Lapkas.docx

  • Uploaded by: MDipiAbdallah
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lapkas.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,217
  • Pages: 36
LAPORAN KASUS

GANGGUAN MENTAL ORGANIK DAN RETARDASI MENTAL Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa BLUD Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh

Disusun oleh : DIAN ROZANI 1707101030029 Dokter Pembimbing : dr. Ibrahim Puteh, Sp.KJ

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA BLUD RUMAH SAKIT JIWA ACEH BANDA ACEH 2018

1

KATA PENGANTAR Segala puji bagi

Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, kasih

sayang dan karunia kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Gangguan Mental Organik dan Retardasi Mental”. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas menjalani kepaniteraan klinik senior pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa RSJ Aceh, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Selama penyelesaian laporan kasus ini penulis mendapatkan bantuan, bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada dr. Ibrahim Puteh, Sp.KJ yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga, sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dan doa dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sekalian demi kesempurnaan laporan kasus ini. Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan profesi kedokteran khususnya. Semoga Allah selalu memberikan Rahmat dan HikmahNya kepada kita semua.

Banda Aceh, Februari 2019

Penulis

2

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii DAFTAR ISI ......................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... ..... 1 BAB II LAPORAN KASUS 2.1 Identitas Pasien ............................................................................. .... 4 2.2 Riwayat Psikiatri .......................................................................... .... 4 2.3 Pemeriksaan Fisik ......................................................................... .... 7 2.4 Status Mental ................................................................................ .... 8 2.5 Resume ......................................................................................... .... 9 2.6 Diagnosis Banding........................................................................ ....10 2.7 Diagnosis Kerja ............................................................................ ....10 2.8 Diagnosis Multiaksial ................................................................... ....10 2.9 Tatalaksana ................................................................................... ....11 2.10 Prognosis ...................................................................................... ....11 BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Gangguan Mental Organik ............................................................ ....14 3.1.1 Definisi ................................................................................. ....14 3.1.2 Epidemiologi ........................................................................ ....14 3.1.3 Etiologi ................................................................................. ....15 3.1.4 Klasifikasi ............................................................................. ....19 3.1.5 Manifestasi Klinis ................................................................. ....21 3.1.6 Diagnosis .............................................................................. ....22 3.1.7 Tatalaksana ........................................................................... ....24 3.2 Retardasi Mental ............................................................................ ....26 3.2.1 Definisi ................................................................................. ....26 3.2.2 Epidemiologi ........................................................................ ....26 3.2.3 Etiologi ................................................................................. ....27 3.2.4 Klasifikasi ............................................................................. ....28 3.2.5 Manifestasi Klinis ................................................................. ....29 3.2.6 Diagnosis .............................................................................. ....29 3.2.7 Diagnosis Banding................................................................ ....31 3.2.8 Tatalaksana ........................................................................... ....31 3.2.9 Pencegahan ........................................................................... ....32 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... ....33

3

BAB I PENDAHULUAN Menurut PPDGJ III gangguan mental organik adalah gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit/gangguan sistemik atau otak yang dapat didiagnosis tersendiri, termasuk gangguan mental simtomatik, dimana pengaruh terhadap otak merupakan akibat sekunder dari penyakit/gangguan sistemik di luar otak (ekstraserebral).

(1,2)

Gangguan mental organik didefinisikan sebagai

gangguan dimana terdapat suatu patologi yang dapat diidentifikasi, contohnya tumor otak, penyakit serebrovaskular, intoksikasi obat dan infeksi yang berakibat pada disfungsi otak. Disfungsi primer terjadi pada penyakit infeksi atau tumor otak dan cedera langsung atau cedera yang diduga mengenai otak. Disfungsi sekunder terjadi pada gangguan dan penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu organ atau sistem tubuh. Berbeda dengan gangguan otak fungsional dimana tidak ada dasar organik yang dapat diterima secara umum, misalnya skizofrenia dan depresi. (1,2,3) Gambaran utama yang muncul pada gangguan mental organik antara lain gangguan fungsi kognitif, gangguan sensorium dan sindrom dengan manifestasi yang menonjol di bidang persepsi (halusinasi), isi pikir (waham/delusi), suasana perasaan dan emosi (depresi, gembira, cemas). (2) Salah satu penyakit yang dapat mencetuskan terjadinya gangguan mental organik adalah infeksi otak. Meningitis merupakan inflamasi yang terjadi pada selaput meningen (selaput yang menutupi otak dan medula spinalis), paling banyak disebabkan oleh infeksi pada leptomeningen dan rongga subarakhnoid. Etiologi penyakit ini cukup beragam, dapat disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur. Ensefalitis adalah infeksi virus pada jaringan otak yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan status mental. Gabungan kedua penyakit ini disebut meningoensefalitis, yaitu suatu peradangan yang terjadi pada selaput meningen dan jaringan otak. Meningoensefalitis merupakan salah satu infeksi sistem saraf pusat yang paling serius, membutuhkan pengenalan serta penanganan segera untuk memperkecil gejala sisa dan memastikan kelangsungan hidup pasien. (4)

4

Gangguan mental organik dapat berlangsung akut atau kronis. Hal tersebut bergantung pada reversibilitas gangguan pada jaringan otak, permulaan gejala atau lamanya penyakit yang menyebabkannya. Gejala utama pada gangguan mental organik akut adalah kesadaran yang menurun (delirium) dan sesudahnya terdapat amnesia, sedangkan gejala utama pada gangguan mental organik kronis adalah demensia.

(1)

Delirium merupakan gangguan yang paling umum terjadi

dengan prevalensi tertinggi pada usia lanjut. Hampir 30-40% pasien yang dirawat di rumah sakit dengan usia lebih dari 65 tahun mempunyai suatu episode delirium. Faktor predisposisi penting lainnya adalah pasien usia muda yang mengalami infeksi otak, riwayat cedera otak, ketergantungan alkohol, diabetes, kanker, gangguan sensorium dan malnutrisi. Diperlukan pemeriksaan yang cermat untuk menentukan diagnosis pasien dengan gangguan mental organik sebab penyakit yang mendasarinya memiliki fokus-fokus tertentu di otak yang mengakibatkan timbulnya gejala neuropsikiatrik. (1,3) Tujuan umum dari penatalaksanaan gangguan mental organik adalah mengobati penyakit yang mendasarinya. Tujuan penting lainnya adalah memberikan bantuan fisik, sensorik dan lingkungan. Bantuan fisik diperlukan sehingga pasien tidak masuk ke dalam situasi yang memungkinkan mereka mengalami kecelakaan. Pasien juga memerlukan stimulasi sensorik namun tidak secara berlebihan. Pengobatan secara farmakologis diberikan untuk mengatasi manifestasi

yang

menonjol

di

bidang

persepsi

(halusinasi),

isi

pikir

(waham/delusi) dan memperbaiki suasana perasaan dan emosi. Psikoedukasi pada penderita dan keluarga merupakan hal yang paling penting karena pengobatan yang konsisten sangat diperlukan untuk hasil yang terbaik. (1,5) Dalam tulisan ini penulis juga membahas tentang retardasi mental. Menurut PPDGJ III, retardasi mental adalah suatu perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial yang bermanifestasi selama masa perkembangan (sebelum usia 18 tahun). (2) Retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya. Diperkirakan ada sekitar 3 % dari total penduduk dunia mengalami retardasi mental. Faktor-faktor yang

5

menyebabkan terjadinya retardasi mental adalah faktor genetik (kelainan kromosom), periode prenatal (infeksi maternal, obat-obatan dan komplikasi kehamilan), perinatal (BBLR atau prematuritas), masa kanak-kanak (infeksi, trauma kepala, kejang, tumor intrakranial dan malnutrisi), lingkungan dan sosiokultural (pajanan zat toksik seperti timbal).

