Kusta.docx

  • Uploaded by: Enggar Qur'ani Ayu
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kusta.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,939
  • Pages: 33
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban tiongkok kuno, mesir kuno, dan india. Pada 1995, organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta. walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti india dan vietnam. Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang sebelumnya, diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, hingga ditemukan bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh Universitas Texas pada tahun 2008, yang menyebabkan endemik sejenis kusta di Meksiko dan Karibia, yang dikenal lebih khusus dengan sebutan diffuse lepromatous leprosy. Sedangkan bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873 sebagai patogen yang menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal sebagai lepra. Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok umur antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita. Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada tahun 1985 dijumpai 107 negara telah mencapai target eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000. Pada tahun 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan 1000 atau lebih penderita baru selama tahun 2006. Lima belas negara ini mempunyai kontribusi 94% dari seluruh penderita baru didunia. Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil. Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000 Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru Kelompok 1Page 1

adalah Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20 per 100.000 penduduk.2,72Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk. Menurut Sub Direktorat Kusta dan Frambusia Direktorat P2M Ditjen PPM& PL (2010), penyakit kusta merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup besar di Indonesia, dimana Indonesia merupakan negera ke tiga terbesar penyumbang kasus kusta. Adapun situasi kusta di DKI Jakarta yaitu,saat ini jumlah penduduk DKI Jakarta yaitu: 9.604.329 jiwa, Prevalensi penyakit kusta: 0,98/10.000 jiwa.

1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan umum Setelah proses pembelajaran mata kuliah Keperawatan Integumen I diharapkan mahasiswa semester 6 dapat mengerti dan memahami konsep teori dan asuhan keperawatan pada klien dengan Morbus Hansen dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan. 1.2.2 Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui definisi dan Klasifikasi dari Morbus Hansen 2. Untuk mengetahui etiologi dari Morbus Hansen 3. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Morbus Hansen 4. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic dari Morbus Hansen 5. Untuk mengetahui penatalaksanaan untuk Morbus Hansen 6. Untuk mengetahui patofisiologi/ WOC Morbus Hansen 7. Untuk mengetahui pencegahan dari Morbus Hansen 8. Untuk mengetahui komplikasi Morbus Hansen 9. Untuk mengetahi prognosis Morbus Hansen 10. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan Morbus Hansen

1.3 Manfaat

Kelompok 1Page 2

Penulisan makalah ini sangat diharapkan bermanfaat bagi seluruh pembaca dan penulis untuk mengetahui dan menambah wawasan tentang Konsep Teori dan Asuhan Keperawatan, terutama Asuhan Keperawatan pada klien dengan Morbus Hansen.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Fisiologi Kulit 2.1.1 Anatomi Kulit Kulit adalah lapisan jaringan yang terdapat pada bagian luar yang menutupi dan melindungi permukaan tubuh. Pada permukaan kulit bermuara kelenjar keringat dan kelenjar mukosa.

Gambar 2.1: Pembagian Kulit 2.1.1.1 Lapisan Kulit 1. Epidermis a. Stratum korneum Kelompok 1Page 3

Selnya sudah mati, tidak mempunyai inti sel (inti selnya sudah mati) dan mengandung zat keratin. b. Stratum lusidum Selnya pipih, bedanya dengan stratum granulosum ialah sel-sel sudah banyak yang kehilangan inti dan butir-butir sel telah menjadi jernih sekali dan tembus sinar. Lapisan ini hanya terdapat pada telapak tangan dan telapak kaki. Dalam lapisan terlihat seperti suatu pita yang bening, batas-batas sel sudah tidak begitu terlihat, disebut stratum lusidum. c. Stratum granulosum Stratum ini terdiri dari sel-sel pipih seperti kumparan. Sel-sel tersebut terdapat hanya 2-3 lapis yang sejajar dengan permukaan kulit. Dalam sitoplasma terdapat butir-butir yang disebut keratohialin yang merupakan fase dalam pembentukan keratin oleh karena banyaknya butir-butir stratum granulosum. d. Stratum spinosum/stratum akantosum Lapisan ini merupakan lapisan yang paling tebal dan dapat mencapai 0,2 mm terdiri dari 5-8 lapisan. Sel-selnya disebut spinosum kaarena jika kita liaht di bawah mikroskop sel-selnya terdiri dari sel yang bentuknya polygonal (banyak sudut) dan mempunyai tanduk (spina). Disebut akantosum karena sel-selnya berduri. Ternyata spina atau tanduk tersebut adalah hubungan antara sel yang lain yang disebut intercellular bridges atau jembatan intraselular. e. Stratum basal/germinativum Disebut stratum basal karena sel-selnya terletak di bagian basal. Stratum germinativum menggantikan sel-sel yang di atasnya dan merupakan sel-sel induk. Bentuknya silindris (tabung) dengan inti yang lonjong. Di dalamnya terdapat butir-butir yang halus disebut butir melanin warna. Seltersebut disusun seperti pagar (palisade) di bagian bawah sel tersebut terdapat suatu membrane yang disebut membrane basalis. Sel-sel basalis dengan membrane basalis merupakan batas terbawah dari epidermis dengan dermis. Ternyata batas ini tidak datar tetapi bergelombang. Pada watu kerium menonjol pada epidermis tonjolan ini disebut papilakori (papilla kulit), dan epidermis menonjol kea rah korium. Tonjolan ini disebut rete ridges atau rete peg (prosesus interpapilaris). Kelompok 1Page 4

Gambar 2.2 Anatomi kulit manusia 2. Dermis Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit. Batas dengna epidermis dilapisi oleh membrane basalis dan di sebelah bawah berbatasan dengan subkutis tetapi batas ini tidak jelas hanya kita ambil sebagai patokan ialah mulainya terdapat sel lemak. Dermis terdiri dari dua lapisan : 1)

Bagian atas, pars papilaris (stratum papilar)

2)

Bagian bawah, retikularis (stratum retikularis).

