1
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apel merupakan salah satu komoditi yang sangat familiar di Indonesia. Apel banyak dimanfaatkan di dalam industri pangan. Pengolahan apel di industri pangan menghasilkan ampas yang belum dimanfaatkan dengan optimal. Hasil pengolahan produk apel sekitar 50% dan limbahnya 3-4 M ton pertahun. Produksi limbah kulit apel yang tinggi ini memiliki potensi yang tinggi untuk dimanfaatkan dalam pembuatan plastik biodegradable. Kulit apel mengandung pektin sebagai serat pangan larut air, dalam ampas apel terdapat pektin 15-20% (Subagyo, 2010). Limbah adalah salah satu jenis permasalahan yang sedang dihadapi di Indonesia. Limbah adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan kita sehari-hari. Seperti limbah plastik yang menjadi limbah dari hasil pabrik dan limbah rumah tangga yang menjadi dominasi saat ini. Hal ini disebabkan karena plastik mempunyai sifat yang sulit terdegradasi di alam yang menjadikannya penyumbang limbah terbesar di Indonesia (Nasution, 2015). Butuh waktu sekitar 450 hingga 600 tahun bagi plastik sampai terurai. Saat ini, kapasitas produksi kemasan plastik di Indonesia mencapai 2,35 juta ton setiap tahunnya (Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, 2016). Sehingga jumlah limbah yang dihasilkan berbanding lurus dengan peningkatan jumlah produksi plastik. Plastik terbuat dari bahan polimer sintesis yang dibuat dari proses poli-merisasi (Nasution, 2015). Selain berbahan dasar polimer plastik juga menggunakan zat aditif yang digunakan untuk memperbaiki sifat fisiko-kimia plastik tersebut. Plastik sering kita jumpai pada alat rumah tangga dan pembungkus makanan kita sehari-hari. Berdasarkan fakta-fakta diatas, ada dua cara untuk mengurangi penggunaan limbah plastik, yaitu mengganti kantong plastik dengan alat (kain) untuk membungkus barang (furoshiki) dan menggunakan plastik biodegradable. Jika menggunakan kain sebagai pengganti plastik memerlukan biaya yang lebih mahal serta bagi penggunanya tidak bisa langsung mengaplikasikan kain sebagai bungkus pengganti plastik. Hal lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah ketersediaan kain furoshiki yang masih terbatas. Bedasarkan hal tersebut, penulis berinovasi untuk membuat plastik biodegradable berbahan dasar kulit apel. Kulit apel diekstraksi dengan bantuan HCl untuk mendapatkan pektin kemudian dikombinasikan dengan kitosan yang berasal dari cangkang telur sehingga akan menghasilkan plastik biodegradable yang ramah lingkungan dan dapat menjadi solusi untuk mengurangi limbah plastik. 1.2 Rumusan Masalah 1. Mengapa kulit apel dapat menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan limah plastik di Indonesia?
2
2. Bagaimana kulit apel dan kitosan dapat dikombinasikan sehingga menjadi plastik biodegradable? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Mengevaluasi potensi kulit apel sebagai bahan pembuatan plastik biodegradable 2. Menentukan persentase pektin dan kitosan yang digunakan untuk pembuatan plastik biodegradable 3. Mengetahui dan menguji sifat fisik plastik biodegradable berbahan dasar kulit apel 1.4 Urgensi Limbah adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari. Seperti limbah plastik yang menjadi limbah dari hasil pabrik dan limbah rumah tangga yang menjadi dominasi saat ini. Hal ini disebabkan karena plastik mempunyai sifat yang sulit terdegradasi di alam yang menjadikannya penyumbang limbah terbesar di Indonesia (Nasution, 2015). Dari fakta tersebut, penulis berinovasi untuk membuat plastik biodegradable dari limbah kulit apel. Produksi limbah kulit apel yang tinggi ini memiliki potensi yang tinggi untuk dimanfaatkan dalam pembuatan plastik biodegradable. Kulit apel mengandung pektin sebagai serat pangan larut air, dalam ampas apel terdapat pektin 15-20% (Subagyo, 2010). 1.5 Manfaat 1. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat digunakan sebagai solusi permasalahan pencemaran lingkungan oleh limbah plastik. 2. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat digunakan untuk membantu menciptakan lingkungan yang lebih bersih dengan berkurangnya sampah plastik di lingkungan masyarakat. 3. Bagi akademisi, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk menunjang penelitian lain yang berhubungan dengan pengolahan plastik biodegradable 1.6 Luaran Yang Diharapkan Penelitian ini diharapkan dapat dibuat menjadi artikel ilmiah yang dipublikasikan secara paten dan juga dapat diaplikasikan sebagai alternatif plastik yang aman bagi lingkungan sehingga limbah plastik di Indonesia dapat berkurang dan lingkungan menjadi lebih bersih.
