Lap Ivk, Varises, Aneurisma.docx

  • Uploaded by: Winda Lira
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lap Ivk, Varises, Aneurisma.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,295
  • Pages: 20
INSUFISIENSI VENA KRONIK Definisi

Insufisiensi Vena Kronik adalah kondisi dimana pembuluh darah tidak dapat memompa oksigen dengan cukup (poor blood) kembali ke jantung yang ditandai dengan nyeri dan pembengkakan pada tungkai. IVK paling sering disebabkan oleh perubahan primer pada dinding vena serta katup-katupnya dan perubahan sekunder disebabkan oleh thrombus sebelumnya dan kemudian mengakibatkan reflux, obstruksi atau keduanya.(Willenberg, et al., 2010) Epidemiologi Prevalensi

IVK pada populasi dewasa, lebih sering terjadi pada perempuan

dibandingkan pria (3:1), meskipun studi saat ini menunjukkan prevalensi Lebih besar pada pria The San Valentino Screening Project menemukan bahwa di antara 30.000 subjek yang dinilai secara klinis dan ultrasonografi duplex, prevalensi varises sebesar 7% dan IVK simptomatik 0,86%. Dari Framingham Heart Study diperkirakan bahwa insiden tahunan varises pada perempuan 2,6% dan pada pria 1,9%. Varises mempunyai dampak bermakna bagi perawatan kesehatan, setiap tahun jutaan orang berobat ke dokter karena masalah kosmetik. Konsekuensi masalah kosmetik pada varises dapat mempengaruhi kualitas hidup dan dikaitkan dengan manifestasi lain yang lebih serius, seperti ulkus vena yang prevalensinya diperkirakan sekitar 0,3%, meskipun ulkus aktif atau yang telah sembuh ditemukan pada sekitar 1% populasi dewasa. Di AS, diperkirakan 2,5 juta orang menderita IVK dan 20%-nya berkembang menjadi ulkus vena. Prognosis ulkus vena secara keseluruhan buruk, sering terlambat dalam hal penyembuhan dan terjadi kekambuhan ulkus. Lebih dari 50% ulkus vena memerlukan terapi hingga lebih dari 1 tahun. Ketidakmampuan terkait ulkus vena dapat menyebabkan hilangnya jam kerja produktif, diperkirakan 2 juta hari kerja/tahun.(Ebenhart & Rafetto, 2015)

Etiologi dan Faktor Resiko Etiologi dari insufisiensi vena kronis dapat dibagi 3 yaitu, kongenital, primer dan sekunder. (Florea, et al., 2011) 

Penyebab insufisiensi vena kronis yang kongenital adalah pada kelainan dimana katup yang seharusnya terbentuk di suatu segmen ternyata tidak terbentuk sama sekali (aplasia, avalvulia), atau pembentukannya tidak sempurna (displasia), berbagai malformasi vena, dan kelainan lainnya yang baru diketahui setelah penderitanya berumur.



Penyebab insufisiensi vena kronis yang primer adalah kelemahan intrinsik dari dinding katup, yaitu terjadi lembaran atau daun katup yang terlalu panjang (elongasi) atau daun katup menyebabkan dinding vena menjadi terlalu lentur tanpa sebab-sebab yang diketahui. Keadaan daun katup yang panjang melambai (floppy, rebundant) sehingga penutupan tidak sempurna (daun-daun katup tidak dapat terkatup sempurna) yang mengakibatkan terjadinya katup tidak dapat menahan aliran balik, sehingga aliran retrograd atau refluks. Keadaan tersebut dapat diatasi hanya dengan melakukan perbaikan katup (valve repair) dengan operasi untuk mengembalikan katup menjadi berfungsi baik kembali.



Penyebab insufisiensi vena kronis sekunder (insufisiensi vena sekunder) disebabkan oleh keadaan patologik yang didapat (acquired), yaitu akibat adanya penyumbatan trombosis vena dalam yang menimbulkan gangguan kronis pada katup vena dalam. Pada keadaan dimana terjadi komplikasi sumbatan trombus beberapa bulan atau tahun paska kejadian trombosis vena dalam, maka keadaan tersebut disebut sindroma post-trombotic. Pada sindroma tersebut terjadi pembentukan jaringan parut akibat inflamasi, trombosis kronis dan rekanalisasi yang akan menimbulkan fibrosis, dan juga akan menimbulkan pemendekan daun katup (pengerutan daun katup), perforasi kecil-kecil (perforasi mikro), dan adhesi katup, sehingga akhirnya akan menimbulkan penyempitan lumen. Kerusakan yang terjadi pada daun katup telah sangat parah tidak memungkinkan upaya perbaikan. Kejadian insufisiensi vena kronis yang primer, dan yang sekunder (akibat trombosis vena dalam, dan komplikasi post-trombotic), dapat terjadi pada satu penderita yang sama. Faktor resiko Insufisiensi Vena Kronik antara lain diabetes mellitus, hipotiroidisme,

pasca operasi ekstremitas bawah, obesitas, usia lanjut, berjenis kelamin perempuan, pekerjaan yang berdiri dalam jangka waktu yang lama ( > 6jam/hari), herediter (riwayat varises dalam keluarga), merokok, sedentary lifestyle, riwayat deep vein thrombosis, dan kehamilan. Klasifikasi Untuk mengevaluasi dan mengklasifikasikan kondisi, pengobatan, serta akibat atau komplikasi dari penyakit ini, dipakai beberapa skala penilaian. Klasifikasi CEAP berdasarkan tanda-tanda klinis (Clinical), penyebab (Etiologic), Anatomic, dan Pathophysiology. Klasifikasi etiologi memisahkan penyakit berdasarkan sifat congenital, primer, atau sekunder. Anatomi berdasarkan vena yang terkena termasuk vena superfisial, profunda, atau perforantes. Sedang klasifikasi patofisiologi mengidentifikasikan refluks pada system-sistem superficial, communicantes, atau profunda, serta obstruksi outflow. Kekurangan utama

system ini adalah karena sifatnya yang statis, klasifikasi jenis ini sulit dipakai untuk menilai perubahan yang terjadi sebagai respons terhadap terapi ang telah diberikan.(R., 2012)

