Landasan Filosofis Pendidikan Damai

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Landasan Filosofis Pendidikan Damai as PDF for free.

More details

  • Words: 2,389
  • Pages: 6
Landasan Filosofis Misi universal Islam adalah membawa rahmat bagi sekalian alam (al-Anbiya`: 107). Rahmat yang dijanjikan Islam ini bermakna adanya kedamaian yang memiliki dua implikasi. Pertama, kedamaian bukanlah sesuatu yang hadir tanpa keterlibatan manusia. Ia akan menjadi realita kehidupan kalau manusia berperan aktif dalam mengaktualisasikan cita-cita Islam ini. Kedua, kehidupan damai menurut Islam terbuka kepada semua individu, komunitas, ras, pemeluk agama, dan bangsa yang mendambakannya. Nuansa kedamaian universal ini lebih jelas jika dipahami dalam konteks definisi damai. Para ahli dan praktisi conflict resolution (resolusi konflik) memahami damai bukan hanya bebas dari peperangan (absence of war) tapi mencakup adanya keadilan ekonomi, sosial, dan budaya, serta bebas dari diskriminasi ras, kelas, jenis kelamin, dan agama. Pemaknaan kontemporer ini sesuai dengan pemahaman Islam, meskipun Islam memiliki konsep yang lebih holistik dan komprehensif. Islam melihat damai dalam empat hubungan yang saling terkait: (1) damai dalam konteks hubungan dengan Allah sebagai Pencipta, yaitu kedamaian yang terwujud karena manusia hidup sesuai dengan prinsip penciptaannya yang fitri; (2) damai dengan diri sendiri lahir jika manusia bebas dari perang batin (split-personality); (3) damai dalam kehidupan bermasyarakat dapat terwujud jika manusia berada dalam kehidupan yang bebas dari perang dan diskriminasi, serta membuminya prinsip keadilan dalam kehidupan keseharian; dan (4) damai dengan lingkungan terwujud dari pemanfaatan sumberdaya alam bukan hanya sebagai penggerak pembangunan tetapi juga sebagai sumber yang harus dilestarikan demi kesinambungan hidup generasi berikutnya. Keempat dimensi damai di atas merupakan satu totalitas yang bersumber dari keyakinan yang fundamental bahwa Allah adalah Damai “salam” (al-Hasyr: 23), Sumber kedamaian, dan Sasaran semua aktifitas damai (H.R. Muslim, Tirmizi, dan Nasai). Sebagai al-salam dan Sumber kedamaian, Allah mencintai damai dan menyuruh ummat-Nya untuk hidup dalam kedamaian. Ini bermakna bahwa memeluk Islam adalah menyerah diri setulusnya kepada Allah dalam membangun kehidupan yang sesuai dengan hukum penciptaan manusia yang azali yang dibekali dengan esensi (jauhar) untuk mengenal Khaliqnya. Kesaksian manusia sebelum penciptaan alam fisik “Sungguh Engkau Tuhan kami” atas pertanyaan Allah: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” (alA`raf: 172) adalah esensi dasar kemanusiaan. Pengakuan ini juga merupakan perjanjian (kovenan) manusia dengan Allah yang berimplikasi bahwa kadamaian vertikal terwujud jika manusia hidup sesuai dengan kesaksian azali ini. Pengakuan “Sungguh Engkau Tuhan kami” juga berimplikasi dalam kehidupan pribadi setiap insan. Esensi manusia yang fitri menuntut agar ia hidup sesuai dengan prinsip monotheisme yang suci dan damai, dan ini merupakan ibadah kepada Allah SWT (al-Dzariyat: 56). Untuk mencapai kehidupan yang suci dan damai manusia dibekali dengan intelek dan diberikan wahyu yang 1

