Program Sertifikasi Pendidik dan Sertifikasi Keahlian Bagi Guru SMK/SMA (Keahlian Ganda)
“LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR ARTEMIA DENGAN METODE DEKAPSULASI DAN NONDEKAPSULASI”
DISUSUN OLEH: ANGGELINA MORANTRI BILI, S.Pd NIP. 198908012014032005
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Artemia merupakan pakan alami yang banyak digunakan dalam usaha pembenihan ikan dan udang, karena kandungan nutrisinya baik. Akan tetapi di perairan Indonesia tidak atau belum ditemukan Artemia, sehingga sampai saat ini Indonesia masih mengimpor Artemia sebanyak 50 ton/ tahun, dimana harganya dalam bentuk kista/ telur antara Rp 400.000 – 500.000/ kg (Suara Merdeka, 2002). Walaupun pakan buatan dalam berbagai jenis telah berhasil dikembangkan dan cukup tersedia untuk larva ikan dan udang, namun Artemia masih tetap merupakan bagian yang esensial sebagai pakan larva ikan dan udang diunit pembenihan. Keberhasilan pembenihan ikan bandeng, kakap dan kerapu juga memerlukaan ketersediaan Artemia sebagai pakan alami esensialnya, serta dengan adanya kenyataan bahwa kebutuhan Artemia untuk larva ikan kakap dan kerapu 10 kali lebih banyak dibandingkan dengan larva udang, maka kebutuhan cyste Artemia pada tahun-tahun mendatang akan semakin meningkat (Raymakers dalam Yunus, dkk., 1994). Secara umum terdapat dua alasan mengapa penggunaan pakan hidup alami sepertihalnya Artemia lebih mengutungkan dibandingkan pakan buatan (pellet, dll) dalam pemeliharaan larvalarva hewan air (ikan dan crustacean), yaitu : 1. Buruknya kualitas air mengakibatkan disintegrasi micropelet yang biasanya pemberian pakan tersebut cenderung berlebihan dengan tujuan pertumbuhan yang sempurna. 2. Tingginya tingkat mortalitas, mengakibatkan malnutrisi dan
atau
penyerapan
komponen-komponen
nutrisi
pakan
pellet
yang
tidak
komplit(http://www.aquafauna.com/, 2004). Cyste Artemia yang dibutuhkan sebagian besar masih diimpor, umumnya dari Amerika Serikat dan hanya sebagian dari China (Yap et.al. dalam Yunus, dkk., 1994). Tetapi kebanyakan cyste impor yang ada di Indonesia kualitasnya masih rendah. Sehingga menyebabkan produksi yang beragam dan kematian masal larva udang. Untuk itu ditempuh jalan untuk dapat membudidayakan Artemia di tambak secara lokal. Dari hasil budidaya Artemia secara lokal ini
diperoleh beberapa keuntungan yaitu waktu transportasi dan penyimpanan lebih singkat, pengawasan kualitas pada proses produksi dan pengawasan terhadap pengelolaan lingkungan tambak budidaya mengarah pada produksi cyste Artemia lokal yang berkualitas dan aman. Lebih jauh lagi, produksi Artemia lokal dapat menunjang penghematan devisa melalui subtitusi impor. Jenis pakan secara umum yang dapat dikonsumsi oleh ikan terdiri atas 2 jenis, yakni pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami adalah jasad-jasad hidup yang biasanya dari jenis plankton baik fito maupun zooplankton yang sengaja dibudidayakan untuk diberikan kepada ikan sesuai dengan kebutuhannya. Ketersediaan pakan alami merupakan faktor yang berperan penting dalam mata rantai budidaya ikan terutama pada fase benih. Kepentingan pakan alami sebagai sumber makanan ikan dapat dilihat antara lain:
nilai nutrisinya yang relatif tinggi,
mudah dibudidayakan,
memiliki ukuran yang relatif sesuai dengan bukaan mulut ikan terutama pada stadia benih,
memiliki pergerakan yang memberikan rangsangan pada ikan untuk memangsanya,
memiliki kemampuan berkembangbiak dengan cepat dalam waktu yang relative singkat, sehingga ketersediaannya dapat terjamin sepanjang waktu,
memerlukan biaya usaha yang relativ murah (Priyamboko, 2001).