Patofisiologi Keadaan patologis pada vena muncul ketika terjadi peningkatan tekanan vena dan aliran balik darah terganggu akibat beberapa mekanisme. Gangguan pada vena ini dapat disebabkan oleh inkompeten katup dari vena superficial;maupun vena profunda, katup perforator yang inkompeten, obstruksi vena maupun kombinasi antara beberapa hal tersebut. Faktir-faktor terebut diperparah dengan adanya disfungsi dari pompa otot pada ekstrimitas bawah. Mekanisme ini yang menyebabkan terjadinya hipertensi vena saat berjalan maupun saat berdiri. Hipertensi vena yang tidak dikoreksi ini yang nantinya akan membuat perubahan kulit menjadi hiperpigmentasi, fibrosis jaringan subkutan dan juga dapat menyebabkan ulkus. Terdapat beberapa mekanisme yang memiliki kerterkaitan dengan kegagalan katup pada vena superficial. Hal yang paling sering terjadi adalah adanya kelainan kongenital yang menyebabkan kelemahan pada dinding katup vena yang berdilatasi sehingga menyebabkan tekanan rendah dan terjadilah gagal katup sekunder. Kelainan kongenital pada katup juga dapat menyebabkan inkompeten katup meski dalam keadaan tekanan darah yang rendah. Vena yang normal dan katup yang normal juga dapat membengkak akibat pengaruh hormon seperti hormon-hormon pada kehamilan. (R., 2012) Tekanan darah vena yang meningkat nantinya akan menyebabkan sindrom insufisiensi vena. Pada keadaan normal, terdapat dua mekanisme tubuh yang mencegah terjadinya hipertensi vena. Pertama, katup trikuspid pada vena mencegah aliran balik dan

perlekatan vena. Deep Vein Thrombosis sering kali menyumbat katup dan nantinya akan menyebakan kerusakan irrversibel pada katup. Kedua, dalam keadaan ambulasi yang nornal, otot betis menurunkan tekanan vena sebesar 70% pda ekstremitas bawah. Dengan istirahat, tekanan kembali menjadi normal selama 30 detik. Pada penyakit vena, dengan bergerak teknan vena hanya menurun sebesar 20%. Ketika ambulasi berhenti, tekanan pada lumen vena menurun secara perlahan dan kembali ke normal dalam beberapa menit. (R., 2012)

Manifestasi Klinis Gejala Insufisiensi vena kronik dapat meliputi : 

Bengkak di kaki atau pergelangan kaki



Kaki terasa berat atau pegal, panas dan gatal



Nyeri saat berjalan yang berhenti saat istirahat



Perubahan warna kulit



Varises



Ulkus kaki

Pemeriksaan Penunjang - Duplex Doppler ultrasonography Jenis prosedur USG yang dilakukan untuk menilai pembuluh darah, aliran darah serta struktur vena-vena kaki.(Krishnan & Nikholis, 2010) - Venogram Dilakukan dengan menggunakan x-ray dan intavena (IV) pewarna kontras untuk memvisualisasikan pembuluh darah. Pewarna kontras menyebabkan pembuluh darah muncul suram pada pencitraan x-Ray, yang memudahkan menvisualisasikan pembuluh darah yang di evaluasi(Krishnan & Nikholis, 2010) - Pletismografi vena Teknik pletismografi mendeteksi perubahan dalam volume darah vena di dalam tungkai. Obstruksi vena dan refluks katup mengubah pola normal pengisian dan pengosongan vena ke ekstremitas. Teknik pletismography yang umum mencangkup 1. Impendance plestimography

2.

Photopletismography.

Strain

gauge

pletismography

3.

Air

pletismography

4.

Penatalaksanaan Pengobatan insufisiensi vena kronis pada tungkai pada prinsipnya adalah usaha memperlancar aliran darah vena tungkai, yaitu dengan cara melakukan elevasi tungkai sesering mungkin, terutama setelah kegiatan berjalan-jalan, dimana elevasi dilakukan dalam posisi duduk atau berbaring dengan membuat posisi kaki setinggi dengan jantung. Dengan posisi tersebut aliran darah vena akan menjadi lancar dan dilatasi vena tungkai yang berkelok-kelok menjadi tampak mengempis dan melengkuk, pada posisi tersebut secara subjektif penderita akan merasa keluhannya berkurang dengan

cepat.

Beberapa

penetalaksanaan lain yang dapat dilakukan yaitu: a.

Kaus kaki kompresi membantu memperbaiki gejala dan keadaan hemodinamik dengan varises vena dan menghilangkan edema. Kaus kaki dengan tekanan 20-30 mmHg (grade II) memberikan hasil yang maksimal. Pada penelitian didapatkan sekitar 37-47 % pasien yang menggunakan kaus kaki kompresi selama 1 tahun setelah menderita DVT mencegah terjadi ulkus pada kaki. Kekurangan penggunaan kaos kaki adalah harga yang relative mahal, kurangnya pendidikan pasien, dan kosmetik yang kurang baik.

b. Medikamentosa, beberapa jenis obat dapat digunakan untuk mengobati insufisiensi vena kronis. Diuretik dapat digunakan untuk mengurangi pembengkakan. Pentoxifylline untuk meningkatkan aliran darah melalui pembuluh darah, dapat dikombinasikan dengan terapi kompresi untuk membantu menyembuhkan ulkus kaki. Terapi antikoagulan dapat direkomendasikan untuk orang-orang yang memiliki masalah belulang dengan pembuluh darah di kaki. c. Sclerotherapy, digunakan pada pasien dengan usia lanjut, Caranya dengan menginjeksi bahan kimia kedalam pembuluh darah sehingga tidak berfungsi lagi. Darah kemudian kembali ke jantung melalui vena lain dan tubuh menyerap pembuluh darah yang terluka. d. Operasi, pembedahan dapat digunakan untuk mengobati chronic venous insufficiency meliputi : 

Ligasi Vena yang rusak diikat sehingga darah tidak melewati vena tersebut. Jika vena atau katup rusak berat, pembuluh darah akan diangkat (vein stripping).



