Laporan Kasus Congestive Heart Failure
Pimpinan Sidang : dr. M. Feldy Gazali, SpPD
Oleh : Winnie Carey (140100197) Faiza Ruby Azzahra H. (140100181) Karthikraj A/L Karuppiah (140100271) Wira Putri Ramadhani (140100087) Kevin (140100149)
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP H. ADAM MALIK 2018
i
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dibacakan tanggal
:
Nilai
:
CHIEF OF WARD
dr. Zanurul Rifhan
PIMPINAN SIDANG
dr M. Feldy Gazali, SpPD
i
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul “Congestive Heart Failure”. Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat bagi pada pembaca, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, 05 Agustus 2018
Penulis
ii
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................... DAFTAR ISI ..............................................................................................
ii iii
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................... 1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1.2 Tujuan........................................................................................ 1.3 Manfaat ......................................................................................
1 1 2 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 2.1 Definisi ...................................................................................... 2.2 Epidemiologi ............................................................................ 2.3 Manifestasi Klinis ..................................................................... 2.4 Patofisiologi .............................................................................. 2.4 Diagnosis ................................................................................... 2.5 Diagnosis Banding .................................................................... 2.5 Penatalaksanaan ........................................................................ 2.6 Komplikasi dan Prognosis .........................................................
3 3 3 4 4 10 16 17 29
BAB III STATUS ORANG SAKIT ........................................................ BAB IV FOLLOW UP ............................................................................. BAB V DISKUSI KASUS ......................................................................... BAB VI KESIMPULAN ..........................................................................
30 41 48 51
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
52
iii
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Gagal jantung (Congestive Heart Failure), merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.1 Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak mampu memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi ke jaringan tubuh. Sering disebut juga dengan Congestive Heart Failure (CHF) karena umumnya pasien mengalami kongesti pulmonal dan perifer. Resiko terjadinya gagal jantung semakin meningkat sepanjang waktu. Menurut data WHO 2013, sekitar 17,3 juta orang meninggal akibat gangguan kardiovaskular pada tahun 2008 dan lebih dari 23 juta orang akan meninggal setiap tahunnya oleh karena gangguan kadiovaskular. Lebih dari 80% angka mortalitas akibat gangguan kardiovaskular, terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Secara umum, penyebab gagal jantung dapat dibagi menjadi dua, meliputi penyakit pada miokard (antara lain: penyakit jantung koroner, kardiomiopati, miokarditis), dan gangguan mekanis pada miokard (antara lain: hipertensi, stenosis aorta, koartasio aorta). Untuk menegakkan diagnosa CHF, uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi rendah. Sedangkan, uji diagnostik seringkali kurang sensitf pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal. Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik dalam CHF.1
1
2
1.2 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah : 1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis penyakit Congestive Heart Failure. 2. Untuk mengaplikasikan ilmu kedokteran yang telah didapat dari kasus Congestive Heart Failure sehingga dapat melakukan penatalaksanaan yang tepat, cepat, dan akurat pada pasien-pasien gagal jantung.
1.3 Manfaat Penulisan Adapun beberapa manfaat yang diperoleh dari laporan kasus ini adalah : 1. Untuk lebih memahami dan memperdalam CHF secara teoritis. 2. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai CHF.
2
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Gagal jantung Kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrient dikarenakan adanya kelainan fungsi jantung yang berakibat jantung gagal memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri. Gagal jantung adalah suatu keadaan yang serius dimana jumlah darah yang masuk dalam jantung setiap menitnya tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh akan oksigen dan zat makanan.terkadang orang salah mengartikan gagal jantung dengan henti jantung, jika gagal jantung adalah berkurangnya kemampuan jantung untuk mempertahankan beban kerjanya. Gagal jantung kongestif adalah keadaan dimana jantung tidak mampu lagi memompakan darah secukupnya dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi badan untuk keperluan metabolisme jaringan tubuh pada keadaan tertentu, sedangkan tekanan pengisian ke dalam jantung masih cukup tinggi.
2.2 Epidemiologi Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian nomer satu di dunia. Menurut data WHO yang diterbitkan pada tahun 2016 diperkirakan 17,5 miliar orang pada tahun 2012 meninggal karena penyakit kardiovaskuler termasuk diantaranya gagal jantung. Di Indonesia penyakit jantung dan pembuluh darah ini terus meningkat dan akan memberikan beban kesakitan, kecacatan dan beban sosial ekonomi bagi keluarga penderita, masyarakat, dan negara. Berdasarkan diagnosis dokter prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun 2015 sebesar 0,13%
3
4
atau diperkirakan sekitar 229.696 orang, sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/ gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar 530.068 orang. Berdasarkan Riskedas (2013), prevalensi gagal jantung di Jawa Tengah berdasarkan diagnosis dokter (0, 18%). Penyakit gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur 60 – 74 tahun. Untuk yang didiagnosis dokter prevalensi lebih tinggi pada perempuan dibanding laki-laki, berdasar didiagnosis dokter atau gejala prevalensi sama banyaknya antara laki-laki dan perempuan. Gagal jantung sering terjadi pada masyarakat dengan pendidikan rendah.
2.3 Etiologi a. Output rendah, disfungsi sistolik (dilatasi kardiomipati) dapat disebabkan iskemik koroner, Infark miokard, regurgitasi, konsumsi alkohol, kekurangan gizi, deplesi kalsium dan kalium, induksi obat, idiopatik. Juga dapat disebabkan hipertensi, stenosis aorta dan volume overload. b. Disfungsi diastolik dapat disebabkan iskemik koroner, infark miokard, hipertensi, stenosis aorta dan regurgitasi, perikarditis, pembesaran septum ventrikel kiri. c. High-output failure disebabkan oleh anemia dan hipertiroid. 2.4 Patofisiologi2,3 Gagal jantung kronis dapat diakibatkan oleh berbagai macam gangguan kardiovaskular. Etiologi dapat dikelompokkan pada yang (1) mengganggu kontraktilitas ventrikel, (2) meningkatkan afterload, atau (3) mengganggu relaksasi dan pengisian ventrikel (Gambar 9.6). Gagal jantung yang disebabkan oleh kelainan pengosongan ventrikel (karena gangguan kontraktilitas atau kelebihan afterload) disebut disfungsi sistolik, sedangkan gagal jantung yang disebabkan oleh kelainan relaksasi diastolik atau pengisian ventrikel disebut disfungsi diastolik. Namun, ada banyak tumpang tindih, dan banyak pasien menunjukkan kelainan sistolik dan diastolik. Akibatnya, sekarang umum untuk
4
5
mengkategorikan pasien gagal jantung ke dalam dua kategori umum, berdasarkan ejection fraction (EF) ventrikel kiri , ukuran kinerja jantung (lihat Tabel 9.2): (1) gagal jantung dengan reduced EF (yaitu, terutama disfungsi sistolik) dan (2) gagal jantung dengan preserved EF (misalnya, terutama disfungsi diastolik). Di Amerika Serikat, sekitar satu setengah pasien dengan gagal jantung jatuh ke dalam masing-masing kategori ini.
Gambar 9.6. Kondisi yang menyebabkan left-sided heart failure akibat gangguan fungsi sistolik atau diastolik ventrikular.
5
6
Gambar 9.1. Fisiologi bagian otot jantung normal
6
7
1. Gagal Jantung dengan reduced EF Dalam keadaan disfungsi sistolik, ventrikel yang terkena memiliki kapasitas yang berkurang untuk mengeluarkan darah karena gangguan kontraktilitas miokard atau tekanan yang berlebihan (yaitu, afterload yang berlebihan). Hilangnya kontraktilitas bisa diakibatkan oleh destruksi miosit, fungsi miosit yang abnormal, atau fibrosis. Tekanan berlebih mengganggu ventricular ejection dengan meningkatnya resistensi secara signifikan terhadap aliran.