Batas antara pars papilaris maupun pars retikularis adalah bagian bawahnya sampai ke subkutis. Baik pars papilaris maupun pars retikularis terdiri dari jaringan ikat longgar yang tersusun dari serabut-serabut: serabut kolagen, serabut elastic, dan serabut retikulus. Serabut ini saling beranyaman dan masing-masing mempunyai tugas yang berbeda. Serabut kolagen, untuk memberikan kekuatan pada kulit, serabut elastis, memberikan kelenturan pada kulit, dan retikulus, terdapat terutama di sekitar kelenjar dan folikel rambut dan memberikan kekuatan pada alat tersebut. 3. Subkutis Subkutis terdiri dari kumpulan-kumpulan sel-sel lemak dan di antara gerombolan ini berjalan serabut-serabut jaringan ikat dermis. Sel-sel lemak ini bentuknya bulat dengan intinya terdesak ke pinggir, sehingga membentuk seperti cincin. Lapisan Kelompok 1Page 5

lemak ini disebut penikulus adiposus yang tebalnya tidak sama pada tiap-tiap tempat dan juga pembagian antara laki-laki dan perempuan tidak sama (berlainan). Guna penikulus adiposus adalah sebagai shock breaker atau pegas bila tekanan trauma mekanis yang menimpa pada kulit, isolator panas atau untuk mempertahankan suhu, penimbunan kalori, dan tambahan untuk kecantikan tubuh. Di bawah subkutis terdapat selaput otot kemudian baru terdapat otot. 2.1.1.2 Pembuluh Darah dan Saraf 1. Pembuluh darah Pembuluh darah kulit terdiri dari dua anyaman darah nadi yaitu : a. Anyaman pembuluh nadi kulit atas atau luar,anyaman ini terdapat antara stratum papilaris dan stratum retikularis,dari anyaman ini berjalan arteriole pada tiap - tiap papila kori; b. Anyaman pembuluh darah nadi kulit bawah atau dalam,anyaman ini terdapat antara korium dan subkutis. Anyaman ini memberi cabang - cabang pembuluh nadi ke alat - alat tambahan yang terdapat di korium. Dalam hal ini percabang juga membentuk anyaman pembuluh nadi yang terdapat pada lapisan subkutis. Cabang- cabang ini kemudian akan menjadi pembuluh darah balik/ vena yang juga akan membentuk anyaman ,yaitu anyaman pembuluh darah balik yang ke dalam. Peredaran darah dalam kulit adalah penting sekali. Oleh karena diperkirakan 1/5 dari darah yang beredar melalui kulit. Disamping itu,pembuluh darah pada kulit sangat cepat menyempit / melebar oleh pengaruh atau rangsangan panas,dingin,tekanan sakit,nyeri dan emosi,penyempitan dan pelebaran inu terjadi secara refleks.

2. Persarafan kulit Terjadinya cacat pada penderita kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi syaraf tepi, baik karena kuman kusta mupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan reaksi kusta, kerusakan tersebut meliputi: a.

Kerusakan fungsi sensorik Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa (anastesi). Akibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi

Kelompok 1Page 6

luka. Sedangkan pada kornea mata akan mengakibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip sehingga mata mudah kemasukan kotoran, benda-benda asing yang dapat menyebabkan infeksi mata dan akibatnya kebutaan. b.

Kerusakan fungsi motorik Pada syaraf motorik akan terjadi paralisis sehingga terjadi deformitas sendi. Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lamalama ototnya mengecil (atrofi) oleh karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok ( claw hand/ claw toes ) dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendinya. Bila terjadi kelemahan/ kekakuan pada mata, kelopak mata tidak dapat dirapatkan (lagophtalmus).

c.

Kerusakan fungsi otonom Terjadinya gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering yang dapat mengakibatkan kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi sekunder., menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah. Pada umumnya apabila akibat kerusakan fungsi saraf tidak ditangani secara tepat dan cepat maka akan terjadi ke tingkat yang lebih berat.

2.1.2 Fisiologi Sistem Integumen Kulit merupakan organ yang paling luas permukaannya yang membungkus seluruh bagian luar tubuh sehingga kulit sebagai pelindung tubug terhadap bahaya kimia. Cahaya matahari mengandung sinar ultraviolet dan melindungi terhadap mikroorganisme serta menjaga keseimbangan tubuh terhadap lingkungan. Kulit merupakan indikator bagi seseorang untuk memperoleh kesan umum dengan melihat perubahan yang terjadi pada kulit. Misalnya menjadi pucat,kekuning - kuningan,kemerah- merahan atau suhu kulit meningkat ,meperlihatkan adanya kelainan yang terjadi pada tubuh atau gangguan kulit karena penyakit tertentu. Gangguan psikis juga dapat menyebabkan kelainan atau perubahan pada kulit. Misalnya, karena stres, ketakutan atau dalam keadaan marah,akan terjadi perubahan pada kulit wajah. Perubahan struktur kulit dapat menentukan apakah seseorang telah lanjut usia atau masih muda. Wanita atau pria juga dapat menbedakan penampilan kulit. Warna

Kelompok 1Page 7

kulit juga dapat menentukan ras atau suku bangsa misalnya kulit hitam suku bangsa negro, kulit kuning bangsa mongol,kulit putih dari eropa dll. 1. Fungsi kulit Kulit pada manusia mempunyai fungsi yang sangat penting selain menjalani kelangsungan hidup secara umum yaitu: a.