Surgical repair Vena atau katup diperbaiki dengan operasi, melalui sayatan terbuka atau dengan penggunaan kateter.



Vein Transplant

Mengganti pembuluh darah yang rusak dengan pembuluh darah sehat dari bagian tubuh yang lain. 

Subfascial endoscopic perforator surgery Prosedur invasive minimal dilakukan dengan endoskopi. Vena perforator dipotong dan diikat. Hal ini memungkinkan darah mengalir ke pembuluh darah yang sehat dan meningkatkan penyembuhan ulkus.

Komplikasi Lima sampai tujuh persen kasus mengalami cedera pada nervus cutaneus, keadaan ini sering bersifat sementara namun dapat bersifat permanen. Komplikasi berupa terjepitnya vena dan arteri femoral juga tidak dapat untuk dihindari. Hematome dan infeksi pada luka relatif sering terjadi ( sampai dengan 10%), dan terjadi gangguan dalam aktivitas dan bekerja sehari-hari. Pencegahan Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya IVK yaitu: 1. Hindari jangka waktu yang lama berdiri atau duduk 2. Elevasi kaki untuk mengurangi tekanan dalam pembuluh darah di kaki. 3. Berolahraga secara teratur. 4. Menurunkan berat badan 5. Stoking kompresi untuk memusatkan tekanan pada kaki dan membantu aliran darah. 6. Antibiotik jika diperlukan untuk mengobati infeksi kulit

ANEURISMA AORTA Definisi Aneurisma aorta adalah aneurisme yang melibatkan aorta dimana terjadi dilatasi abnormal dari arteri berupa pelebaran pembuluh darah. Faktor penyebab utamanya ialah kelainan dinding pembuluh akibat arteriosklerosis dan/atau hipertensi. Penyebab lain adalah sifilis, mikosis dan trauma. Aneurisma juga dapat timbul pasca stenosis dan secara kongenital. Aneurisma sering terjadi pada arteri dibasis otak, (circuss willis) dan diaorta. Beberapa tempat yang paling sering terjadi aneurisma antara lain: aorta (abdominalaneurysm dan thoracic aneurysm), otak (cerebral aneurysm), tungkai bawah (aneurysm arteri popliteal). Insiden Bisa terjadi pada siapa saja, tetapi sering pada laki – laki usia 40 – 70 tahun. Kejadian terbanyak pada usia 70 tahun. Di Amerika insiden penyakit inisekitar 2-4 % dari populasi penduduk. Epidemiologi Aneurisma aorta banyak ditemukan pada pada penduduk, asia, amerika. Angka kejadian bervariasi antara laki – laki dan perempuan, dan lebih banyak pada laki – laki dan perokok. Etiologi Aneurisma dapat terjadi sebagai kelainan kongenital atau akuisita. Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui. Tetapi terdapat factor resiko yang mendukung terjadinya penyakit ini : 1. Arterioslerosis 2. Kadar kolesterol yang tinggi 3. Diabetes 4. Perokok 5. Pengguna alcohol 6. Obesitas 7. Tekanan darah yang tinggi Patofisiologi Aneurisma terjadi karena pembuluh darah kekurangan elastin, kolagen dan matriks ekstraseluler yang menyebabkan melemahnya dinding aorta. Kekurangan komponen tersebut bisa diakibatkna oleh inflamasi (arterosklerosis). Sel radang pada dinding pembuluh darah yang mengalami aterosklerosis mengeluarkan matriks metalloproteinase. Matrik tersebut akan menghancurkan elastin dan kolagen sehingga persediaannya menjadi berkurang. Selain matriks metalloproteinase factor yang berperan terjadinya aneurisma adalah plasminogen activator dan serin elastase. Selain itu, interaksi dari banyak factor lain dapat menjadi predisposisi pembentukan aneurisma pada dinding aorta. Aliran turbulen pada daerah bifurkasio dapat ikut meningkatkaninsiden aneurisma ditempat – tempat tertentu. Suplai darah ke pembuluh darah melalui vasa vasorum diduga dapat terganggu pada usia lanjut, memperlemah tunika media dan menjadi factor predisposisi terbentuknya aneurisma. Apapun penyebabnya perkembangan aneurisma selalu progresif. Tegangan atau tekanan pada dinding berkaitan langsung dengan radius pembuluh darah dan tekanan intra arteri. Dengan melebar dan bertambahnya radius pembuluh darah, tekanan dinding juga meningkat sehingga menyebabkan dilatasi pembuluh darah

