BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pajak 2.1.1
Definisi Pajak Definisi pajak menurut Undang-Undang KUP No.28 Tahun 2007 menyatakan:
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Menurut Rochmat Soemitro (Mardiasmo, 2008:1), pajak didefinisikan sebagai berikut:“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidk mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Menurut S. I. Djajadiningrat (Siti Resmi, 2013), menyatakan bahwa: “Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan kepada negara disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum.” Menurut N. J. Feldman, pajak didefinisikan sebagai berikut: “Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut normanorma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum” Pajak dapat didefinisikan sebagai konstribusi wajib kepada negara sebagai sebuah entitas atau pribadi yang ditegakkan dibawah direktorat tertentu. Pembayar pajak tidak akan mendapatkan penghargaan atau keuntungan secara langsung dan pembayaran pajak tersebut akan digunakan untuk kegiatan finansial pemerintah dan untuk mendapatkan fasilitas umum. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan kewajiban yang dikenakan kepada orang atau badan yang telah memenuhi
persyaratan kepada suatu negara dengan tujuan untuk memenuhi kepentingan maupun kesejahteraan masyarakat luas. 2.1.2
Fungsi Pajak Menurut Siti Resmi (2013), pajak memiliki beberapa fungsi, yaitu: 1. Fungsi Budgeter (Sumber Keuangan Negara) Pajak memiliki fungsi budgeter sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya baik pengeluaran secara rutin maupun pengeluaran untuk pembangunan. Dalam pajak sebagai sumber keuangan negara, maka pemerintah terus berupaya dalam memaksimalkan penerimaan negara. Jadi, pajak merupakan sektor penerimaan negara yang penting karena dengan pajak inilah negara (pemerintah) dapat membiayai pengeluaranpengeluaran umum yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat, sehingga besar kecilnya penerimaan negara ditentukan oleh besar kecilnya penerimaan dari sektor pajak.
2. Fungsi Regularend (Fungsi Pengatur) Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur dan melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar sektor keuangan. 2.1.3
Sistem Pemungutan Pajak Menurut Siti Resmi (2013), terdapat tiga sistem pemungutan pajak, yaitu: a. Official Assessment System Merupakan suatu sistem pemungutan yang memberikan kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, wajib pajak bersifat pasif sedagkan fiskus bersifat aktif. Menurut sistem ini pula utang pajak timbul apabila telah ada ketetapan fiskus dan pajak. b. Self Assesment System
Merupakan suatu sistem pemungutan pajak dimana wajib pajak harus menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan jumlah pajak yang terutang. Aparat pajak (fiskus) hanya bertugas melakukan penyuluhan dan pengawasan untuk mengetahui kepatuhan wajib pajak. Oleh karena itu apabila dihubungkan dengan ajaran timbulnya utang pajak, maka sistem ini sesuai dengan timbulnya utang pajak menurut ajaran materiil, artinya utang pajak timbul apabila terdapat penyebab yang menimbulkan utang pajak. c. With Holding System Merupakan sistem pemungutan pajak dimana besarnya pajak terutang dihitung dan dipotong oleh pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud disini antara lain pemberi kerja dan bendaharawan pemerintah. 2.2 Pergeseran Laba 2.3 Asset Tidak Berwujud OECD (2010) menyatakan bahwa intangible property yang dimiliki oleh industri yaitu paten, merek dagang, nama dagang, desain, dan model. Hal ini mencakup literatur atau sastra dan hak atas kepemilikan artistic dan hak kekayaan intelektual. Pada kasus ini, aset tidak berwujud yang memiliki harga jual yaitu marketing intangible dan perdagangan aset tidak berwujud itu sendiri. Aset tersebut memiliki nilai secara substansi bagi perusahaan. Aset tidak berwujud menjadi satu dari beberapa kunci terpenting terhadap transaksi pada entitas berhubungan terutama pada perusahaan multinasional. Grup tersebut dapat mendistribusikan aset tidak berwujud mereka kepada anggota perusahaan yang berada pada negara bertarif pajak rendah, kemudian menerima pembayaran royalti dari perusahaan yang berada pada negara bertarif pajak tinggi (Dudar dkk, 2015). Financial Reporting Standard 138 mendefinisikan aset tidak berwujud sebagai aset non-moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak memiliki wujud fisik. Aset tersebut dimiliki dan dikendalikan oleh perusahaan sebagai hasil dari peristiwa masa lalu dan diharapkan menghasilkan keuntungan ekonomis di masa depan (Ng, 1999).