(1,6)

Penatalaksanaan retardasi

mental difokuskan pada pencegahan primer seperti menghilangkan atau mengurangi keadaan yang menimbulkan retardasi mental, edukasi untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mengenai retardasi mental dan eradikasi gangguan yang diketahui diakibatkan oleh kerusakan sistem saraf pusat. Pencegahan sekunder dilakukan untuk memperpendek perjalanan penyakit dan pencegahan tersier dengan meminimalkan gejala sisa dan hendaya yang selanjutnya dapat timbul akibat retardasi mental tersebut. (7)

6

BAB II LAPORAN KASUS

2.1

2.2

IDENTITAS PASIEN Nama

: Satriadi

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Tanggal Lahir

: 01 Januari 1995

Umur

: 24 tahun

Alamat

: Pulo Sarok, Aceh Singkil

Status Pernikahan

: Belum menikah

Pekerjaan

: Tidak bekerja

Pendidikan Terakhir

: SD

Agama

: Islam

Suku

: Aceh

TMRS

: 07 Februari 2019

Tanggal Pemeriksaan

: 08 Februari 2019

RIWAYAT PSIKIATRI Data diperoleh dari:

A.

1. Rekam medis

: 1712015558

2. Alloanamnesis

: 08 Februari 2019

Keluhan Utama Gaduh gelisah

B.

Riwayat Penyakit Sekarang Autoanamnesis: Ketika dianamnesis pasien hanya menjawab beberapa pertanyaan yang

diajukan, seperti nama dan riwayat pendidikan terakhir. Ketika ditanyakan ada atau tidak mendengar bisikan dan melihat bayangan pasien hanya mengangguk. Selebihnya pasien hanya berbicara sendiri dengan isi pembicaraan yang tidak dapat dimengerti sambil menggerakkan kedua tangannya. Ketika ditanyakan mengenai penyakitnya, pasien tidak menjawab namun pasien mau minum obat. 7

Alloanamnesis: Pasien dibawa oleh keluarganya ke IGD RSJ dengan keluhan gaduh gelisah sejak 1 minggu SMRS. Pasien bergerak sangat aktif, mondar-mandir, banyak bicara dan bicara sendiri dengan isi pembicaraan yang tidak dapat dimengerti oleh keluarganya. Ketika diajak bicara, pasien tidak nyambung dan sibuk sendiri tanpa memperhatikan lawan bicaranya. Pasien juga sulit tidur di malam hari, jika tidur pasien mengalami mimpi buruk yang membuatnya terbangun secara tiba-tiba. Ketika bangun tidur, pasien berkata bahwa dirinya mendengar bisikan-bisikan yang mengatakan bahwa keluarganya akan dibunuh. Pasien juga sering melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh keluarganya. Pasien menjadi tidak mau makan, tidak mau mandi, mau minum obat jika disuruh oleh keluarga namun tidak sampai dipaksa. Selain itutangan pasien sering bergetar. Keluhan seperti ini berulang dalam 1 tahun terakhir.

C.

Riwayat Penyakit Sebelumnya

1.

Riwayat psikiatrik: -

Pasien pernah dirawat di RSJ Aceh 1 kali, ada riwayat mengalami sindroma ekstrapiramidal.

-

Pasien merupakan anak pertama dari 3 bersaudara, lahir pervaginam, cukup bulan dengan berat badan lahir normal, ketika lahir tidak langsung menangis. Pertumbuhan pasien sesuai dengan anak seusianya namun ada keterlambatan perkembangan. Pasien baru bisa berjalan di usia 3 tahun dan berbicara di usia 4 tahun. Pasien tetap disekolahkan oleh orang tuanya walaupun pasien tidak memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik dan tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolah.

2.

Riwayat penyakit medis umum : -

Pasien pernah mengalami patah tulang paha sebelah kiri saat usia 10 tahun. Pasien dibawa ke dukun patah dan bisa berjalan lagi namun pincang, kemudian dilakukan operasi di RSUDZA pada bulan Januari 2018.

8

-

Pada bulan September 2017 pasien mengalami demam tinggi disertai dengan penurunan kesadaran dan kejang berulang. Pasien dibawa ke RSUDZA dan dirawat dengan diagnosa meningoensefalitis. Riwayat kejang terakhir pada bulan November 2017. Hasil CT-Scan bulan September 2017 infark subakut di kapsula eksterna sinistra.

3.

Riwayat merokok : Pasien tidak merokok

4.

Penggunaan napza: Disangkal

D.

Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan yang sama.

E.

F.

Riwayat Pengobatan Dahulu -

Olanzapine 1 x ½ vial IM

-

Clozapine 2 x 25 mg

-

Triheksifenidil 2 x 2 mg

-

Fenitoin 2 x 100 mg

-

Clobazam 10 mg

-

Phenobarbital 3 mg

-

Depakote 1 x 500 mg

-

Cefixime 2 x 100 mg

-

Paracetamol 3 x 500 mg

-

B complex 1 x 1 tab

-

Asam folat 2 x 1 tab

-

Natrium diklofenak 2 x 50 mg

-

Omeprazol 1 x 20 mg

Riwayat Sosial Pasien tinggal bersama ibu, ayah dan kedua adiknya. Pasien memiliki

hubungan baik dengan seluruh anggota keluarga, namun kurang bisa berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sekitar.

9

G.

Riwayat Pendidikan Terakhir Sekolah Dasar

H.

Riwayat Kehidupan Pribadi 1. Perinatal

: Lahir tidak langsung menangis

2. Masa bayi, anak-anak dan remaja

: Keterlambatan perkembangan

2.3

PEMERIKSAAN FISIK

A.

Status Internus

1.

Kesadaran

: Compos Mentis

2.

Tekanan Darah

: 110/70 mmHg

3.

Frekuensi Nadi

: 80 kali/ menit

4.

Frekuensi Napas

: 20 kali/ menit

5.

Temperatur

: 36,8ºC

B.

Status Generalisata

1.

Kepala

: Normocephali (+)

2.

Leher

: Distensi vena jugular (-), pembesaran KGB (-)

3.

Paru

: Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

4.

Jantung

: BJ I > BJ II , bising (-), iktus cordis di ICS V linea midclavicularis sinistra

5.

Abdomen

: Soepel (+), asites (-), hepatomegali (-), nyeri tekan (-), timpani, peristaltik (+)

6.

Ekstremitas Superior

: Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (+/+)

Inferior

: Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)

7.

Genetalia

: Tidak diperiksa

C.

Status Neurologis

1.

GCS

2.

Tanda rangsangan meningeal : (-)

3.

Peningatan TIK

: E4V5M6

: (-)

10

4.

Mata

: Pupil isokor (+/+), Ø3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+), strabismus (+/-), ptosis (-/-), lagophtalmus (-/-)

5.

Nervus Kranialis

: Parese N.III dextra

6.

Motorik

:

Kekuatan

5555 5555 5

5555 5 4444

Refleks fisiologis + +

+

Refleks patologis

+

7.

Sensibilitas

: Dalam batas normal

8.

Fungsi luhur

: Terganggu

2.4

STATUS MENTAL

A.

Deskripsi Umum

1.

Penampilan

: Tidak sesuai usia, rapi

2.

Kebersihan

: Bersih

3.

Kesadaran

: Jernih

4.

Perilaku & Psikomotor

: Hiperaktif

5.

Sikap terhadap Pemeriksa

: Tidak kooperatif

B.

Mood dan Afek

1.

Mood

: Hipertimik

2.

Afek

: Terbatas

3.

Keserasian Afek

: Appropriate

C.

Pembicaraan Spontan, artikulasi tidak jelas

D.

Pikiran

1.

Arus pikir Inkoheren

2.

: (+)

Isi pikir Waham

: (-)

Thought

: (-)

Delusion

: (-)

11

-

-

-

-

E.

Persepsi  Halusinasi

F.