Manifestasi Klinis Aneurisma terbentuk secara perlahan selama beberapa tahun dan sering tanpa gejala. Jika aneurisma mengembang secara cepat, maka terjadi robekan (ruptur aneurisma), atau kebocoran darah disepanjang dinding pembuluh darah ( aortic dissection), gejala dapat muncul tiba-tiba. Klasifikasi : Berdasarkan lokasinya : 1. Aorta torakalis. Aneurisma di sini biasanya berbentuk fusiform dan kebanyakan disebabkan oleh arteriosklerosis. Kadang – kadang aneurisma aorta desendens menyebar ke aorta abdominalis dan disebut aneurisma torako abdominalis. Gambaran Klinisnya : kebanyakan tidak ber gejala dan diagnosis ditegakkan secara kebetulan saat dilakukan pemeriksaan foto polos toraks untuk keperluan lain. Tanda dan Gejala Klinisnya : tergantung dari besar dan letak aneurisma. Gejala dapat berupan nyeri retrosternal yang menjalar ke punggung, kerongkongan, atau lengan. Tergantung dari letaknya, dapat timbul sindrom vena cava superior, disfagia bila menekan esophagus, stridor atau dispnea bila menekan trakea atau bronkus utama dan suara parau bila menekan nerveous rikurens. Tanda klinis juga dapat berupa tanda penurunan aliran darah ke lengan kiri akibat obstruksi dari arteri subclavia sinistra atau sindrom curi subclavia. Khusus anurisma sifilis, kadang menyebabkan kerusakan sampai enembus dinding depat toraks dan sternum sehingga menimbulkan gejala tumor yang berdenyut didepan sternum. Hasil pemeriksaan nadi dan tekanan darah lengan kanan dan kiri mungkin berbeda. Kadang terdapat hipertensi. Diagnosis : diagnosis Aneurisma aorta torakalis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis, pemeriksaan laboratorium serologis untuk sifilis, dan pemeriksaan tambahan seperti foto polos toraks, ultrasonografi, dan aortografi. Foto polos toraks dapat memberikan informasi tentang letak, luas, dan ukurannya. Pada diagnosis banding dipikirkan tumor mediastinum. Penanggulangan dilakukan seperti pada aneurisma umumnya. 2. Aorta abdominalis. Aorta abdominalis merupakan bagian dari aorta yang sering mengalami aneurisma. Sebagian besar terjadi infrarenal dan sebagian kecil di suprarenal. Pada keadaan tertentu bagian proksimal meluas ke atas diafragma sampai ke aorta torakalis desendens dan untuk keadaan ini disebut aneurisma torakoabdominal. Etiologi dibagi menjadi 2 : a. Penyebab yang dapat dikontrol yaitu aneurisma aorta abdominalis adalah arteriosklerosis. Arteriosklerosis merusak tunika intima dan tunika media dinding aorta yang kemudian menyebabkan kelemahan dinding aorta yang akhirnya menyebabkan dilatasi bentuk fusiform. Peyebab lainnya, seperti sifilis, peradangan atau trauma. b. Penyebab yang tidak dapat dikontrol yaitu seperti penyakit genetic pada sindrom marfan. Gambaran Klinis: Kelainan ini biasanya tanpa keluhan, kecuali adanya massa di abdomen yang ditemukan secara kebetulan. Bila ada keluhan berupa nyeri pinggang intermiten dan terasa denyutan di abdomen. Nyeri ini sering disebabkan oleh rupture kecil atau kebocoran aneurisma di retroperitoneum yang menyebabkan perdarahan sedikit atau berangsur. Bila demikian, aneurisma dikelilingi oleh hematom besar yang mengandung banyak bekuan darah. Diagnosis: Ditegakkan berdasarkan keluhan, gejala klinis dan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan perut ditemukan massa yang berdenyut dan letaknya di tengah abdomen. Terdengar bising yang selaras dengan denyut jantung di atas massa tersebut.

3.

Pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu membuat diagnosis, kecuali untuk melihat kalsifikasi pada dinding aneurisme. Pemeriksaan penunjang yang perlu adalah ultrasonografi. USG untuk menentukan letak aneurisma, CT – scan untuk melihat rupture atau tidaknya. Toracoabdominalis aneurysm adalah aneurisma yang lokasinya pada aorta desenden yang secara bersamaan melibatkan aorta abdominalis. Etiologi : proses degenerative (degenerasi miksomatosa). Penyebab lainnya yaitu diseksi, marfan syndrome dan trauma. Gambaran klinisnya : pasien aneurisma toracoabdominalis tidak mengeluhkan gejala. Pasien yang mengeluhkan gejala mungkin karena telah mengalami rupture. Gejala tersering adalah nyeri punggung terlokalisasi. Diagnosis : pemeriksaan foto rontgen akan memperlihatkan pelebaran dari bayangan aorta torakalis. Pemeriksaan artografi

Gambaran Klinis dan Diagnosis Tanda dan gejala klinis suatu aneurisma tergantung dari letak dan besarnya gelembung. Tanda subjektif maupun objektif berupa tumor dan pembuluh darah yang berdenyut ekspansif kesegala jurusan. Pada auskultasi terdengar bising yang sering dapat diraba sebagai getaran. Pemeriksaan penunjang ultrasonografi dan arteriografidapat memberikan diagnosis pasti. Diagnosis Banding Aneurisma arteri harus dibedakan dengan tumor jaringan lunak di dekat arteri, pemanjangan abnormal pembuluh darah, dan fistel arteri vena. Komplikasi Komplikasi aneurisma dapat berupa rupture atau emboli. Rupture aneurisma aorta abdominalis tidak jarang terjadi. Emboli yang berasal dari thrombus di dalam anerurisma dapat menyebabkan obstruksi arteri di ekstremitas maupun alat dalaman. Penanganan 1. Bedah elektif . Keputusan untuk melakukan operasi pada pasien aneurisma asimptomatik bergantung dari resiko aneurisma tersebut mengalami rupture. Pembedahan elektif dilakukan bila diameter >50 mm. 2. Bedah darurat Pasien dengan dugaan rupture aneurisma perlu dipertimbangkan dilakukan bedah darurat. Beberapa factor resiko yang dapat menyebabkan kematian selama pembedahan adalah usia >80 tahun, kesadaran menurun, konsentrasi Hb rendah, cardiac arrest. 3. Bedah konvensional Bedah konvensional adalahdengan menggunakan graft prosthetic. Pemasangan graft dinilai efektif, dan kematian 30 harinya hanya 5%. Resiko kematian pasca pemasangan graft bergantung dari status kesehatan pasien. 4. Endovascular stent atau endoprotesis Merupakan alat yang dimasukkan secara endovascular melalui arteri femoralis. Endoprotesis ini seperti selang yang diameternya dapat dibuat sedemikian rupa hingga menyerupai diameter arteri normal. Dengan adanya selang ini darah hanya mengalir melalui selang tersebut, tidak lagi melalui kantung aneurisma. Akibatnya resiko

thrombosis dan rupture berkurang. Untuk menjaga agar diameter selang tidak berubah maka pada selang digunakan stent.