Fungsi proteksi. Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau mekanis, misalnya terhadap gesekan, tarikan, gangguan kimiawi yang dapat menimbulkan iritasi (lisol, karbol dan asam kuat). Gangguan panas misalnya radiasi, sinar ultraviolet, gangguan infeksi dari luar misalnya bakteri dan jamur. Karena adanya bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit dan serabut - serabut jaringan penunjang berperan sebagai pelindung terhadap gangguan fisis. Melanosit turut berperan dalam melindungi terhadap sinar matahari dengan mengadakan tanning ( pengobatan dengan asam asetil )

b.

Proteksi rangsangan kimia dapat terjadi karena sifat stratum korneum yang impermeabel terhadap berbagai zat kimia dan air. Disamping itu terdapat lapisan keasaman kulit yang melindungi kontak zat kimia dengan kulit. Lapisan keasaman kulit terbentuk dari hasil ekstresi keringat dan sebum yang menyebabkan keasaman kulit antara pH 5-6,5. Ini merupakan perlindungan terhadap infeksi jamur dan sel-sel kulit yang telah mati melepaskan diri secara teratur.

c.

Fungsi absorbsi. Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat, tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitu juga yang larut dalam lemak. Permeabilitas kulit teehadap O2, CO2 dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorbsi kulit dipengaruhi tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembapan, dan metabolisme. Penyerapan dapat berlangsung melalui celah di antara sel, menembus sel-sel epidermis, atau melalui saluran kelenjar dan yang lebih banyak melalui sel-sel epidermis.

d.

Fungsi kulit sebagai pengatur panas. Suhu tubuh tetap stabil meskipun terjadi perubahan suhu lingkungan. Hal ini karena adanya penyesuaian antara panas dalam tubuh yaitu suhu viseral 36-37,5 derajat untuk suhu kulit lebih rendah. Pengendalian persarafan dan vasomotorik dari arterial kutan ada dua cara yaitu

Kelompok 1Page 8

vasodilatasi ( kapiler melebar, kulit menjadi panas dan kelebihan panas dipancarkan ke kelenjar keringat sehingga terjadi penguapan cairan pada permukaan tubuh ) dan vasokonstriksi ( pembuluh darah mengerut, kulit menjadi pucat dan dingin, hilangnya keringat dibatasi, dan panas suhu tubuh tidak dikeluarkan). e.

Fungsi ekskresi. Kelenjar - kelenjar kulit mengeluarkan zat - zat yang tidak berguna lagi atau zat sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCI, urea, asam urat, dan amonua. Sebum yang diproduksi oleh kulit berguna untuk melindungi kulit karena lapisan sebum ( bahan berminyak yang melindungi kulit) ini menahan air yang berlebihan sehingga kulit tidak menjadi kering. Produksi kelenjar lemak dan keringat menyebabkan keasaman pada kulit.

f.

Fungsi persepsi. Kulit mengandung ujung - ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Respons terhadap rangsangan panas diperankan oleh dermis dan subkutis, terhadap dingin diperankan oleh dermis, perabaan diperankan oleh papila dermis dan markel renvier,sedangkan tekanan diperankan oleh epidermis. Serabut saraf sensorik lebih banyak jumlahnya di daerah yang erotik.

g.

Fungsi pembentukan pigmen. Sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak pada lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi saraf. Melanosit membentuk warna kulit. Enzim melanosum dibentuk oleh alat golgi bantuan tirosinase, ion Cu, dan O2 terhadap sinar matahari mempengaruhi melanosum. Pigmen disebar ke epidermis melalui tangan-tangan dendrit sedangkan lapisan di bawahnya oleh melanofag. Warna kulit tidak selamanya dipengaruhi oleh pigmen kulit melainkan juga oleh tebal tipisnya kulit, reduksi Hb dan karoten.

h.

Fungsi keratinisasi. Keratinosit dimulai dari sel basal yang mengadakan pembelahan. Sel basal yang lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuk menjadi sel spinosum. Makin ke atas sel ini semakin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Semakin lama intinya menghilang dan keratinosit ini menjadi sel tanduk yang amorf. Proses sintasis dan degenerasi menjadi lapisan tanduk yang berlangsung kira - kira 14-21 hari dan memberikan perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis - fisiologik.

Kelompok 1Page 9

i.

Fungsi pembentukan vitamin D. Dengan mengubah dehidroksi kolestrol dengan pertolongan sinar matahari. Tetapi kebutuhan vitamin D tidak cukup dengan hanya dari proses tersebut. Pemberian vitamin D sistemik masih tetap diperlukan.