Jenis pakan alami yang diberikan pada ikan seharusnya disesuaikan dengan stadia yang berhubungan dengan ukuran ikan. Dengan demikian maka akan terdapat klasifikasi jenis pakan alami yang diberikan. Pakan alami sangat dibutuhkan dunia pembenihan karena pakan alami dapat bergerak aktif dan sehingga mengundang larva ikan untuk memakannya. Pada larva, setelah kuning telur habis perlu diberikan tambahan pakan supaya larva tetap mendapat asupan nutrisi. Masalah yang dihadapi adalah larva belum biasa mendapatkan pakan dan bukaan mulut larva masih sangat kecil. Gerakan yang dibuat pakan alami (contohnya : inforia, Dapnia, Artemia) akan merangsang larva memakannya dan ukurannya yang kecil cocok dengan bukaan mulut larva. Artemia merupakan pakan alami yang sangat penting dalam pembenihan ikan laut, krustacea, ikan konsumsi air tawar dan ikan hias. Ini terjadi karena Artemia memiliki nilai gizi yang tinggi, serta ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut hampir seluruh jenis larva ikan.
Artemia dapat diterapkan di berbagai pembenihan ikan dan udang, baik itu air laut, payau maupun tawar. 1.2 Tujuan Adapun tujuan dilakukannya praktikum penetasan cyste artemia adalah sebagai berikut: 1. Diharapkan dapat memahami dan melakukan penetasan cyste artemia dengan metode dekapsulasi dan tanpa dekapsulasi pada artemia sebelum dilakukan pengkulturan. 2. Agar dapat mengetahui pengaruh perlakuan dekapsulasi dan tanpa dekapsulasi terhadap tingkat penetasan kista artemia yang akan di kultur.
BAB II TINJAUAN PUSTKA 2.1 Klasifikasi Artemia Secara taksonomi, klasifikasi sistematika Artemia adalah sebagai berikut:
Filum
: Arthropoda
Sud Fillum
: Branchiata
Kelas
: Crustacea
Subclass
: Branchiopoda
Ordo
: Anostraca
Famili
: Artemiidae
Genus
: Artemia
Spesies
: Artemia sp.
Nama Artemia salina Linnaeus 1758 secara taksonomis sudah tidak dipakai lagi. Eksperimen persilangan antar Artemia dari berbagai populasi menunjukkan adanya isolasi reproduksi dari beberapa kelompok dalam populasi dan menyebabkan adanya pengakuan terhadap spesies sibling sehingga penamaan secara taksonomi harus diberikan. Diantara strain biseksual atau zygogenetik Artemia (populasi yang terdiri dari jantan dan betina) ada 6 jenis sibling yang diketahui sejauh ini, yakni: Artemia salina
: Lymington England
Artemia tunisiana
: Eropa
Artemia fransiscana
: Amerika (Utara, Tengah dan Selatan)
Artemia urmiana
: Iran
Artemia monica
: Mono-Lake, CA-USA (Harefa, 1996).
2.2 Morfologi Artemia Artemia salina diperdagangkan dalam bentuk telur istirahat yang dinamakan kista. Kista ini berbentuk bulatan-bulatan kecil berwarna kelabu kecoklatan dengan diameter 200-300 µm. Kista
berkualitas baik apabila di inkubasikan dalam air berkadar garam 5-70 permil akan menetas sekitar 18-24 jam. Artemia yang baru menetas disebut nauplius, berwarna orange, berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron, lebar 170 mikron dan berat 0,002 mg. Nauplius berangsur-angsur mengalami per-kembangan dan perubahan morfologis dengan 15 kali pergantian kulit sehingga menjadi dewasa. Pada setiap pergantian kulit disebut instar. Artemia dewasa mempunyai ukuran panjang antara 8-10 mm, tubuhnya memanjang dan berbentuk daun robek. Bila keadaan memungkinkan dapat bereproduksi selama 6 bulan/1 tahun secara terus menenrus, setelah itu akan mati. Seekor Artemia betina dewasa dapat menghasilkan 50-200 kista/nauplii, (Gusrina. 2008).