Prognosis A. Kelangsungan hidup Mortalitas telah open elective atau endovascular repair adalah 1 – 5 %. Pada umumnya pasien dengan aneurisma aorta yang lebih besar dari 5 cm mempunyai kemungkinan tiga kali lebih esar untuk meninggal sebagai konsekuensi dari rupture dibandingkan dari reseksi bedah. Survival rate 5 tahun setelah tindakan bedah adalah 60 – 80 %. 5 – 10% pasien akan mengalami aneurisma lainnya berdekatan dengan graft. B. Kelangsungan organ Biasanya baik jika perbaikan dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman sebelum rupture. Kurang dari 50% dari pasien bertahan dari rupture aneurisma abdominal.

VARISES

Definisi Varises vena tungkai bawah (VVTB) adalah vena superfisial tungkai bawah yang mengalami dilatasi, pemanjangan, dan berkelok-kelok dengan fungsi katup yang abnormal.

Epidemiologi Varises vena tungkai bawah lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Prevalensi VVTB di populasi barat usia lebih dari 15 tahun adalah 10-15% pada pria dan 20-25% pada wanita. Prevalensi di Amerika Serikat adalah 15% pada pria dan 27,7% pada wanita. Dilaporkan VVTB lebih tinggi pada ras Hispanik (26,3%) dibandingkan dengan ras Asia (18,7%). Dari penelitian Hirai dkk di Jepang didapatkan sebanyak 42% pasien VVTB dengan adanya riwayat keluarga dan sebanyak 14% pada pasien VVTB tanpa riwayat keluarga. Insiden VVTB meningkat seiring bertambahnya usia. Menurut penelitian yang dilakukan di Inggris, prevalensi pada penderita usia 40 tahun adalah 22% sedangkan pada usia 50 tahun adalah 35% dan pada usia 60 tahun adalah 41%.17 Di Indonesia, belum ada angka yang pasti mengenai insiden terjadinya VVTB. Patogenesis dan Patofisiologi Patofisiologi terjadi VVTB pada dasarnya dibagi menjadi 4 faktor yang dapat saling tumpang tindih yaitu: 1) Peningkatan tekanan vena profunda 2) Inkompetensi katup primer 3) Inkompetensi katup sekunder 4) Kelemahan fasia Keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan peningkatan tekanan vena profunda adalah peningkatan tekanan intra abdomen (keganasan abdominal, ascites, kehamilan), inkompetensi safenofemoral, inkompetensi katup vv perforantes, obstruksi vena intraluminal. Kembalinya darah yang efisien ke jantung tergantung pada fungsi sistem vena profunda. Jika otot tungkai berkontraksi, darah seolah-olah diperas dari sinusoid vena otot dan vena disekitarnya sehingga terjadi peningkatan vena profunda. Kontraksi otot-otot betis bisa menyebabkan tekanan vena profunda meningkat sampai 200 ml Hg atau lebih. Bila terjadi inkompetensi katup, maka tekanan tersebut dapat menyebabkan aliran darah berbalik dari vv

profunda ke vv superfisial, sehingga setiap gerakan otot akan semakin menambah jumlah darah kearah v. profunda dan v. superfisial, akibatnya terjadi peningkatan tekanan vena dan gangguan mikrosirkulasi. Hipertensi vena kronis pada tungkai menyebabkan aliran tidak beraturan hingga terjadi dilatasi vena dan inkompetensi katup lebih lanjut. Katup yang lemah atau tidak berfungsi dapat merupakan faktor pencetus yang mengubah haemodinamik vena sehingga terjadi VVTB. Inkompetensi katup primer dapat terjadi karena kerusakan katup yang menetap, misal destruksi atau agenesis katup. Inkompetensi katup sekunder merupakan penyebab tersering VVTB, katup tersebut dapat normal tetapi menjadi inkompeten akibat pelebaran dinding vena atau karena destruksi paska trombosis vena profunda.Vena safena magna dan cabangcabangnya merupakan tempat yang paling sering mengalami varises, sebab dinding vena superficial ini lemah. Vena safena magna hanya mempunyai sedikit jaringan penyangga berupa jaringan ikat, lemak subkutis, dan kulit sehingga tidak mampu menahan tekanan hidrostatik yang tinggi akibat gaya gravitasi.

Klasifikasi Varises vena tungkai bawah terdiri dari varises primer dan varises sekunder. Varises primer merupakan jenis terbanyak (85%). Penyebabnya tidak diketahui secara pasti, hanya diduga karena kelemahan dinding vena sehingga terjadi pelebaran. Kegagalan katup disebabkan oleh pelebaran yang terjadi, bukan sebaliknya. Clark dkktelah membuktikan dengan penelitian prospektif bahwa elastisitas dinding vena tungkai orang normal lebih tinggi daripada penderita VVTB. Psaila dan Melhuish menemukan kadar kolagen (hidroksiprolen) dinding vena orang normal lebih tinggi daripada penderita VVTB. Kedua kelompok peneliti tersebut menyimpulkan, pada varises primer terjadi perubahan struktur dinding vena yang menyebabkan kelemahannya. Varises sekunder disebabkan oleh peninggian tekanan vena superfisial akibat suatu kelainan tertentu. Kelainan tersebut berupa sindrom paska flebitis (kegagalan vena menahun), fistula arteri vena, sumbatan vena profunda karena tumor atau trauma serta anomali vena profunda atau vena perforantes. Artinya varises sekunder diawali oleh kegagalan vena perforantes akibat kelainan-kelainan tersebut di atas. Menurut klasifikasi Clinical, Etiological, Anatomic, Pathophysiologic (CEAP) VVTB dibagi berdasarkan berat ringan manifestasi klinisnya, yaitu : 1. Derajat 0 : tidak terlihat atau teraba tanda gangguan vena

