BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Fieldtrip adalah sebuah perjalanan lapangan atau ekskursi. Pengertian lainnya fieldtrip adalah perjalanan oleh sekelompok orang ke tempat yang jauh dari lingkungan yang normal. Tujuan perjalanan biasanya pengamatan untuk penelitian pendidikan, non-eksperimental atau untuk menyediakan mahasiswa dengan pengalaman luar kegiatan sehari-hari. Latar belakang diadakannya kuliah lapangan (fieldtrip) sedimentologi dan prinsip stratigrafi ini adalah untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang materi-materi sedimentologi dan prinsip stratigrafi (secara teori) yang telah diberikan dalam perkuliahan. Sehingga, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui bagaimana bentuk–bentuk fisik dari suatu singkapan batuan sedimen, bagaimana karakteristik suatu batuan serta bagaimana proses terjadiannya batuan sedimen itu sendiri dan mengetahui korelasi atau hubungan antar tiap lapisan batuan. Teori dasar yang diberikan di dalam perkuliahan pada umumnya bersifat ideal sehingga lebih mudah dimengerti dan dibayangkan. Namun pada kenyataan di lapangan, apa yang diamati tidaklah semudah yang penulis bayangkan. Sehingga, diperlukan suatu penelitian lebih lanjut dan secara langsung mengenai kenampakan objek-objek geologi batuan dan mineral agar didapatkan suatu pemahaman yang diharapkan. Penelitian secara langsung ini dapat dilakukan melalui kuliah lapangan (fieldtrip). Selain itu, penelitian di lapangan merupakan penelitian yang sesungguhnya. Karena pada dasarnya, sebuah teori terlahir karena adanya penelitian dari alam. Sehingga untuk membuktikan serta membandingkan kebenaran dari hasil teori yang telah ada, maka kuliah lapangan (fieldtrip) ini perlu dan mutlak untuk dilakukan. Sehingga, mahasiswa tidak hanya memahami teori dengan menerima materi tersebut secara mentah saja. Namun, mahasiswa dituntut untuk mampu menganalisa dengan baik apabila dihadapkan secara langsung di lapangan. I.2 Maksud dan Tujuan Praktikum Fieldtrip sedimentologi dan prinsip stratigrafi bermaksud untuk menentukan fasies lapisan batuan untuk dijadikan analisis dan stratigrafi sedimentologi lebih lanjut, analisis mekanisme pengendapan berdasarkan fasies batuan di lapangan, dan menginterpretasikan lingkungan pengendapan berdasarkan fasies fasies litologi yang ada. Fieldtrip
sedimentologi
dan
prinsip
stratigrafi
bertujuan
untuk
mendeskripsikan batuan sedimen yang ada di lapangan, mengidentifikasi struktur sedimen yang ditemukan di lapangan, merekam perlapisan batuan dalam bentuk kolom MS (Measuring Section).
I.3 Waktu, Lokasi dan Kesampaian Daerah Fieldtrip ini dilaksanakan pada hari sabtu tanggal 7 bulan april tahun 2018. Lokasi pelaksaan fieldtrip ini terdapat di Segoroyoso, Kec. Pleret, Kab. Bantul, DIY (7.7882349, 110.423587) dan Gumuk Pasir Parang Kusumo, Kab. Bantul, DIY (8.017713, 110.316682). Pada pukul 06.30 seluruh praktikan sedimentologi berkumpul di depan Departemen Teknik Geologi FT UGM dan bersiap fieldtrip. Kemudian pada pukul 07.00 keberangkatan menuju STA 1 yang merupakan lokasi penambangan batu yang terletak di Desa Segoroyoso dan sampai pada lokasi sekitar pukul 09.00. Praktikan di beri waktu selama 2 jam untuk mendengarkan penjelasan dosen dan melakukan pengukuran serta pengamatan. Setelah itu, pada pukul 11.00, praktikan, asisten dan dosen berangkat menuju STA 2 yaitu Gumuk Pasir Parang Kusumo. Setelah Ishoma, sampailah seluruh anggota fieldtrip pada Gumuk Pasir ParangKusumo sekitar pukul 12.00. kemudian praktikan mendapat beberapa penjelasan dari dosen dan para asisten sebelum melakukan pengukuran dan pengambila data. Setelah selesai pengambil data dan melakukan pengukuran, seluruh anggota fieldtrip kembali ke kampus pada pukul 15.30. Dan sampai kembali di Dept. Teknik Geologi FT UGM pada pukul 16.30.