1. Auditorik

: (+)

2. Visual

: (+)

Intelektual  Intelektual

: Terganggu

 Daya konsentrasi

: Terganggu

 Orientasi 1. Diri

: Baik

2. Tempat

: Terganggu

3. Waktu

: Terganggu

 Daya ingat

H.

1. Seketika

: Terganggu

2. Jangka Pendek

: Terganggu

3. Jangka Panjang

: Baik

 Pikiran Abstrak

: Sulit dinilai

Daya nilai  Normo sosial

: Sulit dinilai

 Uji Daya Nilai

: Sulit dinilai

I.

Pengendalian Impuls

: Baik

J.

Tilikan

: T2

K.

Taraf Kepercayaan

: Dapat dipercaya

2.5

RESUME Telah diperiksa seorang pasien laki-laki berusia 24 tahun dengan keluhan

gaduh gelisah sejak 1 minggu SMRS. Pasien bergerak sangat aktif, mondarmandir, banyak bicara, bicara sendiri dengan isi pembicaraan yang tidak dapat dimengerti. Ketika diajak bicara pasien tidak nyambung, sibuk sendiri tanpa memperhatikan lawan bicaranya. Pasien juga sulit tidur di malam hari dan sering

12

mengalami mimpi buruk. Ketika bangun tidur, pasien berkata bahwa dirinya mendengar bisikan-bisikan dan melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh keluarganya. Pasien tidak mau makan dan mandi, minum obat disuruh oleh keluarga. Selain itu tangan pasien sering bergetar. Keluhan seperti ini berulang dalam 1 tahun terakhir. Pasien pernah dirawat di RSUDZA pada bulan September 2017 dengan diagnosis meningoensefalitis. Bulan November 2017 pasien dirawat di RSJ, ada riwayat sindrom ekstrapiramidal. Pasien dengan riwayat close fracture collumna femoris sinistra post operasi pada Januari 2018. Pasien juga dengan riwayat keterlambatan perkembangan sejak kecil. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, jernih, tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 80 kali/menit, frekuensi napas 20 kali/menit, temperatur 36,8 ºC. Hasil pemeriksaan status generalis dalam batas normal, status neurologis didapatkan parese nervus III dextra. Hasil pemeriksaan status mental didapatkan penampilan tidak sesuai usia, rapi dan bersih, aktivitas psikomotor hiperaktif, sikap terhadap pemeriksa tidak kooperatif, mood hipertimik, afek terbatas, keserasian afek appropriate, pembicaraan spontan, arus pikir inkoheren, isi pikir banyak ide, tidak ada waham, halusinasi auditorik dan visual (+), daya intelektual terganggu. Pasien dengan tilikan T2 dengan taraf kepercayaan dapat dipercaya.

2.6

DIAGNOSIS BANDING

1.

DD/-

F0.- Gangguan Mental Organik

-

F20.2 Skizofrenia Paranoid

-

F32.3 Episode Depresi Berat dengan Gejala Psikotik

2.

F7. - Retardasi Mental

2.7

DIAGNOSIS KERJA

1.

F0.- Gangguan Mental Organik

3.

F7.- Retardasi Mental

2.8

DIAGNOSIS MULTIAKSIAL

Axis I

: Gangguan mental organik

13

Axis II

: Retardasi mental

Axis III

: Meningoensefalitis, close fracture collumna femoris sinistra post operasi

Axis IV

: Tidak ada diagnosis

Axis V

: GAF 40-31

2.9

TATALAKSANA A. Psikofarmaka: Risperidon 2 mg 2x1 Clozapine 100 mg ½ tablet (pagi), 1 tablet (malam) Depakote ER 500 mg 1x1 Triheksifenidil 2 mg 2x1

B. Terapi Psikososial 1.

Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan menjelaskan mengenai penggunaan obat yang tidak boleh putus.

2.

Meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal.

3.

Menjelaskan kepada keluarga & orang disekitar pasien mengenai kondisi pasien dan meyakinkan mereka untuk selalu memberi dukungan kepada pasien agar proses penyembuhannya lebih baik.

2.10 PROGNOSIS Quo ad Vitam

: Dubia ad bonam

Quo ad Functionam

: Dubia ad bonam

Quo ad Sanactionam

: Dubia ad malam

Tanggal 08 2019

Evaluasi

Terapi

Februari S/ Pasien gelisah, tidak kooperatif. Risperidon 2 mg 2x1 Tidur malam (+), makan (+), minum Clozapine 100 mg ½ obat (+)

tablet (pagi), 1 tablet

14

O/ Penampilan: laki-laki tidak sesuai (malam) usia, rapi dan bersih

Depakote ER 500 mg

Kesadaran : compos mentis

1x1

Sikap : tidak kooperatif

Triheksifenidil 2 mg

Psikomotor : Hiperaktif

2x1

Mood : Hipertimik Afek: Terbatas Keserasian afek: Appropiate Pembicaraan : Spontan Arus pikir : Inkoheren Isi piker: Waham (-) Persepsi : Halusinasi auditorik (+) Halusinasi visual (+) Tilikan : T2 A/ - Gangguan

Mental

Organik

ec

Meningoensefalitis - Retardasi mental 11 2019

Februari S/ Pasien tenang, tidak kooperatif. Risperidon 2 mg 2x1 Tidur malam (+), makan (+), minum Clozapine 100 mg ½ obat (+), halusinasi berkurang.

tablet (pagi), 1 tablet

O/Penampilan: Laki-laki tidak sesuai (malam) usia, rapi dan bersih

Depakote ER 500 mg

Kesadaran : Compos mentis

1x1

Sikap : Tidak kooperatif

Triheksifenidil 2 mg

Psikomotor : Normoaktif

2x1

Mood : Hipertimik Afek : Terbatas Keserasian afek : Appropiate Pembicaraan : Spontan Arus pikir : Inkoheren Isi pikir : Waham (-)

15

Persepsi : Halusinasi auditorik (+) Halusinasi visual (+) Tilikan : T2 A/ - Gangguan

Mental

Meningoensefalitis - Retardasi mental

16

Organik

ec

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1

Gangguan Mental Organik

3.1.1 Definisi Gangguan mental organik merupakan gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit/gangguan sistemik atau otak yang dapat didiagnosis tersendiri, termasuk gangguan mental simtomatik, dimana pengaruh terhadap otak merupakan akibat sekunder dari penyakit/gangguan sistemik di luar otak (ekstraserebral). (2)

3.1.2 Epidemiologi Gangguan mental organik diantaranya adalah demensia, sindrom amnestik, delirium, gangguan mental lainnya, gangguan kepribadian dan prilaku, serta gangguan mental organik atau simtomatik yang tidak tergolongkan. (1,2) Demensia adalah penyakit penuaan dimana 5% dari orang yang berusia 65 tahun menderita demensia tipe Alzheimer. Faktor risiko lainnya adalah wanita, mempunyai keluarga satu tingkat diatasnya dengan gangguan tersebut, ada riwayat cedera kepala dan Sindrom Down yang secara karakteristik berhubungan dengan perkembangan demensia tipe Alzheimer. Tipe demensia yang paling sering kedua adalah demensia vaskular, yaitu demensia yang secara kausatif berhubungan dengan penyakit serebrovaskular. Demensia vaskular memiliki prevalensi 5-30 % dari semua kasus demensia, paling sering ditemukan pada orang berusia 60-70 tahun dan rentan terjadi pada laki-laki dengan hipertensi sebagai predisposisi timbulnya penyakit. Sekitar 10-15% pasien menderita demensia vaskular dan demensia tipe Alzheimer secara bersamaan. (1,2,8) Delirium merupakan gangguan yang paling sering terjadi dengan prevalensi tertinggi pada usia lanjut. Hampir 30-40% pasien yang dirawat di rumah sakit dengan usia lebih dari 65 tahun mempunyai suatu episode delirium. Faktor predisposisi penting lainnya adalah pasien usia muda yang mengalami infeksi otak, riwayat cedera otak, ketergantungan alkohol, diabetes, kanker, gangguan sensorium dan malnutrisi. (1,8)

17

Tidak ada data pasti yang menunjukkan prevalesi sindrom amnestik, namun beberapa penelitian melaporkan adanya insidensi sindrom amnestik pada penggunaan alkohol dan cedera kepala. (1)

3.1.3 Etiologi Gangguan mental organik dapat disebabkan oleh: A.

Penyakit Intrakranial

1.