2.2 Definisi dan Klasifikasi Morbus Hansen Penyakit infeksi kronis yang sebelumnya diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, hingga ditemukan bakteri Mycobacterium lepromatosis yang menyebabkan endemik sejenis kusta di Meksiko dan Karibia, yang dikenal lebih khusus dengan sebutan diffuse lepromatous leprosy. Sedangkan bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873 sebagai patogen yang menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal sebagai lepra. (Depkes RI, 2016) Menurut Departement Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo (2009), Morbus Hansen (Kusta, lepra) adalah penyakit infeksi yang kronis yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium lepromatosis yang menyerang syaraf tepi (primer), kulit dan jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Jadi, Morbus Hansen adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Myrobacterium Lepra yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat Klasifikasi Departemen Kesehatan Ditjen P2MPLP dan WHO membagi tipe menjadi tipe Pause Basiler (PB) dan Multi Basiler (MB). Perbedaan kedua tipe ini dapat dilihat pada tabel di bawah (Arif Mansjoer, 2000). Tabel 2.1 Klasifikasi/ Tipe Penyakit Kusta Menurut WHO No.

Tanda Utama

PB

MB

1.

Lesi kulit(makula datar, papul

1-5 lesi

5 lesi

yangmeninggi, nodus)

Hipopigmentasi/eritema

Distribusi

Distribusi tidak simetris

lebihsimetris

Hilangnya sensasiyang

Hilangnya sensasi

jelas Kelompok 1Page 10

2.

Kerusakan saraf(menyebabkan

Hanya satu cabang

Banyak

hilangnyasensasi/kelemahan

saraf

cabangsaraf

BTA (-)

BTA (+)

ototyangdipersarafi oleh sarafyang terkena)

Sumber: dikutip dari WHO dalam Arif Mansjoer (2000)

Ridley dan Jopling pada tahun 1962 memperkenalkan istilah spektrum Determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu: 1. TT (Tuberkuloid Type) Lesi ini mengenai kulit maupun saraf perifer. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula maupun plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau Central Healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahka dapat menyeruai gambaran psoriasis. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba dan kelemahan otot (Halim et al, 2000). 2. BT (Borderlines Tuberculoid) Mirip gambaran pada tipe TT, tetapi terdapat gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama yang tidak jelas seperti pada tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf yang tidak sebrat tipe tuberkuloid, biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal (Halim et al, 2000). 3. BB (Mid Borderline) Merupakan tipe yang paling tidak stabil diantara semua spektrum penyakit kusta, disebut juga bentuk dimorfik. Lesi berbentuk plak, permukaannya dapat berkilat, batas lesi kurang jelas dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk maupun distribusinya. Bisa ditemukan lesi Punched Out, yaitu hipopigmentasi berbentuk bulat pada bagian tengah dengan batas jelas(Halimet al, 2000). 4. BL (Borderline Lepramatous) Lesi dmulai dengan infiltrat yang dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih kecil dan bervariasi bentuknya. Papul dan nodus lebih tegas walaupun lebih kecil dan distribusinya hampir simetris. Tanpa kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, Kelompok 1Page 11

hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba di tempat predileksi (Halim et al, 2000). 5. LL (Lepramatosa type) Jumlah lesi infiltrat sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilat, berbatas tidak tegas. Distribusi lesi khas yaitu di wajah, dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan pada bagian badan pada bagian belakang, lengan, punggung tangan dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan anestesi yang disebut Glove and Socking Anesthesi. Bila penyakit ini berlanjut, maka makula dan papul baru muncul, sedangkan lesi yang lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan atrofi otot tangan dan kaki (Halim et al, 2000). 6. LI (Lepromatosa Indefinite) Tipe ini tidak termasuk dalam kriteria Ridley-Jopling, namun diterima secara luas oleh para ahli kusta. Lesi kulit biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi berada di bagian ekstensor ekstremitas, bokong, atau muka. Kadang dapat ditemukan makula hipoestesi atau sedikit penebalan saraf. Tipe ini merupakan tanda pertama pada 20-80% kasus penderita kusta. Pada sebagian besar, tipe ini akan sembuh spontan (Halim et al, 2000). Tipe TT dan BT termasuk dalam tipe Pausibasiler Tipe BB; BL; LL termasuk tipe Multibasiler 2.3 Etiologi Myobacterium leprae merupakan penyebab dari penyakit ini. Merupakan satu famili dengan M. tuberculosis penyebab TBC. Memiliki sifat obligat intraseluler dan tahanasam, pada beberapa jenis telah mengalami perubahan dari sifat akibat perubahan gen yang menyebabkan bakteri dapat bertahan di lingkungan selama beberapa bulan. Pada penderita

Kelompok 1Page 12

yang tidak dilakukan terapi dengan baik akan terjadi peningkatan angka bakteri di kulit (MI), dan ketebalan bakteri di kulit (BI) hingga 6 kali lipat dibandingkan dengan terapi efektif. Bakteri lepra merupakan salah satu bakteri yang hanya tumbuh dan berkembang pada manusia saja. Walaupun demikian bakteri ini masih belum dapat di biakan karena sulitnya mencari media yang cocok, media yang paling baik sampai saat ini adalah telapak kaki tikus. Bakteri lepra akan berkembang biak dengan baik pada jaringan yang lembab (kulit, saraf perifer, ruang depan mata, saluran nafas bagian atas, dan testis). 2.4 Manifestasi Klinis Menurut WHO diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal berikut: a. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. b. BTA positif Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit. c. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.

Menurut Departement Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo (2009), gejala klinis dari morbus hansen adalah: 1. Kelainan Saraf Tepi Kerusakan saraf tepi bisa bersifat sensorik, motorik dan autonomik. -

Sensorik biasanya berupa mati rasa atau anastesi pada lesi kulit yang terserang.