BAB II DASAR TEORI II. 1 Pengukuran Stratigrafi Pengukuran stratigrafi merupakan salah satu pekerjaan yang biasa dilakukan dalam pemetaan geologi lapangan. Adapun pekerjaan pengukuran stratigrafi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang terperinci dari hubungan stratigrafi antar setiap perlapisan batuan / satuan batuan, ketebalan setiap satuan stratigrafi, sejarah sedimentasi secara vertikal dan lingkungan pengendapan dari setiap satuan batuan. Di lapangan, pengukuran stratigrafi biasanya dilakukan dengan menggunakan tali meteran dan kompas pada singkapan-singkapan yang menerus dalam suatu lintasan. Pengukuran diusahakan tegak lurus dengan jurus perlapisan batuannya, sehingga koreksi sudut antara jalur pengukuran dan arah jurus perlapisan tidak begitu besar. Pada fieldtrip kali ini juga melakukan pembuatan log batuan dengan metode yang digunakan dalam pembutan log sedimen adalah menggunakan metoda tongkat jacob. Metode Jacob Staff adalah metode yang digunakan untuk megukur ketebalan suatu lapisan batuan yang menggunakan alat yang bernama tongkat jacob yaitu tongkat yang panjangnya 150 cm, diberi tanda atau grid yang panjangnya 10cm berwarna hitam putih atau merah putih untuk memudahkan perhitungan tebal lapisan tersebut dan pada ujung tongkat terdapat busur derajat untuk menyesuaikan kemiringan lapisan batuan. Metode ini lebih praktis dan cepat dalam pengolahan datanya dikarenakan langsung dapat mengetahui tebal sebenarnya. Tetapi tidak semua bidang perlapisan bisa diukur dengan metode ini, karena diperlukan singkapan yang ideal. II. 2 Struktur Sedimen dan Mekanisme Pembentuknya Kuenen & Migliorini (1950) dalam Reading (1978) menyatakan bahwa arus turbid merupakan suspensi dari pasir dan lempung dengan densitas tinggi (1.5-2 cc/gr), ketika aliran fluida berkurang dan turbulensi berkurang, arus turbid akan menjadi overload akibatnya butiran paling kasar mulai tenang. Berkurangnya
densitas
arus
karena
berkurangnya
menyebabkan fraksi paling kasar akan mulai tenang.
kecepatan
akan
Model Kendall & Haugton (2006) (Gambar III.1) memberikan ilustrasi mengenai hubungan antara subaqueous debris flow dan transportasi sedimennya. Model tersebut menggambarkan bagaimana aliran kohesif (cohessif flow) berubah menjadi aliran non-kohesif (noncohessif flow) ketika melewati transitional hibryd flow. Sedimen yang tercampur merupakan sedimen yang berasal dari sedimen berbeda yaitu berawal dari debris flow menjadi arus turbid yang terjadi perubahan dari arus yang didominasi oleh arus laminer menjadi arus yang didominasi oleh turbulen (Kendall & Haughton, 2006) Klasifikasi Murder & Alexander (2001) (Gambar III.2) menunjukkan hubungan antara subaqueous density flow, cohessif flow dan frictional flow yang didasarkan pada kohesi partikel (cohesivity particles), konsentrasi sedimen dan particles support mechanism. Cohesive flow memiliki kekuatan matriks dan dipisahkan berdasarkan ukuran butir ke dalam debris flow dan mud flows (clay rich dan silty rich). Frictional flows tersusun atas kombinasi butiran dan air yang mana ruang antar butiran terisi air. Alirannya dapat dibagi menjadi (1) Hyperconcentrated density flows (sandy debris flows, gradasi terbalik). Hyperconcentrated density flows diinterpretasikan sebagai sedimen yang memiliki konsentrasi lebih dari 25% dari volumenya yang sering menunjukkan ukuran butir pasir sampai gravel. Fluida tidak memiliki kohesi tetapi interaksi antar butiran dan transportasi sebagai load. Akibatnya sedimen tidak terlalu lama mendukung dan terakumulasi sebagai aliran pasir debris flow dan sering tersortasi. Endapannya akan menunjukkan gradasi terbalik. (2) Concentrated density flows (erosional base, scours & flutes, gradasi normal dan pada bagian bawah akan menunjukkan lapisan massive dengan gradasi terbalik). (3) Arus turbid dibedakan berdasarkan durasi menjadi surges, surge-flow (Bouma sequences), quasisteady current.