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Plastik Biodegradable Biodegradable berasal dari kata bio yang berarti makhluk hidup, dan degradable yang memiliki arti dapat terurai. Jadi, plastik biodegradable dapat diartikan sebagai plastik yang dapat terurai oleh makhluk hidup (mikroorganisme). Umumnya, plastik konvensional berasal dari minyak bumi (Rini, 2017). Adapun plastik biodegradable terbuat dari bahan yang dapat diperbaharui, karena senyawa penyusunnya terdapat dalam tanaman misalnya pati dan pektin. Karena sifat plastik biodegradable yang dapat kembali ke alam, maka plastik biodegradable tergolong sebagai plastik yang aman bagi lingkungan. Plastik biodegradable atau lebih dikenal dengan bioplastik, adalah plastik yang seluruh komponen penuyusunnya berasal dari material yang dapat diperbaharui. Selain penyusunnya, perbedaan antara plastik biodegradable dengan plastik konvensional adalah tingkat penguraian plastik yang dapat terdegradasi (terurai dengan lebih mudah) daripada plastik konvensional biasa (Zulisma, 2013). Plastik biodegradable adalah jenis plastik yang terbuat dari bahan berpolimer. Biopolimer adalah polimer yang tersusun atas biomassa yang dapat diperbaharui (Anonim 1, 2006). Berdasarkan sumber penyusun biopolimer, plastik biodegredable dikategorikan menjadi dua kelompok. Pertama adalah biopolimer yang sudah ditemukan di dalam organisme hidup dan yang kedua adalah biopolimer yang harus dipolimerisasi terlebih dahulu (Anonim 1, 2016). Biopolimer yang sudah ditemukan di dalam organisme hidup. Biopolimer yang berasal dari organisme hidup antara lain adalah pektin. Pektin merupakan senyawa polisakarida kompleks yang mengandung α-D-galakturonat dengan ikatan α-1,4 (Hoejgaard, 2004). Plastik biodegradable yang berbahan dasar pektin dapat didegradasi oleh bakteri pengurai dengan memutus rantai polimer menjadi monomer-monomernya. Hasil penguraian oleh bakteri pengurai akan membantu meningkatkan unsur hara dalam tanah. Senyawa-senyawa hasil penguraian polimer selain menghasilkan karbon dioksida dan air, juga menghasilkan senyawa organik lain. Sebagai perbandingan, plastik konvensional yang beredar dipasaran membutuhkan waktu paling tidak sekitar 50 tahun untuk dapat terurai di alam, sementara plastik biodegradable atau bioplastik dapat terurai hingga 20 kali lebih cepat (Yuniarti, 2010). Untuk itu penggunaan plastik biodegradable ini tidak akan mencemari lingkungan seperti plastik konvensional umumnya. Hasil degradasi plastik ini dapat digunakan sebagai makanan hewan ternak atau sebagai pupuk kompos (Yuniarti,2010). Plastik biodegredable yang terbakar juga tidak menghasilkan senyawa kimia yang berbahaya. Selain biopolimer pektin, poliester alami yang berasal dari reaksi kimiawi bakteri juga dapat digunakan sebagai bahan dasar plastik biodegradable. Polimer yang dihasilkan dari reaksi kimia tersebut adalah poli-3-hidroksibutirat (PHB). Yang kedua, biopolimer yang harus dipolimerisasi
4
terlebih dahulu seperti asam laktat. Asam laktat merupakan salah satu molekul yang dapat dipolimerisasi untuk menghasilkan suatu biopolimer. 2.2 Apel Apel merupakan tanaman buah yang biasa tumbuh di daerah iklim tropis. Tanaman apel dapat tumbuh di daerah dengan ketinggian 700-1200 diatas permukaan laut. Tanaman ini banyak dikembangkan di beberapa daerah Indonesia seperti Batu, Pasuruan, lumajang, dan beberapa daerah tinggi lainnya (Soelarso, 1997). Buah apel memiliki berbagai manfaat, baik dari daging dan kulit buahnya. Manfaat buah apel antara lain dapat menurunkan kolesterol, menurunkan berat badan, sumber antioksidan, mengobati anemia, dan lain sebagainya (Nurcahyati, 2014). Dalam 100 gram buah apel mengandung: Energi 58,00 kal; Karbohidrat 14,90 gram;Kalsium 6,00 mg; Fosfor 10,00 mg; Besi 1,30 mg,Serat 0,70 mg; Vitamin A 24,00 rpe dan lainnya (Defelice, 2003). Selain itu, dalam buah apel terkandung pektin yang banyak didapat pada bagian kulitnya, yaitu berkisar 4-7% dari berat buah (Suhardi, 1997). 