan, bayi menjadi gelisah dan susah atau bahkan sama sekali tidak mau minum. Diagnosa dari penyakit ISPA diantaranya frekuensi napas, irama pernafasan, pengamatan pada virus, dan observasi lainnya. Program penanggulanangan penyakit ISPA yang dilakukan oleh puskesmas Martapura Barat sudah mengikuti denga pedoman KEMENKES, yaitu dengan melakukan penyuluhan yang ditunjang dengan sarana, prasarana yang sesuai dan juga pembagian masker. B. Saran 1.

Saran untuk peneliti selanjutnya agar dapat melakukan wawancara

yang lebih mendalam, dan juga agar dapat melakukan perancanaan kegiatan sebelum pergi ke puskesmas untuk pengumpulan data. 2.

Saran untuk puskesmas Martapura Barat agar dapat melakukakan

inovasi baru dalam melakukan penanggulangan penyakit ISPA. 3.

Saran untuk bagian pemerintah yang berwenang agar dapat

memberikan dana kepada puskemas untuk melakukan kegiatan pelayanan kesehatan.

18

DAFTAR PUSTAKA Azizah M, Fahrurazi, Qoriaty N.I. 2014. Tingkat Pengetahuan dan Pendidikan Ibu Balita dengan Kejadian Penyakit Pneumonia pada Balita di Kelurahan Keraton Kecamatan Martapura Kabupaten Banjar. Jurnal An-nadaa. 1(1): 1-4. Bidaya D.Y, Ligita T, Trissya M. 2013. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Perilaku Pencegahan ISPA pada Bayi di PUSKESMAS Kecamatan Segedong. Jurnal Proners. 1(3): 1-7. Ceria I. 2016. Hubungan Faktor Risiko Intrinsik Dengan Kejadian Pneumonia Pada Anak Balita. Jurnal Medika Respati, 2(4) : 1-9. Elyana M, Candra A. 2013. Hubungan Frekuensi ISPA dengan Status Gizi Balita. Journal of Nutrition and Health 1(1): 1-12. Israfil, dkk. 2013. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Ispa pada Balita Berdasarkan Pendekatan Teori Florence Nightingale di Wilayah Kerja Puskesmas Alak Kota Kupang NTT. Journal Unair. Kemenkes, RI. 2012. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Kemenkes: Jakarta. Lestari NP, dkk. 2014. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA Pada Bayi dan Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Purwoyoso Semarang 2013. Ejournal Udinus. Libianingsih R. 2014. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Di Rsud Panembahan Senopati Bantul. Naskah Publikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Mahendra I.D.A.G, Ottay R.I, Sapulete M.R. 2014. Gambaran Perilaku Masyarakat di Desa Purworejo Kecamatan Modayag Kabupaten Bolaang Mongondow Timur Terhadap Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik. 2(2): 71-75. Mariza A, Trisnawati. 2015. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya Ispa Pada Bayi (1-12 Bulan) Di Wilayah Kerja Puskesmas Rajabasa Indah Bandar Lampung Tahun 2013, 1(2) : 57-62. Maulana ER. 2016. Terapi Herbal dan Alternatif pada Flu Ringan atau ISPA nonspesifik. Majalah Farmasetika, 1(6) : 1-3. Munaya EF, dkk. 2015. Faktor Risiko Infeksi Saluran Pernapasan Akut Nonpnemonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Magersari, Kota Magelang. Jurnal Respiratory Indonesia, 35(1) : 19-27. Trisnawati Y, Khasanah K. 2013. Analisis Faktor Intrinsik dan Ekstrinsik yang Berpengaruh Terhadap Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita Tahun. Jurnal Kebidanan; 1(5): 43-53.

LAMPIRAN Lampiran 1. Surat tugas dari KESBANGPOL Kabupaten Banjar

Lampiran 2. Nota Kesepahaman dari Puskesmas Martapura Barat

Lampiran 3. Transkrip wawancara TRANSKRIP WAWANCARA Pewawancara

: Assalamualaikum wr.wb, perkenalkan Bu nama saya Nur Kiki Kzelia bisa di panggil Kiki, dan ini teman saya Wini Triana dan M. Ichsan Basir. Kami dari Fakultas Kedokteran Program Studi Kesehatan Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat. Jadi kami disini ingin mewawancarai ibu tentang program yang ibu pegang yaitu tentang penyakit ISPA.