Epilepsi Epilepsi adalah penyakit neurologis kronis yang paling umum. Gejala

perilaku yang dapat timbul akibat epilepsi adalah perubahan kepribadian; psikosis, kekerasan dan depresi. Pasien dikatakan menderita epilepsi jika mereka mengalami kejang rekuren yang dapat terjadi secara parsial atau umum. Kejang parsial melibatkan aktivitas epileptiformis di daerah otak setempat sedangkan kejang umum melibatkan keseluruhan otak. Masalah psikiatrik yang paling sering berhubungan dengan kejang adalah gangguan neurologis kronis, gangguan kognitif atau perilaku yang dapat muncul dari obat antiepileptik. (1,6,8) 2.

Trauma Kepala Trauma kepala (terutama sidrom pasca gegar otak) dapat menyebabkan

berbagai gejala psikiatrik.

(1,2)

Trauma kepala dapat mengarahkan ke diagnosis

demensia akibat trauma kepala atau ke gangguan mental karena kondisi medis umum yang tidak ditentukan. Trauma kepala dibedakan menjadi trauma tajam dan tumpul, selain itu dapat juga terjadi kontusio fokal. Peregangan parenkim otak menyebabkan kerusakan aksonal difus. Proses yang timbul kemudian seperti edema dan perdarahan dapat menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut. Patofisiologi terjadinya trauma kepala merupakan situasi klinis yang umum. Gejala utama yang berhubungan dengan trauma kepala adalah gangguan kognitif (menurunnya

kecepatan

pemrosesan

informasi,

penurunan

perhatian,

meningkatnya distraktibilitas, defisit dalam pemecahan masalah, daya ingat dan mempelajari informasi baru) dan gejala prilaku (perubahan kepribadian, depresi, meningkatnya impulsivitas, dan meningkatnya agresi). (1,2,8) Setelah suatu periode amnesia pasca trauma, biasanya terjadi periode pemulihan selama 6 sampai 12 bulan.

18

3.

Infeksi Penyakit infeksi seperti meningitis dan ensafalitis merupakan penyakit yang

paling banyak menimbulkan gangguan mental organik. Meningitis adalah infeksi akut pada selaput meningen (selaput yang menutupi otak dan medula spinalis). Ensefalitis adalah infeksi virus pada otak. Meningoensefalitis adalah peradangan pada selaput meningen dan jaringan otak. Meningoensefalitis dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti morbili, rubella, enterovirus, herpes, pox, atau influenza A dan B. Infeksi non virus seperi infeksi bakteri terjadi pada meningitis tuberkulosa dan meningitis bakterialis. Infeksi spirochaeta pada sifilis dan leptospirosis serta jamur kriptokokus, histoplasmosis, aspergilosis, mukomikosis, kandidosis dan koksidiodomikosis. 4.

Neoplasma Sekitar 50% pasien dengan tumor otak mengalami gejala mental.

Meningioma mungkin dapat menyebabkan gejala fokal karena lesi menekan daerah korteks yang terbatas, sedangkan glioma menyebabkan gejala yang difus. Delirium merupakan gangguan mental organik yang paling sering timbul pada tumor yang tumbuh dengan cepat, besar atau metastatik. Jika pada pemeriksaan fisik ditemukan inkontinensia kandung kemih atau usus, suatu tumor lobus frontalis harus dicurigai. Jika ada kelainan pada daya ingat dan pembicaraan, suatu tumor lobus temporalis harus dicurigai. Gejala yang muncul akibat tumor otak antara lain gangguan kognitif, keterampilan berbahasa, daya ingat, persepsi dan kesiagaan. (3,6) 5.

Gangguan Vaskular

6.

Gangguan Demielinisasi Gangguan demielinisasi yang sering terjadi adalah sklerosis multiple.

Sklerosis multiple ditandai dengan episode gejala yang multiple dan secara patofisiologi berhubungan dengan lesi multifokal di substansia alba di sistem saraf pusat. Gejala neuropsikiatrik dibagi atas gejala kognitif dan gejala perilaku. Pasien dengan sklerosis multiple menunjukkan adanya penurunan kecerdasan dan daya ingat. Gejala prilaku yang timbul adalah euphoria, depresi dan perubahan kepribadian. Psikosis adalah komplikasi yang jarang pada pasien dengan sklerosis multiple, namun depresi sering terjadi. Faktor risiko untuk bunuh diri terjadi pada

19

pasien jenis kelamin laki-laki dengan onset sklerosis multiple sebelum usia 30 tahun. (1,8)

B.

Penyebab Ekstrakranial

1.

Obat-obatan (dikonsumsi atau putus), Obat

antikolinergik,

antikonvulsan,

antihipertensi,

antiparkinson,

antipsikotik, cimetidine, clonidine. disulfiram, insulin, opiat, fensiklidine, fenitoin, ranitidin, sedatif (termasuk alkohol), hipnotik dan steroid dapat menimbulkan gejala psikiatri. 2.

Racun Karbon monoksida, logam berat dan racun industri lain jika terhirup dan

beredar dalam darah dan menuju ke otak dapat menimbulkan gejala psikiatri. 3.

Disfungsi Endokrin Gangguan endokrin (hipofungsi atau hiperfungsi) yang terkait tiroid seperti

hipertioridisme ditandai oleh konfusi, kecemasan dan sindrom depresif teragitasi. Pasien juga mengeluh mudah lelah, insomnia, penurunan berat badan, gemetaran dan palpitasi. Gejala psikiatrik yang serius adalah munculnya gangguan daya ingat, orientasi, kegembiraan manik, waham dan halusinasi. Disfungsi kelenjar paratiroid menghasilkan regulasi abnormal pada metabolisme kalsium, sekresi hormon

paratiroid

menyebabkan

yang

delirium,

berlebihan

perubahan

menyebabkan

kepribadian

dan

hiperkalsemia apatis.

yang

Eksitabilitas

neuromuskular yang tergantung pada konsentrasi ion kalsium menurun sehingga terjadi kelemahan otot. Gangguan adrenal menyebabkan perubahan sekresi normal hormon-hormon dari korteks adrenal dan menyebabkan perubahan neurologis dan psikologis yang bermakna. Pasien dengan insufisiensi adrenokortikal kronis sering menunjukkan gejala mental ringan, seperti apatis, mudah lelah, iritabilitas dan depresi. Jumlah kortisol yang berlebihan yang diproduksi secara endogen menyebabkan gangguan mood, sindrom depresi teragitasi dan kadang bunuh diri. Penurunan konsentrasi dan defisit daya ingat juga mungkin ditemukan. Pemberian kortikosteroid eksogen dosis tinggi biasanya menyebabkan gangguan mood sekunder yang mirip dengan mania. Jika terapi steroid dihentikan dapat muncul depresi berat. (1,5)

20

4.