2.3 Pektin Pektin adalah suatu senyawa organik yang termasuk golongan karbohidrat polisakarida, yang mengandung unit D-galacturonic acid yang terpolimerisasi, teresterifikasi oleh etanol membentuk ikatan rantai homiselulosa. Pektin banyak ditemukan pada buah-buahan tepatnya pada dinding sel, dan berfungsi untuk merekatkan dinding sel satu ke dinding sel lainnya (Edwards, 2007). Pektin mengandung 3-16% gugus metoksil yang dapat larut dalam air membentuk gel yang bersifat mengentalkan dan merekatkan dalam suasana asam. Adapun penyusun senyawa pektin adalah protopektin, asam pektinat, pektin, dan asam pektat. Protopektin adalah senyawa pektin yang tidak larut dalam udara, dapat dihidrolisis menjadi pektin dan asam pektinat. Asam pektinat adalah senyawa pektin asam poligalakturonat yang mengandung metil ester. Pektin adalah senyawa pektin asam poligalakturonat yang mengandung 3-16% gugus metoksi, dapat larut dalam air, terbentuk jelly dengan gula dalam suasana asam. Asam pektat adalah senyawa pektin yang tidak mengandung gugus metilester dan ada pada buah yang terlalu matang dan sayuran busuk (Subagyo, 2010).
(IPPA, 2004). Pektin dapat ditemui pada berbagai jenis buah-buahan seperti apel, jeruk, mangga, jambu biji. Pektin juga sering dijumpai dalam kulit buah, akar, dan getah kayu (Winarno, 1984). Untuk pemanfaatannya, pektin biasa digunakan dalam industri farmasi dan pengobatan sebagai pengganti plasma darah, pengental, dan zat pensuspensi. Dalam industri makanan, pektin dimanfaatkan untuk pembentuk
5
gel dan bersifat lentur (Ahmad, 2010). Pembentukan gel terjadi melalui ikatan hidrogen di antara gugus karboksil bebas dan di antara gugus hidroksil. Mekanismenya adalah adanya hubungan yang terjadi antar molekul pektin yang berdekatan dengan kation divalent membentuk struktur tiga dimensi melalui pembentukan garam dengan gugus karboksil pektin (Caplin, 2004). 2.4 Ekstraksi Pektin Ekstrasi merupakan suatu proses yang bertujuan untuk memisahkan bahan dari campurannya dengan menggunakan larutan tertentu (Mukhriani, 2014). Pada proses ekstraksi pektin, terdapat berbagai metode yang dapat digunakan. Tetapi, pada umumnya ekstraksi pektin dilakukan dengan metode ekstraksi asam. Beberapa jenis asam yang dapat digunakan untuk ekstraksi pektin seperti asam sulfat, asam nitrat, dan asam klorida. Namun, dalam penelitian yang dilakukan oleh Hindarso, dkk (2004), perolehan pektin terbanyak didapat dengan menggunakan asam klorida (HCl). Ada tiga faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi pektin, yaitu suhu, pH, dan waktu reaksi. pH yang paling optimal dalam proses ekstaksi adalah 2.0 (Suhardi, 1997). Dalam ekstraksi pektin terjadi perubahan senyawa pektin yang disebabkan oleh proses hidrolisis protopektin. Proses tersebut menyebabkan protopektin berubah menjadi pektinat (pektin) dengan adanya pemanasan dalam asam pada suhu dan lama ekstraksi tertentu. Apabila proses hidrolisis dilanjutkan senyawa pektin akan berubah menjadi asam pektat (Tuhuloula, 2013). 2.5 Kitosan Kitosan adalah turunan deitetilasi dari kitin, polisakarida alami yang diekstraksi dari krustasea, serangga dan jamur tertentu. Karena sifat uniknya seperti biodegradabilitas, biokompatabilitas, aktivitas biologis, dan kapasitas pembentukan kompleks polielektrolit dengan polielektrolit anionik, kitosan telah banyak digunakan di industri makanan. Dalam pembuatan plastik biodegradabilitas ini, kitosan berfungsi sebagai bahan pengeras plastik agar tidak mudah rusak atau sobek. Kitosan yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah kitosan yang berasal dari limbah cangkang telur.