berfungsi untuk menuntunnya kepada kehidupan yang monotheistik. Namun, manusia juga memiliki nafsu yang gabungan antara akal dan nafsu menjadikannya makhluk bebas dan mandiri. Individu yang mengikuti nafsu dan mengabaikan akalnya dan wahyu Allah cenderung berseberangan dengan esensinya yang suci. Pertentangan ini merupakan konstruksi sosiokultural yang tidak jarang melahirkan berbagai perang batin dan konflik personal. Karenanya, hubungan harmonis antar kepentingan sosiokultural dan psikologikal, serta antara keduanya dengan esensi spiritual, merupakan faktor utama bagi terwujudnya kedamaian pribadi. Kedamaian vertikal dan individual tersebut belum menjadi rahmat bagi sekalian alam seperti janji Islam kalau manusia tidak mampu menerjemahkannya dalam kehidupan bermasyarakat dan kebersahabatannya dengan alam. Pesan al-Quran bahwa Allah adalah salam dan Sumber kedamaian bermakna bahwa kedamaian Tuhan melingkupi seluruh ciptaan-Nya dan mencakup semua dimensi kehidupan. Ini bermakna bahwa kedamaian sosial dan kelestarian alam bukan hanya manifestasi dari penghayatan nilai Ilahiyah dan ketenangan pribadi tetapi juga merupakan rangkaian sebab-akibat dari kedua dimensi damai ini. Kebersahabatan manusia dengan alam merupakan aspek lain dari kehidupan damai. Alam memiliki keseimbangan ekosistem sesuai dengan sunnatullah dan diciptakan bagi eksistensi manusia (al-Anbiya’: 30-33). Langit dan bumi, matahari dan bulan, air dan panas semuanya untuk memenuhi kebutuhan manusia (Ibrahim: 32-33). Begitu pula hutan yang hijau, gunung yang kokoh, samudra yang terbentang, aneka jenis hewan dan tumbuhan diperuntukkan bagi kesinambungan hidup manusia (al-Nahl: 3-16; al-Mukminun: 17-22). Ketergantungan manusia pada alam tidak memerlukan analisa komprehensif. Air yang diminum, udara yang dihirup, energi yang diserap, buahan dan bijian yang dimakan, daging dan susu yang dikonsumsi, obat-obatan yang digunakan, perhiasan yang dipakai, dan semua peralatan serta mesin berasal dari alam. Begitu pula rumah yang ditempati, kantor tempat bekerja, dan kenderaan alat transportasi dibuat dengan menggunakan hasil alam. Karena itu, Allah menantang manusia: “Jika kamu mencoba menghitung nikmat Allah, pasti kamu tidak akan mampu melakukannya” (Ibrahim: 34). Ketergantungan pada alam mengharuskan manusia waspada dan bertanggungjawab dalam memanfaatkannya. Artinya, ia tidak boleh mengeksploitasi alam secara berlebihan yang dapat merusak ekosistem dan tatanan sunnatullah yang pada akhirnya mempengaruhi ketenangan dan kesinambungan hidup manusia (al-Syu`ara`: 151-152). Jadi, kesinambungan pembangunan yang sensitif akan kearifan adat setempat dan perdamaian yang kerkelanjutan mengharuskan manusia damai dan bersahabat dengan alam. Damai dengan Allah, ketenangan batin, dan kebersahabatannya dengan alam adalah penting, namun untuk menciptakan kedamaian yang menyeluruh manusia perlu memiliki lingkungan sosial yang damai. Secara teoritis-filosofis, manusia adalah ciptaan yang dibekali esensi yang fitri dan sebagai makhluk sosial yang hidup bertetangga dan berkelompok. Ia mendambakan ketenangan bagi diri dan keluarganya, ingin dihormati dan diperlakukan adil, serta mendambakan hidup layak agar dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Sebaliknya, peperangan dan kekerasan, diskriminasi, dan ketidakadilan tidak sesuai dengan iradah Allah yang salam dan juga bertentangan dengan esensi manusia yang fitri dan damai. Karenanya, 2