-

Motorik berupa kelemahan otot, biasanya di daerah ekstremitas atas, bawah, muka dan otot mata

-

Autonomik menyerang persyarafan kelenjar keringat sehingga lesi terserang tampak lebih kering. Gejala lainnya adalah pembesaran saraf tepi terutama yang dekat dengan permukaan kulit antara lain: n.ulnaris, n.aurikularis magnus, n.peronus komunis, n.tibialis posterior dan saraf tepi yang lain.

2. Kelainan kulit dan organ lain Kelompok 1Page 13

Kelainan kulit bisa hipopigmentasi ataupun eritematus dengan adanya gangguan yang jelas,dan dapat terdapat gejala lanjut seperti: -

Facies Leonina (gejala infiltrasi yang difus di muka)

-

Penebalan cuping telinga

-

Penipisan alis mata

-

Mati rasa pada kedua tangan-kaki

2.5 Pemeriksaan Diagnostik 1. Inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakan mulut, bersiul, dan tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit di seluruh tubuh diperhatikan, seperti adanya makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis). 2. Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba), jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin dalam tabung reaksi (rasa suhu). 3. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada : n. auricularis magnus, n. ulanaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat saraf diraba. 4. Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta. Klasifikasi Pause Basiler dan Multi Basiler menurut P2MPLP Kelainan Kulit Dan Hasil

Tipe Pause Basiler

Tipe Multi Basiler

Pemeriksaan Bakteriologis 1. Bercak (makula) a.

Jumlah

a. 1-5

a. Banyak

b.

Ukuran

b. Kecil dan besar

b. Kecil-kecil

c.

Distribusi

c. Unilateral atau bilateral c. Bilateral, simetris asimetris

d.

Permukaan

Kelompok 1Page 14

d. Kering dan kasar

d. e. Halus, berkilat

e.

Batas

e. Tegas

f. Kurang tegas

f.

Gangguan sensitibilitasf. Selalu ada dan jelas

g. Biasanya tidak jelas, jika ada, terjadi pada yang sudah lanjut

g.

Kehilangan kemampuan g. Bercak tidak berkeringat, h. Bercak

berkeringat, bulu rontok pada ada bercak

bulu

rontok

masih

pada berkeringat, bulu tidak

bercak

rontok

2. Infiltrat a.

Kulit

a. Tidak ada

i. Ada,

b. b.

Membrana

kadang-kadang

tidak ada

mukosa c. Tidak pernah ada

Ada,

(hidung tersumbat pendarahan

kadang-kadang

tidak ada

di hidung)

3. Nodulus

Tidak ada

Kadang-kadang ada

4. Penebalan syaraf tepi

Lebih sering terjadi dini, Terjadi asimetris

pada

yang

lanjut, biasanya lebih dari satu dan simetris

5. Deformitas (cacat)

Biasanya asimetris terjadi Terjadi pada usia lanjut dini

6. Sediaan apus

BTA negative

7. Ciri-ciri khusus

Central

BTA positif

healing punched

penyembuhan di tengah

Dikutip dan dimodifikasi dari Buku Panduan Pemberantasan Kusta Depkes (1999) Kelompok 1Page 15

5. Pemeriksaan Bakteriologis Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut : a. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif b. Kulit muka sebaiknya dihindari karena lalasan kosmetik, kecuali tidak ditemukan lesi di tempat lain c. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perluditambah dengan lesi kulit yang baru timbul d. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan M. leprae ialah : 1) Cuping telinga kiri/kanan 2) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif di tempat lain e. Sediaan dari selaput lender hidung sebaiknya dihindari karena : 1) Tidak menyenangkan pasien 2) Positif palsu karena ada mikobakterium lain 3) Tidak pernah ditemukan M. leprae pada selaput lendir hidung apabila sediaan apus kulit negative 4) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lender hidung lebih dahulu negative daripada sediaan kulit ditempat lain f. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit : 1) Semua orang yang dicurigai menderita kusta 2) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta 3) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten terhadap obat 4) Semua pasien Multi Basiler setiap satu tahun sekali g. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu Ziehl Neelsen atau Kinyoun-gabett. h. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah/ seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granular (granulates), globus, dan clamps. 6. Indeks Bakteri (IB) Kelompok 1Page 16

Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus, IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut : 0

Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang

+1

Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang

+2

Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang

+3

Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

+4

Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

+5

Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

+6

Bila > 1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

7. Indeks Morfologi (IM) Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat. Contoh menghitung IB dan IM sebagai berikut : Lokasi pengambilan

Kepadatan

Solid

Fragmented/granulated

·

Daun telinga kiri

5+

5

95

·

Daun telinga kanan

4+

6

94

·

Paha kiri

4+

3

97

·

Bokong kanan

4+

4

96

17 +

18

382

2.6 Penatalaksanaan (Pengobatan) 2.6.1 Penatalaksanaan Medis 1) Prinsip pengobatan Kelompok 1Page 17

Pada tahun 1981 WHO Study Group on Chemotherapyof Leprosy secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy). (Marwali Harahap, 2000) Pengobatan berdasarkan regimen MDT (Multi Drug Therapy) dalam buku Pedoman Diagnosis dan Terapi BAG/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dokter Soetomo Surabaya (2009) adalah sebagai berikut : 1. Pausibasiler  Rifampicine 600 mg/bulan, diminum di depan petugas (dosis supervisi)  DSS 100 mg/hari  Pengobatan diberikan secara teratur selama 6 bulan dan diselesaikan dalam waktu maksimal 19 bulan. Setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment) 2. Multibasiler  Rifampicine 600 mg/bulan, dosis supervisi  Lamprene 300 mg/hari, dosis supervise ditambahkan  Lamprene 50 mg/hari  DDS 100 mg/hari  Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 dosis (bulan) dan diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan. Setelah selesai 12 dosis dinyatakan RFT, meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan BTA (+).