Gambar III.1. Model subaqueous gravity flow (Kendall & Haughton, 2006)
Gambar III.2 Gambar perubahan debris flow menjadi arus turbid (Mulder & Alexander, 2001) III. 3 Struktur ripple Ripple dan dune merupakan struktur sedimen yang menampakkan kenampakan undulasi berjarak teratur pada permukaan pasir kasar – sedang
yang terbentuk karena agen transportasi air atau angin. Kedua struktur sedimen ini terbentuk karena adanya perpindahan perlapisan ke arah hilir suatu aliran air atau angin yang tidak searah. Untuk menentukan arus yang dominan, dapat menggunakan diagram deskripsi ripple ( Collinson and Thompson , 1982)
Gambar III.3 Diagram Deskripsi Ripple ( Collinson and Thompson , 1982)
II. 4 Sekuen Bouma Sekuen Bouma tersusun atas Ta, Tb, Tc, Td dan Te yang diinterpretasikan sebagai produk arus turbid dan produk endapan laut dalam. Sikuen Bouma disimpulkan dengan mempelajari 1061 lapisan dan stuktur sedimen di Maritime Alps di Selatan Perancis (Bouma, 1962). Pada sikuen Bouma hanya Ta yang memiliki gradasi sebagai produk suspensi, kemudian tiga kenampakan lain (Tb, Tc, Td) kebanyakan berupa paralel laminasi dan laminasi bergelombang, merupakan produk traksi atau kombinasi antara traksi dan suspensi. Kurang dari 10% dari 1061 lapisan yang menunjukkan sikuen Bouma secara lengkap (Shanmungnam, 1997). Ta merupakan sikuen Bouma paling bawah yang masif atau gradasi. Ta memiliki interpretasi yang kontroversial di kalangan geologist karena memiliki
banyak makna pengendapan yaitu, (1) arus turbid (Bouma, 1962); (2) antidune pada fase regime aliran atas (Harms and Fahnestock, 1965; Walker, 1967); (3) grain flow (Stauffer, 1967); (4) pseudo-plastic quick bed (Middleton, 1967); (5) density-modified grain flows (Lowe, 1976); (6) high-density turbidity currents (Lowe, 1982); (7) upper-plane-bed di bawah kondisi sedimen suplai yang melimpah (Amott and Hand, 1989) dan (8) sandy debris flow (Shanmugam, Moiola, 1995).
Gambar III.4 Sikuen Bouma dan beberapa peneliti (Shanmungnam, 1997)
Interpretasi Bouma hanya akan berlaku jika lapisan memiliki gradasi normal sedangkan hipotesis antidune terhapus setelah melihat secara dekat (Allen, 1991 dalam Shanmugam, 1997). Menurut Stauffer (1967) Ta merupakan produk dari arus grain flow tetapi menurut Lowe (1982) grain flow memiliki reologi arus plastis. Sehingga penentuan Ta sebagai produk arus turbid sangat sulit karena reologi arus. Middleton and Hampton (1976) dalam Shanmugam (1997) mengungkapkan jika Ta masif maka terbentuk melalui mekanisme grain flow, fluidized flow dan debris flow. Berdasarkan penelitian Middleton (1967) dalam Shanmugam (1997) juga menyimpulkan bahwa Ta merupakan produk dari high concentration arus turbid dan jika batupasir masifnya berasal dari laut dalam maka dapat disimpulkan berasal dari highdensity turbidity currents (Mutti and Ricchi Lucchi, 1972; Lowe, 1982).
Masalah yang biasa dihadapi untuk menjelaskan endapan laut dalam adalah pada kenampakan laminasi paralel (Tb & Td) serta riple lamination (Tc). Istilah bottom current merupakan arus yang berkaitan laut dalam yang menghasilkan karakter endapan traction.