Gambar 9.7A menggambarkan efek disfungsi sistolik karena gangguan kontraktilitas pada tekanan-volume loop. ESPVR bergeser ke bawah sedemikian rupa sehingga pengosongan sistolik berhenti pada volume yang lebih tinggi dari normal endsystolic volume. Akibatnya, stroke volume turun. Ketika pulmonary venous return normal ditambahkan untuk meningkatkan end siystolic volume yang tetap berada di ventrikel karena pengosongan yang tidak sempurna, volume ruang diastolik meningkat, menghasilkan end diastolic volume dan pressure yang lebih tinggi dari normal. Sementara itu peningkatan preload menginduksi kenaikan kompensasi stroke volume (melalui mekanisme Frank-Starling), gangguan kontraktilitas dan reduced ejection fraction menyebabkan end systolic volume tetap tinggi.
Selama diastole, tekanan LV yang terus meningkat ditransmisikan ke atrium kiri (melalui open mitral valve) dan ke vena pulmonal dan kapiler. Tekanan hidrostatik kapiler pulmonal yang meningkat, bila cukup tinggi (biasanya 20 mm Hg), menghasilkan transudasi cairan ke interstitium paru dan gejala kongesti pulmonal.
7
8
Gambar 9.7. Tekanan volume loop pada disfungsi sistol dan diastol
2. Gagal Jantung dengan preserved EF Pasien yang menunjukkan gagal jantung dengan preserved EF sering menunjukkan kelainan fungsi diastolik ventrikel: baik gangguan early diastolic relaxation (aktif, proses yang bergantung pada energi), peningkatan kekakuan dinding ventrikel (pasif), atau keduanya. Iskemia miokard akut adalah contoh kondisi yang secara transien menghambat penghantaran energi dan relaksasi diastolik. Sebaliknya, hipertrofi ventrikel kiri, fibrosis, atau kardiomiopati restriktif menyebabkan dinding LV menjadi kaku kronik. Penyakit perikardial tertentu (tamponade jantung dan konstriksi perikardial, menghasilkan kekuatan eksternal yang membatasi pengisian ventrikel dan menghasilkan disfungsi diastolik reversibel. Efek gangguan fungsi diastolik tercermin dalam tekanan loop-volume (lihat Gambar. 9.7B): saat diastol, pengisian ventrikel menghasilkan tekanan yang lebih tinggi dari normal karena bagian bawah loop bergeser ke atas sebagai akibat dari berkurangnya pemenuhan ruang. Pasien dengan disfungsi diastolik sering menunjukkan tanda-tanda kongesti vaskular karena tekanan diastolik yang meningkat bertransmisi secara retrograde ke paru dan vena sistemik.
8
9
3. Gagal Jantung right-sided Dibandingkan dengan ventrikel kiri, ventrikel kanan (RV) adalah ruang berdinding tipis yang sangat sesuai yang menerima volume darahnya pada tekanan rendah dan menyemburkan resistensi vaskular paru yang rendah. Karena pemenuhan yang tinggi, RV memiliki sedikit kesulitan dalam menerima berbagai volume pengisian tanpa perubahan yang signifikan akibat tekanan pengisiannya. Sebaliknya, RV cukup rentan terhadap kegagalan dalam situasi yang terjadi peningkatan tiba-tiba di afterload, seperti emboli paru akut.
Penyebab paling umum dari gagal jantung sisi kanan sebenarnya adalah adanya gagal jantung sisi kiri (Tabel 9.2). Dalam situasi ini, kelebihan afterload menghadapkan ventrikel kanan karena tekanan vaskular pulmonal yang meningkat yang dihasilkan dari disfungsi LV. Isolated right-heart failure kurang umum dan biasanya mencerminkan peningkatan afterload RV karena penyakit parenkim paru atau pembuluh darah pulmonal. Penyakit jantung sebelah kanan yang dihasilkan dari proses paru primer dikenal sebagai kor pulmonale, yang dapat menyebabkan gejala gagal jantung kanan.
Ketika ventrikel kanan gagal, tekanan diastolik yang meningkat ditransmisikan secara retrograde ke atrium kanan dengan kongesti berikutnya dari vena sistemik, disertai dengan tanda-tanda gagal jantung sisi kanan seperti yang dijelaskan di bawah ini. Secara tidak langsung, isolated right-heart failure juga dapat mempengaruhi fungsi jantung kiri: penurunan output ventrikel kanan mengurangi darah kembali ke LV (yaitu preload berkurang), menyebabkan volume stroke ventrikel kiri menurun.
9
10
Gambar 9.2 Kondisi yang menyebabkan Right-sides heart failure
2.5 Manifestasi Klinis Manifestasi Klinis pada pasien CHF (congestive heart failure) umumnya diakibatkan karena adanya penurunan CO maupun peningkatan TVJ dan berhubungan dengan ventrikel mana yang bermasalah.1
2.6 Diagnosis a. Anamnesis Dyspnea dikarenakan adanya kongesti paru dan akumulasi asam laktat di jaringan paru. Perubahan status mental, penurunan urin output, dan kelemahan otot dihubungkan dengan adanya pengurangan perfusi jaringan di organ. Orthopnea dikarenakan redistribusi darah dikarenakan adanya pengaruh gravitasi. Paroxysmal nocturnal dyspnea dikarenakan peningkatan venous return ke jantung dan paru.