6
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilakukan di laboratorium Teknologi Agrokimia Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya. Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah blender, kain blacu, pisau, penanas air, gelas beker, kertas saring, kertas pH meter, centrifuge, hotplate stirrer, dan oven. Bahan utama yang digunakan adalah limbah kulit apel yang didapat dari sisa pabrik kripik apel di Kota Batu, air, alkohol, HCl, NaOH, NaCl, aseton, dan alkohol. 3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Tahap Persiapan Sampel Limbah kulit apel dibersihkan kemudian dihancurkan menggunakan blender. Setelah dihancurkan, kulit apel dipanaskan menggunakan oven dengan suhu 40ºC. 3.3.2 Tahap Penelitian 3.3.2.1 Ekstraksi Pektin dari Kulit Apel Ekstraksi pektin dilakukan dengan menggunakan pelarut asam merupakan cara ekstraksi yang umum digunakan kerena kemungkinan terjadi kerusakan pektin lebih sedikit. Guna memperoleh hasil ekstraksi yang optimal sangat diperlukan pengaturan tingkat keasaman (pH), suhunya, dan berapa lama waktu untuk hidrolisis. Tingkat keasaman (pH) ekstraksi pektin perlu diatur hingga mencapai kisaran antara pH 1,2 – 3,0; sedangkan waktu hidrolisis berkisar antara 30 – 60 menit, pada suhu antara 60-90˚ (Subagyo, 2010). Komponen kimia Kandungan (%) Kadar asam 0,55 Pektin 24 Total padatan 13,2 Kadar air 67,9 (Tabel 1.1 Komposisi kimia dalam apel) (Nurhikmat,2003). Pemisahan pektin dari jaringan tanaman dapat dilakukan dengan cara ekstraksi. Pektin dapat larut dalam berbagai macam zat pelarut seperti air, beberapa senyawa organic, senyawa alkalis, dan asam. Dalam ekstraksi pektin terjadi perubahan senyawa pektin yang disebabkan oleh proses hidrolisis protopektin. Proses tersebut menyebabkan protopektin berubah menjadi pektinat (pektin) dengan adanya pemanasan dalam asam pada suhu dan lama ekstraksi tertentu. Apabila proses hidrolisis dilanjutkan, senyawa pektin senyawa pektin akan berubah menjadi asam pektat. Ekstrak disaring dalam keadaan panas, kemudian ditambahkan Aceton hingga terbentuk endapan. Endapan dicuci dengan Alkohol hingga netral dan dikeringkan dalam oven sampai beratnya kanstan, sebagai pektin kering. Kondisi
7
operasi optimal dicapai pada suhu eketraksi 90 0C, dengan pH larutan untuk ampas (3,5), untuk larutan kulit pH 3, dan waktu operasi 90 menit. Pektin kering yang terpungut (rerata) pada kondisi operasi tersebut adalah 13,940 % (berat) untuk ampas dan 12,897 % (berat) untuk kulit apel. (Subagyo, 2010). 3.3.3.2 Pembuatan Chitosan dari Cangkang Telur Di dalam kulit telur terdapat kandungan nutrisi seperti kalsium, zat besi, dan mineral lainnya yang bisa dijadikan pakan ternak. Kandungan cangkang telur diantaranya 95% kalsium karbonat (CaCO3), pospor, dan protein rantai tinggi mendekati 5%, sedikit kitin, kitosan 0,05 % (Alim, 2016). Metode pengambilan zat kitosan: Mula-mula cangkang telur di bersihkan dari kotoran makro, eliminasi membran cangkang. Setelah dibersihkan, cangkang telur dikeringkan menggunakan oven 80⁰-100⁰C. Lalu cangkang telur dihaluskan. Cangkang telur yang sudah dihaluskan direndam menggunakan NaOH 0,1 M selama kurang lebih 2 jam. Setelah direndam, cangkang telur dikeringkan kembali menggunakan oven. Selanjutnya, direndam lagi menggunakan HCl. Lalu dikeringkan lagi. Dan jadilah bubuk kitosan dari cangkang