2. Derajat 1 : telangiektasis, vena retikular 3. Derajat 2 : varises vena 4. Derajat 3 : edem tanpa perubahan kulit 5. Derajat 4 : perubahan kulit akibat gangguan vena (pigmentasi, dermatitis statis, lipodermatosklerosis) 6. Derajat 5 : perubahan kulit seperti di atas dengan ulkus yang sudah sembuh 7. Derajat 6 : perubahan kulit seperti di atas dengan ulkus aktif Gambaran Klinis Gejala Klinis VVTB timbul akibat adanya hipertensi vena baik karena obstruksi, refluks atau kombinasi keduanya. Secara klinis VVTB dikelompokkan berdasarkan jenisnya, yaitu : 1) Varises trunkal Merupakan varises VSM dan VSP, diameter lebih dari 8 mm, warna biru-biru kehijauan. 2) Varises retikular Varises yang mengenai cabang VSM atau VSP yang umumnya kecil dan berkelokkelok, diameter 2-8 mm, warna biru kehijau-hijauan. 3) Varises kapiler Merupakan vena subkutis yang tampak sebagai kelompok serabut halus dari pembuluh darah, diameter 0,1-1 mm, warna merah, atau sianotik (jarang). Sesuai dengan berat ringannya, VVTB dibagi atas empat stadium, yaitu : 1. Stadium I Keluhan samar (tidak khas) rasa berat, mudah lelah pada tungkai setelah berdiri atau duduk lama. Gambaran pelebaran vena berwarna kebiruan tak jelas 2. Stadium II Mulai tampak pelebaran vena, palpabel, dan menonjol 3. Stadium III Varises tampak jelas, memanjang, berkelok-kelok pada paha atau tungkai bawah, dapat disertai telangiektasis/spider vein 4. Stadium IV Terjadi kelainan kulit dan/atau ulkus karena sindrom insufisiensi vena menahun Diagnosis

Sebelum melakukan pemeriksaan khusus pada penderita VVTB, pemeriksaan klinis tetap merupakan dasar penilaian medis. Evaluasi penderita VVTB dimulai dengan riwayat penyakitnya, meskipun saat ini teknologi dalam menentukan diagnosis kelainan vena sudah berkembang pesat. a.

Anamnesis Secara garis besar, anamnesis yang penting ditanyakan antara lain: 1) Keluhan penderita Terdiri atas keluhan rasa berat, rasa lelah, rasa nyeri, rasa panas / sensasi terbakar

pada tungkai, kejang otot betis, bengkak serta keluhan kosmetik. Keluhan biasanya berkurang dengan elevasi tungkai, untuk berjalan atau pemakaian bebat elastik dan makin bertambah setelah berdiri lama, selama kehamilan, menstruasi, atau pengobatan hormonal. 2) Gejala dan perkembangan lesi adalah faktor penting yang perlu dipertimbangkan untuk mengetahui keparahan penyakit dan perencanaan pengelolaan 3) Faktor predisposisi 4) Riwayat penyakit sistemik, pengobatan, dan tindakan medis/pembedahan sebelumnya b.

Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik sistem vena cukup sulit. Di sebagian besar wilayah tubuh, sistem

vena profunda tidak dapat dilakukan inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. Pemeriksaan sistem venasuperfisial harus berfungsi sebagai panduan langsung ke sistem vena profunda. 1) Inspeksi Inspeksi tungkai dilakukan di bawah penyinaran yang cukup pada posisi eksorotasi tungkai dan pemeriksaan pada tungkai yang abduksi dari arah belakang akan membantu visualisasi VVTB. Perlu diperhatikan tanda kronisitas dan kelainan kulit seperti talengiektasis, dermatitis statis, edem, perdarahan, ulkus. Vena yang mengalami VVTB diperhatikan apakah vena superfisial utama (VSM dan VSP) atau cabangnya. Biasanya vena tersebut tampak jelas melebar, berkelok-kelok, dan berwarna kebiruan. Varises vena tungkai bawah pada cabang vena superfisial biasanya lebih berkelok-kelok dibanding pada vena superfisial utama. 2) Palpasi Daerah vena yang berkelok diraba untuk menilai ketegangan VVTB dan besarnya pelebaran vena. Pulsasi arteri harus teraba, bila tidak teraba maka harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada obstruksi arteri. Distribusi anatomi VVTB perlu digambarkan dengan jelas.

3) Perkusi Perkusi dilakukan untuk mengetahui keadaan katup vena superfisial. Caranya dengan mengetuk vena bagian distal dan dirasakan adanya gelombang yang menjalar sepanjang vena di bagian proksimal. 4) Manuver Perthes Manuver Perthes adalah sebuah teknik untuk membedakan antara aliran darah retrogade dengan aliran darah antegrade. Tes ini digunakan untuk penentuan berfungsinya sistem vena profunda. Penderita berdiri beberapa saat lalu dipasang ikatan elastis di bawah lutut untuk membendung vena superfisial. Kemudian penderita melakukan gerakan berjingkat beberapa kali agar otot-otot betis berkontraksi sehingga darah dipompa dari sinusoid vena otot dan vena sekitarnya. Bila vena yang terletak di distal dari ikatan kempis / kosong berarti katup-katup vena perforantes dan vena profunda berfungsi baik dan tidak ada sumbatan. Sebaliknya bila vena superfisial bertambah lebar berarti katup-katup tersebut mengalami kegagalan atau terdapat sumbatan pada vena profundal. 5) Tes Trendelenburg Tes ini digunakan untuk menentukan derajat insuffisiensi katup pada vena komunikans. Mula-mula penderitaberbaring dengan tungkai yang akan diperiksa ditinggikan 30°-45° selama beberapa menit untuk mengosongkan vena. Setelah itu dipasang ikatan yang terbuat dari bahan elastis di paha, tepat di bawah percabangan safenofemoral untuk membendung vena superfisial setinggi mungkin. Kemudian penderita berdiri dan pengisian vena diperhatikan. Bila vena lambat sekali terisi ke proksimal, berarti katup komunikans baik. Vena terisi darah dari peredaran darah kulit dan subkutis. Bila vena cepat terisi misalnya dalam waktu 30 detik, berarti terdapat insuffisiensi katup komunikans. Uji Trendelenburg positif berarti terdapat pengisian vena safena yang patologis. c.