10
11
Batuk pada malam hari disebabkan oleh kongesti paru. Hemoptysis dikarenakan adanya ruptur vena bronchial.4 Pada gagal jantung kanan, dapat dijumpai rasa penuh di perut dikarenakan hepatomegaly. Dapat ditemukan gejala mual dan muntah dikarenakan edema saluran pencernaan. Edema perifer dapat mencerminkan adanya peningkatan tekanan hidrostatik. Berdasarkan anamnesis dapat ditentukan function of class dan stage dari penyakit congestive heart failure dengan mencocokkan dengan tabel NYHA functional classification (tabel 1) dan tabel stage (tabel 2).4 Tabel 1.NYHA functional classification5
Class
Deskripsi Tidak mempengaruhi ADL dan tidak
I
ada gejala CHF Sedikit keterbatasan dalam menjalani ADL dan gejala CHF muncul sewaktu
II
beraktivitas berat dan segera membaik dengan istirahat Keterbatasan dalam menjalani ADL dan gejala CHF muncul sewaktu
III
beraktivitas namun membaik dengan istirahat Tidak dapat menjalankan ADL dan gejala CHF muncul sewaktu
IV
beraktivitas namun tidak membaik dengan istirahat
Ddddddddddddddddddddddddddd Tabel 2.CHF stage4
11
12
Stage
Deskripsi Pasien yang berisiko terkena CHF namun tidak memiliki disfungsi
A
jantung struktural (CAD, hipertensi, dan riwayat keluarga terkena cardiomyopathy)
Stage
Deskripsi Pasien yang memiliki penyakit jantung
B
struktural yang berhubungan dengan CHF namun tidak ada gejala. Pasien yang sekarang atau dulunya memiliki gejala CHF yang
C
diasosiasikan dengan penyakit jantung structural Pasien dengan penyakit jantung struktural dan gejala CHF yang berat
D
bahkan dengan terapi yang maksimal dan memerlukan intervensi lanjut berupa transplantasi jantung
b. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai tanda: pasien tampak pucat, berkeringat, tachypnea, tachycardia, dan akral dingin. Pola pernafasan CheyneStokes, pulsus alternans dapat dijumpai pada gagal jantung stadium lanjut. Komponen pulmonal pada bunyi jantung S2 dapat terdengar lebih keras dari normal karena tekanan pengisian jantung kiri yang meningkat. S3 dapat terdengar pada gagal jantung sistolik dan disebabkan karena pengisian ruang jantung yang abnormal. S4 dapat terdengar karena adanya kontraksi atrium yang kuat melewati
12
13
ventrikel yang kaku dan dijumpai pada disfungsi diastolik. Efusi plura dapat dijumpai pada gagal jantung kiri maupun kanan.4 Pada gagal jantung kiri sewaktu auskultasi, dapat dijumpai rales pada lapangan bawah basal paru dikarenakan “popping open” saluran pernafasan yang kecil sewaktu inspirasi yang tertutup oleh edema. Kongesti paru yang masif juga dapat menimbulkan suara tambahan ronchi basah dan wheezing yang sering disebut asma cardiale. Pada gagal jantung kanan dapat dijumpai ventrikel kanan yang dapat dipalpasi yang menunjukkan adanya pembesaran jantung kanan. Pada auskultasi dapat dijumpai S3 atau S4 gallop dan murmur tricuspid regurgitation. Dapat dijumpai peningkatan tekanan vena sistemik yang ditandai dengan adanya distensi vena jugular, hepatomegaly, dan edema tungkai, serta edema di daerah presacral pada pasien bedridden.4 Kriteria Framingharm CHF dapat didiagnosis dengan menggunakan kriteria Framingharm. Seseorang dapat didiagnosis dengan CHF apabila 2 kriteria mayor ataupun 1 kriteria mayor diikuti dengan 2 kriteria minor (tabel 3).5 Pada tabel 4 dapat dilihat tanda dan gejala CHF dengan lebih jelas. Tabel 3.Kriteria Framingharm5
Kriteria Mayor
Kriteria Minor
Edema paru akut
Edema tungkai
Kardiomegali
Dyspnea sewaktu beraktivitas
Refleks hepatojugular
Hepatomegali
Peningkatan TVJ
Batuk pada malam hari
Paroxysmal Nocturnal Dyspnea atau
Tachycardia dengan frekuensi > 120
Orthopnea
denyut per menit
Rales
Efusi pleura
S3 gallop
Tabel 4.Tanda dan Gejala pada CHF7
13
14
Gejala
Tanda
Tipikal
Spesifik
Sesak nafas
TVJ meningkat
Kelelahan
Refleks hepatojugular
Toleransi berolahraga menurun
S3 gallop
Paroxysmal Nocturnal Dyspnea atau
Laterally displaced apical impulse
Orthopnea Kurang Tipikal
Kurang Spesifik
Batuk malam hari
Peningkatan BB > 2kg dalam 1 minggu pada kasus biasa dan penurunan BB pada kasus lanjut
Wheezing
Cachexia
Penurunan nafsu makan
Cardiac murmur
Depresi
Tachypnoe dan respirasi cheyne stokes
Palpitasi
Pulse irregular
Syncope
Hepatomegaly
Perasaan perut kembung
Asites
c. Pemeriksaan penunjang 1. BNP Kadar B-type natriuretic peptide dan NT pro-BNP meningkat pada pasien CHF. BNP disekresikan oleh atrium dan ventrikel jantung sebagai respon peningkatan tekanan dinding jantung. BNP dapat meningkat pada lansia, wanita, dan pasien gagal ginjal. Nilai cutoff BNP untuk CHF adalah 95 pg/mL dan 642 pg/mL untuk NT pro-BNP. Kadar BNP lebih dari 200 pg/mL menunjukkan prognosis yang buruk.5 Menurut guideline ACC/AHA/HFSA 2017, BNP dapat digunakan untuk mendiagnosis atau untuk menyingkirkan diagnosis CHF dan BNP memiliki nilai sensitivitas yang tinggi.6
14
15
2. Foto thorax Foto thorax dapat digunakan untuk melihat adanya kongesti paru, edema interstitial, efusi pleura, dan kardiomegali pada pasien CHF. Foto thorax juga dapat digunakan
untuk
menyingkirkan
diagnosis
banding
berupa
pneumonia,
pneumothorax, dan massa thorax.5 3. EKG Pada pasien CHF dapat ditemukan LBBB, LVH, infark miokardium yang akut maupun kronik, atrial fibrilasi, dan perubahan gelombang T.5 Pada EKG dapat dijumpai trias yaitu voltase rendah di lead tungkai, voltase tinggi di lead precordial, dan R/S ratio < 1.0 pada lead V4. Pada pasien dengan edema perifer yang sudah diberi tatalaksana diuretik maupun menjalani hemodialisis dapat dijumpai amplitudo kompleks qrs yang meningkat.7 4. Echocardiography Pada pasien CHF dapat dilakukan pemeriksaan echocardiography untuk memastikan tipe CHF. CHF dikatakan memiliki penurunan ejection fraction apabila ejection fraction < 50.2 TTE merupakan metode echo tersering untuk mendiagnosis fraksi ejeksi CHF. Pengukuran LVEF dapat dilakukan dengan metode modified biplane Simpson’s Rule yang dapat dilihat melalui apical four chamber view dan two chamber view.7 5. Pemeriksaan Lab Lainnya Darah rutin untuk melihat adanya anemia. Tes fungsi hati dan tes fungsi ginjal untuk melihat adanya kongesti dan penurunan fungsi. Kadar elektrolit untuk melihat apakah terdapat electrolit imbalance yang dapat menyebabkan aritmia secara sekunder.2 Tes genetik dapat dilakukan pada pasien CHF dengan adanya penemuan riwayat keluarga menderita cardiomyopathy dan penyakit pericardial. Konseling genetik direkomendasikan pada pasien HCM, idiopathic DCM, ARVC, restrictive cardiomyopathy, dan isolated non-compaction cardiomyopathy.7
15
16
Untuk menegakkan diagnosis CHF dengan lebih mudah dapat digunakan algoritme 1.5 Algoritme 1. Penegakkan diagnosis CHF5
2.8 Diagnosis Banding Diagnosis banding CHF meliputi asma, PPOK, TB, kardiomiopati, aritmia, penyakit katup jantung, gagal ginjal, dan gangguan tiroid.7
16
17
2.9 Tatalaksana8,9,10 a. Tatalaksana Non Farmakologi 1. Manajemen Perawatan Mandiri Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung. 2. Ketaatan pasien berobat Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi farmakologi maupun non-farmakologi 3. Pemantauan berat badan mandiri Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertmbangan dokter. 4. Asupan cairan Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis. 5. Pengurangan berat badan Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup. 6. Kehilangan berat badan tanpa rencana Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat.Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka kelangsungan hidup.Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati. 17
18
7. Latihan fisik Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit atau di rumah. 8. Aktvitas seksual Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi tekanan pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut dan tidak boleh dikombinasikan dengan preparat nitrat.