telur. Jumlah kitosan mempengaruhi sifat mekanik pada bioplastik yaitu bioplastik menjadi semakin mudah rapuh. Semakin besar jumlah kitosan yang terdapat pada bioplastik mengakibatkan nilai kuat tarik dan elongasi semakin menurun. Namun, apabila bioplastik dipanaskan pada suhu 45⁰ dapat mempengaruhi nilai kuat tarik bioplastik yaitu bioplastik menjadi lebih kuat. Dan penambahan kitosan pada bioplastik dapat memperbesar nilai kuat tarik pada kitosan yang berkonsentrasi kurang dari 2 %(Hartatik,2014). Penambahan kitosan dapat memperlambat kerusakan pada bioplastik karna semakin banyak kitosan yang ditambahkan pada bioplastik maka semakin lama kerusakan bioplastik tersebut. 3.3.3.3. Pembutan Plastik Biodegradable Dalam pembuatan plastik biodegradable diperlukan dua bahan penting yaitu pektin sebagai bahan dasar plastik yang bersifat elastis serta kitosan yang berasal dari cangkang telur yang digunakan untuk memperkuat sifat plastik. Dalam pembuatan plastik biodegradable dibutuhkan 5 gram pektin untuk setiap plastic berukuran a5 (Maghfiroh, 2015). Campuran antara pektin yang telah diekstraksi dan kitosan kemudian ditambahkan air, kemudian dipanaskan. Setelah dipanaskan plastik dicetak sesuai dengan bentuk yang diinginkan dan dijemur di bawah sinar matahari. Pada penelitian ini digunakan variable jumlah pektin yang diperlukan dalam pembuatan plastik biodegradable. 3.3.3 Tahap Pengujian Setelah proses pembuatan plastik selesai, perlu dilakukan beberapa uji yaitu uji FT-IR, Uji titik leleh, Uji Degradasi, Uji Tarik. 3.3.3.1 Uji FT-IR (Fourier Transform Infra Red) Spektrum IR digunakan untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat dalam plastik. FT-IR merupakan salah satu instrumen yang menggunakan prinsip
8
spektroskopi. Spektroskopi adalah spektroskopi inframerah yang dilengkapi dengan transformasi fourier untuk deteksi dan analisis hasil spektrumnya (Anam. 2007). Spektroskopi inframerah berguna untuk identifikasi senyawa organik 3.3.3.2 Uji Titik Leleh Uji ini berfungsi untuk mengetahui temperatur leleh dari sampel plastik biodegradable yang dibuat. Sampel plastik biodegradable ditumbuk dengan hingga halus. Sampel plastik biodegradable diambil dengan menggunakan pipa kapiler hingga terisi ¾ penuh. Pipa kapiler diletakkan pada melting block. Melting block dipanaskan dan diamati pada lubang pengamat hingga semua sampel leleh. Kemudian, suhu dicatat pada rentang suhu sampel mulai meleleh dan semua sampel habis meleleh (Rahmawati, 2011). 3.3.3.3 Uji Degradasi Uji biodegradasi digunakan untuk mengetahui kemampuan degradasi sampel plastik biodegradable dengan media PDA yang ditumbuhi bakteri yang dapat menguraikan pektin yaitu bakteri (bakteri pektinolitik) antara lain Achromobacter sp, Aeromonas sp, Arthrobacter sp, Agrobacterium sp, Enterobacter, Bacillus sp, Clostridium sp, Erwinia sp, Flavobacterium sp, Pseudomonas sp, dan Xanthomonas sp., (Rahayu, 2012). Biasanya akan dicari berapa laju penurunan berat molekul dalam waktu tertentu, sehingga akan diketahui waktu yang dibutuhkan sample plastik biodegradable untuk terurai di alam. Proses ini dilakukan dengan menggunakan uji viskositas (Rahmawati, 2011). 3.3.3.4 Uji Tarik Uji tarik dilakukan dengan menarik plastik untuk mengetahui elastisitasnya. Komposisi optimal plastik ditentukan berdasarkan sifat mekanik bahan terutama pada kekuatan tarik dan perpanjangan bahan. Sifat mekanik ini diperoleh melalui percobaan uji tarik. Sifat mekanik suatu bahan dipengaruhi oleh sifat alami komponen dan ikatan penyusunnya (Purwanti, 2010). ·