Gangguan Metabolik Ensefalopati metabolik adalah penyebab disfungsi organik yang sering

menyebabkan perubahan proses mental, perilaku dan fungsi neurologis. Diagnosis harus dipertimbangkan bila terjadi perubahan perilaku, pikiran dan kesadaran yang baru saja dan cepat. Tanda yang paling awal adalah gangguan daya ingat dan orientasi. (1,2,5) Gagal hati berat dapat menyebabkan ensefalopati hepatik yang ditandai dengan perubahan kesadaran, asteriksis, hiperventilasi dan kelainan EEG. Perubahan kesadaran dari apatis hingga koma. Gejala psikiatrik yang muncul adalah perubahan daya ingat, keterampilan intelektual umum dan kepribadian. (1,8) Ensefalopati Uremik Gagal ginjal sering disertai dengn perubahan daya ingat, orientasi dan kesadaran. Gejala neuropsikiatrik cenderung reversibel. Ensefalopati hipoglikemik Ensefalopati hipoglikemik dapat disebabkan oleh produksi insulin endogen yang berlebihan

maupun

pemberian

insulin

eksogen

yang

berlebihan.

Disorientasi, konfusi dan halusinsi dapat terjadi bersama dengan gejala neurologis lainnya. 5.

Gangguan Nutrisi Gangguan nutrisi yang terjadi antara lain defisiensi niasin, tiamin dan

kobalamin.Pada defisiensi niasin gejala neuropsikiatrik yang muncul adalah apatis, iritabilitas, insomnia, depresi dan delirium.Pada defisiensi tiamin timbul apatis, depresi, iritabilitas, kegelisahan, dan konsentrasi yang buruk.Pada defisiensi kobalamin dapat muncul apatis, depresi, iritabilitas dan depresi. (4,6) 6.

Gangguan Kekebalan Gangguan kekebalan yang paling umum adalah lupus eritematosus sistemik.

Lupus eritematosus sistemik adalah suatu penyakti autoimun yang melibatkan peradangan pada berbagai sistem organ. Gejala neuropsikiatrik utama adalah depresi, insomnia, labilitas emosional, kegelisahan dan konfusi.

21

3.1.4 Klasifikasi Menurut PPDGJ III, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai berikut : (1) F00 Demensia pada penyakit Alzheimer F00.0 Demensia pada Penyakit Alzheimer Onset Dini F00.1 Demensia pada Penyakit Alzheimer Onset Lambat F00.2 Demensia pada Penyakit Alzheimer, Tipe Tak Khas atau Tipe Campuran F00.9 Demensia pada Penyakit Alzheimer Yang Tidak Tergolongkan (YTT) F01 Demensia Vaskular F01.0 Demensia Vaskular Onset Akut F01.1 Demensia Multi-infark F01.2 Demensia Vaskular Subkortikal. F01.3 Demensia Vaskular Campuran Kortikal dan Subkortikal F01.8 Demensia Vaskular Lainnya F01.9 Demensia Vaskular YTT F02 Demensia pada Penyakit Lain yang Diklasifikasikan di Tempat Lain (YDK) F02.0 Demensia pada Penyakit Pick. F02.1 Demensia pada Penyakit Creutzfeldt – Jakob F02.2 Demensia pada Penyakit Huntington. F02.3 Demensia pada Penyakit Parkinson. F02.4 Demensia pada Penyakit Human Immunodeciency Virus (HIV) F02.8 Demensia pada Penyakit Lain yang Ditentukan (YDT) dan YDK F03 Demensia YTT

Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada F00F03 sebagai berikut : .x0 Tanpa gejala tambahan .x1 Gejala lain, terutama waham .x2 Gejala lain, terutama halusinasi .x3 Gejala lain, terutama depresi .x4 Gejala campuran lain

22

F04 Sindrom Amnestik Organik Bukan Akibat Alkohol dan Zat Psikoaktif Lainnya F05 Delirium Bukan Akibat Alkohol dan Zat Psikoaktif Lainnya F05.0 Delirium, Tak Bertumpang Tindih dengan Demensia F05.1 Delirium, Bertumpang Tindih dengan Demensia F05.8 Delirium Lainya F05.9 Delirium YTT F06 Gangguan Mental Lainnya Akibat Kerusakan dan Disfungsi Otak dan Penyakit Fisik F06.0 Halusinasi Organik F06.1 Gangguan Katatonik Organik F06.2 Gangguan Waham Organik (Lir-Skizofrenia) F06.3 Gangguan Suasana Perasaan (Mood, Afektif) Organik. .30 Gangguan Manik Organik. .31 Gangguan Bipolar Organik. .32 Gangguan Depresif Organik. .33 Gangguan Afektif Organik Campuran F06.4 Gangguan Anxietas Organik F06.5 Gangguan Disosatif Organik F06.6 Gangguan Astenik Organik F06.7 Gangguan Kognitif Ringan. F06.8 Gangguan Mental Lain YDT Akibat Kerusakan dan Disfungsi Otak dan Penyakit Fisik F06.9 Gangguan Mental YTT Akibat Kerusakan dan Disfungsi Otak dan Penyakit Fisik F07 Gangguan Kepribadian dan Prilaku Akibat Penyakit, Kerusakan dan Disfungsi Otak F07.0 Gangguan Kepribadian Organik F07.1 Sindrom Pasca-ensefalitis F07.8 Gangguan Kepribadian dan Perilaku Organik Lainnya Akibat Penyakit, Kerusakan dan Disfungsi Otak

23

F07.9 Gangguan Kepribadian dan Perilaku Organik YTT Akibat Penyakit, Kerusakan dan Disfungsi otak F09 Gangguan Mental Organik atau Simtomatik YTT

Menurut DSM IV-TR, klasifikasi gangguan mental organik sebagai berikut: A.

Delirium 1. Delirium Akibat Kondisi Medis Umum 2. Delirium Akibat Zat 3. Delirium yang Tidak Ditentukan (YTT)

B.

Demensia 1. Demensia Tipe Alzheimer 2. Demensia Vaskular 3. Demensia Akibat Kondisi Medis Umum a) Demensia Akibat Penyakit HIV b) Demensia Akibat Penyakit Trauma Kepala c) Demensia Akibat Penyakit Parkinson d) Demensia Akibat Penyakit Huntington e) Demensia Akibat Penyakit Pick f) Demensia Akibat Penyakit Creutzfeldt – Jakob 4. Demensia Menetap Akibat Zat 5. Demensia Akibat Penyebab Multipel 6. Demensia yang Tidak Ditentukan (YTT)

C.

Gangguan Amnestik 1. Gangguan Amnestik Akibat Kondisi Medis Umum 2. Gangguan Amnestik Menetap Akibat Zat 3. Gangguan Amnestik yang Tidak Ditentukan (YTT)

D.

Gangguan Kognitif yang Tidak Ditentukan (YTT)

3.1.5 Manifestasi Klinis Gambaran utama gangguan mental organik menurut PPDGJ III adalah sebagai berikut: (2) 

Gangguan fungsi kognitif

24

Misalnya daya ingat (memory), daya pikir (intellect), daya belajar (learning) 

Gangguan sensorium Misalnya gangguan kesadaran (consciousness) dan perhatian (attention)



Sindrom dengan manifestasi yang menonjol di bidang: -

Persepsi (halusinasi)

-

Isi pikiran (waham/delusi)

-

Suasana perasaan dan emosi (depresi, gembira, cemas)

3.1.6 Diagnosis Menurut PPDGJ III, penegakan diagnosis gangguan mental organik yang terdiri dari demensia, sindrom amnestik, delirium, gangguan mental lainnya, gangguan kepribadian dan prilaku, serta gangguan mental organik atau simtomatik yang tidak tergolongkan harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (2) Pedoman Diagostik Demensia  Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang sampai mengganggu kegiatan harian seseorang (personal activities of daily living) seperti: mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar dan kecil.  Tidak ada gangguan kesadaran (clear consciousness).  Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit 6 bulan. Pedoman Diagostik Sindrom Amnestik  Adanya hendaya daya ingat, berupa berkurangnya daya ingat jangan pendek (lemahnya kemampuan belajar mandiri baru); amnesia antegrad dan retrograd dan menurunnya kemampuan untuk mengingat dan mengungkapkan pengalaman telah lalu dalam urusan terbalik menurut kejadiannya;  Riwayat atau bukti nyata adanya cedera, atau penyakit pada otak (terutama bila mengenai struktur diensefalon dan temporal medial secara bilateral;  Tidak berkurangnya daya ingat segera (immediete recall), misalnya diuji untuk mengingat deret angka, tidak ada gangguan perhatian (attention) dan kesadaran (consiousness) dan tidak ada hendaya intelektual secara umum.