b. Tatalaksana Farmakologi Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung tetap merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit jantung. Gambar 2 menyajikan strategi pengobatan mengunakan obat dan alat pada pasien gagal jantung simtomatik dan disfungsi sistolik. Sangatlah penting untuk mendeteksi
dan
mempertimbangkan
pengobatan
terhadap
kormorbid
kardiovaskular dan non kardiovaskular yang sering dijumpai. 1. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI) Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup. ACEI
kadang-kadang
menyebabkan
perburukan
fungsi
ginjal,
hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal. Indikasi pemberian ACEI : 1. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala 2. Terapi lini pertama (bersama dengan penyekat β dan MRA) pada pasien dengan gagal jantung kelas fungsional NYHA II-IV, mulai terapi sesegera mungkin dari perjalanan penyakit
18
19
3. ACEI juga memiliki manfaat pada pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri (kelas fungsional NYHA I)
Kontraindikasi pemberian ACEI : 1. Riwayat angioedema 2. Stenosis renal bilateral 3. Kehamilan/risiko kehamilan 4. Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L 5. Serum kreatinin > 2,5 mg/dL 6. Stenosis aorta berat
Cara pemberian ACEI pada gagal jantung 1. Inisiasi pemberian ACEI a. Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit b. Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu setelah terapi ACEI 2. Naikan dosis secara titrasi 3. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. a. Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia. Dosis titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat di rumah sakit b. Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi c. Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali 2. Penyekat β Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup
19
20
Indikasi pemberian penyekat β : 1. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % 2. Terapi lini pertama bersama dengan ACEI dan MRA, pada pasien dengan gagal jantung yang stabil 3. Gejala ringan sampai sedang (kelas fungsional II - III NYHA) Kontraindikasi pemberian penyekat β : 1. Asma 2. Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3 3. Iskemi tungkai kritis 4. Reaksi alergi Cara pemberian penyekat β pada gagal jantung 1. Inisiasi pemberian penyekat β 2. Penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien dekompensasi secara hati-hati. 3. Naikan dosis secara titrasi a. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu. Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi simtomatik atau bradikardi (nadi < 50 x/menit) b. Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat β sampai dosis target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi. Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian penyekat β: 1. Hipotensi simtomatik 2. Perburukan gagal jantung 3. Bradikardia
3. Antagonis Aldosteron (MRA) Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal
20
21
jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosterone : 1. Gejala menetap (kelas fungsional NYHA II-IV) dan Fraksi ejeksi ≤35% dengan dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosterone : 1. Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L 2. Serum kreatinin> 2,5 mg/dL 3. Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium 4. Kombinasi ACEI dan ARB 5. Reaksi alergi
Cara pemberian spironolakton (atau eplerenon) pada gagal jantung 1. Inisiasi pemberian spironolakton a. Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit. 2. Naikan dosis secara titrasi a. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 – 8 minggu. Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia. b. Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu setelah menaikan dosis c. Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis maksimal yang dapat di toleransi
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton: 1. Hiperkalemia 2. Perburukan fungsi ginjal 3. Nyeri dan/atau pembesaran payudara
21
22
4. Angiotensin Receptor Blockers (ARB) Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 35 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternative pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular. Indikasi pemberian ARB : 1. Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 35 % 2. Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI
Kontraindikasi pemberian ARB : 1. Sama seperti ACEI, kecuali angioedema 2. Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan 3. Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACEI
Cara pemberian ARB pada gagal jantung 1. Inisiasi pemberian ARB a. Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit. 2. Naikan dosis secara titrasi a. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu. Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia b. Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis maksimal yang dapat ditoleransi c. Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali
22
23
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian ARB: Sama seperti ACEI, kecuali ARB tidak menyebabkan batuk.
Tabel 1. Dosis obat yang umumnya digunakan pada gagal jantung
5. Diuretik Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi. Indikasi pemberian diuretik : 1. Semua pasien dengan gejala dan tanda kongesti, tidak memandang fraksi ejeksi 2. Harus digunakan secara kombinasi dengan ACEI / ARB, penyekat β, dan MRA pada pasien dengan reduksi fraksi ejeksi, sampai tanda kongesti telah diatasi 23
24
3. Thiazide dapat digunakan pada pasien dengan fungsi ginjal yang masih terjaga. Akan tetapi kebanyakan pasien memerlukan diuretik loop dikarenakan keparahan dari gejala gagal jantung dan perburukan fungsi ginjal
Cara pemberian diuretik pada gagal jantung : 1. Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 2. Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong 3. Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop. Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang resisten 4. Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan tanda kongesti 5. Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering (tanpa retensi cairan), untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan dehidrasi. Tujuan terapi adalah mempertahankan berat badan kering dengan dosis diuretik minimal 6. Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur dosis diuretik sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan harian dan tandatanda klinis dari retensi cairan Tabel 2. Dosis diuretik yang biasa digunakan pada gagal jantung
24
25
6. Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN) Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap ACEI dan ARB.
Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN 1. Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi 2. Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat ditoleransi 3. Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat β dan ARB atau antagonis aldosteron
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN 1. Hipotensi simtomatik 2. Sindroma lupus 3. Gagal ginjal berat
Cara pemberian kombinasi H-ISDN pada gagal jantung Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN a. Dosis awal: hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10 mg, 2 - 3 x/hari b. Naikan dosis secara titrasi c. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu. d. Jangan naikan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik e. Jika toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai dosis target (hydralazine 50 mg dan ISDN 20 mg, 3-4 x/hari)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi H-ISDN: 1. Hipotensi simtomatik 2. Nyeri sendi atau nyeri otot
25
26
Tabel 3. Dosis Hydralazine yang biasa digunakan pada gagal jantung3
7. Digoksin Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka kelangsungan hidup.
Cara pemberian digoksin pada gagal jantung 1. Inisiasi pemberian digoksin a. Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Pada pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan menjadi 0,125 atau 0,0625 mg, 1 x/hari b. Periksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi kronik. Kadar terapi digoksin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL c. Beberapa obat dapat menaikan kadar digoksin dalam darah (amiodaron, diltiazem, verapamil, kuinidin)
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian digoksin: 1. Blok sinoatrial dan blok AV 2. Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hipokalemia 3. Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan melihat warna
26
27
Pemberian terapi yang tidak direkomendasikan 1. Statin Walaupun telah banyak penelitian-penelitian besar mengenai statin dengan data yang membuktikan manfaat statin, namun sebagain banyak penelitian tersebut tidak memasukan pasien gagal jantung ke dalam subyeknya. Ada beberapa penelitian mengenai statin pada gagal jantung kronis, namun hasilnya tidak menyatakan manfaat yang jelas statin, walaupun tidak juga menyatakan bahaya dari pemberian obat ini 2. Renin inhibitors 3. Antikoagulan oral Sampai saat ini belum terdapat data yang menyatakan bahwa antikoagulan oral terbukti lebih baik dalam penurunan mortalitas dan morbiditas pada gagal jantung bila dibandingkan dengan plasebo atau aspirin.
c. Terapi Alat Non Bedah pada Gagal Jantung Sistolik Sampai saat ini, ICD (Implantable cardioverter-defibrillator) dan CRT (Cardiac resynchronization therapy) merupakan alat yang direkomendasikan pada gagal jantung lanjut (advanced heart failure ) simtomatik, yang sudah mendapatkan terapi farmakologis gagal jantung secara optimal.
d. Terapi Farmakologis pada Gagal Jantung dengan EF normal (Gagaal Jantung Diastolik) Sampai saat ini belum ada terapi yang terbukti secara khusus, dapat menurunkanmortalitas dan morbiditas pada pasien dengan gagal jantung diastolik. Diuretik digunakan untuk mengatasi retensi garam dan cairan serta mengatasi keluhan sesak nafas. Terapi iskemia miokard dan hipertensi yang adekuat sangat penting dalam penting dalam tatalaksana kelainan ini, termasuk tatalaksana pengaturan laju nadi, terutam pada pasien dengan fibrilasi atrial. Semua obat yang tidak dianjurkan pemberiannya ataupun yang harus dihindari pada pasien dengan gagal jantung sistolik, juga berlaku pada gagal
27
28
jantung diastolik, terkecuali CCB dihidropiridin, karena mempunyai efek kontrol laju nadi.