2.3 Siklus Hidup Artemia Ada dua cara bagi artemia untuk dapat bereproduksi, yaitu secara seksual dan dioecian (reproduksivterjadi tanpa partisipasi dari spesies jantan dan sebagai perkembangan embrio dimulai segera setelah telur tiba di rahim). Jika kondisi memungkinkan, seluruh siklus pengembangan terjadi dalam rahim sebagai benih yang menetas. Jika kondisi hidup memburuk, lobster yang bertelur - kista, yang memiliki cangkang keras dan kemampuan luar biasa untuk bertahan hidup. Siklus hidup Artemia dimulai oleh penetasan kista aktif yang terbungkus embrio yang metabolik aktif. Kista dapat tetap dorman selama bertahun-tahun asalkan mereka tetap kering. Bila kista ditempatkan kembali ke dalam air garam mereka kembali terhidrasi dan melanjutkan perkembangan mereka. Kista Artemia yang terbaik disimpan dalam wadah tertutup rapat di lingkungan yang sejuk dan kering, biasanya disimpan di dalam kulkas. Setelah 15 sampai 20 jam pada 25 oC (77 F) semburan kista dan embrio daun shell. Untuk beberapa jam pertama, embrio yang di bawah shell kista, masih tertutup dalam membran menetas. Hal ini disebut tahap Payung, selama tahap ini nauplius selesai pembangunan dan muncul sebagai nauplii berenang bebas. Pada tahap larva pertama, nauplii memiliki warna oranye kecoklatan karena cadangan kuning telur, artemia yang baru menetas tidak menyusui karena mulut mereka dan anus tidak sepenuhnya dikembangkan. Sekitar 12 jam setelah menetas mereka meranggas ke tahap larva kedua dan mereka mulai makan filter pada partikel dari berbagai mikroalga, bakteri, dan detritus. Para nauplii akan tumbuh dan kemajuan melalui 15 molts (pengupasan) sebelum mencapai dewasa dalam waktu sekitar 8 hari. Artemia dewasa meimiliki panjang rata-rata sekitar 8 mm, tetapi dapat mencapai panjang sampai dengan 20 mm di lingkungan yang tepat. Pada
tahap dewasa terjadi peningkatan panjang 20 kali dan peningkatan 500 kali dalam biomassa dari tahap nauplli.
Pada salinitas rendah dan tingkat yang optimal makanan, artemia betina dibuahi biasanya menghasilkan nauplii berenang bebas hingga 75 nauplii per hari. Dalam kondisi yang super ideal, suatu Artemia dewasa bisa hidup selama tiga bulan dan menghasilkan hingga 300 nauplii atau kista setiap 4 hari. Kista produksi diinduksi oleh kondisi salinitas tinggi, dan kekurangan pangan kronis dengan fluktuasi oksigen yang tinggi antara siang dan malam.
2.4 Habitat Artemia Populasi artemia ditemukan di sekitar 500 danau garam alami dan buatan manusia yang tersebar di seluruh Salterns, zona tropis iklim subtropis dan sedang, serta di sepanjang garis pantai dan juga daratan. Meskipun artemia berkembang sangat baik di air laut alami, mereka tidak dapat bermigrasi dari satu biotope garam yang lain melalui laut, karena mereka bergantung pada adaptasi fisiologis mereka untuk salinitas tinggi untuk menghindari predasi dan persaingan dengan pengumpan filter lainnya. Artemia hidup secara planktonik diperairan laut yang kadar garamnya (salinitas) bekisar antara 15-30 permill dan suhunya berkisar antara 26-31oC serta nilai Ph-nya antara 7,3-8,4. Keistimewaan Artemia sebagai plankton adalah memiliki toleransi (kemampuan beradaptasi dan mempertahankan diri) pada kisaran kadar garam yang sangat luas. Pada kadar garam yang sangat tinggi di mana tidak ada satu pun organism lain mampu bertahan hidup, ternyata Artemia mampu mentolerirnya, (Kurniastuty dan Isnansetyo, 1995).
2.5 Kandungan gizi artemia Kandungan nutrisi artemia terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, air dan abu. Protein merupakan kandungan terbesar dalam jasad renik ini dan merupakan kunci rahasia sehingga peranannya sebagai pakan sangat dibutuhkan. Kandungan protein inilah yang menyebabkan artemia digunakan sebagai pakan alami yang sulit digantikan dengan pakan yang lain. Menurut hasil penelitian Fakultas Peternakan IPB (1994), kandungan protein di dalam artemia dapat mencapai 58,58%.