Pemeriksaan Penunjang 1. Ultrasonografi Doppler Beberapa pemeriksaan seperti Tes Trendelenburg dan Tes Perthes dapat

memperkirakan derajat dan ketinggian lokasi inkompetensi katup vena, namun ultrasonografi doppler dapat menunjukkan dengan tepat lokasi katup yang abnormal. 2. Duplex ultrasonography Merupakan modalitas pencitraan standar untuk diagnosis sindrom insuffisiensi vena dan untuk perencanaan pengobatan serta pemetaan sebelum operasi. Duplexultrasonography adalah kombinasi dari pencitraan model B dan Doppler. Pencitraan model B menggunakan tranduser gelombang ultra yang ditempelkan pada kulit sebagai sumber dan detektor.

Pantulan gelombang suara yang terjadi dapat memberikan citra struktur anatomi, dan pergerakan struktur tersebut dapat dideteksi dalam bentuk bayangan. 3. Plebography Plebography merupakan pemeriksaan invasif yang menggunakan medium kontras. Terdapat 4 teknik pemeriksaan yaitu : ascending, descending, intra osseus, dan varicography. Pemeriksaan ini untuk mengetahui adanya sumbatan dan menunjukkan vena yang melebar, berkelok-kelok serta katup yang rusak. Plebography juga dapat menunjukkan kekambuhan VVTB paska operasi yang sering disebabkan oleh kelainan vena perforantes di daerah kanalis Hunter di paha.

Penatalaksanaan Penanganan VVTB dapat berupa konservatif (non bedah) dan/atau pembedahan, tergantung keadaan penderita serta berat ringannya penyakit. Penanganan ditujukan bukan hanya untuk menghilangkan keluhan, memperbaiki fungsi vena, perbaikan kosmetik, dan mencegah komplikasi, tetapi juga untuk memperbaiki kualitas hidup penderita. a.

Terapi Kompresi

Dasar penanganan terhadap insufisiensi vena adalah terapi kompresi. Cara ini berfungsi sebagai katup vena yang membantu pompa otot betis untuk mencegah kembalinya aliran darah vena, edem kaki, dan bocornya bahan fibrin sehingga mencegah pembesaran vena lebih lanjut, tetapi tidak mengembalikan ukuran vena. Terapi kompresi dapat berupa compression stockings, compression bandages, dan pneumatic compression pumps. Menurut klasifikasi European Standardization Commission, Compression stockings (CS) dibagi berdasarkan tekanan terhadap pergelangan kaki menjadi 4 kategori. CS dengan tekanan 16-20 mmHg pada thrombosis prophylaxis. CS dengan tekanan 21-30 mmHg pada VVTB simtomatis post-skleroterapi, kehamilan. CS dengan tekanan 31-40 mmHg pada post-trombotic syndrome. Sedangkan CS dengan tekanan > 40 mmHgpada phlebolimpoedem.CS digunakan sepanjang hari kecuali penderita tidur dan pemakaiannya harus tepat dari telapak kaki sampai bawah lutut. b. Skleroterapi Merupakan tindakan penyuntikan larutan ke dalam pembuluh darah vena yang melebar secara abnormal atau yang mengganggu secara kosmetik. Terapi ini juga akan menghilangkan keluhan nyeri dan rasa tidak nyaman serta mencegah komplikasi seperti phlebitis yang kambuhan dan ulserasi.

Penyuntikan larutan (sklerosan) ke dalam vena menyebabkan iritasi tunika intima dan merusak lapisan endotel, sehingga menyebabkan trombosis, endosklerosis, dan fibrosis pembuluh darah yang selanjutnya diserap oleh jaringan sekitarnya tanpa terjadi rekanalisasi. Sklerosan dapat digolongkan dalam 3 jenis, yaitu : larutan deterjen (polidokanol), larutan osmotik/hipertonik (larutan garam hipertonik atau kombinasi dengan gula hipertonik), iritan kimia (polyiodide iodide). Skleroterapi dilakukan untuk telangiektasis, varises retikular, varises persisten atau rekuren paska bedah serta varises pada penderita lanjut usia. Kontra indikasi skleroterapi pada VVTB adalah obstruksi berat pada tungkai, riwayat trombosis vena profunda, penyakit pembekuan darah. Sedangkan kontra indikasi relatif adalah kehamilan, penderita imobilisasi, diabetes, obesitas, urtikaria, dan dugaan alergi terhadap sklerosan. Efek samping yang mungkin timbul adalah urtikaria, hiperpigmentasi, dermatitis kontak, folikulitis, telangiektasis,lepuh, erosi, memar di sekitar suntikan, dan rasa nyeri. Komplikasi yang lebih serius tetapi jarang adalah nekrosis kulit, ulkus, mikrotrombus, hematom intravaskular, tromboplebitis superfisialis, trombosis vena profunda dengan emboli paru, anafilaksis. c.

Terapi Pembedahan

Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita VVTB dengan varises ukuran besar, varises pada tungkai atas sisi medial atau anterior, adanya komplikasi statis (pigmentasi, dermatitis, ulkus), simtomatik, dan insufisiensi perforantes. Tujuan metode pembedahan adalah untuk menghilangkan gejala, mengurangi atau mencegah komplikasi, memulihkan fisiologi vena, dan memperbaiki penampilan (kosmetik). Kontraindikasi tindakan pembedahan adalah usia lanjut atau keadaan umum buruk, berat badan berlebihan, tromboflebitis aktif, tukak vena terinfeksi, kehamilan, sumbatan arteri menahun pada tungkai bersangkutan, dan tumor besar intra abdomen. Komplikasi tindak bedah pada VVTB adalah perdarahan, infeksi, edema tungkai, kerusakan saraf kulit (n. safena atau n. suralis), limfokel, dan trombosis vena profunda. Infeksi berat dapat terjadi pada bekas saluran ”stripper”. Untuk mencegah edem tungkai dianjurkan memakai kaos kaki elastis selama dua bulan pasca bedah. Limfokel terbentuk karena saluran limfe terpotong saatoperasi, pengobatannya cukup dengan aspirasi. Trombosis vena dalam dapat berakibat fatal. d.