MANAJEMEN TATALAKSANA PADA PASIEN DENGAN PENURUNAN EF (GAGAL JANTUNG SISTOLIK)
28
29
Algoritma 1. Strategi pengobatan pada pasien gagal jantung kronik simptomatik (kelas fungsional NYHA II-IV)1
Algoritma 2. Terapi gagal jantung menurut staging kelainan struktural jantung 2.9 Komplikasi dan Prognosis Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada kasus CHF adalah : pembentukan bekuan vena karena stasis darah
-obatan digitalis Prognosis CHF dikatakan buruk apabila etiologi yang mendasari susah untuk dikoreksi. Pasien dengan NYHA kelas III atau IV memiliki 1-year survival rate sebesar 40%. Penyebab kematian dapat disebabkan oleh refractory heart failure, aritmia ventrikel, dan disfungsi ventrikel. Tingkat keparahan disfungsi ventrikel dapat dilihat dari aktivasi neurohormonal yang maladaptif, sitokin, dan remodelling
ventrikel.
Marker
yang
dapat
digunakan
meliputi
norepinephrine, serum sodium, endothelin-1, BNP, dan sitokin TNF-α.1
29
serum
30
BAB III STATUS ORANG SAKIT BAB III LAPORAN KASUS Nomor Rekam Medis: 00.73.66.12 Tanggal masuk:
12/07/2018
Dokter Ruangan: dr. Tri
Jam:
10.41
Dokter Chief of Ward: dr. Zanurul
Ruang:
RA2. 2.2.4
Dokter Penanggung Jawab Pasien: dr. Rahmad Isnanta Sp.PD,KKV
ANAMNESA PRIBADI Nama
: Sentosa Sinulingga
Umur
: 46 tahun 7 bulan 25 hari
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status Perkawinan
: Menikah
Pekerjaan
: Wiraswasta
Suku
: Karo
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Mesjid Suhasda No.36 Medan
ANAMNESA PENYAKIT Keluhan Utama : Sesak Napas Telaah : Sesak napas mulai dialam i pasien kurang lebih 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas berhubungan dengan aktivitas dan tidak berhubungan dengan cuaca. Pasien dapat tidur dengan 2-3 bantal. Saat tidur, pasien terbangun pada malam hari karena sesak. Pasien merasa mudah lelah, demam tidak dijumpai, batuk dijumpai.
30
31
Riwayat batuk >1 bulan disangkal, namun sebelumnya pasien pernah meminm obat OAT, tetapi tidak tuntas. Keringat malam disangkal, nyeri ulu hati dijumpai, mual dijumpai, muntah tidak dijumpai. BAK warna kuning dengan volume ± 750ml/hari, BAB (+) normal. Pasien menyangkal mempunyai riwayat asma. Penurunan berat badan tidak dijumpai, nafsu makan pasien normal. Riwayat merokok dijumpai. RPT : DM (+) 5 tahun yang lalu, peny. Jantung RPO
: Bisoprolol, Valsartan, Furosemide, Insulin Novorapid 10-10-10, Levemir 0-12
ANAMNESA ORGAN Jantung Sesak Nafas Angina Pectoris
:(+)
Edema
:(+)
:(-)
Palpitasi
:(-)
Lain-lain
:(-)
Saluran
Batuk-batuk
:(+)
Asma, bronchitis: ( - )
Pernafasan
Dahak
:(-)
Lain-Lain
Saluran
Nafsu Makan
: Normal
Penurunan BB
Pencernaan
Keluhan Mengunyah : ( - )
Keluhan Defekasi: ( - )
Keluhan Perut
:(-)
Lain-lain
Saluran
Sakit BAK
:(-)
BAK tersendat
:(-)
Urogenital
Mengandung Batu
:(-)
Keadaan urin
: Normal
Haid
:(-)
Lain-lain
Sendi dan
Sakit pinggang
:(-)
Keterbatasan Gerak: ( + )
Tulang
Keluhan persendian : ( - )
Lain-lain
:(-)
Endokrin
Haus/Polidipsi
:(+)
Gugup
:(-)
Poliuri
:(+)
Perubahan Suara
Polifagi
:(+)
Lain-lain
:(-)
Sakit Kepala
:(-)
Hoyong
:(-)
Saraf Pusat
31
:(-) :(-) :(-)
:(-)
:(-)
32
Lain-lain
:(-)
Darah dan
Pucat
:(-)
Perdarahan
:(-)
Pembuluh
Petechie
:(-)
Purpura
:(-)
Darah
Lain-lain
:(-)
Sirkulasi PeriferClaudicatio Intermitten : ( + )
Lain-lain
:(-)
ANAMNESA FAMILI: (-) PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK STATUS PRESENS Keadaan Umum
Keadaan Penyakit
Sensorium
: Compos Mentis
Pancaran wajah :Lemah
Tekanan darah
: 120/70mmHg
Sikap paksa
Nadi
: 112x/menit
Refleks fisiologis: ( + )
Pernafasan
: 28 x/menit
Refleks patologis: ( - )
Temperatur
: 37,4° C
Keadaan Gizi Berat Badan Tinggi Badan
: Berlebih : 65 kg : 160 cm
:(-)
BW = 65 / 60 x 100% = 108,33 % Indeks Massa Tubuh = BB/(TB)2 = 65/(1,60)2 = 25,39 KEPALA Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterus (-/-), pupil: isokor, refleks cahaya direk (+/+) / indirek (+/+). Kesan: normal Telinga : Dalam batas normal Hidung
: Dalam batas normal
Mulut
: Bibir Lidah
: Dalam batas normal : Atrofi papil lidah (-)
32
33
Gigi geligi Tonsil/Faring
: Dalam batas normal : T1-T1 / Hiperemis (-)
LEHER Struma tidak membesar, tingkat: (-) Pembesaran kalenjar limfa (-), lokasi (-), jumlah (-), konsistensi (-), mobilitas (-), nyeri tekan (-) Posisi trakea: medial, TVJ: R-2 cm H2O Kaku kuduk (-), lain-lain (-) THORAKS DEPAN Inspeksi Bentuk
: Simetris fusiformis
Pergerakan
: Ketinggalan bernafas (-)
Palpasi Nyeri tekan
: Tidak dijumpai
Fremitus suara
: Stem fremitus kanan = kiri, kesan normal
Iktus
: Tidak teraba
Perkusi Paru
Batas Paru Hati R/A : ICS V Peranjakan : 2 cm Jantung Batas atas jantung
: ICS II LMCS
Batas kiri jantung Batas kanan jantung
: ICS V LMCS : ICS IV LPSD
Auskultasi Paru
Suara pernafasan
: Vesikuler
Suara tambahan
: Ronkhi pada lapangan bawah paru
Jantung M1>M2, P2>P1, T1>T2, A2>A1, desah sistolis (-), lain-lain (-), Heart rate: 120x/menit, reguler, intensitas: cukup THORAX BELAKANG
33
34
Inspeksi
: Simetris fusiformis
Palpasi
: Stem fremitus kanan = kiri, kesan normal
Perkusi
: Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi
: SP = vesikuler pada kedua lapangan paru, ST = ronkhi lapangan bawah paru