25

Pedoman Diagnostik Delirium  Gangguan kesadaran dan perhatian: - Dari taraf kesadaran berkabut sampai dengan koma; - Menurunnya kemampuan untuk mengarahkan, memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian;  Gangguan kognitif secara umum: - Distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi seringkali visual; - Hendaya daya pikir dan pengertian abstrak dengan atau tanpa waham yang bersifat sementara, tetapi sangat khas terdapat inkoherensi yang ringan; - Hendaya daya ingat segera dan jangka pendek, namun daya ingat jangka panjang relatif masih utuh; - Disorientasi waktu, pada kasus yang berat terdapat juga disorientasi tempat dan orang;  Gangguan psikomotor: - Hipo- atau hiper-aktivitas dan pengalihan aktivitas yang tidak terduga dari satu ke yang lain; - Waktu bereaksi yang lebih panjang; - arus pembicaraan yang bertambah atau berkurang; - reaksi terperanjat meningkat;  Gangguan siklus tidur-bangun: - insomnia atau, pada kasus yang berat, tidak dapat tidur sama sekali atau terbaliknya siklus tidur-bangun; mengantuk pada siang hari; - gejala yang memburuk pada malam hari; - mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk, yang dapat berlanjut menjadi halusinasi setelah bangun tidur;  Gangguan emosional: - misalnya depresi, anxietas atau takut, lekas marah, euforia, apatis, atau rasa kehilangan akal.  Onset biasanya cepat, perjalanan penyakitnya hilang timbul sepanjang hari dan keadaan itu berlangsung kurang dari 6 bulan. Pedoman Diagnosis Gangguan Mental Lainnya  Adanya penyakit, kerusakan atau disfungsi otak, atau penyakit fisik sistemik yang diketahui berhubungan dengan salah satu sindrom mental tercantum:  Adanya hubungan waktu (dalam beberapa minggu atau bulan) antara perkembangan penyakit yang mendasari dengan timbulnya sindrom mental;  Kesembuhan dari gangguan mental setelah perbaikan atau dihilangkannya penyebab yang mendasarinya;  Tidak ada bukti yang mengarah pada penyebab alternatif dari sindrom mental ini (seperti pengaruh yang kuat dari riwayat keluarga atau pengaruh stres sebagai pencetus). 26

Pedoman Diagnosis Gangguan Kepribadian dan Prilaku  Riwayat yang jelas atau hasil pemeriksaan yang mantap menunjukkan adanya penyakit, kerusakan, atau disfungsi otak;  Disertai dua atau lebih, gambaran berikut: - Penurunan yang konsisten dalam kemampuan untuk mempertahankan aktivitas yang bertujuan (goal-di-rected activities) terutama yang memakan waktu lebih dan penundaan kepuasan; - Perubahan prilaku emosional, ditandai oleh labilitas emosional, kegembiraan yang dangkal dan tak beralasan (euforia, kejenakaan yang tidak sepadan), mudah berubah menjadi iritabilitas atau cetusan amarah dan agresi yang sejenak; pada beberapa keadaan, apati dapat merupakan gambaran yang menonjol; - Pengungkapan kebutuhan dan keinginan tanpa mempertimbangkan konsekuensi atau kelaziman sosial (pasien mungkin terlibat dalam tindakan dissosial, seperti mencuri, bertindak melampaui batas kesopanan seksual, atau makan secara lahap atau tidak sopan, kurang memperhatikan kebersihan dirinya); - Gangguan proses pikir, dalam bentuk curiga atau pikiran paranoid, dan/atau preokupasi berlebihan pada satu tema yang biasanya abstrak (seperti soal agama, “benar” dan “salah”) - Kecepatan dan arus pembicaraan berubah dengan nyata, dengan gambaran seperti berputar-putar (circumstantiality), bicara banyak (overinclusiveness), alot (viscosity) dan hipergrafia; - Prilaku seksual yang berubah (hiposeksualitas atau perubahan selera seksual). Gangguan Mental Organik atau Simtomatik YTT  Termasuk : psikosis organik YTT, prikosis simtomatik YTT. 3.1.7 Tatalaksana Tujuan utama penatalaksaan gangguan mental organik adalah mengobati penyakit yang mendasarinya. Selain itu perlu dilakukan bantuan fisik, sensoris dan lingkungan. Pemberikan psikofarmaka hanya untuk mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala psikiatri yang muncul. Pada delirium ada 2 gejala utama yang memerlukan pengobatan secara farmakologis, yaitu psikotik dan insomnia. Gelaja psikotik dapat diobati dengan antipsikotik tipikal maupun atipikal. Obat yang sering dipilih untuk mengatasi gangguan psikotik adalah antipsikotik tipikal golongan butirofenon, yaitu haloperidol (Haldol) dimana pemberiannya tergantung pada usia, berat badan dan kondisi fisik pasien. Dosis

27

awal antara 2-10 mg IM, dapat diulang dalam satu jam jika pasien tetap teragitasi. Segera setelah pasien tenang, medikasi oral dapat dimulai. Dua dosis oral harian harus mencukupi dengan dua pertiga dosisnya diberikan sebelum tidur. Untuk mencapai efek terapeutik yang sama, dosis oral harus kira-kira 1,5 kali lebih tinggi dari dosis parenteral. Dosis harian haloperidol yang efektif adalah 5-50 mg untuk sebagian besar pasien. Antipsikotik tipikal golongan fenotiazin harus dihindari pada pasien delirium karena obat tersebut disertai dengan aktivitas antikolinergik yang bermakna. Insomnia paling baik diatasi oleh obat golongan benzodiazepine dengan waktu paruh pendek atau dengan hydroxyzine 25-100 mg. Golongan benzodiazepin dengan waktu paruh panjang dan barbiturat harus dihindari kecuali obat tersebut telah digunakan sebagai pengobatan untuk gangguan dasar. (1,8) Pada demensia, tujuan penatalaksaannya adalah memberikan perawatan suportif dan bantuan emosional untuk pasien dan keluarganya. Pengobatan farmakologis juga diperlukan untuk mengatasi gejala spesifik, seperti insomnia, kecemasan,

depresi,

waham

dan

halusinasi.

Peresepan

obat

golongan

benzodiazepin dilakukan untuk mengurangi atau mengatasi insomnia dan kecemasan, antidepresan untuk depresi dan antipsikotik untuk waham dan halusinasi. Perlu diperhatikan adanya efek idiosinkrasi seperti perangsangan paradoksal, konfusi dan peningkatan sedasi pada pasien usia lanjut. Obat dengan aktivitas kolinergik tinggi harus dihindari. (1,8) Sindrom

amnestik

dapat

dikurangi

dengan

psikoterapi.