kekerasan, diskriminasi, dan ketidakadilan mengganggu substansi dasar kemanusiaan dan norma kehidupan berkelompok. Secara praktis-pragmatis, manusia akan terganggu kalau dizalimi. Peperangan dan pembunuhan, penghancuran harta benda dan intimidasi, ketidakadilan dan diskriminasi adalah bentuk penzaliman yang dapat menghambat kiprahnya sebagai manusia, anggota keluarga, dan masyarakat. Keterbatasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan berpartisipasi dalam dunia politik, serta pembiaran manusia hidup dalam keterpurukan, juga bentuk penzaliman yang dapat mengganggu jatidiri dan martabat manusia. Oleh karena itu, penyadaran untuk tidak menzalimi dan menolak penzaliman adalah proses penting bagi penciptaan kehidupan damai. Perlu dicermati bahwa upaya mewujudkan perdamaian merupakan pekerjaan sukar yang memerlukan biaya kemanusiaan yang mahal dan membutuhkan proses pentahapan yang berlangsung dalam rentang waktu panjang. Tapi, ini tidak berarti upaya tersebut tidak mungkin dilakukan terutama oleh orang yang mampu memahami dan mengikuti patronase ajaran Tuhan dan sunnatullah yang sarat dengan nilai kasih sayang, kesalingan (reciprocality), dan kebersamaan dalam segala aspek kehidupan. Dalam hubungan itu, pendidikan yang bertujuan untuk menumbuh-kembangkan kesadaran sunnatullah ini adalah kemestian. Pendidikan ini menanamkan nilai esensial Islam yang berlandaskan pada kepercayaan bahwa Allah adalah Damai dan Sumber kedamaian. Ia menciptakan manusia dari satu jiwa yang dilengkapi dengan esensi fitri. Ini berarti bahwa nilai dasariah kemanusian adalah sama dan memiliki kelengkapan akal dan nafsu yang sama pula yang dalam aktifitasnya dibekali wahyu sebagai penuntun. Kenyataan ini menempatkan manusia sebagai makhluk berfikir yang bebas dalam mengaktualisasikan dirinya yang kemudian melahirkan pluralitas sosiologis seperti kelas, idelogi, agama, bahasa, adat, bangsa, budaya dan pandangan hidup (worldview). Namun, tidak semua keberagaman sosiologis merupakan hasil olah-akal dan olah-nafsu dimana manusia memiliki kontrol atasnya. Selain itu terdapat keberagaman dasariah diluar kontrol manusia karena berkaitan dengan fisik, seperti warna kulit, ras, dan jenis kelamin. Pluralitas, apapun bentuknya, merupakan sunnatullah yang harus dihormati. Orang boleh tidak setuju dengan suatu ideologi atau tidak berkeinginan mengikuti budaya berbeda, tapi selama hal ini tidak mengganggu identitasnya, ia harus menghormatinya. Artinya, setiap orang mempunyai hak untuk mengekspresikan diri dan berkewajiban untuk menghormati ekspresi hak orang lain dalam tatanan kehidupan berkelompok yang adil dan egaliter. Karena itu, keberagaman harus disadari sebagai kesempatan untuk membangun kerjasama yang adil dan saling menguntungkan demi terwujudnya interaksi sosial yang alamiah dan dinamis. Pengajaran tentang keberagaman sunnatullah dan kesalingan hidup ini adalah bentuk pendidikan Islam yang sekarang dikenal dengan peace education (pendidikan damai). Pendidikan damai yang dikembangkan juga mengkaji ulang kearifan nilai ke-Aceh-an yang diinspirasikan Islam, agama yang masuk ke Aceh melalui pendekatan damai seperti perdagangan yang saling menguntungkan sejak abad pertama Islam, dan secara bertahap membangun komunitas yang cinta damai dalam bingkai agama tunggal rakyat Aceh. Latar sejarah ke-Islaman yang panjang, dimana rakyat Aceh bukan hanya menerima Islam dengan sepenuh hati tetapi 3