Aset tidak berwujud dapat digolongkan menjadi aset tidak berwujud yang dapat diidentifikasi (identifiable intangible asset) dan aset tidak berwujud yang tidak teridentifikasi (unidentifiable intangible asset). Aset tidak berwujud yang dapat diidentifikasi merupakan aset tidak berwujud yang dapat diidentifikasi terpisah dan dikaitkan dengan hak tertentu atau keistimewaan selama periode manfaat yang terbatas. Sedangkan aset tidak berwujud yang tidak dapat diidentifikasi merupakan aset yang dapat dikembangkan secara internal atau dibeli namun tidak dapat diidentifikasi dan seringkali memiliki masa manfaat yang tak terhingga, seperti kegiatan penelitian dan pengembangan, iklan, goodwill, inovasi produk, dan lain-lain (Wild, Subramanyam dan Halsey 2004). Menurut PSAK No. 19 (penyesuaian 2015), pengakuan aset tidak berwujud dapat dilakukan jika kemungkinan besar perusahaan akan memperoleh manfaat ekonomi masa depan dari aset tersebut dan biaya perolehan aset dapat diukur dengan jelas). Aset tidak berwujud dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut: 1
Pembelian tunai biaya perolehan aset tidak berwujud terdiri atas harga beli, termasuk bea masuk (impor), pajak yang sifatnya tidak dapat direstitusi (non-refundable) dan semua pengeluaran yang dapat dikaitkan langsung dalam mempersiapkan aset tersebut sehingga siap digunakan sesuai dengan tujuan.
2
Pembelian angsuran aset tidak berwujud yang dibeli secara kredit, biaya perolehannya sebesar nilai tunainya. Selisih antara jumlah pembayaran dengan nilai tunai dicatat sebagai beban bunga ditangguhkan.
3
Pertukaran aset tak berwujud yang diperoleh melalui pertukaran aset sejenis atau pertukaran aset tidak sejenis. Biaya perolehan aset tidak berwujud diukur sebesar nilai wajar aset yang diterima, yang sama dengan nilai wajar aset yang diserahkan setelah diperhitungkan jumlah uang tunai atau kas yang diserahkan.
4
Ditukar dengan instrumen ekuitas perusahaan aset tidak berwujud yang diperoleh dengan menukarnya dengan instrumen perusahaan pelapor, biaya perolehannya adalah nilai wajar instrumen yang diterbitkan yaitu sama dengan nilai wajar aset.
5
Aset tidak berwujud yang dihasilkan secara internal digunakan dalam menentukan apakah suatu aset tidak berwujud yang dihasilkan secara internal memenuhi syarat untuk diakui, entitas menggolongkan proses dihasilkannya aset tidak berwujud
menjadi dua tahap yaitu tahap penelitian (riset) dan tahap pengembangan. Jika entitas tidak dapat membedakan antara 17 tahap riset dan tahap pengembangan pada suatu proyek
internal
untuk
menghasilkan
aset
tidak
berwujud,
maka
entitas
memperlakukan pengeluaran untuk proyek itu seolah-olah sebagai pengeluaran yang terjadinya hanya pada tahap riset saja. Aset tidak berwujud merupakan hak, keistimewaan, dan manfaat kepemilikan atau pengendalian. Dua karakteristik umum aset tidak berwujud adalah tingginya ketidakpastian masa manfaat dan tidak adanya wujud fisik. Goodwill, paten, hak cipta, merek, sewa, pemegang hak sewa, lisensi, franchises, formula khusus, teknologi, penelitian dan pengembangan merupakan contoh aset tidak berwujud. Aset tidak berwujud sering kali tidak dapat dipisahkan dari suatu perusahaan atau segmennya, masa manfaat yang tidak terhingga, dan mengalami perubahan penilaian yang besar (Subramanyam dan Wild, 2008).
Daftar Pustaka Deanti, L. R. (2017). PENGARUH PAJAK, INTANGIBLE ASSETS, LEVERAGE, PROFITABILITAS, DAN TUNELLING INCENTIVE TERHADAP KEPUTUSAN TRANSFER PRICING PERUSAHAAN MULTINASIONAL INDONESIA. Pajak pada intangible assets, 43-49. Fadhilah, M. A. (2018). PENGARUH PAJAK DAN INTANGIBLE ASSETS TERHADAP MOTIVASI PERUSAHAAN MELAKUKAN TRANSFER PRICING. Pajak dan intangible assets, 38-40.