Narasumber

: Walaikumsalam. Silahkan dek. Sebenarnya, program untuk penyakit ISPA di puskesmas ini tidak hanya sebatas penyakit ISPA yang batuk flu biasa, tetapi juga apabila sudah menuju ke pneumonia.

Pewawancara

: Ibu apakah ISPA ditahun 2016 termasuk KLB?

Narasumber

: Berdasarkan data yang saya miliki dan data yang ada di puskesmas, ISPA tidak menjadi KLB di tahun 2016 kemarin. Kriteria terjadi KLB bila penyakit ISPA 10% dari jumlah penduduk. Untuk tahun 2016 masih 5,8%.

Pewawancara

: Kira-kira faktor risiko apa saja yang dapat menyebabkan terjdinya ISPA di wilayah kerja Puskesmas Martapura Barat ini?

Narasumber

: Sebenarnya untuk faktor risiko ISPA sendiri banyak ya dek. Tetapi sejauh ini yang terjadi di lapangan paling besar yaitu faktor risiko yang berasal dari lingkungan, biasanya karena musim kemarau yang berkepajangan. Selain itu dari kunjungan ke rumah-rumah juga terlihat keadaan rumah yang ventilasinya tidak sesuai, serta kelembaban rumah yang kurang serta orang tua yang merokok. Untuk kejadian kemarau kita masih bisa melakukan pencegahan dengan penyuluhan dan pembagian masker, tapi untuk masalah rumah sulit di jelaskan kepada

penduduk kalau kita tidak benar-benar mengenal terlebih dahulu. Nanti masyarakat akan menjawab “memang kalian mau membiayai perbaikan rumah saya” hahah. Ya begitulah. Harus pelan-pelan. Tapi kalau kedapatan orang tua yang merokok pasti langsung saya tegur. Pewawancara

: Untuk waktu kunjungan penderita ISPA biasanya kapan saja bu ?

Narasumber

: Untuk kunjungan pelayanan puskesmas kita buka setiap hari, tapi untuk pasien balita setelah periksa hari pertama kemudian 3 hari berikutnya akan diperiksa atau disarankan untuk datang kembali, terus untuk dewasa setelah pertama kali periksa di beri 10 butir obat dan akan kembali setelah obat habis kembali lagi ke puskes itu biasanya sama saja 3-4 hari.

Pewawancara

: Bagaimana kegiatan surveilans yang dilakukan di puskesmas ibu?

Narasumber

: Di bagian surveilans adalagi yang bertanggung jawab namanya mas Yudi, sementara ini orangnya masih ditarik di Dinas Kesehatan tidak tahu sampai kapan. Jadi kalo kalian mau kalian bisa menunggu mas Yudi soalnya ibu kurang tau untuk itu.

Pewawancara

: Kalo untuk teknik pengumpulan data bagaimana bu?

Narasumber

: Untuk data bayi kurang 5 tahun saya menerima data dari bagian MTBS di register MTBS, kalo yang di atas 5 tahun saya dapat dari register di bagian BP (balai pengobatan), sejauh ini masih pasif, belum aktif ke rumah-rumah kecuali pasien sudah terindikasi pneumonia baru kami akan kunjungan ke rumah.

Pewawancara

: Kalo untuk kendala dalam kegiatan surveilans apakah ibu tau?

Narasumber

: Kalo kendala dari program ISPAnya ga ada, karena hanya batuk pilek jadi mudah di obati. Kalo penyakitnya parahnya ke arah pneumonia baru ada kendala karena harus terjun langsung kerumah-rumah.

Pewawancara

: Apakah peran Dinkes dalam mengatasi masalah ISPA?

Narasumber

: Biasanya ada kunjungan SPM setahun ada 2-3 kali, ngecek data, kalo kemarau di kasih selebaran ke puskes untuk penyuluhan di kecamatan di desa desa untuk pencegahan ISPA. Selain penyuluhan juga ada pembagian masker yang langsung di berikan Dinkes.

Pewawancara

: Apakah ada program khusus yang dilaksanakan puskesmas untuk pencegahan dan penanggulangan ISPA?

Narasumber

: Program khusus sejauh ini penyuluhan dan pembagian masker, ada penanggulang lebih lanjut jika penyakit pneumonia kalo hanya ISPA akan selesai ditangani dengan diberi obat.

Pewawancara

: Sarana prasarana yang dibutuhkan untuk program ISPA?