ABDOMEN Inspeksi Bentuk : Simetris Gerakan lambung/usus : Tidak terlihat Vena kolateral : Tidak dijumpai Caput medusa Lain-lain Auskultasi Peristaltik usus Lain-lain
: Tidak dijumpai :(-)
: Normoperistaltik :(-)
Palpasi Dinding abdomen
: Soepel, nyeri tekan (-)
Perkusi Pekak hati
:-
Pekak beralih
:-
HATI Pembesaran
: Tidak teraba
Permukaan
: Tidak teraba
Pinggir
: Tidak teraba Nyeri tekan
:(-)
Pembesaran
:(-)
Ballotement
:(-)
LIMFA
GINJAL
TUMOR
: Tidak ada
34
35
PINGGANG Nyeri Ketuk Sudut Kosto Vertebra (-) INGUINAL : Tidak dilakukan pemeriksaan GENITALIA LUAR : Tidak dilakukan pemeriksaan PEMERIKSAAN COLOK DUBUR (RT) Perineum : Tidak dilakukan pemeriksaan Spincter Ani
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Lumen
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Mukosa
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Sarung tangan
: Tidak dilakukan pemeriksaan
ANGGOTA GERAK ATAS Deformitas sendi Lokasi Jari tubuh Tremor ujung jari Telapak tangan sembab Sianosis Eritema Palmaris Lain-lain
: (-) : (-) : (-) : (-) : (-) : (-) : (-) : (-)
ANGGOTA GERAK BAWAH
Kiri
Edema
+
+
Arteri femoralis
+
+
Arteri tibialis posterior
+
+
Arteri dorsalis pedis
+
+
Refleks KPR
+
+
Refleks APR
+
+
Refleks fisiologis
+
+
Refleks patologis
-
-
Lain-lain
-
35
Kanan
-
36
Gambar 1. Foto Thorax Pasien
Gambar 2. Gambaran EKG Pasien
36
37
Gambar 3. Gambaran USG Doppler Pasien
37
38
PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN (Tanggal: 17 Juli 2018) DARAH
KEMIH
TINJA
Hb: 13 g/dL Eritrosit: 3,91 x 106/mm3 Leukosit: 16,640 x 103/mm3 Trombosit: 274 x 103/mm3 Ht: 39%
Warna: Kuning keruh Protein: +2 Reduksi: + Bilirubin: Urobilinogen: +
Hitung Jenis: Eosinofil: 0% Basofil: 0,2% Nutrofil Batang: 80,3% Neutofil Segmen: 80,3% Limfosit: 11,1% Monosit: 8,4%
Sedimen Eritrosit: 0-1/lpb Leukosit: 0-1/lpb Epitel: 0-1/lpb Silinder: 0-1/lpb
Warna: Kuning kecoklatan Konsistensi: Lembek Eritrosit: 0-1 Leukosit: 0-1 Amoeba/Kista: Telur Cacing Ascaris: Ankylostoma: T. Trichiura: Kremi: -
RESUME ANAMNESA
STATUS PRESENS
Keluhan Utama
: Dyspnea
Telaah
: Dyspnea mulai dialami pasien kurang lebih 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Dyspnea berhubungan dengan aktivitas dan tidak berhubungan dengan cuaca. Pasien dapat tidur dengan 2-3 bantal. Saat tidur, pasien terbangun pada malam hari karena sesak. Pasien merasa mudah lelah, demam (-), batuk (+), dahak(+), riw.batuk>1 bulan disangkal. Penurunan BB tidak dijumpai, penurunan nafsu makan tidak dijumpai,nyeri ulu hati (+), mual (+), muntah (-). BAK warna kuning dengan volume ± 750ml/hari, BAB (+) normal. Riwayat asma (-), riwayat merokok(+)
Keadaan Umum : Sedang Keadaan Penyakit : Sedang Keadaan Gizi : Normal
38
39
PEMERIKSAAN FISIK
Sensorium : Compos mentis Tekanan darah : 120/70 mmHg Nadi : 112x/i Pernafasan : 28x/i Temperatur : 37,4°C Kepala Mata: Anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor Telinga/Hidung/Mulut: Dalam batas normal Leher: Dalam batas normal Thoraks Inspeksi: Auskultasi: Inspeksi : Simetris fusimormis Palpasi : Stem fremitus ka=ki Perkusi : Sonor Auskultasi SP: vesikuler ST: Ronkhi basah pada lap.paru bawah Abdomen: Inspeksi : Simetris Auskultasi : Peristaltik (+) N Perkusi : Timpani Palpasi : Soepel, H/L/R: TTB Ekstremitas Inspeksi: - Edema inferior (+/+) Palpasi : Pitting edema (+) pada kedua kaki
LABORATORIUM RUTIN
Hb: 13 g/dL Eritrosit: 3,91 x 106/mm3 Leukosit: 16,640 x 103/mm3 Trombosit: 274 x 103/mm3 Ht: 39% Kemih Warna : Kuning Kekeruhan : keruh Protein (+2) Tinja Dalam batas normal
DIAGNOSA BANDING
-
CHF ec CAD
-
CHF ec HHD
-
CHF ec MI/MS
39
40
-
CHF ec CAD
DIAGNOSA SEMENTARA
CHF ec CAD
PENATALAKSANAAN
Aktivitas: Tirah baring Diet: Diet jantung Tindakan suportif: IVFD NaCL 0,9% 10 gtt/i Medikamentosa:
-
Inj. Furosemide 20mg/12j
-
inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
-
Bisoprolol 1x2,5mg
-
Valsartan 1x80mg
-
inj. Novorapid 10-10-10 104sc
-
Inj. Levemir 0-0-12 14/sc
Rencana Penjajakan Diagnostik/Tindakan Lanjutan 1. Lab: darah rutin 2. Lipid profile 3. KGDpuasa/2jamPP/HbA1C
40
41
BAB IV FOLLOW UP
Tanggal S 13 dan Lemas, 16 Juli Sesak nafas 2018 (+)
O Compos mentis TD: 130/100 HR: 104 RR: 28 Temp: 35,9 Kepala: Mata: Anemis (-/-), ikterik (-/-) Leher: TVJ R-2 cmH20, pem. KGB (-) Toraks: I: Simetris fusiformis P: SF ka=ki P: sonor A: SP: Vesikuler melemah di lapangan bawah paru kiri. ST: Ronkhi basah basal di lap. bawah kedua paru Abdomen: Soepel, normoperistaltik, H/L/R: tidak teraba Ekstremitas: akral hangat, nadi cukup, CRT <2, edema (+/+)
17 Juli 2018
Lemas (+), Sesak Napas (+)↓, batuk (+)↓
Sens: CM TD: 90/70 mmHg HR: 80x/i RR: 16x/i Temp: 36,7 C Mata: anemis (/-), ikterik (-/-)
41
A CHF fc II-III ec CAD septal dd HHD Alkalosis respiratorik + edema paru DM tipe 2
P Bed rest O2 2-4 L/i via NC Diet Jantung IVFD Nacl 0.9% 10 gtt/I mikro Inj. Furosemid 20 mg/8jam/IV Inj. Ranitidin 50 mg/12jam/IV Inj. Novorapid 10-1010/4jam/sc ½ h.a.c Furosemide 3x40 mg Bisoprolol 1x2,5 mg Valsartan 1x80 mg Inj. Novorapid 22 22 22 IV/SC Inj. Levemir 0-012/SC NKR 2x5mg
- CHF FC III
-
Tirah baring
ec.