Gambar III.5 Endapan laut dalam dengan struktur sedimen serta interpretasi mekanisme pengendapannya (Shanmugam 1997)
Shepard et al. (1969) dalam Shanmugam (1997) menginterpretasikan bahwa laminasi merupakan hasil bottom current yang memiliki konsentrasi mineral berat yang tinggi. Pada laut dalam perubahan dari Tb (paralel laminasi) menjadi Tc (laminasi bergelombang) merupakan produk dari berkurangnya kekuatan arus dari suspensi sedimen menjadi bed load sediment. Setting seperti itu akan menyebabkan sedimen terawetkan dengan struktur gradasi normal.
Laminasi bergelombang ataupun laminasi paralel terbentuk secara suspensi oleh arus turbid atau bed load oleh bottom current sehingga semua bed load tidak bisa diinterpretasikan sebagai bentuk lapisan turbidit.
Akan tetapi
climbing ripple dapat dijadikan sebagai kriteria endapan turbidit. Hal ini karena ketika sand jatuh saat arus turbid bergerak di dalam lapisan ripple maka akan dihasilkan climbing ripple. Terdapatnya penambahan struktur seperti lapisan silang, laminasi paralel dan isolated ripple mengindikasikan adanya penambahan kekuatan arus. II.5 Fasies Istilah fasies menurut Selley (1985) merupakan suatu massa batuan sedimen yang dapat dibedakan dan dijelaskan dari yang lain berdasarkan geometri, litologi, struktur sedimen, pola arus purba, dan fosil. Sebuah fasies sedimen merupakan suatu produk dari sebuah lingkungan pengendapan.
Gambar III.6 Hubungan antara lingkungan sedimentasi dan fasies sedimentasi (Selley, 1985)
Miall (1984) menjelaskan istilah fasies merupakan artian deskriptif dan interpretatif yang termasuk litofasies dan biofasies yang keduanya merupakan istilah untuk mengamati atribut batuan sedimen yang dapat diinterpretasikan pada proses pengendapan dan proses biologi. Sebuah individu litofasies dibedakan berdasarkan kenampakan litologi yang berupa komposisi, ukuran butir, karakter perlapisan dan struktur sedimen. Setiap litofasies mengacu pada satu peristiwa pengendapan (Miall, 1984). Litofasies dapat dikelompokan dalam asosiasi litofasies yaitu akan menunjukkan karakteristik lingkungan
pengendapan yang biasanya akan berupa siklus sedangkan biofasies dijelaskan berdasarkan dasar fosil. Skala mengenai litofasies dan biofasies tergantung level detail pengamatan. Studi mengenai litofasies merupakan dasar untuk mengetahui genetik dari suatu tubuh batuan sedimen dengan menggunakan fasies model. Studi litofasies dan biofasies akan sangat membantu dalam analisa stratigrafi karena dapat mengetahui lingkungan pengenapan dari waktu ke waktu (Miall, 1984). Komisi sandi stratigrafi Indonesia juga telah membuat definisi tentang fasies pada Pasal 9 Bab 1. Hampir mirip dengan apa yang telah dideskripsi oleh Selley, yaitu aspek fisika, kimia atau biologi suatu endapan dalam kesamaan waktu. Dua tubuh batuan yang diendapkan pada waktu yang sama dikatakan berbeda fasies jika keduanya memiliki berbedaan ciri fisik, kimia dan biologi (SSI, 1996).