BAB III METODELOGI PRAKTIKUM 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Kegiatan praktikum Kultur Artemia dengan Metode Dekapsulasi dan Non Dekapsulasi, dilakukan pada: Hari/Tanggal : 1 April 2017 Waktu
: Pukul 15.00 WIB - selesai
Tempat
: Laboratorium SMK N 2 Turen Malang.
3.2 Alat dan Bahan 1.1 Alat yang digunakan : a. Gelas beaker
h. Pompa udara
b. Refraktometer
i. Botol akua ukuran 1 L sebanyak 2 buah
c. Selang Aerasi
j. Saringan
d. Timbangan Digital
k. Cawan Petri
e. Mikroskop
l. Pipet tetes
f. Objek glass dan cover glass
m. Plastik hitam
1.2 Bahan yang digunakan : a. Cysta Artemia
d. Garam
b. Larutan NaOCl
e. Air
c. Larutan Natrium Tiosulfat
3.3 Prosedur Kerja Persiapan wadah dan media : 1. Buatlah wadah penetasan Artemia dengan menggunakan botol bekas sedemikian rupa sehingga wadah tidak bocor saat digunakan dengan menggunakan selang aerasi, lem silika, gunting/cutter 2. Atur wadah dan aerasi sebelum digunakan, pastikan wadah dan aerasi dapat berfungsi baik. 3. Buatlah media penetasan dengan air bersalinitas 35 ppt dengan menggunakan air tawar dan garam sebanyak masing-masing 1 liter.
4. Masukkan media yang telah disiapkan ke dalam wadah penetasan artemia. Penetasan Cyst Artemia Tanpa Dekapsulasi 1. Menimbang cyst Artemia yang akan ditetaskan sebanyak 5 gram/liter 2. Hitung kepadatan cyst Artemia yang akan dietaskan 3. Hidrasi/rendam cyst Artemia dengan air tawar dalam beaker glass selama 30 menit 4. Saring Artemia dengan plankton net/seser halus lalu masukkan ke dalam wadah dan media penetasan yang telah disiapkan dengan aerasi kuat 5. Tutup wadah penetasan dengan menggunakan plastic hitam 6. Amati dan catat perkembangan cyst Artemia setelah 24 jam 7. Hitung derajat penetasan Artemia
Penetasan Cyst Artemia Dekapsulasi Adapun prosedur kerja Penetasan cyst Artemia dekapsulasi adalah sbb: 1. Timbang cyst Artemia yang akan ditetaskan sebanyak 5 gram/liter 2. Hitunglah kepadatan Artemia yang akan ditetaskan 3. Hidrasi/rendam cyst Artemia dengan air tawar dalam beaker glass selama 30 menit 4. Saring Artemia dengan plankton net/seser halus lalu masukkan ke dalam beaker glass yang telah berisi larutan NaOCl, 5. Aduk Artemia hingga 5-15 menit, amati dan catat perubahan yang terjadi coklat tua > abuabu > orange 6. Saring cyst dengan menggunakan seser halus, lalu bilas dengan air tawar hingga bau klorin benar-benar hilang. Tambahkan Natrium Tiosulfat untuk mempercepat hilangnya bau Klorin. 7. Masukkan Artemia ke dalam wadah dan media penetasan dengan aerasi kuat 8. Tutup wadah penetasan dengan menggunakan plastik hitam 9. Amati dan catat perkembangan cyst Artemia setelah 24 jam 10. Hitung derajat penetasan Artemia
Pengamatan Perkembangan Penetasan Cyst Artemia 1. Mengambil 1 cc sampel dari media penetasan baik dekapsulasi maupun nondekapsulasi
2. Mengencarkan sampel hingga 100 ml, kemudian dihitung jumlah Cyst Artemia yang telah menetas dengan mengambil sampel yang telah diencerkan menggunakan pipet dan diamati dengan loop. 3. Menghitung jumlah Cyst Artemia yang telah menetas pada sampel tersebut 4. Melakukan perhitungan Persentase Penetasan Artemia.
Pemanenan Artemia 1. Siapkan beaker glass sebagai wadah penampungan Artemia yang akan dipanen, serta seser yang akan digunakan untuk menyaring 2. Buka aerasi dari bagian pangkal (dekat aerator) hingga selang aerasi; mencapai seser halus untuk menyaring Artemia yang dipanen. 3. Lakukan secara perlahan dan hati-hati, jangan sampai cangkang Artemia ikut terbawa.