2) Rehabilitasi Usaha-usaha rehabilisasi meliputi medis, okupasi, kejiwaan, dan social. Usaha medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi. Terapi kejiwaan berupa bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada setiap pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk memberikan dorongan dan semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis. Rehabilitasi social bertujuan memulihkan fungsi social ekonomi pasien sehingga menunjang kemandiriannya dengan memberikan bimbingan social dan peralatan kerja, serta membantu pemasaran hasil usaha pasien. Kelompok 1Page 18

2.6.2 Penatalaksanaan Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin dan DDs dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995) sebagai berikut A. Tipe PB Jenis obat dan dosis untuki orang dewasa : a) Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas b) Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah c) DDS 100 mg/hari diminum di rumah Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam wktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT (Released From Treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT. B. Dosis untuk anak a)

Klofazimin Umur di bawah 10 tahun :

- Bulanan 100 mg/bulan - Harian

50 mg/2 kali/minggu

Umur 11-14 tahun: - Bulanan 100 mg/bulan - Harian 50 mg/3 kali/minggu b)

DDS: 1-2 mg/jkg berat badan

c)

Rifampisin: 10-15 mg/kg berat badan

C. Pengobatan MDT terbaru Kelompok 1Page 19

Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998), pasien kusta tipe Pause Basiler dengan lesi hanya satu cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg, dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe Pause Basiler dengan lesi 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe Multi Basiler diberikan sebagai obat alternative dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan. D. Putus Obat Pada pasien kusta tipe Pause Basiler yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe Multi Basiler dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya. 2.7 Patofisiologi Kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan (SelSchwan) dan kulit yang tidak utuh. Sumber penularan adalah penderita kusta yang banyak mengandung kuman (tipe multibasiler) yang belum diobati. Kuman masuk ke dalam tubuh menuju tempat predileksinya yaitu saraf tepi. Saat Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated immune) pasien, bila sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkuloid

dan

bila

rendah,

berkembang

kearah

lepromatosa. Mycobacterium

leprae berprediksi di daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular dari pada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik (Arif Mansjoer, 2000). 2.8 Web of Caution Terlampir 2.9 Pencegahan

Kelompok 1Page 20

Upaya pencegahan dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan patologis penyakit atau dengan kata lain sesuai dengan riwayat alamiah penyakit tersebut.Ada 3 tingkat utama pencegahan : 1. Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention) 2. Pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention) 3. Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary Prevention) Tingkatan pencegahan ini membantu memelihara keseimbangan yang terdiri dari pencegahan primer, sekunder dan tersier: 1.

Pencegahan Primer (Primary Prevention) Adalah Upaya pencegahan yg dilakukan saat proses penyakit belum mulai (pd periode

pre-patogenesis) dengan tujuan agar tidak terjadi proses penyakit.Tujuannya mengurangi insiden penyakit dengan cara mengendalikan penyebab penyakit dan faktor risikonya.Upaya yang dilakukan adalah untuk memutus mata rantai infeksi “agent environment”.Terdiri dari: a. Health promotion (promosi kesehatan)

 Pendidikan kesehatan, penyuluhan  Gizi yang cukup sesuai dengan perkembangan  Penyediaan perumahan yg sehat  Konseling perkawinan  Genetika  Pemeriksaan kesehatan berkala b. Specific protection (perlindungan khusus)

2.



Kebersihan perorangan



imunisai



Sanitasi lingkungan



Penggunaan gizi tertentu



Perlindungan terhadap zat yang dapat menimbulkan kanker



Menghindari zat-zat alergenik

Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)

Kelompok 1Page 21

– host -

Adalah Upaya pencegahan yg dilakukan saat proses penyakit sudah berlangsung namun belum timbul tanda/gejala sakit (patogenesis awal) dengan tujuan proses penyakit tidak berlanjut. Tujuannya menghentikan proses penyakit lebih lanjut dan mencegah komplikasi. Terdiri dari : a. deteksi dini 

Penemuan kasus (individu atau masal)



Skrining



Pemeriksaan khusus

b. Pemberian pengobatan 

Pengobatan yang cukup untuk menghentikan proses penyakit



mencegah komplikasi yg lebih parah



Penyediaan fasilitas khusus untuk membatasi ketidakmampuan dan mencegah kematian

3. Pencegahan Tersier (Tertiary Prevention)

Adalah Pencegahan yang dilakukan saat proses penyakit sudah lanjut (akhir periode patogenesis) dengan tujuan untuk mencegah cacat dan mengembalikan penderita ke status sehat. Tujuannya menurunkan kelemahan dan kecacatan, memperkecil penderitaan dan membantu penderita-penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi yang tidak dapat diobati lagi. Terdiri dari: a. Disability limitation



Penyempurnaan dan intensifikasi pengobatan lanjutan agar tidak terjadi komplikasi.



Pencegahan terhadap komplikasi maupun cacat setelah sembuh.