-
02 2-4 l/i via
septal HHD
CAD dd
NC -
Diet jantung
42
18 Juli 2018
Sesak Napas (+)↓,batuk (+)↓
Leher: TVJ R-2 cmH2O Thorax: I: Simetris P: Stem fremitus ka=ki P: Sonor pada lap. Paru bawah A: SP: bronchovesikuler ST: Ronkhi basah pada lap.paru kanan-kiri Abdomen: I: Simetris A: Peristaltik (+) N P: Timpani P: Soepel, H/L/R: TTB Ekstremitas: Akral hangat
- Oedem
-
Paru
0,9 % 10gtt/i
- DM tipe 2
-
Sens: CM TD: 120/80 mmHg HR: 80x/i RR: 24x/i Temp: 36,7 Mata: anemis (/-), ikterik (-/-) Leher: TVJ R-2 cmH2O, pemb. KGB (-) Thorax: I: Simetris P: Stem fremitus ka=ki P: Sonor A: SP: vesikuler ST: Ronkhi pada kedua lap.paru bawah Abdomen: I: Simetris
42
IVFD
NaCL
Inj.
Furosemide 20mg/8j -
inj.
Ranitidin
50 mg/12 jam -
inj. Novorapid
14-14-14 10 sc -
inj. Levemir 14
10 sc -
Bisoprolol
1x2,5mg -
Valsartan
1x80mg -
Nkr 2x5mg
- CHF FC III
-
Tirah baring
ec.
-
02 2-4 l/i via
septal
CAD dd
NC
HHD
-
- DM tipe 2
0,9 % 10gtt/i -
IVFD
NaCL
Inj.
Furosemide 20mg/8j → 1amp/12 jam -
inj.
Ranitidin
50 mg/12 jam -
Spironolacton
1x20mg
43
A: Peristaltik (+) N P: Timpani P: Soepel, H/L/R: TTB Ekstremitas: Oedem -/-, +/+
-
Bisoprolol
1x2,5mg -
Valsartan
1x80mg -
Nkr 2x5mg
-
inj. Novorapid
14-14-14 10 sc -
inj.levemir 14
10 sc 19 Juli 2018
Sesak Napas (+)↓, batuk (+)↓, nyeri perut bagian bawah
Sens: CM TD: 100/80 mmHg HR: 80x/i RR: 20x/i Temp: 36,2 C Mata: anemis (/-), iktertik (-/-) Leher: TVJ R-2 cmH2O, pemb. KGB (-) Thorax: I: Simetris fusimormis P: Stem fremitus ka=ki P: Sonor A: SP: bronchial ST: Ronkhi basah pada kedua lap.paru tengah bawah Abdomen: I: Simetris A: Peristaltik (+) N P: Timpani P: Soepel, H/L/R: TTB Ekstremitas Oedem -/-, +/+
43
- CHF FC III
-
Tirah baring
ec.
-
02 2-4 l/i via
septal
CAD dd
NC
HHD
-
IVFD
NaCL
- DM tipe 2
0,9 % 10gtt/i
- Susp. DVT
-
- Pneumonia
20mg/12j
HAP
-
Inj. Furosemide
inj.
Ranitidin
50 mg/12 jam -
Spironolacton
1x20mg -
Aspilet 1x80mg
-
Bisoprolol
1x2,5mg -
Valsartan
1x80mg
→
candesartan 1x80mg -
Nkr 2x5mg
-
inj. Novorapid
14-14-14
10/sc→
18-18-18 10/SC
44
-
Inj. Levemir14
10 →16 10/sc 20 Juli 2018
22 Juli 2018
Sesak napas berkurang, nyeri perut bawah VAS 2-3
Sens: CM TD: 100/80 mmHg HR: 80x/i RR: 20x/i Temp: 36,5 C Mata: anemis (/-), iktertik (-/-) Leher: TVJ R-2 cmH2O, pemb. KGB (-) Thorax: I: Simetris fusimormis P: Stem fremitus ka=ki P: Sonor A: SP: bronchial ST: Ronkhi basah pada lap.paru tengah bawah Abdomen: I: Simetris A: Peristaltik (+) N P: Timpani P: Soepel, H/L/R: TTB Ekstremitas Oedem -/-, CRT <2 Sesak nafas Compos mentis (+), batuk TD: 100/60 (+), bengkak HR: 120x/i pada kaki (-) RR: 20x/i Temp: 36,10C Kepala: Anemia (-/-) dan Ikterus (-/-) Leher : TVJ = R-2 cmH2O Thorax:
44
- CHF FC III
-
Tirah baring
ec.
-
02 2-4 l/i via
CAD
septal
NC
- DM tipe 2
-
- Susp. DVT
0,9 % 10gtt/i
- Pneumonia
-
HAP
20mg/12j -
IVFD
NaCL
Inj. Furosemide
inj.
Ranitidin
50 mg/12 jam -
Spironolacton
1x20mg -
Bisoprolol
1x2,5mg -
Candesartan
1x80mg -
inj. Novorapid
18-18-18 10/sc -
Inj. Levemir 0-
0-16 10/sc CHF FC II-III ec CAD septal DM tipe 2
Nkr 2x5mg
Tirah baring Diet DM 1700 kkal IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i mikro Inj. Furosemide 20 gram/12 jam Inj. Ranitidine 50 mg/ 12 jam Spironolactone 1x2 mg Candesartan 1x8 mg Inj. Novorapid 18-1818
45
24 Juli 2018
26 Juli 2018
Inspeksi: Simetris fusiformis Palpasi : SF kanan=kiri Perkusi : Sonor kanan=kiri Auskultasi: SP= bronkial, ST= Ronki basah pada lapangan basal paru Ekstremitas : Edema pada keempat ekstremitas (+) dan akral hangat (+/+) Sesak nafas Compos mentis (+), batuk TD: 100/60 (+), bengkak HR: 120x/i pada kaki RR: 20x/i (+) Temp: 36,10C
Inj. Levemir 0-0-18 NKR 2x5 mg
Sesak nafas (+), batuk
Tirah baring Diet DM 1700 kkal
CHF FC II-III ec CAD septal DM tipe 2 KGD 504 mg/dL DVT bilateral(setelah Kepala: Anemia (-/-) dan dilakukan USG Ikterus (-/-) Doppler pada tanggal 22 Juli) Leher : TVJ = R-2 cmH2O Thorax: Inspeksi: Simetris fusiformis Palpasi : SF kanan=kiri Perkusi : Sonor kanan=kiri Auskultasi: SP= bronkial, ST= Ronki basah pada lapangan basal paru Ekstremitas : Edema pada ekstremitas inferior (+/+) dan akral hangat (+/+) Compos mentis CHF FC II-III TD: 120/80 ec CAD septal
45
Tirah baring Diet DM 1700 kkal IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i mikro Inj. Furosemide 20 gram/12 jam Inj. Ranitidine 50 mg/ 12 jam Spironolactone 1x2 mg Candesartan 1x8 mg Inj. Novorapid 22-2222 Inj. Levemir 0-0-22 NKR 2x5 mg Aspilet 1x80 mg
46
27-29 Juli 2018
(+), bengkak HR: 90x/i pada kaki RR: 24x/i (+) Temp: 36,30C
DM tipe 2 KGD 260 mg/dL DVT bilateral(setelah Kepala: Anemia (-/-) dan dilakukan USG Ikterus (-/-) Doppler pada tanggal 22 Juli) Leher : TVJ = R-2 cmH2O Thorax: Inspeksi: Simetris fusiformis Palpasi : SF kanan=kiri Perkusi : Sonor kanan=kiri Auskultasi: SP= bronkial, ST= Ronki basah pada lapangan basal paru Ekstremitas : Edema pada ekstremitas inferior (+/+) dan akral hangat (+/+) Compos mentis -CHF FC II-III TD: 140/70 ec CAD septal HR: 80x/i -DM TIPE 2 RR: 30x/i 0 Temp: 36.8 C -DVT BILATERAL Kepala: Anemia (-/-), Ikterus (-/-), Dispnoe (-) Sianosis (-/-), Edema (-/-), Purpura (-/-) Leher : Dalam batas normal Thorax: Inspeksi: Simetris fusiformis Palpasi : SF mengeras Ka=Ki Perkusi : Sonor Auskultasi:
IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i mikro Inj. Furosemide 20 gram/12 jam Inj. Ranitidine 50 mg/ 12 jam Spironolactone 1x2 mg Candesartan 1x8 mg Inj. Novorapid 22-2222 Inj. Levemir 0-0-22 NKR 2x5 mg Aspilet 1x80 mg
Sesak (+) Bengkak pada kaki (+)
46
Tirah baring IVFD NaCl 0.9% 10gtt / menit makro Furosemide tab 2x 40mg cefadroxil tab 2 x 500mg spironolactone 1 x 25 mg inj.Novorapid 2222-22 (iv/sc) inj.Levemir 22 (iv/sc)