Narasumber

: Saana prasarana itu mungkin alat-alatnya ya, kita ada masker, alat pengukur napas (respiratory timer) seperti stopwatch cara kerjanya, saturasi oksigen untuk umur di atas 5 tahun yang ada di meja penanganan di depan, terus dari puskesmas ada banner sama spanduk.

Pewawancara

: Siapa saja tenaga kesehatan yang menangani program tersebut?

Narasumber

: Untuk petugas MTBS ada bidan, ada perawat seperti saya , dan kalo ada yang parah kearah pneumoni baru di arahkan ke dokter di ruangan sebelah. Koordinasi juga sama kader dan pembakal, kader dari masyarakat yang sukarela yang berasal dari posyandu

lansia. Kalo pembakal biasanya kita kerjasama untuk program penyuluhan sih. Pewawancara

: Apa saja tugasnya dan siapa yang bertanggung jawab?

Narasumber

: Selama ini sih hanya memberitau alamat kalo kita mau kunjungan pasien pneumoni karna kan kita kurang tahu daerah sini, dan beberapa ada yang pernah mengantar pasien ke puskes.

Pewawancara

: Bagaimana sumber dana untuk program ISPA dan bagaimana alokasinya?

Narasumber

: Sumber dana untuk ISPA tidak ada tapi kalo untuk pneumonia kunjungan ke rumah rumah ada sumber dananya langsung dari uang APBD yang dikelola puskes. Untuk ISPA hanya memberi masker, alat pengukur napas, pelatihan. Untuk pneumonia sekali kunjungan 50 ribu ke rumah warga.

Pewawancara

: Seberapa besar dampak penyakit ISPA di masyarakat?

Narasumber

: Karena bisa di tangani dengan obat kasusnya selesai jadi tidak terlalu berdampak besar, kecuali ada pneumonia. Kalo untuk pneumonia harus langsung dirujuk ke RS.

Pewawancara

: Bagaimana usaha dari puskesmas untuk menurunkan angka ISPA?

Narasumber

: Untuk sekarang hanya pembagian masker dan penyuluhan sih.

Pewawancara

: Bagaimana program ISPA dilaksanakan?

Narasumber

: Program yang di laksanakan dengan cara penyuluhan tapi untuk penyuluhan besar-besaran di bawahi oleh Dinkes dan biasanya di gabungkan dengan acara lain biasanya di kecamatan atau di desa, kalo penyuluhan kecil di lakukan setiap hari di puskesmas.

Pewawancara

: Berdasarkan apa program tersebut dijalankan, apakah ada pedoman program?

Narasumber

: Ada, dari Dinkes berupa buku. Contohnya tatalaksana pneumonia, terus yang di unit MTBS pedomannya berupa kalender bergambar. Kalo saya sendiri memiliki pedoman berupa softfile di laptop

Pewawancara

: Apa ada keunggulan dari program tersebut?

Narasumber

: Intinya keungulannya di tahun 2015-2016 lebih ada inovasi dan kemajuan karena program penyuluhan dan pembagian masker terealisasi tidak seperti tahun sebelumnya yang hanya pencatatan kasus.

Pewawancara

: Berapa lama sudah dilaksanakan program tersebut?

Narasumber

: Karena aku baru megang di tahun 2015 sampai sekarang. Jadi sudah berjalan 2015-2016 karena yang memegang program sebelum hanya melakukan pencatatan.

Pewawancara

: Apakah ada perbedaan sesudah program tersebut dilaksanakan

Narasumber

: Ini aku jadi menilai diri aku sendiri ya hehe (sambil tertawa). Mungkin untuk sekarang belum terlihat perbedaannya karena kurangnya sdm yang memegang program sehingga tidak fokus dan program tidak berjalan. Karena di puskes satu orang masih bisa memegang program 3 sampai 7 porgram de.

Pewawancara

: Seberapa presentase keberhasilan program tersebut selama ini?

Narasumber

: Kalo untuk itu, yang tau hanya dinkes.Karena yang tau target presentase keberhasilan itu di sana.

Pewawancara

: Terimakasih bu untuk infonya, kami minta maaf telah menggangu waktu ibu.

Narasumber

: Iya de sama-sama. Kalo perlu datanya lagi bisa saja datang lagi ke saya.

Lampiran 4. Dokumentasi kegiatan

Saat meminta data 10 penyakit menular di puskesmas Martapura Barat

Saat wawancara dengan pemegang program ISPA

Related Documents


More Documents from ""