juga menjadi pionir Islam di nusantara, bahkan Asia Tenggara, menjadikan Islam mengakar dalam kehidupan masyarakat sehingga melahirkan kultur Aceh yang Islami dan pemerintahan yang menerapkan syariat. Karenanya, perpaduan antara agama dan negara sangat kental dalam masyarakat, seperti terefleksi dalam ungkapan “Hukom ngen adat, lagee zat ngen sifeut“, yang berarti: (hukum [agama] dan adat tak dapat dipisahkan, ibarat zat dengan sifat). Namun, konflik memperebutkan pengontrolan rute perdagangan antara kerajaan Aceh dan penjajah, perang berkepanjangan dengan Belanda, dan Golkarisasi ulama dan penyeragaman pola-pikir dan pola-sikap rakyat Aceh di masa Orde Baru, serta trauma Daerah Operasi Militer, termasuk rentetan konflik yang menghantui rakyat sampai sekarang, menyebabkan pengamalan Islam di Aceh menjadi dangkal dan terkotak-kotak, bahkan kehilangan ruh dan esensinya. Penerapan Syariat Islam melalui Undang-Undang No.44/1999 dan Undang-Undang No.18/2001, sayangnya, belum secara signifikan memperbaiki keadaan, karena wacana Syariat Islam di Aceh masih sebatas retorika politik dan norma elitis yang belum menyentuh persoalan mendasar dan substantif. Akibatnya, semboyan “hukom ngen adat lagee zat ngen sifeut“ bukan lagi realita tapi menjadi sesuatu yang ideal, dan dalam pengamalan Islam rakyat Aceh menjadi terlena hanya dengan aneka simbol. Pendidikan damai mencoba mengkaji ulang simbol dan semboyan kearifan adat Aceh secara lebih substantif. Ini terutama yang berhubungan dengan perdamaian seperti kesetaraan, kasih sayang, toleransi, dan keadilan. Dengan demikian simbol dan petuah ini menjadi lebih bermakna dan bermanfaat. Jadi, pendidikan damai tidak menawarkan sesuatu yang baru, melainkan merekonstruksi ide yang telah ada dengan pendekatan kontemporer agar lebih berdaya-guna. Pendidikan damai merupakan kebutuhan bukan hanya karena Aceh sedang dilanda konflik tapi karena konflik merupakan realitas kehidupan yang muncul setiap saat akibat benturan kepentingan, pemikiran, orientasi politik, sistem ekonomi, dan sebagainya. Sayangnya, kekerasan lazim digunakan sebagai metode dalam menyelesaikan konflik. Tapi, menyikapi konflik dengan kekerasan berpotensi melahirkan ketidakdamaian karena ia memperpanjang mata rantai kekerasan dan setiap kekerasan baru dapat berakibat lebih destruktif. Karena itu, pendidikan yang dapat menyadarkan peserta didik tentang konflik, skil dalam menyikapi konflik, dan pentingnya kedamaian berperan penting dalam menyelesaikan konflik. Premis yang dibahani pengalaman emperis di atas mengacu pada cita-cita untuk membangun masyarakat yang kondusif bagi pemecahan masalah atau konflik secara damai dan beradab. Citacita ini berupaya untuk membangun jembatan menuju kedamaian dengan membahani peserta didik dengan pengetahuan, kecakapan, dan pola hidup damai, sehingga damai bukan hanya tujuan tapi juga proses. Upaya ini diharapkan dapat menghentikan kekerasan dan membangun kehidupan dinamis dan damai (active peace) bagi semua. Dengan kata lain, pendidikan damai diharapkan dapat mendorong upaya untuk terus mencari kedamaian, menggalakkan rekonsiliasi, dan mempromosikan keadilan tanpa mengurangi harkat, martabat, dan azasi manusia. Setiap manusia memiliki identitas dan ingin diakui dan dihargai, karenanya, pada saat yang sama, ia harus pula mengakui identitas manusia lain. Prinsip ini memiliki kekuatan moral yang dapat membangun fondasi bagi kehidupan masyarakat yang beradab dan berkeadilan. Cita-cita untuk mengakhiri kekerasan, opresi, diskriminasi, dan ketidakadilan dalam berbagai aspek kehidupan yang menimpa individu dan masyarakat dapat dicapai melalui penyadaran 4