47
1-3 Batuk (+) Agustus sesekali, 2018 sesak napas berkurang, kaki bengkak (+)
SP= bronkial, ST= Ronki basah pada paru kanan. Abdomen : Simetris, soepel H/L/R tidak teraba, normoperistaltik, nyeri tekan ( - ) Ekstremitas : Edema (+/+) Akral hangat (+/+), petekie (-) Compos mentis TD: 120/80 HR: 96 RR: 24 Temp: 37,3
Kepala: Mata: Anemis (-/-), ikterik (-/-) Leher: TVJ R-2 cmH20, pem. KGB (-) Toraks: I: Simetris fusiformis P: SF ka=ki P: sonor A: SP: Bronkial lap. bawah kedua paru. ST: Ronkhi basah lap. bawah kedua paru Abdomen: Simetris, peristaltic (+) N, timpani, soepel. H/L/R: tidak teraba Ekstremitas: Oedem (-/-, +/+), akral hangat
47
CHF fc II-III ec CAD dd HHD DVT bilateral DM tipe 2 ISK komplikasi
Bed rest Diet DM 1600 kkal Furosemide 3x40 mg Cefadroxil 2x500 mg Spironolakton 1x25 mg Xarilto 2x15 mg Valsartan 1x80 mg Inj. Novorapid 22 22 22 IV/SC Inj. Levemir 22 10 /SC Rencana PBJ
48
BAB V DISKUSI KASUS
Teori
Diskusi
Diagnosis -
Diagnosis
Anamnesis
Pada pasien ditemukan keluhan sesak nafas, kelelahan, orthopnea, dan penurunan toleransi berolahraga.
Ditemukan keluhan sesak nafas, kelelahan,
penurunan
toleransi
berolahraga, dan kadang-kadang dapat dijumpai batuk pada malam hari, wheezing, penurunan nafsu makan, depresi, palpitasi, dan syncope. -
Pemeriksaan Fisik
Leher Inspeksi : TVJ meningkat Thorax dan cor Palpasi : Refleks hepatojugular (+) Auskultasi : Rales di lapangan basal paru, S3 gallop dan cardiac murmur Abdomen Palpasi : Hepatomegaly Ekstremitas Inspeksi : Edema (+)
-
Pemeriksaan penunjang
48
49
Pada
Foto
gambaran
Thorax
terdapat
radiologis
berupa
cardiomegaly,
Pemeriksaan fisik Leher dijumpai peningkatan TVJ
peningkatan
Thorax dan cor pada auskultasi
corakan bronchovaskular, efusi
dijumpai rales di lapangan basal
maupun kerley B lines
paru Abdomen pada palpasi hati
Pada pemeriksaan ekg didapati
teraba dengan kesan
myocard infark, LBBB, maupun
hepatomegaly
pemanjangan periode QRS
Ekstremitas tampak edema
Pemeriksaan penunjang
Untuk menegakkan diagnosis CHF
Pada foto thorax didapati
harus memenuhi minimal 2 kriteria
gambaran LVH, peningkatan
mayor atau 1 kriteria mayor + 2 kriteria
minor
pada
corakan bronchovaskular, dan
kriteria
efusi.
framingharm
Pada pemeriksaan ekg didapati
Kriteria mayor: Edema paru akut,
hasil normal dikarenakan tidak
kardiomegali, reflex hepatojugular, peningkatan
TVJ,
ada klinis MI
Paroxysmal
Nocturnal Dyspnea, Orthopnea,
Pada pasien dijumpai kriteria
Rales, dan S3 gallop
mayor berupa kardiomegali,
Kriteria minor: Edema tungkai,
peningkatan TVJ, Orthopnea, dan
sesak napas sewaktu beraktivitas,
rales di lapangan basal paru
hepatomegaly, batuk pada malam
Pada pasien dijumpai kriteria
hari, tachycardia dengan frekuensi
minor berupa edema tungkai,
120x/menit, dan efusi pleura
sesak nafas sewaktu beraktivitas, hepatomegaly, dan efusi pleura.
49
50
Penatalaksanaan Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup. Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.
Penatalaksanaan pada pasien ini : Non-farmakologis : o Tirah baring o Diet DM 1600 kkal o Tindakan suportif : IVFD NaCl 0.9% 10gtt / menit makro
Farmakologis : o Furosemide 3x40 mg o Cefadroxil 2x500 mg o Spironolakton 1x25 mg o Xarilto 2x15 mg o Valsartan 1x80 mg o Inj. Novorapid 22 22 22 IV/SC o Inj. Levemir 22 10 /SC
.
50
51
BAB VI KESIMPULAN
SS, seorang laki-laki berusia 46 tahun didiagnosa dengan CHF ec CAD. Pasien dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan dan ditatalaksana dengan tirah baring, diet DM 1600 kkal, tindakan suportif : IVFD NaCl 0.9% 10gtt / menit makro, furosemide 3x40 mg, cefadroxil 2x500 mg, spironolakton 1x25 mg, xarilto 2x15 mg, valsartan 1x80 mg, Inj. Novorapid 22 22 22 IV/SC, dan Inj. Levemir 22 10 /SC.
.
51
52
DAFTAR PUSTAKA 1. PDKI, Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. 2015. Jakarta 2. Lilly LS. 2011. Pathophysiology of Heart Disease - A Collaborative Project of A Collaborative Project of Medical Students and Faculty (5th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, pp 161-189 3. .Alldredge, B.K., Corelli, R.L., dan Ernst, M.E., 2012. Koda-Kimble and Young’s Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs. Lippincott Williams & Wilkins. 4. Lilly L.S. 2012. Pathophysiology of Heart Disease A Collaborative Project of Medical Students and Faculty. Wolters Kluwer: North America. 5th ed. 232235p. King M., Kingery J., Casey B. 2012. Diagnosis and Evaluation of Heart Failure. AAFP: Kentucky. 1161-1167p. 5. Yancy C.W., Jessup M., Bozkurt B., et al. 2017. ACC/AHA/HFSA Focused Update of the 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart Failure. Circulation. e137-e145. 6. Ponikowski P., Voors A. A., Anker S. D., et al. 2016. ESC Guideline for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure: The Task Force for the Diagnosis of Acute and Chronic Treatment of Acute and Chronic Heart Failure of the Europian Society of Cardiology (ESC) Developed with the Special Contribution of the Heart Failure Association (HFA) of the ESC. Europian Heart Journal. 2128-2146p. 7. Madias J. E. 2008. ECG Changes and Voltage Attenuation in Congestive Heart Failure. Hospital Chronicles. 3(3): 112–115. 8. PERKI. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung Edisi Pertama. PERKI. 2015. 9. ESC. 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatement of acute and chronic heart failure. European Heart Journal. 2016. 10. AHA. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart Failure: Executive Summary. Journal of the American College of Cardiology. 2013.
52