9
BAB IV. BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN 4.1 Rancangan Anggaran No Rancangan Anggaran 1. Anggaran 2. Bahan Habis Pakai 3. Perjalanan 4. Lain-Lain Total Table 1. 2 Rancangan Anggaran
Jumlah (Rp) Rp 3.600.000,00 Rp 1.970.500,00 Rp 1.800.000,00 Rp 440.000,00 Rp 7.810.500,00
4.2 Jadwal Kegiatan N O 1
Jenis Kegiatan
1
2
3
4
PJ
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 PERSIAPAN Penyiapan alat All dan bahan 2 PELAKSANA AN Tahapan LY ekstraksi pektin dari kulit apel Pembuatan N chitosan dari M cangkang telur Pembuatan N plastic A biodegradable 3 PENGUJIAN Uji FT-IR N M Uji titik leleh N A Uji degradasi LY Uji tarik LY 4 PENULISAN All LAPORAN Keterangan: NM (Nilna Majda), NA ( Naura Mufidah), LY ( Lathifah Yumna), All (Semua). Table 1.3 Jadwal Kegiatan
10
DAFTAR PUSTAKA Anita, Zulisma. 2013. Pengaruh Penambahan Gliserol Terhadap Sifat Mekanik Film Plastik Biodegradasi dari Pati Kulit Singkong. Medan: Universitas Sumatera Anonim 1. 2006. Biopolymers and Plastik Biodegradable http://www.biobasics.gc.ca/english/View.asp?x=790. Tanggal akses 21 September 2017 pukul 15.20 DeFelice, Eugene A. 2003. Nutrition and Health: Web Resource Guide for Consumers, Healthcare Providers. New York: iUniverse, Inc Hindarso, Herman, Laurentika Eka, Sandy Budi. 2004. Proses Ekstraksi Pektin dari Ampas Buah Apel dan Kulit Jeruk. Surabaya: Jurusan Teknik Kimia FTI ITS Hikmat, N. 2003. Ekstraksi Pektin dari Apel Lokal: Optimalisasi pH dan Waktu Hidrolisis. Yogyakarta: Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia.Vol. 4. Hennen, William J. 1996. Chitosan. Woodlake Publishing: Salt Lake City. Hoejgaard, S. (2004). Pectin Chemistry, Funcionality, and Applications. http://www.cpkelco.com/Ptalk/ptalk.htm. Tanggal Akses 20 September 2017 pukul 18.30 Kementrian Perindustrian Republik Indonesia. 2016. http://www.kemenperin.go.id/artikel/17549/Menperin-TargetkanProduksi-Plastik-Urai-Alami-Naik-5-Persen. Diunduh pada 17 September pukul 20.00 WIB Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2016. Bioplastik Sawit Pengganti Plastik Konvensional http://lipi.go.id/lipimedia/bioplastiksawit-pengganti-plastik-konvensional/15221. Tanggal akses 21 September 2017 pukul 19.17 Maghfiroh. 2015. http://digilib.uinhsuka.ac.id/15713/1/BAB%20I%2C%20V%2C%20DAFTAR%20PUSTA KA.pdf. Diunduh pada 22 September pukul 21.00 WIB Nasution, Reni Silvia. 2015. Berbagai Cara Penanggulangan Limbah Plastik. Banda Aceh: Journal of Islamic Science and Technology Vol.1, No.1 Nurcahyati, Erna. 2014. Khasiat dan Manfaat Dahsyatnya Kulit Apel: 100% Terbukti Ampuh dan Manjur. Jakarta: Jendela Sehat Subagyo, Purwo dan Zubaidi Achmad. 2010. Pemungutan Pektin Dari Kulit dan Ampas Apel Secara Ekstraksi. Yogyakarta: Jurnal Eksergi Vol.10 No 2 Subagyo, Purwo. 2010. Pemungutan Pektin dari Kulit dan Amapas Apel Secara Ekstraksi.Yogyakarta: Chemical Engineering Department, Faculty of Industrial Technology, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta. Vol. 10, No. 2. Yuniarti. 2010. Inventaris dan Karakterisasi Morfologis Tanaman Durian (Durio Zibethinus Murr) di Kabupaten Tanah Datar. Padang : Jurnal Plasma Nutfah Vol.2 No. 1-6