BAB III GEOLOGI REGIONAL
III. 1 Geomorfologi Regional Daerah ini mencakup sebelah timur Sungai Dengkeng yang merupakan deretan perbukitan yang terdiri dari Gunung Konang, Gunung Pendul, Gunung Semangu, Di lereng selatan Gunung Pendul hingga mencapai bagian puncak, terutama mulai dari sebelah utara Desa Dowo dijumpai batu pasir berlapis, kadang kala terdapat £ragmen sekis mika ada di dalamnya. Sedangkan di bagian timur Gunung Pendul tersingkap batu lempung abu-abu berlapis, keras, mengalami deformasi lokal secara kuat hingga terhancurkan. Hubungan antar satuan batuan tersebut masih memberikan berbagai kemungkinan karena kontak antar satuan terkadang tertutup oleh koluvial di daerah dataran. Kepastian stratigrafis antar satuan batuan tersebut barn dapat diyakini jika telah ada pengukuran umur absolut. Walaupun demikian berbagai pendekatan penyelidikan serta rekontruksi stratigrafis telah banyak dilakukan oleh para ahli. Daerah perbukitan Jiwo Timur mempunyai puncak-puncak bukit berarah barat-timur yang diwakili oleh puncak-puncak Konang, Pendul dan Temas, Gunung J okotuo dan Gunung T emas. Gunung Konang dan Gunung Semangu merupakan tubuh batuan sekis-mika, berfoliasi cukup baik, sedangkan Gunung Pendul merupakan tubuh intrusi mikrodiorit. Gunung Jokotuo merupakan batuan metasedimen (marmer) dimana pada tempat tersebut dijumpai tandatanda struktur pense saran. Sedangkan Gunung Temas merupakan tubuh batu gamping berlapis. Di sebelah utara Gunung Pendul dijumpai singkapan batu gampmg nummulites, berwarna abu-abu dan sangat kompak, disekitar batu gamping nummulites tersebut terdapat batu pasir berlapis. Penyebaran batugamping nummulites dijumpai secara setempat-setempat terutam di sekitar desa Padasan, dengan percabangan ke arah utara yang diwakili oleh puncak Jopkotuo dan Bawak. Di bagian utara dan tenggara Perbukitan Jiwo timur
terdapat bukit terisolir yang menonjol dan dataran aluvial yang ada di sekitamya. Inlier (isolited hill) ini adalah bukit Jeto di utara dan bukit Lanang di tenggara. Bukit Jeto secara umum tersusun oleh batu gamping Neogen yang bertumpu secara tidak selaras di atas batuan metamorf, sedangkan bukit Lanang secara keseluruhan tersusun oleh batu gamping Neogen. Secara fisiografis Perbukitan Bayat merupakan suatu inlier dari batuan Pra Tersier dan Tersier di sekitar endapan Kuarter, yang terutama terdiri dari endapan flufiovulkanik dari Merapi. Elevasi tertinggi dari Puncak-puncak yang ada tidak lebih dari 400 meter diatas muka laut, sehingga perbukitan tersebut dapat disebut perbukitan rendah. Perbukitan itu tersebar menurut jalur yang arahnya berbeda. Di bagian barat (Jiwo Barat), jalur puncak-puncak bukit berarah utara selatan, yang diwakili oleh puncak-puncak Jabalkat, Kebo, Merak, Cakaran, Budo Sari, dan Tugu dengan di bagian paling utara membelok ke arah barat, yaitu daerah perbukitan Kampak. Di sebelah timur (Jiwo Timur) arah jalurnya adalah barat-timur, dengan puncak-puncak Konang, Pendul dan Temas, dengan percabangan kearah utara, yang terwakili oleh puncak Jokotuo dan Bawak. Di sebelah selatan(jiwo selatan)
arah
jalurnya
adalah
timur-selatan
dengan
puncak-puncak
Watutumpeng, Eyangkuto, Watugenuk, Watukucing, Joyo, Semilir. Bentang alam daerah Bayat merupakan bentuk lanjut dari suatu Pegunungan Lipatan, terdiri dari perbukitan homoklin, perbukitan lipatan, perbukitan intrusi dan perbukitan lembah antiklin dengan sungai-sungai konsekuen, subsekuen dan obsekuen mengalir yang secara membentuk pola aliran dendritik. Daerah perbukitan yang tersusun oleh batugamping menunjukkan perbukitan
memanjang
dengan
pegunungan
yang
tumpul
sehingga
kenampakan puncak tidak begitu nyata. Tebing-tebing perbukitannya tidak terlalu terbiku sehingga alur-alur tidak banyak dijumpai. Sebagai contoh adalah perbukitan Bawak-Temas di Jiwo Timur dan perbukitan Tugu-Kapak di Jiwo Barat. Untuk daerah yang tersusun oleh batuan metamorf, ini terisi oleh campuran endapan pasir Merapi, endapan lempung hitam dan endapan rombakan dari Pegunungan Selatan. Endapan lepas yang berumur kuater ini