3.4 Parameter Pengamatan Parameter pengamatan yang akan diamati dalam praktikum ini adalah Pengamatan perbedaan tahapan proses dalam metode dekapsulasi dan tanpa dekapsulasi dan Penghitungan Derajat Penetasan atau Hatching Rate (HR) dari kista artemia sesuai dengan masing-masing metode penetasan. Untuk mengetahui derajat penetasan artemia maka dilakukan penghitungan telur artemia berdasarkan dari jumlah cyste artemia yang ditetaskan dengan jumlah nauplius yang dihasilkan. Metode yang dapat digunakan untuk mengetahui derajat penetasan menurut gusrina (2008), yaitu dengan menggunakan rumus:
𝐻𝑅 =
𝑁 𝑥 100 % 𝐶
Dimana : HR
= Daya Tetas
N
= Jumlah telur yang menetas
C
= Jumlah total telur yang ditetaskan
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Penghitungan Derajat Penetasan atau Hatching Rate (HR) dari kista artemia sesuai dengan masing-masing metode penetasan. Untuk mengetahui derajat penetasan artemia maka dilakukan penghitungan telur artemia berdasarkan dari jumlah cyste artemia yang ditetaskan dengan jumlah nauplius yang dihasilkan. Metode yang dapat digunakan untuk mengetahui derajat penetasan menurut gusrina (2008), yaitu dengan menggunakan rumus:
𝐻𝑅 =
𝑁 𝑥 100 % 𝐶
Dimana : HR
= Daya Tetas
N
= Jumlah telur yang menetas
C
= Jumlah total telur yang ditetaskan/ditebar
Setelah Hari ke 1. 2.
Jumlah Telur yang Menetas Dekapsulasi Nondekapsulasi 300 8.100 0
139.500
Dekapsulasi 0.44 % 0%
HR Nondekapsulasi 2.74 % 47.16 %
4.2 Pembahasan Adapun parameter yang akan dibahas oleh penulis dalam kegiatan praktikum penetasan cyste artemia dengan metode dekapsulasi dan tanpa dekapsulasi ini antara lain adalah : Persiapan wadah dan media penetasan, persiapan cyste artemia, penetasan cyste artemia, pemanenan nauplius/larva artemia dan Menghitung derajat penetasan (HR). Karena ini adalah bagian dari faktor-faktor berhasil atau tidaknya penetasan cyste artemia. Persiapan Wadah dan Media Penetasan
Wadah yang digunakan dalam praktikum penetasan artemia ini berupa botol aqua dengan kapasitas 1 liter, sebelum digunakan wadah ini dicuci, dan kemudian digantung pada dinding serta diberi selang aerasi pada bagian permukaan wadah dengan tekanan tinggi. Sebelum digunakan botol ini dicoba terlebih dahulu agar tidak terjadi kebocoran pada saat penetasan (lihat gambar ). Botol aqua yang digunakan sebanyak 2 buah yaitu untuk metode dekapsulasi dan tanpa dekapsulasi.
Gambar Wadah penetasan dari botol aqua volume 1liter Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan (gusrina 2008), wadah yang dapat digunakan dalam mengkultur pakan alami artemia ada beberapa macam. Antara lain adalah kantong plastic berbentuk kerucut, botol aqua, gallon air minum bekas, ember plastic dan bentuk wadah lainnya yang didesain berbentuk kerucut pada bagian bawahnya agar memudahkan pada saat pemanenan. Setelah dipastikan kondisi wadah penetasan telah berfungsi dengan baik, langkah selanjutnya adalah pembuatan media penetasan. Salinitas pada media penetasan artemia ini adalah salinitas 35 ppt dengan cara membuat air laut tiruan, air laut ini dibuat dengan jalan menambahkan garam yang tidak beryodium ke dalam air tawar sampai memiliki salinitas 35 ppt dengan pengecekan menggunakan salinomoter. Setelah media penetasan dibuat, kemudian dimasukkan kedalam botol aqua yang telah disiapkan sebanyak 1 liter/botol aqua dan diaerasi secara kuat agar garam tercampur merata. Sedangkan munurut (gusrina 2008), kista artemia dapat ditetaskan pada media yang mempunyai salinitas 5-35 ppt, walaupun pada habitat aslinya dapat hidup pada salinitas yang sangat tinggi.