Perbaikan fasilitas kesehatan sebagai penunjang untuk pengobatan dan perawatan yang lebih intensif.



mengusahakan pengurangan beban beban non medis ( sosial ) pada penderita untuk memungkinkan meneruskan pengobatan dan perawatannya.

b. Rehabilitasi



Mempekerjakan sepenuh mungkin

Kelompok 1Page 22



penyediaan fasilitas untuk pelatihan hingga fungsi tubuh dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya



Pendidikan pada masyarakat dan industriawan agar menggunakan mereka yang telah direhabilitasi



Penyuluhan dan usaha usaha kelanjutan yang harus tetap dilakukan seseorang setelah ia sembuh.



Peningkatan terapi kerja untuk memungkinkan pengembangan kehidupan sosial setelah ia sembuh.



Mengusahakan suatu perkampungan rehabilitasi sosial.



Penyadaran masyarakat untuk menerima mereka dalam fase rehabilitasi.



Mengembangkan lembaga-lembaga rehabilitasi

2.10 Komplikasi Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat kerusakanfungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.

2.11 Prognosis Prognosis penyakit kusta bergantung pada tipe kusta apa yang diderita oleh pasien, akses ke pelayanan kesehatan dan penanganan awal yang diterima oleh pasien. Relaps pada penderita kusta terjadi sebesar 0,01-0,14% pertahun dalam 10 tahun. Perlu diperhatikan terjadinya resistensi terhadap dapson atau rifampisin. Karena berkurangnya kemampuan imunitas tubuh, kehamilan pada pasien kusta wanita yang berusia dibawah 40 tahun dapat mempercepat timbulnya relaps atau reaksi, terutama reaksi tipe 2.Secara keseluruhan, prognosis kusta pada anak lebih baik karena pada anak jarang terjadi reaksi kusta (Lewis, 2010)

Kelompok 1Page 23

Kelompok 1Page 24

BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Asuhan Keperawatan Umum A. Pengkajian 1) Identitas Klien Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dandewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial,ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwasebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah. 2) Riwayat Kesehatan a) Riwayat kesehatan dahulu Biasanya klien pernah menderita penyakit atau masalah dengan kulit misalnya:penyakit panu.kurab. dan perawatan kulit yang tidak terjaga atau dengan kata lainpersonal higine klien yang kurang baik b) Riwayat kesehatan sekarang Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesidapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadangkadang gangguankeadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya Komplikasi pada organ tubuhdan gangguan perabaan ( mati rasa pada daerah yang lesi ) c) Riwayat kesehatan keluarga Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan olehkuman kusta ( mikobakterium leprae)

yang masa inkubasinya

diperkirakan 2-5 tahun.Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akantertular 3) Riwayat Psikososial Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakatakan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klienakan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa padakonsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita Kelompok 1Page 25

4) Riwayat Sosial Ekonomi Biasanya

klien

yang

menderita

penyakit

ini

kebanyakan

dari

golonganmenengahkebawah terutam apada daerah yang lingkungannya kumuh dan sanitasi yang kurangbaik 5) Pola Aktifitas Sehari-hari Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupunkelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan dirikarena kondisinya yang tidak memungkinkan. 6) Pemeriksaan fisik Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I,reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepimotorik. a) Sistem penglihatan Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorikterjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbushansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akanmengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis matamaka alis mata akan rontok b) Sistem pernafasan Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan. c) Sistem Persyarafan Kerusakan Fungsi Sensorik, Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinyakurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadiluka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip. Kerusakan fungsi motorik, Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh

dan

lama-lama

ototnya

mengecil

(atropi)

karena

tidak

dipergunakan. Jari-jaritangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat

Kelompok 1Page 26

terjadi kekakuan pada sendi(kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan(lagophthalmos). Kerusakan fungsi otonom, Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyakdan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras danakhirnya dapat pecah-pecah. d) Sistem musculoskeletal Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otottangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi. e) Sistem Integumen Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerahmerahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsiotonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasidarah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: seringdidapati kerontokan jika terdapat bercak. B. Diagnosa Keperawatan a) Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik. b) Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh c) Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi d) Resiko infeksi berhubungan dengan proses luka e) Resiko cidera berhubungan dengan anastesia

Kelompok 1Page 27

3.2 Asuhan Keperawatan Kasus Tn. A umur 35 tahun masuk UGD RSUA dengan keluhan mengalami kelemahan pada kedua kakinya, pasien merasakan kelemahan pada kedua kaki sejak 1 minggu yang lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada kulit pasien lebih dari 5 lesi, hipopigmentasi (seperti panu) pada punggung dan wajah, bercak eritema (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan) pada ekstermitas. Pasien mengatakan bahwa hipopigmentasi dan nodul sudah muncul sejak 2 tahun yang lalu aka tetapi tidak pernah melakukan pengobatan sama sekali. Pasien juga sering mengatakan sering keluar darah dari hidung.. Pada pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit) didapatkan BTA (mycrobacterium leprae) positif 1. Pengkajian A. Identitas Nama

: Tn. A

Tanggal lahir

: 16 Januari 1981

Jenis kelamin

: Laki-Laki

No RM

: 434371

Diagnosa Medis

: Morbus hansen

Umur

: 35 tahun

Alamat

: Asem Manis Sari 3/49, Surabaya

Pendidikan

: SMA

Kebangsaan

: Indonesia

Pekerjaan

: Pegawai swasta

Agama

: Islam

B. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien mengalamai hipopigmentasi dan nodul sudah muncul sejak 2 tahun yang lalu akan tetapi tidak pernah melakukan pengobatan sama sekali. Pasien juga sering keluar darah dari hidung. Kelompok 1Page 28

C. Riwayat Penyakit Sekarang tn. A umur 35 tahun mengalami kelemahan pada kedua kakinya, pasien merasakan kelemahan pada kedua kaki sejak 1 minggu yang lalu. D. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada riwayat keluarga yang mengalami penyakit yang sama. E. Pemeriksaan Fisik didapatkan pada kulit pasien lebih dari 5 lesi, hipopigmentasi (seperti panu) pada punggung dan wajah, bercak eritema (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan) pada ekstermitas.