Intervensi

psikodinamik mungkin mempunyai nilai yang baik bagi pasien yang menderita sindrom amnestik yang disebabkan oleh kerusakan pada otak. Fase pemulihan pertama dilakukan untuk mengembalikan fungsi ego pasien dimana dirinya tidak mampu memproses apa yang terjadi akibat pertahanan ego yang sangat besar. Fase kedua adalah mengembalikan realisasi kejadian dan fase ketiga merupakan fase integratif. Sebagian besar pasien yang memiliki sindrom amnestik akibat cedera otak terlibat dalam penyangkalan. Untuk itu diperlukan empati dan pendekatan yang sensitif kepada pasien. Selain itu diperlukan juga suatu pemeriksaan gangguan kepribadian sebelumnya, dimana ciri kepribadian tersebut dapat menjadi bagian penting dari psikoterapi dan psikodinamika. (1,8)

28

3.2

Retardasi Mental

3.2.1 Definisi Menurut PPDGJ III, retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, terutama ditandai oleh adanya hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat inteligensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial. (2) American

Association

on

Mental

Retardation

(AAMR)

2002

mendefinisikan retardasi mental adalah suatu disabilitas yang ditandai dengan suatu limitasi/keterbatasan yang bermakna baik dalam fungsi intelektual maupun perilaku adaptif yang diekspresikan dalam keterampilan konseptual, sosial dan praktis; keadaan ini terjadi sebelum usia 18 tahun. Ada 5 dimensi biopsikososial dalam defenisi ini, yaitu: kemampuan intelektual, perilaku adaptif; partisipasi, interaksi dan peran sosial; kesehatan fisik dan mental; konteks (termasuk budaya dan lingkungan). (9) Defenisi menurut Diagnostic and Statistical Manual IV – TR (DSM-TR) adalah sama dengan defenisi AAMR tetapi ditambahkan batas derajat IQ 70. (1) Ada tiga ciri penting dalam mendefinisikan retardasi mental, yaitu penurunan intelegensi (subnormal), defisit fungsi adaptasi sosial dan berlangsung selama masa perkembangan (sebelum usia 18 tahun). (2,6) Yang dimaksud dengan tingkat intelegensi subnormal apabila IQ ≤ 70 atau 2 tingkat dibawah standar deviasi rata-rata. Fungsi adaptif dapat diukur dengan Vineland Adaptive Behaviour Scale, skala ini menilai komunikasi, perawatan diri, sosialisasi dan kemampuan motorik berdasarkan usia.

(1)

Penilaian fungsi adaptif biasanya

berdasarkan laporan dari orang tua atau pengasuh, walaupun dalam beberapa kasus dapat dilakukan wawancara langsung dengan pasien. (10)

3.2.2 Epidemiologi Prevalensi retardasi mental diperkirakan sebanyak 1-3% dari jumlah populasi. Prevalensi retardasi mental ringan adalah yang terbanyak, yaitu 85% dari keseluruhan kasus, retardasi mental sedang sebanyak 10% dan berat 4% dari keseluruhan kasus. Hanya sekitar 1-2% yang mengalami retardasi mental sangat berat. Anak laki-laki sekitar 1,5 kali lebih sering menderita retardasi mental

29

dibanding anak perempuan. Insiden tertinggi pada anak usia sekolah dengan usia puncak 10-14 tahun. Pada orang dewasa prevalensi retardasi mental lebih rendah, penderita retardasi mental sangat berat memiliki angka mortalitas yang tinggi akibat dari komplikasi yang terkait dengan kondisi fisik. (1)

3.2.3 Etiologi Penyebab retardasi mental dikelompokkan menjadi retardasi mental primer dan retardasi mental sekunder. Retardasi mental primer mungkin disebabkan faktor keturunan (retardasi mental genetik) dan faktor yang tidak diketahui. Retardasi mental sekunder disebabkan faktor-faktor dari luar yang diketahui dan faktor-faktor ini memengaruhi otak mungkin pada waktu prenatal, perinatal atau postnatal. (1,6) Keadaan yang sering menyebabkan retardasi mental adalah: -

Kelainan kromosom, misalnya: sindrom Down, cat’s cry syndrome, PraderWilli syndrome dan fragile X syndrome.

-

Infeksi yang menyebabkan kerusakan jaringan otak. Contohnya: infeksi toxoplasma, rubella, sifilis, herpes, cytomegalovirus dan HIV.

-

Intoksikasi yang berasal dari obat-obatan, serum ataupun zat toksik lainnya. Contohnya: toksemia gravidarum, ensefalopatia bilirubin (kernikterus), fetal alcohol syndrome, fetal hydantoin syndrome serta intoksikasi timah hitam dan merkuri.

-

Gangguan metabolisme (misalnya metabolisme zat lipid, karbohidrat dan protein). Contoh gangguan defisiensi enzim yang sering mengakibatkan retardasi mental:  Lipidosis otak infantile (penyakit Tay-Sach).  Histiositosis lipidum jenis keratin (penyakit Gaucher).  Histiositosis lipidum jenis fostatid (penyakit Niemann-Pick).  Fenilketonuria (tidak ditemukan enzim yang dapat memecahkan fenilallanin sehingga timbul keracunan neuron-neuron).

-

Rudapaksa dan sebab fisik lain. Rudapaksa sebelum lahir juga trauma lain, seperti sinar X, bahan kontrasepsi dan usaha abortus dapat mengakibatkan retardasi

mental.

Berbagai

komplikasi

30

pada perinatal juga dapat

menyebabkan asfiksia neonatum yang dapat mengakibatkan kerusakan jaringan otak. -

Prematuritas. Penelitian membuktikan bahwa bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah memiliki resiko tinggi mengalami gangguan neurologis dan intelegensi.

-

Trauma kepala dapat terjadi pada anak yang mengalami kejang, kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, atau pada anak yang mengalami kekerasan.

-

Penyakit otak yang nyata (neoplasma).

-

Masalah psikososial dan lingkungan. Retardasi mental ringan dapat timbul sebagai akibat kurangnya nutrisi dan pengasuhan. Ketidakstabilan dalam keluarga, asupan nutrisi yang kurang selama masa kehamilan dan kurangnya rangsangan dapat menghambat perkembangan otak anak. Gangguan gizi yang berlangsung lama dan berlangsung sebelum umur 4 tahun juga dapat mempengaruhi perkembangan otak dan dapat mengakibatkan retardasi mental.

3.2.4 Klasifikasi a.

Retardasi mental ringan (IQ 50-69) Retardasi mental ringan dikategorikan sebagai retardasi mental dapat dididik

(educable). Anak mengalami gangguan berbahasa tetapi masih mampu menguasainya untuk keperluan bicara sehari-hari dan untuk wawancara klinik. Umumnya mereka juga mampu mengurus diri sendiri secara independen, meskipun tingkat perkembangannya sedikit lebih lambat dari ukuran normal. Kesulitan biasanya dijumpai dalam hal membaca, menulis, dan berhitung, sehingga biasanya retardasi mental ringan ditemukan saat anak berada di sekolah dasar. (7) b.

Retardasi mental sedang (IQ 35-49) Retardasi mental sedang dikategorikan sebagai retardasi mental dapat dilatih

(trainable). Pada kelompok ini anak mengalami keterlambatan perkembangan pemahaman dan penggunaan bahasa, serta pencapaian akhirnya terbatas. Pencapaian kemampuan mengurus diri sendiri dan keterampilan motor juga mengalami keterlambatan, dan beberapa diantaranya membutuhkan pengawasan

31

sepanjang hidupnya. Retardasi mental sedang biasanya ditemukan di usia prasekolah. (1,7,11) c.

Retardasi mental berat (IQ 20-34) Gambaran klinis dari retardasi mental berat hampir sama dengan retardasi

mental sedang, perbedaan utamanya yaitu biasanya pada retardasi mental berat terdapat kerusakan motor yang bermakna atau defisit neurologis. Penderita retardasi mental berat mencapai perkembangan dalam kemampuan berkomunikasi selama masa kanak-kanak dan biasanya mampu belajar berhitung serta mengenali huruf. (1,7) d.

Retardasi mental sangat berat (IQ <20) Sebagian besar penderita retardasi mental berat memiliki penyebab yang

jelas untuk kondisinya. Umumnya anak sangat terbatas dalam hal mobilitas, dan hanya mampu pada bentuk komunikasi nonverbal yang sangat elementer. (1,7)

3.2.5 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis dari retardasi mental dapat bervariasi,utamanya berdasarkan tingkat retardasi mental.