makna dan hakikat nilai kedamaian. Ini pada dasarnya dapat digali dari khasanah sosiokultural masyarakat yang sedang mengalami, atau melakukan, opresi dan diskriminasi. Penyadaran makna demikian penting agar dapat mendewasakan peserta didik. Iklim ini membahani anak dengan perspektif kedamaian yang saling menghargai, suka membantu, dapat bernegosiasi, dan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa dan logika yang komunikatif. Semua faktor ini merupakan esensi pendidikan damai termasuk yang berlangsung pada tatanan formal. Pendidikan formal diyakini sebagai arena yang tepat untuk memperkenalkan dan mensosialisasikan pendidikan damai. Pandangan ini dilandasi pemahaman bahwa lembaga formal memiliki sistem yang terstruktur, kepemimpinan yang terorganisir, dan waktu pembelajaran yang sistematis. Demi mencapai sasaran yang jelas dan terukur, kerjasama antara pelaksana dan institusi pendidikan serta aneka pihak yang memiliki kaitan dengan upaya mewujudkan perdamaian di Aceh merupakan kemestian. Keterkaitan antar sektor mengharuskan sosialisasi pendidikan damai dimulai dari tingkat perencanaan kurikulum agar dapat dipahami tidak hanya oleh mereka yang bergerak dalam bidang pendidikan tapi juga oleh pihak lain yang memiliki bidang kerja dalam sektor berbeda. Jadi, landasan filosofis ini dapat dijadikan titik awal bagi upaya pembelajaran pendidikan damai yang bersistem, berkesinambungan, dan berdayaguna. Berangkat dari acuan pemikiran di atas, kurikulum pendidikan damai diharapkan dapat berperan sebagai pedoman umum bagi proses pendewasaan peserta didik agar dapat membangun paradigma, sikap, dan perilaku yang dapat mempromosikan nilai dan cara mengatasi konflik tanpa kekerasan. Proses ini menggambarkan bahwa makna hakiki pendidikan damai, yang direpresentasikan kurikulum ini, tidak hanya menyangkut aspek pembangunan sikap yang dapat mencerminkan bahwa peserta didik telah dibahani dengan pendidikan damai. Disamping pengetahuan dan sikap tersebut, peserta didik harus memiliki performance (penampilan) yang seirama dengan aspek kognitif dan afektif itu sendiri. Ini bermakna bahwa perilaku peserta didik dalam kehidupan keseharian mencerminkan kalau mereka telah memperoleh pendidikan damai. Singkatnya, kurikulum ini disusun dengan mempertimbangkan materi inti pendidikan damai yang eksplisit, dimana peserta didik diharapkan dapat menguasainya. Selain itu, kurikulum ini juga mempertimbangakan substansi implisit yang mengacu pada perubahan sikap dan prilaku peserta didik dalam kehidupan bermasyarakat. Siswa(i) Sekolah Menengah dan Madrasah Aliyah serta Dayah dibahani sedemikian rupa agar dapat berpartisipasi aktif dalam mengatasi (potensi) konflik baik yang langsung berhadapan dengan aktifitas belajar mereka maupun yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat umumnya. Pemilihan siswa(i) sekolah menengah sebagai proyek terapan didasari pemikiran bahwa usia ini lebih memungkinkan dalam membangun pendidikan damai, seirama dengan perkembangan usia muda yang relatif peka untuk menyerap pengetahuan yang dapat merubah sikap dan perilaku. Di samping itu, manfaat pendidikan damai lebih bermakna bagi anak usia sekolah yang secara kronologis akan hidup lebih lama dibandingkan mereka yang telah berumur tua. Dengan demikian, mereka diharapkan dapat berbuat lebih banyak bagi upaya pembangunan masyarakat damai dan madani. Kurikulum ini menekankan subject-centered sekaligus student-centered. Subject-centered mempertimbangkan materi (tema dan topik) yang sesuai dengan pendidikan damai. Materi ini 5

digali dari nilai sosiokultural ke-Islam-an dan ke-Aceh-an yang seirama pula dengan Konvensi Hak Anak yang relatif telah diakui secara universal. Nilai-nilai yang mendasari azasi anak tersebut pada gilirannya diharapkan dapat membahani anak usia sekolah menengah agar secara psikologis mampu hidup, belajar, dan tumbuh dewasa sebagaimana yang diharapkan meskipun dalam suasana yang tidak kondusif sekalipun. Kedewasaan yang diharapkan yaitu dapat membangun sikap yang menghargai aturan dan norma positif dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan student-centered mengacu pada pertimbangan kondisi peserta didik, termasuk bagaimana agar mereka memiliki minat dan daya tarik untuk mempelajari materi pendidikan damai yang dituangkan dalam kurikulum ini. Student-centered juga menempatkan peserta didik sebagai subjek yang berpotensi dan mampu berfikir dan bersikap melalui proses pembelajaran yang interaktif dan demokratis. Sebaliknya, pendidik lebih berperan sebagai pengasuh dan pembimbing yang mengarahkan peserta didik untuk berkiprah dalam framework (kerangka kerja) yang diakui. Artinya, peserta didik harus dapat menghayati dan mengaktualisasikan norma-norma edukatif yang berlaku dalam masyarakat Aceh. Dengan demikian, epistemologi yang menafasi kurikulum pendidikan damai ini bersifat menyeluruh dan multi sasaran. Metodologi pengajarannya bersifat dinamis dan komunikatif, artinya pengajaran tidak berlangsung secara doktrinasi yang hanya melahirkan penguasaan materi secara semu dan tidak menyentuh kehidupan keseharian mereka.

6

Related Documents