Laser Therapy

Endovenous laser therapy (ELT) adalah terapi untuk VVTB dimana serat optik dimasukkan ke dalam pembuluh darah yang akan diobati dan sinar laser (biasanya di bagian

inframerah dari spektrum) diarahkan ke bagian dalam pembuluh darah. Terapi ini lebih tidak menyakitkan dibanding vein ligation and stripping, Kontraindikasi ELT adalah pasien yang sedang hamil atau menyusui, sistem vena dalam tidak memadai untuk mendukung aliran balik vena setelah terapi, disfungsi hati atau alergi yang mustahil menggunakan anestesi lokal, sindrom hiperkoagulabilitas berat, refluks vena skiatik, Komplikasi yang dapat timbul adalah perforasi vena, deep vein thrombosis, echymoses, hiperpigmentasi, dan reaksi alergi.

Komplikasi Hipertensi vena persisten akan mempengaruhi fungsi kapiler, tekanan trans mural dan intra mural meningkat, mendorong cairan, elektrolit dan eritrosit keluar memasuki jaringan sehingga terjadi edem dan hiperpigmentasi. Kapiler mengalami dilatasi dan penurunan kecepatan aliran darah, hal ini mempengaruhi adhesi leukosit (neutrofil) pada mikrosirkulasi dan venula post kapiler, akibatnya leukosit akan terperangkap pada endotel dan teraktivasi sehingga melepaskan radikal bebas, enzim proteolitik dan sitokin, di samping itu fibrin perikapiler akan menjadi barier terhadap difusioksigen dan nutrisi lain. Semua keadaan ini menyebabkan kerusakan jaringan berupa hipoksia, iskhemi, nekrosis lemak, pigmentasi kulit, dan ulkus.

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Varises Vena Tungkai Bawah Faktor-faktor yang diduga berperan serta dapat mempengaruhi timbulnya VVTB, antara lain: 1) Riwayat keluarga Ditunjukkan dengan terjadinya penyakit yang sama pada beberapa anggota keluarga dan gambaran VVTB pada usia remaja. 2) Usia Seiring bertambahnya usia insiden VVTB akan meningkat. Dinding vena menjadi lemah karena lamina elastis menjadi tipis dan atrofik bersama dengan adanya degenerasi otot polos. Disamping itu akan terdapat atrofi otot betis sehingga tonus otot menurun. 3) Overweight/obesitas Resiko terkena VVTB lebih tinggi pada seseorang dengan BMI (Body Mass Index) yang tinggi dibanding seseorang dengan usia yang sama dengan berat badan sesuai. Terdapat hipotesis yang menyatakan hal ini dihubungkan dengan tekanan hidrostatik yang meningkat akibat peningkatan volume darah serta kecenderungan jeleknya struktur penyangga vena.

4) Multiparitas kehamilan Pengaruh hormonal, peningkatan volume darah, dan obstruksi akibat pembesaran uterus merupakan penyebab VVTB pada kehamilan, namun VVTB akan mengalami perbaikan 3-12 bulan setelah melahirkan. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa terjadi prevalensi VVTB yang lebih tinggi pada penderita dengan kehamilan lebih dari dua kali. 5) Faktor hormonal Estrogen menyebabkan relaksasi otot polos dan perlunakan jaringan kolagen sehingga meningkatkan distensibilitas vena. Selain itu dapat meningkatkan permeabilitas kapiler dan edem. Progesteron menyebabkan penurunan tonus vena dan peningkatan kapasitas vena sehingga dapat menginduksi terjadinya stasis vena, hal ini disebabkan karena adanya hambatan pada aktomiosin kontraktil dinding vena. Hal ini dapat dilihat pada penderita yang mendapat terapi hormonal atau pada siklus menstruasi. 6) Faktor berdiri lama Peningkatan tekanan hidrostatik kronis pada pekerjaan yang membutuhkan berdiri lama juga berperan dalam menimbulkan VVTB. Pada posisi tersebut tekanan vena menjadi 10 kali lebih besar, sehingga vena akan teregang di luar batas kemampuan elastisitasnya sehingga terjadi inkompetensi pada katup. 7) Pemakaian pelindung kaki Pemakaian pelindung kaki antara lain seperti kaos kaki, compression stocking saat maupun setelah melakukan aktivitas pekerjaan dapat mencegah terjadinya VVTB. 8) Elevasi tungkai Tungkai dinaikkan (15-20 cm) saat tidur dapat mencegah terjadinya VVTB. 9) Merokok Jangka panjang merokok memiliki efek yang merugikan pada sistem vena. Pada perokok, modifikasi kimia diduga terjadi pada endothelium vena. Modifikasi ini dapat menyebabkan peningkatan tonisitas vasomotor dan proliferasi otot polos. Reaksi ini bisa menjelaskan perubahan dalam dinding vena yang menyebabkan terjadinya VVTB. 10) Konsumsi alkohol Pada studi kasus yang dilakukan di Perancis, penyalahgunaan alkohol mengindikasikan risiko yang lebih tinggi insufisiensi vena tungkai bawah. Alkohol menyebabkan vasodilatasi segera dan penurunan tekanan darah yang diikuti oleh rebound elevasi tekanan darah.

Related Documents

Lap
October 2019 75
Apakah Varises Itu
June 2020 20
Lap Trinh
June 2020 25
Lap Penjuln.xlsx
November 2019 34
Lap 5
May 2020 15

More Documents from ""

Aps.docx
May 2020 16
Bedah Obstetri
August 2019 50
Syok Distributif
August 2019 42