(10)

Pada retardasi mental ringan, gejala

biasanya belum nampak hingga anak memasuki usia sekolah dasar, dimana anak mengalami kesulitan dalam menulis, membaca, dan berhitung sehingga hanya mampu bersekolah hingga kelas 4, 5 atau 6.

(1)

Anak sulit berkonsentrasi dan

kurang dewasa dalam hal adaptasi sosial dan kemandirian. (11) Orang dengan retardasi mental berat hingga sangat berat biasanya didiagnosis pada usia lebih dini, lebih sering dengan kondisi medis tertentu misalnya kelainan dismorfik, dan memiliki gangguan mental dan perilaku. Sebaliknya, orang dengan retardasi mental ringan didiagnosis pada usia yang lebih tua (biasanya saat tuntutan akademik lebih menonjol), jarang dengan kondisi medis tertentu dan biasanya nampak seperti orang normal. Orang dengan retardasi mental sedang memiliki gambaran keduanya. (10)

3.2.6 Diagnosis Diagnosis retardasi mental ditetapkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dalam anamnesis terhadap orang tua atau

32

pengasuh ditanyakan riwayat selama kehamilan dan persalinan, adakah riwayat retardasi mental dalam keluarga, bagaimana hubungan orangtua dan adanya penyakit herediter. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat adanya karakteristik fisik yang biasa ditemukan pada penderita retardasi mental, misalnya ukuran dan bentuk

kepala (mikrosefali, hidrosefalus, sindrom

Down),

karakteristik wajah (epicanthal folds, lidah menonjol, hipertelorisme, flat nasal bridge), ekspresi wajah, dll. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu pemeriksaan neurologis, analisa kromosom, analisa urin dan darah, EEG, neuroimaging, evaluasi pendengaran dan berbicara, serta pemeriksaan psikologis. (1)

Kriteria diagnosis retardasi mental (intellectual developmental disorder) menurut DSM-V TR adalah: (2) 1.

Ditemukannya defisit dalam fungsi intelektual, seperti memberi alasan, pemecahan masalah, perencanaan, berpikir abstrak, menilai, pembelajaran akademik, dan pembelajaran dari pengalaman, yang dipastikan melalui pemeriksaan klinis dan tes intelegensia terstandar.

2.

Adanya defisit dalam fungsi adaptif yang berakibat pada kegagalan dalam mencapai perkembangan dan standar sosiokultural untuk kemandirian pribadi dan tanggung jawab sosial. Tanpa dukungan terus-menerus, defisit adaptasi akan membatasi satu atau lebih fungsi dalam aktivitas hidup seharihari, seperti komunikasi, partisipasi sosial, dan kemandirian, di beberapa tempat, misalnya rumah, sekolah, kantor, dan masyarakat.

3.

Onset dari defisit intelektual dan adaptasi timbul selama masa perkembangan. 317

(F70)

: Mild

318.0 (F71)

: Moderate

318.1 (F72)

: Severe

318.2 (F73)

: Profound

315.8 (F88)

: Global Developmental Delay

319

: Unspecified Intelectual Disability

(F79)

33

3.2.7 Diagnosis Banding Gangguan perkembangan tertentu, seperti disfasia, dapat menghambat kemampuan akademik, tetapi disini tidak ditemukan adanya defisit secara umum seperti pada retardasi mental. Autisme berat, terutama yang disertai mutisme, mungkin menyerupai retardasi mental dan biasanya autisme disertai dengan retardasi mental. Skizofrenia masa kanak seringkali menghambat kemampuan akademik dan menyerupai gejala retardasi mental. Deprivasi psikososial, misalnya pada anak yatim piatu dan korban kekerasan, mungkin menyebabkan anak nampak seperti penderita retardasi mental. (11)

3.2.8 Tatalaksana -

Farmakoterapi Obat-obatan yang sering digunakan dalam terapi retardasi mental adalah

terutama untuk menekan gejala-gejala hiperkinetik. Metilfenidat (Ritalin) dapat memperbaiki

keseimbangan

dekstroamfetamin,

emosi

klorpromazin,

dan

fungsi

flufenazin,

kognitif.

fluoksetin

Imipramin,

kadang-kadang

dipergunakan oleh psikiatri anak. Untuk menaikkan kemampuan belajar pada umumnya diberikan tioridazin (melleril), metilfenidat, amfetamin, asam glutamate, gamma aminobutyric acid (GABA). (7) -

Latihan dan pendidikan. Latihan dan pendidikan meliputi latihan di rumah, latihan di sekolah, latihan

teknis, dan latihan moral. Latihan anak dengan retardasi mental secara umum ialah: (6)  Mempergunakan dan mengembangkan sebaik-baiknya kapasitas yang ada.  Memperbaiki sifat-sifat yang salah atau antisosial.  Mengajarkan suatu keahlian agar anak itu dapat mencari nafkah kelak. -

Psikoterapi Psikoterapi diberikan kepada anak dan orang tua. Konseling pada orang tua

antara lain bertujuan untuk membantu mereka dalam mengatasi frustrasi oleh karena mempunyai anak dengan retardasi mental, mereka perlu diberi dukungan bahwa bukan salah mereka jika anak mereka mengalami hal seperti itu, tetapi

34

mereka perlu berusaha untuk mengatasi keadaan tersebut. Psikoterapi tidak dapat menyembuhkan retardasi mental, tetapi diharapkan dapat terjadi perubahan sikap, tingkah laku, dan adaptasi sosial. (6,7)

3.2.9 Pencegahan Pencegahan retardasi mental dapat dilakukan secara primer (mencegah timbulnya retardasi mental) atau secara sekunder (mengurangi manifestasi klinis retardasi mental). (7) Pencegahan primer dapat dilakukan dengan pendidikan kesehatan pada masyarakat, perbaikan sosio-ekonomi, konseling genetik dan tindakan kedokteran (misalnya perawatan prenatal yang baik, pertolongan persalinan yang baik, mengurangi kehamilan diatas usia 40 tahun, dan pencegahan keradangan otak pada anak-anak). Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dan pengobatan dini. Pencegahan tersier meliputi pendidikan penderita atau latihan khusus yang sebaiknya dilakukan di sekolah luar biasa.

(6)

Penyebab retardasi mental yang

dapat dicegah antara lain: infeksi, trauma, intoksikasi, komplikasi kehamilan, gangguan metabolisme, kelainan genetik. (7)

35

DAFTAR PUSTAKA 1.

Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.

2.

Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-5. 2nd ed. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya; 2013.

3.

Ingram. I. M, Timbury.G.C, Mowbray.R.M. 1995 Catatan Kuliah Psikiatri, Edisi keenam, cetakan ke dua, Penerbit Buku kedokteran, Jakarta.

4.

Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, Jilid 1. 2008. Penerbit Media Aesculapsius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

5.

Katzung, BG. 2007. Farmakologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

6.

Maramis WF, Maramis AA. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. 2 ed. Surabaya: Airlangga University Press; 2009.

7.

Sularyo TS, Kadim M. Retardasi Mental. Sari Pediatri Desember 2000:170177.

8.

Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto. Psikiatri.Jakarta: Badan Penerbit FK UI.

9.

Kay J, Tasman A. Essentials of Psychiatry. England: John Wiley & Sons Ltd; 2006.

10.

Martin A, Volkmar FR. Lewi's Child and Adolescent Psychiatry: A Comprehensive Textbook. 4th ed: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.

11.

Moore DP, Jefferson JW. Handbook of Medical Psychiatry. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier/Mosby; 2004.

36

2014.

Buku

Ajar

More Documents from "MDipiAbdallah"

Lapkas Jiwa Revisi.docx
November 2019 7
Cover Lapkas Jiwa.docx
November 2019 6
Lapkas.docx
November 2019 9
Jadwal Wh 1.xlsx
November 2019 12