diduga menutup lembah sesar yang membatasi Pegunungan Selatan dengan perbukitan Jiwo. Jenis dan arah gerak sesar saat ini belum ditemukan. III. 2. Stratigrafi Regional Batuan tertua yang tersingkap di daerah Bayat terdiri dari batuan metamorf berupa filtit, sekis, batu sabak dan marmer. Penentuan umur yang tepat untuk batuan malihan hingga saat ini masih belum ada. Satu-satunya data tidak langsung untuk perkiraan umurnya adalah didasarkan fosil tunggal Orbitolina yang diketemukan oleh Bothe (1927) di dalam fragmen konglomerat yang menunjukkan umur Kapur. Dikarenakan umur batuan sedimen tertua yang menutup batuan malihan tersebut berumur awal Tersier (batu pasir batu gamping Eosen), maka umur batuan malihan tersebut disebut batuan PreTertiary Rocks. Secara tidak selaras menumpang di atas batuan malihan adalah batu pasir yang tidak garnpingan sarnpai sedikit garnpingan dan batu lempung, kemudian di atasnya tertutup oleh batu gamping yang mengandung fosil nummulites yang melimpah dan bagian atasnya diakhiri oleh batu gamping Discocyc1ina, menunjukkan lingkungan laut dalarn. Keberadaan forminifera besar ini bersarna dengan foraminifera plangtonik yang sangat jarang ditemukan di dalam batu lempung gampingan, menunjukkna umur Eosen Tengah hingga Eisen Atas. Secara resmi, batuan berumur Eosen ini disebut Formasi WungkalGarnping. Keduanya, batuan malihan dan Formasi Wungkal-Gamping diterobos oleh batuan beku menengah bertipe dioritik. Diorit di daerah Jiwo merupakan penyusun utam Gunung Pendul, yang terletak di bagJn timur Perbukitan Jiwo. Diorit ini kemungkinan bertipe dike. Singkapan batuan beku di Watuprahu (sisi utara Gunung Pendul) secara stratigrafi di atas batuan Eosen yang miring ke arah selatan. Batuan beku ini secara stratigrafi terletak di bawah batu pasir dan batu garnping yang masih mempunyai kemiringan lapisan ke arah selatan. Penentuan umur pada dike! intrusi pendul oleh Soeria Atmadja dan kawan-kawan (1991) menghasilkan sekitar 34 juta tahun, dimana hasil ini kurang lebih sesuai dengan teori Bemmelen (1949), yang menfsirkan bahwa batuan beku tersebut adalah
merupakan leher/ neck dari gunung api Oligosen. Mengenai genetik dan generasi magmatisme dari diorit di Perbukitan Jiwo masih memerlukan kajian yang lebih hati-hati. Sebelum kala Eosen tangah, daerah Jiwo mulai tererosi. Erosi tersebut disebabkan oleh pengangkatan atau penurunan muka air laut selama peri ode akhir oligosen. Proses erosi terse but telah menurunkan permukaan daratan yang ada, kemudian disusul oleh periode transgresi dan menghasilkan pengendapan batu garnping dimulai pada kala Miosen Tengah. Di daerah Perbukitan Jiwo tersebut mempunyai ciri litologi yang sarna dengan Formasi Oyo yang tersingkap lenih banyak di Pegunungan Selatan (daerah Sambipitu Nglipar dan sekitarnya). Di daerah Bayat tidak ada sedimen laut yang tersingkap di antara Formasi WungkalGampingan dan Formasi Oyo. Keadaan ini sang at berbeda dengan Pegunungan
Baturagung
di
selatannya.
Di
sini
ketebalan
batuan
volkaniklastik-marin yang dicirikan turbidit dan sedimen hasil pengendapan aliran gravitasi lainnya tersingkap dengan baik. Perbedaan-perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh kompleks sistem sesar yang memisahkan daerah Perbukitan Jiwo dengan Pegunungan Baturagung yang telah aktif sejak Tersier Tengah. Selama zaman Kuarter, pengendapan batu gamping telah berakhir. Pengangkatan yang diikuti dengan proses erosi menyebabkan daerah Perbukitan Jiwo berubah menjadi daerah lingkungan darat. Pasir vulkanik yang berasal dari gunung api Merapi yang masih aktif mempengaruhi proses sedimentasi endapan aluvial terutama di sebelah utara dan barat laut dari Perbukitan Jiwo. Keadaan stratigrafi Pegunugan Selatan, dari tua ke muda yaitu : 1.