Persiapan Kista Artemia Kista artemia yang akan ditetaskan sebelumnya ditimbang sesuai dengan dosis yang akan digunakan dengan timbangan digital. Dalam praktikum ini menggunakan 5 gram cyste per liter air media penetasan. Pada praktikum penetasan kista artemia ini, kista dimasukan kedalam wadah yang berisi dengan salinitas 35 ppt dengan memasukkan garam pada air dengan volume 1 L. Kista yang sudah dimasukan kedalam air tersebut menetas dalam waktu 22 jam, penetasan kista tersebut relative cepat hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Mudjiman (1989) penetasan kista artemia yang berkualitas baik akan menetas dalam waktu sekitar 18-24 jam apabila diinkubasi dalam salinitas 5-35 ppt, ada beberapa proses yang terjadi dalam penetasan kista artemia yaitu tahapan hidrasi, tahapan pecah cangkang, dan tahapan naupli. Pada praktikum ini digunakan 5 gram kista per liter air media penetasan. Kemudian dilakukan penghitungan jumlah kista yang tebar dengan metode sampling . Untuk mengetahui jumlah tebar maka dilakukan dengan metode sampling dengan menimbang 0.05 gr Cyst Artemia kemudian ditebar secara merata pada kertas yang telah diberi luasan tertentu kemudian beberapa kotak pada luasan sebagai sampel (5 kotak dengan ukuran 1 cm 2 ) kemudian dirata-rata selanjutnya dikalikan dengan luasan kertas untuk memperoleh nilai jumlah tebar. Dekapsulasi (Menggunakan Cyst Artemia Baru) Luas kertas: 19 cm x 28 cm = 532 cm Rata-rata Cyst Artemia yang terdapat dalam kotak sampel 19 sehingga diperoleh jumlah tebarnya adalah 19 x 532 = 10.108. kemudian karena sampel 0,05 gram makan dari 5 gram maka 5/0,05 x 10.108 = 1.010.800 per lima gram. Per gram nya 1.010.800/5 = 202.160
Non Dekapsulasi (Menggunakan Cyst Artemia Lama) Luas kertas: 19 cm x 28 cm = 532 cm Rata-rata Cyst Artemia yang terdapat dalam kotak sampel 27.8 sehingga diperoleh jumlah tebarnya adalah 27,8 x 532 = 14.789. kemudian karena sampel 0,05 gram makan dari 5 gram maka 5/0,05 x 14.789 = 1.478.900 per lima gram. Per gram nya 1.478.900/5 = 295.780 Penetasan Cyste Artemia
Gambar Sampel untuk perhitungan jumlah tebar Cyste artemia sebelum dimasukkan kedalam wadah penetasan dengan metode dekapsulasi dan tanpa dekapsulasi, terlebih dahulu dihidrasi/direndam cyste artemia dengan air tawar ± 20 ml dalam beaker glass selama 0,5 jam serta diberi aerasi kuat untuk melunakkan cyste artemia, hal ini tidak lain dengan tujuan untuk mempercepat proses penetasan.
Gambar Proses hidrasi/rendam cyste artemia dengan air tawar
Munurut (Gusrina 2008), dalam penetasan cyste artemia ada 2 metode yang dapat digunakan yaitu metode dekapsulasi dan metode tanpa dekapsulasi. Metode dekapsulasi adalah suatu cara penetasan cyste artemia dengan melakukan proses penghilangan lapisan luar cyste dengan menggunakan larutan hipokhlorit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup embrio. Sedangkan metode penetasan tanpa dekapsulasi adalah suatu cara penetasan artemia tanpa melakukan proses penghilangan lapisan luar cyste tetapi secara langsung ditetaskan dalam wadah penetasan. Setelah dihidrasi selama 0,5 jam, cyste artemia ini kemudian disaring dengan plankton net/seser halus. Untuk metode tanpa dekapsulasi cyste artemia ini langsung dimasukkan kedalam wadah dan media yang telah disiapkan untuk proses penetasan. Sedangkan penetasan dengan metode dekapsulasi setelah disaring, langkah selanjutnya adalah cyste dimasukkan kedalam beaker glass yang telah berisi larutan khlorin ukuran 20 ml, kemudian diaduk selama 5 – 15 menit hingga perubahan warna dari coklat tua > abu-abu > menjadi oarange. Selanjutnya cyste segera disaring kembali menggunakan plankton net 120 mikron dan dibilas menggunakan air tawar sampai bau bayclin (khlorin) hilang, barulah siap dimasukkan kedalam wadah dan media yang diberi aerasi kuat untuk ditetaskan. Wadah penetasan ini dibungkus dengan menggunakan plastic hitam, dengan tujuan agar memudahkan saat pengamatan dan pemanenan nauplius artemia.