2. Analisa Data Data DS: Pasien mengatakan kelemahan pada kedua kakinya DO: Pasien menggunakan kursi roda untuk beraktivitas dan setiap aktivitas pasien harus dibantu.

Etiologi infeksi M.Leprae

Masalah Intoleransi aktivitas

menyerang pada saraf motorik kaki

kelemahan pada kedua kaki

aktivitas terganggu

intolerasi aktivitas DS : Pasien mengatakan hipopigmentasi dan nodul sudah muncul sejak 2 tahun yang lalu

DO:

Kelompok 1Page 29

infeksi M.Leprae

respon imun spesifik pengaktifan makrofag oleh CD4+

Kerusakan integritas kulit

Terlihat seperti panu pada punggung dan wajah serta benjolan pada ekstermitas.

makrofag berespon terhadap mikroba

membentuk granuloma

terbentuk lesi granuloma infection pada kulit

Kerusakan Integritas kulit

3. Diagnosa Keperawatan 1) Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik. 2) Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi

4. Intervensi Keperawatan Diagnosa 1 : Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan aktivitas dapat dilakukan Kriteria hasil: a. Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari b. Kekuatan otot penuh Intervensi Rasional 1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman 1. Meningkatkan posisi fungsional pada 2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit 3. Lakukan latihan rentang gerak secara

ekstremitas 2. Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas

konsisten, diawali dengan pasif

3. Mencegah secara progresif

kemudian aktif

4. Mengencangkan jaringan, meningkatkan

4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas Kelompok 1Page 30

pemeliharaan fungsi otot/ sendi

perawatan untuk memberikan periode

5. Meningkatkan kekuatan dan toleransi

istirahat 5. Dorong dukungan dan bantuan

pasien terhadap aktifitas 6. Menampilkan keluarga / orang terdekat

keluaraga/ orang yang terdekat pada

untuk aktif dalam perawatan pasien dan

latihan

memberikan terapi lebih konstan

Diagnosa 2 : Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsurangsur sembuh. Kriteria hasil : a. Menunjukkan regenerasi jaringan b. Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi Intervensi Rasional 1. Kaji / catat warna lesi,perhatikan jika 1. Memberikan inflamasi

dasar

tentang

ada jaringan nekrotik dan kondisi

terjadi proses inflamasi dan atau mengenai

sekitar luka

sirkulasi daerah yang terdapat lesi.

2. Berikan perawatan khusus pada daerah 2. menurunkan yang terjadi inflamasi

terjadinya

penyebaran

inflamasi pada jaringan sekitar.

3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang 3. Mengevaluasi perkembangan lesi dan terjadi inflamasi perhatikan adakah

inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya

penyebaran pada jaringan sekitar

komplikasi

4. Bersihan lesi dengan sabun pada 4. Tekanan pada lesi bisa maenghambat waktu direndam

proses penyembuhan

5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi 5. Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan dari tekanan

khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi

Kelompok 1Page 31

BAB 4 KESIMPULAN Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang kronis, disebabkan oleh Mikrobakterium leprae yang obligat intra seluler yang menyerang syaraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorik bagian. Morbus Hansen bisa disebut juga kusta atau lepra. Bakteri lepra merupakan salah satu bakteri yang hanya tumbuh dan berkembang pada manusia saja. Walaupun demikian bakteri ini masih belum dapat di biakan karena sulitnya mencari media yang cocok, media yang paling baik sampai saat ini adalah telapak kaki tikus. Bakteri lepra akan berkembang biak dengan baik pada jaringan yang lembab (kulit, saraf perifer, ruang depan mata, saluran nafas bagian atas, dan testis). Gejala yang dapat ditemukan pada penyakit ini adalah penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi, BTA positif, adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok umur antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita. Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan pola penyebaran yang tidak merata. Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab (Zulkifli, 2003).

Kelompok 1Page 32

DAFTAR PUSTAKA 1. Arief, M, Suproharta, Wahyu J.K. Wlewik S. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, ED : 3 jilid : 1. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. 2. Carpenitto, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. EGC : Jakarta. 3. Corwin, E,J, 2000, Buku Saku Patofisiologi, EGC, Jakarta 4. Djuanda, adhi. 2000. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Cet. 2, Ed.3 . Jakarta : FKUI 5. http://cipoohaku.blogspot.com/2012/06/kusta.html 6. Price,

Sylvia

Anderson.

2005. Patofisiologis

:

Konsep

Klinis

Proses-Proses

Penyakit.Jakarta : EGC. 7. Rahariyani, Loetfia Dwi. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Integumen Cet. 1. Jakarta : EGC. 8. Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 3. Jakarta : EGC. 9. SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Unair/RSUD De.Soetomo Surabaya. ATLAS Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 2. Surabaya. Airlangga University Press 2009

Kelompok 1Page 33

More Documents from "Enggar Qur'ani Ayu"

Kusta.docx
November 2019 18
Combustio.docx
November 2019 20
Makalah.docx
November 2019 16