Formasi Kebo-Butak
Formasi ini secara umum terdiri dari konglomerat, batupasir dan batulempung yang menunjukkan kenampakan pengendapan arus turbid maupun pengendapan gaya berat yang lain. Di bagian bawah, yang oleh Bothe
disebut sebagai Kebo beds tersusun atas perselang selingan antara batupasir, batulanau dan batulempung yang khas menunjukkan struktur turbidit, dengan perselingan batupasir konglomeratan yang mengandung klastika lempung. Bagian bawah ini diterobos oleh sill batuan beku. Kedalaman Formasi ini kurang lebih 800 m.
2.
Formasi Semilir
Secara umum Formasi ini tersusun oleh batupasir dan batulanau yang bersifat tufan, ringan, kadang-kadang dijumpai selaan breksi vulkanik. Fragmen yang membentuk breksi maupun batupasir pada umumnya berupa fragmen batuapung yang bersifat asam. Di lapangan pada umumnya menunjukkan perlapisan yang baik, struktur-struktur yang mencirikan turbidit banyak dijumpai.
3.
Formasi Sambipitu
Di atas Formasi Nglanggran terdapat formasi batuan yang menunjukkan ciri-ciri terbidit, yaitu Formasi Sambipitu. Formasi ini tersusun terutama oleh batupasir yang bergradasi menjadi batulanau atau batulempung. Di bagian bawah, batupasirnyamasih menunjukkan sifat vulkanik sedang ke atas sifat vulkanik ini berubah menjadi batupair yang bersifat gampingan. Pada batupasir gampingan ini sering dijumpai fragmen dari koral dan forminifera besar yang berasal dari lingkungan terumbu laut dangkal, yang terseret masuk ke dalam lingkungan yang lebih dalam akibat pengaruh arus turbid.
4.
Formasi Oyo-Wonosari
Selaras di atas formasi Sambipitu terdapat Formasi Oyo-Wonosari. Formasi ini terdiri terutama dari batugamping dan napal. Penyebarannya meluas hampir setengah bagian selatan dari Pegunungan Selatan memanjang ke arah timur, membelok ke arah utara di sebelah timur perbukitan Panggung hingga mencapai
bagian
barat
dari
daearh
depresi
Wonogiri-Baturetno.
Bagian terbawah dari Formasi Oyo-Wonosari terutama terdiri dari batugamping berlapis yang menunjukkan gejala turbidit karbonat yang
diendapkan pada kondisi laut yang lebih dalam, seperti yang terlihat pada singkapan pada daerah dekat muara sungai batugamping berlapis, menunjukkan gradasi butir dan pada bagian yang halus banyak dijumpai fosil jejak tipe burrow yang terdapat pada bidang permukaan perlapisan ataupun memotong sejajar dengan perlapisan. Batugamping kelompok ini disebut sebagai Anggota Oyo dari Formasi Wonosari (Bothe, 1929) atau Formasi Oyo (Rahardjo dkk, 1977 dalam Toha dkk,1994)
III. 3. Struktur Geologi Regional Sebelum kala Eosen Tengah, daerah Jiwo mulai mengalami proses erosi yang disebabkan oleh pengangkatan atau penurunan muka air laut selama Oligosen Akhir. Setelah proses erosi, kemudian terjadi proses transgresi yang menghasilkan endapan batugamping. Struktur yang berkembang di daerah Bayat adalah lipatan, sesar naik, sesar turun, dan sesar mendatar. Struktur-struktur tersebut diperkirakan berkembang akibat adanya gaya kompresi dengan arah utara – selatan yang berlangsung dalam dua periode, yaitu pada awal kala Miosen Tengah sebelum Formasi Oyo terendapkan dan pada kala Pliosen setelah Formasi Oyo terendapkan. Selama zaman Kuarter, pengendapan batugamping berakhir. Pengangkatan diikuti proses erosi yang menyebabkan daerah Jiwo menjadi lingkungan darat.
BAB IV ISI IV. 1 Data dan Perhitungan Kolom MS yang telah di korelasi dengan skala 1 : 100 Fasies Tuff Sisipan Batulanau
Lapisan Atas
Lapisan Bawah Fasies Lapilli Tuff Sisipan Tuff Fasies Breksi Lapilli
Legenda : = Tuffaceous Sandstone
= Breccia
= Siltstone
= Tuff