Gambar Metode dekapsulasi dengan larutan khlorin
Gambar Wadah penetasan dengan dibungkus plastic hitam Pada praktikum ini, cyste artemia dimasukkan kedalam wadah penetasan pada pukul 15.30 WIB dan penetasan cyste terjadi pada pagi harinya antara pukul 02.00-06.00 WIB. Penetasan kista Artemia adalah suatu proses inkubasi Cyste artemia di media penetasan (air laut ataupun air laut buatan) sampai menetas. Proses penetasan terdiri dari beberapa tahapan yang membutuhkan waktu sekitar 18-24 jam.
Proses penyerapan air
Pemecahan dinding cyste oleh embrio
Embrio terlihat jelas masih diselimuti membran
Menetas dimana nauplius berenang bebas
Pemanenan
Pada praktikum ini pemanenan segera dilakukan pada setelah 2 hari setelah diyakini cyste artemia telah menetas, hal ini dapat diketahui dengan cara selang aerasi dilepaskan dari wadah penetasan, pembungkus plastic hitam di buka, kemudian menggunakan senter. Nauplius artemia akan berenang menuju ke arah cahaya. Karena bagian wadah (botol aqua) tranparan dan ditembus cahaya maka nauplius Artemia akan berenang bebas dalam wadah penetasan. Oleh karena itu pada saat pemanenan nauplius, sebaiknya bagian dasar wadah disinari lampu dari arah samping agar nauplius berkumpul pada dasar wadah. Selain nauplius, di dasar wadah juga akan
terkumpul kista yang tidak menetas. Sedangkan cangkang (kulit) cyste akan mengembang berada diatas permuakaan air wadah penetasan. Menghitung derajat penetasan (HR) Penghitungan derajat penetasan dilakukan bersamaan pada saat pemanenan berlangsung, penghitungan ini menggunakan metode pengambilan sempel, mula-mula mengambil nauplius artemia dalam wadah dengan menggunakan pipet/spuit ukuran 1 ml dari media yang berukuran 300 ml, kemudian diencerkan dan dilakukan perhitungan sedikit demi sedikit dengan menggunakan pipit dengan bantuan loop/kaca pembesar untuk dilakukan penghitungan secara manual (kasat mata) untuk menghitung jumlah nauplinya. Metode yang dapat digunakan untuk mengetahui derajat penetasan menurut gusrina (2008), yaitu dengan menggunakan rumus:
𝐻𝑅 =
𝑁 𝑥 100 % 𝐶
Dimana : HR
= Daya Tetas
N
= Jumlah telur yang menetas
C
= Jumlah total telur yang ditetaskan/ditebar
Pengamatan hari pertama 1. Non Dekapsulasi Jumlah naupli dalam sampel 1 ml: 27 sehingga kemungkinan dalam 300 ml terdapat 300 x 27 = 8100. Jumlah tebarnya adalah 295.780. Sehingga HR-nya adalah 8.100/295.780 x 100% = 2,74 % 2. Dekapsulasi Jumlah naupli dalam sampel 1 ml: 3 sehingga kemungkinan dalam 300 ml terdapat 300 x 3 = 900. Jumlah tebarnya adalah 202.160. Sehingga HR-nya adalah 900/202.160 x 100% = 0.44 % Pengamatan hari kedua
1. Non Dekapsulasi Jumlah naupli dalam sampel 1 ml: 465 sehingga kemungkinan dalam 300 ml terdapat 300 x 465 = 139.500. Jumlah tebarnya adalah 295.780. Sehingga HR-nya adalah 139.500 /295.780 x 100% = 47.16 % 2. Dekapsulasi Jumlah naupli dalam sampel 1 ml: 0 sehingga kemungkinan dalam 300 ml terdapat 300 x 0 = 0. Jumlah tebarnya adalah 202.160. Sehingga HR-nya adalah 0 /202.160x 100% = 0 % Dari data tersebut dapat dilihat jumlah cyste artemia yang menetas (Hatching rate) lebih besar pada perlakuan non-dekapsulasi dibandingkan perlakuan dekapsulasi. Tujuan awal dilakukan metode dekapsulasi adalah meningkatkatkan daya tetas cyste artemia atau biasa disebut dengan peningkatan heacthing rate (hareta, 1997). Akan tetapi dari hasil praktikum ini bertolak belakang dengan pernyataan tersebut, HR cyste artemia yang mendapat perlakuan dekapsulasi jauh lebih rendah dibandingkan dengan cyste non-dekapsulasi bahkan setelah hari kedua HR 0%. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranta : suhu, aerasi, kepadan cyste, salinitas air, intensitas cahaya, kualitas cyste artemia serta ketebalan lapisan klorin cyste. Sedangkan dalam praktikum ini banyaknya cyste yang tidak menetas adalah akibat dari penanganan pada saat cyste diberi chlorine, dimana yang seharusnya dimasukkan kedalam beaker glas dan diaresai kuat hingga 5-15 menit, namun dalam praktikum ini dengan cara pengadukan secara manual (diputar). Hal ini yang mengakibatkan cyste artemia pecah/mati karena dapat terjadi penggilasan cyste oleh alat pengaduk. Selain itu karena terjadinya pemadaman listrik pada malam hari kurang lebih 3-4 jam sehingga mengakibatkan aerasi tidak berfungsi, hal ini dapat menyebabkan kurangnya oksigen terlarut dan tidak terjadinya pengadukan media dalam wadah penetasan. Sehingga mengakibatkan banyak cyste artemia tidak menetas.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penetasan cyste artemia dengan metode dekapsulasi lebih baik dibandingkan dengan nondekapsulasi, namun dalam praktikum ini mendapatkan hasil yang sebaliknya. Hal ini karena diakibatkan oleh tidak ada kecermatan dalam prosedur proses perlakuan dekapsulasi terutama tahap pemberian khlorin. Dari hasil ini maka dapat disimpulkan bahwa dengan metode dekapsulasi dinyatakan tidak berhasil karena dibawah nilai 50 % dengan hasil presentase %. Sedangan dengan metode non-dekapsulasi Hacthing Rate (HR) hasilnya adalah 47.16 %. Maka presentasi ini dapat dinyatakan berhasil melakukan penetasan cyste artemia. 5.2 Saran Saran untuk lebih teliti dalam melakukan dan kecermatan dalam prosedur kerja agar mendapatkan hasil yang maksimal. Pada praktikum kali ini diharapkan para praktikan, sangat memahami ketika mengambil melakukan dekapsulasi dengan larutan klorin dengan tepat sehingga proses penetasan artemia dengan metode dekapsulasi dapat berlangsung dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
http://triyramadhani.blogspot.co.id/2015/06/laporan-praktikum-kultur-pakan-alami.html diakses 4 April 2017 pukul 10.00 Gusrina Budidaya Ikan Jilid 3 untuk SMK. 2008. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Produksi Pakan Alami Kelas X. 2013. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. La Ode Muhammad Apdy Poto. 2017. Modul Diklat PKB Guru Dasar Budidaya Ikan. Jakarta: DirektoratJenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Gusrina, (2008). Budidaya Ikan Jilid 1, 2 dan 3 untuk SMK. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Anonim, (2008). Artemia Pakan Alami Berkualitas untuk Ikan dan Udang. . Diakses tanggal 4 April 2017 pada pukul 19.00 WIB. Situs : http://mantauresearcher.blogspot.com/2008_01_01_archive.html. Anonim, (2009). Pengaruh Perlakuan Dekapsulasi Dan Non-Dekapsulasi Terhadap Hatching Rate Artemia. Diakses tanggal 4 April 2017 pada pukul 19.00 WIB. Situs : http://ismail-jeunib.blogspot.com/2009/11/pakan-alami-artemia.html http://defishes.xanga.com/715768618/kultur-pakan-alami-kpa/ http://my.opera.com/sampahbermanfaat/blog/show.dml/4450747